Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah penyebab
penyimpangan dan larinya kebanyakan generasi muda dari nilai-nilai agama
?
Jawaban
Penyimpangan dan larinya kebanyakan generasi muda dari segala yang
berkaitan dengan nilai-nilai agama seperti yang anda sebutkan disebabkan
banyak hal : Yang paling prinsip adalah kurangnya ilmu dan bodohnya
mereka terhadap hakekat Islam dan keindahannya, tidak ada perhatian
terhadap Al-Qur’an Al-Karim, kurangnya pendidik yang memiliki ilmu dan
kemampuan untuk menjelaskan hakekat Islam kepada generasi muda,
menjelaskan segala tujuan dan kebaikannya secara terperinci yang bakal
didapatkan di dunia dan akhirat.
Ada beberapa penyebab yang lain, seperti lingkungan, radio dan telepon,
rekreasi keluar negeri, dan bergabung dengan kaum pendatang yang
memiliki aqidah yang batil, akhlak yang menyimpang, dan kebodohan yang
berlipat ganda, hingga faktor-faktor lainnya yang menyebabkan mereka
lari dari Islam dan mendorong mereka dalam pengingkaran dan ibahiyah
(permisivisme). Pada posisi ini, banyak generasi muda yang bergabung,
hati mereka kosong dari ilmu-ilmu yang bermanfaat dan aqidah-aqidah yang
benar, datangnya keraguan, syubhat, propaganda-propaganda menyesatkan
dan syahwat-syahwat yang menggiurkan. Akibat dari semua ini adalah yang
telah kamu sebutkan dalam pertanyaan berupa penyimpangan dan larinya
kebanyakan pemuda dari segala hal yang mengandung nilai-nilai Islam.
Alangkah indahnya ungkapan dalam pengertian ini.
“Hawa nafsu datang kepadaku, sebelum aku mengenalnya. Maka ia mendapatkan hati yang kosong, lalu menetap (di dalamnya)”
Dan yang lebih mantap’ lebih benar dan lebih indah dari ungkapan itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Terangkan kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara
atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar
atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” [Al-Furqan
: 43-44]
Menurut keyakinan saya, pengobatannya bervariasi menurut jenis
penyakitnya, yang terpenting adalah memberikan perhatian terhadap
Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyah, ditambah lagi adanya
guru, direktur, pengawas dan metode yang shalih, melakukan reformasi
terhadap berbagai sarana informasi di Negara-negara Islam, dan
membersihkan dari ajakan kepada ibahiyah, akhlak yang tidak Islami,
berbagai macam pengingkaran dan kerusakan yang ada padanya, apabila para
pelaksananya adalah orang-orang yang jujur dalam dakwah Islam, dan
memiliki keinginan dalam mengarahkan rakyat dan generasi muda kepadanya.
Di antaranya adalah memprioritaskan perbaikan lingkungan dan
membersihkannya dari berbagai wabah yang ada padanya.
Termasuk pengobatan juga adalah larangan melancong ke luar negeri
kecuali karena terpaksa. Dan perhatian terhadap organisasi-organisai
Islam yang bersih, serta terarah lewat perantara berbagai sarana
informasi, para guru, da’i dan para khatib. Aku memohon kepada Allah
agar memberikan nikmat atas hal itu, membimbing para pemimpin umat
Islam, memberikan taufiq kepada mereka untuk memahami dan berpegang
dengan agama, dan melawan sesuatu yang menyalahi dengan jujur, ikhlas,
usaha yang berkesinambungan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar serta
Dekat.
Berbuat Zina Di Luar Negeri Apakah Menjadi Penyebab Istri Dicerai
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sering kita mendengar banyak diantara pemuda yang telah menikah pergi ke luar negeri dan melakukan perbuatan zina di sana. Apakah istri-istri mereka tereceraikan ?
Jawaban
Istri-istri tidak terceraikan akibat suami mereka berbuat zina, tetapi para suami harus berhati-hati dalam bepergian dan hendaknya menghindar dari segala macam perbuatan yang mengarah kepada perzinaan serta selalu bertakwa kepada Allah dalam menjaga kemaluannya dari segala yang diharamkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [Al-Isra : 32]
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Furqan : 68-70]
Dua ayat diatas menunjukkan haramnya mendekati zina dan mendekati apa saja yang menjadi penyebab zina. Ayat kedua menunjukkan bahwa akan dilipatgandakan siksaan bagi orang yang menyekutukan Allah, membunuh secara tidak benar dan berzina. Dan ayat ini menunjukan bahwa zina adalah dosa besar yang pelakunya kekal di dalam Neraka. Akan tetapi menurut akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah jika penzina dan pembunuh tidak meyakini halalnya perbuatan tersebut, maka kekelannya ada batasnya. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Tidaklah penzina berbuat zina sementara ia beriman, dan tidaklah pencuri mencuri sementara ia beriman dan tidaklah peminum meminum khamr sementara ia beriman” [Muttafaq ‘Alaih]
Hadits diatas meniadakan iman pencuri dan penzina serta pemabuk pada saat mereka melakkan perbuatannya, artinya adalah peniadaan kesempurnaan iman mereka.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sering kita mendengar banyak diantara pemuda yang telah menikah pergi ke luar negeri dan melakukan perbuatan zina di sana. Apakah istri-istri mereka tereceraikan ?
Jawaban
Istri-istri tidak terceraikan akibat suami mereka berbuat zina, tetapi para suami harus berhati-hati dalam bepergian dan hendaknya menghindar dari segala macam perbuatan yang mengarah kepada perzinaan serta selalu bertakwa kepada Allah dalam menjaga kemaluannya dari segala yang diharamkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [Al-Isra : 32]
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Furqan : 68-70]
Dua ayat diatas menunjukkan haramnya mendekati zina dan mendekati apa saja yang menjadi penyebab zina. Ayat kedua menunjukkan bahwa akan dilipatgandakan siksaan bagi orang yang menyekutukan Allah, membunuh secara tidak benar dan berzina. Dan ayat ini menunjukan bahwa zina adalah dosa besar yang pelakunya kekal di dalam Neraka. Akan tetapi menurut akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah jika penzina dan pembunuh tidak meyakini halalnya perbuatan tersebut, maka kekelannya ada batasnya. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Tidaklah penzina berbuat zina sementara ia beriman, dan tidaklah pencuri mencuri sementara ia beriman dan tidaklah peminum meminum khamr sementara ia beriman” [Muttafaq ‘Alaih]
Hadits diatas meniadakan iman pencuri dan penzina serta pemabuk pada saat mereka melakkan perbuatannya, artinya adalah peniadaan kesempurnaan iman mereka.
Menyampaikan Kebaikan Dan Melaksanakan Amanat
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian karyawan dan pekerja tidak memberikan porsi yang cukup pada pekerjaan mereka. Di antara mereka ada yang sudah setahun bahkan lebih, tidak pernah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta sering terlambat bekerja dengan mengatakan, "Saya telah diizinkan oleh atasan, jadi tidak apa-apa." Untuk orang yang semacam itu, apakah ia berdosa selama ia masih tetap begitu? Kami mohon fatwanya. Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.
Jawaban
Pertama, yang disyari'atkan atas setiap muslim dan muslimah adalah menyampaikan apa-apa yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala mendengar kebaikan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
"Artinya : Allah mengelokkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu disampaikannya sebagaimana yang ia dengar."[1]
Dalam sabdanya yang lain disebutkan,
"Artinya : Sampaikanlah apa yang berasal dariku ivalaupun hanya satu ayat."[2]
Apabila beliau menasehati dan mengingatkan manusia, beliau selalu berpesan,
"Artinya : Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Sebab, banyak yang menyampaikan lebih sadar daripada yang hanya mendengar."[3]
Karena itu, saya wasiatkan kepada anda semua untuk menyampaikan kebaikan yang anda dengar berdasarkan ilmu dan kemantapan. Sebab, setiap yang mendengar suatu ilmu dan menguasainya, hendaknya menyampaikannya kepada keluarganya, saudara-saudaranya dan teman-temannya selama ia melihat adanya kebaikan dengan tetap memelihara kemurnian materinya dan tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak dikuasainya, sehingga dengan begitu ia termasuk orang-orang yang saling berwasiat dengan kebenaran dan termasuk orang-orang yang mengajak kepada kebaikan.
Kemudian tentang para karyawan yang tidak melaksanakan tugas mereka atau tidak saling menasehati dalam hal tersebut, anda semua telah mendengar, bahwa di antara karakter keimanan adalah melaksanakan amanat dan memeliharanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya " [An-Nisa': 58]
Amanat merupakan karakter keimanan yang paling utama, sementara khianat merupakan karakter kemunafikan, hal ini sebagaimana dinyatakan Allah saat menyebutkan sifat-sifat kaum mukminin,
"Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya." [Al-Mu'minun: 8, Al-Ma'arij: 32]
Kemudian dalam ayat lainnya disebutkan,
"Artinya : Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." [Al-Anfal : 27]
Karena itu, seorang karyawan wajib melaksanakan amanat dengan jujur dan ikhlas serta memelihara waktu dengan baik sehingga terbebas dari beban tanggung jawab, dan dengan begitu pencahariannya menjadi baik dan diridhai Allah. Di samping itu, berarti ia loyal terhadap negaranya dalam hal ini, atau terhadap perusahaan atau lembaga tempatnya bekerja. Itulah yang wajib atas seorang karyawan, yaitu hendaknya ia bertakwa kepada Allah dan melaksanakan amanat dengan sungguh-sungguh dan loyal, yang dengan begitu ia mengharapkan pahala dari Allah dan takut terhadap siksaNya. Hal ini sebagai pengamalan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yangberhak menerimanya." [An-Nisa' : 58]
Di antara karakter kaum munafikin adalah mengkhianati amanat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
"Artinya : Tanda orang-orang munafik ada tiga; Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila diberi amanat (dipercaya) ia berkhianat."[4]
Seorang muslim tidak boleh menyerupai orang munafik, bahkan harus menjauhi sifat-sifatnya, tetap memelihara amanat dan melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh serta memelihara waktu dengan baik sekalipun ada toleransi dari atasannya, dan walaupun tidak diperintahkan oleh atasannya. Hendaknya ia tidak mengabaikan tugas atau menyepelekannya, bahkan sebaliknya, ia bersungguh-sungguh sehingga lebih baik daripada atasannya dalam melaksanakan tugas dan loyalitasnya terhadap amanat, lalu menjadi teladan yang baik bagi karyawan lainnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Hadits Riwayat. At-Tirmidzi dalam Al-Ilm, Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah.
[2]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ahadits Al-Anbiya.
[3]. Hadits Riwayat AI-Bukhari dalam Al-'Ilm, Muslim dalam Al-Qasamah.
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam al-Iman, Muslim dalam al-Iman.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian karyawan dan pekerja tidak memberikan porsi yang cukup pada pekerjaan mereka. Di antara mereka ada yang sudah setahun bahkan lebih, tidak pernah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta sering terlambat bekerja dengan mengatakan, "Saya telah diizinkan oleh atasan, jadi tidak apa-apa." Untuk orang yang semacam itu, apakah ia berdosa selama ia masih tetap begitu? Kami mohon fatwanya. Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.
Jawaban
Pertama, yang disyari'atkan atas setiap muslim dan muslimah adalah menyampaikan apa-apa yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala mendengar kebaikan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
"Artinya : Allah mengelokkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu disampaikannya sebagaimana yang ia dengar."[1]
Dalam sabdanya yang lain disebutkan,
"Artinya : Sampaikanlah apa yang berasal dariku ivalaupun hanya satu ayat."[2]
Apabila beliau menasehati dan mengingatkan manusia, beliau selalu berpesan,
"Artinya : Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Sebab, banyak yang menyampaikan lebih sadar daripada yang hanya mendengar."[3]
Karena itu, saya wasiatkan kepada anda semua untuk menyampaikan kebaikan yang anda dengar berdasarkan ilmu dan kemantapan. Sebab, setiap yang mendengar suatu ilmu dan menguasainya, hendaknya menyampaikannya kepada keluarganya, saudara-saudaranya dan teman-temannya selama ia melihat adanya kebaikan dengan tetap memelihara kemurnian materinya dan tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak dikuasainya, sehingga dengan begitu ia termasuk orang-orang yang saling berwasiat dengan kebenaran dan termasuk orang-orang yang mengajak kepada kebaikan.
Kemudian tentang para karyawan yang tidak melaksanakan tugas mereka atau tidak saling menasehati dalam hal tersebut, anda semua telah mendengar, bahwa di antara karakter keimanan adalah melaksanakan amanat dan memeliharanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya " [An-Nisa': 58]
Amanat merupakan karakter keimanan yang paling utama, sementara khianat merupakan karakter kemunafikan, hal ini sebagaimana dinyatakan Allah saat menyebutkan sifat-sifat kaum mukminin,
"Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya." [Al-Mu'minun: 8, Al-Ma'arij: 32]
Kemudian dalam ayat lainnya disebutkan,
"Artinya : Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." [Al-Anfal : 27]
Karena itu, seorang karyawan wajib melaksanakan amanat dengan jujur dan ikhlas serta memelihara waktu dengan baik sehingga terbebas dari beban tanggung jawab, dan dengan begitu pencahariannya menjadi baik dan diridhai Allah. Di samping itu, berarti ia loyal terhadap negaranya dalam hal ini, atau terhadap perusahaan atau lembaga tempatnya bekerja. Itulah yang wajib atas seorang karyawan, yaitu hendaknya ia bertakwa kepada Allah dan melaksanakan amanat dengan sungguh-sungguh dan loyal, yang dengan begitu ia mengharapkan pahala dari Allah dan takut terhadap siksaNya. Hal ini sebagai pengamalan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yangberhak menerimanya." [An-Nisa' : 58]
Di antara karakter kaum munafikin adalah mengkhianati amanat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
"Artinya : Tanda orang-orang munafik ada tiga; Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila diberi amanat (dipercaya) ia berkhianat."[4]
Seorang muslim tidak boleh menyerupai orang munafik, bahkan harus menjauhi sifat-sifatnya, tetap memelihara amanat dan melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh serta memelihara waktu dengan baik sekalipun ada toleransi dari atasannya, dan walaupun tidak diperintahkan oleh atasannya. Hendaknya ia tidak mengabaikan tugas atau menyepelekannya, bahkan sebaliknya, ia bersungguh-sungguh sehingga lebih baik daripada atasannya dalam melaksanakan tugas dan loyalitasnya terhadap amanat, lalu menjadi teladan yang baik bagi karyawan lainnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Hadits Riwayat. At-Tirmidzi dalam Al-Ilm, Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah.
[2]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ahadits Al-Anbiya.
[3]. Hadits Riwayat AI-Bukhari dalam Al-'Ilm, Muslim dalam Al-Qasamah.
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam al-Iman, Muslim dalam al-Iman.
Menjauhi, Mengajak Ajaran Salah
Sepintas, prinsip pertama ajaran Jama’ah Tabligh –atau dikenal juga
Jama’ah Khuruj atau Jama’ah Jaulah- tampak seperti ajaran tauhid. Betapa
tidak, sebab mereka mencantumkan judul prinsip tersebut dengan bunyi
kalimat thayyibah. Tidak ada lain makna kalimat thayyibah tersebut,
kecuali kalimat tauhid. Yaitu kalimat laa ilaaha illallah.
Dan memang benar, yang mereka memaksudkannya sebagai kalimah tauhid, kalimat laa ilaaha illallah. Namun benarkah ajaran tauhid Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mereka maksudkan?
Terlebih jika melihat lima prinsip berikutnya, maka seolah-olah akan terasa betapa bagus prinsip ajaran jama’ah Tabligh ini. Di sana ada prinsip shalat lima waktu, ada prinsip ilmu dan dzikir, ada prinsip memuliakan tamu, ada prinsip ikhlas dalam berniat dan ada prinsip bertabligh (menyampaikan dakwah) secara bersama-sama dengan cara khuruj (keluar untuk berdakwah).
