Searching

Orang Bodoh Dima'afkan?

Pertama : Menyikapi Manusia Menurut Zhahirnya.
Yaitu dengan berpedoman kepada lahiriyah orang tersebut. Jika secara lahiriyah seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, melaksanakan kewajiban shalat 5 kali sehari- semalam, berpuasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan lainnya, maka kita menyikapinya sebagai seorang muslim dan mukmin. Adapun isi hatinya kita serahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib.

Allah berfirman.

فَإِنْ تَابُوْا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ

Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. [At Taubah : 5].

Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali berkata, “Ayat ini menjelaskan, barangsiapa bertaubat, lalu beriman kepada Allah dan Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka darah dan hartanya terjaga, dan seseorang pun tidak pantas mengganggunya dengan membunuh atau mengepung. Hal itu meliputi orang yang melakukan dengan sebenarnya atau secara lahiriyah saja.” [1]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ

Aku diperintahkan (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan laa ilaaha illa Allah, jika telah mengatakan laa ilaaha illa Allah, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan haknya, sedangkan perhitungan mereka atas tanggungan Allah. Kemudian, beliau membaca (firman Allah yang artinya) : Sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. [Ghasyiyah : 21-22].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sedangkan perhitungan mereka atas tanggungan Allah," menunjukkan bahwa menghukumi seseorang di dunia ini ialah dengan apa yang ditunjukkan oleh lahiriyahnya. [2]

Demikian sebagian dalil tentang kaidah ini. Dalil-dalil lainnya dapat dilihat dalam kitab Riyadhus Shalihin, karya Imam Nawawi, bab Ijra’ Ahkamin Naas ‘Ala ADh Dhahir, Was Sara-iru Ilallah (Menghukumi manusia sesuai dengan dhahirnya, sedangkan isi hatinya diserahkan kepada Allah).

Oleh karena itulah Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah -di dalam aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang beliau riwayatkan dari imam Abu Hanifah dan lainnya- mengatakan,“Kami tidak menyatakan kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan, terhadap mereka (kaum muslimin) selama tidak nampak dari mereka sesuatupun tentang hal itu. Dan kami menyerahkan isi hati mereka kepada Allah Ta’ala.”

Lalu perkataan tersebut dikomentari oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi dengan perkataannya, “Karena sesungguhnya kita telah diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan lahiriyah (yang nampak), dan kita telah dilarang dari persangkaan dan mengikuti apa-apa yang tidak memiliki ilmunya.” [Minhah Al Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 173].

Kedua : Berdasarkan kaidah di atas, maka orang-orang yang tidak beragama Islam (baik mereka ahlul kitab : Yahudi, Nashrani, atau memeluk agama selain Islam : Hindu, Budha, dan lainnya, atau tidak memeluk agama sama sekali), maka di dunia ini dihukumi dan disikapi sebagai orang-orang kafir. Kita wajib meyakini kebatilan semua agama selain Islam. Meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan para pemeluknya, dan membenci mereka karena Allah, disebabkan kekafiran mereka. Hal itu termasuk mengingkari thaghut, yang merupakan salah satu rukun laa ilaaha illallah. Allah berfirman

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat. [Al Baqarah : 256].

Dia juga berfirman,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka,"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” [Al Mumtahanah : 4].

Dengan tegas Allah mengkafirkan ahlul kitab dan orang-orang musyrik di berbagai tempat dalam Al Qur’an. Antara lain Dia berfirman,

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهُُ وَاحِدُُ وَإِن لَّمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. [Al Maaidah : 73]

Barangsiapa tidak mengkafirkan orang-orang yang dikafirkan oleh Allah, maka hendaklah mengoreksi kembali aqidahnya. Ketika menyebutkan 10 perkara yang membatalkan Islam, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah antara lain menyatakan,“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat mereka.”

Ketiga : Sedangkan orang-orang yang dhahirnya Islam, jika pada mereka didapatkan unsur kemusyrikan atau kekafiran, maka tidak dikafirkan secara langsung. Dapat dikafirkan setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan tidak ada penghalang-penghalang kekafiran.

Syarat-syarat kekafiran yang dimaksud ialah : ilmu, qashd (sengaja, niat) dan ikhtiyar (sukarela, pilihan dan kemauan sendiri).

Adapun penghalang-penghalang kekafiran berupa hal-hal sebaliknya di atas, yaitu : kebodohan, tidak sengaja (keliru, lupa, salah memahami nash, dan semacamnya), dan terpaksa. [3]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak langsung mengkafirkan Mu’adz bin Jabal, ketika ia bersujud kepada beliau. Padahal bersujud kepada selain Allah merupakan kemusryikan. Hal itu karena Mu’adz tidak mengetahui, bahwa bersujud kepada beliau adalah kemusyrikan.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata, ketika Mu’adz datang dari Syam, dia bersujud kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Beliau bersabda,“Apa ini, wahai Mu’adz?!” Mu’adz menjawab,“Aku mendatangi kota Syam, aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku menginginkan dalam hatiku, agar kami melakukannya terhadap anda.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Janganlah kamu lakukan! Sesungguhnya jika aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku perintahkan isteri agar sujud kepada suaminya.” [HR Ibnu Majah no. 1853. Syeikh Al Albani mengumpulkan dan membicarakan jalan-jalan hadits ini dalam Irwa’ul Ghalil 7/55-58]

Demikian juga orang yang tertutup akalnya karena sangat gembira atau lainnya; tidak menjadi kafir ketika mengucapkan perkataan yang mengandung unsur kekafiran dengan tidak sengaja. Sebagaimana hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Sesungguhnya Allah lebih sangat gembira terhadap taubat hambaNya ketika dia bertaubat kepadaNya, daripada (gembiranya) salah seorang di antara kamu yang berada di atas kendaraannya (untanya) di sebuah tanah gersang yang tidak ada air. Lalu untanya itu kabur darinya. Padahal di atas unta itu terdapat makanan dan minumannya. Sehingga dia telah berputus-asa dari untanya tersebut. Lalu dia mendatangi sebuah pohon, kemudian berteduh di bawah naungannya, dia telah berputus-asa dari untanya tersebut. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba dia mendapatkan untanya berdiri di dekatnya, maka dia memegangi kendalinya, lalu berkata karena sangat gembiranya,“Wahai Allah, Engkau adalah hamba-ku, dan aku adalah Rabb-Mu.” Dia keliru (mengucapkan kalimat) karena sangat gembira. [4]

Dan dalil-dalil lainnya tentang masalah ini.

Dengan demikian kita mengetahui, bahwa "barangsiapa yang telah pasti keislamannya, maka keislaman tersebut tetap ada padanya, sehingga hilang dengan sesuatu yang meyakinkan".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seseorang pun, tidaklah berhak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin, walaupun dia telah melakukan kekeliruan atau kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumen) atasnya dan jalan yang benar jelas baginya. Karena orang yang telah tetap keislamannya secara yakin, maka keislamannya itu tidak akan hilang darinya dengan keraguan. Bahkan keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat (kesamaran).” [Majmu’ Fatawa 12/465-466].

Beliau juga menyatakan,“Pengkafiran terhadap seseorang tertentu dan kebolehan membunuhnya, terhenti pada sampainya hujjah kenabian; yang barangsiapa menyelisihinya menjadi kafir. Karena tidaklah setiap orang yang bodoh terhadap sesuatu dari agamanya ini, lalu dia menjadi kafir.” [Ar Raddu ‘Alal Bakri, hal. 258].

Keempat : Bahwa siksaan Allah di dunia dan akhirat ditimpakan setelah kedatangan hujjah (argumen) Allah, berupa diutusnya rasul Allah. Dia berfirman,

وَمَاكُنَّا مُعَذَّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [Al Isra : 15]

Imam Ibnu Katsir berkata,“(Ayat ini) memberitakan keadilan Allah Ta’ala. Bahwa Dia tidak akan menyiksa seorangpun, kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dengan diutusnya para rasul kepadanya.”

Demikian juga firmanNya,

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [An Nisa : 165].

Ayat-ayat di atas dan yang semisalnya menunjukkan, bahwa Allah tidak akan menyiksa terhadap perbuatan kekafiran ataupun lainnya, sampai tegak hujjah kepada orang yang melakukan perbuatan itu. Tegaknya hujjah itu dengan terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan ketiadaan penghalang-penghalangnya.

Demikian pula dalil-dalil dari As Sunnah menunjukkan apa yang telah ditunjukkan oleh Al Qur’an.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi (Allah) yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun dari umat ini -baik Yahudi atau Nashrani- mendengar tentang aku, kemudian dia mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penduduk neraka. [5]

An Nawawi rahimahullah berkata,“Di dalam hadits ini terdapat dalil terhapusnya seluruh agama dengan risalah Nabi kita Muhammad n . Dan di dalam pemahaman hadits ini, bahwa orang yang tidak kesampaian dakwah Islam, maka dia ma’dzur (dima’afkan).” [6].

