Searching

Melecehkan Agama Sebab Dan Solusi

Para ulama telah sepakat bahwa pelecehan terhadap agama merupakan perbuatan kufur, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dan pelecehan terhadap agama termasuk dalam “Nawaqidhul Islam” (pembatal keislaman) yaitu hal-hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang.

Dari Ibnu Umar bahwa seseorang berkata pada peperangan Tabuk;“Kita tidak melihat seperti qari kita (yaitu Nabi dan para sahabat beliau) kecuali yang paling banyak makannya, acap kali berdusta serta paling penakut ketika berperang”. Berkata Auf bin Malik: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau munafik! Akan aku kabarkan hal ini kepada Rasulullah”. Kemudian Aufpun mengabarkannya kepada Rasulullah, kiranya Al-Quran telah mendahuluinya.

Kemudian datanglah laki-laki tersebut menemui Rasulullah langsung berangkat menunggang untanya sambil berkata:“Ya Rasulullah, kami hanya bermain dan bergurau dan bercengkrama seperti musafir menuntaskan perjalanan dengan bercengkrama dengan sahabatnya?!”.

Ibnu Umar berkata:“Seakan-akan masih terlihat olehku dia berpegangan pada tali unta Rasulullah sedangkan kerikil-kerikil tajam menusuk kakinya, sambil berkata:“Sesungguhnya kami bermain dan bergurau”, sedangkan Rasulullah menjawab:“Apakah dengan Allah, ayat dan RasulNya, kalian mengolok-olok?!”, dengan tidak menoleh kepadanya dan tidak menambah ucapan Beliau. [1]

Kemudian keluarlah vonis dari langit ketujuh bagaikan ketukan palu hakim terhadap pesakitan dari ulah dia sendiri.

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Tidak perlu kalian mengajukan uzur, kalian telah kufur setelah kalian beriman.[At-Taubah:65].

Tidak hanya yang berucap memperolehnya akan tetapi juga termasuk orang-orang yang ikut serta bersenda gurau dengannya menuai getahnya;

وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ

Sungguh mereka telah berucap kata-kata kufur, dan telah kufur setelah islam mereka. [At-Taubah:66]

SUNNAH ORANG-ORANG TERDAHULU
Sebenarnya istihza` (pelecehan) terhadap agama bukan hal yang baru, akan tetapi perbuatan kufur yang sudah berkarat diwariskan generasi ke generasi oleh umat terdahulu yang memperlakukan para rasul dan para pengikut mereka;

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي شِيَعِ الْأَوَّلِينَ(10)وَمَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (beberapa rasul) sebelum kamu kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tidak datang seorang rasulpun kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.[Al-Hijir:10-11]

Akan tetapi olok-olokan dari kaum hanya bersifat sementara, kemudian ditimpakan terhadap mereka bala dari perlakuan mereka tersebut;

وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُون
َ
Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (`azab) olok-olokan mereka. [Al-An`am:10 dan Al-Anbiya:41]

Pelecehan atau olok-olokan tersebut diterangkan oleh Allah dalam berbagai bentuk;

• Kadang- kadang dengan melecehkan ayat-ayat Allah;

وَاتَّخَذُوا ءَايَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا

Dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokkan”. [Al-Kahfi:56]

• Terkadang melecehkan agama dan hukumnya;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(57)وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal”. [Al-Maidah:57-58]

• Dan tidak jarang melecehkan penganut agama yang baik dan pembawa kebenaran;

وَإِذَا رَآكَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي يَذْكُرُ ءَالِهَتَكُمْ وَهُمْ بِذِكْرِ الرَّحْمَنِ هُمْ كَافِرُونَ

Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan): "Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu?", padahal mereka adalah orang-orang yang inkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah”. [Al-Anbiya:36]

Sedangkan tuduhan yang diucapkan kepada para rasul dengan tuduhan gila, ini kaum Nuh telah menuduhnya dengan tuduhan tersebut, sebagaimana yang diceritakan Allah dalam KitabNya;

إِنْ هُوَ إِلَّا رَجُلٌ بِهِ جِنَّةٌ فَتَرَبَّصُوا بِهِ حَتَّى حِينٍ

Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu”. [Al-Mukminun:25]

Sedangkan perlakuan Firaun terhada Nabi Musa tidak jauh berbeda;

قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ

Fir`aun berkata: "Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila”. [As-Syu`ara`:27].

Begitu juga yang dilakukan oleh Kafir Quraisy terhadap Nabi kita yang mulia;

وَقَالُوا يَاأَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ

Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Qur'an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila”. [Al-Hijir:6]

وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

Dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”. [As-Shaffat:36]

ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ

Kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila. [Ad-Dukhan:14]

Dengan mengamati yang terjadi kenyataan dewasa ini, bahwa sebab-sebab terjadinya pelecehan agama termasuk permasalahan yang pelik, benangnya telah kusut yang sulit direntangkan, tidak dapat hanya menjabarkannya dengan satu sebab atau dua. Permasalahan yang saling berkaitan satu sama lain begitu juga pengaruhnya yang berbeda-beda pada sebuah tempat dengan tempat lain. Akan tetapi dapat kita ringkas dengan sebab-sebab berikut ini;

1. Memperturutkan Hawa Nafsu
Seringkali kita dapatkan orang yang melecehkan agama karena memperturutkan hawa nafsu semata, baik hal itu karena merasa senang dan ada perasaan puas dengan mengolok-olok agama beserta pemeluknya, bentuk ini dapat dikatagorikan dalam syahwat, ada juga karena kesalahan dalam memahami agama yang benar atau kesalahan persepsi sehingga terjadi tindak pelecehan, dan bentuk ini masuk dalam kategori syubhat.

Akan tetapi “memperturutkan hawa nafsu dalam perkara keagamaan lebih besar (dosanya) dari orang yang memperturutkan hawa nafsunya dalam syahwat, keadaan orang pertama sama dengan hal orang-orang kafir dari ahli kitab…Oleh karenanya semua orang yang keluar dari garis Kitab dan Sunnah dari kalangan ulama dan ahli ibadah dimasukkan ke dalam kategori Ahli Ahwa (Pengikut Hawa Nafsu)”.[2]

Allah telah menerangkan bahwa asal tersesatnya orang yang sesat karena mengikuti hawa dan prasangka serta berpaling dari wahyu dan ilmu;

إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (mengibadati)Nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka”. [An-Najm;23]

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [Qashash:50]

بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun. [Rum: 29]

Ketika bahaya memperturutkan hawa nafsu sedemikian rupa, bahwa dia adalah kunci kerusakan dan kejahatan serta kesesatan, Allah memerintahkan kita untuk mawas diri agar tidak meniti jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan Dia menerangkan bahwa orang yang memperturutkan hawa nafsunya Allah akan cabut baginya pertolongan dan bantuanNya dan dia menjadi orang yang zhalim.

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ

Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim. [Al-Baqarah:145]

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا وَاقٍ

Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah. [Ar-Ra`ad:37]

Oleh karenanya pelaku pelecehan agama kebanyakan dari orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, kalau tidak kita katakan semuanya, berkata Imam Syathibi : Para pengikut hawa nafsu, jika hawa nafsu mereka telah mencengkram mereka, mereka tidak peduli dengan apapun dan tidak pernah mempertimbangkan sesuatu yang menyelisihi pendapat mereka, tidak pula mencoba berpikir ulang seperti orang-orang yang menyalahkan pendapatnya sendiri (sebelum menyalahkan pendapat orang lain-pen) dan orang yang berhenti pada permasalahan yang pelik. Sedangkan sebagian yang memperturutkan hawa nafsu tidak pernah mengambil pusing terhadap celaan orang yang mencelanya, dan ada sekolompok lagi bergabung bersama mereka yang telah meresap hawa nafsu di hati mereka sehingga dia tidak peduli dengan selain yang dia pikirkan. [3]

2.Kosongnya Hati Dari Kecintaan Terhadap Allah
Allah ciptakan hati tidak dapat memuat dua sifat yang bertentangan dalam satu waktu. Iman dengan maksiat, cinta dengan kebencian serta begitu seterusnya, Allah berfirman.

