Searching

Bertetangga Yang Sehat Dan Kiat Menghadapi Tetangga Jahat


Tak dipungkiri, manusia tidak bisa terlepas dari manusia yang lain. Artinya ia mutlak membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Di sinilah, manusia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bertetangga. Islam pun telah menggariskan etika sosial untuk menciptakan jalinan yang harmonis antar keluarga. Sehingga kehidupan manusia terpenuhi atmosfer yang penuh dengan spirit tasaamuh (toleransi), ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan taqwa. Penyakit ananiyah (egoisme), su’uzhan (buruk sangka), tajassus (sikap memata-matai), menggunjing aib orang lain, dan sederet akhlak tercela lainnya tidak endapatkan tempat. Keamanan, ketentraman dan roda kehidupan yang didasari saling tepa selira dan menghormati dapat semakin kokoh

TETANGGAMU, PERGAULILAH DENGAN BAIK
Tetangga adalah sosok yang akrab dalam kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang, tetangga kita lebih tahu keadaan kita ketimbang kerabat kita yang tinggal berjauhan. Saat kita sakit dan ditimpa musibah, tetangga lah yang pertama membantu kita. Tak heran, jika Islam begitu menekankan kepada kita untuk berbuat baik kepada terangga, karena dampak hubungan yang harmonis antar tetangga mendatangkankan maslahat yang begitu besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَ اليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إلى جَارِهِ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada terangganya. [1]

وَأحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا

Dan berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang muslim. [2]

Dua hadits di atas mengindikasikan bahwa berbuat ihsan (baik) kepada tetangga merupakan salah satu simbol kesempurnaan iman seseorang. Sebab antara iman dan ketinggian akhlak seorang muslim berbanding lurus. Semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin mulia pula akhlaknya kepada siapapun, termasuk kepada para tetangganya. Keluhuran akhlak seseorang bukti kesempurnaan imannya.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah menggambarkan arti pentingnya kedudukan
tetangga dengan mengatakan.

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tentangga, hingga aku yakin ia (seorang tetangga) akan mewariskan harta kepadanya (tetangganya). [3]

Berkaitanmakna berbuat ihsan (baik) kepada tetangga, Syaikh Nazhim Sulthan menerangkan: "(Yaitu) dengan melakukan beragam perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar kemampuan. Misalnya berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika bertemu dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara yang ia butuhkan, serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa tersakiti, baik secara fisik atau moril. Tetangga yang paling berhak mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih dekat. 'Aisyah pernah bertanya,"Wahai Rasulullah, aku memiliki dua orang tetangga. Maka kepada siapakah aku memberikan hadiah diantara mereka berdua?". Beliau menjawab.

إلى أقْرَبَهُمَا مِنْكِ بَابًا

Kepada tetangga yang lebih dekat pintu rumahnya denganmu.[4]

Oleh karena itu, Imam Al Bukhari menulis judul bab khusus dalam Shahihnya Bab Haqqul Jiwar Fii Qurbil Abwab (Bab Hak Tetangga Yang Terdekat Pintunya). Ini merupakan indikator kedalaman pemahaman beliau terhadap nash-nash tentang hal ini. [5]

Lebih lanjut, Syaikh Nazhim memaparkan tentang kriteria tentang tetangga. Yang Pertama : Tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan. Dia memiliki tiga hak sekaligus. Yaitu ; hak bertetangga, hak Islam dan hak kekerabatan. Yang Kedua : Tetangga muslim (yang tidak memiliki hubungan kekerabatan), maka ia memiliki dua hak. Yaitu ; hak bertetangga dan hak Islam.
Yang Ketiga : Tetangga yang hanya memiliki satu hak. Yaitu tetangga yang kafir. Dia hanya memiliki hak sebagai tetangga, dengan dasar keumuman nash-nash yang memerintahkan berbuat ihsan kepada tetangga, yang mencakup tetangga muslim dan non-muslim. Seperti yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap tetangga Beliau yang beragama Yahudi.[6]

Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash bahwa ia menyembelih seekor kambing kemudian bertanya (kepada keluarganya). "Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada tetangga kita yang Yahudi?. Beliau bertanya sampai tiga kali., kemudian berkata,"Aku telah mendengar Nabi bersabda.

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُوَرِّثُه

Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, hingga aku yakin ia akan memberikan harta warisan kepadanya. [7]

Kriteriai tetangga yang dinyatakan oleh Syaikh Nazhim ini, sebenarnya merupakan kandungan sebuah hadits yang termaktub dalam Musnad Al Bazzar dan Al Hilyah karya Abu Nu’aim. Namun sanadnya bermasalah. Al Haitsami dalam Al Majma, mengomentari sanadnya dengan berkata: "Imam Al Bazaar meriwayatkannya dari syaikh (guru)nya (yang bernama) Abdullah bin Muhammad Al Haritsi, dan ia adalah seorang pemalsu hadits.[8]

Akan tetapi kriteria di atas, sejalan dengan penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bar yang menyatakan. "Penyebutan (istilah) tetangga mencakup (tetangga) yang muslim maupun yang kafir, yang ahli ibadah ataupun yang fasik, teman ataupun musuh, yang senegara ataupun dari negeri lain, yang bisa memberikan manfaat ataupun yang akan membahayakan, yang masih kerabat ataupun bukan saudara, yang dekat rumahnya ataupun yang jauh. Tetangga memiliki (perbedaan derajat) tingkatan antara satu dengan lainnya. Tetangga yang memiliki derajat tertinggi adalah yang terhimpun padanya seluruh sifat-sifat istimewa, kemudian (tingkatan selanjutnya adalah) yang banyak memiliki sifat-sifat luhur, dan (tingkatan yang terakhir) adalah yang paling sedikit sifat-sifat baiknya. [9]

Syaikh Abdurrahman bin Abdul Karim Al 'Ubayyid, penulis kitab Ushul Manhajil Islami, menjelaskan makna tetangga secara lebih luas, "Istilah tetangga sebagaimana yang dikenal secara umum oleh manusia adalah tetangga yang hidup berdampingan rumah dengan anda. Namun sebenarnya, parameter dalam masalah ini adalah keumuman lafazh (tetangga). Maka istilah tetangga mencakup setiap orang yang hidup bersama anda, baik ketika dalam pekerjaan, di toko, atau masjid, di jalan, maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Maka setiap insan yang berada di sekeliling anda maka ia adalah tetangga anda. Termasuk pula dalam kategori tetangga ini adalah sebuah negara dengan negeri jirannya, juga negara Islam dengan negara tetangganya. Jadi, tetangga antar negara dinilai sama persis layaknya tetangga antar anggota masyarakat, yaitu dari sisi pandang bahwa keduanya dituntut untuk berbuat baik kepada tetangganya masing-masing. Tidaklah terjadi peperangan antar negara melainkan lantaran negara yang satu melanggar hak negara tetangganya. Ini adalah salah satu prinsip yang agung.[10]

ETIKA BERTETANGGA YANG SEHAT
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan beberapa etika pergaulan dengan tetangga yang selayaknya kita perhatikan:[11]
• Hendaknya kita mencintai kebaikan untuk tetangga kita sebagaimana kita menyukai kebaikan itu untuk diri kita. Bergembira jika tetangga kita mendapat kebaikan dan kebahagiaan, serta jauhi sikap dengki ketika itu. Hal ini mencakup pula keharusan untuk menasehatinya ketika kita melihat tetangga kita melalaikan sebagian perintah Allah, serta mengajarinya perkara-perkara penting dalam agama yang belum ia ketahui dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ أَوْ قَالَ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Dan demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, tidaklah seseorang beriman hingga ia mencintai untuk tetangganya, atau Beliau berkata, untuk sudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.[12]

Ibnu Abi Jamrah berkata, "Kondisi tetangga berbeda-beda, ditinjau dari tingkat keshalehan mereka. (Prinsip) yang mencakup seluruhnya adalah keinginan kebaikan untuk tetangga tersebut, dan nasehat kepadanya dengan cara yang baik, mendoakannya agar mendapatkan petunjuk, menjauhi sikap yang menyakitinya, dan mencegah tetangga yang tidak shalih dari perbuatan yang menganggu atau dari kefasikan dengan cara yang bijak, sesuai dengan tahapan beramar ma'ruf nahi mungkar. Serta mengenalkan kepada tetangga yang kafir tentang Islam dan menjelaskan kepadanya kebaikan-kebaikan agama Islam dan memotivasinya untuk masuk Islam dengan cara yang baik pula. Jika hal itu bermanfaat maka (ajaklah ia dengan nasehat itu), dan bila nasehat tidak mempan, maka boikotlah ia dengan tujuan untuk memberinya pelajaran. Karena dirinya telah mengetahui alasan kita memboikotnya, agar ia berhenti dari keengganannya untuk masuk Islam, jika memang pemboikotan tersebut efektif diterapkan padanya"

• Saat musibah melanda tetangga kita dan dia dirundung kesedihan dan terbelit kesulitan, sebisa mungkin kita membantunya, baik bantuan materi ataupun dukungan moril. Menghibur dan meringankan beban penderitaannya dengan nasehat, tidak menampakan wajah gembira tatkala dia dirundung duka. Menjenguknya ketika sakit dan mendoakan kesembuhan untuknya serta membantu pengobatannya bila memang dia membutuhkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ المُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إلى جَنْبِهِ

Bukanlah seorang mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya. [13]

• Hindari sejauh mungkin sikap yang dapat menyebabkan tetangga kita merasa tersakiti, baik berupa perbuatan ataupun perkataan. Contohnya, mencela, membeberkan aibnya di muka umum, memusuhinya, atau melemparkan sampah di muka rumahnya sehingga menyebabkan ia terpeleset ketika melewatinya, dan jenis gangguan lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَ اليَوْمِ الآخِر فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهٌ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. [14]

• Kunjungilah tetangga pada hari raya dan sambutlah undangannya jika dia mengundang kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

حَقُّ المُسْلِمِ على المُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ وَ عِيَادَةُ المَرِيْضِ وَ اتِّبَاعُ الجَنَائِزِ وَ إجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشْمِيْتُ العَاطِسِ

Hak muslim atas muslim yang lain ada lima, menjawab ucapan salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin.[15]

• Berikanlah toleransi kepada tetangga kita selama bukan dalam perkara maksiat. Didiklah keluarga kita untuk tidak berkata-kata keras atau berteriak-teriak sehingga mengganggu tetangga. Janganlah kita mengeraskan suara radio kita hingga mengusik ketentraman tetangga, terutama pada malam hari. Sebab, mungkin diantara mereka ada yang sedang sakit, atau lelah, atau tidur atau mungkin ada anak sekolah yang sedang belajar. Dan ketahuilah, mendengarkan musik adalah perkara haram, apalagi jika sampai mengganggu tetangga, maka dosanya menjadi berlipat ganda. Rasulullah bersabda.