Maka jelaslah bahwa, di dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan udzur kepada orang-orang Yahudi dan Nashara yang tidak mendengar tentang beliau, sehingga mereka tidak wajib masuk neraka, sebagaimana orang-orang yang mendengar tentang beliau, tetapi tidak beriman kepada beliau, maka mereka wajib masuk neraka.” [7].

Ibnu Hazm rahimahullah berkata,“Maka benarlah, bahwasannya tidaklah seseorang menjadi kafir sehingga sampai kepadanya perkara (perintah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [8].

Oleh karena itulah orang-orang kafir yang tidak kesampaian dakwah yang dibawa oleh para Rasul, pada hari kiamat tidak langsung disiksa, tetapi mereka diuji. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Empat (jenis manusia) akan berhujjah (membela diri) pada hari kiamat : orang tuli yang tidak mendengar apa-apa, orang yang dungu, orang yang pikun, dan orang yang mati di zaman fatrah (tidak mendapati Rasul yang diutus).

Adapun orang yang tuli akan berkata,’Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak mendengar apa-apa.’

Orang yang dungu akan berkata,‘Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak paham sedikitpun, dan anak-anak kecil melempariku dengan kotoron hewan.’

Orang yang pikun akan berkata,’Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak paham sedikitpun.’

Dan orang yang mati di zaman fatrah akan berkata,’Wahai Rabb, tidak ada RasulMu yang mendatangiku.’

Maka mereka semua diambil perjanjian yang berisi, bahwa mereka semua benar-benar akan mentaatiNya. Kemudian mereka diperintahkan untuk memasuki neraka. Maka barangsiapa memasukinya, neraka itu menjadi dingin dan menyelamatkan. Dan barangsiapa yang tidak memasukinya, dia diseret ke dalamnya.” [9].

Kelima : Kita tidak boleh menyatakan, bahwa seseorang tertentu sebagai penduduk surga atau neraka, kecuali dengan nash (dalil wahyu) Al Qur’an dan As Sunnah.

Telah kami sampaikan, bahwa manusia itu disikapi dengan dhahirnya. Namun demikian kita tidak boleh menyatakan terhadap orang-orang tertentu –berdasarkan lahiriyah tersebut- sebagai penduduk neraka atau surga, kecuali berdasarkan wahyu. Karena hal itu termasuk perkara ghaib. Kita tidak mengetahuinya.

Kita dapat mengatakan, bahwa sepuluh sahabat yang ketika masih hidup mendapat berita gembira sebagai penduduk surga adalah sebagai penduduk surga. Karena hal itu disebutkan dalam hadits yang shahih. Tetapi kita tidak boleh menyatakan seseorang tertentu sebagai penduduk surga dengan tanpa dalil, walaupun secara lahiriyah padanya terdapat sifat-sifat keimanan. Termasuk perkataan sebagian kaum muslimin,“Syahid Fulan………….”

Demikian juga kita dapat mengatakan, bahwa Fir’aun dan Abu Lahab adalah penghuni neraka. Karena disebutkan dalam Al Qur’an. Juga ‘Amr bin Luhai Al Khuza’i sebagai penghuni neraka, karena disebutkan dalam hadits yang shahih. Tetapi kita tidak boleh mengatakan tentang seseorang tertentu sebagai penghuni neraka jika tanpa dalil, walaupun secara lahiriyah padanya terdapat sifat-sifat kekafiran.

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah berkata dalam aqidah Ahlis Sunnah yang beliau tuliskan, “Dan kami tidak menempatkan seorangpun di antara mereka (kaum muslimin) pada surga dan tidak menempatkan seorangpun di antara mereka (kaum muslimin) pada neraka.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah dengan menyatakan, “Yang beliau maksudkan, bahwa kita tidak mengatakan terhadap seseorang tertentu dari ahli kiblat (kaum muslimin), bahwa dia termasuk penduduk surga atau neraka, kecuali yang telah diberitakan oleh Ash Shadiq (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ).” [10].

Keenam : Telah kami sampaikan, bahwa kebodohan (ketiadaan ilmu) merupakan salah satu penghalang seseorang dikafirkan, sehingga pelakunya diampuni. Tetapi hal ini bukanlah berlaku secara mutlak. Ada perincian sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Ahlis Sunnah Wal Jama’ah.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Adapun pengkafiran, yang benar ialah :
1. Barangsiapa di antara umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (mencari) dan berniat terhadap al haq, lalu dia keliru, maka dia tidak dikafirkan. Bahkan kesalahannya diampuni.

2. Barangsiapa yang telah jelas terhadap apa yang dibawa oleh Rasul, lalu dia menentang Rasul setelah petunjuk jelas baginya, dan dia mengikuti selain jalan mukminin, maka dia kafir.

3. Dan barangsiapa yang mengikuti hawa-nafsunya, meremehkan dalam mencari al haq, dan berbicara dengan tanpa ilmu, maka dia bermaksiat lagi berdosa.” [11].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Terdapat perbedaan antara muqallid -orang tidak berilmu dan ikut-ikutan- yang mampu untuk mencari ilmu dan mengenal al haq, lalu dia berpaling dari al haq, dengan muqallid yang sama sekali tidak mampu melakukannya. Kedua golongan tersebut ada pada kenyataan.

Maka orang yang mampu tetapi berpaling, dia termasuk orang yang meremehkan dan meninggalkan kewajibannya, tidak ada ampunan baginya di sisi Allah.

Adapun orang yang tidak mampu bertanya dan mencari ilmu sama sekali, mereka ada dua kelompok.

Pertama : Orang yang menghendaki petunjuk, mementingkannya dan mencintainya, tetapi tidak mendapatkannya, dan tidak dapat mencarinya karena tidak ada yang membimbingnya. Hukum orang ini sama seperti orang-orang yang hidup di zaman fatrah, dan orang-orang yang tidak kesampaian dakwah.

Kedua : Orang yang berpaling, tidak ada kemauan terhadap al haq, dan tidak membicarakan dengan dirinya selain apa yang ada padanya sendiri.

Orang yang pertama akan berkata,“Wahai Rabb-ku, seandainya aku mengetahui Engkau memiliki agama yang lebih baik dari agama yang aku peluk, niscaya aku akan beragama dengan agamaMu itu, dan aku tinggalkan agama yang aku peluk. Tetapi aku tidak mengetahui kecuali agama yang aku peluk, dan aku tidak mampu (mendapatkan) agama yang lain. Itulah batas usahaku dan puncak pengetahuanku.”

Sedangkan orang kedua, dia ridha terhadap apa yang ada padanya. Tidak mengutamakan selain yang ada padanya, dan jiwanya tidak mencari yang lainnya. Maka tidak ada perbedaan, antara ketidak-mampuannya dengan keadaan mampunya (tersebut).

Kedua kelompok di atas sama-sama tidak mempunyai kemampuan. Tetapi kelompok yang kedua ini tidaklah harus diikutkan (hukumnya) dengan yang pertama. Karena terdapat perbedaan di antara keduanya.

Yang pertama, seperti orang yang mencari agama (yang haq) di zaman fatrah, tetapi dia tidak mendapatkannya, sehingga menyimpang darinya (agama yang haq) dalam keadaan lemah dan tidak berilmu setelah mengerahkan segenap usaha untuk mencarinya. Sedangkan yang kedua, seperti orang yang tidak mencarinya (agama yang haq). Bahkan dia mati di atas kemusyrikan. (Walaupun) seandainya dia mencarinya, niscaya tidak mendapatkannya.

Maka berbeda antara kelemahan orang yang sudah mencari, dengan orang yang berpaling. Hendaklah anda perhatikan masalah ini. Karena Allah akan menghukumi di antara hamba-hambaNya pada hari kiamat dengan hukumNya dan keadilanNya. Dia tidak akan menyiksa, kecuali setelah tegaknya hujjah terhadap orang itu dengan diutusnya para rasul. Tegaknya hujjah dengan diutusnya para rasul ini sudah terjadi terhadap seluruh manusia secara umum.

Tentang keadaan diri Si Zaid ataupun Si Amr; apakah telah tegak hujjah atau belum? Maka hal itu satu perkara antara Allah dengan hambaNya, yang tidak mungkin diketahui secara pasti. Tetapi yang wajib atas hamba adalah berkeyakinan, bahwa barangsiapa beragama selain agama Islam, maka dia kafir. Allah tidak akan menyiksa seorangpun, kecuali setelah tegaknya hujjah kepadanya dengan diutusnya para rasul. Ini secara umum. Adapun orang-orang tertentu diserahkan kepada ilmu Allah dan hukumNya, dalam hukum pahala dan siksa. Adapun hukum dunia, maka berlaku sesuai dengan perkara lahiriyah.” [12].
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin, karya Syeikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
[2]. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin
[3]. Lihat Mujmal Masailil Iman Al ‘Ilmiyyah Fii Ushulil ‘Aqidah As Salafiyyah, karya bersama lima murid Syeikh Al Albani, Al Qawaidul Mutsla Fii Shifatillah Wa Asmaa-ihil Husna, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya
[4]. HR Bukhari, Muslim , dari Abu Sa’id Al Khudri
[5]. HR Muslim, dari Abu Hurairah
[6]. Syarh Nawawi
[7]. Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’, karya Syeikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili
[8]. Al Fashlu Fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal 3/302. Dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’
[9]. HR Ahmad dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Syeikh Al Albani. Lihat Shahih Al Jami’ush Shaghir
[10]. Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyyah, hal. 426, Takhrij hadits Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
[11]. Majmu’ Fatawa
[12]. Thariqul Hijratain, karya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah

Makna Rukhshah Dan Pembagiannya


Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan:

الْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ

Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.

Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu:

1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.

2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.

3. Adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.

HIKMAH ADANYA RUKHSHAH.
Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan sebagaimana firman -Nya:

{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ }

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al Baqarah/ 2:185]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

{ يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا }

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [an Nisaa/4:28].

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

{ إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ }

Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari]

PEMBAGIAN RUKHSHAH.
Ditinjau dari segi bentuknya rukhshah dibagi menjadi tujuh macam yaitu:

1. Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". [al-Baqarah/2:184].

Rukhshah juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat ketika sedang haid atau nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : Diberikan rukhshah kepada orang tua jompo untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak wajib qadha (mengulangi) puasanya, begitu juga kepada wanita hamil dan menyusui kalau dia khawatir akan dirinya maka boleh tidak berpuasa dan memberikan makan seorang miskin setiap hari selama tidak berpuasa. Ibnu Abbas juga berkata: Apabila perempuan hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang khawatir atas anaknya maka mereka berdua boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha’ puasanya [1].

Pada kitab yang sama Syaikh Nashiruddin Albany menyebutkan riwayat Nafi’ bahwa puteri Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu menikah dengan seorang dari Qurays. Dalam keadaan hamil ia puasa Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar memerintahkan untuk berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin.

Contoh rukhshah yang lain seperti bolehnya meninggalkan shalat jumat karena uzur musafir atau sakit tetapi menggantinya dengan shalat zuhur. Dari Thariq bin Syihab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Shalat Jumat wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali empat orang: hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. [HR.Abu Daud, Baihaqi-Shahih].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ

Tidak wajib shalat jumat bagi orang yang musafir” [2]

Rukhshah tidak shalat jumat juga diberikan kepada orang yang sedang menjaga sesuatu yang sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian sentral imformasi yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan kebutuhan orang banyak pernah bertanya kepada Lajnah Daimah di Saudi Arabia apakah dia boleh tidak ikut shalat berjamaah atau shalat jumat?. Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut: Hukum asal melakukan shalat Jum’at bagi setiap orang muslim yang berakal dan muqim adalah wajib, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegerahlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jum’ah/62:9]

Dan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda terhadap kaum yang tidak melakukan shalat Jum’at:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ

Sesungguhnya aku ingin menyuruh seseorang menggantikanku menjadi imam shalat bersama orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang-orang yang tertinggal shalat Jum’at.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar keduanya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

Hendaknya kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah benar-benar akan mengunci hati mereka kemudian mereka benar-benar termasuk golongan orang-orang yang lengah.

Dan ulama sepakat bahwa jika teradapat udzur syar’i bagi orang yang wajib Jum’at, misalnya sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang berhubungan dengan keamanan umat dan menjaga kesejahteraan mereka yang diharuskan untuk tetap dilaksanakan pada waktu shalat Jum’at juga seperti petugas lalu lintas atau petugas sentral keamanan dan semacamnya, maka mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah berdasarkan keumuman firman Allah “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [at-Thaghabun/64: 16]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Apa yang aku larang untukmu melakukannya maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan melakukannya maka lakukanlah sesuai kesanggupan kamu.”

Hanya saja hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat dhuhur dan harus melakukannya pada waktunya. [3]

2. Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi jumlah rakaat shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi waktunya pada shalat jama’ karena musafir, Allah Subahnahu wa Ta'ala, berfirman : "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu [an-Nisaa/4:101].

Rukhshah menjama’ shalat juga diberikan karena ada uzur mendesak sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zuhur dan Ashar di Madinah bukan karena takut atau musafir. Abu Zubair bekata; saya bertanya kepada Said kenapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat demikian?. Said menjawab; saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana yang anda tanyakan dan beliau menjawab : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin agar tidak memberatkan umatnya". Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan : “Mayoritas ulama membolehkan menjamak shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan)". Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.[4]

3. Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air atau tidak bisa atau tidak boleh menggunakan air karena sakit dan lainnya, mengganti shalat berdiri dengan duduk, berbaring atau isyarat, mengganti puasa wajib dengan memberikan makan kepada fakir miskin bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya.

4. Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti penangguhan shalat Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau menangguhkan pelaksanaan puasa ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir.

5. Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti membayar zakat fithrah beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu mengeluarkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya [HR.Bukhari].

Atau seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar di waktu Zuhur ketika jama’ taqdim.

6. Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat ketika sakit atau dalam keadaan perang, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersalat,lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata….. [an-Nisaa/4: 102].

7. Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan meninggalkan perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar'i seperti bolehnya memakan memakan bangkai, darah, dan daging babi pada asalnya haram, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/4: 173].

Melakukan jual beli salam dengan memberikan harga (pembayaran) terlebih dahulu dan barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat, dan tempat penerimaannya juga termasuk rukhshah, misalnya seorang petani menerima uang harga gabahnya yang belum dia panen karena dia butuh kepada uang, hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Rasulullah tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam pada buah-buahan setahun atau dua tahun, beliau bersabda,” Barangsiapa yang melakukan jual beli salam pada buah-buahan maka hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu yang jelas”. [HR Bukhari dan Muslim].

Padahal hukum asal dalam jual beli adalah al-taqabudh yaitu serah terima barang dan harganya dan tidak boleh ada yang ditunda.

Ada juga rukhshah yang diberikan karena adanya uzur ketererpaksaan misalnya bolehnya mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan dengan syarat hatinya masih tetap beriman, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [an-Nahl/16: 106].

HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH.
Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib melakukan rukhsah tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau meninggalkannya)?. Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan atau tidak. Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak menyulitkan dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada uzurnya. Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib maupun sunnah maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.

Pendapat dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya apakah ia wajib atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah. Karena kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan.

Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh Abdul Adzim al-Khulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya. Ini artinya orang yang musafir wajib melakukan qashar shalat sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan kesulitan atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna. Beliau memberikan beberapa dalil di antaranya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata:

فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً

Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat, ketika dalam perjalanan dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu rakaat” [HR Muslim].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata:

صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَالْفِطْرُ وَالْأَضْحَى رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul fithri dan idul adha dua rakaat, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah Rasulullah. [HR. Ibnu Majah dan Nasa’i].

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ

Pertama kali shalat difardhukan dua rakaat, kemudian ditetapkan demikian pada shalat musafir dan mengenapkan (empat rakaat) ketika tidak musafir. [HR.Bukhari dan Muslim].

Lajnah Da’imah (Majlis Ulama ) di Saudi Arabia ketika ditanya apakah yang lebih afdhal bagi orang yang musafir berpuasa atau tidak?, menjawab : Banyak sekali hadits yang shahih dan perbuatan Rasulullah sendiri yang menunjukkan bahwa berbuka (tidak berpuasa) lebih baik bagi orang yang musafir, baik dalam keadaan berat atau tidak. Walaupun demikian boleh saja mereka berpusa sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Umar al-Aslamy berkata; Ya Rasulullah di antara kami ada yang kuat melaksanakan puasa ketika musafir apakah mereka salah (kalau berpuasa)? Rasulullah menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah barangsiapa yang mengambilnya maka itu lebih baik, barangsiapa yang ingin berpuasa maka tidak ada dosa baginya. [HR Muslim].

Wallahu ‘A’lam pendapat mayoritas ulama yang menyatakan keharusan mengamalkan rukhshah adalah baik itu wajib atau sunnah adalah yang rajih (kuat) dengan alasan :

a). Sesuai dengan karakterisitik Islam yang mudah dan tidak memberatkan.

b). Rukhshah merupakan shadaqah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayyah ia bertanya kepada Umar bin Khatab tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. (an-Nisaa/4:101). Dan sekarang kita sudah aman. (tidak perlu qashar).Umar bin Khatab berkata:

عجب مما عجبت منه ، فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك . فقال : صدقة تصدق الله بها عليكم ، فاقبلوا صدقته .

Saya juga heran sebagaimana anda heran dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu dan bersabda,” Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah shadaqah-Nya”.

c). Karena itu merupakan shadaqah dari-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala senang kalau shadaqah-Nya diamalkan oleh hamba-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تترك معصيته .