Syubhat penyimpangan yang terbungkus dalam kalimat-kalimat yang indah ini sebenarnya juga terlihat pada semua prinsip ajaran ahli bid’ah.
Bukankah lima prinsip ajaran Mu’tazilah –misalnya- juga terlihat seperti benar dan indah?
Lima prinsip ajaran mu’tazilah terdiri dari:
1. Tauhid. (Ternyata maksudnya adalah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala )
2. Adil (ternyata maksudnya adalah mengingkari takdir Allah)
3. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (satu keadaan di antara dua keadaan, maksudnya, pelaku dosa besar tidak mukmin, tetapi tidak kafir)
4. Berlangsungnya ancaman Allah. (Maksudnya pelaku dosa besar pasti disiksa di dalam neraka dan kekal di dalamnya)
5. Amar ma’ruf nahi mungkar. (Ternyata maksudnya, bolehnya melakukan pembangkangan/pemberontakan kepada penguasa muslim yang sah, hanya karena penguasa tersebut dianggap telah melakukan kezaliman).
Tanpa memahami maksud-maksud yang dikandung dalam prinsip-prinsip tersebut, orang akan tertipu dengan keindahan bahasanya.
Begitulah umumnya prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh setiap ahli bid’ah, termasuk jama’ah Jaulah. Bahasa luarnya indah dan seakan menawarkan kebenaran. Namun disebaliknya menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan.
Bagaimana dengan prinsip Kalimat Thayyibah dalam jama’ah Jaulah?
Dalam salah satu buku pegangan utama mereka, Fadha’il al-A’mal karya Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi yang di Indonesiakan menjadi ‘Himpunan Fadhilah Amal’, Bab II tentang ‘Kalimat Thayyibah’, dapat dibongkar rahasianya.
Ternyata uraian Kalimat Thayyibah yang dikemukakan secara panjang lebar hingga tiga pasal, hanya menerangkan tentang kalimat Laa Ilaaha Illallah menurut versi ajaran sufi. Tidak ditemukan sedikitpun ungkapan yang menjelaskan hakikat sebenarnya dari makna kalimat Thayyibah tersebut.
Yang ditemukan adalah prinsip ajaran kesufian mereka, yaitu ajakan dan dorongan untuk berdzikir secara lisan saja, mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah.
Tidak ditemukan uraian sedikitpun tentang bagaimana pengamalan sesungguhnya terhadap kalimat Laa ilaaha Illallah melainkan ajakan untuk tidak mencuri, berzina dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Tanpa menyentuh sedikitpun persoalan yang justeru sangat pokok. Yaitu keharusan menyingkiri thaghut dan mengingkari serta menjauhi penyembahan terhadap kuburan-kuburan, yang di India, Pakistan dan Indonesia banyak sekali dilakukan oleh sebagian besar kaum Muslimin. Kalaupun di sana disebutkan keharusan untuk bertauhid dan meningalkan syirik serta harus ikhlas beramal, penyebutan itu sangat global.
Padahal kalimat tauhid tersebut mengandung dua konsekuensi besar, pertama menghamba hanya kepada Allah saja. Kedua, menolak dan mengingkari segala bentuk peribadatan kepada thaghut, termasuk di dalamnya penyembahan terhadap kuburan para wali. Dua konsekuensi tauhid ini mewujud secara nyata dalam kata-kata, sikap dan perbuatan sehari-hari. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-Baqarah: 256]
Pada kenyataannya memang mereka tidak peduli dengan prinsip tauhid yang benar ini.
Syaikh Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri, dengan menukil perkataan Ustadz Saifur Rahman ad-Dahlawi, bahkan menegaskan bahwa jama’ah Tabligh menyelewengkan semua nash al-Qur’an dan Sunnah yang memerintahkan supaya mengingkari thaghut….Disebutkan bahwa di antara prinsip mereka adalah sangat menjauhi bahkan melarang secara kasar orang yang menyatakan pengingkaran terhadap thaghut dan pengingkaran terhadap kemungkaran. Alasan mereka, karena hal itu akan melahirkan penentangan dan tidak membawa kebaikan. [Lihat al-Qaul al-Baligh fi at-Tahdzir min Jama’ati at-Tabligh, Daar ash-Shumai’i. Hal. 154]
Dalam Kitab Fadhail al-A’mal justeru disebutkan tafsir sufi ketika mengetengahkan faidah dari hadits Abu Hurairah tentang orang yang paling berbahagia mendapat syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas dari dalam hatinya.
Penulis kitab Fadhail al-A’mal menjelaskan faidahnya, yaitu (hanya ditekankan pada) ¬pertama, orang yang dengan penuh keikhlasan telah masuk Islam dan sama sekali tidak memiliki amalan lain kecuali membaca kalimat thayyibah. Telah jelas bahwa ia akan beruntung karena memperoleh syafa’at di akhirat nanti…Kedua, orang-orang yang menjaga wirid mereka dengan penuh keikhlasan dan mereka beramal shalih. [Lihat Himpunan Fadhilah Al-Amal, hal. 457-458]
Bukankah itu adalah ajaran tarekat sesat?. Sama sekali tidak menyinggung bagaimana realisasi sebenarnya dari kalimat tauhid, yaitu memberikan segala macam peribadatan kepada Allah saja dan mengingkari penyembahan kepada selain Allah dengan cara apapun. Itulah sebabnya, di dalam tubuh jama’ah mereka terdapat kebebasan untuk memilih aqidah. Bisa Quburiyah, bisa Asy’ariyah, bisa mu’tazilah dan bisa yang lain-lainnya. Yang penting masing-masing anggauta bersedia melakukakan khuruj rutin dan memiliki loyalitas terhadap jama’ah. Tak peduli apa aqidahnya.
Sebenarnya bantahan terhadap prinsip-prinsip ajaran mereka sangat banyak. Namun kiranya cukuplah sekelumit bantahan terhadap prinsip pertama mereka saja. Sebab yang sekelumit itu sudah cukup membuka tabir rahasia kesalahan mereka yang mendasar. Jika dalam hal yang mendasar saja sudah salah, maka runtuhlah keseluruhan bangunan ajaran mereka. Termasuk ajaran khuruj yang merupakan manipulasi terhadap makna nash-nash al-Qur’an dan Sunnah serta amalan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Khuruj merupakan kegiatan pokok yang sebenarnya hanya di dasarkan pada mimpi khayali dari imam mereka saja. Lihat pada tulisan pada bagian lain.
Adapun yang berkaitan dengan syubhat yang mereka lancarkan berkenaan dengan fatwa Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang katanya merekomendasi gerakan mereka, maka Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali telah menjelaskan duduk perkaranya secara jelas dalam rangka membantah dan menghilangkan syubhat mereka. Ini bisa dilihat dalam kumpulan fatwa para Ulama yang beliau kumpulkan seputar jama’ah tabligh.
Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali menjelaskan, ketika Syaikh Bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memuji gerakan jama’ah tabligh, adalah lantaran ada seorang anggauta jama’ah tabligh yang bertanya kepada beliau sambil menceritakan hal-hal yang kelihatannya baik-baik saja tentang jama’ah ini, sehingga tentu beliau memujinya. Tetapi pada fatwa paling akhir dari beliau menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Intinya, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali orang yang berilmu dengan tujuan mengingkari kemungkaran mereka dan mengajari mereka jalan yang lurus. Jika untuk maksud mengikuti saja ajakan mereka maka tidak boleh. Sebab Jama’ah Tabligh yang berasal dari India ini memiliki beberapa khurafat, bid’ah dan kesyirikan.
Risalah Syaikh Rabi’ ini sudah di Indonesiakan dengan judul Fatwa Ulama seputar jama’ah tabligh. Diterbitkan oleh pustaka Al Haura’, Jogyakarta. Sayangnya risalah terjemahan ini ditutup dengan surat menyurat yang dilakukan antara Syaikh Sa’d al-Hushain dengan imam jama’ah Tabligh In’am al- Hasan, yang di akhiri dengan jawaban surat dari In’am al-Hasan, tanpa adanya kesimpulan yang jelas. Sehinga mengesankan seakan jawaban In’am al-Hasan tidak terbantahkan. Padahal yang dikemukakannya adalah gaya bahasa dengan jurus mengelak, supaya kebatilan jama’ah tabligh tertutupi. Karena itu harus waspada. Yang perlu dilihat adalah dalil serta kebenaran, dan bukan hawa nafsu pembelaan membabi buta.
Demikian secara ringkas, kaum Muslimin hendaknya jangan sampai terbawa pada segala gerakan yang tampak pada lahirnya membawa rahmat, namun yang pada sebaliknya menyimpan laknat, termasuk di antaranya adalah jama’ah Tabligh ini. Hidup ini hanyalah untuk menghamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengikuti jejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kaitannya dengan hidup bersama, kaum Muslimin harus menjaga keutuhan persatuan umat Islam berdasarkan prinsip ajaran yang yang haq, prinsip ajaran yang dijalankan oleh Ahlu Sunnah wal jama’ah. Hidup ini bukan untuk bertualang mengikuti jama’ah-jama’ah yang ujung-ujungnya menyimpang dari jalan kebenaran. Jama’ah-jama’ah yang justeru memecah belah umat. Wallahu Waloyyu at-Taufiq.
Dan memang benar, yang mereka memaksudkannya sebagai kalimah tauhid, kalimat laa ilaaha illallah. Namun benarkah ajaran tauhid Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mereka maksudkan?
Terlebih jika melihat lima prinsip berikutnya, maka seolah-olah akan terasa betapa bagus prinsip ajaran jama’ah Tabligh ini. Di sana ada prinsip shalat lima waktu, ada prinsip ilmu dan dzikir, ada prinsip memuliakan tamu, ada prinsip ikhlas dalam berniat dan ada prinsip bertabligh (menyampaikan dakwah) secara bersama-sama dengan cara khuruj (keluar untuk berdakwah).
Syubhat penyimpangan yang terbungkus dalam kalimat-kalimat yang indah ini sebenarnya juga terlihat pada semua prinsip ajaran ahli bid’ah.
Bukankah lima prinsip ajaran Mu’tazilah –misalnya- juga terlihat seperti benar dan indah?
Lima prinsip ajaran mu’tazilah terdiri dari:
1. Tauhid. (Ternyata maksudnya adalah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala )
2. Adil (ternyata maksudnya adalah mengingkari takdir Allah)
3. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (satu keadaan di antara dua keadaan, maksudnya, pelaku dosa besar tidak mukmin, tetapi tidak kafir)
4. Berlangsungnya ancaman Allah. (Maksudnya pelaku dosa besar pasti disiksa di dalam neraka dan kekal di dalamnya)
5. Amar ma’ruf nahi mungkar. (Ternyata maksudnya, bolehnya melakukan pembangkangan/pemberontakan kepada penguasa muslim yang sah, hanya karena penguasa tersebut dianggap telah melakukan kezaliman).
Tanpa memahami maksud-maksud yang dikandung dalam prinsip-prinsip tersebut, orang akan tertipu dengan keindahan bahasanya.
Begitulah umumnya prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh setiap ahli bid’ah, termasuk jama’ah Jaulah. Bahasa luarnya indah dan seakan menawarkan kebenaran. Namun disebaliknya menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan.
Bagaimana dengan prinsip Kalimat Thayyibah dalam jama’ah Jaulah?
Dalam salah satu buku pegangan utama mereka, Fadha’il al-A’mal karya Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi yang di Indonesiakan menjadi ‘Himpunan Fadhilah Amal’, Bab II tentang ‘Kalimat Thayyibah’, dapat dibongkar rahasianya.
Ternyata uraian Kalimat Thayyibah yang dikemukakan secara panjang lebar hingga tiga pasal, hanya menerangkan tentang kalimat Laa Ilaaha Illallah menurut versi ajaran sufi. Tidak ditemukan sedikitpun ungkapan yang menjelaskan hakikat sebenarnya dari makna kalimat Thayyibah tersebut.
Yang ditemukan adalah prinsip ajaran kesufian mereka, yaitu ajakan dan dorongan untuk berdzikir secara lisan saja, mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah.
Tidak ditemukan uraian sedikitpun tentang bagaimana pengamalan sesungguhnya terhadap kalimat Laa ilaaha Illallah melainkan ajakan untuk tidak mencuri, berzina dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Tanpa menyentuh sedikitpun persoalan yang justeru sangat pokok. Yaitu keharusan menyingkiri thaghut dan mengingkari serta menjauhi penyembahan terhadap kuburan-kuburan, yang di India, Pakistan dan Indonesia banyak sekali dilakukan oleh sebagian besar kaum Muslimin. Kalaupun di sana disebutkan keharusan untuk bertauhid dan meningalkan syirik serta harus ikhlas beramal, penyebutan itu sangat global.
Padahal kalimat tauhid tersebut mengandung dua konsekuensi besar, pertama menghamba hanya kepada Allah saja. Kedua, menolak dan mengingkari segala bentuk peribadatan kepada thaghut, termasuk di dalamnya penyembahan terhadap kuburan para wali. Dua konsekuensi tauhid ini mewujud secara nyata dalam kata-kata, sikap dan perbuatan sehari-hari. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-Baqarah: 256]
Pada kenyataannya memang mereka tidak peduli dengan prinsip tauhid yang benar ini.
Syaikh Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri, dengan menukil perkataan Ustadz Saifur Rahman ad-Dahlawi, bahkan menegaskan bahwa jama’ah Tabligh menyelewengkan semua nash al-Qur’an dan Sunnah yang memerintahkan supaya mengingkari thaghut….Disebutkan bahwa di antara prinsip mereka adalah sangat menjauhi bahkan melarang secara kasar orang yang menyatakan pengingkaran terhadap thaghut dan pengingkaran terhadap kemungkaran. Alasan mereka, karena hal itu akan melahirkan penentangan dan tidak membawa kebaikan. [Lihat al-Qaul al-Baligh fi at-Tahdzir min Jama’ati at-Tabligh, Daar ash-Shumai’i. Hal. 154]
Dalam Kitab Fadhail al-A’mal justeru disebutkan tafsir sufi ketika mengetengahkan faidah dari hadits Abu Hurairah tentang orang yang paling berbahagia mendapat syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas dari dalam hatinya.
Penulis kitab Fadhail al-A’mal menjelaskan faidahnya, yaitu (hanya ditekankan pada) ¬pertama, orang yang dengan penuh keikhlasan telah masuk Islam dan sama sekali tidak memiliki amalan lain kecuali membaca kalimat thayyibah. Telah jelas bahwa ia akan beruntung karena memperoleh syafa’at di akhirat nanti…Kedua, orang-orang yang menjaga wirid mereka dengan penuh keikhlasan dan mereka beramal shalih. [Lihat Himpunan Fadhilah Al-Amal, hal. 457-458]
Bukankah itu adalah ajaran tarekat sesat?. Sama sekali tidak menyinggung bagaimana realisasi sebenarnya dari kalimat tauhid, yaitu memberikan segala macam peribadatan kepada Allah saja dan mengingkari penyembahan kepada selain Allah dengan cara apapun. Itulah sebabnya, di dalam tubuh jama’ah mereka terdapat kebebasan untuk memilih aqidah. Bisa Quburiyah, bisa Asy’ariyah, bisa mu’tazilah dan bisa yang lain-lainnya. Yang penting masing-masing anggauta bersedia melakukakan khuruj rutin dan memiliki loyalitas terhadap jama’ah. Tak peduli apa aqidahnya.
Sebenarnya bantahan terhadap prinsip-prinsip ajaran mereka sangat banyak. Namun kiranya cukuplah sekelumit bantahan terhadap prinsip pertama mereka saja. Sebab yang sekelumit itu sudah cukup membuka tabir rahasia kesalahan mereka yang mendasar. Jika dalam hal yang mendasar saja sudah salah, maka runtuhlah keseluruhan bangunan ajaran mereka. Termasuk ajaran khuruj yang merupakan manipulasi terhadap makna nash-nash al-Qur’an dan Sunnah serta amalan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Khuruj merupakan kegiatan pokok yang sebenarnya hanya di dasarkan pada mimpi khayali dari imam mereka saja. Lihat pada tulisan pada bagian lain.
