Searching

Bebaskan Rumah Muslim Dari Asap Rokok!

Sungguh sangat memprihatinkan, pemandangan sejumlah kaum muslimin yang asyik menyulut rokok di serambi masjid. Padahal, biasanya hal-hal yang berbau asap, hanya di jumpai di tempat-tempat kotor (pembuangan sampah) dan polusi, seperti di terminal, jalanan atau tempat lainnya yang sejenis.

Bahkan orang-orang yang telah ditokohkan oleh masyarakat tidak lepas dari kebiasaan “membakar diri” ini. Tidak mengherankan bila rokok menjadi sesuatu yang gampang dicari, barangnya maupun penggemarnya. Bahkan kegemaran merokok ini pun terbawa saat menunaikan ibadah haji, sehingga menjadi melekat pada jama’ah haji Indonesia. Karena memang, ada saja jama’ah haji Indonesia yang nekad menyulut rokok di dekat pintu keluar Masjidil Haram. Maka pantas saja, dalam salah satu selebaran yang dibagikan cuma-cuma di sana, memuat pelanggaran-pelanggaran yang kerap dilakukan oleh jama’ah haji Indonesia, di antaranya adalah merokok. Sungguh sangat memprihatinkan sekali.

ALLAH MEMERINTAHKAN KITA AGAR MENGKONSUMSI YANG BAIK-BAIK
Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditujukan kepada para rasul-Nya dan kaum mukminin. Satu perintah yang sudah pasti bersumber dari rahmat dan kasih Allah Subhanhu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَآأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَاتَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al-Mukminun : 51]

Syaikh Abdur-Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, salah satu kandungan ayat diatas menyatakan, bahwa para rasul secara keseluruhan sepakat membolehkan makanan-makanan yang baik-baik dan mengharamkan barang-barang yang buruk.[1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا للهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah” [Al-Baqarah : 172]

Sebagaimana kita ketahui, makanan yang thayyib (baik) sangat menunjang kesehatan jasmani dan ruhani Begitu pula dari kacamata kesehatan, asupan makanan yang memenuhi gizi seimbang (sehat) sangat penting bagi kesehatan tubuh. Adapun dari segi ruhani, makanan yang thayyib mempunyai andil dalam menata “organ tubuh dalam” bagi manusia, hingga jiwanya pun menjadi baik, tunduk patuh kepada Rabbnya, menyukai kebaikan dan berlomba untuk meraihnya. Jadi ath-thoyyibat (makanan-makanan yang baik), ialah yang diperbolehkan oleh Allah, berupa makanan-makanan yang bermanfaat bagi jasmani, akal dan perilaku. Setiap yang bermanfaat itulah makanan yang thayyib. Adapun makanan-makanan yang berbahaya, itu semua termasuk khabis (buruk) [2].

Sisi ini, benar-benar menjadi sandaran dalam menentukan masalah tahlil (penghalalan) dan tahrim (pengharaman) dalam agama Islam yang hanif. Syaikh Shalih Al-Fauzan menggariskan kaidah dalam masalah ini, yaitu :”Setiap barang yang suci yang tidak mengandung madharat (bahaya) apapun, dari jenis biji-bijian, buah-buahan, (daging) binatang, itu halal. Dan setiap benda yang najis, seperti bangkai, darah atau barang yang tercemar najis, dan setiap yang mengandung madharat, semisal racun dan sesuatu yang serupa dengannya, hukumnya haram” [3]

ORIENTASI UMUM HUKUM-HUKUM ISLAM (MAQASHIDUSY SYARI’AH)
Tidak diragukan lagi, jika syari’at Islam yang lurus, misinya ialah mendatangkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta menampik seluruh kejelekan dan menekannya sekecil mungkin. Dalam Islam, ini merupakan prinsip yang penting, Ibnu Taimiyah rahimahullah acap kali menyatakan, bahwa syari’at (Islam) datang untuk menyuguhkan seluruh kemaslahatan dan melengkapinya, dan menghentikan seluruh kerusakan dan memperkecilnya [4]. Sehingga, segala hal yang baik, atau kebaikannya rajihah (dominan), maka syari’at memerintahkannya. Adapun sebuah perkara yang benar-benar jelas keburukannya, atau keburukannya rajihah (lebih kuat), maka syari’at akan melarangnya. [5]

Termasuk kaidah dan prinsip umum di atas, yaitu kaidah yang berbunyi : La dharara wala dhirar (tidak boleh menciptakan bahaya bagi diri sendiri dan membahayakan orang lain), adh-dhararu yuzal (bahaya harus dihilangkan).

BETULKAH ROKOK BARANG YANG BURUK?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, secara jelas dapat kita lihat, dalam setiap kemasan dan tayangan iklan produk rokok, baik di media cetak maupun elektronik, selalu tertera pesan berupa peringatan yang baik, yaitu ; merokok dapat mengakibatkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa rokok memang mengandung banyak bahan kimia yang membahayakan bagi manusia.

Ironisnya , “pesan atau peringatan baik” ini hanya sekedar pesan yang bersifat simbolis semata, bahkan sangat tidak efektif. Keberadaan pesan tersebut sama saja antara ada dan tidak adanya. Padahal telah diakui oleh para ahli, banyak bahaya yang ditimbulkan oleh sebatang rokok.

BAGAIMANA PULA DENGAN SYARIAT ISLAM?
Islam sangat menghormati jiwa. Karena itu, jika dalam kondisi yang benar-benar darurat, kita diharuskan makan meskipun barang tersebut haram. Begitu pula Islam melarang bunuh diri, dan lain sebagainya. Islam juga sangat menghargai akal manusia. Oleh sebab itu, Islam melarang benda-benda yang dapat menghilangkan kesadaran, baik yang hissi (benda padat semacam minuman keras, misalnya) atau bersifat maknawi, semacam judi, musik dan menyaksikan obyek-obyek yang diharamkan. Dan Islam juga benar-benar memperhatikan kesucian dan keselamatan an-nasl (keturunan). Maka, dianjurkan untuk menikah, persaksian dalam pernikahan, perhatian kepada anak-anak, melarang pernikahan dengan wanita pezina, larangan ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), dan sebagainya. [6]

Coba kita membandingkan nilai-nilai luhur dalam Islam ini, yang masuk dalam bingkai pemeliharaan dharuriyyatul-khams (lima perkara primer) dengan pesan atau peringatan yang melekat dalam setiap kemasan bungkus rokok. Hasinya, sangat bertentangan. Apalagi jika menghitung banyaknya uang yang dibelanjakan untuk membeli rokok, maka semakin jelas kebiasaan merokok sangat berseberangan dengan spirit pemeliharaan harta dalam Islam (hifzul mal).

BAWANG ATAUKAH ROKOK YANG MENYISAKAN BAU LEBIH BUSUK PADA MULUT ORANG?
Menyoal kegunaan bawang, setiap orang sudah mengetahui, hingga kelezatan kebanyakan makanan tidak lepas dari rempah-rempah ini. Akan tetapi harus dimengerti, yakni bagi orang yang mengkonsumsinya dalam keadaan mentah, ia tidak boleh masuk dan menghadiri shalat berjama’ah di masjid, sampai bau menyengat bawang dari mulutnya hilang.

Dari sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari penaklukan Khaibar.

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يَعْنِي الثُّومَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا

“Baragsiapa yang makan dari pohon ini –yaitu bawang putih- janganlah ia mendekati masjid kami”.[7]

Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ

“Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia menjauhi kami (atau berkata), hendaknya ia menjauhi masjid kami dan duduk saja di rumahnya”

Dalam riwayat lain.

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ اَلْخَبِيْثَةَ و قَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa yang makan dari tanaman yang busuk ini : beliau (juga) pernah mengatakan barangsiapa makan bawang merah, bawang putih dan bawang bakung, hendaknya ia jangan mendekati masjid kami. Sebab malaikat terganggu dengan barang yang manusia terganggu dengannya” [8]

Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menyimpulkan, dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan dibencinya makan bawang merah dan bawang putih ketika akan mendatangi masjid. Hal ini, karena Islam merupakan agama yang peduli dengan perasaan orang lain, menganjurkan bau yang normal dan moral yang baik. Tergolong dalam hukum ini juga, yaitu bawang putih, bawang merah dan jenis bawang bakung, serta setiap makanan yang mengandung bau tidak enak dan jenis lainnya.

Beliau menambahkan : Hukum –dalam masalah ini- di pelataran masjid dan tempat yang berada di dekatnya sama. Karena itu, Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata dalam khutbahnya : “Kemudian kalian, wahai orang-orang yang makan dari dua tanaman ini. Aku tidaklah mengangapnya, kecuali khabits (buruk), (yaitu) bawang merah dan bawang putih ini. Aku pernah melihat Rasulullah, bila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpainya baunya dari seseorang di dalam masjid, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkannya sampai Baqi. Barangsiapa memakannya hendaknya mematikan baunya dengan dimasak (dahulu)” [9]

Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, setiap orang yang pada dirinya terdapat bau tidak enak, membuat orang lain terganggu, harus dikeluarkan dari masjid, meski harus dengan menyeret tangan dan kakinya, bukan dengan menarik jenggot dan rambutnya. Demikian yang termuat dalam (kitab) Majalis Al-Abrar. [10]

Imam An-Nawawi rahimahullah memasukkan hadits-hadits tersebut di atas dalam judul “Bab larangan bagi orang yang makan bawang putih dan bawang merah, atau bawang bakung dan makanan sejenis yang mempunyai bau tidak sedap dari mendatangi masjid, sampai baunya hilang dan dikeluarkan dari dalam masjid”.

