Searching

Penjelasan Majma' Al-Fiqh Al-Islami Seputar Hukum Syar'i Perusahaan-Perusahaan Multi Level Marketing


Alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tercurah selalu atas makhluk Allah termulia, juga atas para sahabat dan orang-orang yang komitmen kepadanya.

At takyiif al fiqhi (tinjauan fiqih) terhadap peraturan PT Biznas -dan perusahaan-perusahaan Multi Level Marketing lainnya- :
Setelah mempelajari peraturan (bisnis) PT Biznas -dan perusahaan-perusahaan Multi Level Marketing semisalnya- dengan perantara (bantuan) Badan Urusan Perekonomian dan Keuangan di Majma’ al Fiqh al Islami, dapat disimpulkan bahwa :

PERTAMA
Mendapatkan produk yang terdapat pada perusahaan-perusahaan bersistem Multi Level Marketing (selanjutnya disebut MLM, Red), bukanlah target utama para anggotanya; akan tetapi yang menjadi target dan motivator utama untuk bergabung menjadi anggotanya ialah, penghasilan yang akan didapatkan oleh anggota tersebut melalui peraturan (bisnis perusahaan) ini.

Sebagaimana tujuan perusahaan ini, yaitu membangun jaringan yang (beranggotakan) beberapa orang (yang berturut-turut berbasis dua orang); sehingga asasnya terus meluas sampai berbentuk piramid. Anggota yang beruntung, (ia) berada di puncak piramid dan mengepalai tiga lapisan (para anggota) di bawahnya. (Anggota-anggota) paling bawah (selalu) membayar kepada (anggota-anggota terdahulu) yang berada di atas mereka.

PRODUK (YANG MEREKA KLAIM) ADALAH ABSTRAK (DAN) TIDAK ADA (WUJUD) YANG SESUNGGUHNYA
Produk tersebut tidak lain hanyalah sebagai kedok bisnis (agar bisa) diterima untuk dibangun di atasnya izin perundang-undangan; karena sebagian besar undang-undang negara di dunia ini melarang bisnis bersistem mata rantai piramid, yang setiap anggotanya membayar uang hanya sebagai bukti keikutsertaannya saja pada sistem (bisnis ini), tanpa perantara ataupun produk yang bisa digunakan.

Maka, ketika hukum-hukum syariat dibangun di atas tujuan-tujuan dan makna-maknanya; tidak di atas lafazh-lafazh dan bentuk-bentuknya, sesungguhnya produk tersebut jatuh (tidak ada wujudnya) tatkala ditinjau secara hukum fiqih (at takyif al fiqh) terhadap PT Biznas dan perusahaan-perusahaan lain yang mirip dengannya.

Dengan demikian, maka perkara sesungguhnya -ditinjau dari sisi fiqih- tidak lain hanya menghimpun keikutsertaan -dari beberapa orang- yang dioperasikan oleh perusahaan, dengan pembayaran yang (terus-menerus) dilakukan oleh anggota-anggota yang berada di posisi bawah piramida, dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang berposisi di puncak piramida. Ditambah lagi dengan uang komisi dari perusahaan; yang propagandanya ialah “Anda akan rugi besar jika terlambat bergabung bersama kami walau hanya sehari saja. Semakin lama Anda menunggu, semakin besar kerugian Anda. Mulailah sekarang juga!”

KEDUA
Seorang anggota tidak mungkin memperoleh pendapatan -dengan yakin- kecuali jika terkumpul di bawahnya tiga lapisan (anggota lainnya), dan ketiga lapisan terakhir yang tersusun pada sistem piramida ini, (keadaan mereka) selalu berada dalam spekulasi (pertaruhan) -selalu terancam kerugian- karena mereka (tiga lapisan tersebut) selalu membayar komisi kepada yang di atas mereka, dengan besar harapan (setiap orang dari mereka) ingin berada di puncak piramida. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali dengan merekrut para anggota baru lainnya agar mereka berada di bawahnya lagi. Sehingga, dengan demikian, merekalah (anggota yang terbaru tersebut, Red) terancam kerugian … dan begitulah seterusnya.

Dengan demikian, terjadinya kerugian adalah (hal) yang pasti terjadi untuk berkembangnya piramida. Dan tidak (akan pernah) mungkin (terjadi) -kapanpun waktunya- keuntungan bisa didapatkan oleh seluruh anggota (perusahaan ini). Bahkan yang terjadi ialah, keuntungan yang didapatkan oleh sebagian kecil dari mereka, (yakni) dengan mengorbankan sejumlah besar anggota lainnya. Dan sesungguhnya perbandingan terendah terhadap orang-orang yang terancam kerugian adalah (9:1) di setiap lapisan piramida tersebut. Dari sini (menjadi) jelas, bahwa mayoritas yang menanggung dampak spekulasi –selamanya- dari seluruh anggotanya ialah yang berada di lapisan terbawah piramida tersebut, dengan (selalu) membayar kepada yang di atasnya; sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Apakah di bawah mereka terbentuk tiga lapisan sehingga beruntung? Ataukah tidak terbentuk sehingga merugi membayar kepada yang berada di atas mereka? (Sehingga) tidak diragukan lagi, jenis taruhan inilah (yang disebut dengan) judi. Asal qimar (judi) -sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah- ialah: “Diambilnya harta seseorang, sedangkan dia dalam taruhan; apakah dia akan mendapatkan kembali gantinya ataukah tidak?!”

Dan hakikatnya, praktek bisnis semacam ini terbentuk dari beberapa mata rantai perjudian; harta (yang dijadikan) taruhan tersebut dijamin dengan produk, (lalu) diselinapkan dalam harganya.

(Bahkan sesungguhnya) mata rantai perjudian yang ada di perusahaan-perusahaan bisnis berjaringan semacam ini bercampur dengan mata rantai lainnya yang tiada batas. Orang yang beruntung adalah yang terlebih dahulu masuk jaringan, yang kepadanyalah arus pemasukan (uang keuntungan) mengalir dengan derasnya dan terus tampak tiada habis-habisnya -sesuai luasnya jaringan yang ia miliki yang terdiri dari orang-orang yang berada setelahnya-.

Adapun orang yang bertaruh ialah (yang berada) di lapisan bawah (terakhir) yang (selalu) berangan-angan untuk terus naik dan terus berkembang jaringannya, dengan bertambahnya orang-orang setelahnya, yang mereka terus dipenuhi angan-angan untuk bisa mengeruk kentungan tanpa perlu bekerja produktif. Selamanya, tiga lapisan yang paling akhir selalu berspekulasi (dalam taruhan) secara terus-menerus dan dalam setiap saat seiring berkembangnya piramida. Inilah makna qimar (judi atau taruhan).

PERBEDAAN ANTARA BISNIS MLM DENGAN SAMSARAH (PERCALOAN)
As samsarah ( السَّمْسَرَةُ ) -dalam jual beli- adalah sebuah akad, yang dengannya, si calo mendapatkan komisi atas usahanya sebagai perantara dalam penjualan atau pembelian barang perniagaan. Sedangkan bisnis Multi Level Marketing (MLM) -yang dipraktekkan PT Biznas dan yang semisalnya- adalah sebuah cara dari pemasaran sebuah produk untuk membangun jaringan yang terdiri dari para anggota -dalam bentuk dimensi (piramida) yang berturut-turut- yang setiap anggotanya, di dalam jaringan tersebut berperan sebagai puncak piramida. Dan dalam jaringan tersebut, setiap anggota baru membayar uang-uang komisi kepada yang berada di atasnya.

Atas dasar ini, maka sesungguhnya sistem muamalah PT Biznas dan MLM berbeda dengan percaloan yang sudah dikenal secara fikih, (ditinjau) dari empat sisi, yaitu:

Pertama : Dalam percaloan, tidak disyaratkan pada si calo agar membeli produk dagangan dari orang yang dia perantarakan, (akan tetapi) si calo hanya sebagai perantara antara si pemilik barang (penjual) dan si pembeli.

Adapun dalam sistem bisnis perusahaan-perusahaan MLM, pembelian produk dan pemilikan markas kerja (bisnis) (oleh setiap anggotanya, Red) adalah syarat diterimanya seseorang sebagai distributor (anggota). Maksudnya, distributor (harus) membayar sejumlah uang supaya ia (bisa tetap) menjadi distributor. Dan demikian ini (justru) berlawanan dengan percaloan.

Kedua : Peraturan PT Biznas tidak membolehkan seseorang untuk mendaftarkan langsung (anggota baru) yang berada di bawahnya lebih dari dua anggota. Orang yang berada pada urutan lebih dari dua, didaftarkan (dan diposisikan, Red) di bawah anggota terakhir di bawah jaringannya. Ini berarti, ada beberapa kalangan dari bisnis jaringan ini yang mengambil keuntungan dari usaha orang-orang yang berada di atas mereka, dan (terus) menerima komisi dari perusahaan sebagai keuntungan hasil distribusi produk, yang mereka (ini), sama sekali tidak berjerih payah memasarkannya (mendistribusikannya).

