Searching

Memilihkan Kisah Yang Mendidik

Kisah, keterkaiatannya dengan pendidikan anak, memiliki peran yang sangat penting, lantaran kisah juga merupakan salah satu metode pengajaran. Dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengajarkan berbagai kisah dari umat-umat terdahulu. Sehingga secara langsung bisa dipahami, bahwa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap masalah ini, yaitu dengan menyebutkan kisah-kisah yang mendidik dan bermanfaat sebagai metode dalam menyampaikan pengajaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mencontohkan kisah tentang Luqman Al-Hakim yang memberi wasiat kepada anaknya dengan wasiat yang sangat penting dan berharga.[1]

Demikian semestinya yang diterapkan dalam mendidik anak, ialah dengan mendasarkan kepada wahyu, yaitu Al-Kitab dan juga As-Sunnah. Karena dalam dua sumber tersebut terdapat kebaikan, kesempurnaan, dan tepat bagi manusia. Bukankah jika memperhatikan Al-Qur`an dan As-Sunnah, kita mendapatkan keterangan yang jelas kandungan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya?

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

"Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa".[Al-Baqarah/2:2].

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ

"Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu . . ." [An-Nisa/4:164].

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". [Yusuf/12:111].

Inilah di antara metode yang digunakan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam masalah pengajaran, yaitu dengan menuturkan kisah-kisah teladan. Kita dapatkan bahwasanya memberi nasihat dengan menuturkan cerita-cerita yang menarik, akan memberikan pengaruh yang besar pada jiwa anak-anak, apalagi jika sang penuturnya juga mempunyai cara yang menarik dalam menyampaikannya, sehingga mampu mempesona dan memberikan pengaruh mendalam bagi yang mendengarnya. Karena ciri khas kisah-kisah teladan, ia mampu memberikan pengaruh bagi yang membacanya maupun yang mendengarkannya. Oleh karenanya, sepatutnya sebagai pendidik, juga memberikan perhatian ketika menerapkan metode ini.

Terlebih lagi, di tengah masyarakat sejak dahulu telah merebak berbagai kisah ataupun hikayat yang tidak diketahui asal-usulnya. Banyaknya cerita fiktif dan sarat dengan kedustaan yang dijadikan sebagai sandaran dalam memberikan pengajaran kepada manusia umumnya, dan khusus kepada anak-anak. Kisah-kisah fiktif ini telah mempengaruhi pola pikir anak-anak kita. Misalnya menjadikan para penjahat sebagai pahlawan, dan orang-orang yang buruk perangainya menjadi sang pemenang, ataupun orang-orang fasik menjadi idola. Ini merupakan kejahatan terhadap anak-anak kita, dan cepat atau lambat akan menumbuhkan dampak buruk bagi anak didik kita.

MEWASPADAI KISAH-KISAH BURUK
Melihat merebaknya kisah-kisah fiktif dan dusta tersebut, maka layaklah jika kita mewaspadai adanya pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh cerita-cerita tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata kisah-kisah atau hikayat-hikayat tersebut dipenuhi dengan kemungkaran dan kemusyrikan, sehingga kita harus berhati-hati dan bersikap kritis. Misalnya sebagai berikut.

1. Cerita-Cerita Yang Menimbulkan Rasa Takut Dan Cemas.
Misalnya: cerita-cerita horor, hantu, makhluk yang menakutkan dan lain-lain.

Cerita-cerita seperti ini berpengaruh buruk pada diri anak-anak dan memunculkan sifat pengecut, tidak membentuk anak menjadi seorang yang pemberani. Anak akan terpengaruh dengan cerita yang ia dengar walaupun cerita tersebut telah berakhir. Pikiran anak akan selalu sibuk berkhayal adanya makhluk yang selalu mengikutinya, dan ia terus dihantui dengan rasa takut. Kekalutan ini akan mempengaruhi kepribadiannya, dan ia menjadi pribadi yang labil. Padahal kita semestinya membentuk pribadi anak menjadi pemberani dan berkepribadian kuat, bukan menjadi umat yang lemah dan penakut.

2. Cerita-Cerita Rakyat Yang Berisi Kedustaan, Khurafat, Mitos Dan Khayalan.
Sebagai misal : hikayat Malin Kundang, Sangkuriang, kisah kancil dan buaya, dan sebagainya.

Cerita-cerita klasik sejenis ini sangat banyak kita dapatkan di tengah masyarakat. Semuanya menceritakan hal-hal yang sulit diterima akal sehat dan dipenuhi kedustaan, bahkan mengarah kepada keyakinan syirik.

Ini juga akan membentuk pribadi anak sehingga senang untuk mempercayai hal-hal yang dusta, tidak masuk akal, tidak sesuai dengan kondisi riil, bahkan mustahil akan terjadi. Misalnya kisah Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu, Sangkuriang yang hendak mengawini ibunya sendiri atau kancil yang licik, suka menipu. Sungguh tak mustahil, kisah-kisah seperti ini telah memberikan pengaruh buruk pada anak-anak kita.

3. Cerita-Cerita Yang Lebih Menunjukkan Kekuatan Badan Daripada Akal.
Misalnya: kisah Tarzan, Superman, Spiderman dan lainnya.

Semua kisah-kisah seperti ini menceritakan bahwa tidak ada jalan untuk menyelesaikan masalah, kecuali dengan kekuatan dan kekerasan. Maka kisah semacam ini pun akan membentuk jiwa anak-anak menjadi jiwa yang suka bermusuhan, mengutamakan kekuatan badannya dari pada akalnya. Di samping itu, kisah-kisah ini telah menanamkan khayali pada anak. Lantaran apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama tersebut sangat tidak mungkin mewujud dalam kenyataan.