خَيْرُ الأصْحَابِ عِنْدَ الله خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَ خَيْرُ الجِيْرَانِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

Sebaik-baik sahabat adalah yang paling baik terhadap sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik terhadap tetangganya.[16]

Dan hendaklah kita tidak bersikap kikir terhadap tetangga yang membutuhkan bentuan kita, selama kita bisa membantunya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَا يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ
Janganlah seorang diantara kalian melarang tetangganya untuk meletakkan kayu di tembok rumahnya.[17]

Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali membawakan beberapa pelajaran yang berkaitan dengan hak tetangga yaitu: Yang pertama : Saling membantu dan bersikap toleran sesama tetangga merupakan hak-hak tetangga (yang wajib dipenuhi) sekaligus merupakan wujud kekokohan bangunan masyarakat Islam. Yang kedua : Jika seseorang memiliki rumah, kemudian ia memiliki tetangga dan tetangganya itu ingin menyandarkan sebatang kayu di temboknya tersebut, maka boleh hukumnya bagi si tetangga untuk meletakkannya dengan izin atau tanpa izin pemilik rumah, dengan syarat hal tersebut tidak menimbulkan mudharat bagi si empunya rumah, karena Islam telah menetapkan satu kaidah umum [18] ( لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ) .

• Berikanlah hadiah kepada tetangga, walau dengan sesuatu yang mungkin kita anggap sepele. Karena saling memberi hadiah akan menumbuhkan rasa cinta dan ukhuwah yang lebih dalam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menasehati Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu.

إذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فأكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ ، فأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوفٍ

Jika suatu kali engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikanlah tetanggamu, dan berikanlah mereka sebagiannya dengan cara yang pantas. [19]

• Tundukkanlah pandangan kita terhadap aurat tetangga, jangan pula menguping pembicaraan mereka. Apalagi sampai mengintip ke dalam rumahnya tanpa seizinnya untuk mengetahui aib mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ

Dan katakanlah kepada laki-laki beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka. [An Nur:30]

KERASNYA ANCAMAN MELANGGAR KEHORMATAN TETANGGA
Ketahuilah wahai akhi muslim dan ukhti …..Islam mengajarkan kita untuk menjadi seorang bisa bermanfaat bagi orang yang lain, atau bila kita tidak bisa memberi manfaat kepada orang lain, paling tidak kita menahan diri jangan sampai menyakitinya. Apalagi terhadap tetangga, mereka memiliki hak sangat besar yang wajib kita tunaikan. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia?. Maka berbuat baik kepada tetangga merupakan cerminan baiknya keimanan seseorang. Dan sebaliknya, menyakiti tetangga merupakan simbol ahlul jahl (orang yang tidak mengerti ilmu).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh seorang sahabat,"Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulanah rajin shalat malam, rajin pula shaum pada siang hari dan gemar bersedekah, tapi dia menyakiti tetangganya dengan lisannya! Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.

لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أهْلِ النَّارِ. قَالَ : وَ فُلاَنَة تُصَلِّيْ المَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأثْوَارِ مِنَ الأقِطِ وَ لاَ يُؤْذِيْ أحَدًا ؟ فَقَالَ: هِيَ مِنْ أهْلِ الجَنَّةِ

Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka". Lalu sahabat itu bertanya lagi,"Fulanah (wanita) yang lain rajin shalat fardlu, gemar bersedekah dengan sepotong keju dan tidak pernah menyakiti seorang pun?. Maka Beliau menjawab,"Dia termasuk penduduk surga.[20]

Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan berkata,"Menyakiti seorang muslim tanpa alasan yang benar adalah perkara yang haram. Akan tetapi menyakiti tetangga lebih keras lagi keharamannya.

Dari Miqdad bin Al Aswad ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

لأنْ يَزْنَيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنِ يَزْنِيَ بامْرَأةِ جَارِهِ وَ لأنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِنْ عَشْرةِ أبْيَاتٍ أيْسَرُ لَهُ مِنْ أنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ

Sungguh, jika seorang laki-laki berzina dengan sepuluh wanita itu masih lebih baik baginya daripada ia berzina dengan istri tetangganya, dan sungguh jika seorang laki-laki mencuri dari sepuluh rumah itu lebih ringan (dosanya) daripada ia mencuri dari rumah salah seorang tetangganya.[21]

Zina merupakan dosa besar yang diharamkan Allah Tabaaraka wa Ta'ala, dan Allah telah menetapkan hukum-hukum yang bersifat preventif bagi para pelakunya. Akan tetapi melakukan perbuatan zina dengan istri tetangga tingkat keharaman, kekejian dan kejahatannya lebih berat lagi. Demikian pula halnya dengan mencuri (di rumah tetangga).

Dari Syuraih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَ الله لاَ يُؤْمِنُ وَ الله لاَ يُؤْمِنُ وَ الله لاَ يُؤْمِنُ قِيْلَ مَنْ يَا رَسُوْلَ الله؟ قَالَ: الَّذِيْ لاَ يَأمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَه

Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman". Beliau ditanya,"Siapa wahai Rasulullah?. Beliau menjawab,"Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.[22]

Al Bawa-iq (البَوَائق) adalah bentuk plural dari baa-iqah (بَائِقَة) maknanya adalah malapetaka, sesuatu yang membinasakan, dan perkara sulit yang datang tiba-tiba.

Ibnu Baththal berkata, "Dalam hadits di atas terdapat penekanan besarnya hak tetangga, karena Beliau sampai bersumpah tentang hal itu. Bahkan Beliau mengulangi sumpahnya sampai tiga kali. Dalam hadits tersebut juga terdapat isyarat penafian iman dari seseorang yang menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Maksud (penafian disini) adalah (penafian) iman yang sempurna, dan tidak diragukan lagi bahwa seorang yang bermaksiat keimanannya tidak sempurna".[23]

Juga hadits dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, ia pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

يَا رَسُوْلَ الله ُأيُّ ذَنْبٍ أعْظُمُ؟ قَالَ: أنْ تَجْعَلَ لله نِدًّا وَ هُوَ خَلَقَكَ . قُلْتُ : ثُمَّ أي؟ قَالَ : أنْ تَقْتُلَ وَلَدَ كَخَشْيَةَ أنْ يُطْعَمَ مَعَكَ. قُلْتُ : ثُمَّ أي؟ قَالَ : أن تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارَكَ

Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?. Beliau menjawab,"Engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Ia yang menciptakanmu". Aku bertanya lagi,"Kemudian dosa apa?. Beliau menjawab,"Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia akan mengambil jatah makananmu". Aku bertanya lagi,"Lalu dosa apai?. Beliau menjawab,"Engkau menzinahi istri tetanggamu".[24]

BILA TETANGGA ANDA JAHAT
Memiliki tetangga yang baik dan mau hidup rukun dengan kita merupakan satu kenikmatan hidup. Namun terkadang, kita diuji Allah dengan memiliki tetangga yang tidak baik akhlaknya dan gemar mengganggu kita. Untuk menghadapi tetangga semacam itu, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu memberikan beberapa nasehatnya, sebagai berikut:

• Bersabarlah anda dalam menghadapi gangguan tetangga. Atau memilih pindah rumah jika memang hal itu memungkinkan. Allah berfirman.

وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ و َلا َالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. [Fushilat : 34]

Membalas kejahatan tetangga dengan perbuatan baik merupakan salah satu etika bertetangga yang diajarkan Islam. Yaitu agar kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama, Al Hasan al Bashri berkata, "Tidaklah berbuat ihsan kepada tetangga (hanya dengan) menahan diri tidak menyakiti tetangga, akan tetapi berbuat ihsan kepada tetangga (juga) dengan bersabar dan tabah menghadapi gangguannya".[25]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ثَلاَثَةٌ يَحِبُهُمُ الله، .......وَ الرَّجُلُ يَكُوْنَ لَهُ جَارٌ يُؤْذِيْهِ جَارُهُ فَيَصْبِرُ عَلَى اذَاهُ حَتَّى يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا مَوْتٌ أوْ ظُعُنٌ

Tiga golongan yang dicintai Allah,……..dan laki-laki yang memiliki tetangga yang menyakitinya, kemudian ia bersabar menghadapi gangguannya hingga ajal memisahkan mereka.[26]

• Hendaklah anda berdoa dengan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu.

(اللهمَّ إنَّيْ أعُوْذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ في دَارِ الإقَامَةِ فإنَّ جَارَ البَادِيَةِ يَتَحَوَّلُ)

Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari tetangga yang buruk di akhirat, maka sesungguhnya tetangga badui beganti-ganti. [27]

• Jika anda tidak mampu bersabar menghadapi gangguan tetangga, sementara tidak mungkin bagi anda untuk pindah rumah, maka terapkan nasehat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dikisahkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

جَاءَ رَجُلٌ إلى النَّبِيِّ يَشْكُوْ جَارَهُ، قَالَ: اذْهَبْ فاصْبِرْ، فأتاهُ مَرَّتَيْنِ أوْ ثَلاَثًا، فَقَالَ: اذْهَبْ فاطْرَحْ مَتَاعَكَ في الطَّرِيْقِ، فَطَرَحَ مَتَاعَهُ في تاطِّرِيْقِ، فَجَعَلَ الناَسُ يَسْألُوْنَ فَسُخْبِرُهُمْ خَبَرُهُ، فَيَلْعَنُوْنَ ذلك الجَارَ المُسِيءَ – فَعَلَ الله بِهِ وَ فَعَلَ- كِنَيَةٌ عَنْ سَخَطِ النَّاسِ عَلَيْهِ، فَجَاءَ إلَيْهِ فَقَالَ: ارْجِعْ لاَ تَرَى مِنِّيْ شَيْءًا تَكْرَهُهُ

Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi mengeluhkan tetangganya. Maka Rasulullah menasehatinya,"Pulanglah dan bersabarlah". Lelaki itu kemudian mendatangi Nabi lagi sampai dua atau tiga kali, maka Beliau bersabda padanya,"Pulanglah dan lemparkanlah barang-barangmu ke jalan". Maka lelaki itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga orang-orang bertanya kepadanya, ia pun menceritakan keadaannya kepada mereka. Maka orang-orang pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu mendatanginya dan berkata,"Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang tidak engkau sukai dariku.[28]

Pembaca, tiada gading yang tak retak.Tidak ada manusia yang sempurna. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap diri kita. Latar belakang yang berbeda menciptakan pribadi yang berbeda. Wacana yang perlu kita kembangkan, bagaimana kita dapat meredam perbedaan yang ada, selama tidak melanggar rambu syariat. Menjalin komunikasi positif dengan menjungjung tinggi akhlak pergaulan. Selamat menuai pahala dari tetangga Anda.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Bukhari dan Muslim. lafazh hadits milik Muslim.
[2]. HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani”. Lihat Min Adabil Islam karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
[3]. Muttafaqun ‘alaih, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar.
[4]. HR Al Bukhari 
[5]. Qawa’id Wa Fawa’id hal.141
[6]. Qawa’id Wa Fawa’id hal.141 dengan bahasa dari penyusun.
[7]. HR Imam Ahmad, At Tirmidzi , Abu Daud  dan Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad. Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad
[8]. Lihat Tafsir Ibni Katsir tahqiq Sami bin Muhammad As Salamah
[9]. Lihat Ushulul Manhajil Islami
[10]. Ushul Manhaj Al Islamy
[11]. Disarikan dari kitab Min Adabil Islam dengan bahasa dari penyusun.
[12]. HR Muslim.
[13]. HR Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani”. Lihat Min Adabil Islam
[14]. HR Bukhari
[15]. HR Bukhari.
[16]. HR Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani. Lihat Min Adabil Islam
[17]. HR Bukhari dan Muslim.
[18]. Bahjatun Nazhirin
[19]. HR Muslim.
[20]. HR Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad dan dishahihkan oleh Al Albani. Lihat Min Adabil Islam.
[21]. HR Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Bukhari dalam Al Adabul Mufrad dan Ath Thabrani dalam Al Kabir dan dishahihkan oleh
Al Albani. Lihat Shahihul Jami’ dan Silsilah Shahihah.
[22]. HR Bukhari.
[23]. Fathhul Bari kitab Al Adab. Lihat Qawaid wa Fawaid.
[24]. HR Bukhari dan Muslim. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam
[26]. HR Imam Ahmad dan derajatnya shahih. Lihat Min Adabil Islam
[27]. HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Al
Hakim dalam Mustadrak  dari jalan Abu Khalid Al Ahmar dari Ibnu ‘Ajlan dari Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah”.
Silsilah Shahihah.
[28]. HR Abu Daud. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan hadits ini hasan.