Begitu pulalah yang terjadi dengan orang yang merokok. Kebiasan menghisap rokok telah menyisakan bekas bau busuk. Sehingga keberadaaan orang tersebut di tempat mulia, seperti rumah-rumah Allah dihalangi untuk sementara. Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menyamakan hukumnya dengan hukum memakan bawang mentah. Disebabkan, terdapat kesamaan pada keduanya. Yaitu bau tidak enak yang menyengat.

Beliau berkata, “Faktor penyebab larangan menghadiri shalat jama’ah (bagi orang yang memakan bawang mentah) adalah bau yang busuk, sebagaimana tertuang pada sebagian hadits, dan terganggunya malaikat oleh apa saja yang mengganggu anak Adam, sperti terkandung dalam beberapa hadits, maka sesungguhnya, hukum rokok pun diikutsertakan dengan bawang merah dan dan bawang putih. Bahkan rokok, baunya lebih menusuk” [11]

Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata : “Hadits ini dan hadits shahih lainnya yang semakna, menujukkan dibencinya (makruh) seorang muslim mendatangi shalat jama’ah, selama bau busuk masih kentara pada dirinya. Baik, karena usai makan bawang merah atau putih, atau makanan yang berbau tajam lainnya. Seperti juga rokok , sampai baunya sirna. Selain rokok mengandung bau yang busuk, hukumnya (juga) diharamkan, (yakni dengan) menilik banyaknya bahaya yang terkandung di dalamnya, dan keburukannya yang sudah diketahui. Rokok masuk dalam konteks firman Allah.

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [Al-A’raf : 157]

Dalam ayat lain.

يَسْئَلُونَكَ مَاذَآأُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ

"Mereka menanyakan kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka”. Katakanlah : Dihalalkan bagimu yang baik-baik” [Al-Maidah : 4]

Dan sudah diketahui, rokok bukan termasuk barang yang baik. Oleh karenanya, dapat dimengerti kalau rokok termasuk barang haram bagi umat ini” [12]

Kandungan surat Al-A’raf ayat 157 ini sudah cukup untuk menunjukkan kepada orang-orang yang berakal mengenai haramnya rokok. Ayat tersebut hanya membagi makanan dan minuman ke dalam dua jenis saja : tidak ada jenis yang ketiga. Makanan yang baik-baik diperbolehkan, dan makanan yang buruk diharamkan. Sekarang ini, siapakah yang berani mengatakan jika rokok itu baik dengan mempertimbangkan baunya, harta yang habis untuk membelinya, serta bahaya-bahaya fisik ataupun ekonomi yang muncul darinya?” [13]

Dalam Tanbihatun Ala Ba’dhil Akhtha ‘Allati Yaf’alluha Ba’dhul Mushallin. Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin berkata : “Terhadap pemakaian sesuatu yang menyebabkan bau busuk lagi dibenci oleh penciuman manusia, seperti rokok, syisyah (merokok dengan cerobong panjang yang dijumpai di wilayah Arab) yang lebih buruk dari bawang merah dan bawang putih, yang menyebabkan para malaikat dan para jama’ah terganggu, maka kewajiban para jama’ah shalat, agar datang (ke masjid) dengan aroma yang enak, jauh dari hal-hal yang buruk”.

TERAPI MELEPASKAN DIRI DARI ROKOK
Dalam kitab Min Adhrari-Muskirati wal Mukhaddirat, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, memberikan kiat bagi para pecandu rokok, agar terlepas dari kebiasaan buruk ini. [14]

Syaikh memberikan terapi.
1. Ketahuilah berdasarkan konsesus para dokter, merokok merupakan salah satu cara penganiayaan anda kepada tubuh anda yang indah.
2. Kenalilah bahaya-bahaya merokok ditinjau dari kesehatan, sosial dan ekonomi, dan sadarilah, Mulailah memikirkan untuk meninggalkannya, dan bulatkan tekad disertai tawakal kepada Allah.
3. Buatlah satu daftar harian tentang keburukan-keburukan rokok terhadap diri anda dan kawan-kawan anda.
4. Jauhilah sebisa mungkin bergaul dengan para perokok dan dari bau rokok. Usahakan hidup dalam suasana udara yang segar dan sibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat.
5. Gunakan siwak atau benda untuk menggosok gigi, atau dengan lainnya, jika anda merasakan keinginan kepada rokok.
6. Konsumsilah segelas juice lemon, anggur dan jeruk. Karena bisa mengeliminasi hasrat merokok.
7. Merokok juga merupakan kebiasaan yang bisa berubah. Artinya, meninggalkan rokok bukan perkara mustahil.
8. Bila anda ingin membeli atau mengkonsumsinya, pikirkanlah, apakah ia halal ataukah haram? Apakah bermanfaat ataukah mengandung bahaya? Apakah termasuk barang yang baik ataukah keji? Maka anda akan menjumpai jawaban, bahwa rokok itu haram, berbahaya dan barang yang keji.
9. Kalau anda ragu-ragu untuk meninggalkan rokok, sungguh telah banyak orang yang telah berhasil memutuskan untuk tidak merokok. Artinya, putus hubungan dengan rokok bukan kejadian mustahil.
10. Anda harus menyadari bahwa rokok sulit untuk dikatakan bukan barang haram, karena melihat dampak buruknya bagi perokok aktif maupun pasif.
11. Memohon pertolongan kepada Allah agar memudahkan bebas dari jeratan rokok

ENGKAU TELAH MENYAKITI KAMI DENGAN ASAP ROKOK
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman mengatakan, bahwa kebiasaan merokok termasuk dapat merusak kehormatan, dikarenakan hukumnya haram. Binatang-binatang pun tidak menyukainya. Bau busuknya telah mengganggu banyak manusia, dan malaikat terganggu dengan sesuatu yang mengganggu manusia. Terlebih lagi jika memperhatikan bahaya-bahaya yang tidak terhitung jumlahnya. Rokok tidak dikonsumsi, kecuali memperlihatkan gambaran yang buruk menurut pandangan para ulama (rabbani). Akan tetapi, orang-orang kebanyakan begitu terjerat olehnya. Sampai ada yang berbuka puasa dengan menghisap rokok terlebih dahulu, atau untuk memulai makan atau minum. La haula wala quwwata illa billah. [15]

Sehingga, bila masih saja ada seseorang yang membela diri dengan tetap berbuat buruk, misalnya merokok, itu menandakan pada orang tersebut ada sesuatu yang rusak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “ Seseorang yang sudah rusak jiwanya, atau keseimbangan dirinya, ia akan menyukai dan menikmati perkara-perkara yang membahayakan dirinya. Bahkan ia begitu merindukannya sampai merusak akal, agama, akhlak, jasmani dan hartanya”[16]

Kesimpulan yang bisa didapatkan berdasarkan kaidah-kaidah universal yang menjadi spirit agama Islam, disertai beberapa keterangan ulama rabbani, maka kita mengetahui, rokok bukan termasuk barang-barang yang pantas dinikmati oleh seorang muslim. Ini mengingat, besarnya bahaya yang timbul dari rokok. Apalagi bila disulut oleh sekian banyak orang secara rutin, maka semakin meyakinkan bahwa tidak ada pilihan lain. Jika rokok harus ditinggalkan. Gangguan kesehatan pada perokok aktif dan pasif, gangguan sosial dan ekonomi sudah tidak terelakkan, dan semakin menguatkan pandangan, bila rokok hanya akan membuat hidup lebih redup. Sehingga bila masih diperdebatkan boleh atau tidak untuk mengkonsumsinya, akan memporak-porandakan kaidah umum yang melekat pada syari’at Islam, yang menjungjung tinggi dalam melindungi jiwa, harta, keturunan dan kemaslahatan umum.

Rumah yang baik adalah rumah yang tidak terdapat korek penyulut rokok ataupun asbak. Baik barang itu berasal dari yang promosi gratisan atau lainnya. Sepertinya perlu menempelkan peringatan tentang larangan merokok di rumah masing-masing, sebagai sarana untuk mengingatkan orang-orang yang hendak merokok dengan cara yang baik, sehingga mengurungkannya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Taisir Karimir Rahman,Muassasah Risalah.
[2]. Al-Athimah, Dr Shalih Al-Fauzan, Maktabah Al-Ma’arif.
[3]. Al-Athimah, Dr Shalih Al-Fauzan.
[4]. Majmu Fatawa dinukil dari Maqashidusy Syari’ah Inda Ibni Taimiyah, Dr Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawi.
[5]. Maqashidusy Syari’ah Inda Ibni Taimiyah.
[6]. Maqashidusy Syari’ah Inda Ibni Taimiyah.
[7]. HR Al-Bukhari dan Muslim.
[8]. HR Muslim.
[9]. HR Muslim.
[10]. Fatwa Fi Hukmid Dukhan, dinukil dari Al-Qaulul Mubin fi Akhta-il Mushallin.
[11]. Al-Qaulul Mubin, Masyhur Hasan Alu Salman.
[12]. Fatawa (1/82), dinukil dari Al-Qaulul Mubin.
[13]. Akhthar Tuhaddidul Buyut, darul Wathan.
[14]. Min adhraril Muskirati wal Mukhaddirat, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah. Da’it-Tadkhin Wabda-il Hayah. Dr Ahmad bin Abdir Razzaq Bafarath dan Abdul Majid bin Abdul Karim Ad-Darwisy.
[15]. Al-Muru’ah wa Khawarimuha, Masyhur Hasan Alu Salman, Dar Ibni Affan.
[16]. Majmu Fatawa dinukil dari Al-Maqashid.