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. [Al-Ahzab:4].

Oleh karenanya Allah menafikan keimanan tatkala seseorang melakukan zina, pencurian dan menenggak minuman keras.

Begitu juga terhadap orang yang melecehkan agama, ketika tidak ada perasaan cinta terhadap Allah, maka diisilah oleh kebencian terhadap agamaNya sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan penyerahan diri kepadaNya, diantaranya; melecehkan dan mengolok-olok agama.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiah berkata : Orang-orang yang sesat melecehkan permasalahan tauhid kepada Allah dan mengagungkan orang yang meminta kepada orang yang telah mati, jika diperintahkan untuk bertauhid dan dilarang untuk berbuat syirik mereka melecehkannya, sebagaimana yang disebut Allah.

وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا

Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan. [Al-Furqan:41].

Merekapun melecehkan Rasul tatkala beliau melarang mereka dari syirik, begitulah kaum musyrikin mencela para Nabi dan mensifati mereka dengan kebodohan, sesat dan gila setiap kali mereka mengajak kepada tauhid, karena pada diri mereka adanya syirik yang besar”. [4]

3. Teman Yang Fasiq
Pengaruh teman tidak dapat diragukan lagi dapat mempengaruhi seseorang dalam bersikap, ketika seseorang berteman dengan orang-orang yang tidak mengenal agama, mereka akan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dalam mempertahankan prinsip agamanya, terutama ketika mereka bersama-sama .

Begitulah yang terjadi pada orang-orang munafik pada zaman Rasulullah “mereka jika telah bersama dengan syaithan-syaithan mereka mulailah mereka memperolok-olokan Allah, ayat dan rasulNya serta kaum mukminin”. [5]

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. [Al-Baqarah:14]

4. Tidak Memahami Bahaya Lisan
Pepatah kita mengatakan “Lidahmu harimaumu”, yang lebih baik dari pepatah itu sabda Rasulullah kepada Mu`az.

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتُهُمْ

Celaka engkau, apakah manusia terjerembab muka mereka atau hidung mereka ke dalam neraka, kecuali karena apa yang dituai oleh lidah mereka?!!”.[6]

“Zhahir hadits Mu`az menunjukkan bahwa kebanyakan manusia masuk neraka adalah karena berbicara dengan lisan mereka, karena maksiat percakapan masuk di dalamnya syirik dan dia adalah dosa terbesar di sisi Allah, begitu juga termasuk berkata atas nama Allah tanpa ilmu, dan dia adalah teman syirik serta masuk juga persaksian palsu yang menyamai dengan syirik kepada Allah, dan masuk ke dalamnya sihir, qazaf (menuduh seseorang berzina-pen) dan yang lainnya dari dosa-besar maupun dosa kecil, seperti; dusta, namimah dan semua maksiat perbuatan tidak lepas dari ucapan yang menemaninya”. [7]

Saya berkata; “Dan diantara dosa yang banya dituai oleh lisan pada zaman sekarang adalah melecehkan agama, sunnah Rasulullah dan pemeluknya”.

5. Kebodohan Terhadap Agama Allah
Kebodohan serta jauh dari pengajaran Islam mempunyai peran penting dalam meluasnya pelecehan terhadap agama sendiri. Seseorang mengatakan.

مَنْ جَهِل شَيْئاً عَادَاهُ

Barang siapa yang tiak mengenal tentang sesuatu, dia akan memusuhinya.

Jika seandainya pelaku pelecehan mengetahui kepada siapa sebenarnya dia telah berbuat kesalahan, niscaya dia akan berhenti, jika mengetahui besarnya dosa orang yang melecehkan agamanya, niscaya dia akan berpikir panjang untuk mengucapkannya.

6. Lemahnya Ahli Iman Dalam Amar Makruf Dan Nahi Munkar
Inilah akibatnya jika seorang muslim mengidap penyakit ‘Inhizamiah’ yaitu minder dengan aqidah yang meresap ke dalam hatinya, pengagungan terhadap Allah yang memenuhi dirinya.

Jika setiap muslim mempunyai mental ‘tempe’ dan memiliki sifat’kerupuk’, belum apa-apa sudah penyek, atau baru sedikit saja disentuh sudah rapuh, maka akan leluasa pelaku kebejatan melakukan apa yang dikehendaki oleh hawanya, dan akan terjadi kerusakan yang besar.
Allah berfirman.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. [Al-Anfal:73]

7. Pengaruh Media Massa
Tidak ada seorangpun meragukan pengaruh media massa dalam merusak citra Islam dan pemeluknya, bahkan media massa menjadi ujung tombak musuh-musuh Islam dalam merusak umat Islam terutama generasi mudanya yang dikenal dalam dunia Islam dengan “Ghazwul Fikri” yaitu perang urat syaraf. Sangat disayangkan sebagian kaum muslimin tidak mempunyai filter yang baik dalam menyaring berita, sehingga terbetuntuklah opini tentang dunia Islam sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam.

Contoh dalam hal ini sangatlah banyak, baik dalam bentuk karikatur, sampul film, sinetron, stiker dan semacamnya.

8. Usaha Orang Kuffar Merusak Citra Islam.
Sunnatullah telah berlaku terhadap hambanya dengan memberi cobaan tehadap Rasul, para juru dakwah. Menguji mereka untuk melihat siapa yang dapat memenuhi panggilan dan siapa yang berpaling, dan menguji mereka siapa yang bersabar dari yang tidak sabar.

Ketika kita bentangkan dakwah para rasul, kita temukan bahwa mereka mendapatkan berbagai macam bentuk cobaan, dakwah mereka dihadang oleh berbagai macam persekongkolan dari orang-orang kafir kepada Allah dan rasulNya yang merasa takut kehilangan kemashlahatan, Allah berfirman;

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai”. [At-Taubah:32]

Islam telah menyaksikan sendiri sejarahnya, bagaimana persekongkolan orang kafir terhadap Islam semenjak hari-hari pertama diutusnya Rasul, merekapun berjanji dan berbaiat, dan apa yang terjadi pada peperangan Ahzab (sekutu) kecuali merupakan satu bentuk dari beberapa bentuk persekongkolan tersebut.

Bukanlah permasalahan sebatas penginjilan yang menginginkan kaum muslimin mendapat petunjuk masuk ke dalam agama Nashrani atau rasa cemas mereka nantinya kaum muslimin tidak mendapatkan kenikmatan akhirat -sebagaimana yang digambarkan oleh mereka-, akan tetapi tujuan mereka adalah menghalang risalah Allah sampai kepada manusia,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan”. [Al-Anfal:32].