Sesungguhnya Allah Senang untuk diambil keringanan-Nya sebagaimana Dia senang di tinggalkan maksiat kepada-Nya. [HR.Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah].

d). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri sebagai teladan kita selalu mengambil dan mengamalkan sesuatu yang paling mudah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha ia berkata : "Rasulullah (tidak pernah memilih antara dua masalah kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak berdosa, kalau itu dosa maka beliau orang yang paling menjauhi masalah tersebut dan Rasulullah (tidak pernah balas dendam karena pribadinya kecuali kalau melanggar syariat Allah maka beliau membalasnya karena Allah [HR.Bukhari dan Muslim].
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Syaikh Albani menyebutkan dalam kitab Irwa’ dari al-Thabary dan beliau berkata; sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Muslim
[2]. HR.Daraquthni dan dishahihkan oleh Syaikh Abdul Adzim al-Khalfi di kitab al-Wajiz .
[3]. Fatawa lil Muwazhzhafin lajnah Daaimah , tartib Dakhilullah al-Mufhrafy
[4]. Lihat Al Wajiz Fi Fiqh As Sunnah Wal Kitab Al Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi.

Hukum Istihza' Bid Din (Memperolok Agama)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam kitabNya:

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بَمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِءُوا إِنَّ اللهَ مُخْرِجُ مَاتَحْذَرُونَ

Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. [At Taubah:64].

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?". [At Taubah:65].

لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [At Taubah:66].

Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik terhadap Allah, RasulNya dan kaum mukminin. Kebencian yang selama ini mereka pendam, terlahir dalam bentuk ejekan dan olok-olokan terhadap Allah dan RasulNya. Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir mencantumkan sebuah riwayat dari Muhammad bin Ka'ab Al Qurazhi dan lainnya yang menjelaskan kepada kita bentuk pelecehan dan olokan mereka terhadap Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya.

Ia berkata: Seorang lelaki munafik mengatakan: "Menurutku, para qari (pembaca) kita ini hanyalah orang-orang yang paling rakus makannya, paling dusta perkataannya dan paling penakut di medan perang."

Sampailah berita tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu orang munafik itu menemui Beliau, sedangkan Beliau sudah berada di atas ontanya bersiap-siap hendak berangkat. Ia berkata: "Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Maka turunlah firman Allah.

أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" sesungguhnya kedua kakinya tersandung-sandung batu, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menoleh kepadanya, dan ia bergantung di tali pelana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]

Ayat ini menjelaskan hukum memperolok-olok Allah, RasulNya, ayat-ayatNya, agamaNya dan syiar-syiar agama, yaitu hukumnya kafir. Barangsiapa memperolok-olok RasulNya, berarti ia telah memperolok-olok Allah. Barangsiapa memperolok-olok ayat-ayatNya, berarti ia telah memperolok-olok RasulNya. Barangsiapa memperolok-olok salah satu daripadanya, berarti ia memperolok-olok seluruhnya. Perbuatan yang dilakukan oleh kaum munafikin itu adalah memperolok-olok Rasul dan sahabat Beliau, lalu turunlah ayat ini sebagai jawabannya.

Sikap memperolok-olok syi’ar agama bertentangan dengan keimanan. Dua sikap ini, dalam diri seseorang, tidak akan bisa bertemu. Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama berasal dari ketaqwaan hati. Allah berfirman.

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj:32].

MAKNA ISTIHZA'
Istihza', secara bahasa artinya sukhriyah, yaitu melecehkan [2]. Ar Raghib Al Ashfahani berkata,”Al huzu', adalah senda-gurau tersembunyi. Kadang-kala disebut juga senda-gurau atau kelakar." [3]

Al Baidhawi berkata,”Al Istihza', artinya adalah pelecehan dan penghinaan. Dapat dikatakan haza'tu atau istahza'tu. Kedua kata itu sama artinya. Seperti kata ajabtu dan istajabtu.” [4]

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui makna istihzaa'. Yaitu pelecehan dan penghinaan dalam bentuk olok-olokan dan kelakar.

ISTIHZA', DAHULU DAN SEKARANG
Perbuatan mengolok-olok agama dan syi’ar-syi’ar agama ini, bukan hanya muncul pada masa sekarang; namun akarnya sudah ada sejak dahulu. Banyak sekali bentuk-bentuk istihzaa' yang dilakukan oleh orang-orang dahulu maupun sekarang. Diantaranya:

- Dalam bentuk pelesetan-pelesetan yang menghina agama.
Bisa dikatakan, Yahudilah yang menjadi pelopor dalam membuat pelesetan-pelesetan yang isinya menghina Allah, RasulNya dan Islam. Sikap mereka ini telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. [Al Baqarah:104].

Raa'ina, artinya sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Dikala para sahabat menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, orang-orang Yahudipun memakainya pula, akan tetapi mereka pelesetkan. Mereka katakan ru'unah, artinya ketololan yang amat sangat. Ini sebagai ejekan terhadap Rasulullah. Oleh karena itulah, Allah menyuruh para sahabat agar menukar perkataan raa'ina dengan unzhurna, yang juga sama artinya dengan raa'ina.

Yahudi juga memelesetkan ucapan salam menjadi as saamu 'alaikum, yang artinya (semoga kematianlah atas kamu). Mereka tujukan ucapan itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebelumnya, hal sama sebenarnya telah mereka lakukan terhadap Nabi Musa Alaihissallam. Allah menceritakannya dalam KitabNya.

وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوامِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ . فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya dengan bersujud, dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang yang mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu siksaan dari langit, karena mereka berbuat fasik. [Al Baqarah:58, 59].

Mereka disuruh mengucapkan hiththah, yang artinya bebaskanlah kami dari dosa. Namun mereka pelesetkan menjadi hinthah, yang artinya beri kami gandum.

Memang, urusan peleset-memelesetan ini orang Yahudi merupakan biangnya. Celakanya, sikap seperti inilah yang ditiru oleh sebagian orang jahil. Mereka menjadikan agama sebagai bahan pelesetan. Seperti yang dilakukan oleh para pelawak yang memelesetkan ayat-ayat Allah dan syi’ar-syi’ar agama.

Sebagai contoh, memelesetkan firman Allah yang berbunyi "laa taqrabuu zina" kemudian diartikan “jangan berzina hari Rabu!” Bahkan sebagian oknum itu, ada yang berani memelesetkan arti firman Allah: Inna lillahi wa inna ilahi raji'un, dengan arti “yang tidak berkepentingan dilarang masuk!” dalam bentuk guyonan dan lawakan. Kepada orang seperti ini, kita ucapakan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Demikian pula, kita sering mendengar dari sebagian orang yang memelesetkan lafadz azan. Sebagai contoh ucapan "hayya 'alal falaah", mereka pelesetkan menjadi "hayalan saja". Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pelesetan, yang hakikatnya adalah pelecehan dan istihzaa' terhadap syi’ar-syi’ar agama. Hendaklah orang-orang yang melakukannya segera bertaubat dengan taubatan nasuha. Dan bagi para orang tua, hendaklah mencegah dan melarang anak-anaknya, apabila mendengar anak-anak mereka melatahi pelesetan-pelesetan bernada pelecehan tersebut. Hendaklah mereka ketahui, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan Yahudi.

- Dalam bentuk ejekan dan sindiran terhadap syi’ar-syi’ar agama dan orang-orang yang mengamalkannya.
Seringkali kita mendengar sebagian orang tak bermoral mengejek wanita-wanita Muslimah yang mengenakan busana Islami dengan bercadar dan warna hitam-hitam dengan ejekan “ninja! ninja! Atau seorang Muslim yang taat memelihara jenggotnya dengan ejekan “kambing!” Atau seorang Muslim yang berpakaian menurut Sunnah tanpa isbal (tanpa menjulurkannya melebihi mata kaki) dengan ejekan: “pakaian kebanjiran”. Sering kita dapati di kantor-kantor, para pegawai yang taat menjalankan syi’ar agama ini diejek oleh rekan kerjanya yang jahil alias tolol. Sekarang ini kaum muslimin yang taat menjaga identitas keislamannya, seringkali dicap dan diejek dengan sebutan teroris dan lain sebagainya. Yang sangat memprihatinkan adalah para pelaku pelecehan dan pengejekan itu adalah dari kalangan kaum muslimin sendiri.

- Dalam bentuk sindiran terhadap Islam dan hukum-hukumnya.
Seperti orang yang mengejek hukum hudud dalam Islam, semisal potong tangan dan rajam dengan sebutan hukum barbar. Menyebut Islam sebagai agama kolot dan terkebelakang. Menyebut syariat thalak dan ta'addud zaujaat (poligami) sebagai kezhaliman terhadap kaum wanita. Atau ucapan bahwa Islam tidak cocok diterapkan pada zaman modern. Dan ucapan-ucapan sejenisnya.

- Dalam bentuk perbuatan dan bahasa tubuh atau gambar.
Seperti isyarat, istihzaa' dalam bentuk karikatur dan sejenisnya.