Canda Di Panggung Hiburan

Dunia kesenian dan panggung hiburan zaman sekarang sangat bervariasi. Mulai dari tayangan sinetron religi, pentas dangdut, konser nasyid marawis, pertunjukan ketoprak, film komedi, festival gambus hingga manggungnya para pelawak. Semuanya bertujuan untuk menghibur para pemirsa atau penonton yang sedang mengalami letih batin, capek pikiran dan lelah badan. Bahkan maraknya tayangan entertainment (pertunjukan) di layar televise bertujuan menghibur para pemirsa, akhirnya para ustadz setengah artis dengan tampilan nyentrik dan ganteng, ikut ambil bagian. Ironisnya, muatan hiburan jarang ditakar dengan norma Islam, hingga hiburan yang disebut islamipun banyak yang melenceng dari aturan agama, bahkan lebih cenderung bebas dan bias, jauh dari kendali syariat. Apalagi kepentingan materi menjadi dominan, target keuntungan menjadi pertimbangan utama, dan kepuasan penonton sebagai prioritas. Sehingga bisa dipastikan, hiburan jenis apapun tidak sepi dari kebatilan dan kemungkaran. Sementara penonton, rata-rata tertarik dengan segala yang berbau syahwat, semua yang bersifat hura-hura, dan tayangan beraroma pornografi. Selingan hidup untuk mengusir bosan dan capek dengan canda dan tawa merupakan sifat bawaan manusia, sebagai bumbu pergaulan dan garam kehidupan, karena semua orang kurang betah dengan suasana tegang dan hidup tanpa sisipan humor.

Bagaimana Menjadi Pegawai Yang Amanah ?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas penyempurna dan pelengkap agama dan penghulu para rasul serta imam orang-orang yang bertaqwa nabi kita, Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat. Amma ba’du

Ini adalah risalah singkat berupa nasihat untuk para pegawai dan karyawan dalam menunaikan pekerjaan-pekerjaan yang diamanahkan kepada mereka. Aku menulisnya dengan harapan agar mereka mendapat manfaat darinya, dan supaya mambantu mereka untuk mengikhlaskan niat-niat mereka serta bersungguh-sungguh dalam bekerja dan menjalankan kewajiban-kewajiban mereka. Aku memohon kepada Allah agar semua mendapatkan taufik dan bimbingan-Nya.

1. AYAT-AYAT MENGENAI KEWAJIBAN MENUNAIKAN AMANAH
Diantara ayat-ayat mengenai kewajiban menunaikan amanah dan larangan berkhianat adalah firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [An-Nisa : 58]

Ibnu Katsir berkata dalam tafsir ayat ini, “Allah Ta’ala memberitakan bahwasanya Ia memerintahkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada ahlinya. Di dalam hadits yang hasan dari Samurah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tunaikan amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu menghianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunnan]

Dan ini mencakup semua bentuk amanah-amanah yang wajib atas manusia mulai dari hak-hak Allah Azza wa Jalla atas hamba-hamba-Nya seperti : shalat, zakat, puasa, kaffarat, nazar-nazar dan lain sebagainya. Dimana ia diamanahkan atasnya dan tidak seorang hamba pun mengetahuinya, sampai kepada hak-hak sesama hamba, seperti ; titipan dan lain sebagainya dari apa-apa yang mereka amanahkan tanpa mengetahui adanya bukti atas itu. Maka Allah memerintahkan untuk menunaikannya, barangsiapa yang tidak menunaikannya di dunia diambil darinya pada hari Kiamat”.

Dan firman-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]

Ibnu Katsir berkata, “Dan khianat mencakup dosa-dosa kecil dan besar yang lazim (yang tidak terkait dengan orang lain) dan muta’addi (yang terkait dengan orang lain). Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas mengenai tafsir ayat ini, “Dan kalian mengkhianati amanah-amanah kalian”. Amanah adalah ama-amal yang diamanahakn Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu faridhah ( yang wajib), Allah berfirman : “Janganlah kamu mengkhianati” maksudnya : janganlah kamu merusaknya”. Dan dalam riwayat lain ia berkata, “(Janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul) Ibnu Abbas berkata, “(Yaitu) dengan meninggalkan sunnahnya dan bermaksiat kepadanya”.

Dan firman-Nya.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” [Al-Ahzab : 72]

Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan pendapat-pendapat mengenai tafsir amanah, diantaranya ketaatan, kewajiban, din (agama), dan hukum-hukum had, ia berkata, “Dan semua pendapat ini tidak saling bertentangan, bahkan ia sesuai dan kembali kepada satu makna, yaitu at-taklif serta menerima perintah dan larangan dengan syaratnya. Dan jika melaksanakan ia mendapat pahala, jika meninggalkannya dihukum, maka manusia menerimanya dengan kelemahan, kejahilan, dan kezalimannya kecuali orang-orang yang diberi taufik oleh Allah, dan hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan”.

Firman Allah Ta’ala.

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janji-janji” [Al-Mukminun : 8]

Ibnu Katsir berkata, “Yaitu, apabila mereka diberi kepercayaan mereka tidak berkhianat, dan apabila berjanji mereka tidak mungkir, ini adalah sifat-sifat orang mukminin dan lawannya adalah sifat-sifat munafikin, sebagaimana tercantum dalam hadis yang shahih.

“Tanda munafik ada tiga : apabila berbicara berdusta, apabaila berjanji ia mungkir dan apabila diberi amanat dia berkhianat”.

Dalam riwayat lain.

“Apabila berbicara ia berdusta, dan apabila berjanji ia mungkir dan apabila bertengkar ia berlaku keji”.

2. HADITS-HADITS TENTANG MENUNAIKAN AMANAH
Diantara hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban menjaga amanah dan ancaman dari meninggalkannya adalah sebagai berikut.

Hadits 1.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-Bukhari]

Hadits 2.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah telah bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3535 dan At-Tirmidzi 1264, ia berkata, “ini adalah hadits hasan gharib”. Lihatlah, As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 424]

Hadits 3.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Yang pertama hilang dari urusan agama kalian adalah amanah, dan yang terakhirnya adalah shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Khara-ithi dalam Makarimil Akhlak hal. 28. Lihat, As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 1739]

Hadits 4.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Tanda seorang munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkir, dan apabila diberi amanah ia berkhianat” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]

3. PEGAWAI YANG MENUNAIKAN PEKERJAANNYA DENGAN IKHLAS MENDAPAT BALASAN DUNIA DAN AKHIRAT
Apabila seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh mengharapkan pahala dari Allah, maka ia telah menunaikan kewajibannya dan berhak mendapatkan balasan atas pekerjaannya di dunia dan beruntung dengan pahala di kampung akhirat. Telah datang nash-nash syar’iyah yang menunjukkan bahwasanya upah dan pahala atas apa yang dikerjakan oleh seorang dari pekerjaan didapat dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

لَّا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepada-Nya pahala yang besar” [An-Nisa : 114]

Imam Bukhari (55) dan Imam Muslim (1002) telah meriwayatkan dari Abu Mas’ud bahwasanya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila seseorang menafkahkan untuk keluarganya dengan ikhlas maka itu baginya adalah sedekah”.

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqash Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Dan tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah karena mengharapkan wajah Allah melainkan engkau mendapatkan pahala dengannya hingga sesuap yang engkau suapkan di mulu istrimu” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]

Nash-nash ini menunjukkan bahwasanya seorang Muslim apabila ia menunaikan kewajibannya terhadap sesama hamba lepaslah tanggung jawabnya, dan bahwasanya ia hanya akan mendapatkan balasan dan pahala dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. MENJAGA JAM KERJA UNTUK KEPENTINGAN PEKERJAAN
Wajib atas setiap pegawai dan pekerja untuk menggunakan waktu yang telah dikhususkan bekerja pada pekerjaan yang telah dikhususkan untuknya. Tidak boleh ia menggunakannya pada perkara-perkara lain selain pekerjaan yang wajib ditunaikannya pada waktu tersebut. Dan tidak boleh ia menggunakan waktu itu atau sebagian darinya untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan orang lain apabila tidak ada kaitannya dengan pekerjaan ; karena jam kerja bukanlah milik pegawai atau pekerja, akan tetapi untuk kepentingan pekerjaan yang ia mengambil upah dengannya.

Syaikh Al-Mu’ammar bin Ali Al-Baghdadi (507H) telah menasihati Perdana Menteri Nizhamul Muluk dengan nasihat yang dalam dan berfedah. Di antara yang dikatakannya diawal nasihatnya itu.

“Suatu hal yang telah maklum hai Shodrul Islam! Bahwasanya setiap individu masyarakat bebas untuk datang dan pergi, jika mereka menghendaki mereka bisa meneruskan dan memutuskan. Adapun orang yang terpilih menjabat kepemimpinan maka dia tidak bebas untuk bepergian, karena orang yang berada di atas pemerintahan adalah amir (pemimpin) dan dia pada hakikatnya orang upahan, ia telah menjual waktunya dan mengambil gajinya. Maka tidak tersisa dari siangnya yang dia gunakan sesuai keinginannya, dan dia tidak boleh shalat sunat, serta I’tikaf… karena itu adalah keutamaan sedangkan ini adalah wajib”.

Di antara nasihatnya, “Maka hiudpkanlah kuburanmu sebagaimana engkau menghidupkan istanamu” [1]

Dan sebagaimana seseorang ingin mengambil upahnya dengan sempurna serta tidak ingin dikurangi bagiannya sedikitpun, maka hendaklah ia tidak mengurangi sedikitpun dari jam kerjanya untuk sesuatu yang bukan kepentingan kerja. Allah telah mencela Al-Muthaffifin (orang-orang yang curang) dalam timbangan, yang menuntut hak mereka dengan sempurna dan mengurangi hak-hak orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ لِيَوْمٍ عَظِيمٍ يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah oran-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. Yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” [Al-Muthaffifin : 1-6]

5. KRITERIA-KRITERIA MEMILIH PEKERJA DAN PEGAWAI
Landasan dalam memilih seorang pegawai atau pekerja hendaklah ia seorang yang kuat lagi amanah. Karena dengan kekuatan ia sanggup melaksanakan pekerjaan yang diembankan kepadanya, dan dengan amanah ia menunaikan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan amanah ia akan meletakkan perkara-perkara pada tempatnya. Dan dengan kekuatan ia sanggup menunaikan kewajibannya.

Allah telah memberitakan tentang salah seorang putri penduduk Madyan bahwasanya ia berkata kepada bapaknya tatkala Musa mengambilkan air untuk keduanya.

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja kepada kita. Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” [Al-Qashash : 26]

Dan Allah berfirman tentang Ifrit dari bangsa Jin yang mengutarakan kesanggupannya kepada Sulaiman Alaihissalam untuk mendatangkan singgasana Balqis.

قَالَ عِفْرِيتٌ مِّنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَ ۖ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ

“Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu ; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya” [An-Naml : 39]

Maknanya, ia menggabungkan antara kemampuannya untuk membawa dan mendatangkannya serta menjaga apa yang dibawanya.