Adapun yang berkaitan dengan syubhat yang mereka lancarkan berkenaan dengan fatwa Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang katanya merekomendasi gerakan mereka, maka Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali telah menjelaskan duduk perkaranya secara jelas dalam rangka membantah dan menghilangkan syubhat mereka. Ini bisa dilihat dalam kumpulan fatwa para Ulama yang beliau kumpulkan seputar jama’ah tabligh.
Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali menjelaskan, ketika Syaikh Bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memuji gerakan jama’ah tabligh, adalah lantaran ada seorang anggauta jama’ah tabligh yang bertanya kepada beliau sambil menceritakan hal-hal yang kelihatannya baik-baik saja tentang jama’ah ini, sehingga tentu beliau memujinya. Tetapi pada fatwa paling akhir dari beliau menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Intinya, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali orang yang berilmu dengan tujuan mengingkari kemungkaran mereka dan mengajari mereka jalan yang lurus. Jika untuk maksud mengikuti saja ajakan mereka maka tidak boleh. Sebab Jama’ah Tabligh yang berasal dari India ini memiliki beberapa khurafat, bid’ah dan kesyirikan.
Risalah Syaikh Rabi’ ini sudah di Indonesiakan dengan judul Fatwa Ulama seputar jama’ah tabligh. Diterbitkan oleh pustaka Al Haura’, Jogyakarta. Sayangnya risalah terjemahan ini ditutup dengan surat menyurat yang dilakukan antara Syaikh Sa’d al-Hushain dengan imam jama’ah Tabligh In’am al- Hasan, yang di akhiri dengan jawaban surat dari In’am al-Hasan, tanpa adanya kesimpulan yang jelas. Sehinga mengesankan seakan jawaban In’am al-Hasan tidak terbantahkan. Padahal yang dikemukakannya adalah gaya bahasa dengan jurus mengelak, supaya kebatilan jama’ah tabligh tertutupi. Karena itu harus waspada. Yang perlu dilihat adalah dalil serta kebenaran, dan bukan hawa nafsu pembelaan membabi buta.
Demikian secara ringkas, kaum Muslimin hendaknya jangan sampai terbawa pada segala gerakan yang tampak pada lahirnya membawa rahmat, namun yang pada sebaliknya menyimpan laknat, termasuk di antaranya adalah jama’ah Tabligh ini. Hidup ini hanyalah untuk menghamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengikuti jejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kaitannya dengan hidup bersama, kaum Muslimin harus menjaga keutuhan persatuan umat Islam berdasarkan prinsip ajaran yang yang haq, prinsip ajaran yang dijalankan oleh Ahlu Sunnah wal jama’ah. Hidup ini bukan untuk bertualang mengikuti jama’ah-jama’ah yang ujung-ujungnya menyimpang dari jalan kebenaran. Jama’ah-jama’ah yang justeru memecah belah umat. Wallahu Waloyyu at-Taufiq.
Gay, Lesbian, Homoseksual
DOSA-DOSA HOMOSEKSUAL
Homoseksual adalah sejelek-jelek perbuatan keji yang tidak layak dilakukan oleh manusia normal. Allah telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai tempat laki-laki menyalurkan nafsu bilogisnya, dan demikian sebaliknya. Sedangkan prilaku homoseksual –semoga Allah melindungi kita darinya- keluar dari makna tersebut dan merupakan bentuk perlawanan terhadap tabiat yang telah Allah ciptakan itu. Prilaku homoseksual merupakan kerusakan yang amat parah. Padanya terdapat unsur-unsur kekejian dan dosa perzinaan, bahkan lebih parah dan keji daripada perzinaan.
Aib wanita yang berzina tidaklah seperti aib laki-laki yang melakukan homoseksual. Kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang berbuat zina tidak lebih berat daripada kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang melakukan homoseksual. Sebabnya adalah meskipun zina menyelisihi syariat, akan tetapi zina tidak menyelisihi tabiat yang telah Allah ciptakan (di antara laki-laki dan perempuan). Sedangkan homosek menyelisihi syariat dan tabiat sekaligus.
Para alim ulama telah sepakat tentang keharaman homoseksual. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela dan menghina para pelakunya.
“Artinya : Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? ‘Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampui batas” [Al-A’raf : 80-81]
Dalam kisah kaum Nabi Luth ini tampak jelas penyimpangan mereka dari fitrah. Sampai-sampai ketika menjawab perkataan mereka, Nabi Luth mengatakan bahwa perbuatan mereka belum pernah dilakukan oleh kaum sebelumnya.
BESARNYA DOSA HOMOSEKSUAL SERTA KEKEJIAN DAN KEJELEKANNYA
Kekejian dan kejelekan perilaku homoseksual telah mencapai puncak keburukan, sampai-sampai hewan pun menolaknya. Hampir-hampir kita tidak mendapatkan seekor hewan jantan pun yang mengawini hewan jantan lain. Akan tetapi keanehan itu justru terdapat pada manusia yang telah rusak akalnya dan menggunakan akal tersebut untuk berbuat kejelekan.
Dalam Al-Qur’an Allah menyebut zina dengan kata faahisyah (tanpa alif lam), sedangkan homoseksual dengan al-faahisyah (dengan alif lam), (jka ditinjau dari bahsa Arab) tentunya perbedaan dua kta tersebut sangat besar. Kata faahisyah tanpa alif dan lam dalam bentuk nakirah yang dipakai untuk makna perzinaan menunjukkan bahwa zina merupakan salah satu perbuatan keji dari sekian banyak perbuatan keji. Akan tetapi, untuk perbuatan homoseksual dipakai kata al-faahisyah dengan alif dan lam yang menunjukkan bahwa perbuatan itu mencakup kekejian seluruh perbuatan keji. Maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian” [Al-A’raf : 80]
Maknanya, kalian telah mengerjakan perbuatan yang kejelekan dan kekejiannya telah dikukuhkan oleh semua manusia.
Sementara itu, dalam masalah zina, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu faahisyah (perbuatan yang keji) dan suatu jalan yang buruk” [Al-Isra : 32]
Ayat ini menerangkan bahwa zina adalah salah satu perbuatan keji, sedangkan ayat sebelumnya menerangkan bahwa perbuatan homoseksual mencakup kekejian.
Zina dilakukan oleh laki-laki dan perempuan karena secara fitrah di antara laki-laki dan perempuan terdapat kecenderungan antara satu sama lain, yang oleh Islam kecenderungan itu dibimbing dan diberi batasan-batasan syariat serta cara-cara penyaluran yang sebenarnya. Oleh karena itu, Islam menghalalkan nikah dan mengharamkan zina serta memeranginya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” [Al-Mukminun : 5-7]
Jadi, hubungan apapun antara laki-laki dan perempuan di luar batasan syariat dinamakan zina. Maka dari itu hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan panggilan fitrah keduanya, adapun penyalurannya bisa dengan cara yang halal, bisa pula dengan yang haram.
Akan tetapi, jika hal itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan, maka sama sekali tidak ada hubungannya dengna fitrah. Islam tidak menghalalkannya sama sekali karena pada insting dan fitrah manusia tidak terdapat kecenderungan seks laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada perempuan. Sehingga jika hal itu terjadi, berarti telah keluar dari batas-batas fitrah dan tabiat manusia, yang selanjutnya melanggar hukum-hukum Allah.
“Artinya : Yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian” [Al-A’raf : 80]
Mujtahid berkata : “Orang yang melakukan perbuatan homoseksual meskipun dia mandi dengan setiap tetesan air dari langit dan bumi masih tetap najis”.
Fudhail Ibnu Iyadh berkata : “Andaikan pelaku homoseksual mandi dengan setiap tetesan air langit maka dia akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak suci”.
Artinya, air tersebut tidak bisa menghilangkan dosa homoseksual yang sangat besar yang menjauhkan antara dia dengan Rabbnya. Hal ini menunjukkan betapa mengerikannya dosa perbuatan tersebut.
Amr bin Dinar berkata menafsirkan ayat diatas : “Tidaklah sesama laki-laki saling meniduri melainkan termasuk kaum Nabi Luth”.
Al-Walid bin Abdul Malik berkata : “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menceritakan kepada kita berita tentang kaum Nabi luth, maka aku tidak pernah berfikir kalau ada laki-laki yang menggauli laki-laki”.
Maka sungguh menakjubkan manakala kita melihat kebiasaan yang sangat jelek dari kaum Nabi Luth ini –yang telah Allah binasakan- tersebar diantara manusia, padahal kebiasaan itu hampir-hampir tidak terdapat pada hewan. Kita tidak akan mendatapkan seekor hewan jantan pun yang menggauli hewan jantan lainnya kecuali sedikit dan jarang sekali, seperti keledai.
Maka itulah arti dari firman Allah berikut.
“Artinya : Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” [Al-A’raf :81]
Allah mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya perbuatan keji itu belum pernah dilakukan oleh siapapun di muka bumi ini, dan itu mencakup manusia dan hewan.
Apabila seorang manusia cenderung menyalurkan syahwatnya dengan cara yang hewan saja enggan melakukannya, maka kita bisa tahu bagaimana kondisi kejiwaan manusia itu. Bukankah ini merupakan musibah yang paling besar yang menurunkan derajat manusia dibawah derajat hewan?!
Maksud dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut.
Pertama : Jika penyakit ini tersebar di tengah umat manusia, maka keturunan manusia itu akan punah karena laki-laki sudah tidak membutuhkan wanita. Populasi manusia akan semakin berkurang secara berangsur.
Kedua :Pelaku homoseksual tidak mau menyalurkan nafsu biologisnya kepada perempuan. Jika dia telah beristeri, maka dia akan mengabaikan isterinya dan menjadikannya pemuas orang-orang yang rusak. Dan jika dia masih bujangan, maka dia tidak akan berfikir untuk menikah. Sehingga, apabila homosek ini telah merata dalam sebuah kelompok masyarakat, maka kaum laki-lakinya tidak akan lagi merasa membutuhkan perempuan. Akibatnya, tersia-siakanlah kaum wanita. Mereka tidak mendapatkan tempat berlindung dan tidak mendapatkan orang yang mengasihi kelemahan mereka. Disinilah letak bahaya sosial homoseksual yang berkepanjangan.
Ketiga : Pelaku homoseksual tidak peduli dengan kerusakan akhlak yang ada disekitarnya.
CIRI-CIRI KAUM HOMOSEKS
1. Fitrah dan tabiat mereka terbalik dan berubah dari fitrah yang telah Allah ciptakan pada pria, yaitu kehendak kepada wanita bukan kepada laki-laki.
2. Mereka mendapatkan kelezatan dan kebahagian apabila mereka dapat melampiaskan syahwat mereka pada tempat-tempat yang najis dan kotor dan melepaskan air kehidupan (mani) di situ.
3. Rasa malu, tabiat, dan kejantanan mereka lebih rendah daripada hewan.
4. Pikiran dan ambisi mereka setiap saat selalu terfokus kepada perbuatan keji itu karena laki-laki senantiasa ada di hadapan mereka di setiap waktu. Apabila mereka melihat salah seorang di antaranya, baik anak kecil, pemuda atau orang yang sudah berumur, maka mereka akan menginginkannya baik sebagai objek ataupun pelaku.
5. Rasa malu mereka kecil. Mereka tidak malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala juga kepada makhlukNya. Tidak ada kebaikan yang diharapkan dari mereka.
6. Mereka tidak tampak kuat dan jantan. Mereka lemah di hadapan setiap laki-laki karena merasa butuh kepadanya.
7. Allah mensifati mereka sebagai orang fasik dan pelaku kejelekan ; “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik” [Al-Anbiya : 74]
8. Mereka disebut juga sebagai orang-orang yang melampui batas : “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melapaui batas” [Al-A’raf : 81]. Artinya, mereka melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah.
9. Allah menamakan mereka sebagai kaum perusak dan orang yang zhalim :”Luth berdo’a. ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu’. Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini. Sesunguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim” [Al-Ankabut : 30-31]
AZAB DAN SIKSA KAUM NABI LUTH
Disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menhujani mereka dengan batu. Tidak tersisa seorangpun melainkan dia terhujani batu tersebut. Sampai-sampai disebutkan bahwa salah seorang dari pedagang di Mekkah juga terkena hujan batu sekeluarnya dari kota itu. Kerasnya azab tersebut menunjukkan bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang paling keji sebagaimana yang disebutkan dalam dalil.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 (no. 7337)]
Arti dari laknat Allah adalah kemurkaanNya, dan terjauhkan dari rahmatNya. Allah membalik negeri kaum Luth dan menghujani mereka dengan batu-batu (berasal) dari tanah yang terbakar dari Neraka Jahannam yang susul-menyusul. Tertulis di atas batu-batu itu nama-nama kaum tersebut sebagaimana yang dikatakan Al-Jauhari.
DALIL DARI SUNNAH TENTANG HARAMNYA HOMOSEKSUAL
a. Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya” [HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad]
b. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” [HR Ibnu Majah. Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan Gharib, Hakim berkata, Hadits shahih isnad]
c. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra]
d. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita pada duburnya” [HR Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Keterangan : hadits ini mencakup pula wanita kepada wanita]
e. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Itu adalah liwat kecil, yakni laki-laki yang menggauli istrinya di lubang duburnya” [HR Ahmad ]
HUKUMAN TERHADAP KAUM HOMOSEKS
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan hukumannya sebagaimana hukuman zina yaitu dirajam bagi yang muhshan (sudah pernah menikah) dan dicambuk dan diasingkan bagi yang belum menikah. Sebagian yang lain mengatakan, kedua-duanya dirajam dalam keadaan apapun, menerapkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, “Bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi”
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Para sahabat telah menerapkan hukum bunuh terhadap pelaku homoseks. Mereka hanya berselisih pendapat bagaimana cara membunuhnya”
HUKUMAN TERHADAP PELAKU HOMOSEKS SETELAH MUSNAHNYA KAUM LUTH
Para pengikut madzhab Hambali menukil ijma’ (kesepakatab) para sahabat yang mengatakan bahwa hukuman homoseks adalah dibunuh. Mereka berdalil dengan hadits: “Barangsiapa yang kalian dapatkan melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi”.
Mereka juga berdalil dengan perbuatan Ali Radhiyallahu ‘anhu yang merajam orang yang melakukan homoseksual. Syafi’i berkata : “Dengan ini, kita berpendapat merajam orang yang melakukan perbuatan homoseksual, baik dia seorang muhsan atau bukan”.
Dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Khalid bin Walid bahwa ada di pinggiran kota Arab seorang laki-laki yang dinikahi sebagaimana dinikahinya seorang perempuan. Maka dia menulis surat kepada Abu Bakar Shiddik Radhiyallahu ‘anhu. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabatnya. Orang yang paling keras pendapatnya adalah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata, “Tidaklah melakukan perbuatan ini kecuali hanya satu ummat dan kalian telah mengetahui apa yang telah Allah lakukan kepada mereka. Aku berpendapat agar dia dibakar dengan api”. Kemudian Abu Bakar mengirim surat kepada Khalid bin Walid untuk membakarnya.
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Dipertontonkan dari bangunan yang paling tinggi lalu dilemparkan (ke bawah) diikuti lemparan batu”.
Dengan demikian hukuman homoseks adalah bisa dengan dibakar, dirajam dengan batu, dilempar dari bangunan yang paling tinggi yang diikuti lemparan batu, atau dipenggal lehernya. Ada pula yang mengatakan ditimpakan tembok kepadanya.
Imam Syaukani memilih hukuman bunuh dan melemahkan pendapat selain itu. Mereka berpendapat seperti itu menilik firman Allah.