Dalam menyebutkan sasaran-sasaran yang dituju oleh kaum missionoris, penjajah Salibis dan Orentalis dalam memerangi orang-orang muslim, Al Ustadz Abdurrahman Al Maidani berkata:"...Sasaran Ketiga: Mereka merusak Islam dengan menggambarkan Islam sebagai agama yang menyeramkan. Lingkup sasarannya adalah hukum, rukun dan syariat Islam dengan mengolok-olok dan pelecehan. Juga menggambarkan dan menjuluki orang yang berpegang teguh dengan Islam dengan sebutan kuno, fundamentalis, fanatik, jumud serta ucapan-ucapan sejenis. Tujuannnya untuk melemahkan semangat orang Islam dalam berpegang teguh terhaap Islam . kemudian, mereka diharapkan membelot dari Islam untuk sesuatu kepentingan, terakhir mereka merendahkan dan mencela ulama yang berpegang teguh dengan Al-Quran, mendorong dan menyusahkan mereka dalam mata pencaharian agar orang-orang lari dari ajaran Islam. Lalu, menjadikan orang-orang yang bodoh dan sesat sebagai fokus berita. Tujuannya untuk memberikan atau menghasilkan gambaran yang jelek terhadap praktek ajaran Islam, juga untuk mengaburkan Islam itu sendiri”. [8]

Dan persekongkolan ini kelihatan jelas dalam dua bentuk : Al-Ghazwul Fikri (perang urat syaraf), Peperangan dengan senjata. [9]

Dewasa ini -sebagai contoh- bagaimana Barat berhasil menanamkan ke dalam pemikiran kaum muslimin, bahwa sosok orang yang multazim (berpegang teguh dengan agamanya) dengan jenggot dan pakaian sebatas mata kaki sebagai momok yang sangat menakutkan bagi kaum muslimin sendiri, dia tidak lagi bebas bergerak, terasing dalam keramaian umatnya, sebab semua mata memandangnya dengan pandangan penuh kecurigaan, karena menurut mereka itulah gambaran sosok teroris yang beringas, tidak mempunyai rasa kasih terhadap sesama.

SOLUSI DAN ALTERNATIF
Mengamati nash-nash syariat melalui pemahaman ulama yang telah mengupas tuntas tentang hakikat pelecehan agama, berdasarkan kajian terhadap kenyataan keadaan Salaf rahimahullah dalam menanggulangi dan mencari jalan keluar dari problema ini, dapat kita ringkas melalui dua jalan.

• Merubah sikap dan mental pelaku pelecehan itu sendiri.
• Mengukuhkan kembali pencegahan dari hal-hal yang punya hubungan dengan pelaku dari masyarakat, lingkungan, para juru dakwah dan orang yang merasa dirinya terpanggil untuk menjaga agamanya agar tidak dilecehkan.

Pertama : Solusi Internal Pelaku Pelecehan Agama
Maksudnya hendaknya pelaku pelecehan merasakan bahaya perbuatannya yang dapat merugikan dunia dan akhiratnya dengan siraman rohani sehingga kesadaran itu datang dengan sendirinya , ini dikenal dalam istilah syariat dengan “ Wazi` Diniy”.

Pengaruh sarana pendidikan yang Islami serta media massa Islam mempunyai peranan penting, sehingga mereka dapat meletakkan kedudukan Allah sesuai dengan keagunganNya begitu juga mengenal kehormatan agama yang hanif ini.

Ini seruan terhadap orang yang jatuh ke dalam jeratan syaithan sehingga dia jatuh ke dalam pelecehan terhadap agamanya sendiri;

Sudah waktunya anda belajar dan bersimpuh mengkaji Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, jika anda berpaling maka kehidupan sempit akan menimpa anda di dunia sebelum akhirat, syaithanpun menjadi penunjuk jalan anda menuju neraka.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". [Thaha:124]

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya”.[Az-Zukhruf:36]

Sudah saatnya anda memenuhi hati anda dengan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya, sehingga tidak ada yang anda cinta kecuali Dia dan mencintai sesuatu yang dapat mendekatkan kepadanya, sebaliknya membenci semua yang dibenci olehNya.

Adalah Abu Bakar pernah mengucapkan dengan suara lantang keluar dari kalbu yang dipenuhi kecintaan kepada Allah dan RasulNya ketika mendengar agamanya dilecehkan.

أَيَنْقُصُ الدِّيْنُ وَ أَنَا حَيٌّ؟!

Apakah agama akan berkurang, sedangkan aku masih hidup?!

Hendaknya mereka menjaga lidah mereka, karena berapa banyak orang jatuh ke dalam neraka selama 70 musim karena sepotong kalimat yang dia ucapkan! Abdullah bin Masud bersumpah dengan nama Allah; “Tidak ada di atas permukaan bumi ini yang harus lama dipenjara kecuali lisan”. [10]

Kedua: Solusi Ektsternal
Yang dimaksud dengan hal ini adalah komponen penting dari kalangan mushlihin (yang menghendaki perbaikan) dalam masyarakat, dan mereka terbagi tiga kelompok.

• Penguasa; Nabi mengatakan: “Bahwa Allah menangkal (kejahatan) dengan sultan (kekuasaan) yang tidak dapat ditangkal oleh Al-Quran”. Dengan menggunakan kekuasaan yang telah diamanahkan Allah kepadanya untuk memberi hukuman yang setimpal bagi pelaku pelecehan, mencekal dan membredel buku atau makalah yang melecehkan Islam dan sebagainya.
• Juru Dakwah dan kalangan intelektual; Dengan menanamkan rasa hormat kepada agama dan pemeluknya, membantah tulisan atau ceramah yang dapat merusak citra Islam serta mentahzir orang-orang yang telah melecehkan agama.
• Masyarakat Muslim; Dengan mengambil tangan pelaku dan menasehatinya atau mengadukan kepada yang berwenang.

Dan ini kelihatan jelas pada masa Rasulullah, apa yang dilakukan oleh Auf bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ketika dia berbalik membalas dengan kata yang cukup pedas sambil mengadukan langsung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maka sudah saatnya para muslihin mengangkat kepala mereka, dan tidak membiarkan keindahan Islam dikotori oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Wallahu a`lam.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Ibnu Jarir  dengan sanad hasan.
[2]. Al Istiqamah, Ibnu Taimiyah
[3]. Al I’tisham, Sathibi.
[4]. Majmu’ Fatawa
[5]. Taisirul ‘Azizil Hamid, Sulaiman bin Abdul Wahab
[6]. HR Ahmad, Tirmidzi dan yang lainnya dengan sanad shahih.
[7]. Jami‘ Ulum Wal Hikam, Ibnu Rajab.
[8]. Ajnibatul Makris Tsalats.
[9]. Musykilatul Ghuluw Fiddin, Dr. Abdurrahman Al Luwaihiq.
10) Hilyatul Auliya‘, Abu Nu‘aim .

Nasikh Dan Mansukh

Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:

Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.

Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]

Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. [2]

Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]

Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.

Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir, [7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]

Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.

Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.

PENUNJUKKAN ADANYA NASKH DALAM SYARI’AT
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.

Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ

Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)... [Al Baqarah:106]

Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]

Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.

Firman Allah Azza wa Jalla.

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ

Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.

Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]

Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’”. [9]

Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148]

Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu 'anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi]

Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”. [11]

MACAM-MACAM NASKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian: [12]

1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.

Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.

Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66]

Abdullah bin Abbas berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ ( إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ حِينَ فُرِضَ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ عَشَرَةٍ فَجَاءَ التَّخْفِيفُ فَقَالَ ( الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضُعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) قَالَ فَلَمَّا خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنَ الْعِدَّةِ نَقَصَ مِنَ الصَّبْرِ بِقَدْرِ مَا خُفِّفَ عَنْهُمْ

Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR. Bukhari]

Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. [13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.

2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]

Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15]

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”. [16]

Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khathab berkata:

لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ لَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ أَلَا وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى وَقَدْ أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ قَالَ سُفْيَانُ كَذَا حَفِظْتُ أَلَا وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ

Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, Muslim]

Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits]

3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:

كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]

Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada empat bagian:

1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]

Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:

ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]

2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:

a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]

b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya:

Firman Allah Azza wa Jalla.

قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ

Katakanlah:"Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]

Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh]

3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]

4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim]

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat: Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj; dinukil dari Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem
[3]. Ushulul Fiqh, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir , dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul Fiqh, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam , karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih
[21]. HR. Bukhari,Muslim

Qishash

Pemahaman terhadap qishâsh selama ini terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat angker, menakutkan dan tidak manusiawi; sehingga timbul apa yang dinamakan “Islam phobia”. Padahal Allah Azza wa Jalla menggambarkan qishâsh dalam firman-Nya:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]

Imam as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: “Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qishâsh apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus padanya. Sehingga hal itu sama seperti jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra (balâghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Azza wa Jalla menjadikan qishâsh yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan kelangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah saling bunuh di antara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan mereka. Allah Azza wa Jalla juga menjelaskan ayat ini untuk ulul albâb (orang yang berakal); karena merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya yang muncul kemudian. Sedangkan orang yang pandir, berfikiran pendek dan gampang emosi; mereka tidak memandang akibat yang akan muncul dan tidak berfikir tentang masa depannya.” [1]

Akibat sikap terburu-buru dan tidak mengerti hakekat syariat yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla, banyak orang bahkan kaum Muslimin yang belum mau menerima atau bersimpati atas penegakan qishâsh ini. Padahal pensyariatan qishâsh adalah kemaslahatan bagi manusia.

Syaikh Prof. DR. Shalih bin Fauzân –hafizhahullâh menyatakan: “Pensyariatan qishâsh berisi rahmat bagi manusia dan penjagaan atas darah mereka, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu. [al-Baqarah/2:179]

Sehingga amat buruk orang yang menyatakan bahwa qishâsh itu sesuatu yang tidak berperikemanusiaan (biadab) dan keras. Mereka tidak melihat kepada kebiadaban pelaku pembunuhan ketika membunuh orang tak berdosa, ketika menebar rasa takut di daerah tersebut dan ketika para wanita menjadi janda, anak-anak menjadi yatim dan hancurnya rumah tangga. Mereka ini hanya kasihan kepada pelaku kejahatan dan tidak kasihan kepada korban yang tak berdosa. Sungguh jelek dan dangkal akal mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? [al-Mâ‘idah/5:50]" [2]

Untuk itu sangat diperlukan penjelasan tentang qishâsh ini agar kaum Muslimin bisa mengerti keindahan dan rahmat yang ada di dalamnya.

DEFINISI QISHÂSH.
Qishâsh berasal dari bahasa Arab dari kata قِصَا صُ yang berarti mencari jejak seperti al-Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga anggota tubuhnya.[3]

Sedangkan Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Fauzân - hafizhahullâh- mendefiniskannya dengan: ‘al-Qishâsh adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi. [4]

Dapat disimpulkan Qishâsh adalah melakukan pembalasan yang sama atau serupa, seperti istilah “hutang nyawa dibayar nyawa”.

DASAR PENSYARIATAN
Qishâsh disyariatkan dalam al-Qur‘ân dan Sunnah serta ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:178-179]

Sedangkan dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل

Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyât dan bisa qishâsh (balas bunuh).[HR al-Jamâ’ah]

Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah dengan lafazh:

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ

Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia mempunyai dua pilihan, bisa memilih memaafkannya atau bisa membunuhnya. [5]

Ayat dan hadits di atas menunjukkan wali (keluarga) korban pembunuhan dengan sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qishâsh) bila menghendakinya, bila tidak, bisa memilih diyât dan pengampunan. Pada asalnya pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menguatkan bahwa tidak boleh memberikan maaf pada qatlu al-ghîlah (pembunuhan dengan memperdaya korban).[7]

Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah ketika menyampaikan kisah al-‘Urayinin menyatakan: ‘Qatlu al-ghîlah menuntut pelakunya harus dibunuh secara had (hukuman), sehingga tidak bisa gugur dengan sebab ampunan dan tidak pandang kesetaraannya (mukâfaah). Inilah pendapat penduduk Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan yang dikuatkan oleh Syaikh (Ibnu Taimiyah - pen) dan beliau rahimahullah berfatwa dengannya.’[8]

HIKMAH PENSYARIATAN QISHÂSH
Allah al-Hakîm menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung. Hikmah-hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi rahasia Allah Azza wa Jalla. Demikian juga dalam qishâsh terdapat banyak hikmah, di antaranya:

1. Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah orang lain. Karena itu Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]

2. Mewujudkan keadilan dan menolong yang terzhalimi dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas pelaku seperti yang dilakukannya kepada korban. Karena itulah Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا

Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]

3. Menjadi sarana taubat dan pensucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qishâsh menjadi kaffârah (penghapus) dosa pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

تُبَا يِعُونِيِّ عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ تَسْرِقُوْا وَلاَ تَزْنُوْاوَلاَ تَقْتُلُوْاأَوْلاَدَكُمْ وَلاَتَأْتُوْابِبُهتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيْكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلاَ تَعْصُوْا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَا قَبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ

Kalian harus berbai'at kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri dan tidak berzina, tidak membunuh anak kalian, tidak melakukan kedustaan dan berbuat durhaka dalam hal yang ma`ruf. Barangsiapa di antara kalian menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah dan siapa yang melanggar
sebagiannya lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu sebagai penghapus baginya dan siapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi; maka urusannya diserahkan kepada Allah. Bila Ia kehendaki maka mengadzabnya dan bila Ia menghendaki maka mengampuninya'. [Muttafaq 'alaihi].

SYARAT KEWAJIBAN QISHÂSH
Secara umum wali (keluarga) korban berhak menuntut qishâsh apabila telah memenuhi syarat berikut:

1. Jinâyat (kejahatan) nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijmâ’ para Ulama sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah : ‘Para Ulama berijmâ` bahwa qishâsh tidak wajib kecuali pada pembunuhan yang disengaja dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam kewajiban qishâsh karena pembunuhan dengan sengaja, apabila terpenuhi syarat-syaratnya.[9]

2. Korban termasuk orang yang dilindungi darahnya (‘Ishmat al-Maqtûl) dan bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah. Hal ini karena qishâsh disyariatkan untuk menjaga dan melindungi jiwa.

3. Pembunuh atau pelaku kejahatan seorang yang mukallaf yaitu berakal dan baligh. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama bahwa tidak ada qishâsh terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab udzur, seperti tidur dan pingsan. [10]

4. At-takâfu‘ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka dan budak. Sehingga tidak diqishâsh seorang Muslim karena membunuh orang kafir; dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَيُقْتَلُ مُسْلِمُ بِكَافِرٍ

Tidaklah dibunuh (qishâsh) seorang Muslim dengan sebab membunuh orang kafir. [11]

5. Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan) dengan ketentuan korban yang dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَيُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ

Orang tua tidak diqishâsh dengan sebab (membunuh) anaknya.[12]

Sedangkan anak bila membunuh orang tuanya tetap terkena keumuman kewajiban qishâsh.