Allah juga telah menceritakan tentang Yusuf Alaihissalam bahwasanya ia berkata kepada raja.

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Jadikanlahlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan” [Yusuf : 55]

Lawan dari kuat dan amanah adalah lemah dan khianat. Dan itu alasan untuk tidak memilih seseorang dalam bekerja dan sebab-sebab sebenarnya untuk mecopotnya dari pekerjaan.

Tatkala Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai gubernur Kufah, dan sebagian orang-orang jahil negeri itu mencelanya di sisi Umar, maka Umar memandang maslahah dengan mencopotnya dari jabatan untuk menjaga dari terjadinya fitnah dan agar tidak seorangpun dari mereka mengganggunya. Akan tetapi Umar ketika sakit menjelang wafatnya telah menentukan enam orang shahabat Rasulullah yang dipilih dari mereka seorang yang akan menjabat khalifah setelahnya. Di antara mereka adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, lantas Umar khawatir bahwa pencopotannya dari jabatan gubernur Kufah disangka karena ketidaklayakannya memimpin, maka umar menepis prasangka tersebut dengan perkataannya, “Jika kepemimpinan jatuh kepada Saad, maka dia layak untuk itu. Dan jika tidak hendaklah siapa pun dari kalian yang menjadi pemimpin meminta bantuannya, karena sesungguhnya aku tidak mencopotnya karena kelemahan dan khianat” [Diriwayatkan Al-Bukhari : 3700]

Dan didalam Shahih Muslim : (1825)
Dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Hai Rasulullah! Tidaklah engkau memperkerjakan aku?’ Ia berkata, ‘Maka beliau menepuk pundakku dengan tanggannya kemudian bersabda, ‘Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya pekerjaan itu adalah amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban padanya”.

Dalam riwayat lain di Shahih Muslim (1826)
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hai Abu Dzar sesungguhnya aku melihatmu lemah dan sesungguhnya aku mencintai untukmu apa yang kucintai untuk diriku, janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan janganlah sekali-kali engkau mengurus harta anak yatim”.

6. ATASAN ADALAH TELADAN BAGI BAWAHANNYA DALAM BERSUNGGUH-SUNGGUH ATAU MALAS
Apabila para atasan pegawai melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dengan sempurna, pegawai-pegawai yang menjadi bawahannya akan mecontoh mereka. Dan setiap pemimpin dalam suatu pekerjaan akan diminta pertanggung jawabannya terhadap dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang memimpin manusia, ia memimpin mereka dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan ia akan diminta pertangung jawabannya tentang mereka, dan seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya, dia akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka dan seorang budak pemimpin atas harta tuannya dan dia akan diminta pertanggung jawabannya terhadapnya, ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” [Diriwayatkan Al-Bukhari ; 2554 dan Muslim : 1829 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma]

Dan apabila para atasan menjaga pekerjaan-pekerjaan dalam segala waktu-waktunya, mereka akan menjaga teladan yang baik bagi orang-orang yang mereka pimpin.

Seorang penyair berkata.
“Dan engkau selama melakukan yang engkau perintahkan
niscaya orang yang engkau perintahkan melakukannya”.

Maknanya, apabila engkau memerintahkan orang lain dari bawahanmu agar melakukan kewajibannya, dan engkau terlebih dahulu menunaikan kewajiban, maka sesungguhnya orang yang selainmu akan mematuhimu dan melaksanakan apa yang engkau perintahkan kepadanya.

7. PERLAKUAN PEGAWAI KEPADA ORANG LAIN SEPERTI APA IA INGIN DIPERLAKUKAN.
Nasihat memiliki kedudukan yang agung di dalam Islam, oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Agama adalah nasihat’, kami berkata, ‘Untuk siapa?’, Beliau bersabda, ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta sesama mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim 55 dari Abu Tamim bin Aus Ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu]

Dan berkata Jarir bin Abdullah Al-Bajali Radhiyallahu anhu, “Aku telah berba’iat kepada Rasulullah atas mendirikan shalat, membayar zakat dan menasihati untuk setiap Muslim” [Diriwayatkan Al-Bukhari 57 dan Muslim 56]

Sebagaimana seorang pegawai atau karyawan apabila ia punya kebutuhan pada yang lain, orang lain itu wajib memperlakukannya dengan mu’amalah yang baik. Maka wajib pula atasnya untuk memperlakukan orang lain dengan mu’amalah hasanah (perlakuan yang baik).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api nereka dan masuk surga, hendaklah ia meninggal sedang ia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah ia memperlakukan manusia sebagaimana ia ingin diperlakukan” [Diriwayatkan oleh Muslim]

Dalam hadits yang panjang dari Abdullah bin Amr. Dan maknanya adalah perlakukanlah manusia sebagaimana engkau ingin diperlakukan.

Rasulullah bersabda.

“Artinya : Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” [Diriwayatkan Al-Bukhari 13 dan Muslim 45 dari Anas]

Allah Ta’ala telah mencela orang yang memperlakukan orang lain tidak seperti ia ingin diperlakukan dalam firman-Nya.

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” [Al-Muthaffifin : 1-3]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu, pelit dan rakus, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan membenci untuk kalian tiga perkara yaitu ; kata-kata omong kosong, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta” [Diriwayatkan Al-Bukhari 2408 dan Muslim 593 dari Al-Mughirah bin Syu’bah]

Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap yang rakus lagi pelit, yang mengambil dan tidak memberi.

Allah telah mngingatkan wali-wali anak-anak yatim bahwasanya mereka khawatir terhadap anak keturunan mereka yang kecil-kecil kalau mereka tinggalkan. Allah berfirman.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” [An-Nisa ; 9]

Maknanya, sebagaimana mereka ingin anak-anak keturunan mereka nantinya diperlakukan dengan baik, maka wajib atas mereka untuk berlaku baik terhadap anak-anak yatim yang mereka menjadi wali atasnya.

8. PEGAWAI MENDAHULUKAN YANG DAHULU DALAM BERURUSAN
Termasuk sikap adil dan insaf ; hendaknya seorang pegawai tidak mengahirkan orang yang duluan dari orang-orang yang berurusan, atau mendahulukan orang yang belakangan. Akan tetapi ia mendahulukan berdasarkan urusan yang terdahulu. Dalam hal yang seperti ini memudahkan pegawai dan orang-orang yang berurusan.

Telah datang dalam sunnah Rasulullah apa yang menunjukkan atas itu. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-Bukhari]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah tidak menjawab si penanya tentang hari Kiamat melainkan setelah ia selesai berbicara kepada orang-orang yang telah mendahuluinya. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam uraiannya, “Disimpulkan darinya memberi pelajaran berdasarkan yang duluan, dan begitu juga dalam fatwa-fatwa, urusan pemerintahan dan lain sebagainya”.

Dan disebutkan dalam biografi Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari di kitab Lisanul Mizan karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Dan Ibnu Asakir mengeluarkan dari jalan Abu Ma’bad Utsman bin Ahmad Ad-Dainuri ia berkata, ‘Aku menghadiri majelis Muhammad bin Jarir dan hadir juga menteri Al-Fadhal bin Ja’far bin Al-Furat, dan dia telah didahului oleh seseorang. Maka berkata Ath-Thabari kepada orang tersebut, ‘Tidakkah engkau ingin membaca?’ Maka ia menunjuk kepada si menteri. Maka Ath-Thabari berkata, ‘Apabila giliran untukmu maka janganlah engkau terganggu oleh Dajlah (nama sungai) atau Efrat (Al-Furat)’. Aku katakan, “Dan ini sebagian dari keunikan dan kemahiran bahasanya serta tidak tertariknya ia pada anak-anak dunia”.

9. PEGAWAI HARUS MEMILIKI SIFAT IFFAH (MENJAGA KEHORMATAN) DAN BERSIH DARI MENERIMA SOGOKAN DAN HADIAH.
Setiap pegawai wajib menjadi seorang yang menjaga kehormatan dirinya, berjiwa mulia dan kaya hati. Jauh dari memakan harta-harta manusia dengan batil, dari apa-apa yang diberikan kepadanya berupa suap walau dinamakan dengan hadiah. Karena apabila dia mengambil harta manusia dengan tanpa hak berarti ia memakannya dengan batil, dan memakan harta dengan cara batil merupakan salah satu sebab tidak dikabulkannya do’a.

Muslim meriwayatkan di dalam shahihnya (1015) dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah bersabda,

“Sesungguhnya yang pertama busuk dari manusia adalah perutnya, maka barangsiapa yang sanggup untuk tidak memakan melainkan yang baik maka lakukanlah, dan barangsiapa yang bisa untuk tidak dihalangi antara dia dan surga walau dengan segenggam darah yang ditumpahkannya maka lakukanlah”

Dan yang juga diriwayatkannya (2083) dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli dengan cara apa dia mengambil harta, apakah dari yang halal atau dari yang haram”.

Menurut orang-orang yang mengambil harta tanpa peduli ini ; bahwasanya yang halal adalah yang berada di tangan dan yang haram adalah yang tidak sampai ke tangan. Adapun yang halal dalam Islam adalah apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang haram adalah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Telah datang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits-hadits yang menunjukkan dilarangnya aparat pekerja dan pegawai mengambil sesuatu dari harta walaupun dinamakan hadiah, diantaranya hadits Abi Sa’id Hamid As-Saidi, ia berkata.

“Artinya : Rasulullah mempekerjakan seseorang dari suku Al-Asad, namanya Ibnul Latbiyyah untuk mengumpulkan zakat, maka tatkala ia telah kembali ia berkata, ‘Ini untuk engkau dan ini untukku dihadiahkan untukku’. Ia (Abu Hamid) berkata, ‘Maka Rasulullah berdiri di atas mimbar, lalu memuja dan memuji Allah dan bersabda, ‘Kenapa petugas yang aku utus lalu ia mengatakan, ‘Ini adalah untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku?! Kenapa dia tidak duduk di rumah bapaknya atau rumah ibunya sehingga dia melihat apakah dihadiahkan kepadanya atau tidak?! Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah seorangpun dari kalian menerima sesuatu darinya melainkan ia datang pada hari Kiamat sambil membawanya di atas lehernya onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik’, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sampai kami melihat putih kedua ketiaknya, kemudian bersabda dua kali, ‘Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?” [Diriwayatkan Al-Bukhari 7174 dan Muslim 1832 dan ini adalah lafazhnya]

Dan di dalam shahih Bukhari (3073) dan shahih Muslim (1831) –dan dengan lafazhnya- dari Abu Hurairah, ia berkata.

“Artinya : Rasulullah berbicara kepada kami pada suatu hari, maka beliau menyebutkan Ghulul [2] dan beliau menganggapnya perkara yang besar, kemudian ia berkata, ‘Aku akan temui salah seorang kalian yang datang pada hari Kiamat di atas lehernya ada onta yang bersuara, ia berkata, ‘Hai Rasulullah, tolonglah aku’, maka aku (Rasulullah) mengatakan, ‘Aku tidak mampu berbuat apa-apa untukmu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak temui salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan kuda di atas pundaknya yang memiliki hamhamah (suara), lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Bantulah aku’, maka aku berkata, ‘Aku tidak bisa membantu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak dapatkan salah seorang darimu datang pada hari Kiamat dengan kambing yang mengembik diatas pundaknya seraya berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku menjawab, ‘Aku tidak mampu berbuat apa-apa untukmu, aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan dapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan membawa jiwa yang menjerit, lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku berkata, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan mendapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan pakaian diatas pundaknya ada shamit (emas dan perak), lalu ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, maka aku akan menjawab, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu”.

