DEFINISI KHITAN
Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian
ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk
perempuan disebut dengan khifadh. [1]
Adapun dalam istilah syariat, dimaksudkan dengan memotong kulit yang
menutupi kepala zakar bagi laki-laki, atau memotong daging yang
menonjol di atas vagina, disebut juga dengan klitoris bagi wanita.[2]
KHITAN, SYARIAT NABI IBRAHIM ALAIHISSALLAM
Khitan merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam untuk dilaksanakan, disebut
sebagai “kalimat” (perintah dan larangan). Beliau Alaihissallam telah
menjalankan perintah tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan
Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai panutan dan imam seluruh alam. Dalam
surat al Baqarah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ
إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا
يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim
berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman:
"JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim". [al Baqarah :
124].
Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
"Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan),
mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis".[3]
Di dalam Musnad Ahmad dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata : ”Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Sebagian dari fitrah adalah: berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air
dari hidung), mencukur kumis, siwak, memotong kuku, membersihkan lipatan
pada badan, mencabut bulu ketiak, istihdad, khitan dan bersuci".[4]
Maksud dari fitrah adalah, pelakunya disifati dengan fitrah yang telah
Allah Subhanahu wa Ta'ala fitrahkan hambaNya atas hal tersebut, dan Dia
telah menganjurkannya demi kesempurnaan sifat mereka. Pada dasarnya
sifat-sifat tersebut tidak memerlukan perintah syariat dalam
pelaksanaannya, karena hal-hal tersebut disukai dan sesuai oleh fitrah.
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, fitrah itu terbagi dua. Fitrah yang
berhubungan dengan hati dan dia adalah makrifat kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala, mencintai serta mendahulukanNya dari yang lain. Dan yang
kedua, fitrah amaliah dan dia hal-hal yang disebut di atas. Yang pertama
mensucikan ruh dan membersihkan kalbu, sedangkan yang kedua mensucikan
badan, dan keduanya saling membantu serta saling menguatkan. Dan pokok
fitrah badan adalah khitan.[6]
Khitan bermula dari ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada
seorangpun yang berkhitan [7]. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : "Ibrahim berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.[8]
Setelah Nabi Ibrahim Shallallahu 'alaihi wa sallam, tradisi dan sunnah
khitan berlanjut bagi semua rasul dan para pengikut mereka, sampai
kepada al Masih, bahwa dia juga berkhitan. Orang Nashrani mengakui dan
tidak mengingkari khitan tersebut, sebagaimana mereka mengakui haramnya
daging babi, haramnya uang penghasilan hari Sabat, mereka mengakui
shalat menghadap Shakhrah (sebuah batu sebagai kiblat Yahudi di Masdjid
al Aqsha, Pen), dan mereka mengakui untuk tidak berpuasa lima puluh
hari, yang puasa tersebut mereka namakan dengan "puasa besar".[9]
HIKMAH DAN FAIDAH KHITAN[10]
1. Khitan merupakan kemulian syariat yang Allah Subhanahu wa Ta'ala
peruntukkan untuk hambaNya, memperbagus keindahan zhahir dan bathin,
menyempurnakan agama Hanif bapak para nabi dan rasul, sebagai nenek
moyang bagi keturunan Ismail dan Ishaq; dialah Nabi Ibrahim. Khitan
merupakan celupan dan tanda Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap
hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةًَ
"Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?" [al Baqarah : 138].
2. Sebagai tanda 'ubudiah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana
dahulu, bahwa memberi tanda pada telinga atau badan pada budak sahaya
sebagai pertanda penghambaan diri mereka kepada majikannya. Jika budak
tersebut lari dari majikannya, ia dikembalikan kepadanya melalui
perantara tanda tersebut. Maka tidak ada yang mengingkari, barangsiapa
yang telah berkhitan dengan memotong kulit tersebut, berarti dia telah
menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga semua
orang mengetahui, barangsiapa yang melakukan khitan, berarti dia adalah
hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.