Beberapa Kesalahan Dalam Penamaan Dan Istilah

Kesalahan 1.
Penisbatan isteri kepada suaminya, seperti : Suha Arafat, nisbat kepada suaminya. Ini merupakan suatu kesalahan, berdasarkan firman Allah subhanahu wa Ta’ala.

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah “[al-Ahzab : 5]

Yang benar ialah Suha bintu Fulan (nisbat kepada bapaknya)

Kesalahan 2.
Penyebutan sesuatu tidak menggunakan nama yang sebenarnya menurut syar’i. seperti penyebutan riba bank diganti dengan faidah bank, khamr telah diberi nama dengan nama dan atau label yang banyak dan bermacam-macam, hingga ada yang menamainya minuman untuk membangkitkan semangat dan sebagainya, zina diganti dengan hubungan sex dan sebagainya.

Yang benar, seharusnya kita menyebut hal-hal tersebut berdasarkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan. Karena dalam penamaan (yang Allah berikan tersebut) terdapat banyak faidah. Di antaranya, agar manusia mengetahui apa-apa yang telah diharamkan Allah, baik nama ataupun sifatnya. Sehingga mereka menjauhinya, setelah mengetahui bahaya dan ancaman siksa (bagi yang melanggar). Dan tidak timbul kesan meremehkan pada jiwa kita mengenai keharaman tersebut setelah namanya diganti.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” [al-Baqarah : 278-279]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dengan sebab (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [al-Maidah : 90-91]

Kemudian firman-Nya.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [al-Isra : 32]

Kesalahan 3.
Penyebutan kata Al-Karm untuk anggur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyebut anggur dengan kata Al-Karm. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Janganlah kalian namakan Al-Karm, tapi namakanlah al’inab dan al-hablah” [HR Muslim]

Kata Al-Inab dan Al-Hablah memiliki makna yang sama, yakni anggur. Beliau Shallallahu alaiahi wa salam juga bersabda.

“Mereka menyebut Al-Karm, sesungguhnya Al-Karm adalah hati seorang mu’min” [HR Al-Bukhari]

Beliau melarang hal ini disebabkan lafadz Al-Karm menunjukkan akan melimpahnya kebaikan dan manfaat pada sesuatu. Dan hati seorang mukmin lebih berhak untuk itu.

Kesalahan 4.
Berkun-yah dengan kun-yah Abul Hakam. Karena Al-Hakim adalah Allah. Maka, tidak boleh berkun-yah dengan kun-yah tersebut. Yang benar, kita berkun-yah dengan kun-yah yang disunnahkan, seperti Abu Abdillah, Abu Abdirrahman, Abu Abdil Hakam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” [HR Muslim]

Dalam hadits Al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, ketika ia (yakni Hani) bersama kaumnya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendengar mereka memberi kun-yah Abul Hakam kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, beliau berkata.

“Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan kepadaNyalah hukum kembali, maka mengapakah engkau berkun-yah dengan Abul Hakam? Ia (Hani) berkata, “Sesungguhnya jika kaumku berselisih, mereka mendatangiku lalu kuputuskan hukum diantara mereka hingga kedua belah pihak ridha atas keputusanku”. Beliau berkata, “Alangkah baiknya perbuatanmu, apakah engkau memiliki anak?” Ia menjawab, “Aku memiliki Syuraih, Abdullah dan Muslim. Beliau bertanya lagi, “Siapakah yang paling besar diantara mereka?” Ia menjawab, “Syuraih”. Beliau berkata, “Kalau begitu, engkau Abu Syuraih” [HR An-Nasa’i]

Kesalahan 5.
Memberi nama dengan nama yang mengandung unsur tazkiyah (penyucian diri), seperti : Barrah (orang yang banyak berbakti), Khalifatullah (Khalifah Allah), Wakilullah (Wakil Allah), dan sebagainya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama Barrah. Beliau bersabda.

“Janganlah kalian mengatakan diri kalian suci, karena Allah lebih tahu siapa yang baik diantara kalian” [HR Muslim]

Yang benar, ialah memberi nama dengan nama-nama yang disyariatkan, seperti : Zainab, Asma, Abdullah, Abdurrahman. Ataupun nama para nabi, seperti ; Yusuf, Ibrahim dan sebagainya.

Yusuf bin Abdillah bin Salam Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan nama Yusuf untukku. Beliau meletakkanku di pangkuannya dan beliau mengusap kepalaku” [HR Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 248]

Juwairiyah bintu Al-Harits Al-Khuza’iyyah, dahulu bernama Barrah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam haditsnya yang lain, berkaitan dengan nama tazkiyah.

“Janganlah engkau namakan putramu dengan Rabah, Yasar, Aflah dan Nafi’” [HR Muslim]

Demikian juga dengan nama Kalifatullah ataupun Wakilullah. Arti kata al-wakil adalah seseorang yang bertindak mewakili pihak yang mewakilkan. Sedangkan Allah tidak ada wakil bagi-Nya, dan tidak ada yang bisa menggantikanNya. Bahkan Dialah yang memelihara hamba-Nya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pemelihara keluarga (yang kami tinggal)” [HR Muslim]

Nabi juga melarang kita menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.

“Nama yang paling hina disisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang yang menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja)” [HR Al-Bukhari]

Kesalahan 6.
Memberi nama dengan nama yang buruk, seperti ; Harb (perang), Sha’b (sulit, susah), Hazan (kesedihan), Ushaiyyah (maksiat), Aashiyah (wanita yang bermaksiat), Murrah (pahit) dan yang semisal dengan itu.

Yang benar, memberi nama dengan nama yang baik, seperti : Hasan, Husain, dan yang semisalnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai nama yang baik. Beliau bertafaul (berharap kebaikan) dengan nama tersebut. Barangsiapa mau mendalami hadits-hadits Nabi, niscaya dia akan mendapati makna-makna nama yang berkaitan dengan sunnah. Seakan-akan nama-nama itu diambil dari sunnah-sunnah itu.

Cobalah renungi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berikut.

“Ghafar adalah orang yang Allah ampuni dan Aslam adalah yang Allah selamatkan, sedangkan Ushaiyyah dialah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR Al-Bukhari]

Jika anda ingin mengetahui, adakah pengaruh nama bagi pemiliknya? Maka perhatikanlah kisah Said bin Al-Musayyib berikut ini.

“Dari Ibnu Al-Musayyib, dari bapaknya, sesungguhnya bapaknya (yakni kakek Ibnu Al-Musayyib) datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu?”. Ia menjawab, “Hazn”. Beliau berkata, “Engkau adalah Sahl”. Ia berkata. “Aku tidak akan merubah nama pemberian bapakku”. Ibnul Musayyib berkata : “Sejak itu kesusahan senantiasa meliputi kami” [HR Al-Bukhari]

Makna kata al-Huzunah (dalam hadits diatas, -red) adalah Al-Ghilzah (kekerasan, kesusahan) Dapat pula bearti tanah yang keras atau tanah datar.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi merubah nama ‘Aashiyah. Beliau berkata, “Kamu Jamilah”.

Ketika Al-Hasan lahir, Ali menamainya Harb. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang seraya berkata : “Perlihatkan kepadaku cucuku. Siapa nama yang kalian berikan pada cucuku?” Ali berkata, “Harb”. Beliau berkata, “Bahkan namanya adalah Hasan”[HR Ahmad]

Kesalahan 7.
Sebagian orang memberikan julukan attatharruf fid din (sikap berlebih-lebihan dalam agama) kepada mereka yang memegang agama secara mutasyadid (ekstrim)

Yang benar kita sebut ghuluw fid dien (berlebih-lebihan dalam agama). Penyebutan ini pun diberikan, jika memang orang tersebut telah benar-benar keluar dari agama karena sikap ghuluwnya tadi

Ahli hadits mengatakan istilah attatharruf fid dien ini muncul pada awal-awal abad ke lima belas hijriah. Ketika itu terjadi taubat massal para pemuda muslim. Mereka berbondong-bondong kembali kepada Allah., ber-iltizam (konsisten) kepada hukum-hukum dan adab-adab Islam, serta mendakwahkannya. Sebelumnya, kondisi orang semacam ini (yang ber-iltizam kepada Islam), justru dikatakan sebagai golongan terbelakang, ta’ashub, jumud dan ejekan-ejekan lainnya. Maka ketahuilah, sesungguhnya agama Allah berada di pertengahan antara sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap meremehkan.

Para ulama Islam pada setiap masa pun senantiasa melarang sikap ghuluw dalam agama, disamping mereka juga selalu mengajak kepada taubat.

Adapun zaman sekarang, timbangan norma telah banyak diputar-balikkan. Hingga orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah (yang nota bene hal ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at) justru disingkirkan, dengan alasan sikap berlebihan tadi. Maksudnya, agar orang-orang menjauhi mereka dan untuk melumpuhkan dakwah ilallah. Ini jelas pemikiran jahat Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka.

Namun sangat aneh dan mengherankan. Kaum muslimin menerima begitu saja pemikiran tadi. Tidakkah mereka berpikir dan menolaknya?

Kesalahan 8.
Sebagian suami memanggil isterinya dengan sebutan Ummul Mu’minin. Ini jelas haram. Karena konsekwensinya panggilan tersebut ialah sang suami haruslah seorang Nabi dan isteri-isterinya adalah Ummahatul Mu’minin. Suatu kesalahan yang bisa mengakibatkan kepada kekufuran. Karena kita harus meyakini, bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam

Ada juga suami yang memanggil isterinya dengan panggilan madam, suatu panggilan ala Perancis yang terlarang. Karena mengandung unsur tasyabbuh (meniru-niru) kaum kuffar.