Riqa di dalam hadits ini maksudnya adalah pakaian dan shamit adalah emas dan perak.

Diantaranya hadits Abu Hamid As-Sa’di, bahwasanya Rasulullah bersabda.

“Artinya : hadiah-hadiah para pekerja adalah ghulul (khianat)”.

Diriwyatkan oleh Ahmad (23601) dan lainnya, dan lihat takhrijnya di kitab Irwa Al-Ghalil oleh Al-Albani (2622), dan ini semakna dengan hadits yang telah lalu dalam kisah Ibnu Al-Latbiyyah.

Diantaranya hadits Adi bin Umairah, ia berkata, “Aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan dari kami satu jarum atau yang lebih kecil, maka dia adalah ghulul dan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat” [Dikeluarkan oleh Muslim]

Diantaranya hadits Buraidah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu kami memberinya bagian, maka apa yang diambilnya setelah itu adalah perbuatan khianat” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad shahih, dan dishahihkan oleh Al-Albani]

Dan dalam biografi Iyadh bin Ghanam dari kitab Shifatush Shafwah oleh Ibnul Jauzi, ketika itu ia sebagai gubernur Himsh dalam pemerintahan Umar, bahwasanya ia berkata kepada sebagian kerabatnya dalam sebuah kisah yang panjang, ‘Demi Allah! Jika aku digergaji lebih aku sukai daripada aku berkhianat seperak uang atau aku melampaui batas!”.

Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar membimbing setiap pegawai dan pekerja dari kaum muslimin untuk menunaikan pekerjaannya sesuai dengan yang diridhai Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan ia mendapatkan pahala serta akhir yang terpuji di dunia dan akhirat.

Dan semoga Allah bershalawat dan salam serta memberikati hamba-Nyadan rasul-Nya, nabi kita Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Dzailul Thabaqat Al-Hanabilah oleh Ibnu Rajab.
[2]. Al-Ghulul maksudnya perbuatan curang dan yang dimaksud hadits ini adalah mengmbil ghanimah (rampasan perang) dengan sembunyi-sembunyi sebelum dibagikan..

Bebaskan Rumah Muslim Dari Asap Rokok!

Sungguh sangat memprihatinkan, pemandangan sejumlah kaum muslimin yang asyik menyulut rokok di serambi masjid. Padahal, biasanya hal-hal yang berbau asap, hanya di jumpai di tempat-tempat kotor (pembuangan sampah) dan polusi, seperti di terminal, jalanan atau tempat lainnya yang sejenis.

Bahkan orang-orang yang telah ditokohkan oleh masyarakat tidak lepas dari kebiasaan “membakar diri” ini. Tidak mengherankan bila rokok menjadi sesuatu yang gampang dicari, barangnya maupun penggemarnya. Bahkan kegemaran merokok ini pun terbawa saat menunaikan ibadah haji, sehingga menjadi melekat pada jama’ah haji Indonesia. Karena memang, ada saja jama’ah haji Indonesia yang nekad menyulut rokok di dekat pintu keluar Masjidil Haram. Maka pantas saja, dalam salah satu selebaran yang dibagikan cuma-cuma di sana, memuat pelanggaran-pelanggaran yang kerap dilakukan oleh jama’ah haji Indonesia, di antaranya adalah merokok. Sungguh sangat memprihatinkan sekali.

ALLAH MEMERINTAHKAN KITA AGAR MENGKONSUMSI YANG BAIK-BAIK
Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditujukan kepada para rasul-Nya dan kaum mukminin. Satu perintah yang sudah pasti bersumber dari rahmat dan kasih Allah Subhanhu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَآأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَاتَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al-Mukminun : 51]

Syaikh Abdur-Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, salah satu kandungan ayat diatas menyatakan, bahwa para rasul secara keseluruhan sepakat membolehkan makanan-makanan yang baik-baik dan mengharamkan barang-barang yang buruk.[1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا للهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah” [Al-Baqarah : 172]

Sebagaimana kita ketahui, makanan yang thayyib (baik) sangat menunjang kesehatan jasmani dan ruhani Begitu pula dari kacamata kesehatan, asupan makanan yang memenuhi gizi seimbang (sehat) sangat penting bagi kesehatan tubuh. Adapun dari segi ruhani, makanan yang thayyib mempunyai andil dalam menata “organ tubuh dalam” bagi manusia, hingga jiwanya pun menjadi baik, tunduk patuh kepada Rabbnya, menyukai kebaikan dan berlomba untuk meraihnya. Jadi ath-thoyyibat (makanan-makanan yang baik), ialah yang diperbolehkan oleh Allah, berupa makanan-makanan yang bermanfaat bagi jasmani, akal dan perilaku. Setiap yang bermanfaat itulah makanan yang thayyib. Adapun makanan-makanan yang berbahaya, itu semua termasuk khabis (buruk) [2].

Sisi ini, benar-benar menjadi sandaran dalam menentukan masalah tahlil (penghalalan) dan tahrim (pengharaman) dalam agama Islam yang hanif. Syaikh Shalih Al-Fauzan menggariskan kaidah dalam masalah ini, yaitu :”Setiap barang yang suci yang tidak mengandung madharat (bahaya) apapun, dari jenis biji-bijian, buah-buahan, (daging) binatang, itu halal. Dan setiap benda yang najis, seperti bangkai, darah atau barang yang tercemar najis, dan setiap yang mengandung madharat, semisal racun dan sesuatu yang serupa dengannya, hukumnya haram” [3]

ORIENTASI UMUM HUKUM-HUKUM ISLAM (MAQASHIDUSY SYARI’AH)
Tidak diragukan lagi, jika syari’at Islam yang lurus, misinya ialah mendatangkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta menampik seluruh kejelekan dan menekannya sekecil mungkin. Dalam Islam, ini merupakan prinsip yang penting, Ibnu Taimiyah rahimahullah acap kali menyatakan, bahwa syari’at (Islam) datang untuk menyuguhkan seluruh kemaslahatan dan melengkapinya, dan menghentikan seluruh kerusakan dan memperkecilnya [4]. Sehingga, segala hal yang baik, atau kebaikannya rajihah (dominan), maka syari’at memerintahkannya. Adapun sebuah perkara yang benar-benar jelas keburukannya, atau keburukannya rajihah (lebih kuat), maka syari’at akan melarangnya. [5]

Termasuk kaidah dan prinsip umum di atas, yaitu kaidah yang berbunyi : La dharara wala dhirar (tidak boleh menciptakan bahaya bagi diri sendiri dan membahayakan orang lain), adh-dhararu yuzal (bahaya harus dihilangkan).

BETULKAH ROKOK BARANG YANG BURUK?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, secara jelas dapat kita lihat, dalam setiap kemasan dan tayangan iklan produk rokok, baik di media cetak maupun elektronik, selalu tertera pesan berupa peringatan yang baik, yaitu ; merokok dapat mengakibatkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa rokok memang mengandung banyak bahan kimia yang membahayakan bagi manusia.

Ironisnya , “pesan atau peringatan baik” ini hanya sekedar pesan yang bersifat simbolis semata, bahkan sangat tidak efektif. Keberadaan pesan tersebut sama saja antara ada dan tidak adanya. Padahal telah diakui oleh para ahli, banyak bahaya yang ditimbulkan oleh sebatang rokok.

BAGAIMANA PULA DENGAN SYARIAT ISLAM?
Islam sangat menghormati jiwa. Karena itu, jika dalam kondisi yang benar-benar darurat, kita diharuskan makan meskipun barang tersebut haram. Begitu pula Islam melarang bunuh diri, dan lain sebagainya. Islam juga sangat menghargai akal manusia. Oleh sebab itu, Islam melarang benda-benda yang dapat menghilangkan kesadaran, baik yang hissi (benda padat semacam minuman keras, misalnya) atau bersifat maknawi, semacam judi, musik dan menyaksikan obyek-obyek yang diharamkan. Dan Islam juga benar-benar memperhatikan kesucian dan keselamatan an-nasl (keturunan). Maka, dianjurkan untuk menikah, persaksian dalam pernikahan, perhatian kepada anak-anak, melarang pernikahan dengan wanita pezina, larangan ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), dan sebagainya. [6]

Coba kita membandingkan nilai-nilai luhur dalam Islam ini, yang masuk dalam bingkai pemeliharaan dharuriyyatul-khams (lima perkara primer) dengan pesan atau peringatan yang melekat dalam setiap kemasan bungkus rokok. Hasinya, sangat bertentangan. Apalagi jika menghitung banyaknya uang yang dibelanjakan untuk membeli rokok, maka semakin jelas kebiasaan merokok sangat berseberangan dengan spirit pemeliharaan harta dalam Islam (hifzul mal).

BAWANG ATAUKAH ROKOK YANG MENYISAKAN BAU LEBIH BUSUK PADA MULUT ORANG?
Menyoal kegunaan bawang, setiap orang sudah mengetahui, hingga kelezatan kebanyakan makanan tidak lepas dari rempah-rempah ini. Akan tetapi harus dimengerti, yakni bagi orang yang mengkonsumsinya dalam keadaan mentah, ia tidak boleh masuk dan menghadiri shalat berjama’ah di masjid, sampai bau menyengat bawang dari mulutnya hilang.

Dari sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari penaklukan Khaibar.

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يَعْنِي الثُّومَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا

“Baragsiapa yang makan dari pohon ini –yaitu bawang putih- janganlah ia mendekati masjid kami”.[7]

Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ

“Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia menjauhi kami (atau berkata), hendaknya ia menjauhi masjid kami dan duduk saja di rumahnya”

Dalam riwayat lain.

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ اَلْخَبِيْثَةَ و قَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa yang makan dari tanaman yang busuk ini : beliau (juga) pernah mengatakan barangsiapa makan bawang merah, bawang putih dan bawang bakung, hendaknya ia jangan mendekati masjid kami. Sebab malaikat terganggu dengan barang yang manusia terganggu dengannya” [8]

Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menyimpulkan, dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan dibencinya makan bawang merah dan bawang putih ketika akan mendatangi masjid. Hal ini, karena Islam merupakan agama yang peduli dengan perasaan orang lain, menganjurkan bau yang normal dan moral yang baik. Tergolong dalam hukum ini juga, yaitu bawang putih, bawang merah dan jenis bawang bakung, serta setiap makanan yang mengandung bau tidak enak dan jenis lainnya.

Beliau menambahkan : Hukum –dalam masalah ini- di pelataran masjid dan tempat yang berada di dekatnya sama. Karena itu, Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata dalam khutbahnya : “Kemudian kalian, wahai orang-orang yang makan dari dua tanaman ini. Aku tidaklah mengangapnya, kecuali khabits (buruk), (yaitu) bawang merah dan bawang putih ini. Aku pernah melihat Rasulullah, bila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpainya baunya dari seseorang di dalam masjid, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkannya sampai Baqi. Barangsiapa memakannya hendaknya mematikan baunya dengan dimasak (dahulu)” [9]

Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, setiap orang yang pada dirinya terdapat bau tidak enak, membuat orang lain terganggu, harus dikeluarkan dari masjid, meski harus dengan menyeret tangan dan kakinya, bukan dengan menarik jenggot dan rambutnya. Demikian yang termuat dalam (kitab) Majalis Al-Abrar. [10]

Imam An-Nawawi rahimahullah memasukkan hadits-hadits tersebut di atas dalam judul “Bab larangan bagi orang yang makan bawang putih dan bawang merah, atau bawang bakung dan makanan sejenis yang mempunyai bau tidak sedap dari mendatangi masjid, sampai baunya hilang dan dikeluarkan dari dalam masjid”.