3. Khitan merupakan kesucian, kebersihan dan hiasan bagi hambaNya yang hanif.
4. Dengan berkhitan -terutama seorang wanita- dapat menetralkan nafsu
syahwat. Jika dibiarkan tidak berkhitan, maka akan sejajar dengan
perilaku hewan. Dan jika dipotong habis, maka membuat dia akan sama
dengan benda mati, tidak mempunyai rasa. Oleh karenanya, kita
mendapatkan, orang yang tidak berkhitan, baik dia laki-laki maupun
perempuan, tidak puas dengan jima` (hiperseks). Dan sebaliknya,
kesalahan ketika mengkhitan bagi wanita, dapat membuatnya menjadi dingin
terhadap laki-laki.
5. Bagi wanita yang berkhitan dapat mencerahkan wajah dan memuaskan pasangan.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ
بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا
تُنْهِكِي فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ
"Dalam hadits Ummu `Athiah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi
sebagai pengkhitan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata
kepadanya: "Janganlah dihabiskan. Sesungguhnya, itu akan menguntungkan
wanita dan lebih dicintai suami" [11]
6. Setan berdiam pada tempat-tempat yang kotor, termasuk pada kulit yang
tidak berkhitan. Setan meniupkan pada kemaluannya, yang tidak dia tiup
pada orang yang berkhitan.
HUKUM KHITAN
Para ulama berselisih dalam permasalahan ini, terbagi kepada tiga pendapat.
Pendapat Pertama : Khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan.
Pendapat ini merupakan mazhab Syafi`iyah [12], Hanabilah [13] dan
sebagian Malikiyah [14] rahimahullah, dan dari ulama terkemuka dewasa
ini, seperti pendapat Syaikh al Albani.[15]
Pendapat Kedua : Khitan itu sunnah (mustahab). Pendapat ini merupakan
mazhab Hanafiyah [16], pendapat Imam Malik [17] dan Ahmad, dalam satu
riwayat [18] rahimahullah.
Pendapat Ketiga : Khitan wajib bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita.
Pendapat ini merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad [19], sebagian
Malikiyah[20] dan Zhahiriyah [21] rahimahullah.
DALIL-DALIL
Dalil pendapat Pertama, yang mengatakan khitan wajib. Mereka berdalil dengan Kitab, Sunnah, atsar dan akal.
a. Dalil dari Kitab.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ... الأية
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)".[al Baqarah : 124].
Catatan: Sesungguhnya, khitan termasuk kalimat yang dijadikan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala sebagai bentuk ujian kepada Ibrahim Alaihissallam,
sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas; dan ujian, secara umum
berlaku dalam hal yang wajib.[22]
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif". Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan".
Catatan: Khitan termasuk ajaran Ibrahim Alaihissallam, sehingga hal itu
termasuk dalam keumuman perintah untuk diikuti. Dan asal dari perintah
adalah wajib, sampai ada dalil lain yang memalingkannya [23].
b. Dalil dari Sunnah.
Hadits `Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Aku
telah masuk Islam,” Nabi bersabda,”Buanglah darimu rambut kekufuran dan
berkhitanlah [24]".
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "berkhitanlah", adalah 'amr
(perintah); dan 'amr, hukum asalnya wajib, ia menunjukkan wajibnya
berkhitan. Perkataan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada satu
orang, juga mencakup yang lainnya, hingga ada dalil pengkhususan.[25]
Dan juga mereka berdalil sebagaimana yang diriwayatkan dari Zuhri, bahwa
ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
'Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah, sekalipun sudah
dewasa'[26]."
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "maka hendaklah berkhitan",
adalah 'amr; dan asal hukum 'amr, wajib dengan sighat (bentuk syarat)
pada sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "Barangsiapa yang masuk
Islam", lafadznya umum, mencakup laki-laki dan perempuan.
c. Atsar Salaf.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Al aqlaf (yaitu orang
yang belum berkhitan), tidak diterima shalatnya dan tidak dimakan
sembelihannya"[27].
d. Dalil Aqli.
Mereka berdalil dengan teori dan qiyas. Secara teori, dapat dilihat dari beberapa aspek.