Maka apabila item ini dihubungkan dengan (item, point pertama, Red) yang sebelumnya, sangat jelas bahwa peraturan perusahaan ini melarang distributor yang bukan anggota (untuk mendapatkan haknya, Red.) dan memberikan (keuntungan kepada, Red.) anggota yang (sudah) bukan (lagi sebagai) distributor.

Dari sini, nampak jelas penyelisihan yang dilakukan perusahaan ini dan jauhnya dari sistem percaloan yang sudah dikenal. Perusahaan ini mewajibkan dirinya untuk memberikan keuntungan kepada anggotanya -tanpa melihat jerih payah (masing-masing dari) mereka dalam memasarkan produknya-. Berbeda halnya dengan percaloan. Komisi dihasilkan oleh orang yang memasarkan dan menjual (langsung). Dan orang yang tidak berusaha (menjual atau memasarkan barang) tidak dapat ikut serta menikmati upah (atau keuntungan) tersebut.

Ketiga : Seorang calo mendapatkan komisi karena usahanya dalam memasarkan dan menjual barang untuk satu orang atau sejumlah orang. Dan dia, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan apa yang telah dilakukan oleh pembeli barang tersebut (setelahnya). Hubungan terhenti dengan terjadinya transaksi jual beli antara calo dan pembeli.

Adapun (dalam) MLM ini, maka si penjual tidak akan mendapatkan komisi (atas penjualannya), kecuali apabila ia (berhasil) memasarkannya kepada para distributor (baru) lainnya. Lalu mereka(pun) menjual (barang tersebut) untuk dipasarkan lagi oleh para distributor (baru). Sehingga, (sesungguhnya) ia memasarkan untuk orang yang memasarkan kepada orang yang memasarkan kepada orang yang memasarkan…begitu seterusnya!! Dan ia tidak akan mendapatkan komisi, kecuali dengan cara seperti ini. Maka (dalam hal ini), orang yang berada di dalam jaringan piramida tersebut tidak ada (yang bisa) merasakan maslahat dengan memanfaatkan atau menggunakan produk tersebut, kecuali dengan cara memasarkannya lagi kepada pemasar (baru) lainnya.

Keempat : Berdasarkan (kesimpulan di atas), bahwa pemasaran produk bukanlah maksud utama dalam bisnis MLM, akan tetapi hanya sebagai kedok peraturan-peraturan untuk menghimpun keikutsertaan (anggotanya) dan merekrut anggota, agar terbangun jaringan piramida. (Sehingga), jika sebuah produk tidak ada dalam maksud dari suatu pemasaran, maka kuranglah satu rukun (dari rukun-rukun) sahnya akad percaloan yang sesungguhnya, yaitu (adanya) barang.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa peraturan PT Biznas dan perusahaan-perusahaan lain yang sejenis dengannya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan akad percaloan.

FATWA
Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, (Majma’ al Fiqh al Islami) mengeluarkan fatwa pada sebuah musyawarah bernomor 3/24, tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan 17 Juni 2003 M, sebagai berikut:

1. Bahwa menjadi anggota di PT Biznas -dan yang semisalnya dari perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level Marketing)- tidak dibolehkan secara syariat, karena hal itu sebagai (bentuk) perjudian.

2. Bahwa peraturan PT Biznas -dan yang semisalnya dari perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level Marketing)- sama sekali tidak ada hubungannya dengan akad percaloan -sebagaimana yang telah didengungkan perusahaan tersebut, juga sebagaimana apa yang telah mereka usahakan dari perancuan kepada sebagian ulama yang (akhirnya mereka) berfatwa dengan membolehkan hal ini, karena ini adalah percaloan- dari seputar pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, dan menggambarkan perkaranya kepada mereka tidak sesuai dengan hakikatnya.

Atas dasar ini, (al Majma’) menyarankan kepada semua pihak (yang memberikan) perizinan untuk mencabut segala bentuk surat perizinan perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level Marketing), dan tidak (lagi) memberikan surat perizinan (dalam bentuk) apapun untuk praktek semacam ini, kecuali setelah mengembalikan perkaranya kepada (Majma’ al Fiqh al Islami). Allah Maha Pemberi taufiq.

[Penjelasan Majma' Al-Fiqh Al-Islami di majalah As-Sunnah disertai komentar Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari]

Jika Bank Menambahkan Keuntungan Pada Dana Tabungan, Apa Yang Harus Dilakukan ?


Dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Emas dijual dengna emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal dengan semisal, dalam jumlah yang sama dan tunai, tangan dengan tangan. Dan jika bagian-bagian ini berbeda, maka juallah sekehendak hati kalian, jika dilakukan serta diserahkan seketika”.
Dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahih keduanya, dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dimana dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama banyaknya, janganlah pula melebihkan sebagiannya atas sebagian lainnya, dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali sama banyaknya, serta janganlah kalian melebihkan sebagian atas sebagian lainnya. Dan janganlah kalian menjualnya dengan cara sebagian tunai dan sebagian lainnya ditangguhkan”.

Dalam lafazh lain disebutkan.

“Artinya : Emas dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal dengan semisal, dalam jumlah yang sama dan tunai, tangan dengan tangan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan berarti dia telah melakukan praktek riba. Yang mengambil dan yang memberi sama (kedudukannya)” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bukhari]

Dan tidak diragukan lagi bahwa nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan pengharaman kedua macam riba, riba fadhl dan riba nasi’ah, tidak ada perbedaan, baik yang terjadi antara orang muslim dengan muslim maupun orang muslim dengan orang kafir yang menjadi musuh Allah. Islam dan kaum muslimin. Semua nash-nash tersebut secara tegas mengharamkan seluruh akad yang berbau riba, meskipun para pelaku akan tersebut mempunyai agama yang berbeda,

Mengenai banyaknya kaum muslimin yang miskin di Amerika dan tingginya kebutuhan mereka akan bantuan dan belas kasihan tidak berarti membolehkan pengambilan riba dari bank atau orang lain untuk membantu fakir miskin serta menghilangkan kesusahan dari mereka, baik mereka itu berada di Amerika maupun negara lainnya. Yang demikian itu bukan suatu hal darurat yang membolehkan mereka melakukan apa yang diharamkan oleh Allah melalui nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karena masih adanya sarana lain untuk berbuat baik dan mengasihi mereka sebagai upaya menutupi kebutuhan mereka dan menghilangkan kesusahan mereka.

Selain itu, apa yang disebutkan bahwa bank itu milik musuh-musuh Islam tidak bisa dijadikan alasan membolehkan pengambilan riba dari bank selama mu’amalah damai dalam bentuk dagang dan budaya masih berdiri antara kita dan mereka serta saling menguntungkan kedua belah pihak.

Barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kebencian terhadap musuh-musuh Islam, serta tidak ingin orang-orang kafir mencari rizki melalui perantaraan dirinya yang menolong mereka dalam urusan dunia mereka, atau mungkin menolong mereka untuk melakukan tipu daya terhadap kaum muslimin, maka hendaklah dia tidak menabung di bank-bank mereka, dimana mereka hanya akan mengambil manfaat dan bersenang-senang dalam kehidupannya. Dan hendaklah dia memberikan uangnya itu kepada orang yang bisa mengelolanya, baik secara bersama-sama dengan bagi keuntungan, atau bisa juga dikelola tanpa mitra.