Begitu pulalah yang terjadi dengan orang yang merokok. Kebiasan menghisap rokok telah menyisakan bekas bau busuk. Sehingga keberadaaan orang tersebut di tempat mulia, seperti rumah-rumah Allah dihalangi untuk sementara. Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menyamakan hukumnya dengan hukum memakan bawang mentah. Disebabkan, terdapat kesamaan pada keduanya. Yaitu bau tidak enak yang menyengat.

Beliau berkata, “Faktor penyebab larangan menghadiri shalat jama’ah (bagi orang yang memakan bawang mentah) adalah bau yang busuk, sebagaimana tertuang pada sebagian hadits, dan terganggunya malaikat oleh apa saja yang mengganggu anak Adam, sperti terkandung dalam beberapa hadits, maka sesungguhnya, hukum rokok pun diikutsertakan dengan bawang merah dan dan bawang putih. Bahkan rokok, baunya lebih menusuk” [11]

Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata : “Hadits ini dan hadits shahih lainnya yang semakna, menujukkan dibencinya (makruh) seorang muslim mendatangi shalat jama’ah, selama bau busuk masih kentara pada dirinya. Baik, karena usai makan bawang merah atau putih, atau makanan yang berbau tajam lainnya. Seperti juga rokok , sampai baunya sirna. Selain rokok mengandung bau yang busuk, hukumnya (juga) diharamkan, (yakni dengan) menilik banyaknya bahaya yang terkandung di dalamnya, dan keburukannya yang sudah diketahui. Rokok masuk dalam konteks firman Allah.

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [Al-A’raf : 157]

Dalam ayat lain.

يَسْئَلُونَكَ مَاذَآأُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ

"Mereka menanyakan kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka”. Katakanlah : Dihalalkan bagimu yang baik-baik” [Al-Maidah : 4]

Dan sudah diketahui, rokok bukan termasuk barang yang baik. Oleh karenanya, dapat dimengerti kalau rokok termasuk barang haram bagi umat ini” [12]

Kandungan surat Al-A’raf ayat 157 ini sudah cukup untuk menunjukkan kepada orang-orang yang berakal mengenai haramnya rokok. Ayat tersebut hanya membagi makanan dan minuman ke dalam dua jenis saja : tidak ada jenis yang ketiga. Makanan yang baik-baik diperbolehkan, dan makanan yang buruk diharamkan. Sekarang ini, siapakah yang berani mengatakan jika rokok itu baik dengan mempertimbangkan baunya, harta yang habis untuk membelinya, serta bahaya-bahaya fisik ataupun ekonomi yang muncul darinya?” [13]

Dalam Tanbihatun Ala Ba’dhil Akhtha ‘Allati Yaf’alluha Ba’dhul Mushallin. Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin berkata : “Terhadap pemakaian sesuatu yang menyebabkan bau busuk lagi dibenci oleh penciuman manusia, seperti rokok, syisyah (merokok dengan cerobong panjang yang dijumpai di wilayah Arab) yang lebih buruk dari bawang merah dan bawang putih, yang menyebabkan para malaikat dan para jama’ah terganggu, maka kewajiban para jama’ah shalat, agar datang (ke masjid) dengan aroma yang enak, jauh dari hal-hal yang buruk”.

TERAPI MELEPASKAN DIRI DARI ROKOK
Dalam kitab Min Adhrari-Muskirati wal Mukhaddirat, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, memberikan kiat bagi para pecandu rokok, agar terlepas dari kebiasaan buruk ini. [14]

Syaikh memberikan terapi.
1. Ketahuilah berdasarkan konsesus para dokter, merokok merupakan salah satu cara penganiayaan anda kepada tubuh anda yang indah.
2. Kenalilah bahaya-bahaya merokok ditinjau dari kesehatan, sosial dan ekonomi, dan sadarilah, Mulailah memikirkan untuk meninggalkannya, dan bulatkan tekad disertai tawakal kepada Allah.
3. Buatlah satu daftar harian tentang keburukan-keburukan rokok terhadap diri anda dan kawan-kawan anda.
4. Jauhilah sebisa mungkin bergaul dengan para perokok dan dari bau rokok. Usahakan hidup dalam suasana udara yang segar dan sibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat.
5. Gunakan siwak atau benda untuk menggosok gigi, atau dengan lainnya, jika anda merasakan keinginan kepada rokok.
6. Konsumsilah segelas juice lemon, anggur dan jeruk. Karena bisa mengeliminasi hasrat merokok.
7. Merokok juga merupakan kebiasaan yang bisa berubah. Artinya, meninggalkan rokok bukan perkara mustahil.
8. Bila anda ingin membeli atau mengkonsumsinya, pikirkanlah, apakah ia halal ataukah haram? Apakah bermanfaat ataukah mengandung bahaya? Apakah termasuk barang yang baik ataukah keji? Maka anda akan menjumpai jawaban, bahwa rokok itu haram, berbahaya dan barang yang keji.
9. Kalau anda ragu-ragu untuk meninggalkan rokok, sungguh telah banyak orang yang telah berhasil memutuskan untuk tidak merokok. Artinya, putus hubungan dengan rokok bukan kejadian mustahil.
10. Anda harus menyadari bahwa rokok sulit untuk dikatakan bukan barang haram, karena melihat dampak buruknya bagi perokok aktif maupun pasif.
11. Memohon pertolongan kepada Allah agar memudahkan bebas dari jeratan rokok

ENGKAU TELAH MENYAKITI KAMI DENGAN ASAP ROKOK
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman mengatakan, bahwa kebiasaan merokok termasuk dapat merusak kehormatan, dikarenakan hukumnya haram. Binatang-binatang pun tidak menyukainya. Bau busuknya telah mengganggu banyak manusia, dan malaikat terganggu dengan sesuatu yang mengganggu manusia. Terlebih lagi jika memperhatikan bahaya-bahaya yang tidak terhitung jumlahnya. Rokok tidak dikonsumsi, kecuali memperlihatkan gambaran yang buruk menurut pandangan para ulama (rabbani). Akan tetapi, orang-orang kebanyakan begitu terjerat olehnya. Sampai ada yang berbuka puasa dengan menghisap rokok terlebih dahulu, atau untuk memulai makan atau minum. La haula wala quwwata illa billah. [15]

Sehingga, bila masih saja ada seseorang yang membela diri dengan tetap berbuat buruk, misalnya merokok, itu menandakan pada orang tersebut ada sesuatu yang rusak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “ Seseorang yang sudah rusak jiwanya, atau keseimbangan dirinya, ia akan menyukai dan menikmati perkara-perkara yang membahayakan dirinya. Bahkan ia begitu merindukannya sampai merusak akal, agama, akhlak, jasmani dan hartanya”[16]

Kesimpulan yang bisa didapatkan berdasarkan kaidah-kaidah universal yang menjadi spirit agama Islam, disertai beberapa keterangan ulama rabbani, maka kita mengetahui, rokok bukan termasuk barang-barang yang pantas dinikmati oleh seorang muslim. Ini mengingat, besarnya bahaya yang timbul dari rokok. Apalagi bila disulut oleh sekian banyak orang secara rutin, maka semakin meyakinkan bahwa tidak ada pilihan lain. Jika rokok harus ditinggalkan. Gangguan kesehatan pada perokok aktif dan pasif, gangguan sosial dan ekonomi sudah tidak terelakkan, dan semakin menguatkan pandangan, bila rokok hanya akan membuat hidup lebih redup. Sehingga bila masih diperdebatkan boleh atau tidak untuk mengkonsumsinya, akan memporak-porandakan kaidah umum yang melekat pada syari’at Islam, yang menjungjung tinggi dalam melindungi jiwa, harta, keturunan dan kemaslahatan umum.

Rumah yang baik adalah rumah yang tidak terdapat korek penyulut rokok ataupun asbak. Baik barang itu berasal dari yang promosi gratisan atau lainnya. Sepertinya perlu menempelkan peringatan tentang larangan merokok di rumah masing-masing, sebagai sarana untuk mengingatkan orang-orang yang hendak merokok dengan cara yang baik, sehingga mengurungkannya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Taisir Karimir Rahman,Muassasah Risalah.
[2]. Al-Athimah, Dr Shalih Al-Fauzan, Maktabah Al-Ma’arif.
[3]. Al-Athimah, Dr Shalih Al-Fauzan.
[4]. Majmu Fatawa dinukil dari Maqashidusy Syari’ah Inda Ibni Taimiyah, Dr Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawi.
[5]. Maqashidusy Syari’ah Inda Ibni Taimiyah.
[6]. Maqashidusy Syari’ah Inda Ibni Taimiyah.
[7]. HR Al-Bukhari dan Muslim.
[8]. HR Muslim.
[9]. HR Muslim.
[10]. Fatwa Fi Hukmid Dukhan, dinukil dari Al-Qaulul Mubin fi Akhta-il Mushallin.
[11]. Al-Qaulul Mubin, Masyhur Hasan Alu Salman.
[12]. Fatawa (1/82), dinukil dari Al-Qaulul Mubin.
[13]. Akhthar Tuhaddidul Buyut, darul Wathan.
[14]. Min adhraril Muskirati wal Mukhaddirat, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah. Da’it-Tadkhin Wabda-il Hayah. Dr Ahmad bin Abdir Razzaq Bafarath dan Abdul Majid bin Abdul Karim Ad-Darwisy.
[15]. Al-Muru’ah wa Khawarimuha, Masyhur Hasan Alu Salman, Dar Ibni Affan.
[16]. Majmu Fatawa dinukil dari Al-Maqashid.

Beberapa Kesalahan Dalam Penamaan Dan Istilah

Kesalahan 1.
Penisbatan isteri kepada suaminya, seperti : Suha Arafat, nisbat kepada suaminya. Ini merupakan suatu kesalahan, berdasarkan firman Allah subhanahu wa Ta’ala.

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah “[al-Ahzab : 5]

Yang benar ialah Suha bintu Fulan (nisbat kepada bapaknya)

Kesalahan 2.
Penyebutan sesuatu tidak menggunakan nama yang sebenarnya menurut syar’i. seperti penyebutan riba bank diganti dengan faidah bank, khamr telah diberi nama dengan nama dan atau label yang banyak dan bermacam-macam, hingga ada yang menamainya minuman untuk membangkitkan semangat dan sebagainya, zina diganti dengan hubungan sex dan sebagainya.

Yang benar, seharusnya kita menyebut hal-hal tersebut berdasarkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan. Karena dalam penamaan (yang Allah berikan tersebut) terdapat banyak faidah. Di antaranya, agar manusia mengetahui apa-apa yang telah diharamkan Allah, baik nama ataupun sifatnya. Sehingga mereka menjauhinya, setelah mengetahui bahaya dan ancaman siksa (bagi yang melanggar). Dan tidak timbul kesan meremehkan pada jiwa kita mengenai keharaman tersebut setelah namanya diganti.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” [al-Baqarah : 278-279]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dengan sebab (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [al-Maidah : 90-91]

Kemudian firman-Nya.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [al-Isra : 32]

Kesalahan 3.
Penyebutan kata Al-Karm untuk anggur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyebut anggur dengan kata Al-Karm. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Janganlah kalian namakan Al-Karm, tapi namakanlah al’inab dan al-hablah” [HR Muslim]

Kata Al-Inab dan Al-Hablah memiliki makna yang sama, yakni anggur. Beliau Shallallahu alaiahi wa salam juga bersabda.