Pertama : Diperbolehkan membuka aurat saat dikhitan. Jika khitan bukan
merupakan hal yang wajib, niscaya tidak diperbolehkan; karena hal itu
bukan hal yang bersifat darurat dan bukan pula untuk berobat.[28]
Kedua : Kulit zakar dapat menahan najis, padahal membuang najis
merupakan kewajiban ketika beribadah. Dan tidak ada cara menghilangkan
kulit itu, kecuali dengan khitan. sehingga jadilah hukum hokum itu
wajib, karena apa yang tidak bisa sempurna sebuah kewajiban kecuali
dengannya, maka jatuh hukumnya wajib [29].
Ketiga : Orang tua sebagai penyebab si anak merasakan sakit ketika
dikhitan, dapat menyebabkan kematian jika sampai tetanus, serta sang
ayah mengeluarkan hartanya untuk biaya tabib dan pengobatan. Jika hal
itu tidak wajib, maka hal-hal tersebut tidak diperbolehkan [30].
Keempat : Sesungguhnya dengan berkhitan mendatangkan sakit yang luar
biasa, tidak disyariatkan kecuali tiga keadaan: untuk mashlahat, atau
hukuman, atau untuk melaksanakan sebuah kewajiban. Dalam khitan tidak
mungkin karena dua yang pertama, sehingga jadi tersisa yang ketiga,
yaitu untuk sebuah kewajiban.[31]
Sedangkan istidlal (dalil) dengan qiyas.
Pertama. Khitan adalah pemotongan yang disyariatkan rawan tetanus, jadilah wajib seperti memotong tangan pencuri [32]
Kedua. Sesungguhnya khitan merupakan syiar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib sebagaimana hukum syiar Islam yang lain [33].
Dalil pendapat kedua, yang menyatakan khitan sebagai sunnah dan bukan hal yang wajib. Mereka berdalil dengan Sunnah.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda: “Fitrah ada lima, di antaranya berkhitan …". [34]
Catatan : Maksud dari fitrah adalah sunnah. Oleh karenanya, hukum khitan
sunnah dan tidak wajib. Oleh karena khitan disejajarkan dengan yang
bukan wajib seperti istihdad (mencukur bulu kemaluan).[35]
Sebagaimana yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Khitan sunnah
bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita" [36].
Catatan : Hadits ini menjadi nash dalam permasalahan bahwa khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita.
Dalil pendapat ketiga, mereka lebih memerinci sebagian dalil yang
dikatakan oleh pendapat pertama, yaitu yang mengatakan wajib berkhitan
bagi laki-laki dan wanita.
Mereka berkata,"Khitan bagi laki-laki lebih tegas, karena kalau dia
tidak berkhitan, maka kulit yang menjulur pada ujung zakar dapat
menghalanginya dari bersuci, sedangkan wanita lebih ringan. Maka
jatuhnya wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi wanita."[37]
KESIMPULANNYA.
Pertama. Secara umum, setiap dalil tidak lepas dari kritikan,
sebagaimana yang telah disebutkan bantahan, setiap pendapat terhadap
pendapat lainnya oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahn[38].
Kedua. Pendapat pertama dan ketiga mempunyai persamaan dalam hukum
khitan laki-laki, sedangkan hukum khitan perempuan sama-sama memiliki
dalil yang sama-sama kuat.
Ketiga. Laki-laki diwajibkan berkhitan. Yang demikian ini merupakan
pendapat jumhur, sebagaimana terdapat pada pendapat pertama dan ketiga.
Dan pendapat ini yang lebih menenangkan hati, dari pendapat yang
mengatakan khitan wanita itu sunnah, wallahu a`lam.
Sedangkan apa yang disebutkan oleh pendapat kedua pada hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu, maka dapat kita jawab, jika kita menerima
alasan mereka bahwa makna fitrah adalah sunnah, bukan berarti khitan
tidak diwajibkan. Karena lafadz sunnah ada yang hukumnya wajib dan ada
yang bukan wajib. Ia mencakup semua maknanya yang terkandung dalam
syariat. Sedangkan membedakan antara sunnah dengan wajib, ini merupakan
istilah baru.[39]
Keempat. Sedangkan khitan perempuan -yang menenangkan hati saya-
hukumnya wajib, karena wanita adalah syaqa-iq (saudara sederajat)
dengan laki-laki dalam hukum.