“Artinya : Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim” [Hud : 82-83]
Dalam penerapan hukuman ini, pelaku homoseks dipersilakan memilih hukuman yang dia kehendaki dari hukuman-hukuman yang ada.
PERINGATAN KEPADA KAUM HOMOSEKS
a. Ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku homoseks sebanyak tiga kali sedangkan pezina hanya sekali.
b. Takutlah engkau terjerumus dalam dosa ini karena akan merusakan dirimu dan dikhawatirkan akan menyeretmu kepada kekafiran seperti yang menimpa saudaramu sebelum kamu sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kafi halaman 191
Diceritakan ada seorang laki-laki yang jatuh hati kepada seorang pemuda tampan bernama Aslam. Cinta di hatinya begitu mendalam kepada Aslam. Akan tetapi, anak muda tersebut tidak mau dan menjauh darinya sehingga menyebabkan laki-laki itu terbaring sakit dan tidak dapat bangkit. Orang-orang yang kasihan melihat diri laki-laki itu mencoba mendatangkan anak muda itu, dan dibuatlah perjanjian supaya dia menengok laki-laki itu. Mendengar berita itu, laki-laki yang sedang kasmaran tersebut merasa sangat senang dan mendadak hilang kegelisahan dan kesedihannya. Manakala dia dalam kegembiraan menanti anak muda tersebut datanglah orang lain yang mengabarkan bahwa anak muda tadi sebenarnya sudah sampai di tengah jalan tetapi kembali, tidak meneruskan perjalanannya dan tidak mau memperlihatkan dirinya kepada laki-laki itu. Ketika mendengar berita tersebut, mendadak kambuh sakitnya hingga tampak darinya tanda-tanda sakaratul maut. Kemudan dia bersyair.
Wahai Aslam sang penyejuk hati
Wahai Aslam sang penyembuh sakit
Keridhaanmu lebih aku sukai pada diriku
Daripada rahmat Sang Pencipta
Yang Mahamulia
Dikatakan kepadanya, “Takulah kamu dengan kata-kata itu!” Laki-laki itu menjawab, “Itu kenyataannya”. Maka akhirnya matilah dia dalam keadaan kafir kepada Allah.
KEJELEKAN KAUM LUTH DAN PERLAWANAN MEREKA TERHADAP ALLAH
Cermatilah jeleknya kaum Luth dan penentangan mereka terhadap Allah ketika mereka mendatangi nabi Luth dan tamu-tamunya yang tampan. Ketika melihat mereka datang Nabi luth berkata.
“Artinya : Hai kamumku, inilah putri-putriku. Mereka lebih suci bagimu” [Hud : 78]
Dia merelakan putri-putrinya untuk mereka peristri sebagai ganti tamu-tamunya karena mengkhawatirkan dirinya dan tamunya dari aib yang sangat jelek sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Hud ayat 78-80.
“Artinya : Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah puteri-puteriku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?’ Mereka menjawab : ‘Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki’. Luth berkata, ‘Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)’
DAMPAK NEGATIF HOMOSEKSUAL DITINJAU DARI SISI KESEHATAN
Islam sangat keras dalam meberikan hukuman atas kejahatan yang satu ini karena dampaknya yang buruk dan kerusakan yang ditimbulkannya kepada pribadi dan masyarakat.
Dampak negatif tersebut di antaranya.
a. Benci terhadap wanita
Kaum Luth berpaling dari wanita dan kadang bisa sampai tidak mampu untuk menggauli mereka. Oleh karena itu, hilanglah tujuan pernikahan untuk memperbanyak keturunan. Seandainya pun seorang homo itu bisa menikah, maka istrinya akan menjadi korbannya, tidak mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan balas kasih. Hidupnya tersiksa, bersuami tetapi seolah tidak bersuami.
b. Efek Terhadap Syaraf
Kebiasaan jelek ini mempengaruhi kejiwaan dan memberikan efek yang sangat kuat pada syaraf. Sebagai akibatnya dia merasa seolah dirinya diciptakan bukan sebagai laki-laki, yang pada akhirnya perasaan itu membawanya kepada penyelewengan. Dia merasa cenderung dengan orang yang sejenis dengannya.
c. Efek terhadap otak
d. Menyebabkan pelakunya menjadi pemurung
e. Seorang homoseks selalu merasa tidak puas dengan pelampiasan hawa nafsunya.
f. Hubungan homoseksual dengan kejelekan akhlaq
Kita dapatkan mereka jelek perangai dan tabiatnya. Mereka hampir tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang mulia dan yang hina.
g. Melemahkan organ tubuh yang kuat dan bisa menghancurkannya. Karena organ-organ tubuhnya telah rusak, maka didapati mereka sering tidak sadar setelah mengeluarkan air seni dan mengeluarkan kotoran dari duburnya tanpa terasa.
h. Hubungan homoseksual dengan kesehatan umum.
Mereka terancam oleh berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena merasa lemah mental dan depresi.
I. Pengaruh terhadap organ peranakan.
Homoseksual dapat melemahkan sumber-sumber utama pengeluaran mani dan membunuh sperma sehingga akan menyebabkan kemandulan
j. Dapat meyebabkan penyakit thypus dan disentri
k. Spilis, penyakit ini tidak muncul kecuali karena penyimpangan hubungan sek
l. Kencing nanah
m. AIDS, para ahli mengatakan bahwa 95% pengidap penyakit ini adalah kaum homoseks
BISAKAH KAUM HOMOSEKS BERTAUBAT DAN MASUK SURGA?
Ibnul Al-Qayyim berkata : “Jika pelaku homoseks bertaubat dengan sebenar-benarnya (taubat nasuha) dan beramal shaleh kemudian mengganti kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan, membersihkan berbagai dosanya dengan berbagai kataatan dan taqarrub kepada Allah, menjaga pandangan dan kemaluannya dari hal-hal yang haram, dan tulus dalam amal ibadahnya, maka dosanya diampuni dan termasuk ahli surga. Karena Allah mengampuni semua dosa. Apabila taubat saja bisa menghapus dosa syirik, kufur, membunuh para nabi, sihir, maka taubat pelaku homoseks juga bisa menghapuskan dosa-dosa mereka.
PENANGGULANGAN HOMOSEKS DAN PENYEMBUHANNYA
a. Menanamkan akidah shahihah pada semua anggota masyarakat karena ia merupakan benteng yang aman dan pelindung dari ketergelinciran dan penyelewengan.
b. Memperbanyak halaqah (majlis pengajian) menghafal Al-Qur’an khususnya pada anak-anak dan remaja
c. Memperhatikan pendidikan anak-ank muda dan mengisi waktu kosong mereka dengan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dan tanah air mereka.
d. Menjadikan penjara sebagai madrasah untuk pendidikan, perbaikan narapidana, serta meluruskan akhlaq mereka dengan pendidikan Islam yang benar
e. Mengkhususkan khutbah (ceramah) untuk para pemuda yang memperingatkan mereka dari bahaya dan dampak buruk homoseksual
f. Menasehati para pemuda di kompleks-kompleks terdekat dan memberikan buku-buku bacaan Islam yang bisa menguatkan hubungan mereka denan Allah
g. Menghilangkan sarana berkumpulnya para pemuda tempat mereka melakukan kemasiatan
Kita berdo’a semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan kepada kita dan anak keturunan kita agar tidak terjrumus dalam gelimang dosa yang penuh kekejian ini dan memberikan hidayah kepada mereka yang telah terlanjur untuk kembali kepada keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Lumpur dosa ini.
Homoseksual adalah sejelek-jelek perbuatan keji yang tidak layak dilakukan oleh manusia normal. Allah telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai tempat laki-laki menyalurkan nafsu bilogisnya, dan demikian sebaliknya. Sedangkan prilaku homoseksual –semoga Allah melindungi kita darinya- keluar dari makna tersebut dan merupakan bentuk perlawanan terhadap tabiat yang telah Allah ciptakan itu. Prilaku homoseksual merupakan kerusakan yang amat parah. Padanya terdapat unsur-unsur kekejian dan dosa perzinaan, bahkan lebih parah dan keji daripada perzinaan.
Aib wanita yang berzina tidaklah seperti aib laki-laki yang melakukan homoseksual. Kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang berbuat zina tidak lebih berat daripada kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang melakukan homoseksual. Sebabnya adalah meskipun zina menyelisihi syariat, akan tetapi zina tidak menyelisihi tabiat yang telah Allah ciptakan (di antara laki-laki dan perempuan). Sedangkan homosek menyelisihi syariat dan tabiat sekaligus.
Para alim ulama telah sepakat tentang keharaman homoseksual. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela dan menghina para pelakunya.
“Artinya : Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? ‘Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampui batas” [Al-A’raf : 80-81]
Dalam kisah kaum Nabi Luth ini tampak jelas penyimpangan mereka dari fitrah. Sampai-sampai ketika menjawab perkataan mereka, Nabi Luth mengatakan bahwa perbuatan mereka belum pernah dilakukan oleh kaum sebelumnya.
BESARNYA DOSA HOMOSEKSUAL SERTA KEKEJIAN DAN KEJELEKANNYA
Kekejian dan kejelekan perilaku homoseksual telah mencapai puncak keburukan, sampai-sampai hewan pun menolaknya. Hampir-hampir kita tidak mendapatkan seekor hewan jantan pun yang mengawini hewan jantan lain. Akan tetapi keanehan itu justru terdapat pada manusia yang telah rusak akalnya dan menggunakan akal tersebut untuk berbuat kejelekan.
Dalam Al-Qur’an Allah menyebut zina dengan kata faahisyah (tanpa alif lam), sedangkan homoseksual dengan al-faahisyah (dengan alif lam), (jka ditinjau dari bahsa Arab) tentunya perbedaan dua kta tersebut sangat besar. Kata faahisyah tanpa alif dan lam dalam bentuk nakirah yang dipakai untuk makna perzinaan menunjukkan bahwa zina merupakan salah satu perbuatan keji dari sekian banyak perbuatan keji. Akan tetapi, untuk perbuatan homoseksual dipakai kata al-faahisyah dengan alif dan lam yang menunjukkan bahwa perbuatan itu mencakup kekejian seluruh perbuatan keji. Maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian” [Al-A’raf : 80]
Maknanya, kalian telah mengerjakan perbuatan yang kejelekan dan kekejiannya telah dikukuhkan oleh semua manusia.
Sementara itu, dalam masalah zina, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu faahisyah (perbuatan yang keji) dan suatu jalan yang buruk” [Al-Isra : 32]
Ayat ini menerangkan bahwa zina adalah salah satu perbuatan keji, sedangkan ayat sebelumnya menerangkan bahwa perbuatan homoseksual mencakup kekejian.
Zina dilakukan oleh laki-laki dan perempuan karena secara fitrah di antara laki-laki dan perempuan terdapat kecenderungan antara satu sama lain, yang oleh Islam kecenderungan itu dibimbing dan diberi batasan-batasan syariat serta cara-cara penyaluran yang sebenarnya. Oleh karena itu, Islam menghalalkan nikah dan mengharamkan zina serta memeranginya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” [Al-Mukminun : 5-7]
Jadi, hubungan apapun antara laki-laki dan perempuan di luar batasan syariat dinamakan zina. Maka dari itu hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan panggilan fitrah keduanya, adapun penyalurannya bisa dengan cara yang halal, bisa pula dengan yang haram.
Akan tetapi, jika hal itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan, maka sama sekali tidak ada hubungannya dengna fitrah. Islam tidak menghalalkannya sama sekali karena pada insting dan fitrah manusia tidak terdapat kecenderungan seks laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada perempuan. Sehingga jika hal itu terjadi, berarti telah keluar dari batas-batas fitrah dan tabiat manusia, yang selanjutnya melanggar hukum-hukum Allah.
“Artinya : Yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian” [Al-A’raf : 80]
Mujtahid berkata : “Orang yang melakukan perbuatan homoseksual meskipun dia mandi dengan setiap tetesan air dari langit dan bumi masih tetap najis”.
Fudhail Ibnu Iyadh berkata : “Andaikan pelaku homoseksual mandi dengan setiap tetesan air langit maka dia akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak suci”.
Artinya, air tersebut tidak bisa menghilangkan dosa homoseksual yang sangat besar yang menjauhkan antara dia dengan Rabbnya. Hal ini menunjukkan betapa mengerikannya dosa perbuatan tersebut.
Amr bin Dinar berkata menafsirkan ayat diatas : “Tidaklah sesama laki-laki saling meniduri melainkan termasuk kaum Nabi Luth”.
Al-Walid bin Abdul Malik berkata : “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menceritakan kepada kita berita tentang kaum Nabi luth, maka aku tidak pernah berfikir kalau ada laki-laki yang menggauli laki-laki”.
Maka sungguh menakjubkan manakala kita melihat kebiasaan yang sangat jelek dari kaum Nabi Luth ini –yang telah Allah binasakan- tersebar diantara manusia, padahal kebiasaan itu hampir-hampir tidak terdapat pada hewan. Kita tidak akan mendatapkan seekor hewan jantan pun yang menggauli hewan jantan lainnya kecuali sedikit dan jarang sekali, seperti keledai.
Maka itulah arti dari firman Allah berikut.
“Artinya : Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” [Al-A’raf :81]
Allah mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya perbuatan keji itu belum pernah dilakukan oleh siapapun di muka bumi ini, dan itu mencakup manusia dan hewan.
Apabila seorang manusia cenderung menyalurkan syahwatnya dengan cara yang hewan saja enggan melakukannya, maka kita bisa tahu bagaimana kondisi kejiwaan manusia itu. Bukankah ini merupakan musibah yang paling besar yang menurunkan derajat manusia dibawah derajat hewan?!
Maksud dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut.
Pertama : Jika penyakit ini tersebar di tengah umat manusia, maka keturunan manusia itu akan punah karena laki-laki sudah tidak membutuhkan wanita. Populasi manusia akan semakin berkurang secara berangsur.
Kedua :Pelaku homoseksual tidak mau menyalurkan nafsu biologisnya kepada perempuan. Jika dia telah beristeri, maka dia akan mengabaikan isterinya dan menjadikannya pemuas orang-orang yang rusak. Dan jika dia masih bujangan, maka dia tidak akan berfikir untuk menikah. Sehingga, apabila homosek ini telah merata dalam sebuah kelompok masyarakat, maka kaum laki-lakinya tidak akan lagi merasa membutuhkan perempuan. Akibatnya, tersia-siakanlah kaum wanita. Mereka tidak mendapatkan tempat berlindung dan tidak mendapatkan orang yang mengasihi kelemahan mereka. Disinilah letak bahaya sosial homoseksual yang berkepanjangan.
Ketiga : Pelaku homoseksual tidak peduli dengan kerusakan akhlak yang ada disekitarnya.
CIRI-CIRI KAUM HOMOSEKS
1. Fitrah dan tabiat mereka terbalik dan berubah dari fitrah yang telah Allah ciptakan pada pria, yaitu kehendak kepada wanita bukan kepada laki-laki.
2. Mereka mendapatkan kelezatan dan kebahagian apabila mereka dapat melampiaskan syahwat mereka pada tempat-tempat yang najis dan kotor dan melepaskan air kehidupan (mani) di situ.
3. Rasa malu, tabiat, dan kejantanan mereka lebih rendah daripada hewan.
4. Pikiran dan ambisi mereka setiap saat selalu terfokus kepada perbuatan keji itu karena laki-laki senantiasa ada di hadapan mereka di setiap waktu. Apabila mereka melihat salah seorang di antaranya, baik anak kecil, pemuda atau orang yang sudah berumur, maka mereka akan menginginkannya baik sebagai objek ataupun pelaku.
5. Rasa malu mereka kecil. Mereka tidak malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala juga kepada makhlukNya. Tidak ada kebaikan yang diharapkan dari mereka.