SYARAT PELAKSANAAN QISHÂSH
Apabila terpenuhi syarat-syarat kewajiban qishâsh seluruhnya, maka masih perlu dipenuhi lagi syarat-syarat pelaksanaannya. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qishâsh adalah mukallaf. Apabila yang berhak menuntut qishâsh atau sebagiannya adalah anak kecil atau gila, maka tidak bisa diwakilkan oleh walinya; sebab dalam qishâsh ada tujuan memuaskan dan pembalasan sehingga wajib menunggu pelaksanaannya dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar. Hal ini dilakukan Mu’âwiyah bin Abi Sufyânz yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam qishâsh hingga anak korban menjadi baligh. Hal ini dilakukan di zaman para Sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya sehingga seakan-akan menjadi ijmâ’ di masa beliau. Apabila anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang gila saja yang boleh memberi pengampunan qishaash dengan meminta diyaat, karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya berbeda dengan anak kecil.[13]

2. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qishâsh dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka walaupun seorang memaafkan dari qishâsh maka gugurlah qishâsh tersebut. [14]

3. Dalam pelaksanaannya tidak melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا

Dan Barangsiapa dibunuh secara zhalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]

Apabila qishâsh menyebabkan sikap melampaui batas maka dilarang sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan diqishâsh maka tidak bisa sampai diqishâsh hingga melahirkan anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian pada janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa, Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. [al-An’âm/6:164]

SIAPAKAH YANG BERHAK MELAKUKAN QISHÂSH?
Yang berhak melakukannya adalah yang memiliki hak yaitu para wali korban, dengan syarat mampu melakukan qishâsh dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya dan memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syari’at. [15]

Demikian beberapa hukum seputar qishâsh; mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan akan keindahan dan pentingnya menerapkan qishâsh di masyarakat kita. Wabillâhi taufîq.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Fathul-Qadîr  dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqh
[2]. Al-Mulakhas al-Fiqh
[3]. Asy-Syarhul-Mumti’
[4]. Al-Mulakhas al-Fiqh
[5]. HR at-Tirmidzi
[6]. Lihat Al-Mulakhash al-Fiqh  dan Asy-Syarhul-Mumti’
[7]. Al-Mulakhash al-Fiqh
[8]. Lihat Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’
[9]. al-Mughni
[10]. al-Mughni
[11]. HR al-Bukhâri
[12]. HR Ibnu Mâjah dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwâ’ al-Ghalîl
[13]. Lihat Al-Mulakhash al-Fiqh
[14]. Lihat Asy-Syarhul-Mumti’
[15]. Lihat Asy-Syarhul-Mumti’ dan Al-Mulakhas al-Fiqh.

Hukum Diyat

Pada edisi sebelumnya, telah dibahas tentang Qishâsh sebagai hukuman bagi pelaku jinâyât pada pembunuhan disengaja beserta syarat dan ketentuannya. Ada juga hukuman lain yang berhubungan dengan pelaku jinâyât yang dikenal dengan hukuman diyat. Lalu apakah hukuman diyat itu? berikut penjelasannya.

PENGERTIAN DIYAT
Kata diyat (دِيَةٌ ) secara etimologi berasal dari kata “wadâ – yadî – wadyan wa diyatan”( وَدَى يَدِى وَدْيًا وَدِيَةً). Bila yang digunakan mashdar wadyan (وَدْيًا ) berarti sâla ( سَالَ= mengalir) yang sering dikaitkan dengan lembah, seperti di dalam firman Allah Azza wa Jalla :

إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ ۖ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى

Sesungguhnya Aku inilah rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. [Thâhâ/20: 12].

Akan tetapi, jika yang digunakan adalah mashdar diyatan (دِيَةً), berarti ‘membayar harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab tindak pidana penganiyaan (jinâyat).

Bentuk asli kata diyat ( دِيَةٌ) adalah widyat ( وِدْيَة) yang dibuang huruf wau-nya, seperti kata عِدَةdan صِلَة dari kata لْوَعْدُ dan.الوَصْلُ [1

Sedangkan diyat secara terminologi syariat adalah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku jinâyat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi, disebabkan jinâyat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban. [2]

Definisi ini mencakup diyat pembunuhan dan diyat anggota tubuh yang dicederai, sebab harta ganti rugi ini diberikan kepada korban bila jinâyatnya tidak sampai membunuhnya dan diberikan kepada walinya bila korban terbunuh.

PENSYARIATAN HUKUMAN DIYAT
Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari al-Qur‘ân, Sunnah dan ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. [al-Baqarah/2:178]

Ini berlaku untuk pembunuhan disengaja Juga firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan tidak pantas bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin yang lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[an-Nisâ‘/4:92]

Hal ini berhubungan dengan pembunuhan tidak disengaja dan mirip sengaja.

Sedangkan dari Sunnah di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل

Barangsiapa yang keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga memilih pelakunya dibunuh (qishâsh). [HR al-Jamâ’ah].

Demikian juga kaum Muslimin telah bersepakat tentang pensyariatan diyat pada jinâyat pembunuhan.

KAPAN DITERAPKAN HUKUMAN DIYAT?
Diyat merupakan sebagian dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas:
1. Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh orang Mukmin, secara tidak di sengaja atau mirip sengaja. Namun, apabila ahli waris korban merelakan diyat tersebut, terhukum dan keluarganya tidak wajib membayar diyat tersebut.

2. Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh kafir dzimmi (orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk tidak saling memerangi dengan orang Islam).

3. Orang yang dijatuhi hukuman karena qishâsh (pembunuhan atau pelukaan dengan sengaja),tetapi dimaafkan oleh ahli waris korban.

UKURAN DIYAT PEMBUNUHAN
Diyat sebagai satu hukuman memiliki ukuran tertentu yang telah ditetapkan syari’at, tergantung kepada korban pembunuhan. Hal ini dapat diringkas sebagai berikut:

1. Muslim Laki-Laki Merdeka
Para Ulama sepakat menjadikan diyat Muslim merdeka seratus onta, [3] tidak ada bedanya dalam hal ini antara pembunuhan sengaja, tidak sengaja dan mirip sengaja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلاَ إِنَّ قَتِيلَ الْخَطَاءِ قَتِيْلَ السَّوْطِ وَالْعَصَا فِيْهِ مِائَةٌ مِنْ اْلإِبِل

Ketahuilah, sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100 onta [HR Ibnu Mâjah no 2618 dan dishahîhkan al-Albâni dalam kitab Shahîhul-Jâmi’ no 2638]

Namun diyat ketiga jenis pembunuhan ini berbeda dari sisi ringan dan beratnya diyat. Diyat pembunuhan sengaja diperberat dari tiga sisi dan diyat pembunuhan mirip sengaja diperberat dari satu sisi dan mendapat keringanan dari dua sisi. Sedangkan diyat pembunuhan tidak sengaja mendapat keringanan dari tiga sisi sekaligus. Perinciannya sebagai berikut:

a). Sisi pemberatan hukuman diyat pembunuhan disengaja adalah:
Pertama: Pembayarannya ditanggung sendiri oleh pelaku pembunuhan, tidak dibebankan kepada keluarga besarnya. Ini sudah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah. [4]

Kedua: Diwajibkan kontan dan tidak dibayar tempo karena disamakan dengan qishâsh dan ganti rugi jinâyât. Inilah pendapat yang râjih menurut jumhur Ulama.