JENIS-JENIS ISTIHZA'
Istihza' ada dua jenis. Pertama. Istihzaa' sharih. Seperti yang disebutkan dalam ayat di atas. Yaitu perkataan orang-orang munafik terhadap sahabat-sahabat Nabi. Kedua. Istihza' ghairu sharih. Jenis ini sangat luas dan banyak sekali cabangnya. Diantaranya adalah ejekan dan sindiran dalam bentuk isyarat tubuh. Misalnya, seperti menjulurkan lidah, mencibirkan bibir, menggerakkan tangan atau anggota tubuh lainnya.

HUKUM ISTIHZA'
Istihzaa' termasuk salah satu dari pembatal-pembatal keislaman. Dalam ta'liq (syarah) terhadap kitab Aqidah Ath Thahawiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: "Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Diantaranya adalah juhud (pengingkaran), syirik dan memperolok-olok agama atau sebagian dari syi’ar agama –meskpin ia tidak mengingkarinya-. Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Para ulama dan ahli fiqh telah menyebutkannya dalam bab-bab riddah (kemurtadan). Diantaranya juga adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal."

Ketika mengomentari surat At Taubah ayat 64-66 di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Ayat ini merupakan nash bahwasanya memperolok-olok Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya hukumnya kafir." [5]

Al Fakhrur Razi dalam tafsirnya mengatakan: "Sesungguhnya, memperolok-olok agama, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir. Karena olok-olokan itu menunjukkan penghinaan; sementara keimanan dibangun atas pondasi pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan mustahil keduanya bisa berkumpul." [6]

Ibnul Arabi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut: "Apa yang dikatakan oleh orang-orang munafik tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan, sungguh-sungguh atau cuma berkelakar saja. Dan apapun kemungkinannya, konsekuensi hukumnya hanya satu, yaitu kufur. Karena berkelakar dengan kata-kata kufur adalah kekufuran. Tidak ada perselisihan diantara umat dalam masalah ini. Karena kesungguhan itu identik dengan ilmu dan kebenaran. Sedangkan senda gurau itu identik dengan kejahilan dan kebatilan." [7]

Ibnul Jauzi berkata: "Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama." [8]

Al Alusi menambahkan perkataan Ibnul Jauzi di atas sebagai berikut: "Tidak ada perselisihan diantara para ulama dalam masalah ini."

Syaikh Abdurrahman As Sa'di menjelaskan dalam tafsirnya: "Sesungguhnya, memperolok-olok Allah dan RasulNya hukumnya kafir, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Karena dasar agama ini dibangun di atas sikap ta'zhim (pengagungan) terhadap Allah dan pengagungan terhadap agama dan rasul-rasulNya. Dan memperolok-olok sesuatu daripadanya, (berarti) menafikan dasar tersebut dan sangat bertentangan dengannya." [10]

Ditambahkan lagi, istihza' pada hakikatnya bertentangan dengan keimanan. Karena hakikat keimanan adalah pembenaran terhadap Allah k dan tunduk serta patuh kepadaNya. Orang yang memperolok-olok Allah, sesungguhnya ia menolak tunduk kepadaNya, karena ketundukan itu merupakan komposisi dari pengangungan dan memuliakan. Sementara itu olok-olokan adalah penghinaan dan pelecehan. Kedua perkara tersebut sangat berlawanan dan saling bertolak belakang. Apabila salah satu ada dalam hati seseorang, maka yang lain akan hilang. Dapatlah diketahui, bahwa istihza', penghinaan dan pelecehan terhadap Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya menafikan keimanan.

Ibnu Hazm mengatakan: "Nash yang shahih telah menyatakan, bahwa siapa saja yang memperolok-olok Allah setelah sampai kepadanya hujjah, maka ia telah kafir." [11]

Al Qadhi Iyadh berkata: "Barangsiapa mengucapkan perkataan keji dan kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir."[12]

An Nawawi menyebutkan dalam kitab Raudhatuth Thalibin: "Seandainya ia mengatakan -dalam keadaan ia minum khamar atau melakukan zina- dengan menyebut nama Allah! Maksudnya adalah melecehkan asma Allah, maka hukumnya kafir." [13]

Ibnu Qudamah mengatakan: "Barangsiapa mencaci Allah, maka hukumnya kafir, sama halnya ia bercanda atau sungguh-sungguh. Demikian pula, siapa saja yang memperolok-olok Allah atau ayat-ayatNya atau rasul-rasulNya atau kitabNya. Allah berfirman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [At Taubah:65-66].”

Ibnu Nujaim mengatakan: "Hukumnya kafir, apabila ia mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya atau memperolok-olok salah satu dari asma Allah Subhanahu wa Ta'ala." [15]

Dari penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan, bahwa istihzaa' bid din termasuk dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan perkara ini sebagai salah satu pembatal keislaman.

SIKAP ISLAM TERHADAP PELAKU ISTIHZA'
Allah berfirman dalam kitab-Nya:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. [An Nisa':140].

Berkaitan dengan ayat ini, Syaikh Abdurrahman As Sa'di mengatakan dalam tafsirnya [16]: "Yakni Allah telah menjelaskan kepada kamu –dari apa yang telah Allah turunkan kepadamu- hukum syar'i berkaitan dengan menghadiri majelis-majelis kufur dan maksiat. Allah mengatakan "bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan" yaitu dilecehkan, maka sesungguhnya kewajiban atas setiap mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal sehat) apabila mendengar ayat-ayat Allah adalah mengimaninya, mengagungkan dan memuliakannya. Itulah maksud diturunkannya ayat-ayat Allah. Dialah Allah yang karenanya telah menciptakan makhluk. Lawan dari iman adalah mengkufurinya, dan lawan dari pengagungan adalah melecehkan dan merendahkannya. Termasuk di dalamnya adalah perdebatan orang-orang kafir dan munafik untuk membatalkan ayat-ayat Allah dan mendukung kekafiran mereka.

Demikian pula ahli bid'ah dengan berbagai jenisnya. Argumentasi mereka untuk mendukung kebatilan mereka, termasuk bentuk pelecehan terhadap ayat-ayat Allah; karena ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan kecuali hak, dan tidak memiliki konsekuensi lain selain kebenaran. Dan juga termasuk di dalamnya, (yaitu) larangan menghadiri majelis-majelis maksiat dan kefasikan, (dikarenakan) dalam majelis tersebut perintah dan larangan Allah dilecehkan, hukum-hukumNya dilanggar. Dan batasan larangan ini adalah "sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain", yaitu mereka tidak lagi mengingkari ayat-ayat Allah dan tidak melecehkannya.

Firman Allah "Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka". Yakni jika kamu duduk bersama mereka dalam kondisi seperti itu, maka kalian serupa dengan mereka, karena kalian ridha dengan kekufuran dan pelecehan mereka. Orang yang ridha dengan perbuatan maksiat, sama seperti orang yang melakukan maksiat itu sendiri. Walhasil, barangsiapa menghadiri majelis maksiat, yang disitu Allah didurhakai dalam majelis tersebut, maka wajib atas setiap orang yang tahu untuk mengingkarinya apabila ia mampu, atau ia meninggalkan majelis itu bila ia tidak mampu."

Anehnya sebagian orang justru tertawa terbahak-bahak di depan televisi mendengar celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama dan syi’ar-syi’arNya, wal iyadzu billah!

PENUTUP
Tulisan ini merupakan peringatan dan nasihat kepada segenap kaum muslimin dari perbuatan dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Berapa banyak kita dapati bentuk-bentuk penghinaan terhadap syi’ar-syi’ar agama, pelesetan-pelesetan yang berisi sindiran terhadap agama, karikatur-karikatur lelucon yang berisi ejekan dan lain sebagainya. Khususnya banyak kita dapati anak-anak kaum muslimin melatahi bentuk-bentuk istihza' ini. Anehnya, para orang tua diam saja melihatnya tanpa memperingatkan atau memberi hukuman terhadap anak-anak mereka. Sehingga istihzaa' ini menjadi hal yang biasa di kalangan kaum muslimin, padahal termasuk dosa besar. Na'udzubillah min dzalika.

Bagi siapa saja yang diserahkan mengurusi urusan kaum muslimin, hendaklah cepat tanggap mengambil tindakan terhadap setiap bentuk pelecehan terhadap agama, apapun bentuknya. Karena hal itu termasuk kejahatan yang harus dibasmi, dan pelakunya berhak dihukum dengan hukuman yang berat.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Silakan lihat Tafsir Ibnu Katsir, Cet Darul Alam Al Kutub Riyadh, cetakan kedua, tahun 1997-1418 H.
[2]. Silakan lihat Lisanul Arab dan Al Mishbaahul Munir.
[3]. Silakan lihat kitab Al Mufradaat.
[4]. Silakan lihat Tafsir Al Baidhaawi.
[5]. Silakan lihat Ash Sharimul Maslul,dan juga Majmu’ Fatawa.
[6]. At Tafsir Al Kabir.
[7]. Ahkamul Qur’an, dan lihat juga Tafsir Al Qurthub.
[8]. Zaadul Masiir.
[9]. Ruuhul Ma’aani.
[10]. Tafsir As Sa’.
[11]. Al Fishal .
[12]. Asy Syifaa.
[13]. Raudhatuth Thalibin dan Mughnil Muhtaaj, karangan Asy Syarbini.
[14]. Al Mughni, dan silakan lihat juga Kasyful Qanaa’dan Al Inshaf .
[15]. Al Bahrur Raaiq, dan lihat juga Syarah Fiqh Al Akbar, tulisan Mulaa Ali Al Qaari.
[16]. Taisir Karimir Rahman

Hukum Mengolok-Olok Ulama Dan Orang-Orang Shalih

Sebelum membahas hukumnya, terlebih dahulu kita harus mengetahui kedudukan para ulama dan orang-orang shalih di sisi Allah, serta kewajiban kita terhadap mereka. Para ulama memiliki kedudukan yang mulia dan agung di sisi Allah. Allah telah meninggikan derajat mereka dan mengistimewakan mereka dari yang lainnya. Allah berfirman,

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. [Al Mujadilah:11].