Yang benar ialah memanggil isteri dengan nama kun-yahnya seperti Ummu Abdillah, Ummu Fulan, atau dapat juga dengan panggilan zaujati (isteriku) atau ahli (keluargaku).

Jika Mencari Kerja Dengan Sogokan

Salah satu yang mendukung terciptanya keluarga yang harmoni dan menjadi tuntutan seorang kepala keluarga adalah tersedianya nafkah bagi keluarganya. Yang ini, tentunya ditempuh dengan cara mencari penghasilan. Baik dengan berusaha secara mandiri, ataupun bekerja pada orang lain, atau di suatu tempat tertentu.

Dikarenakan sesuatu hal, untuk menembus area pendapatan tersebut, terkadang diperlukan orang ketiga guna memuluskan keinginan mendapatkan peluang kerja. Seorang yang ingin mandiri, juga terkadang memerlukan orang ketiga sebagai penghubung, atau sekedar menguatkannya. Begitu pula untuk bisa berkarya di sebuah instansi, baik swasta atau negeri, terkadang juga memerlukan pihak ketiga, yang paling tidak berfungsi sebagai garansi kemampuan dan minatnya.

Begitulah dalam hidup bermasyarakat, ada saja orang yang membutuhkan bantuan dalam meraih keinginannya. Bantuan tersebut bukan berbentuk material, namun yang diperlukan adalah keberadaan diri orang yang dimintai tersebut. Misalnya karena memiliki status sosial, sehingga disegani masyarakat. Sebab menurut yang meminta tadi, kedudukan sosial seseorang yang dimintai tersebut, akan efektif menyelesaikan kepentingan dan urusannya.

Pertolongan semacam ini termasuk dalam makna pemberian syafa'at. Karena, merujuk makna lughawi, syafa'at adalah menjadikan seseorang tidak sendiri lagi, karena ada yang menemaninya setelah sebelumnya ia dalam keadaan sendiri. Bentuk pertolongan semacam ini bisa dianggap mustahab mahmud (dianjurkan lagi terpuji), namun juga ada yang berkategori muharram madzmum (haram lagi tercela) sebagaimana akan dijelaskan contohnya nanti.

ISLAM MEMOTIVASI SALING MENOLONG ANTAR SESAMA
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ٥:٢

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". [al Maidah/5 : 2].

Menurut Ibnul Qayyim, ayat ini mencakup seluruh kebaikan antar sesama manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat, dan antara mereka dengan Allah. Sesungguhnya setiap manusia tidak bisa lepas dari dua hal dan kewajiban ini, (yaitu) kewajibannya terhadap Allah dan kewajibannya terhadap sesama manusia.

Yang berkaitan dengan sesama manusia, (yaitu) berbentuk pergaulan, saling menolong dan menjalin persahabatan. Kewajibannya (terhadap Allah), (yakni) agar interaksinya dengan mereka dalam bentuk saling menolong untuk menggapai ridha Allah dan dalam ketaatan kepada-Nya, yang merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba dan kesuksesan. Tidak ada kebahagiaan baginya selain dengan itu.[1]

BANTUAN SYAFA'AT YANG DIPERBOLEHKAN
Di antara dalil dari Sunnah, yaitu riwayat yang terdapat dalam Shahihain, dari Abu Musa al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Jika Rasulullah kedatangan orang yang meminta atau dimintai suatu hajat, (maka) beliau bersabda:

اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ

"Berikan syafa'at, niscaya kalian mendapat pahala. Allah akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki".[2]

Isyfa’u adalah, sebuah perintah untuk mengeluarkan syafa'at (bantuan). Tu`jaru artinya, niscaya kalian akan mendapat balasan pahala dari Allah atas bantuan syafa'at yang kalian keluarkan, kendatipun tidak memudahkan urusan.[3]

Dalam hadits di atas, seperti diungkapkan al Qurthubi, memuat pelajaran, (yaitu) berupa anjuran untuk melakukan kebaikan secara langsung atau menjadi penyebabnya. Perintah ini bersifat nadb (anjuran, sunnah). Namun terkadang bisa beralih menjadi wajib.[4]

Imam Nawawi menjelaskan: "Dianjurkan memberikan syafa'at kepada orang-orang yang mempunyai keperluan-keperluan yang hukumnya mubah, baik permohonan syafa'at di hadapan penguasa, gubernur atau orang yang setingkat kedudukannya dengan mereka, atau kepada siapapun dari anggota masyarakat. Baik syafa'at itu dengan tujuan agar penguasa menahan diri dari perbuatan zhalim, atau mempermudah penyerahan harta buat orang yang membutuhkan, dan lain sebagainya".[5]

Beliau juga mengatakan: "Ketahuilah, memberikan syafa'at (menjadi perantara), dianjurkan di hadapan para penguasa dan orang-orang yang memegang wewenang dan mampu menjalankannya, selama syafa'at tersebut tidak bersentuhan dengan aspek hadd (hukuman pidana) atau memberi syafa'at pada perkara yang tidak boleh ditinggalkan, seperti syafa'at orang yang memelihara anak kecil, orang gila atau pemberi wakaf atau selainnya, untuk menjatuhkan beberapa hak milik orang yang berada di bawah kekuasaannya. Seluruh syafa'at ini hukumnya haram, baik untuk pemberi syafa'at, dan juga atas orang yang mengeluarkan hak syafa'at. Dan diharamkan atas selain keduanya untuk mengusahakannya jika mengetahui." [6]

Pemberian bantuan pengurusan di hadapan orang-orang untuk mempermudah perolehan hak atau menahan keburukan atau tujuan serupa lainnya, yang berkait dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang hukumnya mubah, merupakan usaha yang disenangi dan perbuatan yang baik.

TELADAN DARI GENERASI SALAF
Dalam biografi Imam Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, tertuang bahwa beliau acapkali menulis permohonan syafa'at bagi orang yang mendatanginya kepada para pemegang jabatan.

Suatu hari al Mutawalli (seorang penguasa) berkata: “Engkau menulis permohonan syafa'at kepada kami bagi orang-orang yang kami tidak ingin menerima syafa'at (dari siapapun) untuk mereka, sedangkan kami ingin tidak menolak permintaanmu”.

Mendengar ungkapan al Mutawalli ini, maka beliau menjawab: “Mengenai diriku, maka aku sudah memenuhi keinginan orang yang mendatangiku. Terserah kalian, mau menerima tulisanku atau tidak," maka al Mutawalli berkata: "Tidak akan kami tolak selamanya".[7]

Abu Muzhfir al Khuza’i selalu mengharuskan dirinya untuk membantu menyelesaikan keperluan-keperluan manusia. Ada orang berkomentar: “Wahai Syaikh, kemungkinan saja timbul kegerahan dari dirimu dalam menyelesaikan apa yang engkau kerjakan (buat orang lain),” (tetapi) beliau menjawab: “Aku akan selalu menulis. Jika hajat orang yang saya menulis untuknya, itulah tujuanku. Jika tidak terlaksana, saya sudah terbebas dari tuntutan dan sama sekali tidak terpengaruh dengan itu”.

Seorang penyair melantunkan:
Diwajibkan atas diriku zakat apa yang kumiliki
Dan zakat jabatanku adalah membantu dan memberi syafa'at

Kalau engkau punya, berbuat baiklah. Jika tidak mampu,
berusahalah dengan sekuat tenaga untuk membantu (orang lain)

BANTUAN YANG DILARANG
Berbeda halnya dengan syafa'at, maka yang bertujuan menggugurkan hak-hak orang lain atau menetapkan kebatilan atau memeti-eskan hukuman pidana, ini merupakan usaha yang tercela lagi tertolak.

Nash-nash syari'at menunjukkan kepada makna sebagaimana yang telah dikemukakan. Allah Ta'ala berfirman:

مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا وَمَن يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَهُ كِفْلُُ مِّنْهَا

"Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya. Dan barangsiapa yang memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya" [an Nisaa`: 85].

Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat ini, beliau menjelaskan:

مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا , yaitu, barangsiapa yang berusaha dalam sebuah perkara yang bisa mendatangkan kebaikan, maka ia akan mendapatkan bagian darinya.

وَمَن يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَهُ كِفْلُُ مِّنْهَا , maksudnya, ia akan terbebani dosa dari masalah yang muncul atas usaha dan niatnya.