Jika hal itu tidak mudah untuk dilakukan, maka hendaklah dia menitipkannya kepada selain mereka, itupun kalau terpaksa menabung dan tanpa mengambil bunga kepadanya. Sampai kaum muslimin sudah mulai mendirikan bank-bank Islami sehingga orang muslim akan lebih mudah untuk menitipkan uangnya disana. Dengan demikian, dia akan lebih aman menyimpan uangnya, insya Allah, sekaligus akan menjadi penopang bagi mereka untuk melangkah maju dengan pelayanan secara Islami sehingga kita tidak lagi membutuhkan bank-bank yang menjalankan praktek riba. Wallahul Muwaffiq.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 1803. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

Hukum Menanam Saham Pada Perusahaan-Perusahaan

 
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu” [Al-Baqarah : 278-279]

Demikian pula, telah terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau telah melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja” [HR Muslim, kitab Al-Musaqah]

Kedua
Menanam saham pada perusahaan-perusahaan yang semula memang tidak didirikan atas dasar riba akan tetapi barangkali riba masuk pada sebagian transaksinya, seperti Safula Company dan semisalnya dari perusahaan yang terdapat di dalam pertanyaan di atas. Perusahaan seperti ini, hukum asalnya adalah dibolehkan menanam modal disana, akan tetapi bila yang lebih dominan adalah perkiraan bahwa sebagian transaksinya mengandung riba, maka sikap yang wara’ (selamat) adalah meninggalkannya dan tidak menanam saham padanya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa yang menjauhi hal-hal yang syubhat (samar-samar) berarti dia telah membebaskan tanggungan dirinya untuk (kepentingan) agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat berarti telah terjerumus ke dalam hal yang diharamkanm” [HR Al-Bukhari, kitab Al-Iman (52) Muslim, ibaid, hal. 1599]

Jika dia telah terlanjur melakukannya atau enggan untuk menempuh jalan yang wara’, lalu dia menanam saham, maka bila dia mengambil keuntungan-keuntungannya dan mengetahui jumlah riba tersebut, wajib baginya untuk melepaskan diri (menghindari) darinya, dengan cara mengalokasikannya kepada proyek-proyek amal dan kebajikan, seperti memberikan hajat orang fakir atau selain itu selain itu. Jadi, dia tidak boleh berniat menyedekahkan hal itu untuk niat taqarrub (ibadah) kepada Allah sebab Allah adalah Mahasuci (baik) dan tidak menerima kecuali yang baik-baik (suci). Juga karena hal itu tidak dapat membebaskan tanggungan diri dari dosanya.

Akan tetapi hendaknya yang dia niatkan adalah melepaskan diri (menghindar) darinya agar selamat dari dosanya sebab tidak ada jalan keselamatan darinya kecuali dengannya.

Dan jika dia tidak mengetahui jumlah (prosentase) riba tersebut, maka dia dapat melepaskan diri (menghindar) darinya dengan cara mengalokasikannya sebanyak separuh keuntungan sebagai yang telah kami singgung sebelumnya.

[Ditulis oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, pada tanggal 21-4-1412]

“Artinya : Dan betolong-tolonglah kamu diatas berbuat kebajikan dan taqwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan di atas perbuatan dosa dan pelanggaran” [Al-Madidh : 2]

Hukum Seputar Suap Dan Hadiah


Permasalahan harta, seakan-akan sebuah permasalahan yang tidak berkesudahan Sebagai seorang muslim yang menghadirkan akhirat ke dalam kehidupannya, tentu tidak menganggap permasalahan ini sepele atau terlampau menyempitkan ruang geraknya dalam mencari rizki. Sebab bagaimanapun juga, kita tetap butuh harta sebagai bekal, dan tetap waspada terhadap fitnahnya. Bagaimana tidak, pada saat ini kita menyaksikan, banyak orang tidak peduli lagi dalam mencari rizki, apakah dari yang halal atau dari yang haram. Hingga muncul penilaian, bahwa semua kebahagian hidup, keberhasilan, atapun kesuksesan ditentukan dan diukur dengan harta.


Pada dasarnya, syariat selalu mendorong naluri manusia untuk berusaha, hal itu tidak saling bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Imam Mawardi rahimahullah mengelompokkan bidang usaha manusia kepada tiga bidang pokok : pertanian, perdagangan, dan industri[1]. Dewasa ini, sebagian ulama memasukkan bidang ‘kepegawaian’ menjadi salah satu bidang usaha yang sangat berharga bagi kebanyakan manusia, disamping tiga pokok usaha yang telah disebutkan Imam Mawardi rahimahullah tersebut.

Mencari rizki dengan menjadi pegawai negeri maupun swasta adalah sesuatu yang halal. Akan tetapi, fenomena yang kita saat ini, tidak jarang seorang pegawai menghadapi hal-hal yang haram atau makruh dalam pekerjaannya tersebut. Di antaranya, disebabkan munculnya suap, sogok menyogok atau pemberian uang diluar gaji yang tidak halal mereka terima. Bagaimana tinjauan syariat dalam masalah ini ? :

DEFINISI SUAP, HADIAH DAN BONUS
Banyak sebutan untuk pemberian sesuatu kepada petugas atau pegawai diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya. Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu gaji, uang suap, hadiah dan bonus.[2]

Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah disebut “memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan”. [3]

Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan definisinya, pemberian seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan”.[4]

Adapun bonus, ia memiliki definisi, yang mendekati makna hadiah, yaitu upah diluar gaji resmi (sebagai tambahan). [5]

DALIL TENTANG SUAP DAN HADIAH
Suap, hukumnya sangat jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah serta Ijma, baik bagi yang memberi maupun yang menerima.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.[Al-Baqarah : 188]

Dalam ,menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata : “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”.[6]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah don ditulikanNya telinga mereka dan dibutakanNya penglihatan mereka [Muhammad : 22-23]

Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok.”[7]. Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. [Al-Maidah : 42]

Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qodi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”.[8]

Sedangkan dari Sunnah.

عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,”Shahih.” Lihat Irwa’ Ghalil 8/244]

Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (...dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, hafalannya bercampur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul]

Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al Haitsami rahimahullah memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.

Sedangkan menurut Ijma’, telah tenjadi kesepakatan umat tentang haramnya suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, [9] Ibnul Atsir, [10] Shan’ani rahimahullah. [11]

Adapun hadiah, Ia merupakan pemberian yang dianjurkan oleh syariat, sekalipun pemberian itu -menurut pandangan yang memberi- sesuatu yang remeh.

Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Wahai, wanita muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing”. [HR Bukhari, no. 2566. Lihat Fathul Bari, 5/198]

Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta”. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar berkata,”Sanadnya shahih”]

Tentang anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi Ijma’, karena Ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama.

PERBEDAAN ANTARA SUAP DENGAN HADIAH
Seorang muslim yang mengetahui perbedaan ini, maka ia akan dapat membedakan jalan yang hendak Ia tempuh, halal ataukah haram. Perbedaan tersebut, di antaranya :

1. Suap adalah, pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang halal bagi seorang muslim.

2. Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat.

3. Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk membalas budi.[12]

4. Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.

5. Suap -biasanya- diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah diberikan setelahnya. [13]

HUKUM PEMBERIAN KEPADA PEGAWAI
Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada saudaranya muslim merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Hanya, permasalahannya menjadi berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud, juga berbeda-beda hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.

Terdapat riwayat yang sangat menarik untuk menggambarkan penmasalahan ini. Dan Abu Hamid as Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan ‘Ibnul Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya.

Ia (orang tersebut, Red) berkata,”Ini harta kalian, dan ini hadiah,”

Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?”

Lalu beliau berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla , Lalu beliau bersabda : “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawakan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata “yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku”. Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah , tidak boleh salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: “Ya Allah, telah aku sampaikan,” (rawi berkata),”Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku.” [HR Bukhari, 6979 dan Mustim, 1832]

Karena seringnya orang mempermainkan istilah syariat, sehingga sesuatu yang haram dianggapnya bisa menjadi halal. Begitu pula dengan suap. Di-istilahkan dengan bonus atau fee dan sebagainya. Maka, yang terpenting bagi seorang muslim adalah. harus mengetahui bentuk pemberian tersebut dan hukum syariat tentang permasalahan itu.

Dalam Pemberian Sesuatu Kepada Pegawai. Terbagi Dalam Tiga Bagian.

Pertama : Pemberian Yang Diharamkan Memberi. Maupun Mengambilnya.[14]
Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai.

Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.

Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dan sebagainya.

Kedua : Pemberian Yang Terlarang Mengambilnya, Dan Diberi Keringanan Dalam Memberikannya.
Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan.

Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan masam. [15]

Syaikhul Islam Ibnu TaImiyyah rahimahullah berkata : Jika seseorang memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezhaLiman atau menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kepada beliau,”Ya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa engkau memberi juga kepada mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.” [16]

Ketiga : Pemberian Yang Diperbolehkan, Bahkan Dianjurkan Memberi Dan Mengambilnya.
Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.

Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz zari’ah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram.

1. Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap tidak bentambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat.
2. Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.
3. Hadiah yang telah mendapat izin dan oleh pemerintahannya atau instansinya.
4. Hadiah atasan kepada bawahannya.
5. Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya, dan yang lain-lain.

Demikian penmasalahan hadiah, yang ternyata cukup pelik kita hadapi. Apalah lagi dengan perbuatan ghulul?

Ghulul adalah mencuri secara diam-diam. Perbuatan ini, tentu lebih tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan :

Dari ‘Adi bin Amirah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, Lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti Ia telah berbuat ghulul mencuri secara diam-diam) yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat”.