“Mereka menyebut Al-Karm, sesungguhnya Al-Karm adalah hati seorang mu’min” [HR Al-Bukhari]

Beliau melarang hal ini disebabkan lafadz Al-Karm menunjukkan akan melimpahnya kebaikan dan manfaat pada sesuatu. Dan hati seorang mukmin lebih berhak untuk itu.

Kesalahan 4.
Berkun-yah dengan kun-yah Abul Hakam. Karena Al-Hakim adalah Allah. Maka, tidak boleh berkun-yah dengan kun-yah tersebut. Yang benar, kita berkun-yah dengan kun-yah yang disunnahkan, seperti Abu Abdillah, Abu Abdirrahman, Abu Abdil Hakam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” [HR Muslim]

Dalam hadits Al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, ketika ia (yakni Hani) bersama kaumnya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendengar mereka memberi kun-yah Abul Hakam kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, beliau berkata.

“Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan kepadaNyalah hukum kembali, maka mengapakah engkau berkun-yah dengan Abul Hakam? Ia (Hani) berkata, “Sesungguhnya jika kaumku berselisih, mereka mendatangiku lalu kuputuskan hukum diantara mereka hingga kedua belah pihak ridha atas keputusanku”. Beliau berkata, “Alangkah baiknya perbuatanmu, apakah engkau memiliki anak?” Ia menjawab, “Aku memiliki Syuraih, Abdullah dan Muslim. Beliau bertanya lagi, “Siapakah yang paling besar diantara mereka?” Ia menjawab, “Syuraih”. Beliau berkata, “Kalau begitu, engkau Abu Syuraih” [HR An-Nasa’i]

Kesalahan 5.
Memberi nama dengan nama yang mengandung unsur tazkiyah (penyucian diri), seperti : Barrah (orang yang banyak berbakti), Khalifatullah (Khalifah Allah), Wakilullah (Wakil Allah), dan sebagainya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama Barrah. Beliau bersabda.

“Janganlah kalian mengatakan diri kalian suci, karena Allah lebih tahu siapa yang baik diantara kalian” [HR Muslim]

Yang benar, ialah memberi nama dengan nama-nama yang disyariatkan, seperti : Zainab, Asma, Abdullah, Abdurrahman. Ataupun nama para nabi, seperti ; Yusuf, Ibrahim dan sebagainya.

Yusuf bin Abdillah bin Salam Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan nama Yusuf untukku. Beliau meletakkanku di pangkuannya dan beliau mengusap kepalaku” [HR Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 248]

Juwairiyah bintu Al-Harits Al-Khuza’iyyah, dahulu bernama Barrah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam haditsnya yang lain, berkaitan dengan nama tazkiyah.

“Janganlah engkau namakan putramu dengan Rabah, Yasar, Aflah dan Nafi’” [HR Muslim]

Demikian juga dengan nama Kalifatullah ataupun Wakilullah. Arti kata al-wakil adalah seseorang yang bertindak mewakili pihak yang mewakilkan. Sedangkan Allah tidak ada wakil bagi-Nya, dan tidak ada yang bisa menggantikanNya. Bahkan Dialah yang memelihara hamba-Nya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pemelihara keluarga (yang kami tinggal)” [HR Muslim]

Nabi juga melarang kita menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.

“Nama yang paling hina disisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang yang menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja)” [HR Al-Bukhari]

Kesalahan 6.
Memberi nama dengan nama yang buruk, seperti ; Harb (perang), Sha’b (sulit, susah), Hazan (kesedihan), Ushaiyyah (maksiat), Aashiyah (wanita yang bermaksiat), Murrah (pahit) dan yang semisal dengan itu.

Yang benar, memberi nama dengan nama yang baik, seperti : Hasan, Husain, dan yang semisalnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai nama yang baik. Beliau bertafaul (berharap kebaikan) dengan nama tersebut. Barangsiapa mau mendalami hadits-hadits Nabi, niscaya dia akan mendapati makna-makna nama yang berkaitan dengan sunnah. Seakan-akan nama-nama itu diambil dari sunnah-sunnah itu.

Cobalah renungi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berikut.

“Ghafar adalah orang yang Allah ampuni dan Aslam adalah yang Allah selamatkan, sedangkan Ushaiyyah dialah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR Al-Bukhari]

Jika anda ingin mengetahui, adakah pengaruh nama bagi pemiliknya? Maka perhatikanlah kisah Said bin Al-Musayyib berikut ini.

“Dari Ibnu Al-Musayyib, dari bapaknya, sesungguhnya bapaknya (yakni kakek Ibnu Al-Musayyib) datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu?”. Ia menjawab, “Hazn”. Beliau berkata, “Engkau adalah Sahl”. Ia berkata. “Aku tidak akan merubah nama pemberian bapakku”. Ibnul Musayyib berkata : “Sejak itu kesusahan senantiasa meliputi kami” [HR Al-Bukhari]

Makna kata al-Huzunah (dalam hadits diatas, -red) adalah Al-Ghilzah (kekerasan, kesusahan) Dapat pula bearti tanah yang keras atau tanah datar.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi merubah nama ‘Aashiyah. Beliau berkata, “Kamu Jamilah”.

Ketika Al-Hasan lahir, Ali menamainya Harb. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang seraya berkata : “Perlihatkan kepadaku cucuku. Siapa nama yang kalian berikan pada cucuku?” Ali berkata, “Harb”. Beliau berkata, “Bahkan namanya adalah Hasan”[HR Ahmad]

Kesalahan 7.
Sebagian orang memberikan julukan attatharruf fid din (sikap berlebih-lebihan dalam agama) kepada mereka yang memegang agama secara mutasyadid (ekstrim)

Yang benar kita sebut ghuluw fid dien (berlebih-lebihan dalam agama). Penyebutan ini pun diberikan, jika memang orang tersebut telah benar-benar keluar dari agama karena sikap ghuluwnya tadi

Ahli hadits mengatakan istilah attatharruf fid dien ini muncul pada awal-awal abad ke lima belas hijriah. Ketika itu terjadi taubat massal para pemuda muslim. Mereka berbondong-bondong kembali kepada Allah., ber-iltizam (konsisten) kepada hukum-hukum dan adab-adab Islam, serta mendakwahkannya. Sebelumnya, kondisi orang semacam ini (yang ber-iltizam kepada Islam), justru dikatakan sebagai golongan terbelakang, ta’ashub, jumud dan ejekan-ejekan lainnya. Maka ketahuilah, sesungguhnya agama Allah berada di pertengahan antara sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap meremehkan.

Para ulama Islam pada setiap masa pun senantiasa melarang sikap ghuluw dalam agama, disamping mereka juga selalu mengajak kepada taubat.

Adapun zaman sekarang, timbangan norma telah banyak diputar-balikkan. Hingga orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah (yang nota bene hal ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at) justru disingkirkan, dengan alasan sikap berlebihan tadi. Maksudnya, agar orang-orang menjauhi mereka dan untuk melumpuhkan dakwah ilallah. Ini jelas pemikiran jahat Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka.

Namun sangat aneh dan mengherankan. Kaum muslimin menerima begitu saja pemikiran tadi. Tidakkah mereka berpikir dan menolaknya?

Kesalahan 8.
Sebagian suami memanggil isterinya dengan sebutan Ummul Mu’minin. Ini jelas haram. Karena konsekwensinya panggilan tersebut ialah sang suami haruslah seorang Nabi dan isteri-isterinya adalah Ummahatul Mu’minin. Suatu kesalahan yang bisa mengakibatkan kepada kekufuran. Karena kita harus meyakini, bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam

Ada juga suami yang memanggil isterinya dengan panggilan madam, suatu panggilan ala Perancis yang terlarang. Karena mengandung unsur tasyabbuh (meniru-niru) kaum kuffar.

Yang benar ialah memanggil isteri dengan nama kun-yahnya seperti Ummu Abdillah, Ummu Fulan, atau dapat juga dengan panggilan zaujati (isteriku) atau ahli (keluargaku).

Jika Mencari Kerja Dengan Sogokan

Salah satu yang mendukung terciptanya keluarga yang harmoni dan menjadi tuntutan seorang kepala keluarga adalah tersedianya nafkah bagi keluarganya. Yang ini, tentunya ditempuh dengan cara mencari penghasilan. Baik dengan berusaha secara mandiri, ataupun bekerja pada orang lain, atau di suatu tempat tertentu.

Dikarenakan sesuatu hal, untuk menembus area pendapatan tersebut, terkadang diperlukan orang ketiga guna memuluskan keinginan mendapatkan peluang kerja. Seorang yang ingin mandiri, juga terkadang memerlukan orang ketiga sebagai penghubung, atau sekedar menguatkannya. Begitu pula untuk bisa berkarya di sebuah instansi, baik swasta atau negeri, terkadang juga memerlukan pihak ketiga, yang paling tidak berfungsi sebagai garansi kemampuan dan minatnya.

Begitulah dalam hidup bermasyarakat, ada saja orang yang membutuhkan bantuan dalam meraih keinginannya. Bantuan tersebut bukan berbentuk material, namun yang diperlukan adalah keberadaan diri orang yang dimintai tersebut. Misalnya karena memiliki status sosial, sehingga disegani masyarakat. Sebab menurut yang meminta tadi, kedudukan sosial seseorang yang dimintai tersebut, akan efektif menyelesaikan kepentingan dan urusannya.

Pertolongan semacam ini termasuk dalam makna pemberian syafa'at. Karena, merujuk makna lughawi, syafa'at adalah menjadikan seseorang tidak sendiri lagi, karena ada yang menemaninya setelah sebelumnya ia dalam keadaan sendiri. Bentuk pertolongan semacam ini bisa dianggap mustahab mahmud (dianjurkan lagi terpuji), namun juga ada yang berkategori muharram madzmum (haram lagi tercela) sebagaimana akan dijelaskan contohnya nanti.

ISLAM MEMOTIVASI SALING MENOLONG ANTAR SESAMA
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ٥:٢

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". [al Maidah/5 : 2].

Menurut Ibnul Qayyim, ayat ini mencakup seluruh kebaikan antar sesama manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat, dan antara mereka dengan Allah. Sesungguhnya setiap manusia tidak bisa lepas dari dua hal dan kewajiban ini, (yaitu) kewajibannya terhadap Allah dan kewajibannya terhadap sesama manusia.