Ketiga: Diperberat dari sisi usia onta. Onta yang harus diserahkan yaitu 30 ekor onta hiqqah, 30 onta Jaza’ah, 40 onta hamil yang mengandung janin diperutnya (khalifah) menurut pendapat yang rajah dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُوْلِ فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْهُ وَإِنْ شَاءُا أَخَدُوْا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلاَثُوْنَ حِقَّةً وَثَلاَثُوْنَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُوْنَ خَلِفَةً وَمَا صُوْ لِحُوْا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ

Siapa yang membunuh dengan sengaja maka diserahkan kepada para wali korban, apabila mereka ingin maka mereka membunuhnya dan bila ingin (lainnya) maka mengambil diyat yaitu 30 hiqqah (onta berusia 3 tahun), 30 jaza’ah (onta berusia 4 tahun) dan 40 khalifah (onta yang sedang mangandung janin). Semua yang mereka terima dengan damai maka itu hak mereka. [HR Ibnu Mâjah  dan dihasankan al-Albâni dalam Irwâ’ dan Shahîhul-Jâmi’.]

b). Sisi pemberatan dan keringanan dalam diyat pembunuhan mirip sengaja. Diyat pembunuhan semacam ini diperberat dalam satu sisi saja yaitu usia ontanya sama dengan diyat pembunuhan disengaja. Hal ini didasarkan kepada hadits ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أََلاَ إِنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَنَا بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِا ئَةٌ مِنَالإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْ نِهِا أَوْلاَدُهَا

Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil.[5]

Namun mendapat keringanan dari dua sisi yaitu:
Pertama : Kewajiban ini dibebankan kepada keluarga besar pembunuh (al’-‘Aqilah), sebagaimana ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ

Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang, lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut. [Muttafaq ‘alaihi]

Kedua: Diyat boleh diangsur selama tiga tahun menurut ijmâ’ sebagaimana dikatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah, “Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu dan Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa keduanya menetapkan diyat kepada al-Aqilah (keluarga pembunuh) selama tiga tahun dan tidak ada yang menyelisihi keduanya di zaman mereka sehingga itu menjadi ijmâ’. [6]

c). Sisi keringanan dalam diyat pembunuhan tidak sengaja dari tiga sisi

Pertama: Kewajiban ini dibebankan kepada al-Aqilah menurut ijmâ’ umat ini [7]. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Kami tidak mengetahui adanya khilâf di antara para Ulama bahwa diyat pembunuhan tidak sengaja diambil dari al-‘Aqilah (keluarga).[8]

Kedua: Dibayar dalam tiga tahun sebagaimana diyat pembunuhan mirip sengaja. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: “Tidak ada khilaf di antara mereka bahwa diyatnya tidak kontan (dibayar) tiga tahun”.[9]

Ketiga: Mendapatkan keringan dari sisi usia ontanya menjadi lima jenis, yaitu 20 bintu makhâdh (onta betina berusia setahun), 20 ibnu makhâdh (onta jantan berumur setahun) , 20 onta bintu labûn (onta betina usia dua tahun), 20 onta hiqqah dan 20 onta jaza’ah. [10]

STANDAR PEMBAYARAN DIYAT
Standar pembayaran diyat pembunuhan adalah onta menurut pendapat mayoritas Ulama dan pendapat yang dirâjihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [11] dan Ibnul-Qayyim rahimahullah serta Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân [12], dengan dasar :

- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkannya pada diyat pembunuhan mirip sengaja, seperti dalam hadits ‘Abdullâh bin ‘Amru di atas.

- Riwayat shahîh dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu ketika berbicara di atas mimbar:

أَلاَ إِنَّ اْلإِبِلَ ٌَدْ غَلَتْ قَالَ فَفَرَ ضَهَا عُمَرُعَلَى أَهْلِ الدَّهَبٍ أَلْفَ دِيْنَارٍ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا وَعَلَى أَهْلِ الشَّاءِ أَلْفَيْ شَاةٍ

Ketahuilah bahwa harga onta telah naik (menjadi mahal). Lalu Umar mewajibkan diyat kepada orang yang punya emas sebanyak 1000 dinar, kepada pemilik perak 12000 dirham, pemilik sapi 200 sapi dan pemilik kambing 2000 kambing. [HR Abu Dâwud dan dihasankan al-Albâni dalam kitab al-Irwâ’]

Dalam hal ini nampak Umar Radhiyallahu ‘anhu menaikkan jumlah diyat selain onta disebabkan mahalnya harga onta, sehingga jadilah onta sebagai standar pembayaran diyat, sedangkan yang lain mengikuti nilai onta.

- Seluruh diyat anggota tubuh dibayar dan diukur dengan onta. Syariat selalu menentukan ukuran bagian diyat dengan onta, sehingga menunjukkan onta adalah standar (asal) pembayaran diyat. Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah menyatakan: “Orang-orang dari zaman dulu senantiasa menghukumi bahwa standar dalam diyat adalah onta. Diyat bagi kami sekarang ini dinilai dengan 1000 riyal, seandainya perak dijadikan sebagai standar maka diyat orang bernilai 3360 riyal”. [13]

- Ditambah adanya perbedaan antara diyat pembunuhan sengaja dengan yang tidak sengaja. Hal ini tidak dapat diwujudkan menurut ijmâ’ dengan selain onta. Wallâhu a’lam.

2. Diyat Orang Kafir Ahli Kitab Yang Merdeka
Diyat lelaki ahli kitab yang merdeka baik sebagai seorang Mu’âhad, musta’man atau dzimmi adalah separuh diyat Muslim berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنَّ رَسُوْ لَ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ عَقْلَ أَهْلِ الْكِتَابِ نِصْفُ غَقْلِ الْمُسْلِمِيْنَ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa diyat ahli kitab separuh diyat Muslimin. [HR Ahmad  dan dihasankan al-Albâni dalam kitab al-Irwâ’ ]

3. Diyat Orang Kafir Non Ahli Kitab
Mereka ini seperti majusi, baik ahli dzimmah atau musta’man atau mu’âhad dan orang kafir musyrik namun mu’âhad atau musta’man, maka diyatnya adalah 800 dirham islami sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu :

وَدِيَةُ الْمَجُوسِيِّ ثَمَانُ مِائَةِ دِرْهَمٍ

Diyat al-Majusi 800 dirham. [HR at-Tirmidzi ] Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.[14]

4. Diyat Wanita Muslimah
Diyat wanita Muslimah separuh diyat lelaki Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada ‘Amru bin Hazm yang di antara isinya adalah:

دِيَةُ الْمَرْأَةِ عَلَى النِّصفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ

Diyat wanita itu separuh dari diyat lelaki. [HR al-Baihaqi  dan didhaîfkan al-Albâni dalam Irwâ‘ul-Ghalîl]

Hal ini telah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnul-Mundzir rahimahullah : “Para Ulama berijmâ` bahwa diyat wanita separuh diyat lelaki” [15]

Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini dengan menyatakan: “Karena wanita lebih lemah dibandingkan laki-laki dan laki-laki lebih memiliki potensi darinya, lelaki bisa menduduki sesuatu yang tidak dapat diduduki oleh wanita berupa jabatan keagamaan, perwalian, menjaga perbatasan, jihad, membangun negeri, mengerjakan industri yang menjadi kesempurnaan maslahat dunia dan membela dunia dan agama. Maka nilai diyat keduanya tidak sama dalam diyat, karena diyat diberlakukan sebagaimana nilai harga budak dan selainnya berupa harta benda. Sehingga hikmah pembuat syari’at menuntut adanya penentuan separuh nilai diyat lelaki, karena perbedaan yang ada pada keduanya.[16]

5. Diyat Wanita Ahli Kitab
Diyat wanita ahli kitab dan majusi serta kaum musyrikin adalah separuh dari diyat laki-laki mereka, sebagaimana diyat wanita Muslimah adalah separuh dari laki-laki Muslim.[17]

6.Diyat Budak
Diyat budak, baik lelaki atau perempuan, kecil atau dewasa adalah sesuai harga budak itu sendiri selama harganya tidak mencapai nilai diyat lelaki merdeka. Ini sudah menjadi ijmâ’ di kalangan kaum Muslimin [18] karena budak adalah harta yang bernilai jual sehingga diganti seharga nilai budak tersebut.