Dia (‘Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam, ia tegak bendiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata: “Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tawarkan pekerjaan kepadaku,” beliau bersabda, “Apa gerangan?” Dia berkata, “Aku mendengar engkau baru saja berkata begini dan begini,” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, ”Saya tegaskan kembali. Barangsiapa yang kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah ia membawa semuanya, yang kecil maupun yang besar. Apa yang diberikan kepadanya, ia ambil. Dan apa yang dilarang mengambilnya, ia tidak mengambilnya.”[HR Muslim, no. 1833]

SOLUSI SUAP DAN HADIAH YANG HARAM
Permasalahan suap dan “pemberian hadiah” yang membudaya di masyarakat ini, dikenal di tengah masyarakat seiring dan berkelindan dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Perbuatan ini merupakan penyakit yang sudah sangat akut. Penyebab utamanya adalah kebodohan terhadap syariat Islam yang hanif ini, sehingga banyak perintah yang ditinggalkan, dan ironisnya banyak larangan yang dikerjakan.

Rizki yang didapatkan tidak halal, ia tidak akan mampu mendatangkan kebahagiaan. Ketika satu kemaksiatan dilakukan, itu berarti menanam dan menebarkan kemaksiatan Lainnya. Dia akan menggeser peran hukum, sehingga peraturan syariat tidak lagi mudah dipraktekkan. Padahal untuk mendapatkan kebahagian, Islam haruslah dijalankan secara kafah (menyeluruh).

Secara singkat, solusi memberantas suap maupun penyakit sejenisnya, terbagi dalam dua hal.

Pertama : Solusi Untuk Individu Dan Masyarakat.
1. Setiap individu muslim hendaklah memperkuat ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Takwa merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk umat yang terdahulu dan yang kemudian. Dengan takwa ia mengetahui perintahNya lalu melaksanakannya, dan mengetahui laranganNya lalu menjauhinya.

2. Berusaha menanamkan pada setiap diri sifat amanah, dan menghadirkan ke dalam hati besarnya dosa yang akan ditanggung oleh orang yang tidak menunaikan amanah. Dalam hat ini, peran agama memiliki pengaruh sangat besar, yaitu dengan penanaman akhlak yang mulia.

3. Setiap individu selalu belajar memahami rizki dengan benar. Bahwa membahagiakan diri dengan harta bukanlah dengan cara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi dengan mencari rizki yang halal dan hidup dengan qana’ah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi berkah pada hartanya, dan Ia dapat berbahagia dengan harta tersebut.

4. Menghadirkan ke dalam hati, bahwa di balik penghidupan ini ada kehidupan yang kekal, dan setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua perbuatan manusia akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang hartanya, dari mana engkau mendapatkannya, dan kemana engkau habiskan? Jika seseorang selamat pada pertanyaan pertama, belum tentu ia selamat pada pertanyaan berikutnya.

Kedua : Solusi Untuk Ulil Amri (Pemerintah).
1. Jika ingin membersihkan penyakit masyarakat ini, hendakah memulai dari mereka sendiri. Pepatah Arab mengatakan, rakyat mengikuti agama rajanya. Jika rajanya baik, maka masyarakat akan mengikutinya, dan sebaliknya.

2. Bekerjasama dengan para da’i untuk menghidupkan ruh tauhid dan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika tauhid telah lurus dan iman telah benar, maka, semuanya akan berjalan sesuai yang diinginkan oleh setiap diri seorang muslim.

3. Jika mengangkat seorang pejabat atau pegawai, hendaklah mengacu kepada dua syarat, yaitu keahlian, dan amanah. Jika kurang salh satu dari dua syarat tersebut, tak mustahil terjadi kerusakan. Kemudian, memberi hukuman sesuai dengan syariat bagi yang melanggarnya.

4. Semua pejabat pemerintah seharusnya mencari penasihat dan bithanah (orang dekat) yang shalih, yang menganjurkannya untuk berbuat baik, dan mencegahnya dari berbuat buruk. Seiring dengan itu, Ia juga menjauhi bithanah yang thalih.

Demikian yang dapat dikemukakan dalam permasatalan ini Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kekuatan kepada kaum Muslimin untuk menegakkan agamanya pada kehidupan ini, sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish showab.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al Hawil Kabir, 19/180.
[2]. Lihat Subulussalam, Shan’ani, 1/216.
[3]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 720, dan semakna dengan defimsi para ulama. Lihat juga Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith, 4/336.
[4]. Aqrabul Masalik, 5/341,342.
[5]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 154.
[6]. Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al Baghawi, Syarhussunnah, 10/88.
[7]. Ahkamul Qur’an, al Qurthubi, 16/208.
[8]. Al Mughni, 11/437.
[9]. Ibid.
[10]. An Nihayah, 2/226.
[11]. Subulussalam, 1/216.
[12]. Ar-Ruh, Ibnul Qayyim, 1/240.
[13]. Lihat pembahasan ini di kitab Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al Hasyim, hal 27-29.
[14]. Ibid, hlm. 35-79.
[15]. Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sudah merupakan hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan dan tidak lagi tahu malu dengan menghardik orang yang tidak memberikan uang kepadanya.
[16]. Majmu’ Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261.

Bursa Saham

 
Pendahuluan
Bursa adalah pasar yang di dalamnya berjalan usaha jual beli saham. Berkaitan dengan hasil bumi, juga melibatkan para broker yang menjadi perantara antara penjual dengan pembeli.

Sebab disebut Bursa. Ada yang mengatakan, bahwa disebut sebagai bursa karena dinisbatkan kepada sebuah hotel di Belgia dimana kalangan konglomerat dan para broker berkumpul untuk melakukan operasi kerja mereka. Atau dinisbatkan kepada sorang lelaki Belgia bernama Deer Bursiah, yang memiliki sebuah istana tempat berkumpulnya kaum konglomerat dan para broker untuk tujuan yang sama.

Target bursa adalah menciptakan pasar simultan dan kontinyu dimana penawaran dan permintaan serta orang-orang yang hen-dak melakukan perjanjian jual beli dipertemukan. Tentunya semua itu dapat menggiring kepada berbagai keuntungan yang sebagian diantaranya akan penulis paparkan sebentar lagi.

Namun di sisi lain juga mengandung banyak sekali unsur penzhaliman dan kriminalitas, seperti perjudian, perekrutan uang dengan cara haram, monopoli jual beli, memakan uang orang dengan batil, mempermainkan/ berspekulasi dengan orang dan masyarakat. Karena disebabkan oleh bursa itu, banyak kekayaan dan potensi ekonomi yang hancur terpuruk dalam pelimbahan dalam waktu pendek, persis seperti kehancuran akibat gempa bumi atau bencana alam lainnya!

Macam-Macam Transaksi Bursa Efek

Pertama: Dari Sisi Waktunya
1). Transaksi instant. Yakni transaksi dimana dua pihak pelaku transaksi melakukan serah terima jual beli secara langsung atau paling lambat 2 kali 24 jam.

2). Transaksi berjangka. Yakni transaksi yang diputuskan setelah beberapa waktu kemudian yang ditentukan dan disepakati saat transaksi. Terkadang harus diklarifikasi lagi pada hari-hari yang telah ditetapkan oleh komite bursa dan ditentukan serah terimanya di muka.

Baik transaksi instant maupun transaksi berjangka terka-dang menggunakan kertas-kertas berharga, terkadang mengguna-kan barang-barang dagangan.

Yang dimaksud dengan transaksi instant adalah serah terima barang sungguhan, bukan sekedar transaksi semu, atau bukan sekedar jual beli tanpa ada barang, atau bisa diartikan ada serah terima riil.

Sementara transaksi berjangka tujuannya pada umumnya adalah hanya semacam investasi terhadap berbagai jenis harga tanpa keinginan untuk melakukan jual beli secara riil, dimana jual beli ini pada umumnya hanya transaksi pada naik turun harga-harga itu saja.

Bahkan di antara transaksi berjangka ada yang bersifat per-manen bagi kedua pihak pelaku. Ada juga yang memberikan be-berapa bentuk hak pilih sesuai dengan bentuk transaksi. Transaksi yang memberikan hak pilih ini memiliki perbedaan dari transaksi lain, bahwa orang yang mendapatkan hak pilih harus membayar biaya kompensasi bila ia menggunakan hak pilih tersebut.

Mengaplikasikan sistem investasi dalam dunia bursa mem-berikan pengertian lain bagi sistem investasi itu tidak sebagai-mana yang dikenal dalam ruang lingkup pembahasan fiqih Islam.

Kerjasama investasi dalam fiqih Islam yaitu: menyerahkan modal kepada orang yang mau berniaga dengan menerima seba-gian keuntungannya. Transaksi ini merealisasikan kesempurnaan hubungan saling melengkapi antara pemilik modal yang tidak memiliki keahlian berusaha dengan orang yang memiliki keahlian berusaha tetapi tidak memiliki modal.

Kerjasama investasi dalam dunia bursa adalah dengan me-ngandalkan cara jual beli atas dasar prediksi/ramalan, yakni pre-diksi aktivitas harga pasar untuk mendapatkan harga yang lebih.