Mujahid bin Jubair berkata: "Ayat ini turun berhubungan dengan bantuan-bantuan syafa'at yang dikeluarkan manusia untuk orang lain".[8] Orang yang memberikan syafa'at yang baik, ia akan meraih pahala atasnya, meskipun permohonannya tidak diterima. Ia telah melakukan upaya, yang tidak bisa dikerjakan orang lain.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari al Hasan al Bashri, ia berkata: "Barangsiapa memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan mendapat pahalanya, meski permohonannya ditolak. Sebab Allah berfiman:

مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا [Dia tidak mengatakan yusyaffa' (harus diterima syafaatnya)]".[9]

As Sa’di menjelaskan di dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan syafa'at di sini, yaitu memberikan pertolongan (kepada orang lain) dalam suatu masalah. Siapa saja yang menolongnya dalam perkara-perkara yang baik –termasuk mendukung orang yang teraniaya haknya dengan syafa'at di hadapan pihak yang menzhalimi- , maka ia memperoleh bagian pahala dari usahanya. Begitu pula, orang yang menolong orang lain dalam perkara yang buruk, maka ia ikut menanggung beban sesuai dengan kadar pertolongannya. Dalam ayat ini terdapat anjuran yang nyata, agar saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, serta larangan keras dalam hal saling membantu perbuatan dosa dan kejelekan.[10]

Juga riwayat lain dalam Shahihain, dari 'Aisyah, bahwa orang-orang Quraisy dibingungkan dengan urusan wanita dari suku Makhzumi yang telah mencuri. Mereka saling bertanya: "Siapa yang akan melobi Rasulullah?" Ternyata tidak ada yang berani untuk melakukannya kecuali Usamah, kekasih Rasulullah. Maka Usamah pun membicarakannya dengan Rasulullah. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

"Apakah engkau akan memberikan syafa'at pada aturan hukum pidana dari Allah?" Kemudian beliau berdiri seraya berbicara: "Wahai manusia, sesungguhnya bangsa sebelum kalian sesat, (karena) jika ada orang mulia dari kalangan mereka mencuri, maka dibiarkan. Bila yang mencuri orang yang lemah, niscaya mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, jikalau Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya". [11]

Dalam hadits ini termuat larangan mengajukan permohonan pembatalan hukuman dalam perkara pidana, jika telah sampai kepada penguasa. Karena itu, Bukhari menempatkan hadits ini dalam bab yang berjudul "Bab Dibencinya Pemberian Syafa'at Dalam Perkara Hukum Pidana Yang Telah Sampai Kepada Penguasa". [12]

Senada dengan itu, Imam an-Nawawi juga mengatakan, pemberian syafa'at dalam masalah (pembatalan) hukuman pidana, hukumnya haram. Demikian juga pengeluaran hak syafa'at untuk mendukung kebatilan atau membatalkan sebuah hak atau yang lainnya, ini hukumnya haram".[13]

BOLEHKAH MEMBANTU MEMASUKKAN SESEORANG KE SEBUAH INSTANSI?
Secara khusus, Komisi Fatwa Kerajaan Saudi, al Lajnatid-Da-imati lil-Buhutsil-'Ilmiyyah wal-Ifta', pernah menjawab pertanyaan yang berbunyi: Bagaimana hukum wasilah (perantara)? Boleh atau haram? Misalnya, saya ingin bekerja atau mendaftar di sebuah sekolah dan lain sebagainya, dengan memanfaatkan bantuan perantara agar diterima. Bagaimana hukum masalah ini?

Komisi Fatwa memberikan jawaban:
Pertama. Jika keberadaan perantara yang membantumu memperoleh pekerjaan tersebut menyebabkan tersingkirkannya orang yang lebih utama dan berhak dari dirimu, (baik) dari aspek kapasitas ilmiah yang berkaitan dengan pekerjaan dan kemampuan mengemban tugas-tugas serta pelaksanaannya dengan penuh ketelitian di dalamnya, maka bantuan perantara di sini diharamkan. Mengingat :

1. Mengandung tindak kezhaliman kepada orang yang lebih memiliki kemampuan.
2. Mengandung kezhaliman kepada pemerintah, karena telah terhalang menemukan pegawai yang kecakapan dan ketekunannya dapat membantu mengangkat kemajuan dalam salah satu aspek kehidupan.
3. Merupakan perbuatan aniaya kepada rakyat, karena menghalangi mereka dari sosok-sosok pegawai yang mampu menjalankan pelayanan dengan sebaik-baiknya. Selain itu.
4. Memicu timbulnya rasa hasad dan prasangka buruk, serta kerusakan di masyarakat.

(Tetapi), apabila tidak menimbulkan tersingkirnya atau berkurangnya hak orang lain, (maka) hukumnya boleh, bahkan muraghghabun fih (dianjurkan) ditinjau dari kacamata syari'at. Pelakunya mendapatkan pahala, insya Allah. Terdapat rawayat dari Nabi, beliau bersabda:

اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ

"Berikan syafa'at, niscaya kalian mendapat pahala. Allah akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya, apa yang dikehendaki".[14]

Kedua. Sekolah-sekolah dan universitas (negeri) merupakan fasilitas umum milik semua orang. Di sana, manusia akan mendalami hal-hal yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka. Tidak ada seorang pun yang lebih utama dibandingkan orang lain, kecuali dengan alasan-alasan yang dibenarkan selain syafa'at. Kalau pemberi syafa'at mengetahui akan menimbulkan tercampaknya seseorang yang lebih berhak masuk -ditinjau dari sisi kapabilitas, usia atau lebih dahulu melayangkan lamaran dan lain sebagainya-, maka andil perantara di sini terlarang. [15] Terlebih lagi (jika) dengan mengikutkan kekuatan uang, yang biasa disebut suap atau risywah, jelas lebih tidak boleh lagi. Suap jelas-jelas diharamkan oleh agama Islam, dan termasuk perbuatan dosa besar.
Wallahul-Muwaffiiq.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Ar-Risalah at-Tabukiyah.
[2]. HR Bukhari, Muslim.
[3]. Ma’alim fi Thariq Thalabil-‘Ilm.
[4]. Faidhul-Qadir, dikutip dari al Ma’alim.
[5]. Syarhu an-Nawawi li Shahih Muslim.
[6]. Al Adzkar, an-Nawawi.
[7]. Dza-il Thabaqatil-Hanabilah. Dinukil dari al Ma’alim
[8]. Tafsir Ibnu Katsir.
[9]. Jami'ul-Bayani 'an Ta`wili Ayil-Qur`an.
[10]. Taisirul-Karimir-Rahman.
[11]. Shahih Bukhari, Shahih Muslim.
[12]. Fathul-Bari.
[13]. Syarhu an-Nawawi li Shahih Muslim.
[14]. HR Bukhari, Muslim.
[15]. Fatawa Ulama al Baladil-Haram.

Zina Merajalela

Zina termasuk dalam perbuatan dosa besar. Di antara penyebab seseorang terjerumus ke dalam perbuatan yang nista ini, ialah karena rendahnya iman dan moral masyarakat, serta saking gampangnya mempertontonkan aurat secara murah dan vulgar, terutama yang terjadi di kalangan kaum wanita.

Sebagian faktor yang menyuburkan perilaku hina ini, ialah merajalelanya pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan. Tanpa takut dengan beban dosa, seluruh inderanya menerawang menikmati segala sesuatu yang tidak halal baginya. Ini menjadi langkah pertama bagi seseorang terjerumus ke jurang perbuatan zina yang nista. Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan agar manusia tidak terperangkap perzinaan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

Dan katakan kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami atau ayah, atau ayah suami atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara laki-laki atau putra-putra saudara laki-laki atau putra-putra saudari perempuan mereka, atau wanita-wanita muslimah atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". [An-Nûr/24:30-31]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

كُتِبَ على بن آدَمَ نَصِيبُهُ من الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذلك لا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذلك الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ ( متفق عليه )

"Telah ditentukan atas setiap anak Adam bagiannya dari perbuatan zina, ia pasti melakukannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan, zina lisan adalah dengan berbicara, zina kedua tangan adalah dengan menggenggam, dan zina kedua kaki adalah dengan melangkah, sedangkan hati berkeinginan dan berandai-andai, dan kemaluan mempraktekkan keinginan untuk berzina itu atau menolaknya". [Muttafaqun 'alaih]

Para ulama menyatakan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai dengan menyebutkan zina mata, karena zina mata adalah asal usul terjadinya zina tangan, lisan kaki, dan kemaluan[1]. Oleh karena itu, hendaklah kita senantiasa waspada dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi perangkap-perangkap perzinaan, agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan nista ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk" [Al-Isrâ`/17:32]


Zina itu sendiri merupakan hutang yang pasti harus ditebus, dan tebusannya ada pada keluarga kita. Pepatah menyatakan:

عِفُّوْا تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَبِرُّوْا أَبَاءَكُمْ يَبِرَّكُمْ أَبْناَؤُكُمْ

(Jagalah dirimu, niscaya istri dan anakmu akan menjaga dirinya. Dan berbaktilah kepada orang tuamu, niscaya anakmu akan berbakti kepadamu).[2]

Dalam pepatah Arab lainnya disebutkan:

الزِّنّا دَيْنٌ قَضَاؤُهُ فِي أَهْلِكَ

Perbuatan zina adalah suatu piutang, dan tebusannya ada pada keluargamu.

Kita seyogyanya bertanya kepada hati nurani masing-masing, relakah bila anak gadis kita, atau saudara wanita, atau ibu kita dizinai oleh orang lain? Bila tidak rela, maka janganlah berzina dengan anak atau saudara wanita atau ibu orang lain! Bila anda telah tega menzinai anak atau saudara wanita atau ibu seseorang, maka semenjak itu, ingatlah selalu, pada suatu saat perbuatan yang serupa akan menimpa anak gadis anda atau saudara wanita anda, atau bahkan ibu anda!

Atas dasar itu, hendaklah kita senantiasa berpikir panjang bila tergoda setan untuk melakukan perbuatan zina, baik zina kemaluan, zina pandangan, atau lainnya. Sebagaimana kita senantiasa mengingat pedihnya hukuman Allah di dunia dan akhirat, sehingga kita tidak mudah terjerembab ke dalam lembah kenistaan ini.

HUKUMAN BAGI PEZINA
Salah satu bentuk hukuman yang diberikan Islam bagi pezina, selain dicambuk ialah diharamkannya menikah dengannya hingga kemudian ia bertaubat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik( pula)". [An-Nûr/24:26]

Sebagian ulama ahli tafsir menyatakan, ayat ini ada kaitannya dengan ayat ke-3 surat an-Nûr, yaitu firman Allah Ta'ala, yang artinya: Lelaki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lelaki yang berzina atau lelaki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.