7. Diyat Janin
Diyat janin baik laki-laki atau perempuan apabila keguguran atau mati dengan sebab akibat jinâyat atas ibunya baik pada pembunuhan sengaja atau tidak sengaja adalah ghurrah budak. Nilai ghurrah ini adalah 5 ekor onta berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :

اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ

Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang,lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut.[Muttafaq ‘alaihi]

Demikianlah sebagian permasalahan seputar diyat, mudah-mudahan dapat memberikan wacana tentang keindahan dan kesempurnaan Islam, sehingga kita semua dapat menerapkannya dalam kehidupan kita di dunia ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi
[2]. Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi
[3]. Lihat keterangannya pada kitab Al-Mulakhkhash al-Fiqhi
[4]. Lihat Al-Mughni
[5]. HR Abu Dâwud, an-Nasâ‘i  dan Ibnu Mâjah
[6]. Al-Mughni
[7]. lihat Al-Mulakhash al-Fiqhi
[8]. Al-Mughni
[9]. Ibid
[10]. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi
[11]. Lihat kitab Syarhul-Mumti’
[12]. Lihat kitab Al-Mulakhkhash al-Fiqhi
[13]. Syarhul-Mumti’.
[14]. Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
[15]. Ibid
[16]. Lihat I’lâmul-Muwaqqi’în dan Zâdul-Ma’âd. Pernyataan ini dinukil dari Al-Mulakhkhash al-Fiqhi
[17]. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi
[18]. Ibid

Syariat Hukum Potong Tangan

Salah satu kebutuhan pokok yang harus ada dalam setiap tatanan kehidupan manusia, dari kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar adalah adanya peraturan dengan segala konsekuensinya yang dijadikan sebagai pijakan bagi semuanya. Karenanya, di setiap lini kehidupan pasti ada peraturan atau undang-undang yang berlaku, baik tertuang ataupun tidak, tertulis ataupun tidak.

Begitu pula dengan agama ini yang berfungsi sebagai rambu-rambu bagi seluruh manusia, yang telah Allah Azza wa Jalla pilihkan untuk makhluk-Nya. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Mengetahui dan Maha Penyayang kepada para makhluk-Nya. Apa saja yang telah diatur dan dipilihkan-Nya buat manusia, tidak mungkin akan menyengsarakan mereka.

Di antara peraturan yang telah ditegaskan Allah Azza wa Jalla demi kemaslahatan seluruh manusia adalah peraturan tentang hal pencurian, yang berupa sangsi tegas dengan hukuman potong tangan bagi para pelakunya.

Allah Azza wa Jalla menegaskan:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [al-Mâidah/5:38-39]

Dan apa yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan kepada seseorang yang tertangkap basah ketika mencuri. ‘Abdullâh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

أََنَّرَسُوْلَ اللَّهِ صّلى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ قَطَعَ سَا رِقًا فِي مِجَنٍّ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ

Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham [Muttafaqun ‘Alaihi]

Ibnu Mundzir rahimahullah dalam hal ini berkata,”Para Ulama sepakat bahwa hukum potong tangan bagi pencuri dilakukan bila ada dua orang saksi yang adil, beragama Islam dan merdeka.” [1]

‘Abdurrahmân al-Jazirî berkata, “Hukum had atas pencurian telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama. Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan hukumannya dalam ayat-Nya yang mulia. Dia Azza wa Jalla telah memerintahkan potong tangan atas pencuri baik laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka, Muslim atau non Muslim guna melindungi dan menjaga harta. Hukum potong tangan ini telah diberlakukan pada zaman jahiliyah sebelum Islam. Setelah Islam datang, Allah Azza wa Jalla menetapkannya dan menambahnya dengan persyaratan yang telah diketahui.” [2]

KEJAMKAH HUKUM POTONG TANGAN ITU?
Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi manusia, terbelakang dan sangat primitive dalam penerapan hukuman, sudah lama dihembuskan oleh orang-orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan. Yaitu berupa emosi sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah dirugikan dari pencurian ini.

Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia. Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah n menyandingkan keharamannya dengan permasalahan nyawa.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَ الَكُمْ وَأَعْرَا ضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامُ، كَحُرْ مَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَأ

Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri] [3]

Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?

Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah. Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari kezhaliman dan kekerasan orang lain. [4]

SETIMPALKAH HUKUMAN POTONG TANGAN DENGAN BARANG YANG DICURI?
Ibnu Jauzi rahimahullah dan Abdul Wahhâb al-Maliki rahimahullah, mengomentari beratnya hukuman yang diberlakukan dalam had pencurian, bila dibandingkan antara harta yang tidak seberapa dengan hukuman potong tangan yang harganya bisa jadi berlipat-lipat, mereka mengatakan, “Ketika tangan tersebut dapat dijaga maka ia adalah sesuatu yang berharga, namun bila ia berkhianat maka itu akan menjadi murah”.[5]

PERAMPASAN BARANG APAKAH BERLAKU HUKUMAN POTONG TANGAN?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ,”Penerapan hukum potong tangan bagi pencuri senilai tiga dirham dan tidak diterapkannya kepada pelaku pencopetan, perampasan dan pemaksaan merupakan kesempurnaan hikmah syariat. Juga karena seorang pencuri sulit untuk dicegah karena ia masuk rumah orang lain secara sembunyisembunyi, merusak tempat penyimpanan dan kunci. Dan tidak memungkinkan pemilik barang melakukan penyimpanan lebih dari itu. Kalau seandainya potong tangan tidak disyariatkan, maka akan terjadi saling mencuri antar manusia, kerusakan akan membesar, semakin berbahaya. Berbeda dengan pelaku pencopetan dan perampasan, karena dia mengambil secara terangterangan dengan penglihatan manusia, yang memungkinkan mereka dapat mengambilnya kembali dari kedua tangannya dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi atau bersaksi di hadapan hakim.[6]

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim bahwa Qâdhi Iyâd rahimahullah berkata:”Allah Azza wa Jalla menjaga harta dengan mewajibkan potong tangan bagi pencuri, dan tidak memberlakukannya pada selain pencurian seperti penjambretan, pemalakan, atau pemaksaan karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih sedikit/ringan daripada pencurian. Dan juga korbannya dimungkinkan bisa mengambil kembali dengan meminta tolong kepada penguasa serta lebih mudah untuk ditegakkan bukti atasnya dibandingkan dengan kasus pencurian, karena jarang sekali ada bukti. Maka, pencurian itu dianggap merupakan perkara yang besar dan hukumannya lebih berat untuk lebih membuat jera.

DI ANTARA FAEDAH HUKUMAN POTONG TANGAN
  1. Bila hukuman ini dilaksanakan, maka akan menghasilkan empat hal:
  2. Keimanan terhadap Islam, baik dalam akidah, syariah atau manhaj.
  3. Terwujudnya syariat Allah Azza wa Jalla pada seluruh hukumhukumnya, baik secara politik, ekonomi maupun sosial.
  4. Membuktikan faedah yang dihasilkan dari hokum hudûd kepada akal dan kehidupan nyata.
  5. Semangat untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak daripada kebaikan perorangan.[7]

SEBAB DAN SYARAT HUKUM POTONG TANGAN
Yang menjadi sebab dapat dijatuhkan hokum potong tangan kepada seseorang adalah karena pencurian. Sebagaimana di firmankan oleh Allah Azza wa Jalla yang artinya , “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [al-Mâidah/5:38]

Pencurian yang dimaksud di sini adalah pengambilan harta dari pemiliknya, atau wakilnya dengan cara sembunyi sembunyi.