Kedua: Dari Sisi Objek
Dari sisi objeknya transaksi bursa efek ini terbagi menjadi dua:
1. Transaksi yang menggunakan barang-barang komoditi (Bursa komoditi).
2. Transaksi yang menggunakan kertas-kertas berharga (Bursa efek).

Dalam bursa komoditi yang umumnya berasal dari hasil alam, barang-barang tersebut tidak hadir. Barter itu dilakukan dengan menggunakan barang contoh atau berdasarkan nama dari satu jenis komoditi yang disepakati dengan penyerahan tertunda.

Bursa efek sendiri objeknya adalah saham dan giro. Keba-nyakan transaksi bursa itu menggunakan kertas-kertas saham tersebut.

Giro yang dimaksud di sini adalah cek yang berisi perjanjian dari pihak yang mengeluarkannya, yakni pihak bank atau perusa-haan untuk orang yang membawanya agar ditukar dengan sejumlah uang yang ditentukan pada tanggal yang ditentukan pula dengan jaminan bunga tetap, namun tidak ada hubungannya sama sekali dengan pergulatan harga pasar.

Sementara saham adalah jumlah satuan dari modal koperatif yang sama jumlahnya bisa diputar dengan berbagai cara berda-gang, dan harganya bisa berubah-rubah sewaktu-waktu tergan-tung keuntungan dan kerugian atau kinerja perusahaan tersebut.

Berbagai Dampak Positif Bursa Saham
Berbagai sisi positif dari bursa tersebut tergambar pada hal-hal berikut:
1. Bursa saham ini membuka pasar tetap yang mempermudah para pembeli dan penjual untuk saling bertemu lalu melakukan transaksi instant maupun transaksi berjangka terhadap kertas-kertas saham, giro maupun barang-barang komoditi.

2. Mempermudah pendanaan pabrik-pabrik dan, perda-gangan dan proyek pemerintah melalui penjualan saham dan kertas-kertas giro komersial.

3. Bursa ini juga mempermudah penjualan saham dan giro pinjaman kepada orang lain dan menggunakan nilainya. Karena para perusahaan yang mengeluarkan saham-saham itu tidak me-matok harga murni untuk para pemiliknya.

4. Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga saham dan giro piutang serta barang-barang komoditi, yakni per-gulatan semua hal tersebut dalam dunia bisnis melalui aktivitas penawaran dan permintaan.

Beberapa Dampak Negatif Bursa Saham

Adapun dampak-dampak negatif dari adanya bursa saham ini tergambar pada hal-hal berikut:
1. Transaksi berjangka dalam pasar saham ini sebagian besarnya bukanlah jual beli sesungguhnya. Karena tidak ada unsur serah terima dalam pasar saham ini antara kedua pihak yang bertransaksi, padahal syarat jual beli adalah adanya serah terima dalam barang yang disyaratkan ada serah terima barang dagangan dan pembayarannya atau salah satu dari keduanya.

2. Kebanyakan penjualan dalam pasar ini adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik itu berupa mata uang, saham, giro piutang, atau barang komoditi komersial dengan harapan akan dibeli di pasar sesunguhnya dan diserahterimakan pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu pada waktu transaksi sebagaimana syaratnya jual beli As-Salm.

3. Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli menjual kembali barang yang dibelinya sebelum dia terima. Orang kedua itu juga menjualnya kembali sebelum dia terima. Demikianlah jual beli ini terjadi secara berulang-ulang terhadap satu objek jualan sebelum diterima, hingga transaksi itu berakhir pada pembeli terakhir yang bisa jadi sebenarnya ingin membeli barang itu langsung dari penjual pertama yang menjual barang yang belum dia miliki, atau paling tidak menetapkan harga sesuai pada hari pelaksanaan transaksi, yakni hari penutupan harga. Peran penjual dan pembeli selain yang pertama dan terakhir hanya mencari keuntungan lebih bila mendapatkan keuntungan saja, dan melepasnya bila sudah tidak menguntungkan pada waktu tersebut persis seperti yang dilakukan para pejudi.

4. Yang dilakukan oleh para pemodal besar dengan memonopoli saham dan sejenisnya serta barang-barang komoditi komersial lain di pasaran agar bisa menekan pihak penjual yang menjual barang-barang yang tidak mereka miliki dengan harapan akan membelinya pada saat transaksi dengan harga lebih murah, atau langsung melakukan serahterima sehingga menyebabkan para penjual lain merasa kesulitan.

5. Sesungguhnya bahaya pasar modal semacam ini berpang-kal dari dijadikannya pasar ini sebagai pemberi pengaruh pasar dalam skala besar. Karena harga-harga dalam pasar ini tidak sepe-nuhnya bersandar pada mekanisme pasar semata secara praktis dari pihak orang-orang yang butuh jual beli. Namun justru terpe-ngaruh oleh banyak hal, sebagian diantaranya dilakukan oleh para pemerhati pasar, sebagian lagi berasal dari adanya monopoli barang dagangan dan kertas saham, atau dengan menyebarkan berita bohong dan sejenisnya. Di sinilah tersembunyi bahaya besar menurut tinjauan syariat. Karena cara demikian menyebabkan ketidakstabilan harga secara tidak alami, sehingga berpengaruh buruk sekali pada perekonomian yang ada.

Sebagai contoh saja bukan untuk menyebutkan secara keseluruhan: sebagian besar investor sengaja melempar sejumlah kertas saham dan giro, sehingga harganya menjadi jatuh karena terlalu banyak penawaran. Pada akhirnya para pemilik saham kecil-kecilan bergegas menjualnya kembali dengan harga murah sekali, karena khawatir harga saham-saham itu semakin jatuh se-hingga mereka semakin rugi. Dengan adanya penawaran mereka itu, mulailah harga saham itu terus menurun, sehingga para investor besar itu berkesempatan membelinya kembali dengan harga lebih murah dengan harapan akan bisa meninggikan harga-nya dengan banyaknya permintaan. Pada akhirnya para investor besarlah yang beruntung sementara kerugian besar-besaran harus ditanggung investor kecil-kecilan, sebagai akibat dari perbuatan investor besar yang berpura-pura melempar kertas-kertas saham itu sebagai ikutan. Hal itupun terjadi di pasar komoditi komersial.

Oleh sebab itu pasar saham ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ekonom. Faktor penyebabnya adalah bahwa pasar ini pada suatu saat dalam dunia ekonomi menyebab-kan hilangnya modal besar-besaran dalam waktu yang singkat sekali. Di sisi lain pasar ini bisa menyebabkan munculnya para OKB (orang kaya baru) tanpa banyak mengeluarkan keringat. Bahkan pada saat terjadi krisis ekonomi berat di dunia, banyak pakar ekonomi yang menuntut agar pasar bursa itu dibubarkan. Karena pasar bursa itu bisa menyebabkan hilangnya banyak modal, menggulingkan roda perekonomian hingga jatuh ke jurang dalam waktu yang sangat cepat, seperti yang terjadi akibat ben-cana alam dan gempat bumi.

Hukum-Hukum Syari'at Tentang Transaksi Bursa Saham
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa transaksi bursa itu di antaranya ada yang bersifat instant, pasti dan permanen, dan ada juga yang berjangka dengan syarat uang di muka. Di lihat dari objeknya terkadang berupa jual beli barang komoditi biasa, dan terkadang berupa jual beli kertas saham dan giro.

Karena transaksinya bermacam-macam dengan dasar seperti ini, sehingga tidak mungkin ditetapkan hukum syariatnya dalam skala umum, harus dirinci terlebih dahulu baru masing-masing jenis transaksi ditentukan hukumnya secara terpisah.

Lembaga Pengkajian fiqih yang mengikut Rabithah al-alam al-Islami telah merinci dan menetapkan hukum masing-masing transaksi itu pada pertemuan ketujuh mereka yang diadakan pada tahun 1404 H di Makkah al-Mukarramah. Sehubungan dengan persoalan ini, majelis telah memberikan keputusan sebagai berikut:

Pertama: Pasar bursa saham itu target utamanya adalah menciptakan pasar tetap dan simultan dimana mekanisme pasar yang terjadi serta para pedagang dan pembeli dapat saling bertemu melakukan transaksi jual beli. Ini satu hal yang baik dan berman-faat, dapat mencegah para pengusaha yang mengambil kesempatan orang-orang yang lengah atau lugu yang ingin melakukan jual beli tetapi tidak mengetahui harga sesungguhnya, bahkan tidak mengetahui siapa yang mau membeli atau menjual sesuatu kepa-da mereka.

