Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama
adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) dan Mawdlu’
(palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini
sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir
orang yang dikehendaki Allah, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para
Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy
dan ulama lainnya.
Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan
banyak dampak negatif, di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah
aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara
Tasyri’ (Syari’at).
Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha
Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh
orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar
ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang
menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka
itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang
didoakan Rasullah dalam sabdanya, “Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi
nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya),
menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi
tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang
dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga
lebih faqih darinya).” (HR.Abu Daud dan at-Turmudzy yang menilainya shahih).
Para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari
kaum Muslimin- telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari
sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar
yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan
mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat
mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum
memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu
Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.
Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa
buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di
antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid
al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala
al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti
buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya)
yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku
pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang
berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li
Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml
al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya
al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits
ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij
Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits
asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan
diterbitkan.
Sekalipun para imam tersebut –semoga Allah mengganjar
kebaikan kepada mereka- telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah
mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka
mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya,
akan tetapi –sangat disayangkan sekali- kami melihat mereka malah telah
berpaling dari membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta
terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka
atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang
shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu
wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang
ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu
dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana
karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau SAW.,
yang berbunyi, “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja,
maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits
Shahih Mutawatir)
Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja
berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil
(meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi
secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits
dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasulullah yang
berbunyi, “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa
yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR.Muslim) dan hadits
lainnya dari riwayat Abu Hurairah.
Kemudian dari itu, telah diriwayatkan
bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang
menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana
menceritakan semua apa yang didengarnya.”
Imam Ibn Hibban berkata di
dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang
menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW., padahal ia tidak
mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu
Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan
mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia
mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan
dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.
Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang
menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,”
kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya,
dia berkata, Rasulullah SAW., bersabda, “Barangsiapa yang membicarakan suatu
pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat
berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits
ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits
Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata,
“Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai
hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan
hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
Dari apa yang telah di
sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan
hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan
Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan
hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda,
“Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang
diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka
hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.Muslim dan
selainnya), wallahu a’lam.
As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an
Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah
Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan,
perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para
sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk
didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi
pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan
yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih
(Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah
:
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah
seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam
Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh
para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari
Kiamat
Diantara pengetahuan yang sangat
penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam
kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat
al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya,
sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan.
Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah
(Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang
muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok
yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya
mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah
(dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka
benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah,
karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah
yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala
mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi
bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga,
mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi
mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi
Al Aqaid wal Ahkam)
Dalil-dalil yang Menunjukkan
Terpeliharanya As-Sunnah:
Pertama:
Firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa
seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk
dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila
ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan
tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya
penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal
itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan
penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak
seorang muslim yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang
dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab
menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini
( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad
Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)
Kedua:
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga:
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar
menjalankan As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan
As-Sunnah.
(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam
mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat
As-Sunnah.
(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.(
Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits,
baik berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu
dibahas sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara
yang diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits
secara lengkap.
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram
menyelisihinya
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan
As-Sunnah
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
- Firman Allah :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36) - Firman Allah :
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1). - Firman Allah :
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32) - Firman Allah :
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46). - Firman Allah :
“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
Hadits-hadits yang memerintahkan agar
mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:
Abu
Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham).
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham).
Abu
Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud ,Tirmidzi , Ibnu Majah, At-Thahawi.
“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud ,Tirmidzi , Ibnu Majah, At-Thahawi.
Abu
Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa, dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak.
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa, dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak.
Kesimpulan :
Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya,
sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya.
Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu
merupakan kesesatan yang nyata.
- Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
- Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
- Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
- Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
- Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
- Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
Hadîts Qudsy
Apa Itu Hadîts Qudsy
Definisi Secara bahasa
(Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits
yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه
إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu
'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.
Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an
Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an
Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
- Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts
Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya
berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
- Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak
demikian.
- Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.
Contoh
Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي
وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan
perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka
janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)
Lafazh-Lafazh Periwayatannya
Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
Lafazh-Lafazh Periwayatannya
Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه
عز وجل
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang
diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2. قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله
عليه وسلم
Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya
Buku Mengenai Hadîts Qudsiy
Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.
Buku Mengenai Hadîts Qudsiy
Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...