Harta yang dimaksud di atas tidak termasuk harta yang ditiadakan oleh syariat. Walaupun secara bahasa dianggap sebagai harta. Seperti arak, anjing, dll. Sehingga apabila seseorang mencuri anjing maka tidak akan dikenakan hukum potong tangan. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “….dan mereka telah sepakat bahwa seorang Muslim bila ia mencuri khamer dari saudaranya maka ia tidak dipotong (tangannya)…..”[8]

Dari pengertian di atas dapat dipahami pula bahwa kalimat “pemiliknya atau wakilnya” tidak memasukkan pencurian selain harta yang bukan miliknya, seperti harta yang masih menjadi milik orang lain dari hasil merampas , korupsi, dll. Apabila ada orang yang mencurinya maka tidak sampai kepada hukum potong tangan.

Apakah ini berarti diperbolehkan mencuri dari seorang yang zhalim atau orang yang telah melakukan perampasan? Dalam hal ini ada dua keadaan, bila niatnya adalah untuk mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, maka tidak mengapa. Namun bila untuk kepentingan pribadi atau keluarganya sendiri, maka jelas tidak diperbolehkan.[9]

SYARAT DILAKSANAKANNYA HUKUMAN PENCURIAN
Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukan tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa mengabaikan hak si pelakunya.

Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu sendiri, antara lain:

• Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan yang dicuri dan tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.

• Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.

• Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak ada pengaruhnya .

• Tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya adalah tidak dalam kondisi terpaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar, sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Ini adalah syubhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena ia sangat membutuhkannya. Ini adalah (alasan) yang lebih kuat dibandingkan dengan syubhat yang disebutkan oleh banyak para ulama…)[10]

Di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kriteria pencurian hukuman potong tangan, yang berkaitan dengan barang yang dicuri antara lain:

1. Pencurian dilakukan dari tempat /penyimpanan yang terjaga. Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,”Mereka sepakat bahwa potong tangan diberlakukan kepada orang yang mencuri dari tempat penyimpanan.”Yang dimaksud tempat penyimpanan/yang terjaga di sini adalah tempat penunjang yang dapat menjaga harta yang dimaksudkan dengan aman; misalnya rumah yang terkunci, lemari, atau toko yang ditutup dan semisalnya.

Pengarang Ar-Raudhah Nâdiyah (2/277) berkata: “Al-hirzu/tempat simpanan adalah yang dianggap masyarakat sebagai tempat penyimpanan harta tersebut, seperti lumbung untuk menyimpan gabah, kandang untuk menyimpan binatang dan keranjang untuk menyimpan buah-buahan.”

Tempat ini berbeda antara daerah/negara satu dengan yang lainnya; disesuaikan dengan bentuk barang, tempat yang biasa digunakan untuk penyimpanan. Bila pencurian yang dilakukan bukan pada tempat yang terjaga, seperti uang yang ditaruh di depan pintu rumah, maka pelakunya tidak sampai terkena hukuman potong tangan.[11]

2. Harta yang dicuri adalah harta yang terhormat, punya pemiliknya atau wakilnya.

3. Barang yang dicuri mencapai nishâbnya ketika diambil dari tempatnya.
Yang dimaksudkan nishâb di sini adalah adalah nishâb/batasan minimal dalam masalah pencurian,, yaitu tiga dirham atau seperempat dinar atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ‘Aisyahx, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak dipotong tangan (pencuri) terkecuali pada seperempat dinar atau lebih”

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham [HR. Muslim:1687), Tirmidzi (1446)]

Bila dinilai dengan uang rupiah maka bisa dilihat dengan harga emas yang sekarang berlaku. Syaikh Utsaimîn berkata:”Jumlah seperempat dinar yang dimaksudkan pada zaman sekarang, sedikit sekali, yakni dinar sebesar mitsqâl–dinar Islam-, kemudian ia menanyakan orang pemilik emas, berapa ukuran mitsqâl/berat dari emas? Sedikit sekali yakni sekitar dua puluh riyal. (satu riyal sekitar dua ribu sampai tiga ribu rupiah). Lihat Liqâ‘ Maftûh (28/201).

4. Terbuktinya pencurian oleh si pelaku. Baik dengan cara bukti dua orang saksi yang menyatakan bahwa pelakulah yang mengambil atau dengan cara pengakuan dari si pelaku. Dalam masalah saksi tidak diperbolehkan adanya saksi wanita, walaupun bersaksi terhadap dua orang wanita atau lebih dengan seorang laki laki. Karena dalam masalah hukum hudûd , saksi wanita tidak di gunakan.[12]

SIAPAKAH YANG MELAKSANAKAN HUKUMAN INI?
Yang melaksanakannya adalah penguasa/ pemerintah atau orang yang ditugasi untuk menjalankannya.

APAKAH TANGANNYA YANG TELAH TERPOTONG DIGANTUNGKAN?
Imam Syafi‘it dan Ahmadt berpendapat bolehnya dalam hal ini, bila dimaksudkan untuk membuat jera, berdasarkan riwayat dari at-Tirmidzi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika didatangkan kepadanya seorang pencuri yang telah terpotong tangannya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengalungkannya di lehernya.[13]

BAGAIMANA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN POTONG TANGAN?
Dinukil oleh Syaikh Abdul Adzîm Badawi, dari penulis kitab Ar-Raudhatun Nâdiyah: para Ulama sepakat; seorang pencuri pada pencurian yang pertama dipotong tangan sebelah kanannya. Bila ia mencuri kedua kalinya, maka dipotong kaki kirinya. Kemudian mereka berbeda pendapat bila ia mencuri untuk ketiga kalinya; setelah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, mayoritas mereka berpendapat dipotong tangan kirinya. Dan bila ia mencuri lagi setelahnya maka dipotong kaki kanannya. Kemudian bila mencuri lagi, maka ia dihukum ta‘zîr dan dikurung.[14]

TERHINDARNYA PENCURI DARI POTONG TANGAN
Seorang pencuri yang dimaafkan oleh orang yang dicurinya dan belum sampai diangkat perkara/diajukan ke hakim, maka hal ini dapat menghindarkan si pencuri dari hukuman potong tangan.[15]

Akhirnya, apa yang dibutuhkan manusia adalah apa yang telah ditetapkan oleh Dzat yang telah menciptakan mereka. Karena tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum-Nya. Dan dalam melaksanakan konsekuensi ini, seorang seharusnya tidak hanya mengedepankan pikiran pendeknya dan perasaan yang bukan pada tempatnya. Tetapi lebih mengedepankan kepastian hasil yang akan didapat bila benar-benar dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang diatur dalam agama ini. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” [al-Baqarah/2/216]
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Kitab Al-Ijmâ‘, Lihat kitab Al-Wajîz
[2]. Kitab Al-Fiqih ‘Alal Madzâhibil Arba‘ah , Abdurrahmân al-Jazirî
[3]. lihat Majalah Al-Buhûs Al-Islâmiyah
[4]. Lihat Majalah Jâmi‘ah Islâmiah
[5]. Ahmad al-Hasary, Al-Hudûd Wal Asyribah Fil Fiqh Islâmi, Tafsîr Ibnu Katsîr
[6]. I‘lâmul Muwaqqi‘în
[7].Al-Fiqh Islâmi Wa Adillatuhu
[8]. lihat kitab Al-Wajîz
[9]. Al-Jâmi‘li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimînt
[10].Al-Mausû‘atul Fiqhiyyatul Kuwaitiyyah
[11]. Lihat kitab Al-Wajîz
[12] Al-Jâmi‘ Li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Bin Shâlih al-Utsaimîn
[13]. Lihat Asna‘al Mathâlib, Al-Mughni
[14]. lihat kitab Al-Wajîz
[15]. Lihat Al-Wajîz

Adab Dan Akhlak

Religious Comments Pictures

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...