Akan tetapi kemaslahatan yang jelas ini dalam dunia bursa saham tersebut terselimuti oleh berbagai macam transaksi yang amat berbahaya menurut syariat, seperti perjudian, memanfa-atkan ketidaktahuan orang, memakan uang orang dengan cara haram. Oleh sebab itu tidak mungkin ditetapkan hukum umum untuk bursa saham dalam skala besarnya. Namun yang harus di-jelaskan adalah segala jenis transaksi jual beli yang terdapat di dalamnya satu persatu secara terpisah.

Kedua: Bahwa transaksi instant terhadap barang yang ada dalam kepemilikan penjual untuk diserahterimakan bila syaratkan harus ada serah terima langsung pada saat transaksi menurut syariat, adalah transaksi yang dibolehkan. Selama transaksi itu bukan terhadap barang haram menurut syariat pula. Namun kalau barangnya tidak dalam kepemilikan penjual, harus dipe-nuhi syarat-syarat jual beli as-Salm. Setelah itu baru pembeli boleh menjual barang tersebut meskipun belum diterimanya.

Ketiga: Sesungguhnya transaksi instant terhadap saham-saham perusahaan dan badan usaha kalau saham-saham itu me-mang berada dalam kepemilikan penjual boleh-boleh saja menu-rut syariat, selama perusahaan atau badan usaha tersebut dasar usahanya tidak haram, seperti bank riba, perusahaan minuman keras dan sejenisnya. Bila demikian, transaksi jual beli saham tersebut menjadi haram.

Keempat: Bahwa transaksi instant maupun berjangka terhadap kuitansi piutang dengan sistem bunga yang berbagai macam bentuknya tidaklah dibolehkan menurut syariat, karena semua itu adalah aktivitas jual beli yang didasari oleh riba yang diharamkan.

Kelima: Bahwa transaksi berjangka dengan segala ben-tuknya terhadap barang gelap, yakni saham-saham dan barang-barang yang tidak berada dalam kepemilikan penjual dengan cara yang berlaku dalam pasar bursa tidaklah dibolehkan menurut syariat, karena termasuk menjual barang yang tidak dimiliki, dengan dasar bahwa ia baru akan membelinya dan menyerah-kannya kemudian hari pada saat transaksi. Cara ini dilarang oleh syariat berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihiw wa sallam bahwa beliau bersabda,

"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki."[1]

Demikian juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang shahih dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang dimana barang itu dibeli, sehingga para saudagar itu mengangkutnya ke tempat-tempat mereka.[2]

Keenam: Transaksi berjangka dalam pasar bursa bukanlah jual beli as-Salm yang dibolehkan dalam syariat Islam, karena keduanya berbeda dalam dua hal:

a) Dalam bursa saham harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi. Namun ditangguhkan pembayarannya sampai pe-nutupan pasar bursa. Sementara dalam jual beli as-Salm harga barang harus dibayar terlebih dahulu dalam transaksi.

b) Dalam pasar bursa barang transaksi dijual beberapa kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya tidak lain hanyalah tetap memegang barang itu atau menjualnya dengan harga maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara sungguhan, secara spekulatif melihat untung rugi-nya. Persis seperti perjudian. Padahal dalam jual beli as-Salm tidak boleh menjual barang sebelum diterima.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, Lembaga Pengkajian Fiqih Islam berpandangan bahwa para pemerintah di berbagai negeri Islam berkewajiban untuk tidak membiarkan bursa-bursa tersebut melakukan aktivitas mereka sesuka hati dengan membuat berbagai transaksi dan jual beli di Negara-negara mereka, baiknya hukumnya mubah maupun haram. Mereka hendaknya juga tidak memberi peluang orang-orang yang mempermainkan harga se-hingga menggiring kepada bencana finansial dan merusak pere-konomian secara umum, dan pada akhirnya menimbulkan mala-petaka kepada kebanyakan orang. Karena kebaikan yang sesung-guhnya adalah dengan berpegang pada ajaran syariat Islam pada segala sesuatu. Allah berfirman:

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." [Al-An'am: 153]

Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Juru Penolong yang memberikan taufik, yang memberi petunjuk menuju jalan yang lurus. Semoga sha-lawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. At-Tirmidzi, Kitabul Buyu', An-Nasa-i, Kitabul Buyu', Abu Dawud, Kitabul Buyu'
[2]. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya V:191. Diriwayatkan oleh Abu Dawud

Asuransi Dan Hukumnya

 
MAKNA ASURANSI
Yang dimaksud dengan asuransi, ialah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin, atau memberi ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau terjadinya bahaya, dan dijelaskan dengan perjanjian. Pemberian itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan nasabah kepada perusahaan asuransi.

Dari penjelasan ini, dapat diketahui secara jelas bahwa dalam perjanjian asuransi itu terdapat tiga unsur yang melingkupinya, yaitu: (1) bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan perusahaan asuransi, (2) bahaya atau musibah yang terjadi, (3) angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.

SEJARAH ASURANSI
Asuransi yang pertama kali muncul ialah dalam bentuk asuransi perjalanan laut, yaitu pada abad 14 Masehi. Namun sebenarnya, asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi. Praktek asuransi waktu itu, seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar. Jika kapal itu hancur, maka pinjaman tersebut hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.

Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi. Di dalamnya merupakan perjanjian yang bersifat riba, mengandung unsur perjudian dan bahaya. Dan hingga pada saat ini, asuransi tetap memiliki unsur-unsur sebagaimana saat muncul pertama kali.

Kemudian, pada abad 17 Masehi muncul asuransi di daratan, yaitu di kalangan bangsa Inggris. Pertama kali, muncul dalam bentuk asuransi kebakaran. Kemunculannya setelah terjadi kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Kerugian yang diderita pada waktu itu, tidak kurang dari 13 ribu rumah, dan sekitar 100 gereja terbakar. Dari sini, asuransi kebakaran kemudian menyebar ke banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat, serta semakin bertambah jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.

JENIS-JENIS ASURANSI
Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi dapat dikategorikan dalam dua jenis.
Yaitu at-Ta'mîn at-Tijâri dan at-Ta'mîn at-Ta'âwuni.

Asuransi at-Ta'mîn at-Tijâri. Yaitu asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini, otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah, atau sesuai dengan yang disepakati.

Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun dan ini merupakan keuntungan bagi perusahaan asuransi.

Inilah asuransi yang hendak dibicarakan di sini. Dan ini terlarang, karena bersifat spekulasi yang merugikan salah satu pihak.

Asuransi at-Ta'mîn at-Ta'âwuni, dan disebut juga dengan at-Ta'mîn at-Tabâduli, atau at-Ta'mîn al-Islami. Yaitu asuransi gotong-royong, atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Asuransi ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanya bersifat tolong-menolong dalam menanggung kesusahan.

Contohnya, sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang. Dengan uang ini, mereka membantu orang yang terkena musibah.

Perusahaan asuransi Islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.

Selain dua jenis asuransi di atas, masih ada jenis asuransi lainnya, yaitu at-Ta'mîn al-Ijtima'i (jaminan keamanan sosial).

Asuransi at-Ta'mîn al-Ijtima'i ini, juga tidak mencari keuntungan dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir terjadinya musibah tertentu. Asuransi at-Ta'mîn al-Ijtima'i ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara atau suatu pemerintahan untuk para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun (di Indonesia dikenal dengan istilah Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau Taspen, Red.).

Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dalam prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, maka uang (pemotongan gaji) tersebut diberikan kembali dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Dan jenis ini, sebenarnya tidak termasuk dalam kategori asuransi. Namun hal ini tidak mengapa, asalkan tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.

MACAM-MACAM ASURANSI TIJÂRI
At-Ta'mîn at-Tijâri, sebagai asuransi yang bertujuan mencari keuntungan ini sangat banyak macamnya. Antara lain sebagaimana berikut.

Pertama. Asuransi Kecelakaan.
Asuransi jenis ini berkenaan dengan harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian, asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga diberlakukan untuk pertanggungan terhadap nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.

Kedua. Asuransi Pribadi.
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, berkaitan dengan kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Asuransi ini meliputi asuransi jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan (jasmani).

Asuransi jiwa, yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ketiga, ketika nasabah (atau orang ketiga) itu meninggal dunia, ataupun pemberiaan dalam keadaan nasabah (atau orang ketiga) itu masih hidup sampai umur tertentu. Pemberian perusahaan asuransi ini sebagai ganti dari angsuran-angsuran yang telah disetorkan oleh nasabah terdahulu.

Asuransi jiwa ini dapat digolongkan dalam beberapa macam.