Dalam ayat lain Allah mengatakan:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ([Az Zumar:9].

Banyak nash-nash yang menyebutkan keutamaan dan keistimewaan Ahli Ilmu. Konsekuensi dari nash-nash tersebut, adalah wajibnya menghormati dan menjunjung tinggi kehormatan para ulama. Karena mereka merupakan pewaris Nabi, penerus misi dakwah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Beliau Radhiyallahu 'anhum.

Dalam sebuah atsar (riwayat) yang populer disebutkan, jadilah seorang alim, atau seorang penuntut ilmu, atau seorang penyimak ilmu yang baik, atau seorang yang mencintai Ahli Ilmu dan janganlah jadi yang kelima, niscaya kalian binasa. [1]

Salah seorang ulama Salaf mengatakan: "Maha suci Allah, Dia telah memberi jalan keluar bagi kaum muslimin. Yakni tidak akan keluar dari keempat golongan manusia yang dipuji tadi, melainkan golongan yang kelima, golongan yang binasa. Yaitu seorang yang bukan alim, bukan penuntut ilmu, bukan penyimak yang baik dan bukan pula orang yang mencintai Ahli Ilmu. Dialah orang yang binasa. Sebab, barangsiapa membenci Ahli Ilmu, berarti ia pasti mengharapkan kebinasaan mereka. Dan barangsiapa yang mengharapkan kebinasaan Ahli Ilmu, berarti ia menyukai padamnya cahaya Allah di atas muka bumi. Sehingga kemaksiatan dan kerusakan merajalela. Kalau sudah begitu keadaannya, dikhawatirkan tidak akan ada amal yang terangkat. Demikianlah yang dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri."

Menghormati ulama termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللَّهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرِ الْغَالِي فِيهِ وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ

Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu memuliakan orang tua yang muslim, orang yang hafal Al Qur'an tanpa berlebih-lebihan atau berlonggar-longgar di dalamnya dan memuliakan penguasa yang adil. [2]

Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Bukan termasuk ummatku, siapa yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda dan mengetahui hak-hak orang alim.[3]

Thawus rahimahullah mengatakan: "Termasuk Sunnah, yaitu menghormati orang alim." [4]

Berdasarkan nash-nash di atas, jelaslah bahwa kewajiban setiap muslim terhadap para ulama dan orang-orang shalih adalah mencintai dan menyukai mereka, menghormati dan memuliakan mereka, tanpa berlebih-lebihan atau merendahkan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Mengolok-olok ulama dan orang-orang shalih, mengejek atau melecehkan mereka, tentu saja bertentangan dengan perintah untuk mencintai dan memuliakan mereka. Melecehkan ulama dan orang shalih, sama artinya dengan menghina dan merendahkan mereka. [5]

Al Alusi mengatakan: "Istihza', artinya merendahkan dan mengolok-olok. Al Ghazzali menyebutkan makna istihza', yaitu merendahkan, menghinakan dan menyebutkan aib dan kekurangan, supaya orang lain mentertawainya; bisa jadi dengan perkataan, dan bisa dengan perbuatan dan isyarat." [6]

Mengolok-olok dan memandang rendah Ahli Ilmu dan orang shalih, termasuk sifat orang kafir dan salah satu cabang kemunafikan. Sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat, diantaranya yaitu:

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللهُ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertaqwa itu lebih mulia dari pada mereka di hari Kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendakiNya tanpa batas. [Al Baqarah:212]

Dalam ayat lain Allah mengatakan:

وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ . تَلْفَحُ وُجُوهَهُمُ النَّارُ وَهُمْ فِيهَا كَالِحُونَ . أَلَمْ تَكُنْ ءَايَاتِي تُتْلَى عَلَيْكُمْ فَكُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ . قَالُوا رَبَّنَا غَلَبَتْ عَلَيْنَا شِقْوَتُنَا وَكُنَّا قَوْمًا ضَآلِّينَ . رَبَّنَآ أَخْرِجْنَا مِنْهَا فَإِنْ عُدْنَا فَإِنَّا ظَالِمُونَ . قَالَ اخْسَئُوا فِيهَا وَلاَتُكَلِّمُونِ . إِنَّهُ كَانَ فَرِيقٌ مِّنْ عِبَادِي يَقُولُونَ رَبَّنَآ ءَامَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ . فَاتَّخَذْتُمُوهُمْ سِخْرِيًّا حَتَّى أَنسَوْكُمْ ذِكْرِي وَكُنتُم مِّنْهُمْ تَضْحَكُونَ . إِنِّي جَزَيْتُهُمُ الْيَوْمَ بِمَاصَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمُ الْفَآئِزُونَ

Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam naar Jahannam. Muka mereka dibakar api naar, dan mereka di dalam naar itu dalam keadaan cacat. Bukankah ayat-ayatKu telah dibacakan kepadamu sekalian, tetapi kamu selalu mendustakannya? Mereka berkata: "Ya Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang tersesat. Ya Rabb kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zhalim". Allah berfirman: "Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku. Sesungguhnya ada segolongan dari hamba-hambaKu berdo'a (di dunia): "Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik. Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga (kesibukan) kamu mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu selalu mentertawakan mereka, Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang. [Al Mu’minun:103-111].

Berkaitan dengan tafsir ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan: Kemudian Allah menyebutkan dosa mereka di dunia, yaitu mereka dahulu mengolok-olok hamba-hamba Allah yang beriman dan para waliNya. Allah mengatakan: "Sesungguhnya ada segolongan dari hamba-hambaKu berdo'a (di dunia): Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik. Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan," yakni kalian malah mengolok-olok dan mengejek do’a dan permohonan mereka kepadaKu. Sampai pada firman Allah "sehingga (kesibukan) kamu mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku," yakni kebencian kalian kepada mereka membuat kalian lupa kepadaKu. Firman Allah: "kamu selalu mentertawakan mereka," yakni mentertawakan perbuatan dan amal ibadah mereka. [7]

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ . وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ . وَإِذَا انْقَلَبُوا إِلىَ أَهْلِهِمُ انقَلَبُوا فَاكِهِينَ . وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَآؤُلآَءِ لَضّآلُّونَ . وَمَآأُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) mentertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu'min, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat", padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mu'min. [Al Muthaffifin:29-33].

Ayat ini merupakan dalil, bahwa mengolok-olok itu ada kalanya dengan isyarat. Dalam ayat ini Allah menggambarkan, bagaimana bentuk olok-olokan orang-orang kafir terhadap orang-orang mukmin, yaitu mereka saling mengedip-ngedipkan mata, dengan tujuan mengejek.

Dalam ayat lain, Allah menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang munafik:

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْإِلىَ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُونَ . اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syetan-syetan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". Allah akan (membalas) olokan-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. [Al Baqaarah:14, 15].

Dalam ayat lain, Allah menjelaskan pula:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لاَيَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mu'min yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih. [At Taubah:79].

Musuh-musuh Islam, diantaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang-orang munafik yang mengikuti mereka, senantiasa berusaha menjelek-jelekkan citra ulama Islam, berusaha meruntuhkan kepercayaan umat kepada para ulama dengan sindiran-sindiran dan komentar-komentar negatif tentang ulama. Hal ini perlu diwaspadai oleh kaum muslimin. Mereka jangan sampai ikut-ikutan menjelek-jelekkan alim ulama.

Dalam Protokalat Yahudi, pada protokolar nomor 27 disebutkan sebagai berikut: Kami telah berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan martabat tokoh-tokoh agama dari kalangan orang-orang non Yahudi dalam pandangan manusia. Oleh karena itu, kami berhasil merusak agama mereka yang bisa menjadi ganjalan bagi perjalanan kami. Sesungguhnya pengaruh tokoh-tokoh agama terhadap manusia mulai melemah hari demi hari.[8]

Jadi jelaslah, setiap tindakan yang bertujuan mendiskreditkan para ulama dan tokoh agama termasuk tindakan makar terhadap agama ini. Pelakunya harus dihukum dan ditindak tegas. Pelecehan terhadap para ulama dan orang shalih ada dua:

Pertama : Pelecehan terhadap pribadi ulama. Contohnya, misalnya orang yang mengejek sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh ulama tersebut. Demikian ini hukumnya haram, karena Allah telah berfirman:

يَاأّيُّهَا الّذِينَ ءَامَنُوا لاَيَسْخَرْ قَوْمُُ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلاَنِسَآءُُ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلاَتَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوا بِاْلأَلْقَابِ بِئْسَ اْلإِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ اْلإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. [Al Hujurat:11].