Yang berkaitan dengan sesama manusia, (yaitu) berbentuk pergaulan, saling menolong dan menjalin persahabatan. Kewajibannya (terhadap Allah), (yakni) agar interaksinya dengan mereka dalam bentuk saling menolong untuk menggapai ridha Allah dan dalam ketaatan kepada-Nya, yang merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba dan kesuksesan. Tidak ada kebahagiaan baginya selain dengan itu.[1]

BANTUAN SYAFA'AT YANG DIPERBOLEHKAN
Di antara dalil dari Sunnah, yaitu riwayat yang terdapat dalam Shahihain, dari Abu Musa al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Jika Rasulullah kedatangan orang yang meminta atau dimintai suatu hajat, (maka) beliau bersabda:

اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ

"Berikan syafa'at, niscaya kalian mendapat pahala. Allah akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki".[2]

Isyfa’u adalah, sebuah perintah untuk mengeluarkan syafa'at (bantuan). Tu`jaru artinya, niscaya kalian akan mendapat balasan pahala dari Allah atas bantuan syafa'at yang kalian keluarkan, kendatipun tidak memudahkan urusan.[3]

Dalam hadits di atas, seperti diungkapkan al Qurthubi, memuat pelajaran, (yaitu) berupa anjuran untuk melakukan kebaikan secara langsung atau menjadi penyebabnya. Perintah ini bersifat nadb (anjuran, sunnah). Namun terkadang bisa beralih menjadi wajib.[4]

Imam Nawawi menjelaskan: "Dianjurkan memberikan syafa'at kepada orang-orang yang mempunyai keperluan-keperluan yang hukumnya mubah, baik permohonan syafa'at di hadapan penguasa, gubernur atau orang yang setingkat kedudukannya dengan mereka, atau kepada siapapun dari anggota masyarakat. Baik syafa'at itu dengan tujuan agar penguasa menahan diri dari perbuatan zhalim, atau mempermudah penyerahan harta buat orang yang membutuhkan, dan lain sebagainya".[5]

Beliau juga mengatakan: "Ketahuilah, memberikan syafa'at (menjadi perantara), dianjurkan di hadapan para penguasa dan orang-orang yang memegang wewenang dan mampu menjalankannya, selama syafa'at tersebut tidak bersentuhan dengan aspek hadd (hukuman pidana) atau memberi syafa'at pada perkara yang tidak boleh ditinggalkan, seperti syafa'at orang yang memelihara anak kecil, orang gila atau pemberi wakaf atau selainnya, untuk menjatuhkan beberapa hak milik orang yang berada di bawah kekuasaannya. Seluruh syafa'at ini hukumnya haram, baik untuk pemberi syafa'at, dan juga atas orang yang mengeluarkan hak syafa'at. Dan diharamkan atas selain keduanya untuk mengusahakannya jika mengetahui." [6]

Pemberian bantuan pengurusan di hadapan orang-orang untuk mempermudah perolehan hak atau menahan keburukan atau tujuan serupa lainnya, yang berkait dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang hukumnya mubah, merupakan usaha yang disenangi dan perbuatan yang baik.

TELADAN DARI GENERASI SALAF
Dalam biografi Imam Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, tertuang bahwa beliau acapkali menulis permohonan syafa'at bagi orang yang mendatanginya kepada para pemegang jabatan.

Suatu hari al Mutawalli (seorang penguasa) berkata: “Engkau menulis permohonan syafa'at kepada kami bagi orang-orang yang kami tidak ingin menerima syafa'at (dari siapapun) untuk mereka, sedangkan kami ingin tidak menolak permintaanmu”.

Mendengar ungkapan al Mutawalli ini, maka beliau menjawab: “Mengenai diriku, maka aku sudah memenuhi keinginan orang yang mendatangiku. Terserah kalian, mau menerima tulisanku atau tidak," maka al Mutawalli berkata: "Tidak akan kami tolak selamanya".[7]

Abu Muzhfir al Khuza’i selalu mengharuskan dirinya untuk membantu menyelesaikan keperluan-keperluan manusia. Ada orang berkomentar: “Wahai Syaikh, kemungkinan saja timbul kegerahan dari dirimu dalam menyelesaikan apa yang engkau kerjakan (buat orang lain),” (tetapi) beliau menjawab: “Aku akan selalu menulis. Jika hajat orang yang saya menulis untuknya, itulah tujuanku. Jika tidak terlaksana, saya sudah terbebas dari tuntutan dan sama sekali tidak terpengaruh dengan itu”.

Seorang penyair melantunkan:
Diwajibkan atas diriku zakat apa yang kumiliki
Dan zakat jabatanku adalah membantu dan memberi syafa'at

Kalau engkau punya, berbuat baiklah. Jika tidak mampu,
berusahalah dengan sekuat tenaga untuk membantu (orang lain)

BANTUAN YANG DILARANG
Berbeda halnya dengan syafa'at, maka yang bertujuan menggugurkan hak-hak orang lain atau menetapkan kebatilan atau memeti-eskan hukuman pidana, ini merupakan usaha yang tercela lagi tertolak.

Nash-nash syari'at menunjukkan kepada makna sebagaimana yang telah dikemukakan. Allah Ta'ala berfirman:

مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا وَمَن يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَهُ كِفْلُُ مِّنْهَا

"Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya. Dan barangsiapa yang memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya" [an Nisaa`: 85].

Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat ini, beliau menjelaskan:

مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا , yaitu, barangsiapa yang berusaha dalam sebuah perkara yang bisa mendatangkan kebaikan, maka ia akan mendapatkan bagian darinya.

وَمَن يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَهُ كِفْلُُ مِّنْهَا , maksudnya, ia akan terbebani dosa dari masalah yang muncul atas usaha dan niatnya.

Mujahid bin Jubair berkata: "Ayat ini turun berhubungan dengan bantuan-bantuan syafa'at yang dikeluarkan manusia untuk orang lain".[8] Orang yang memberikan syafa'at yang baik, ia akan meraih pahala atasnya, meskipun permohonannya tidak diterima. Ia telah melakukan upaya, yang tidak bisa dikerjakan orang lain.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari al Hasan al Bashri, ia berkata: "Barangsiapa memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan mendapat pahalanya, meski permohonannya ditolak. Sebab Allah berfiman:

مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا [Dia tidak mengatakan yusyaffa' (harus diterima syafaatnya)]".[9]

As Sa’di menjelaskan di dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan syafa'at di sini, yaitu memberikan pertolongan (kepada orang lain) dalam suatu masalah. Siapa saja yang menolongnya dalam perkara-perkara yang baik –termasuk mendukung orang yang teraniaya haknya dengan syafa'at di hadapan pihak yang menzhalimi- , maka ia memperoleh bagian pahala dari usahanya. Begitu pula, orang yang menolong orang lain dalam perkara yang buruk, maka ia ikut menanggung beban sesuai dengan kadar pertolongannya. Dalam ayat ini terdapat anjuran yang nyata, agar saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, serta larangan keras dalam hal saling membantu perbuatan dosa dan kejelekan.[10]

Juga riwayat lain dalam Shahihain, dari 'Aisyah, bahwa orang-orang Quraisy dibingungkan dengan urusan wanita dari suku Makhzumi yang telah mencuri. Mereka saling bertanya: "Siapa yang akan melobi Rasulullah?" Ternyata tidak ada yang berani untuk melakukannya kecuali Usamah, kekasih Rasulullah. Maka Usamah pun membicarakannya dengan Rasulullah. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

"Apakah engkau akan memberikan syafa'at pada aturan hukum pidana dari Allah?" Kemudian beliau berdiri seraya berbicara: "Wahai manusia, sesungguhnya bangsa sebelum kalian sesat, (karena) jika ada orang mulia dari kalangan mereka mencuri, maka dibiarkan. Bila yang mencuri orang yang lemah, niscaya mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, jikalau Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya". [11]

Dalam hadits ini termuat larangan mengajukan permohonan pembatalan hukuman dalam perkara pidana, jika telah sampai kepada penguasa. Karena itu, Bukhari menempatkan hadits ini dalam bab yang berjudul "Bab Dibencinya Pemberian Syafa'at Dalam Perkara Hukum Pidana Yang Telah Sampai Kepada Penguasa". [12]

Senada dengan itu, Imam an-Nawawi juga mengatakan, pemberian syafa'at dalam masalah (pembatalan) hukuman pidana, hukumnya haram. Demikian juga pengeluaran hak syafa'at untuk mendukung kebatilan atau membatalkan sebuah hak atau yang lainnya, ini hukumnya haram".[13]

BOLEHKAH MEMBANTU MEMASUKKAN SESEORANG KE SEBUAH INSTANSI?
Secara khusus, Komisi Fatwa Kerajaan Saudi, al Lajnatid-Da-imati lil-Buhutsil-'Ilmiyyah wal-Ifta', pernah menjawab pertanyaan yang berbunyi: Bagaimana hukum wasilah (perantara)? Boleh atau haram? Misalnya, saya ingin bekerja atau mendaftar di sebuah sekolah dan lain sebagainya, dengan memanfaatkan bantuan perantara agar diterima. Bagaimana hukum masalah ini?

Komisi Fatwa memberikan jawaban:
Pertama. Jika keberadaan perantara yang membantumu memperoleh pekerjaan tersebut menyebabkan tersingkirkannya orang yang lebih utama dan berhak dari dirimu, (baik) dari aspek kapasitas ilmiah yang berkaitan dengan pekerjaan dan kemampuan mengemban tugas-tugas serta pelaksanaannya dengan penuh ketelitian di dalamnya, maka bantuan perantara di sini diharamkan. Mengingat :

1. Mengandung tindak kezhaliman kepada orang yang lebih memiliki kemampuan.
2. Mengandung kezhaliman kepada pemerintah, karena telah terhalang menemukan pegawai yang kecakapan dan ketekunannya dapat membantu mengangkat kemajuan dalam salah satu aspek kehidupan.
3. Merupakan perbuatan aniaya kepada rakyat, karena menghalangi mereka dari sosok-sosok pegawai yang mampu menjalankan pelayanan dengan sebaik-baiknya. Selain itu.
4. Memicu timbulnya rasa hasad dan prasangka buruk, serta kerusakan di masyarakat.

(Tetapi), apabila tidak menimbulkan tersingkirnya atau berkurangnya hak orang lain, (maka) hukumnya boleh, bahkan muraghghabun fih (dianjurkan) ditinjau dari kacamata syari'at. Pelakunya mendapatkan pahala, insya Allah. Terdapat rawayat dari Nabi, beliau bersabda:

اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ

"Berikan syafa'at, niscaya kalian mendapat pahala. Allah akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya, apa yang dikehendaki".[14]

Kedua. Sekolah-sekolah dan universitas (negeri) merupakan fasilitas umum milik semua orang. Di sana, manusia akan mendalami hal-hal yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka. Tidak ada seorang pun yang lebih utama dibandingkan orang lain, kecuali dengan alasan-alasan yang dibenarkan selain syafa'at. Kalau pemberi syafa'at mengetahui akan menimbulkan tercampaknya seseorang yang lebih berhak masuk -ditinjau dari sisi kapabilitas, usia atau lebih dahulu melayangkan lamaran dan lain sebagainya-, maka andil perantara di sini terlarang. [15] Terlebih lagi (jika) dengan mengikutkan kekuatan uang, yang biasa disebut suap atau risywah, jelas lebih tidak boleh lagi. Suap jelas-jelas diharamkan oleh agama Islam, dan termasuk perbuatan dosa besar.
Wallahul-Muwaffiiq.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Ar-Risalah at-Tabukiyah.
[2]. HR Bukhari, Muslim.
[3]. Ma’alim fi Thariq Thalabil-‘Ilm.
[4]. Faidhul-Qadir, dikutip dari al Ma’alim.
[5]. Syarhu an-Nawawi li Shahih Muslim.
[6]. Al Adzkar, an-Nawawi.
[7]. Dza-il Thabaqatil-Hanabilah. Dinukil dari al Ma’alim
[8]. Tafsir Ibnu Katsir.
[9]. Jami'ul-Bayani 'an Ta`wili Ayil-Qur`an.
[10]. Taisirul-Karimir-Rahman.
[11]. Shahih Bukhari, Shahih Muslim.
[12]. Fathul-Bari.
[13]. Syarhu an-Nawawi li Shahih Muslim.
[14]. HR Bukhari, Muslim.
[15]. Fatawa Ulama al Baladil-Haram.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...