6. Mereka tidak tampak kuat dan jantan. Mereka lemah di hadapan setiap laki-laki karena merasa butuh kepadanya.
7. Allah mensifati mereka sebagai orang fasik dan pelaku kejelekan ; “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik” [Al-Anbiya : 74]
8. Mereka disebut juga sebagai orang-orang yang melampui batas : “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melapaui batas” [Al-A’raf : 81]. Artinya, mereka melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah.
9. Allah menamakan mereka sebagai kaum perusak dan orang yang zhalim :”Luth berdo’a. ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu’. Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini. Sesunguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim” [Al-Ankabut : 30-31]
AZAB DAN SIKSA KAUM NABI LUTH
Disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menhujani mereka dengan batu. Tidak tersisa seorangpun melainkan dia terhujani batu tersebut. Sampai-sampai disebutkan bahwa salah seorang dari pedagang di Mekkah juga terkena hujan batu sekeluarnya dari kota itu. Kerasnya azab tersebut menunjukkan bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang paling keji sebagaimana yang disebutkan dalam dalil.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 (no. 7337)]
Arti dari laknat Allah adalah kemurkaanNya, dan terjauhkan dari rahmatNya. Allah membalik negeri kaum Luth dan menghujani mereka dengan batu-batu (berasal) dari tanah yang terbakar dari Neraka Jahannam yang susul-menyusul. Tertulis di atas batu-batu itu nama-nama kaum tersebut sebagaimana yang dikatakan Al-Jauhari.
DALIL DARI SUNNAH TENTANG HARAMNYA HOMOSEKSUAL
a. Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya” [HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad]
b. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” [HR Ibnu Majah. Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan Gharib, Hakim berkata, Hadits shahih isnad]
c. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra]
d. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita pada duburnya” [HR Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Keterangan : hadits ini mencakup pula wanita kepada wanita]
e. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Itu adalah liwat kecil, yakni laki-laki yang menggauli istrinya di lubang duburnya” [HR Ahmad ]
HUKUMAN TERHADAP KAUM HOMOSEKS
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan hukumannya sebagaimana hukuman zina yaitu dirajam bagi yang muhshan (sudah pernah menikah) dan dicambuk dan diasingkan bagi yang belum menikah. Sebagian yang lain mengatakan, kedua-duanya dirajam dalam keadaan apapun, menerapkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, “Bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi”
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Para sahabat telah menerapkan hukum bunuh terhadap pelaku homoseks. Mereka hanya berselisih pendapat bagaimana cara membunuhnya”
HUKUMAN TERHADAP PELAKU HOMOSEKS SETELAH MUSNAHNYA KAUM LUTH
Para pengikut madzhab Hambali menukil ijma’ (kesepakatab) para sahabat yang mengatakan bahwa hukuman homoseks adalah dibunuh. Mereka berdalil dengan hadits: “Barangsiapa yang kalian dapatkan melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi”.
Mereka juga berdalil dengan perbuatan Ali Radhiyallahu ‘anhu yang merajam orang yang melakukan homoseksual. Syafi’i berkata : “Dengan ini, kita berpendapat merajam orang yang melakukan perbuatan homoseksual, baik dia seorang muhsan atau bukan”.
Dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Khalid bin Walid bahwa ada di pinggiran kota Arab seorang laki-laki yang dinikahi sebagaimana dinikahinya seorang perempuan. Maka dia menulis surat kepada Abu Bakar Shiddik Radhiyallahu ‘anhu. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabatnya. Orang yang paling keras pendapatnya adalah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata, “Tidaklah melakukan perbuatan ini kecuali hanya satu ummat dan kalian telah mengetahui apa yang telah Allah lakukan kepada mereka. Aku berpendapat agar dia dibakar dengan api”. Kemudian Abu Bakar mengirim surat kepada Khalid bin Walid untuk membakarnya.
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Dipertontonkan dari bangunan yang paling tinggi lalu dilemparkan (ke bawah) diikuti lemparan batu”.
Dengan demikian hukuman homoseks adalah bisa dengan dibakar, dirajam dengan batu, dilempar dari bangunan yang paling tinggi yang diikuti lemparan batu, atau dipenggal lehernya. Ada pula yang mengatakan ditimpakan tembok kepadanya.
Imam Syaukani memilih hukuman bunuh dan melemahkan pendapat selain itu. Mereka berpendapat seperti itu menilik firman Allah.
“Artinya : Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim” [Hud : 82-83]
Dalam penerapan hukuman ini, pelaku homoseks dipersilakan memilih hukuman yang dia kehendaki dari hukuman-hukuman yang ada.
PERINGATAN KEPADA KAUM HOMOSEKS
a. Ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku homoseks sebanyak tiga kali sedangkan pezina hanya sekali.
b. Takutlah engkau terjerumus dalam dosa ini karena akan merusakan dirimu dan dikhawatirkan akan menyeretmu kepada kekafiran seperti yang menimpa saudaramu sebelum kamu sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kafi halaman 191
Diceritakan ada seorang laki-laki yang jatuh hati kepada seorang pemuda tampan bernama Aslam. Cinta di hatinya begitu mendalam kepada Aslam. Akan tetapi, anak muda tersebut tidak mau dan menjauh darinya sehingga menyebabkan laki-laki itu terbaring sakit dan tidak dapat bangkit. Orang-orang yang kasihan melihat diri laki-laki itu mencoba mendatangkan anak muda itu, dan dibuatlah perjanjian supaya dia menengok laki-laki itu. Mendengar berita itu, laki-laki yang sedang kasmaran tersebut merasa sangat senang dan mendadak hilang kegelisahan dan kesedihannya. Manakala dia dalam kegembiraan menanti anak muda tersebut datanglah orang lain yang mengabarkan bahwa anak muda tadi sebenarnya sudah sampai di tengah jalan tetapi kembali, tidak meneruskan perjalanannya dan tidak mau memperlihatkan dirinya kepada laki-laki itu. Ketika mendengar berita tersebut, mendadak kambuh sakitnya hingga tampak darinya tanda-tanda sakaratul maut. Kemudan dia bersyair.
Wahai Aslam sang penyejuk hati
Wahai Aslam sang penyembuh sakit
Keridhaanmu lebih aku sukai pada diriku
Daripada rahmat Sang Pencipta
Yang Mahamulia
Dikatakan kepadanya, “Takulah kamu dengan kata-kata itu!” Laki-laki itu menjawab, “Itu kenyataannya”. Maka akhirnya matilah dia dalam keadaan kafir kepada Allah.
KEJELEKAN KAUM LUTH DAN PERLAWANAN MEREKA TERHADAP ALLAH
Cermatilah jeleknya kaum Luth dan penentangan mereka terhadap Allah ketika mereka mendatangi nabi Luth dan tamu-tamunya yang tampan. Ketika melihat mereka datang Nabi luth berkata.
“Artinya : Hai kamumku, inilah putri-putriku. Mereka lebih suci bagimu” [Hud : 78]
Dia merelakan putri-putrinya untuk mereka peristri sebagai ganti tamu-tamunya karena mengkhawatirkan dirinya dan tamunya dari aib yang sangat jelek sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Hud ayat 78-80.
“Artinya : Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah puteri-puteriku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?’ Mereka menjawab : ‘Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki’. Luth berkata, ‘Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)’
DAMPAK NEGATIF HOMOSEKSUAL DITINJAU DARI SISI KESEHATAN
Islam sangat keras dalam meberikan hukuman atas kejahatan yang satu ini karena dampaknya yang buruk dan kerusakan yang ditimbulkannya kepada pribadi dan masyarakat.
Dampak negatif tersebut di antaranya.
a. Benci terhadap wanita
Kaum Luth berpaling dari wanita dan kadang bisa sampai tidak mampu untuk menggauli mereka. Oleh karena itu, hilanglah tujuan pernikahan untuk memperbanyak keturunan. Seandainya pun seorang homo itu bisa menikah, maka istrinya akan menjadi korbannya, tidak mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan balas kasih. Hidupnya tersiksa, bersuami tetapi seolah tidak bersuami.
b. Efek Terhadap Syaraf
Kebiasaan jelek ini mempengaruhi kejiwaan dan memberikan efek yang sangat kuat pada syaraf. Sebagai akibatnya dia merasa seolah dirinya diciptakan bukan sebagai laki-laki, yang pada akhirnya perasaan itu membawanya kepada penyelewengan. Dia merasa cenderung dengan orang yang sejenis dengannya.
c. Efek terhadap otak
d. Menyebabkan pelakunya menjadi pemurung
e. Seorang homoseks selalu merasa tidak puas dengan pelampiasan hawa nafsunya.
f. Hubungan homoseksual dengan kejelekan akhlaq
Kita dapatkan mereka jelek perangai dan tabiatnya. Mereka hampir tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang mulia dan yang hina.
g. Melemahkan organ tubuh yang kuat dan bisa menghancurkannya. Karena organ-organ tubuhnya telah rusak, maka didapati mereka sering tidak sadar setelah mengeluarkan air seni dan mengeluarkan kotoran dari duburnya tanpa terasa.
h. Hubungan homoseksual dengan kesehatan umum.
Mereka terancam oleh berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena merasa lemah mental dan depresi.
I. Pengaruh terhadap organ peranakan.
Homoseksual dapat melemahkan sumber-sumber utama pengeluaran mani dan membunuh sperma sehingga akan menyebabkan kemandulan
j. Dapat meyebabkan penyakit thypus dan disentri
k. Spilis, penyakit ini tidak muncul kecuali karena penyimpangan hubungan sek
l. Kencing nanah
m. AIDS, para ahli mengatakan bahwa 95% pengidap penyakit ini adalah kaum homoseks
BISAKAH KAUM HOMOSEKS BERTAUBAT DAN MASUK SURGA?
Ibnul Al-Qayyim berkata : “Jika pelaku homoseks bertaubat dengan sebenar-benarnya (taubat nasuha) dan beramal shaleh kemudian mengganti kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan, membersihkan berbagai dosanya dengan berbagai kataatan dan taqarrub kepada Allah, menjaga pandangan dan kemaluannya dari hal-hal yang haram, dan tulus dalam amal ibadahnya, maka dosanya diampuni dan termasuk ahli surga. Karena Allah mengampuni semua dosa. Apabila taubat saja bisa menghapus dosa syirik, kufur, membunuh para nabi, sihir, maka taubat pelaku homoseks juga bisa menghapuskan dosa-dosa mereka.
PENANGGULANGAN HOMOSEKS DAN PENYEMBUHANNYA
a. Menanamkan akidah shahihah pada semua anggota masyarakat karena ia merupakan benteng yang aman dan pelindung dari ketergelinciran dan penyelewengan.
b. Memperbanyak halaqah (majlis pengajian) menghafal Al-Qur’an khususnya pada anak-anak dan remaja
c. Memperhatikan pendidikan anak-ank muda dan mengisi waktu kosong mereka dengan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dan tanah air mereka.
d. Menjadikan penjara sebagai madrasah untuk pendidikan, perbaikan narapidana, serta meluruskan akhlaq mereka dengan pendidikan Islam yang benar
e. Mengkhususkan khutbah (ceramah) untuk para pemuda yang memperingatkan mereka dari bahaya dan dampak buruk homoseksual
f. Menasehati para pemuda di kompleks-kompleks terdekat dan memberikan buku-buku bacaan Islam yang bisa menguatkan hubungan mereka denan Allah
g. Menghilangkan sarana berkumpulnya para pemuda tempat mereka melakukan kemasiatan
Kita berdo’a semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan kepada kita dan anak keturunan kita agar tidak terjrumus dalam gelimang dosa yang penuh kekejian ini dan memberikan hidayah kepada mereka yang telah terlanjur untuk kembali kepada keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Lumpur dosa ini.
Mewaspadai Bahaya Korupsi
Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan
yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan
masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan
atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini
menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap.
Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita
jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu,
kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih
tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut,
meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan
cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak
tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan.
Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami mencoba mengulasnya dengan
mengambil salah satu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut
ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat menghindari ataupun mewaspadai
bahayanya. (Redaksi).
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”
TAKHRIJ HADITS
- Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
- Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu 'anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLAHU 'ANHU
Beliau merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu [1]. Wallahu a’lam bish shawab.
MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]
Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini.
MAKNA HADITS
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.
SYARAH HADITS
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ)).
"Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".[5]
Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6]
Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.
HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161].
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”
Ibnu Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” [8]
Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]
Juga firmanNya :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].
Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu di atas.
PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.
1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan :
"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya".
Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.[9]
2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan :
((أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا))
"Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?"
Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
((فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ))
"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …" [10]
3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
"Hadiah untuk para petugas adalah ghulul". [11]
4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]
BAHAYA BUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [13]
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya". [14]
3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang". [15]
4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".[16]
5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?". [17]
Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini bermanfaat.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal.
[2]. Lisanul ‘Arab.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits..
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir.
[6]. Nailul Authar.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir.
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah,
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad,dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil
[12]. Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir.
[15]. HR Ahmad at Tirmidzi, an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anh, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu 'Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Radhiyallahu 'anhu.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha.
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا
فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ:
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ
إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ:
((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ:
((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ
فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا
نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”
TAKHRIJ HADITS
- Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
- Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu 'anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLAHU 'ANHU
Beliau merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu [1]. Wallahu a’lam bish shawab.
MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]
Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini.
MAKNA HADITS
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.
SYARAH HADITS
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ)).
"Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".[5]
Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6]
Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.
HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161].
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”
Ibnu Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” [8]
Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا
إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ
بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]
Juga firmanNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].
Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu di atas.
PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.
1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan :
((غَزَا نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي
رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا
وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ
سُقُوفَهَا وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ
يَنْتَظِرُ وِلَادَهَا فَغَزَا فَدَنَا مِنْ الْقَرْيَةِ صَلَاةَ الْعَصْرِ
أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ
وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا فَحُبِسَتْ حَتَّى
فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ
لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا
فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ
بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ
فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ
الْغُلُولُ فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ
فَوَضَعُوهَا فَجَاءَتْ النَّارُ فَأَكَلَتْهَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ
لَنَا الْغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا))
"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya".
Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.[9]
2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan :
((أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا))
"Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?"
Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
((فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ))
"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …" [10]
3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
((هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ))
"Hadiah untuk para petugas adalah ghulul". [11]
4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]
BAHAYA BUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا
إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ
كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً
تَيْعَرُ ...))
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [13]
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))
"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya". [14]
3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang". [15]
4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))
"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".[16]
5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا
صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ
يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ
يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ
وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ
لِذَلِكَ))
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?". [17]
Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini bermanfaat.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal.
[2]. Lisanul ‘Arab.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits..
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir.
[6]. Nailul Authar.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir.
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah,
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad,dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil
[12]. Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir.
[15]. HR Ahmad at Tirmidzi, an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anh, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu 'Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Radhiyallahu 'anhu.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha.
Adab Meminta Izin
Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan perbuatan
salah yang dianggap lumrah. Atau perbuatan berbahaya yang dianggap
biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari mayoritas kaum
muslimin orang yang benar-benar memahami tuntunan syari'at. Sedikit juga
orang yang berkemauan keras untuk belajar dan mendalami agamanya.
Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya.
Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.
Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?
Syari'at Islam adalah syari'at yang universal. Tidak ada satupun perkara yang membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia, kecuali Islam memerintahkannya. Dan tidak ada satu pun perkara yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan manusia, kecuali Islam melarangnya. Tidak terkecuali dalam masalah adab meminta izin atau disebut isti'dzan. Islam telah memberikan tuntunan adab yang sangat agung dalam masalah ini. Berikut ini kami berusaha sedikit mengulasnya.
MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAM
Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Hai, orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat".[An Nur:27].
Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba' [1], jadayah [2] dan dhaghabis [3]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka Beliau bersabda:
"Keluarlah, ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i]
HENDAKLAH BERDIRI DI SISI KIRI ATAU KANAN PINTU
Bagi orang yang meminta izin, hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu. Dan janganlah ia berdiri tepat di depan pintu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terkuak. Terlebih lagi, jika pintu memang dalam keadaan terbuka. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr, ia berkata:
"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan salam "assalamu 'alaikum, assalamu 'alaikum", karena saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai". [Hadist riwayat Abu Dawud].
Abu Dawud juga meriwayatkan dari Huzail, ia berkata: "Seorang lelaki –Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan, lelaki ini adalah Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu - datang lalu berdiri di depan pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin. Dia berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan: Berdiri menghadap pintu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:
"Menyingkirlah dari depan pintu, sesungguhnya meminta izin disyari’atkan untuk menjaga pandangan mata".
BILA TIDAK DIIZINKAN HENDAKLAH IA KEMBALI
Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu "Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An Nur:28].
Apabila seseorang telah mengucapkan salam dan meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilakan, hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima tamu, atau ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan antara mengizinkan atau menolak tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:
"Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
LARANGAN MENGINTIP KE DALAM RUMAH ORANG LAIN
Sering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang tuntunan syari'at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab, atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam keras oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:
"Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahal bin Saad As Sa'idi Radhiyallahu 'anhu, ia mengabarkan bahwasanya seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika melihatnya, Beliau bersabda: "Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai kedua matamu dengan sisir ini". Beliau bersabda: "Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahakan untuk menjaga pandangan mata." [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan ketika hendak memasuki rumah orang lain, kecuali rumah-rumah yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga tempat-tempat umum, seperti tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya.
Kini muncul pertanyaan, apakah kita juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota keluarga kita? Berikut ini perinciannya.
SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MASUK MENEMUI IBUNYA
Seorang anak laki laki yang telah baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui ibunya.
Di dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman: "Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai." [Hadits mauquf shahih].
Demikian juga riwayat dari Alqamah, ia berkata: Seorang laki laki datang kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dan berkata: "Apakah aku harus meminta jika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Tidaklah dalam semua keadaannya ia suka engkau melihatnya." [Hadits mauquf shahih].
SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MENEMUI SAUDARA PEREMPUANNYA
Demikian juga seorang laki laki baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk menemui saudara perempuannya.
Di dalam kitab Al Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Atha'. Dia berkata, aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara perempuanku?" Dia menjawab,”Ya.” Aku mengulangi pertanyaanku: "Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku. Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak masuk menemui mereka?" Maka dia menjawab,”Ya. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang?" [Hadits mauquf shahih].
PERINTAH KEPADA ORANG TUA AGAR MENGAJARI ANAK-ANAK DAN PARA PELAYANNYA TENTANG KEHARUSAN MEMINTA IZIN PADA TIGA WAKTU
Di dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 58, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada mereka pada tiga waktu.
Pertama : Sebelum shalat subuh, karena biasanya orang-orang pada waktu itu sedang nyenyak tidur di pembaringan mereka.
Kedua : Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari”, yaitu pada waktu tidur siang, karena pada saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.
Ketiga : Sesudah sesudah shalat Isya, karena saat itu adalah waktu tidur.
Pelayan dan anak-anak diperintahkan agar tidak masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan seseorang sedang bersama isterinya, atau sedang melakukan hal-hal yang bersifat pribadi.
Oleh sebab itu, Allah mengatakan: "Itulah tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu", yakni jika mereka masuk pada waktu di luar tiga waktu tersebut, maka tiada dosa atas kamu bila membuka kesempatan buat mereka (untuk masuk), dan tiada dosa atas mereka bila melihat sesuatu di luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui kalian, karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan lainnya.
Para pelayan yang biasa keluar masuk diberi dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kucing:
"Ia (kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu".
Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin", yakni apabila anak-anak yang sebelumnya harus meminta izin pada tiga waktu yang telah disebutkan di atas. Apabila mereka telah mencapai usia baligh, mereka wajib meminta izin di setiap waktu, seperti halnya orang-orang dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib-kerabatnya wajib meminta izin.
Al Auza'i meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, ia mengatakan: "Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah mencapai usia baligh ia harus meminta izin di setiap waktu."
Demikianlah paparan singkat tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan adab-adab isti'dzan. Mudah-mudahan dapat memambah pemahaman kita tentang ajaran Islam dalam membimbing umat manusia, guna memperoleh seluruh kemashlahatan dan menggapai kabahagiaan hidup di dunia dan di dunia dan akhirat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Susu yang diperah saat unta baru saja melahirkan
[2]. Rusa yang baru berusia enam bulan
[3]. Buah semacam mentimun
Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya.
Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.
Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?
Syari'at Islam adalah syari'at yang universal. Tidak ada satupun perkara yang membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia, kecuali Islam memerintahkannya. Dan tidak ada satu pun perkara yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan manusia, kecuali Islam melarangnya. Tidak terkecuali dalam masalah adab meminta izin atau disebut isti'dzan. Islam telah memberikan tuntunan adab yang sangat agung dalam masalah ini. Berikut ini kami berusaha sedikit mengulasnya.
MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAM
Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Hai, orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat".[An Nur:27].
Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba' [1], jadayah [2] dan dhaghabis [3]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka Beliau bersabda:
"اِرْجِعْ فَقُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أأدخل"
"Keluarlah, ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i]
HENDAKLAH BERDIRI DI SISI KIRI ATAU KANAN PINTU
Bagi orang yang meminta izin, hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu. Dan janganlah ia berdiri tepat di depan pintu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terkuak. Terlebih lagi, jika pintu memang dalam keadaan terbuka. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr, ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَي بَابَ
قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ البَابَ مِنْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ وَلَكِنْ مِنْ
رُكْنِهِ الأَيْمَنِ أَوْ الأَيْسَرِ وَيَقُوْلُ "السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ"
"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan salam "assalamu 'alaikum, assalamu 'alaikum", karena saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai". [Hadist riwayat Abu Dawud].
Abu Dawud juga meriwayatkan dari Huzail, ia berkata: "Seorang lelaki –Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan, lelaki ini adalah Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu - datang lalu berdiri di depan pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin. Dia berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan: Berdiri menghadap pintu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:
"هَكَذَا عَنْكَ - أَوْ هَكَذَا - فَإِنَّمَا الاِسْتِئْذَانُ مِنَ النَّظَرِ"
"Menyingkirlah dari depan pintu, sesungguhnya meminta izin disyari’atkan untuk menjaga pandangan mata".
BILA TIDAK DIIZINKAN HENDAKLAH IA KEMBALI
Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فِيهَآ أَحَدًا فَلاَ تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ
لَكُمْ وَإِن قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ ازْكَى لَكُمْ
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
"Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu "Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An Nur:28].
Apabila seseorang telah mengucapkan salam dan meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilakan, hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima tamu, atau ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan antara mengizinkan atau menolak tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:
"إِذَا اسْتَأَذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَنْصَرِفْ"
"Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
LARANGAN MENGINTIP KE DALAM RUMAH ORANG LAIN
Sering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang tuntunan syari'at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab, atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam keras oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:
"لَوْ أَنَّ امْرَأً اِطْلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَخَذَفَتْهُ
بِحُصَاةٍ فَفَقَأَتْ عَيْنُهُ مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ"
"Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahal bin Saad As Sa'idi Radhiyallahu 'anhu, ia mengabarkan bahwasanya seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika melihatnya, Beliau bersabda: "Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai kedua matamu dengan sisir ini". Beliau bersabda: "Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahakan untuk menjaga pandangan mata." [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan ketika hendak memasuki rumah orang lain, kecuali rumah-rumah yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga tempat-tempat umum, seperti tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya.
Kini muncul pertanyaan, apakah kita juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota keluarga kita? Berikut ini perinciannya.
SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MASUK MENEMUI IBUNYA
Seorang anak laki laki yang telah baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui ibunya.
Di dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman: "Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai." [Hadits mauquf shahih].
Demikian juga riwayat dari Alqamah, ia berkata: Seorang laki laki datang kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dan berkata: "Apakah aku harus meminta jika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Tidaklah dalam semua keadaannya ia suka engkau melihatnya." [Hadits mauquf shahih].
SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MENEMUI SAUDARA PEREMPUANNYA
Demikian juga seorang laki laki baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk menemui saudara perempuannya.
Di dalam kitab Al Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Atha'. Dia berkata, aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara perempuanku?" Dia menjawab,”Ya.” Aku mengulangi pertanyaanku: "Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku. Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak masuk menemui mereka?" Maka dia menjawab,”Ya. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang?" [Hadits mauquf shahih].
PERINTAH KEPADA ORANG TUA AGAR MENGAJARI ANAK-ANAK DAN PARA PELAYANNYA TENTANG KEHARUSAN MEMINTA IZIN PADA TIGA WAKTU
Di dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 58, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada mereka pada tiga waktu.
Pertama : Sebelum shalat subuh, karena biasanya orang-orang pada waktu itu sedang nyenyak tidur di pembaringan mereka.
Kedua : Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari”, yaitu pada waktu tidur siang, karena pada saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.
Ketiga : Sesudah sesudah shalat Isya, karena saat itu adalah waktu tidur.
Pelayan dan anak-anak diperintahkan agar tidak masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan seseorang sedang bersama isterinya, atau sedang melakukan hal-hal yang bersifat pribadi.
Oleh sebab itu, Allah mengatakan: "Itulah tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu", yakni jika mereka masuk pada waktu di luar tiga waktu tersebut, maka tiada dosa atas kamu bila membuka kesempatan buat mereka (untuk masuk), dan tiada dosa atas mereka bila melihat sesuatu di luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui kalian, karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan lainnya.
Para pelayan yang biasa keluar masuk diberi dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kucing:
"إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسَةٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ أَوْ وَالطَّوَّافَاتِ"
"Ia (kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu".
Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin", yakni apabila anak-anak yang sebelumnya harus meminta izin pada tiga waktu yang telah disebutkan di atas. Apabila mereka telah mencapai usia baligh, mereka wajib meminta izin di setiap waktu, seperti halnya orang-orang dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib-kerabatnya wajib meminta izin.
Al Auza'i meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, ia mengatakan: "Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah mencapai usia baligh ia harus meminta izin di setiap waktu."
Demikianlah paparan singkat tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan adab-adab isti'dzan. Mudah-mudahan dapat memambah pemahaman kita tentang ajaran Islam dalam membimbing umat manusia, guna memperoleh seluruh kemashlahatan dan menggapai kabahagiaan hidup di dunia dan di dunia dan akhirat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Susu yang diperah saat unta baru saja melahirkan
[2]. Rusa yang baru berusia enam bulan
[3]. Buah semacam mentimun
Meningkatkan Nilai Ibadah Seorang Muslim
Bulan suci Ramadhan telah berlalu. Pelipatgandaan pahala, kemudahan dari
Allah di bulan Ramadhan pergi seiring dengan kepergian tamu kita, bulan
Ramadhan. Nuansa Ramadhan yang istimewa pun lewat. Tapi kaum muslimin
mesti TETAP berlomba untuk menggapai rahmat dan hidayah Allah melalui
peningkatan ibadah dan doa kepada-Nya, di bulan-bulan lainnya. Hanya
saja, terkadang seorang muslim dihadapkan pada sekian banyak amalan yang
ingin ia kerjakan semuanya. Namun kadang-kadang kesempatan, waktu dan
fisik tidak memungkinkannya untuk menuntaskan segala amalan sholeh yang
ia inginkan. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga, mempunyai istri
(atau suami) dan anak-anak.
Dalam kondisi demikian, dipandang perlu agar seorang muslim mengetahui beberapa kaedah dalam beramal sholeh untuk memudahkan bagi dirinya dalam memilih amalan yang lebih baik dan berkualitas, lebih dicintai oleh Allah l dan mengundang pahala yang lebih besar dibandingkan amalan lainnya.
Urgensi aspek ini:
1.Perhatian Generasi Salaf Terhadap Masalah Ini.
Topik ini menjadi fokus perhatian ekstra dari generasi Salaf. Hasrat mereka untuk mendalami permasalahan ini sangat besar. Para sahabat menjadi teladan dengan melontarkan banyak pertanyaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Generasi tabi'in dan para tokoh ulama Islam pun memberi porsi perhatian yang besar. Kongkretnya, tercermin dalam penulisan buku dan pembakuan kaedah dalam materi ini.
2. Ekonomis Dalam Beramal
Seorang muslim yang memahami bab ini, akan meraih kebaikan besar dalam masa yang singkat dan modal yang minim, yang dikerjakan oleh orang lain dengan waktu panjang dan tenaga besar. Hal ini penting sekali diketahui, terutama pada akhir-akhir ini yang begitu banyak kesibukan dan halangan untuk bisa beribadah dengan frekuensi yang banyak.
3. Penyimpangan Yang Dilakukan Sebagian Firqah Dalam Aspek Ini.
Sebagian firqah menyimpang dari garis sunnah lantaran kegandrungan mereka kepada bid'ah daripada sunnah Nabi. Amalan sunnah lebih diutamakan daripada kewajiban. Lebih berbahaya lagi ketika amalan bid'ah lebih disukai daripada ajaran Islam.
4. Bahaya Jerat Syaithan Terhadap Sebagian Ahli Ibadah.
Sebagian ahli ibadah tertipu oleh bisikan syaithan dengan mengamalkan amalan yang kualitasnya di bawah.
Berikut ini beberapa faktor yang bisa mempengaruhi peningkatan kualitas amalan ibadah:
TINGKATKAN KEIKHLASAN DAN PERBAIKI NIAT
Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh. Disamping itu, juga tingkatkan unsur mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah. Dua hal ini merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Dalilnya, Allah berfirman:
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya". [1]
Ibnu Katsir berkata: ‘(Yaitu orang yang ) mengharapkan pahala, dan ganjaran dariNya, [فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا / hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh ] yaitu amalan yang bertepatan dengan petunjuk syariat, [ وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا / dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya ] yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dua hal ini adalah dua syarat diterimanya amalan. Mesti murni karena Allah, lagi cocok dengan aturan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [2]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi yang Dia kehendaki" [3].
Ibnu Katsir menjelaskan : "Berdasarkan keikhlasannya dalam beramal". [4]
Syaikh As Sa'di berkata: "Itu bergantung pada kekuatan iman dan kesempurnaan ikhlas yang terdapat pada orang yang berinfak"[5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang ia kerjakan akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya". [6]
Ibnu Rajab berkata tentang hadits di atas : "Pelipatgandaan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan niatnya, serta urgensi dan keutamaan amalan tersebut"[7].
Sebagai pelengkap dalam menetapkan naiknya tingkatan amalan yang dibarengi kekuatan ikhlas, adanya beberapa nash yang menyatakan keutamaan amalan yang dilakukan secara tersembunyi dibandingkan amalan yang dilakukan di hadapan khalayak. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:
"Jika kalian memperlihatkan sedekah maka itu baik. Dan jika kalian menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir, niscaya lebih baik …" [8].
Ibnu Katsir berkata: "Dalam ayat ini terkandung petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada memperlihatkannya. Sebab lebih jauh dari noda riya`. Kecuali bila dengan memperlihatkan saat mengeluarkan sedekah ada unsur maslahat yang pasti"[9].
Ibnul Qayyim menjelaskan rahasia mengapa sedekah yang dilakukan dengan sembunyi lebih baik dengan berkata: "Adapun memberikannya kepada orang-orang fakir, jika dilakukan dengan cara tersembunyi mengandung beberapa manfaat, menutupi jati dirinya (pemberi sedekah) , dan tidak membuat malu si penerima di hadapan orang banyak, tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang sedang direndahkan kehormatannya, dan supaya orang tidak melihat bahwa tangannya sufla, juga agar orang tidak berkomentar dirinya (sang penerima) tidak ada harganya sama sekali sehingga mereka enggan untuk berinteraksi dan melakukan tukar-menukar dengannya. Ini adalah manfaat tambahan selain berbuat baik kepadanya dengan memberi sedekah, di samping penjagaan aspek ikhlas.