Sehingga penafsiran ayat ini menunjukkan, laki-laki yang tidak baik, pasangannya adalah wanita yang tidak baik pula. Sebaliknya, wanita yang tidak baik, pasangannya ialah orang yang tidak baik pula. Haram hukumnya bagi laki-laki yang baik atau wanita yang baik menikahi wanita atau lelaki yang tidak baik.[3]

Sebagian ulama menjabarkan penafsiran ini secara lebih jelas: "Barang siapa yang menikahi wanita pezina yang belum bertaubat, maka ia telah meridhai perbuatan zina. Dan orang yang meridhai perbuatan zina, maka seakan ia telah berzina. Bila seorang lelaki rela andai istrinya berzina dengan lelaki lain, maka akan lebih ringan baginya untuk berbuat zina. Bila ia tidak cemburu ketika mengetahui istrinya berzina, maka akankah ada rasa sungkan di hatinya untuk berbuat serupa? Dan wanita yang rela bila suaminya adalah pezina yang belum bertaubat, maka berarti ia juga rela dengan perbuatan tersebut. Barang siapa rela dengan perbuatan zina, maka ia seakan-akan telah berzina. Bila seorang wanita rela andai suaminya merasa tidak puas dengan dirinya, maka ini pertanda bahwa iapun tidak puas dengan suaminya".

KEWAJIBAN PELAKU PERZINAAN

Oleh karena itu, orang yang terlanjur terjerumus ke dalam perbuatan nista ini, hendaklah segera kembali kepada jalan yang benar. Hendaklah disadari, bahwa perbuatan zina telah meruntuhkan kehormatan dan jati dirinya. Begitu pula hendaklah ia senantiasa waspada dengan balasan Allah Ta'ala yang mungkin akan menimpa keluarganya.

Bila penyesalan telah menyelimuti sanubari, dan tekad tidak mengulangi perbuatan nista ini telah bulat, istighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa dipanjatkan; bila jalan-jalan yang akan menjerumuskan kembali ke dalam kenistaan ini telah ditinggalkan, maka semoga berbagai dosa dan hukuman Allah Subhanahu wa Ta'ala atas perbuatan ini dapat terhapuskan. Lantas, bagaimana halnya dengan hukuman dera atau cambuk yang belum ditegakkan atas pezina tersebut, apakah taubatnya dapat diterima?

Ada satu kisah menarik pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Adalah Sahabat Mâ'iz bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu mengaku kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia telah berzina. Berdasarkan pengakuan ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dirajam. Tatkala rajam telah dimulai, dan Sahabat Maa'iz merasakan pedihnya dirajam, ia pun berusaha melarikan diri. Akan tetapi, para sahabat yang merajamnya berusaha untuk mengejarnya dan merajamnya hingga meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diberitahu bahwa Maa'iz Radhiyallahu 'anhu berusaha melarikan diri, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(هَلاَّ تَرَكْتُمُوْهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوْبَ فَيَتُوْبَ اللهُ عَلَيْهِ ) . أخرجه أحمد وأبو داود وابن أ بي شيبة

"Tidahkah kalian tinggalkan dia, mungkin saja ia benar-benar bertaubat, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengampuninya?" [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Abi Syaibah]

Berdasarkan hadits ini dan hadits lainnya, para ulama menyatakan bahwa orang yang berzina, taubatnya dapat diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala, walaupun tidak ditegakkan hukum dera atau rajam baginya. Di antara yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan atas dosanya. Yakni akan dilipatgandakan adzab untuknya pada hari Kiamat, dan ia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al-Furqân/68-70]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Kejelekan yang telah lalu melalui taubatnya yang sebenar-benarnya akan berubah menjadi kebaikan. Yang demikian itu, karena setiap kali pelaku dosa teringat lembaran kelamnya, ia menyesali, hatinya pilu, dan bertaubat (memperbaharui penyesalannya). Dengan penafsiran ini, dosa-dosa itu berubah menjadi ketaatan kelak pada hari Kiamat. Walaupun dosa-dosa itu tetap saja tertulis atasnya. Akan tetapi, semua itu tidak membahayakannya. Bahkan akan berubah menjadi kebaikan pada lembaran catatan amalnya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits shahîh, dan keterangan ulama Salaf." [4]

BOLEHKAH MENIKAH DENGAN PEZINA YANG SUDAH BERTAUBAT?
Menurut pendapat mayoritas ulama yang memiliki kredibilitas keilmuan, mereka membolehkan pernikahan dengan pelaku perzinaan yang benar-benar telah bertaubat.

Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata: "Ketahuilah, menurutku, pendapat ulama yang paling kuat ialah: bila lelaki pezina dan wanita pezina telah berhenti dari perbuatan zina, mereka menyesali perbuatannya dan bertekad tidak mengulanginya, maka pernikahan mereka sah. Sehingga seorang lelaki dibenarkan untuk menikahi wanita yang pernah ia zinahi setelah keduanya bertaubat. Sebagaimana dibolehkan bagi orang lain untuk menikahinya, tentunya setelah mereka bertaubat. Yang demikian itu, karena orang yang telah bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tidak pernah melakukan dosa". [5]

Bila pezina itu seorang wanita, dan ia hamil dari hasil perzinaannya, maka untuk dapat menikahinya disyaratkan hal lain, yaitu wanita itu telah melahirkan anak yang ia kandung, sebagaimana ditegaskan pada fatwa Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut: "Tidak dibenarkan menikahi wanita pezina dan tidak sah akad nikah dengannya, hingga ia benar-benar telah bertaubat dan telah selesai masa iddahnya".[6]

APAKAH HARUS MENGAKUI MASA KELAMNYA KEPADA CALON PASANGAN?
Salah satu wujud dari taubat seseorang dari perbuatan dosa, ialah tidak menceritakan perbuatan dosanya kepada orang lain. Karena menceritakan lembaran kelam kepada orang lain merupakan pertanda lemahnya rasa malu, penyesalan dan lemahnya rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan menceritakannya menjadi pertanda adanya kebanggaan dengan perbuatannya yang nista itu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ عَمَلاً بِاللَّيْلِ ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ . فَيَقُوْلُ : يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سَتْرَ اللهِ عَنْهُ .( متفق عليه )

"Setiap ummatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang berterus-terang dalam bermaksiat. Dan di antara perbuatan berterus-terang dalam bermaksiat ialah, bila seseorang melakukan kemaksiatan pada malam hari, lalu Allah telah menutupi perbuatannya, akan tetapi ia malah berkata: "Wahai fulan, sungguh tadi malam aku telah berbuat demikian dan demikian," padahal Rabbnya telah menutupi perbuatannya, justru ia malah menyingkap tabir Allah dari dirinya". [Muttafaqun 'alaih]

Pada hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(اجْتَنِبُوْا هَذِهِ الْقَاذُوْرَةَ الَّتِي نَهَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا ، فَمَنْ ألم فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ الله)

"Jauhilah olehmu perbuatan-perbuatan nista yang telah Allah Azza wa Jalla larang, dan barang siapa yang melakukannya, maka hendaknya ia menutupi dirinya dengan tabir Allah Azza wa Jalla , karena barang siapa yang menampakkan kepada kami jati dirinya, maka kamipun akan menegakkan hukum Allah" [Riwayat al-Baihaqi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]

Berdasarkan dalil ini dan juga dalil lainnya, para ulama menyatakan, dianjurkan bagi orang yang telah terjerumus dalam perbuatan dosa agar merahasiakan dosanya itu dan tidak menceritakannya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang wanita yang pernah berbuat zina dan sudah bertaubat menceritakan masa silamnya kepada siapapun, termasuk kepada laki-laki yang melamarnya. Terlebih, bila wanita itu benar-benar telah bertaubat dan menyesali dosanya. Karena yang wajib untuk diceritakan kepada laki-laki yang melamar adalah cacat atau hal-hal yang akan menghalangi atau mengurangi kesempurnaan hubungan suami istri [7]. Adapun perbuatan dosa, terlebih yang telah ditinggalkan dan telah disesali, maka tidak boleh diceritakan, karena siapakah dari kita yang tidak pernah berbuat dosa?

PENUTUP
Pada kesempatan ini, saya merasa perlu untuk mengingatkan saudara-saudaraku, agar senantiasa menjadikan pasangan hidupnya sebagai cermin dari jati dirinya. Bila anda menjadi marah atau benci karena mengetahui adanya kekurangan pada pasangan anda, maka ketahuilah, anda pun memiliki kekurangan serupa atau lainnya, yang mungkin lebih besar dari kekurangannya.

Bila anda merasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh pasangan anda, maka ketahuilah, ia pun memiliki kelebihan yang tidak ada pada diri anda. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita dengan sabdanya:

لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مؤمنة إن كَرِهَ منها خُلُقًا رَضِيَ مِنْهاَ آخَرَ

"Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukmin, bila ia membenci suatu perangai darinya, niscaya ia suka dengan perangai yang lain" [Muslim]

Demikianlah, seyogyanya seorang muslim bersikap dan berfikir, tidak sepantasnya bersifat egois, hanya suka menuntut, akan tetapi tidak menyadari kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Bila kita menuntut agar pada diri calon pasangan kita memiliki berbagai kriteria yang sempurna, maka ketahuilah, calon pasangan kita pun memiliki berbagai impian tentang pasangan hidup yang ia dambakan. Karenanya, sebelum kita menuntut, terlebih dahulu wujudkanlah tuntutan kita pada diri kita sendiri. Dengan demikian, kita akan dapat berbuat adil dan tidak semena-mena bersikap dan dalam menentukan kriteria ideal calon pasangan hidup.