Alasan yang membuat penulis menyatakan hukum tersebut wajib, karena
dengan berkhitan, seorang wanita dapat menetralkan syahwat. Hal itu
dapat membantu untuk iffah (menjaga kehormatan). Dan menjaga kehormatan
sangat dituntut secara syariat. Sebagaimana kesucian zhahir menjadikan
khitan itu wajib atas laki-laki, begitu juga kesucian jiwa, menjadikan
khitan itu wajib atas wanita.[40]
WAKTU KHITAN
Pelaksanaan khitan terbagi dalam tiga waktu.[41]
Pertama : Waktu yang diwajibkan. Yaitu ketika seseorang sudah masuk
usia baligh, tatkala dia telah diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak
diwajibkan sebelum itu [42].
Di dalam hadits, Said bin Jubair berkata: "Abdullah bin Abbas ditanya
'Berapa usia engkau ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
meninggal?', ia menjawab,'Aku waktu itu baru berkhitan, dan mereka
tidaklah berkhitan kecuali sudah dekat baligh'.[43]
Kedua : Waktu yang dianjurkan untuk berkhitan. Yaitu waktu itsghar [44],
yakni masa ketika seorang anak sudah dianjurkan untuk shalat.
Ketiga : Waktu yang diperbolehkan. Yaitu semua waktu selain yang diterangkan di atas.
Para ulama berselisih berkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran, apakah
dianjurkan atau dimakruhkan? Sebagian memakruhkan khitan pada hari
ketujuh. Demikian pendapat Hasan Basri, Ahmad dan Malik rahimahullah.
Dalil mereka sebagai berikut.
Pertama : Tidak adanya nash. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau
ditanya tentang khitan bayi? Beliau menjawab,”Tidak tahu. Aku tidak
mendapatkan satupun khabar (dalil)".
Kedua : Tasyabbuh (meniru) dengan Yahudi. Aku bertanya kepada Abu
Abdillah (yaitu Imam Ahmad): "Seseorang dikhitan pada hari ketujuh?"
Beliau memakruhkannya sambil berkata: "Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan
ini juga alasan Hasan dan Malik rahimahullah" [47].
Sebagian membawanya kepada istihbab (dianjurkan), dan ini pendapat Wahab
bin Munabbih, dengan alasan lebih mudah dan tidak menyakitkan bagi
bayi. Sedangkan sebagian lagi membawanya kepada hukum asal, yaitu
boleh. Di antaranya pendapat Ibnul Munzir.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Syaikh kami (Ibnu Taymiah)
berkata,'Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan
Isma'il ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah
(tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi
anak cucunya.Wallahu a'lam'."
ORANG YANG TIDAK PERLU DIKHITAN
Ada empat keadaan seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap dirinya.
Pertama : Seseorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang
seperti ini tidak perlu dikhitan kembali. Demikian kesepakatan ulama.
Hanya sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) berkata: "Dianjurkan
pisau melewati tempat khitan, karena itu yang dapat dia lakukan, dan
Nabi telah bersabda,'Jika aku perintahkan, maka lakukan semampu
kalian". [48]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Yang benar, perbuatan ini makruh.
Tidak perlu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dengannya. Dan tidak perlu beribadah dengan semisalnya. Dan syariah
berlindung dari hal itu, karena merupakan perbuatan sia-sia yang tidak
ada faidahnya. Melewati pisau bukanlah tujuan. Akan tetapi sebagai
sarana untuk sebuah tujuan. Jika tujuan telah tercapai, maka tidak ada
artinya bagi sarana."[49]
Kedua : Jika seseorang tidak tahan menahan rasa sakit ketika berkhitan,
sebab sakit atau sudah tua, dan lain sebagainya. Ditakutkan terhadap
dirinya kebinasaan dan kelemahan tersebut berlanjut, maka dalam keadaan
seperti ini, ia diperkenankan untuk tidak berkhitan.
Ketiga : Seseorang masuk Islam ketika sudah dewasa, dan dia takut binasa
karenanya; maka hukum khitan jatuh darinya menurut jumhur.
Keempat : Seseorang yang meninggal, sedangkan ia belum berkhitan, maka
tidak perlu dikhitankan, karena khitan disyariatkan ketika seseorang
masih hidup, dan itu telah hilang dengan kematian, maka tidak ada
mashlahat untuk mengkhitannya.[50]
BEBERAPA KESALAHAN DAN KEMUNKARAN SEPUTAR PERMASALAHAN KHITAN
1. Mengadakan acara kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada asalnya dari syariat, sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid'ah.