Hal ini berlaku pada ibadah yang sifatnya tathawu' (sunnah).
Dari Bustham bin Huraits, ia berkata: ‘Adalah Ayyub pernah terharu (karena takut kepada Allah), sehingga air matanya keluar. Namun ia ingin menyembunyikannya. Maka ia memegangi hidungnya, bersikap seolah-oleh orang yang sedang mengalami influenza. Jika ia khawatir , air matanya semakin deras, maka ia beranjak pergi"[10]
TINGKATKAN PERHATIAN PADA ASPEK MUTABA'AH KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DALAM BERIBADAH.
Maksud dari mutaba'ah dalam beramal adalah "menjalankan perintah Nabi dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat yang dahulu dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ".
Sementara Syaikhul Islam menjelaskannya dengan :
"Hendaknya dikerjakan persis dengan yang dilakukan Nabi sesuai dengan aturan pelaksanaannya"[11].
Jadi mutaba'ah kepada Nabi harus memenuhi dua unsur:
a. Kesesuaian dengan Nabi dalam pelaksanaan, persis dengan tata cata beliau
b. Kesesuaian dalam niat, ditujukan untuk beribadah
Dalam point ini, maksudnya adalah penjelasan peningkatan nilai amalan yang lahir sebagai dampak dari mutaba'ah.
Topik mutaba’ah adalah pembahasan yang sangat luas. Hakikatnya, berusaha mengerjakan seluruh aturan syariat atau mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang umum. Jalan perealisasiannya, melalui kesempurnaan memahami agama, kekuatan tekad yang penuh dalam beramal -dengan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala - ada beberapa prinsip dalam mutaba’ah yang terangkum dalam beberapa point berikut ini:
Mutaba’ah kepada Nabi dalam keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan dengan salah satu jenis ibadah saja dengan menelantarkan ibadah lainnya. Tapi ‘namanya selalu tercantum’ dalam setiap ibadah. Dengan kata lain, berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh cabang iman qalbiyyah, amaliyyah maupun qauliyyah
Disebutkan dalam hadits keutamaan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amaliah, mereka akan dipanggil dari berbagai pintu syurga. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan orang-orang yang dipanggil dari pintu yang sesuai dengan ibadah yang ia tekuni, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bertanya:
"Apakah ada seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu?"
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Ya, dan aku berharap engkau termasuk mereka, wahai Abu Bakar" [12].
Mutaba’ah kepada Nabi dalam aspek kontinyuitas amalan.
Mutaba’ah kepada Nabi dengan mengerjakan amalan tanpa unsur memberatkan diri (takalluf).
Oleh karena itu, beliau melarang shaumud dahri (puasa setahun penuh) atau meninggalkan perkawinan, makanan, tidur dengan dalih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada orang yang bersikap keras dengannya, kecuali akan terkalahkan.." [13]
Mutaba’ah kepada Nabi dengan melakukan keseimbangan (balancing) terhadap hak-hak yang ada, tidak menyisihkan salah satu hak demi pemenuhan hak lainnya. Tapi memberikan hak kepada para pemiliknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Maka, sesungguhnya bagi jasadnya ada hak atasmu, bagi matamu ada hak atasmu dan bagi istrimu ada hak atasmu dan bagi tamumu ada hak atasmu" [14]
UTAMAKAN & BERIKAN PERHATIAN EKSTRA TERHADAP AMALAN YANG WAJIB
Amalan yang wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Demikian juga, memperhatikan ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada ibadah yang sunnah.
Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah Sh bersabda:
"Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hambaKu yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya…' [15]
Ibnu Hajar berkata: "Dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai oleh Allah" [16].
Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar dengan mengatakan:
"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali apabila amalan ibadah yang wajib telah ditunaikan"[17].
Ibnu Taimiyah menegaskan pula: "Oleh karena itu, wajib bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan yang sunnah. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang sunnah terhitung sebagai ibadah jika amalan yang wajib sudah dikerjakan"[18].
Al Hafizh Ibnu Hajar menukil dari sebagian ulama besar zaman dahulu, mereka menetapkan :
"Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara sunnah, maka ia termaafkan. Barangsiapa disibukkan dengan perkara sunnah sehingga perkara wajib terbengkalai, maka ia adalah orang yang tertipu" [19]
KERJAKAN SATU AMALAN SHOLEH DENGAN KONTINYU
Faktor lain yang bisa meningkatkan nilai amaliah seseorang adalah al mudawamah (kontinyuitas dalam beramal). Amalan yang sedikit, tapi kontinyu lebih utama dari amalan yang putus-putus, tidak dikerjakan secara terus-menerus, kendati banyak.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu dikerjakan, meskipun sedikit" [20].
Demikian pula, ini merupakan kebiasaan Rasulullah. Amaliah beliau sehari-hari diimah (kontinyu), yaitu dikerjakan secara terus menerus, tidak putus darinya. Dan beliau menganjurkan umatnya untuk itu, memperingatkan dari amalan-amalan yang memberatkan yang tidak kuat dipikul oleh seseorang. Sebab hal itu rawan sekali untuk ditinggalkan sehingga tidak berlangsung lama.
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Wahai manusia, kerjakanlah amalan yang kalian sanggupi" [21]
Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: Kerjakanlah amalan yang kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu [22]. Sementara Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: Di dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi ditinggalkan [23].
Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak rahasia mengapa amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan mulia dibandingkan amalam lain. Di antara keterangan mereka:
Al Qurthubi berkata: "Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan dengan berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang meninggalkannya" [24].
Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan: "Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, bararti ketaatannya kepada Allah juga berlangsung terus-menerus, demikian juga dzikir, muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya menghadapkan dirinya kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi ditinggalkan".
Adapun Ibnul Jauzi mengajukan keterangan, bahwa orang yang meninggalkan amalan setelah pernah ia lakukan bagaikan orang yang berpaling darinya sehingga pantas untuk dicela. Dan alasan kedua, orang yang senantiasa beramal, berarti ia senantiasa melakukan penghambaan diri kepada Allah. Dan orang yang sering mengetuk di satu waktu setiap harinya tidak sama dengan orang yang menunggu pintu seharian kemudian ia tinggalkan’
TINGKATKAN KAPASITAS ILMIAH ANDA
Di antara aspek yang bisa meningkatkan kualitas amaliah seseorang adalah, kemuliaan dan kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah bersabda:
"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala infak mereka sebesar satu mud ataupun setengahnya".
Al Baidhawi menerangkan hadits ini dengan berkata: Makna hadits ini, salah seorang dari kalian tidak akan mampu menggapai dengan infak sebesar gunung Uhud yang berupa emas, keutamaan dan pahala yang diraih oleh salah seorang mereka (sahabat) dengan infak satu mud atau setengahnya. Sebab perbedaan ini, kondisi yang menyertai orang yang lebih mulia yang berupa kekuatan ikhlas yang lebih tinggi dan kejujuran niat mereka.
Dengan ini, menjadi jelas keutamaan para sahabat dan amalan yang mereka lakukan dibandingkan amalan selain mereka.
Sebagian ulama telah menyinggung beberapa sebab pengutamaan dalam kaedah ini. meskipun melalui nash-nash yang ada, peningkatan nilai amaliah tergantung dari kedudukan orang yang beramal, tapi ada beberara rahasia di belakang itu, yang telah disinggung oleh sebagian ulama.
Di antaranya: Keutamaan yang mereka raih itu berangkat dari kondisi batiniah mereka yang mengalahkan orang lain. Seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud: Kalian itu lebih banyak puasanya dibandingkan para sahabat Muhammad, tapi mereka tetap lebih baik dari kalian. Mereka bertanya: Apa sebabnya?’. Ibnu Mas’ud menjawab:
"Mereka (para sahabat) lebih zuhud kepada dunia dan lebih berharap kepada akhirat daripada kalian".
Kedua, lantaran mereka lebih paham terhadap agama, dan itu otomatis berpengaruh pada kualitas ibadah mereka sehingga dilaksanakan dengan cara yang lebih baik.
Ini makna yang terkandung pada pernyataan Abu Darda`: Dan satu biji sawi kebaikan orang yang bertakwa dan yakin, lebih besar, lebih utama dan lebih berat timbangannya seperti beratnya gunung-gunung dibandingkan ibadah orang-orang yang tertipu’.
UTAMAKAN AMALAN SOSIAL DARIPADA AMALAN YANG MANFAATNYA TERBATAS PADA PRIBADI SEMATA
Ditinjau dari sudut kemanfaatannya bagi orang lain, amalan sholeh terkualifikasikan menjadi dua:
A. Amalan yang hanya terbatas kemanfaatannya bagi pelakunya saja, tidak bisa dinikmati oleh orang lain. Misalnya seluruh ibadah yang menjadi kendaraan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada kaitan dengan makhluk.
B. Amalan yang manfaatnya bisa dinikmati oleh orang lain, sehingga maslahat keagamaan dan duniawi mereka terpenuhi.
Dalam masalah pemilahan amalan sholeh, para ulama telah menetapkan bahwa amalan sholeh yang bersifat sosial lebih utama dibandingkan amalan yang manfaatnya terbatas pada pelakunya sendiri. Sebabnya, terwujudnya maslahat serta dampak positif yang dapat dirasakan oleh orang lain. Dasar penetapan mereka adalah semua dalil yang menunjukkan ketinggian nilai amal sholeh yang bersifat sosial, anjuran untuk melakukannya serta sanjungan bagi para pelakunya.
Di antaranya :
"Barangsiapa menyeru kepada hidayah, niscaya ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.." [al hadits] [25]
Hadits di atas, dengan jelas menggambarkan besarnya keutamaan menyalurkan dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Dan nash-nash yang senada dengan makna hadits di atas sangat banyak.
Demikian juga, terdapat dalil yang berisi sanjungan bagi orang-orang yang sering berbuat baik untuk orang lain, mereka adalah makhluk pilihan di sisi Allah. Nabi bersabda:
"Sebaik-baik kawan di sisi Allah, ialah yang paling bermanfaat bagi kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah tetangga yang paling baik bagi tetangganya" [26].
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik bagi keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku"[27].
Nabi pernah bertanya kepada para sahabat tentang orang-orang yang baik dan orang-orang yang buruk sampai tiga kali. Namun mereka diam. Maka beliau menerangkan:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan dirasa aman keburukannya. Dan sejelek-jelek kalian adalah orang yang tidak pernah diharapkan kebaikannya dan tidak dirasa aman keburukannya".
Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa manusia pilihan di sisi Allah adalah mereka yang terbaik di mata manusia. Dan yang paling utama dari kalangan mereka di sisi Allah, adalah insan yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Kaidah ini sudah diaplikasikan oleh generasi Salaf. Mereka mengutamakan amalan yang bermanfaat bagi orang lain daripada amalan sholeh yang bersifat pribadi.
Majjaad berkata: ‘Aku pernah menemani perjalanan Ibnu Umar untuk membantunya tapi justru dialah yang melayaniku”. Sebagian dari mereka, kalangan Salaf, bahkan mengajukan syarat saat akan melakukan perjalanan bersama dengan kawan-kawan lain agar dia saja yang melayani mereka di tengah perjalanan. Di antara mereka, ‘Amir bin Abdi Qais, ‘Amr bin Utbah bin Farqad, orang-orang yang dikenal dengan ketekunan mereka dalam beribadah.
Meskipun melayani orang lain itu makan tenaga dan waktu, tapi ternyata mereka lebih mengutamakannya. Seandainya menurut mereka ibadah qashirah itu lebih afdhal sudah mesti mereka tidak akan menyibukkan diri dengan amalan sosial tersebut. Padahal mereka adalah orang-orang yang faqih dan sangat antusias melakukan kebaikan. Artinya, amalan sosial itu lebih berharga dan bernilai menurut mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Rajab menetapkan: "Berbuat baik kepada teman perjalanan lebih baik daripada ibadah qashirah (yang manfaatnya hanya direguk secara pribadi), apalagi jika seseorang punya keinginan sendiri untuk menservis kawan-kawannya" [28]. (Red).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al Kahfi : 110.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir.
[3]. Al Baqarah : 261
[4]. Tafsir Ibnu Katsir.
[5]. Tafsir As Sa’d.
[6]. Shahih Al Bukhari Fathul Bari., Shahih Muslim.
[7]. Jami’ul Ulumi Wal Hikam.
[8]. Al Baqarah: 271
[9]. Tafsir Ibnu Katsir.
[10]. Dzammu Ar Riya`.
[11]. Majmu’ Al Fatawa.
[12]. HR. Bukhari, Muslim.
[13]. HR. Bukhari (Fathul Bari).
[14]. Diriwayatkan Bukhari (Fathul Bari), Muslim
[15] HR. Bukhari.
[16]. Fathul Bari
[17]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
[18]. Majmu’ Al Fatawa.
[19]. Fathul Bari.
[20]. HR. Muslim.
[21]. HR. Bukhari (Fathul Bari), Muslim.
[22]. Ikmal Al Mu’lim .
[23]. Syarah Shahih Muslim
[24]. Al Mufhim
[25]. HR. Muslim.
[26] HR. At Tirmidzi , Al Hakim dan berkata: ‘Shahih berdasarkan syarat Syaikhan’ dan disepakati oleh Adz Dzahabi
[28]. HR. Ibnu Majah(Ash Shahihah).
Dalam kondisi demikian, dipandang perlu agar seorang muslim mengetahui beberapa kaedah dalam beramal sholeh untuk memudahkan bagi dirinya dalam memilih amalan yang lebih baik dan berkualitas, lebih dicintai oleh Allah l dan mengundang pahala yang lebih besar dibandingkan amalan lainnya.
Urgensi aspek ini:
1.Perhatian Generasi Salaf Terhadap Masalah Ini.
Topik ini menjadi fokus perhatian ekstra dari generasi Salaf. Hasrat mereka untuk mendalami permasalahan ini sangat besar. Para sahabat menjadi teladan dengan melontarkan banyak pertanyaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Generasi tabi'in dan para tokoh ulama Islam pun memberi porsi perhatian yang besar. Kongkretnya, tercermin dalam penulisan buku dan pembakuan kaedah dalam materi ini.
2. Ekonomis Dalam Beramal
Seorang muslim yang memahami bab ini, akan meraih kebaikan besar dalam masa yang singkat dan modal yang minim, yang dikerjakan oleh orang lain dengan waktu panjang dan tenaga besar. Hal ini penting sekali diketahui, terutama pada akhir-akhir ini yang begitu banyak kesibukan dan halangan untuk bisa beribadah dengan frekuensi yang banyak.
3. Penyimpangan Yang Dilakukan Sebagian Firqah Dalam Aspek Ini.
Sebagian firqah menyimpang dari garis sunnah lantaran kegandrungan mereka kepada bid'ah daripada sunnah Nabi. Amalan sunnah lebih diutamakan daripada kewajiban. Lebih berbahaya lagi ketika amalan bid'ah lebih disukai daripada ajaran Islam.
4. Bahaya Jerat Syaithan Terhadap Sebagian Ahli Ibadah.
Sebagian ahli ibadah tertipu oleh bisikan syaithan dengan mengamalkan amalan yang kualitasnya di bawah.
Berikut ini beberapa faktor yang bisa mempengaruhi peningkatan kualitas amalan ibadah:
TINGKATKAN KEIKHLASAN DAN PERBAIKI NIAT
Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh. Disamping itu, juga tingkatkan unsur mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah. Dua hal ini merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Dalilnya, Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya". [1]
Ibnu Katsir berkata: ‘(Yaitu orang yang ) mengharapkan pahala, dan ganjaran dariNya, [فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا / hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh ] yaitu amalan yang bertepatan dengan petunjuk syariat, [ وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا / dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya ] yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dua hal ini adalah dua syarat diterimanya amalan. Mesti murni karena Allah, lagi cocok dengan aturan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [2]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ
"Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi yang Dia kehendaki" [3].