Semoga pemaparan singkat ini bermanfaat bagi kita, dan semoga Allah Ta'ala mensucikan jiwa kita dari noda-noda kenistaan. Wallahu Ta'ala A'lam bish-Shawab.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Fathul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni dan Faidhul-Qadîr, al-Munawi.
[2]. Majmu' Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah.
[3]. Lihat Tafsîr ath-Thabari, Ibnu Jarir, Tafsîr al-Qurthubi, Majmu' Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah, dan Tafsîr Ibnu Katsîr.
[4]. Tafsîr Ibnu Katsîr.
[5]. Adhwâ'ul-Bayân, Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi.
[6]. Majmu' Fatâwâ, Lajnah ad-Dâ`imah.
[7]. Lihat asy-Syarhul-Mumti', Ibnu 'Utsaimîn.

Bercanda Menurut Pandangan Islam

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [al-Ahzâb/33:21].

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM JUGA BERCANDA
Sebagai manusia biasa, kadang kala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bercanda. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengajak istri, dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau, untuk mengambil hati, dan membuat mereka gembira. Namun canda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlebih-lebihan, tetap ada batasannya. Bila tertawa, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melampaui batas tetapi hanya tersenyum. Begitu pula, meski dalam keadaan bercanda, beliau tidak berkata kecuali yang benar.

Dituturkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّه صلىاللّه عليه وسلم مُستَجْمِعًا قَطُّ ضَا حِكًا حَتَّى تُرَى مِنْهُ لَهَوَاتُهُ إِنَمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ

Aku belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya tersenyum.[1]

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Betul, hanya saja aku selalu berkata benar. [2]

BEBERAPA CONTOH CANDA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
1. Anas Radhiyallahu ‘anhu menceritakan salah satu bentuk canda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggilnya dengan sebutan:

يَا ذَا الاُّ ذُ نَيْنِ

Wahai, pemilik dua telinga! [3]

2. Anas Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha memiliki seorang putera yang bernama Abu ‘Umair. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering bercanda dengannya setiap kali beliau datang. Pada suatu hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang mengunjunginya untuk bercanda, namun tampaknya anak itu sedang sedih. Mereka berkata: “Wahai, Rasulullah! Burung yang biasa diajaknya bermain sudah mati,” lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda dengannya, beliau berkata:

يَا اَبَا عُميرٍ مَا فَعَلَ النُغَيْرُ
 
“Wahai Abu ‘Umair, apakah gerangan yang sedang dikerjakan oleh burung kecil itu?” [4]

3. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bercerita, ada seorang pria dusun bernama Zahir bin Haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukainya. Hanya saja tampang pria ini jelek.


Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya ketika ia sedang menjual barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memeluknya dari belakang, sehingga ia tidak dapat melihat beliau. Zahir bin Haram pun berseru: “Lepaskan aku! Siapakah ini?”

Setelah menoleh iapun mengetahui, ternyata yang memeluknya ialah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka iapun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk merapatkan punggungnya ke dada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata: “Siapakah yang sudi membeli hamba sahaya ini?”

Dia menyahut,”Demi Allah, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian aku tidak akan laku dijual!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas: “Justru di sisi Allah l engkau sangat mahal harganya!” [5]

4. Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kami akan membawamu di atas anak onta.” Laki-laki itu berkata: “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak onta?” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bukankah onta yang melahirkan anak onta?” [6]

5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sering kali bercanda dan menggoda Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

Suatu kali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Aku tahu kapan engkau suka kepadaku dan kapan engkau marah kepadaku,” Aku
(‘Aisyah) menyahut: “Darimana engkau tahu?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Kalau engkau suka kepadaku engkau akan mengatakan, ‘Tidak, demi Rabb Muhammad,’ dan kalau engkau marah kepadaku engkau akan mengatakan, “Tidak, demi Rabb Ibrahim”. Aku (‘Aisyah) menjawab: “Benar, demi Allah! Tidaklah aku menghindari melainkan namamu saja.”[7]

6. Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menceritakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan al-Hasan bin Ali Radhiyallahu 'anhu. Ia pun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” [8]

CANDA YANG DIBOLEHKAN
Ada kalanya kita mengalami kelesuan dan ketegangan setelah menjalani kesibukan. Atau muncul rasa jenuh dengan berbagai rutinitas dan kesibukan sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan penyegaran dan bercanda. Kadang kala kita bercanda dengan keluarga atau dengan sahabat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat manusiawi dan dibolehkan. Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukannya. Jika kita ingin melakukannya, maka harus memperhatikan beberapa hal yang penting dalam bercanda.

1. Meluruskan Tujuan.
Yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa memperoleh gairah baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.

2. Jangan Melewati Batas.
Sebagian orang sering kebablasan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Dia mempunyai maksud buruk dalam bercanda, sehingga bisa menjatuhkan wibawa dan martabatnya di hadapan manusia. Orang-orang akan memandangnya rendah, karena ia telah menjatuhkan martabatnya sendiri dan tidak menjaga wibawanya. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.

3. Jangan Bercanda Dengan Orang Yang Tidak Suka Bercanda.
Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.

4. Jangan Bercanda Dalam Perkara-Perkara Yang Serius.
Ada beberapa kondisi yang tidak sepatutnya bagi kita untuk bercanda. Misalnya dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim, ketika memberikan persaksian, dan lain sebagainya.

5. Hindari Perkara-Perkara Yang Dilarang Allah Subhanahu Wa Ta'ala Saat Bercanda.
Tidak boleh bercanda atau bersenda gurau dalam perkara yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, di antaranya sebagai berikut.

- Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Ada orang yang bercanda dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya. Misalnya, seperti memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang sejenisnya. Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْ خُذَنَّ أحَدُكُمْ مَتَا عَ أَخِيهِ لاَ عِبًا وَلاَ جَادًّا

Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.[9]

Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang tidur, datanglah seseorang lalu mengambil cambuknya, dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut. Sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسلِمًا

Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain.[10]

Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh.

- Berdusta saat bercanda.
Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan berdusta dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْت فِي رَبَضِ الْجَنّّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كََانَ مُحقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَط الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِ بَ وَإِنْ كَانَ مَازِ حًا وَبِبَيتِ فِي أَغلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang memperbaiki akhlaknya.

Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tetap berkata jujur meskipun sedang bercanda. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي لأَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًا

Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tidak mengatakan kecuali yang benar. [11]

Oleh karena itu, tidak boleh berdusta ketika bercanda. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan ancaman terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia. [12]

Apalagi bila dalam candanya itu ia menyebut aib dan rahasia orang lain, atau mencela dan mengejek orang lain.

- Melecehkan sekelompok orang tertentu.
Misalnya bercanda dengan melecehkan orang-orang tertentu, penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, atau bahasa tertentu, atau menyebut aib mereka dengan maksud untuk bercanda dan membuat orang lain tertawa. Perbuatan ini sangat dilarang.

- Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain.
Kadang kala ini juga terjadi, terlebih bila canda itu sudah lepas kontrol. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu ia mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan keji. Seperti ia mengatakan kepada temannya, ‘hai anak hantu,’ dan kata-kata sejenisnya untuk membuat orang tertawa. Sangat disayangkan, hal seperti ini nyata terjadi di tengah orang-orang kebanyakan dan jahil. Oleh karena itu, hendaklah kita jangan keterlaluan dalam bercanda, sehingga melampui batas.

6. Hindari Bercanda Dengan Aksi Dan Kata-Kata Yang Buruk.
Banyak orang yang tidak menyukai bercanda seperti ini. Dan seringkali berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian. Sering kita dengar kasus perkelahian yang terjadi berawal dari canda. Maka tidak sepatutnya bercanda dengan aksi kecuali dengan orang yang sudah terbiasa dan bisa menerima hal itu. Sebagaimana para sahabat saling melempar kulit semangka setelah memakannya. [13]

Adapun bercanda dengan kata-kata yang buruk tidak dibolehkan sama sekali. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا


Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. [al-Isrâ`/17:53].

7. Tidak Banyak Tertawa.
Banyak orang yang tertawa berlebihlebihan sampai terpingkal-pingkal ketika bercanda. Ini bertentangan dengan sunnah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, beliau bersabda :

وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.”

Seperti yang telah dijelaskan di atas dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha. Banyak tertawa dapat mengeraskan hati dan mematikannya.

8. Bercanda Dengan Orang-Orang Yang Membutuhkannya.
Seperti dengan kaum wanita dan anakanak. Itulah yang dilakukan oleh Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam, yaitu sebagaimana yang beliau lakukan terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dan al Hasan bin Ali, serta seorang anak kecil bernama Abu ‘Umair.

9. Jangan Melecehkan Syiar-Syiar Agama Dalam Bercanda.
Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat al-Qur‘an dan syiarsyiarnya, wal iyâdzu billâh! Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan kekufuran.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُونَ وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekanejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayatayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”. [at-Taubah/9:64-65]

Dan mengangungkan syiar agama merupakan tanda ketakwaan hati. Allah berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. [al-Hajj/22:32].