1. Asuransi Kematian.
Yaitu pemberian sejumlah uang pada saat kematian nasabah, dan meliputi tiga macam.

a. Asuransi Selama Hidup.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah).
Jika asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu meninggal sebelum masa 20 tahun, maka angsurannya (setorannya) gugur, dan orang yang diasuransikan tersebut berhak mendapatkan sejumlah uang asuransi secara penuh. Ini berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah masih hidup melewati masa 20 tahun, maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidak diberikan kepada orang yang diasuransikan, kecuali setelah kematian nasabah.

b. Asuransi Berjangka Waktu Tertentu.
Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan perusahaan akan membayar sejumlah uang asuransi untuk orang yang diansuransikan jika nasabah meninggal dalam jangka waktu (masa) asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jangka waktu asuransi, maka angsuran yang telah ia bayarkan hilang, dan perusahaan asuransi mengambil uang tersebut dengan tanpa imbalan apapun. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.

c. Asuransi Selama Hidupnya Orang Yang Diasuransikan.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan, jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika orang yang diasuransikan meninggal sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah), maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

2. Asuransi Untuk Keadaan Tetap Hidup.
Yaitu tetap hidupnya nasabah. Asuransi ini kebalikan dari bentuk (1.a). Dalam asuransi ini, nasabah membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan akan membayarkan sejumlah uang tertentu juga –yang lebih banyak- pada waktu yang ditentukan, jika nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah meninggal sebelum waktu yang ditetapkan dalam perjanjian asuransi, maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Begitu pula ahli waris nasabah tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

3. Asuransi Yang Memiliki Unsur Kombinasi.
Yaitu penggabungan dua jenis asuransi di atas. Perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah meninggal pada selang waktu tertentu, atau membayarkan kepada nasabah jika ia masih hidup setelah selesainya waktu asuransi. Oleh karena itu, angsuran asuransi jenis ini lebih besar (nominalnya) dari dua jenis asuransi yang disebutkan sebelumnya (1 dan 2).

Adapun asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan, yaitu perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang (klaim) kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah tertimpa musibah yang berkaitan dengan badannya selama masa asuransi. Atau diberikan kepada orang tertentu, jika nasabah yang mengikuti asuransi itu meninggal.

Termasuk dalam jenis ini, yaitu asuransi kesehatan. Dan terkadang asuransi kesehatan mencakup seluruh jenis penyakit, atau penyakit tertentu, atau tindakan operasi penyakit, atau sebagian penyakit. Dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang diasuransikan, dan yang tercatat itulah yang mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan.

HUKUM ASURANSI TIJÂRI
Asuransi tijâri (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya, hukumnya haram, karena beberapa sebab:

1. Perjanjian Asuransi Tijâri Merupakan Perjanjian Penggantian Harta Yang Mengandung Ketidakpastian, Dan Mengandung Bahaya Yang Sangat Besar.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar" [HR. Muslim, no. 1513]

Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan ''aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan''. Atau ''aku menjual tanah ini mulai sini, sampai jarak kerikil yang aku lemparkan''. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.

Sedangkan jual beli gharar, yaitu jual beli yang mengandung ketidakjelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim, karya Imam an-Nawâwi).

2. Asuransi Tijâri Termasuk Dalam Kategori Jenis Perjudian.
Karena pada asuransi itu terdapat bahaya kerugian dalam pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan, atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi, terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan (musibah), sehingga perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan sama sekali, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan dari angsuran-angsuran nasabah asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian, asuransi termasuk dalam larangan perjudian, sebagaimana disebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" [Al-Maidah/5: 90]

3. Perjanjian Asuransi Tijâri Mengandung Riba.
Karena keuntungan yang didapatkan perusahaan asuransi itu tanpa imbalan. Sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan riba di dalam Islam sangat keras larangannya.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" [al-Baqarah/2:278-279]

4. Asuransi Tijâri Merupakan Perlombaan Yang Hukumnya Haram, Karena Mengandung Ketidakjelasan, Bahaya Kerugian, Dan Perjudian.
Demikianlah, bahwa syariat Islam tidak memperbolehkan perlombaan yang pemenangnya mengambil harta, kecuali yang padanya terdapat pembelaan dan kemenangan terhadap Islam, untuk meninggikan Islam dengan hujjah, atau dengan senjata. Dan Nabi n telah membatasi dengan tiga macam perlombaan, yang pemenangnya dibolehkan mengambil upah (hadiah).

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

"Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak panah" [HR Abu Dawud, no. 2574; at-Tirmidzi, no. 1700]

Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan, kecuali pada salah satu dari tiga perkara di atas. Karena ketiganya –dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan dorongan kepada jihad. [Lihat Tuhfatul-Ahawadzi].

5. Perjanjian Asuransi Tijâri, Mengandung Unsur Mengambil Harta Orang Lain Dengan Tanpa Imbalan.
Perbuatan seperti ini merupakan kebatilan. Sebab Allah Ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu". [an-Nisa'/4: 29]

6. Perjanjian Asuransi Tijâri Mewajibkan Sesuatu Yang Tidak Diwajibkan Oleh Syariat.
Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan nasabah untuk memberi jaminan pertangungan atas bahaya yang menimpa nasabah dengan imbalan setoran angsuran nasabah.

Berdasarkan keterangan ini, maka banyak fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi tijâri dengan segala jenisnya. Begitu pula dari penjelasan ini nampak, bahwa asuransi yang saat ini banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan, termasuk perkara yang dilarang syariat. Adapun asuransi yang dibolehkan, yaitu asuransi at-Ta'mîn at-Ta'âwuni. Asuransi yang bertujuan untuk gotong royong, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Wallahu a'lam.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Makalah ini ditulis oleh Ustadz Muslim al-Atsari bersumber dari kitab Mausûah al-Qadhâyâ al-Fiqhiyyah al-Mu'âshirah wal-Iqtishâd al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad as-Sâlûs, Penerbit Dar ats-Tsaqafah Qathar, halaman 363-395. Beliau merupakan pengajar bidang fiqh dan ushûl di Kuliyah Syari'at Universitas Qathar. Penulisan makalah ini, juga dengan mengambil beberapa tambahan dari rujukan lain.

Perbedaan Antara Asuransi Ta'awun Dan Asuransi Konvensional

 
ASURANSI SECARA UMUM
Kata asuransi, dalam bahasa Inggris disebut insurance, dan dalam bahasa Perancis disebut assurance. Adapun dalam bahasa Arab, disebut at-Ta'min.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata asuransi dijelaskan dengan pertanggungan. Yaitu perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang milikinya, sesuai dengan perjanjian yang dibuat.[1]

Penjelasan ini, sepadan juga dengan yang telah didefinisikan dalam Perundang-Undangan Negara Indonesia, sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[2]

Sedangkan sebagian ulama syariat dan ahli fikih memberikan definisi beragam. di antaranya sebagai berikut.

1. Asuransi, ialah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi) pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan. [3]

2. Asuransi, ialah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal itu diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (perusahaan asuransi).[4]

3. Asuransi, ialah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya.[5]

Dari ragam definisi di atas, maka dalam asuransi dapat disimpulkan adanya kata sepakat beberapa hal berikut ini:
1. Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu`ammin) dan tertanggung (al-Mu`ammin lahu).
2. Obyek yang dituju oleh asuransi.
3. Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (perusahaan asuransi) sejumlah uang, baik secara cash maupun dengan angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
4. Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya.

Demikian asuransi yang umumnya berlaku, dan dikenal dengan asuransi konvensional (at-Ta'min at-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Larangan ini juga menjadi ketetapan Majlis Hai`ah Kibar 'Ulama (Majlis Ulama Besar, Saudi Arabia) no. 55, tanggal 4/4/1397 H, dan ketetapan no. 9 Majlis Majma' al-Fiqh dibawah Munazhamah al-Mu'tamar al-Islami (OKI) [6]. Juga diharamkan dalam keputusan al-Mu'tamar al-'Alami al-Awal lil-Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396 H [7]. Kemudian, para ulama memberikan solusi dalam masalah asuransi ini. Yaitu dengan merumuskan satu jenis asuransi syariat yang didasarkan kepada akad tabarru'at [8], yang dinamakan at-Ta'min at-Ta'awuni (asuransi ta'awun) atau at-Ta'mien at-Tabaaduli.

PENGERTIAN ASURANSI TA'AWUN ATAU AT-TA'MIEN AT-TA'AWUNI
Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta'mien at-Ta'awuni sebagai berikut.

1. Asuransi ta'awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian di antara mereka.

Apabila premi yang terkumpul tidak mencukupi untuk biaya pertanggungan, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Sebaliknya, apabila terdapat kelebihan dari yang dikeluarkan untuk pertanggungan, maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap anggota asuransi ini sebagai penanggung dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya.