2. Menguliti sebagian seluruh kulit zakar ketika berkhitan, sebagaimana terjadi di sebagian negara atau wilayah.
3. Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
4. Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
5. Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan.
Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang dikhitan,
terutama terhadap yang berlawanan jenis.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lisanul Arab, Tartibul Qamus
[2]. Tharhut Tatsrib, Iraqi , Fathul Bari, Ibnu Hajar
[3]. HR Muslim dalam Minhaj dan Bukhari dalam Fathul Bari
[4]. HR Ahmad , Ibnu Majah. Hadits hasan. Lihat Shahih Jami`, al Albani
[5]. Fathul Bari, Ibnu Hajar
[6]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[7]. Ahkamul Qur`an, Ibnul Arabi
[8]. HR Bukhari dalam Fathul Bari dan Muslim
[9]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayim.
[10]. Lihat Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayim.
[11]. HR Abu Dawud, haditsnya hasan, karena jalannya yang banyak. Lihat Silsilah Shahihah
[12]. Al Majmu`, Nawawi
[13]. Al Inshaf, al Mardawi, al Mubdi`, Ibnu Muflih.
[14]. Al Qawanin al Fiqhiyah, Ibnu Jizzi, Tharhut Tastrib, al Iraqi
[15]. Lihat Tamamul Minnah, al Albani
[16]. Al Mabsuth, Sarkhasi
[17]. Al Qawanin al Fiqhiyah, Ibnu Jizzi
[18]. Al Inshaf, al Mardawi , al Mubdi`, Ibnu Muflih
[19]. Al Inshaf, al Mardawi, al Mubdi`, Ibnu Muflih dan
pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Qudamah t .
[20]. Al Fawakih ad Dawani, Nafrawi .
[21]. Al Muhalla, Ibnu Hazm dan dinisbatkan oleh al Iraqi kepada mazhab Syafi`iyah.
[22]. Fathul Bari, Ibnu Hajar
[23]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[24]. Hadits hasan. HR Ahmad , Abu Dawud. Lihat Irwa`ul Ghalil, al Albani.
[25]. Fathul Bari, Ibnu Hajar .
[26]. Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim t dan beliau berkata:
"Hadits ini, sekalipun mursal, tetapi layak digunakan untuk penguat”.
Lihat Tuhfatul Maudud,.
[27]. Disebutkan riwayatnya oleh Ibnul Qayyim di dalam Tuhfah,.
[28]. Al Majmu`, Nawawi , Fathul Bari, Ibnu Hajar .
[29]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim dan Fathul Bari, Ibnu Hajar
[30]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, dan Fathul Bari, Ibnu Hajar
[31]. Istidlal ini dinukilkan oleh al Hafidz Ibnu Hajar t dari Imam Mawardi. Lihat Fathul Bari
[32]. Al Mughni, Ibnu Qudamah. Juga disebutkan qiyas ini oleh Ibnul Qayyim di Tuhfatul Maudud,
[33]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim dengan sedikit perubahan, dan Fathul Bari, Ibnu Hajar
[34]. Telah berlalu takhrijnya.
[35]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim,dan Nailul Authar, Syaukani.
[36]. HR Ahmad dan Baihaqi.
[37]. Al Mughni, Ibnu Qudamah.
[38]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[39]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[40]. Ahkamul Jirahah at Tibbiyah, Muhammad Mukhtar asy Syinqithi.
[41]. Syaukani berpendapat, bahwa tidak ada waktu tertentu untuk
berkhitan. Beliau menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur. Nailul
Authar.
[42]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[43]. HR Bukhari dalam Fathul Bari.
[44]. Waktu itsghar, yaitu ketika gigi susu seorang anak berganti dengan gigi dewasa.
[45]. Al Fawakih ad Dawani. Beliau menisbatkannya kepada Malik rahimahullah, Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim,
[46]. Tuhfatul Maudud.
[47]. Ibid.
[48]. HR Bukhari,dan Muslim.
[49]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, Tharhut Tatsrib, al Iraqi
[50]. Lihat Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim,.