Berkenaan dengan ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan: "Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang mengolok-olok orang lain. Yaitu merendahkan dan menghinakan mereka. Sebagaimana disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Beliau bersabda: Sombong itu adalah menolak kebenaran dan menghinakan orang lain." [9]

Kedua : Mengolok-olok ulama karena kedudukan mereka sebagai ulama, karena ilmu syar'i yang mereka miliki. Demikian ini termasuk perbuatan zindiq, karena termasuk melecehkan agama Allah. Demikian pula mengolok-olok orang shalih, orang yang menjalankan Sunnah Nabi. Allah telah menggolongkan pelecehan terhadap orang-orang yang beriman sebagai pelecehan terhadapNya. Dalam surat At Taubah, Allah berfirman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" [At Taubah:65].

Ayat ini turun berkenaan dengan perkataan orang-orang munafik terhadap para qari' "Belum pernah kami melihat orang seperti para qari' kita ini, mereka hanyalah orang-orang yang paling rakus makannya, paling dusta perkataannya dan paling penakut di medan perang." Maka Allah menurunkan ayat tersebut.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahhab mengatakan: "Ayat ini berisi penjelasan, bahwa seseorang bisa jatuh ke kufur karena perkataan yang diucapkannya, atau karena perbuatan yang dilakukannya."

Kemudian beliau melanjutkan: "Termasuk dalam bab ini, yaitu mengolok-olok ilmu syar'i dan Ahli Ilmu, dan tidak menghormati mereka karena ilmu yang mereka miliki." [10]

Dalam Fatwa Lajnah Daimah disebutkan: "Mencela Islam, mengolok-olok Al Qur'an dan As Sunnah, serta mengolok-olok orang-orang yang berpegang teguh dengannya karena ajaran agama yang mereka amalkan, seperti memelihara jenggot dan berhijab bagi wanita muslimah, maka perbuatan seperti itu termasuk kufur, bila dilakukan oleh seorang mukallaf ((orang baligh yang berakal sehat) dan harus dijelaskan kepadanya, bahwa perbuatan itu kufur. Jika ia tetap melakukannya setelah mengetahuinya, maka ia bisa jatuh kafir, karena Allah mengatakan:

قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. [At Taubah:65].

Ibnu Nujaim menyatakan,"Mengolok-olok ilmu dan ulama adalah kufur." [11]

Mala Ali Al Qari, ketika menjelaskan tentang orang yang melecehkan ulama dengan sindiran "Betapa buruk penampilannya, memotong kumis dan melipat sorban di bawah dagu" (maka) beliau mengatakan,”Perkataan itu termasuk kufur, karena isinya melecehkan ulama. Yang sama artinya melecehkan para nabi. Karena para ulama adalah pewaris para Nabi. Memotong kumis adalah salah satu Sunnah para nabi. Menganggapnya buruk adalah kufur, tanpa ada perselisihan pendapat diantara ulama."

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya tentang perbuatan sebagian orang yang mengolok-olok orang-orang yang melaksanakan ajaran agama dan mengejek mereka, apakah hukumnya? Beliau menjawab: "Orang-orang yang mengolok-olok para multazimin (orang yang melaksanakan ajaran agama) yang melaksanakan perintah Allah pada mereka terdapat benih kemunafikan. Karena Allah telah menyebutkan sifat orang-orang munafik:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لاَيَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mu'min yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih. [At Taubah:79].

Kemudian, apabila mereka mengolok-olok karena ajaran syari’at yang mereka amalkan, yang demikian itu termasuk juga mengolok-olok syari’at. Dan mengolok-olok syari’at termasuk kufur. Adapun bila olok-olokan itu tertuju kepada pribadi orang itu atau penampilannya, bukan tertuju kepada Sunnah yang diamalkannya, maka tidaklah kafir karenanya. Karena adakalanya ejekan tersebut tertuju kepada pribadi seseorang, bukan kepada amal atau perbuatan yang dilakukannya. Perbuatan semacam itu sangatlah berbahaya." [13]

Demikian pula ulama Salaf terdahulu, bersikap keras terhadap orang-orang yang melecehkan ulama dan Ahli Hadits.

Abu Utsman Ash Shabuni dalam I'tiqad Ashabul Hadits, nomor 164, Al Khathib Al Baghdaadi dalam Syaraf Ashabul Hadits (halaman 74) menyebutkan, bahwa Ahmad bin Al Hasan berkata kepada Imam Ahmad: "Wahai, Abu Abdillah. Orang-orang menceritakan tentang Ibnu Abi Qutailah di Makkah yang mengejek Ashabul Hadits. Ia mengatakan bahwa Ashabul Hadits itu adalah orang-orang yang buruk." Maka Imam Ahmad bangkit seraya menepis bajunya dan berkata: "Dia itu zindiq, dia itu zindiq!" hingga beliau masuk ke dalam rumah.

Dalam kitab Al Kifayah, halaman 48, Al Khathib Al Baghdadi menyebutkan, bahwa Abu Zur'ah Ar Razi mengatakan: "Jika engkau melihat seseorang melecehkan salah seorang dari sahabat Nabi, maka ketahuilah bahwa dia itu zindiq. Karena kita tahu, bahwa Rasul itu haq, Al Qur'an itu haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur'an dan As Sunnah kepada kita adalah para sahabat Rasulullah, sesungguhnya mereka ingin memburuk-burukkan para saksi kita untuk menolak Al Qur'an dan As Sunnah, padahal merekalah yang pantas untuk diburukkan, karena mereka adalah zindiq."

Demikian pula Adz Dzahabi menyebutkan dalam Siyar A'lamun Nubala', bahwa Imam Ahmad berkata: "Jika engkau melihat seseorang memburuk-burukkan Hammad bin Salamah, maka curigailah dia mempunyai maksud buruk terhadap Islam, karena Hammad sangat tegas terhadap Ahli Bid'ah."

Memang ahli bid'ah terkenal suka mengejek dan melecehkan Ahlu Sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang tokoh Mu'tazilah. Yaitu Amru bin Ubaid, yang memuji perkataan Washil bin Atha'.

Pada suatu ketika Washil bin Atha' berbicara lalu berkatalah Amru bin Ubeid: "Tidakkah kalian dengar perkataannya? Sungguh ucapan Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin tidak lebih seperti sehelai kapas pembersih haidh yang dilemparkan."

Demikian pula seorang pembesar ahli bid'ah mengatakan: "Sesungguhnya ilmu Asy Syafi'i dan Abu Hanifah, keseluruhannya tidaklah keluar dari celana dalam wanita." [14]

Perbuatan semacam itu termasuk perbuatan zindiq dan nifaq wal iyadzu billah. Dari keterangan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa melecehkan ulama termasuk dosa besar. Para ulama menggolongkannya sebagai perbuatan kufur dan nifak. Semoga Allah menjauhkan kita darinya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Ma’maj Az-Zawaaid  ia berkata: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabraani dalam ketiga mu’jamnya dan Al-Bazzar, para perawinya tsiqah.”
[2]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud  dan dihasankan oleh Al-Albaani dalam Shahih At-Targhib.
[3]. Hadits riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dihasankan oleh Al-Albaani dalam Shahih Jami’ Shaghir dan Shahih
At-Targhib.
[4]. Silakan lihat kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi karangan Ibnu Abdil Barr.
[5]. Silakan lihat Jami’ Ulum wal Hikam karangan Ibnu Rajab.
[6]. Silakan lihat Ruuhul Ma’aani.
[7]. Silakan lihat Kitab Al-Mishbah Al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir tulisan Shafiyurrahman Mubarakfuuri pada firman Allah surat Al-Mukminun ayat 110
[8]. Protokolat Hukama’ Zionis diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad bin Khalifah At-Tunisi
[9]. Hadits riwayat Muslim
[10]. Qurratul Uyuunil Muwahhidin.
[11]. Fatwa Lajnah Daaimah.
[12]. Al-Asybaah wan Nazhaair.
[13]. Majmu’ Ats-Tsamin.
[14]. Lihat kitab Al-I’tisham karangan Asy-Syaathibi.

Bahaya Mencemooh Agama


Diantara sifat orang beriman adalah mengagungkan Allah dan mengagungkan apa-apa yang diagungkan oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj:32]

Namun di zaman ini, banyak orang meremehkan, merendahkan, dan memperolok-olok sesuatu yang berkaitan dengan agama. Hal ini merupakan perkara yang sangat berbahaya. Maka sepantasnya seseorang mengetahui bahaya istihza’ terhadap agama.