Gambaran secara jelas jenis asuransi ini, yaitu seperti halnya bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan, akan tetapi hanya untuk mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya di antara mereka. Mereka membaginya sesuai tata cara yang telah dijelaskan dan disepakati.[9]

2. Asuransi ta'awun, ialah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari anggotanya dengan cara mengumpulkan sejumlah uang, untuk kemudian menunaikan ganti rugi (pertanggungan) ketika terjadi resiko bahaya, sebagaimana yang sudah ditetapkan.[10]

3. Asuransi ta'awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana), yang mereka danai dengan angsuran tertentu yang dibayarkan dari setiap anggotanya. Masing-masing anggota mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu (sebagai gantinya, pertanggungan) apabila tertimpa kerugian (bahaya, resiko) tertentu.

4. Asuransi ta'awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung resiko bahaya serupa, dan masing-masing memiliki bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena bahaya (resiko).

Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi (pertanggungan), maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Dan apabila terjadi kekurangan, maka para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau ganti rugi yang seharusnya dikurangi sesuai ketidakmampuan tersebut.

Anggota asuransi ta'awun ini tidak bertujuan untuk menggali keuntungan, namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian anggotanya.[11]

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi ta'awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu, dan itu diambil dari iuran, yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru' yang bertujuan saling membantu, dan bukan bertujuan untuk perniagaan ataupun mencari keuntungan. Sebagaimana juga bahwa akad ini tidak mengandung riba, tidak bersifat spekulasi, gharar dan perjudian.

Gambaran secara mudah, misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq, lalu mereka menyerahkan sejumlah uang, yang nantinya, dari sejumlah uang yang terkumpul itu digunakan untuk ganti rugi (sebagai pertanggungan) kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya, resiko).

Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka menambahkan iuran menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah ditunaikan ganti rugi (pertanggungan) tersebut, maka dikembalikan lagi kepada masing-masing anggotanya, atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang.

Hal ini, mungkin dapat diperluas menjadi sebuah lembaga atau yayasan dengan memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut, serta mengeluarkannya. Lembaga ini, juga boleh memiliki pengelola yang membuat rencana kerja dan pengaturannya. Semua pekerja, petugas, dan berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu, atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus berdasarkan bukan untuk mencari keuntungan (bisnis), dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta'awun (saling tolong-menolong).[12]

Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta'awun sebagai berikut:

1. Tujuan asuransi ta'awun, ialah murni takaful dan ta'awun (saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
2. Akad asuransi ta'awun adalah akad tabarru'. Sebagaimana nampak dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), jika dana yang tersedia kurang, maka mereka menambah. Dan bila lebih, mereka pun memiliki hak untuk meminta kembali sisanya.
3. Landasan pemikiran asuransi ta'awun, ialah berdasarkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang. Setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut di antara mereka. Sehingga seseorang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya di antara mereka.
4. Pada umumnya, asuransi ta'awun berkembang pada kelompok yang mempunyai ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
5. Pemberian ganti rugi (pertanggungan) atas resiko bahaya yang diambil dari shunduq (simpanan) asuransi yang ada, jika tidak mencukupi maka adakalanya meminta tambahan dari anggota, atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.[13]

PERBEDAAN ANTARA ASURANSI TA'AWUN DAN ASURANSI KONVENSIONAL[14]
Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta'awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:

1. Asuransi ta'awun termasuk akad tabarru yang tujuannya murni takaful dan ta'awun (saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru).
Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang memiliki maksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-mu'awwadhah al-ihtimaliyah (bisnis oriented dan bersifat spekulatif).

2. Pemberian ganti rugi atas (pertanggungan) resiko bahaya dalam asuransi ta'awun, diambil dari jumlah premi yang ada di dalam shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi, maka adakalanya meminta tambahan dari anggotanya, atau mencukupkan hanya dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya.

Adapun dalam asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu, tujuan akadnya ialah mencari keuntungan, namun keuntungannya tidak bisa untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut memperoleh keuntungan, maka nasabah (tertanggung) merugi. Begitu pula sebaliknya, bila nasabah (tertanggung) memperoleh keuntungan, maka perusahaan (pihak penanggung) itulah yang merugi. Yang demikian ini termasuk dalam kategori memakan harta dengan cara batil, karena keuntungan yang diperoleh oleh salah satu pihak berada di atas kerugian pihak lainnya.

3. Dalam asuransi ta'awun, seluruh nasabah tolong-menolong menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan, dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan dana yang tersedia, dan juga dari peran para anggotanya.

Adapun menurut asuransi konvensional, bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti rugi (pertanggungan) kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran (jumlah) yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya.

4. Asuransi ta'awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim, maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan dalam perusahaan asuransi konvensional, sisa tersebut menjadi milik perusahaan asuransi (penanggung).

5. Penanggung (al-Mu`ammin) dalam asuransi ta'awun adalah tertanggung (al-Mu`ammin lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu`ammin) adalah pihak luar.

6. Dalam asuransi ta'awun, premi yang dibayarkan tertanggung digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuan asuransi ta'awun bukan untuk mencari keuntungan, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinol perusahaan asuransi saja.

Sedangkan dalam asuransi konvensional, premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan mendapatkan keuntungan. Karena tujuan dari usaha asuransi ini untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.

7. Asuransi ta'awun terbebas dari riba, spekulasi, dan perjudian serta gharar yang terlarang.

Adapun asuransi konvensional, usaha yang dilakukannya tidak lepas dari hal-hal tersebut.

8. Dalam asuransi ta'awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta'awun memiliki asas-asas berikut.
(a). Pengelola perusahaan asuransi ta'awun melaksanakan managemen operasional asuransi, berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya. Dari pengelolaannya itu, ia mendapatkan gaji tertentu secara jelas. Karena, mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah gajinya tersebut.

(b). Pengelola perusahaan diijinkan untuk membentuk perusahaan, dan juga memiliki kewenangan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan, mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi itu sebagai mudhârib (pengelola pengembangan modal dengan mudhârabah).

(c). Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama, dalam hal pengembangan modal perusahaan asuransi. Kedua, perhitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi yang murni menjadi milik nasabah (pembayar premi).

(d). Pengelola perusahaan bertanggung jawab sebagai mudhârib dalam pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudharabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan gaji pengelolaan yang menjadi haknya.[15]

Adapun menurut asuransi konvesional, hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam hal pengelolaan harta nasabah, bahwa semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.

9. Nasabah dalam perusahaan asuransi ta'awun dianggap sebagai anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan dari usaha pengembangan modal mereka.

Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap sebagai syarikat, sehingga sama sekali tidak berhak memperoleh keuntungan pengembangan modal mereka, dan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.

10. Perusahaan asuransi ta'awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan.

Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.

Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan asuransi ta'awun ini.
Wabillahit-taufiq.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Cetakan Balai Pustaka, 2005, hlm. 73. Lihat juga Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S. Purwodarminto, Balai Pustaka, Cetakan ke-8, Tahun 1984, hlm. 63.
[2]. Lihat Undang-Undang No. 2, Tahun 1992, tentang usaha perasuransian.
[3]. Lihat tulisan Ustadz Muslim, dalam Rubrik Mabhats, XXX, edisi ini, halaman …
[4]. Abhats Hai'at Kibar Ulama, al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ` (4/36).
[5]. At-Ta'mîn wa Ahkamuhu, oleh al-Tsanayân (hlm. 40). Dinukil dari kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdillah al-'Imrâni, hlm. 288.
[6]. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu'amalat, hlm. 255.
[7]. Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta'shiliyah Tathbiqiyat (3/267).
[8]. Akad tabarru`, adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan (profit). Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9]. Abhats Hai'at Kibar Ulama, oleh al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ`. Saudi Arabiya, 4/38.
[10]. Nidzam at-Ta'mîn, Musthafa al-Zarqa`, hlm. 42. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 289.
[11]. Al-Gharar wa Atsaruhu fil-'Uqûd, Dr. Adh-Dharîr, Mathbu'ât Majmu'ah Dalah al-Barakah, Cetakan Kedua, hlm. 638. Dinukil dari makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du'aijî berjudul Ru'yat Syar'iyah fî Syarikat at-Ta'mîn at-Ta'âwuniyah, hlm. 2. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
[12]. Lihat pembahasannya dalam al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 291-311.
[13]. Kelima karekteristik ini dapat dilihat dalam kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 290-291
[14]. Lihat makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du'aijî berjudul Ru'yat Syar'iyah fî Syarikat at-Ta'mîn at-Ta'âwuniyah (hlm 2-3), al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat (hlm. 290-291), dan al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu'amalat (hlm. 255-256).
[15]. Keputusan Nadwah al-Barkah ke-12 dalam sebuah forum simposium untuk ekonomi Islam. Lihat Qararat wa Taushiyat Nadwah al-Barkah lil-Iqtishad al-Islami, Tahun 1422H, hlm. 212.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...