Demikianlah, semoga dengan tulisan ini kita bisa mengetahui kedudukan bercanda dalam pandangan Islam, mengetahui canda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan batasan-batasan yang dibolehkan dalam bercanda. Sehingga kita dapat membedakan antara bercanda yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim.
[2]. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahîh.
[3]. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi. Lihat Shahîh al- Jâmi’.
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad,at-Tirmidzi dalam asy-Syamil, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah.
[6]. Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dari Anas. Shahîh Abu Dawud.
[7]. Muttafaqun ‘Alaihi, Shahîh al-Bukhâri, sebagaimana terdapat dalam Fathul-Bari, Shahîh Muslim.
[8]. Lihat Silsilah Ahâdîts Shahîhah.
[9]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan at-Tirmidzi. Lihat Shahîh Abu Dawud.
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat Shahîh Abu Dawud.
[11]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabir. Lihat Shahîh al-Jâmi’.
[12]. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud (4990), at-Tirmidzi. Lihat Shahîh al-Jâmi’).
[13] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah. 

Dzikir Setelah Shalat

( 3 kali ). أَسْتَغْفِرُ الله
"aku memohon ampun kepada Alla"

اَللَّھُمَّ أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ یَا ذَا اْلجَلالِ وَاْلإكْرَامِ
"Ya Allah Engkau Maha Sejahtera, dari-Mu kesejahteraan,Maha Berkah Engkau wahai
Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan."

لاَ إِلَھَ إِلا الله وَحْدَهُ لاَ شَرِیْكَ لَھُ، لَھُ اْلمُلْكُ وَ لَھُ اْلحَمْدُ وَھُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِیْرٌ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله. لاَ إِلَھَ إِلاَّ الله وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِیَّاهُ. لَھُ
النِّعْمَةُ وَ لَھُ اْلفَضْلُ وَ لَھُ الثَّنَاءُ اْلحَسَنُ. لاَ إِلَھَ إِلاَّ الله مُخْلِصِیْنَ لَھُ
الدِّیْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلكَافِرُوْنَ. اَللَّھُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَیْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا
مَنَعْتَ وَلاَ یَنْفَعُ ذَا اْلجَدِّ مِنْكَ اْلجَدُّ.
"Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata , tiada sekutu bagi-
Nya.Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu,tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.Tidak ada Ilah yang
berhak disembah kecuali Allah dan kita tidak menyembah kecuali kepada-Nya ,milik-
Nya segala nikmat ,milik-Nya segala keutamaan dan milik-Nya segala sanjungan yang
baik.Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dengan mengikhlaskan agama
(ketundukan) untuk-Nya walaupun orang-orang kafir tidak suka.Ya Allah tidak ada
yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan ,tidak ada yang dapat memberi apa
yang Engkau halangi dan tidak bermanfaat buat orang yang memiliki kekayaan(dari
siksaan-Mu) akan kekayaannya” .

Dibaca pula setelah shalat Subuh dan shalat Maghrib do’a seperti diatas dan
ditambah pula dengan do’a ini :
لاَ إِلَھَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِیْكَ لَھُ، لَھُ اْلمُلْكُ وَ لَھُ اْلحَمْدُ یُحْیِيْ وَیُمِیْتُ
× وَھُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِیْرٌ.

"Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata,tidak ada sekutu bagi-
Nya,bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nyalah segala pujian,Dialah Dzat Yang
Menghidupkan dan Mematikan,dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu" .
Kemudian setelah itu membaca:
33 أَكَْبرُ الله x dan ” 33 “اَلْحَمْدُ لله x dan ” “سُبْحَانَ الله
33x,
Kemudian disempurnakan yang keseratus dengan membaca :
لاَ إِلَھَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِیْكَ لَھُ، لَھُ اْلمُلْكُ وَلَھُ اْلحَمْدُ وَھُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِیْرٌ.
"Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata,tidak ada sekutu bagi-
Nya,bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu".

Kemudian membaca ayat Kursi:
اللهُ لاَ إِلَھَ إِلاَّ ھُوَ اْلحَيُّ اْلقَیُّوْمُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَھُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأرْض،ِ مَنْ ذَا الَّذِيْ یَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِھِ یَعْلَمُ مَا
بَْینَ أَیْدِیْھِمْ وَمَا خَلْفَھُمْ وَلاَ یُحِیْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِھِ إِلاَّ بمَا شَاءَ،
وَسِعَ كُرْسِیُّھُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأرْضَ وَلاَ یَؤُوْدُهُ حِفْظُھُمَا وَھُوَ اْلعَلِيُّ
اْلعَظِیْمُ.
"Allah,tidak ada Ilah (yang berhak disembah)kecuali Dia yang Hidup kekal lagi terus
menerus mengurus makhluk-Nya ,tidak mengantuk dan tidak tidur .Kepunyaan-Nya
apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi .Siapakah yang dapat memberi
syafa’at di sisi Allah tanpa seizin-Nya?Allah Mengetahui apa-apa yang dihadapan
mereka dan dibelakang mereka dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya .Kursi Allah meliputi langit dan bumi ,dan Allah
tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar " .

Kemudian membaca:
قُلْ ھُوَ اللَّھُ أَحَدٌ dan قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ dan قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
Dan ketiga surat di atas khusus untuk dibaca sesudah shalat Subuh dan shalat
Maghrib serta di ulang-ulang tiga kali.

Dzkir, Wirid dan Doa Sesudah Shalat
Dianjurkan sesudah selesai shalat supaya membaca dzikir-dzikir (wirid-wirid) sebab
sangat besar faedahnya.
Di bawah ini adalah Dzikir-dzikir sesudah shalat:
Astaghfirullaahal ‘adhiimalii waliwalidayaa wali ash-habil huquuqi ‘alayya walijamii’il
mu’miniina walmukminaati wal muslimiina wal muslimaatil ahyaa-I minhum wal
amwaati 3x
Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu yuhyi
wayumiitu wahuwa ‘ala kulli syai-in qadiirun 3x
Allaahumma antas salaam waminkas salaamu wailaika ya’uudus salaamu fahayyinaa
rabbanaa wata’aalaita yaadzal jalaali wal ikraami.
Membaca surat Al Fatihah
Membaca ayat kursi (1:255)
Shaidallaahu innahu laa ilaaha illa huwa wa-ulul’ilmi waa iman bil qisthi laa ilaaha illa
huwal ‘aziizul hakiimu innaddiina ‘indallaahil islaamu.
Qulillahumma maalikal mulki tuktil mulkaman tasyaa-u watanzi’ul mulka miman
tasyaau watuizzu man tasyaa-u watudzillu man tasyaa-u biyadikal khairu innaka ‘ala
kulli syai-in qadiirun
Tuulijul laila fin nahaari watuulijun nahaara fil laili watukhrijul hayya minal mayyiti
watukhrijul mayyita minal hayyi watar zuqu man tasyaa-u bighairi hisaabin.

Subhanallaah 33x
Alhamdulillaahi 33x
Allaahu Akbar 33x
Allaahu Akbar kabiiran walhamdu lillaahi katsiiran wasubhaanallaahi bukratan wa
ashiilan.
Laa ilaaha illallaahu wah dahu laa syarikalahu lahul mulku walahul hamdu yuhyi
wamiitu wahuwa ‘alaa kulli syai-in qadiirun
Laa haula walaa quwwata illa billaahil ‘aliyil ‘adhiimi
Dilanjutkan dengan doa:
Doa Setelah Sholat Fardhu 1
Allaahumma laa maani’a lima a’thaita walaa mu’thi limaa mana’ta walaa haadiya
limaa adl-lalta walaa mubaddila limaa hakamta walaa rad dalimaa qadlaita walaa
yanfa’u dzaljaddi minkal jaddu laa ilaaha illa anta
Allaahumma shali ‘alaa sayyidina muhammadin ‘abdika warusuulikan nabiyyil ummiyi
wa’alaa aalihi wa ashabihi wasallim.
Wahasbunallaahu wani’mal wakiilu walaa haula walaa quwwata illa billaahil ‘aliyyil
‘adhiimi.
Astaghfirullaahal ‘adhiima.

Doa Setelah Sholat Fardhu 2
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘alaamiin.
Hamdan yuwaafii ni’amahu wa yukaafi maziidahu.
Yaa rabbanaa lakal hamdu kamaa yan baghii lijalaali wajhika wa ‘azhiimi sulthaanika.
Allaahumma shali’alaa sayyidinaa Muhammadin wa’alaa aali sayyidinaa Muhammad.
Allaahumma rabbanaa taqbbal minna shalaatanaa washiyaamanaa wa rukuu’anaa wa
sujuudanaa wa qu’uudanaa wa tadharru’anaa wa takhasy-syu’anaa wa ta’abbudanaa
wa tammim taqshiiranaa ya Allaahu ya Rabbal ‘alaamiina.
Rabbanaa zhalamnaa anfusa-naa wa in lam taghfir lanaa wa tarhamnaa lana
kuunannaa minal khasiriina.

Rabbanaa wa laa tahmil ‘alaina israh kamaa hamaltahu ‘alalladziina min qablinaa.
Rabbanaa laa tauzigh quluubanaa ba’da idz hadaitana wa hablanaa min ladunka
rahmatan innaka antal wahhaabu.
Rabbanaghfir lanaawali waalidiinaa wa lijamii’il muslimiina wal muslimaati wal
mu’miniina wal mu’minaati al ahyaa-I minhum wal amwaati innaka ‘alaa kulli syai-in
qadiirun.
Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa qinaa
‘adzaabannaari.
Allaahummaghfir lanaa dzunuubanaa wa kaffir ‘annaa sayyi-aatinaa wa tawaffanaa wa-
‘al abraari.
Subhana Rabbika Rabbil ‘izzati ‘amma yashifuuna wa salaamun ‘alal mursaliina
walhamdu lillaahi Rabbil aalamiin.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...