Istihza’, artinya: mengejek, memperolok-olok, atau mencemooh. Istihza’ terhadap Allah, ayat-ayatNya, RasulNya, agamaNya, dan istihza’ kepada orang-orang yang beriman, merupakan perilaku orang kafir, dan termasuk perkara yang menyebabkan murtad jika dilakukan oleh orang Islam.

ISTIZHA’ TERHADAP ALLAH
Allah berfirman.

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?[At Taubah:65].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, bahwa semata-mata istihza’ terhadap Allah merupakan kekafiran, istihza’ terhadap Rasul merupakan kekafiran, dan istihza’ terhadap ayat-ayat Allah juga merupakan kekafiran. Istihza’ terhadap perkara-perkara di atas saling berkaitan.[1]

Sebab turunnya ayat ini, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: Pada suatu hari, di satu majelis dalam perang Tabuk, seorang laki-laki berkata “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”. Lalu seorang laki-laki di majelis itu berkata: “Engkau dusta, tetapi engkau seorang munafik. Aku benar-benar akan memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Dan Al Qur’an turun.

Abdullah bin Umar berkata: “Maka aku melihat laki-laki itu bergantung pada kendali onta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, batu-batu melukai kakinya, dan dia mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Rasulullah, berkata: “Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” [At Taubah:65] [2]

Istihza’ yang mereka lakukan di atas menyebabkan kemurtadan mereka, sebagaimana pada ayat berikutnya:

لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah keimanan kamu. [At Taubah:66].

Sebagian orang berpendapat, mereka itu semenjak awalnya adalah orang-orang munafik. Namun pendapat ini tidak kuat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Pendapat orang yang mengatakan tentang semisal ayat-ayat ini bahwa mereka telah kafir sesudah keimanan mereka dengan lidah mereka, sedangkan hati mereka kafir semenjak awal; pendapat ini tidak benar. Karena iman dengan lidah bersamaan dengan kekafiran hati, berarti kekafiran selalu menyertainya, sehingga tidak dikatakan: “kamu telah kafir sesudah keimanan kamu”, karena hakikatnya mereka terus sebagai orang kafir. Dan jika dimaksudkan “bahwa kamu menampakkan kekafiran setelah kamu menampakkan keimanan”, maka mereka itu tidaklah menampakkan kekafiran kepada semua manusia, kecuali kepada orang-orang dekat mereka. Mereka bersama orang-orang dekat mereka selalu begitu. Bahkan (yang benar), ketika mereka berbuat nifak dan takut akan diturunkan terhadap mereka surat yang menerangkan kemunafikan yang tersembunyi di dalam hati mereka, mereka(pun) berbicara dengan istihza’. Mereka menjadi orang-orang kafir setelah keimanan mereka. Lafazh itu tidak menunjukkan bahwa mereka munafik semenjak dahulu”.[3]

ISTIZHA’ TERHADAP AYAT
Ini merupakan perbuatan orang kafir yang akan mendapatkan siksa yang pedih! Allah berfirman:

وَيْلٌ لِّكُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يَسْمَعُ ءَايَاتِ اللهِ تُتٍلَى عَلَيْهِ ثُمَّ يُصِرُّ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا فَبِشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ وَإِذَا عَلِمَ مِنْ ءَايَاتِنَا شَيْئًا اتَّخَذَهَا هُزُوًا أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Kecelakaan yang besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah yang dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri khabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh adzab yang menghinakan. [Al Jatsiyah:7-9]
.
Allah k telah melarang umat Islam duduk bersama orang-orang kafir yang sedang memperolok-olok ayat-ayatNya. Allah berfirman.

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. [An Nisa’:140]

Oleh karena itu, barangsiapa mendengar orang-orang yang memperolok-olok ayat-ayat Alloh, sedangkan dia duduk bersama mereka dengan ridha, maka dia semisal mereka di dalam dosa, kekafiran, dan keluar dari Islam.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah ditanya tentang orang yang bersendau-gurau dengan sesuatu dari ayat-ayat Allah, beliau berkata: “Dia kafir”. Beliau berdalil dengan ayat 65 surat At Taubah yang telah kami sebutkan di atas. [4]

ISTIZHA’ TERHADAP RASUL
Demikian juga istihza’ terhadap Rasul, merupakan kebiasaan orang-orang kafir semenjak dahulu. Allah berfirman.

وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ

Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan diantara mereka balasan (adzab) olok-olokkan mereka. [Al An’am:10].

Adapun orang yang hatinya terdapat keimanan, tidak mungkin mencela dan memperolok-olok manusia pilihan Allah; manusia yang wajib dicintai, dihormati, dan diagungkan sesuai dengan kedudukannya yang agung di sisi Allah.

ISTIZHA’ AGAMA

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمُُ لاَّ يَعْقِلُونَ

Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikan buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. [Al Maidah:58].

Istihza’ terhadap agama juga merupakan kekafiran. Seperti istihza’ terhadap pahala dan siksa Allah, istihza’ terhadap shalat, istihza’ terhadap syari’at memelihara lihyah (jenggot dan jambang) bagi laki-laki, istihza’ terhadap larangan isbal (pakaian laki-laki menutupi mata kaki), dan lainnya.

ISTIZHA’ ORANG BERIMAN
Hai ini juga merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Mereka akan mengetahui balasannya di hari kiamat kelak. Mereka biasa menertawakan orang-orang yang beriman di dunia, karena keimanan mereka, maka orang-orang beriman akan membalas menertawakan mereka. Allah berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ {29} وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. [Al Muthaffifin:29-30]

BENTUK ISTIHZA’
Dilihat dari bentuknya, sebagian ulama membagi istihza’ terhadap agama menjadi dua bagian.

Pertama. Istihza’ Sharih (nyata, terang-terangan). Contohnya:
• Perkataan orang yang menjadi sebab turunnya ayat 65 surat At Taubah, yang mengatakan tentang Nabi dan para sahabat dengan perkataan: “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”.
• Mengejek agama dengan perkataan “agama kamu ini agama ke lima”.
• Mengejek agama dengan perkataan “agama kamu ini sudah usang (kuno)”.
• Ketika melihat orang beramar ma’ruf nahi munkar, mengatakan “datang ahli agama”, “datang orang ‘alim”, yang maksudnya untuk merendahkan dan menertawakan. Dan semacamnya.

Kedua. Istihza’ Ghairush Sharih (tidak nyata, tidak terang-terangan). Contohnya:
• Mengedipkan mata, menjulurkan lidah, mencibirkan bibir, mencubit dengan tangan, saat dibacakan Al Qur’an atau hadits Nabi atau ketika seseorang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
• Mengatakan “agama Islam tidak pantas pada abad ini, hanya pantas untuk abad pertengahan, abad onta”.
• Mengatakan “agama Islam agama kemunduran, terbelakang”.
• Mengatakan “hukuman dalam agama Islam kejam, biadab, buas, dan semacamnya”.
• Mengatakan “agama Islam menzhalimi wanita, karena membolehkan poligami”.
• Perkataan “hukum buatan manusia lebih baik dari pada hukum Islam”.
• Terhadap orang yang mendakwahkan tauhid dan melarang syirik mengatakan “orang ini ekstrimis, fundamentalis”, atau “orang ini ingin memecah-belah umat Islam”, atau “orang ini Wahhabi”, dan semacamnya.
• Terhadap orang yang menyerukan Sunnah Nabi mengatakan “agama bukan pada rambut”, atau “agama bukan pada pakaian”, atau semacamnya. [5]

Sebagai penutup tulisan ini, kami sampaikan firman Allah yang memberitakan tentang balasan pedih terhadap orang-orang yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai ejekan. Allah berfirman.

وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَالَكُم مِّن َّناصِرِينَ , ذَلِكُم بِأَنَّكُمُ اتَّخَذْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ لاَيُخُرَجُونَ مِنْهَا وَلاَهُمْ يُسْتَعْتَبُونَ ,

Dan dikatakan (kepada mereka):"Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong. Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat. [Al Jatsiyah:34-35].

Semoga Allah selalu membimbing kita di atas kebenaran.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Majmu’ Fatawa
[2]. HR Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir Ath Thabari, dinukil dari Ash Shahihul Musnad Min Asbabiln Nuzul, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
[3]. Al Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, takhrij Al Albani
[4]. Ash Sharimul Maslul, dinukil dari Syarh Nawaqidhul Islam, karya Syaikh Abu Usamah bin Ali Al ‘Awaji.
[5]. Lihat Majmu’atut Tauhid An Najdiyah Kitab At Tauhid, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Penerbit Darul Qasim, Cet. 2, Th. 1421 H / 2000 M; At Tibyan Syarh Nawaqidhul Islam, karya Syaikh Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al ‘Ulwan, Penerbit Darul Muslim, Cet. 6, Th: 1417 H / 1996 M.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...