Ibnu Katsir menjelaskan : "Berdasarkan keikhlasannya dalam beramal". [4]
Syaikh As Sa'di berkata: "Itu bergantung pada kekuatan iman dan kesempurnaan ikhlas yang terdapat pada orang yang berinfak"[5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا
تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَكُلُّ
سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا
"Jika salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang ia kerjakan akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya". [6]
Ibnu Rajab berkata tentang hadits di atas : "Pelipatgandaan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan niatnya, serta urgensi dan keutamaan amalan tersebut"[7].
Sebagai pelengkap dalam menetapkan naiknya tingkatan amalan yang dibarengi kekuatan ikhlas, adanya beberapa nash yang menyatakan keutamaan amalan yang dilakukan secara tersembunyi dibandingkan amalan yang dilakukan di hadapan khalayak. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:
إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ
"Jika kalian memperlihatkan sedekah maka itu baik. Dan jika kalian menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir, niscaya lebih baik …" [8].
Ibnu Katsir berkata: "Dalam ayat ini terkandung petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada memperlihatkannya. Sebab lebih jauh dari noda riya`. Kecuali bila dengan memperlihatkan saat mengeluarkan sedekah ada unsur maslahat yang pasti"[9].
Ibnul Qayyim menjelaskan rahasia mengapa sedekah yang dilakukan dengan sembunyi lebih baik dengan berkata: "Adapun memberikannya kepada orang-orang fakir, jika dilakukan dengan cara tersembunyi mengandung beberapa manfaat, menutupi jati dirinya (pemberi sedekah) , dan tidak membuat malu si penerima di hadapan orang banyak, tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang sedang direndahkan kehormatannya, dan supaya orang tidak melihat bahwa tangannya sufla, juga agar orang tidak berkomentar dirinya (sang penerima) tidak ada harganya sama sekali sehingga mereka enggan untuk berinteraksi dan melakukan tukar-menukar dengannya. Ini adalah manfaat tambahan selain berbuat baik kepadanya dengan memberi sedekah, di samping penjagaan aspek ikhlas.
Hal ini berlaku pada ibadah yang sifatnya tathawu' (sunnah).
Dari Bustham bin Huraits, ia berkata: ‘Adalah Ayyub pernah terharu (karena takut kepada Allah), sehingga air matanya keluar. Namun ia ingin menyembunyikannya. Maka ia memegangi hidungnya, bersikap seolah-oleh orang yang sedang mengalami influenza. Jika ia khawatir , air matanya semakin deras, maka ia beranjak pergi"[10]
TINGKATKAN PERHATIAN PADA ASPEK MUTABA'AH KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DALAM BERIBADAH.
Maksud dari mutaba'ah dalam beramal adalah "menjalankan perintah Nabi dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat yang dahulu dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ".
Sementara Syaikhul Islam menjelaskannya dengan :
أنْ يُفْعَلَ مِثْلَ مَا فَعَلَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ فَعَلَ
"Hendaknya dikerjakan persis dengan yang dilakukan Nabi sesuai dengan aturan pelaksanaannya"[11].
Jadi mutaba'ah kepada Nabi harus memenuhi dua unsur:
a. Kesesuaian dengan Nabi dalam pelaksanaan, persis dengan tata cata beliau
b. Kesesuaian dalam niat, ditujukan untuk beribadah
Dalam point ini, maksudnya adalah penjelasan peningkatan nilai amalan yang lahir sebagai dampak dari mutaba'ah.
Topik mutaba’ah adalah pembahasan yang sangat luas. Hakikatnya, berusaha mengerjakan seluruh aturan syariat atau mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang umum. Jalan perealisasiannya, melalui kesempurnaan memahami agama, kekuatan tekad yang penuh dalam beramal -dengan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala - ada beberapa prinsip dalam mutaba’ah yang terangkum dalam beberapa point berikut ini:
Mutaba’ah kepada Nabi dalam keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan dengan salah satu jenis ibadah saja dengan menelantarkan ibadah lainnya. Tapi ‘namanya selalu tercantum’ dalam setiap ibadah. Dengan kata lain, berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh cabang iman qalbiyyah, amaliyyah maupun qauliyyah
Disebutkan dalam hadits keutamaan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amaliah, mereka akan dipanggil dari berbagai pintu syurga. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan orang-orang yang dipanggil dari pintu yang sesuai dengan ibadah yang ia tekuni, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bertanya:
فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا
"Apakah ada seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu?"
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ
"Ya, dan aku berharap engkau termasuk mereka, wahai Abu Bakar" [12].
Mutaba’ah kepada Nabi dalam aspek kontinyuitas amalan.
Mutaba’ah kepada Nabi dengan mengerjakan amalan tanpa unsur memberatkan diri (takalluf).
Oleh karena itu, beliau melarang shaumud dahri (puasa setahun penuh) atau meninggalkan perkawinan, makanan, tidur dengan dalih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
"Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada orang yang bersikap keras dengannya, kecuali akan terkalahkan.." [13]
Mutaba’ah kepada Nabi dengan melakukan keseimbangan (balancing) terhadap hak-hak yang ada, tidak menyisihkan salah satu hak demi pemenuhan hak lainnya. Tapi memberikan hak kepada para pemiliknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
"Maka, sesungguhnya bagi jasadnya ada hak atasmu, bagi matamu ada hak atasmu dan bagi istrimu ada hak atasmu dan bagi tamumu ada hak atasmu" [14]
UTAMAKAN & BERIKAN PERHATIAN EKSTRA TERHADAP AMALAN YANG WAJIB
Amalan yang wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Demikian juga, memperhatikan ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada ibadah yang sunnah.
Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah Sh bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ
مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ
"Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hambaKu yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya…' [15]
Ibnu Hajar berkata: "Dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai oleh Allah" [16].
Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar dengan mengatakan:
وَأنَّهُ لاَ يَـقـْـبَلُ نَافِلَةً حَتَّى تُؤَدَّى الْفَريِْضَة
"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali apabila amalan ibadah yang wajib telah ditunaikan"[17].
Ibnu Taimiyah menegaskan pula: "Oleh karena itu, wajib bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan yang sunnah. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang sunnah terhitung sebagai ibadah jika amalan yang wajib sudah dikerjakan"[18].
Al Hafizh Ibnu Hajar menukil dari sebagian ulama besar zaman dahulu, mereka menetapkan :
مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنِ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَ مَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنِ الْفَرْضِِ فَهُوَ مَغْرُورٌ
"Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara sunnah, maka ia termaafkan. Barangsiapa disibukkan dengan perkara sunnah sehingga perkara wajib terbengkalai, maka ia adalah orang yang tertipu" [19]
KERJAKAN SATU AMALAN SHOLEH DENGAN KONTINYU
Faktor lain yang bisa meningkatkan nilai amaliah seseorang adalah al mudawamah (kontinyuitas dalam beramal). Amalan yang sedikit, tapi kontinyu lebih utama dari amalan yang putus-putus, tidak dikerjakan secara terus-menerus, kendati banyak.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu dikerjakan, meskipun sedikit" [20].
Demikian pula, ini merupakan kebiasaan Rasulullah. Amaliah beliau sehari-hari diimah (kontinyu), yaitu dikerjakan secara terus menerus, tidak putus darinya. Dan beliau menganjurkan umatnya untuk itu, memperingatkan dari amalan-amalan yang memberatkan yang tidak kuat dipikul oleh seseorang. Sebab hal itu rawan sekali untuk ditinggalkan sehingga tidak berlangsung lama.
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ
"Wahai manusia, kerjakanlah amalan yang kalian sanggupi" [21]
Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: Kerjakanlah amalan yang kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu [22]. Sementara Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: Di dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi ditinggalkan [23].
Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak rahasia mengapa amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan mulia dibandingkan amalam lain. Di antara keterangan mereka:
Al Qurthubi berkata: "Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan dengan berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang meninggalkannya" [24].
Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan: "Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, bararti ketaatannya kepada Allah juga berlangsung terus-menerus, demikian juga dzikir, muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya menghadapkan dirinya kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi ditinggalkan".
Adapun Ibnul Jauzi mengajukan keterangan, bahwa orang yang meninggalkan amalan setelah pernah ia lakukan bagaikan orang yang berpaling darinya sehingga pantas untuk dicela. Dan alasan kedua, orang yang senantiasa beramal, berarti ia senantiasa melakukan penghambaan diri kepada Allah. Dan orang yang sering mengetuk di satu waktu setiap harinya tidak sama dengan orang yang menunggu pintu seharian kemudian ia tinggalkan’
TINGKATKAN KAPASITAS ILMIAH ANDA
Di antara aspek yang bisa meningkatkan kualitas amaliah seseorang adalah, kemuliaan dan kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala infak mereka sebesar satu mud ataupun setengahnya".
Al Baidhawi menerangkan hadits ini dengan berkata: Makna hadits ini, salah seorang dari kalian tidak akan mampu menggapai dengan infak sebesar gunung Uhud yang berupa emas, keutamaan dan pahala yang diraih oleh salah seorang mereka (sahabat) dengan infak satu mud atau setengahnya. Sebab perbedaan ini, kondisi yang menyertai orang yang lebih mulia yang berupa kekuatan ikhlas yang lebih tinggi dan kejujuran niat mereka.
Dengan ini, menjadi jelas keutamaan para sahabat dan amalan yang mereka lakukan dibandingkan amalan selain mereka.
Sebagian ulama telah menyinggung beberapa sebab pengutamaan dalam kaedah ini. meskipun melalui nash-nash yang ada, peningkatan nilai amaliah tergantung dari kedudukan orang yang beramal, tapi ada beberara rahasia di belakang itu, yang telah disinggung oleh sebagian ulama.
Di antaranya: Keutamaan yang mereka raih itu berangkat dari kondisi batiniah mereka yang mengalahkan orang lain. Seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud: Kalian itu lebih banyak puasanya dibandingkan para sahabat Muhammad, tapi mereka tetap lebih baik dari kalian. Mereka bertanya: Apa sebabnya?’. Ibnu Mas’ud menjawab:
كَانُوا أَزْهَدَ مِنْـكـُمْ فِي الدُّنـيَا وَأرْغَبَ فِي الأخِرَة
"Mereka (para sahabat) lebih zuhud kepada dunia dan lebih berharap kepada akhirat daripada kalian".
Kedua, lantaran mereka lebih paham terhadap agama, dan itu otomatis berpengaruh pada kualitas ibadah mereka sehingga dilaksanakan dengan cara yang lebih baik.
Ini makna yang terkandung pada pernyataan Abu Darda`: Dan satu biji sawi kebaikan orang yang bertakwa dan yakin, lebih besar, lebih utama dan lebih berat timbangannya seperti beratnya gunung-gunung dibandingkan ibadah orang-orang yang tertipu’.
UTAMAKAN AMALAN SOSIAL DARIPADA AMALAN YANG MANFAATNYA TERBATAS PADA PRIBADI SEMATA
Ditinjau dari sudut kemanfaatannya bagi orang lain, amalan sholeh terkualifikasikan menjadi dua:
A. Amalan yang hanya terbatas kemanfaatannya bagi pelakunya saja, tidak bisa dinikmati oleh orang lain. Misalnya seluruh ibadah yang menjadi kendaraan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada kaitan dengan makhluk.
B. Amalan yang manfaatnya bisa dinikmati oleh orang lain, sehingga maslahat keagamaan dan duniawi mereka terpenuhi.
Dalam masalah pemilahan amalan sholeh, para ulama telah menetapkan bahwa amalan sholeh yang bersifat sosial lebih utama dibandingkan amalan yang manfaatnya terbatas pada pelakunya sendiri. Sebabnya, terwujudnya maslahat serta dampak positif yang dapat dirasakan oleh orang lain. Dasar penetapan mereka adalah semua dalil yang menunjukkan ketinggian nilai amal sholeh yang bersifat sosial, anjuran untuk melakukannya serta sanjungan bagi para pelakunya.
Di antaranya :
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ
لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
"Barangsiapa menyeru kepada hidayah, niscaya ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.." [al hadits] [25]
Hadits di atas, dengan jelas menggambarkan besarnya keutamaan menyalurkan dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Dan nash-nash yang senada dengan makna hadits di atas sangat banyak.
Demikian juga, terdapat dalil yang berisi sanjungan bagi orang-orang yang sering berbuat baik untuk orang lain, mereka adalah makhluk pilihan di sisi Allah. Nabi bersabda:
خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
"Sebaik-baik kawan di sisi Allah, ialah yang paling bermanfaat bagi kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah tetangga yang paling baik bagi tetangganya" [26].
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik bagi keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku"[27].
Nabi pernah bertanya kepada para sahabat tentang orang-orang yang baik dan orang-orang yang buruk sampai tiga kali. Namun mereka diam. Maka beliau menerangkan:
خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan dirasa aman keburukannya. Dan sejelek-jelek kalian adalah orang yang tidak pernah diharapkan kebaikannya dan tidak dirasa aman keburukannya".
Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa manusia pilihan di sisi Allah adalah mereka yang terbaik di mata manusia. Dan yang paling utama dari kalangan mereka di sisi Allah, adalah insan yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Kaidah ini sudah diaplikasikan oleh generasi Salaf. Mereka mengutamakan amalan yang bermanfaat bagi orang lain daripada amalan sholeh yang bersifat pribadi.
Majjaad berkata: ‘Aku pernah menemani perjalanan Ibnu Umar untuk membantunya tapi justru dialah yang melayaniku”. Sebagian dari mereka, kalangan Salaf, bahkan mengajukan syarat saat akan melakukan perjalanan bersama dengan kawan-kawan lain agar dia saja yang melayani mereka di tengah perjalanan. Di antara mereka, ‘Amir bin Abdi Qais, ‘Amr bin Utbah bin Farqad, orang-orang yang dikenal dengan ketekunan mereka dalam beribadah.
Meskipun melayani orang lain itu makan tenaga dan waktu, tapi ternyata mereka lebih mengutamakannya. Seandainya menurut mereka ibadah qashirah itu lebih afdhal sudah mesti mereka tidak akan menyibukkan diri dengan amalan sosial tersebut. Padahal mereka adalah orang-orang yang faqih dan sangat antusias melakukan kebaikan. Artinya, amalan sosial itu lebih berharga dan bernilai menurut mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Rajab menetapkan: "Berbuat baik kepada teman perjalanan lebih baik daripada ibadah qashirah (yang manfaatnya hanya direguk secara pribadi), apalagi jika seseorang punya keinginan sendiri untuk menservis kawan-kawannya" [28]. (Red).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al Kahfi : 110.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir.
[3]. Al Baqarah : 261
[4]. Tafsir Ibnu Katsir.
[5]. Tafsir As Sa’d.
[6]. Shahih Al Bukhari Fathul Bari., Shahih Muslim.
[7]. Jami’ul Ulumi Wal Hikam.
[8]. Al Baqarah: 271
[9]. Tafsir Ibnu Katsir.
[10]. Dzammu Ar Riya`.
[11]. Majmu’ Al Fatawa.
[12]. HR. Bukhari, Muslim.
[13]. HR. Bukhari (Fathul Bari).
[14]. Diriwayatkan Bukhari (Fathul Bari), Muslim
[15] HR. Bukhari.
[16]. Fathul Bari
[17]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
[18]. Majmu’ Al Fatawa.
[19]. Fathul Bari.
[20]. HR. Muslim.
[21]. HR. Bukhari (Fathul Bari), Muslim.
[22]. Ikmal Al Mu’lim .
[23]. Syarah Shahih Muslim
[24]. Al Mufhim
[25]. HR. Muslim.
[26] HR. At Tirmidzi , Al Hakim dan berkata: ‘Shahih berdasarkan syarat Syaikhan’ dan disepakati oleh Adz Dzahabi
[28]. HR. Ibnu Majah(Ash Shahihah).
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...