4. Cerita-Cerita Yang Mengunggulkan Kekuatan Jahat Dan Mengagungkannya.
Contohnya: orang zhalim berhasil mengalahkan orang-orang yang baik, penjahat berhasil memperdayai polisi.

Kisah semacam ini dituturkan kepada anak-anak dengan alasan untuk menjelaskan tentang perilaku-perilaku jahat, akan tetapi alasan ini melupakan tabiat anak-anak yang suka meniru apa yang ia lihat atau ia dengar. Yang pada akhirnya, kita banyak mendengar kejadian-kejadian mengerikan yang dilakukan oleh anak-anak, karena mencontoh yang mereka lihat atau yang mereka dengar.

5. Kisah-kisah yang berisi hinaan, celaan atau merendahkan orang lain, juga gangguan kepada orang yang lebih tua dengan berbagai perbuatan usil, bahkan hinaan kepada orang yang mempunyai cacat pada tubuhnya, seperti buta, dengan membuatnya jatuh di lobang atau semisalnya, tanpa memikirkan pengaruh buruk pada anak yang melihatnya.

Contoh paling nyata cerita-cerita seperti ini, yaitu film kartun Tom and Jery. Film ini sangat terkenal di kalangan anak-anak, bahkan orang dewasa. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi pendidikan, film ini sangat merusak. Karena memberikan gambaran perilaku yang buruk pada anak-anak, ketidak sopan-santunan, usil dan nakal. Pada gilirannya, tak mustahil perilaku dalam film ini akan ditiru dan dipraktekkan kepada orang-orang di sekitarnya, dan sebagai sebab munculnya perasaan lebih unggul di bandingkan yang lainnya.

Demikian juga film ini mengisyaratkan adanya perbuatan yang bersifat merendahkan bangsa lainnya, seperti bangsa kulit hitam. Sehingga dapat menimbulkan perasaan dengki, dendam dan juga perselisihan yang berkepanjangan. Demikian gambaran kisah-kisah yang ditampilkan di hadapan anak-anak kita, yang maksud dan tujuannya untuk mendidik, akan tetapi justru sebaliknya, yaitu tidak mendidik, bahkan merusak dan menimbulkan dampak negatif pada perkembangan kejiwaan anak-anak. [2]

HADIRKAN KISAH-KISAH TELADAN
Setelah mengetahui kandungan dan kemungkinan munculnya dampat negatif dari kisah-kisah fiktif tersebut, maka menjadi kewajiban kita untuk mengarahkan anak-anak agar menjauhi kisah-kisah fiktif dan penuh kedustaan tersebut. Kemudian mereka didekatkan dengan kisah-kisah teladan penuh hikmah. Misalnya kisah tentang para nabi Allah. Kisah-kisah teladan inilah yang semestinya mewarnai kehidupan anak-anak kita.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka". [Al-An'am/6:90].

Seperti halnya kisah Nabi Yunus Alaihissalam ketika berada di dalam perut ikan paus, Nabi Sulaiman Alaihissalam dengan burung Hud-Hud, juga kisah Nabi Yusuf Alaihissalam dengan saudara-saudaranya. Demikian pula kisah Nabi Musa Alaihissalam dengan Khidir, dan kisah-kisah lainnya.

Begitu juga anak harus didekatkan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sirah beliau ini, kita dapat memetik banyak pelajaran, sejak beliau masih di dalam kandungan, kemudian bapak beliau meninggal, sehingga beliau lahir dalam keadaan yatim, dan seterusnya. Banyak pula peristiwa-peristiwa besar yang beliau lewati, sehingga membawa perubahan besar bagi umat manusia. Begitu juga dengan kisah-kisah yang beliau tuturkan dalam hadits-hadist yang shahih. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah" [Al-Ahzab/33:21].

Demikian juga kita bisa menuturkan kepada anak-anak dengan kisah-kisah para sahabat Nabi, sebagaimana yang dipaparkan oleh seorang penyair:

Jika kalian tidak bisa menjadi seperti mereka, (maka) contohlah mereka!
Karena sesungguhnya, meneladani orang-orang mulia, merupakan keutamaan.

Sebagai contoh, kisah yang disebutkan dalam sirah 'Umar bin 'Abdil-'Azis (Juz 1, hlm 23). Yaitu kisah Amirul-Mukminin 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau melarang mencampur susu dengan air.

Awal kisah, pada suatu malam Khalifah 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak, bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan berkata: "Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah 'Umar melarangnya?"

Mendengar jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: "Umar tidak akan mengetahui."

Mendengar ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: "Kalaupun 'Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya."

Kata-kata anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati 'Umar. Sehingga pada pagi harinya, anaknya yang bernama 'Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya, dan beliau berkata: "Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut," maka menikahlah 'Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan, yang darinya kelak akan lahir Khalifah 'Umar bin 'Abdil 'Azis.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut ialah sebagai berikut.
- Kesungguhan salaf dalam mendidik anak-anak mereka.
- Selalu menanamkan sifat muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain.
- Tidak meresa segan untuk memberikan nasihat kepada orang tua.
- Memilihkan suami yang shalih atau istri yang shalihah bagi anak-anaknya.

Penggalan kisah ini hanya sekedar contoh, bagaimana cara kita mengambil pelajaran berharga dari sebuah kisah, kemudian menanamkannya pada anak-anak kita, dan masih banyak contoh lainnya, baik di dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits yang bisa digali dan jadikan sebagai kisah-kisah yang layak dituturkan kepada anak-anak kita.

PELAJARAN DAN KEUTAMAAN KISAH-KISAH TELADAN

Kisah-kisah teladan mempunyai keistimewaan yang sangat berbeda dengan kisah-kisah fiktif maupun mitos, yaitu dari sisi kebenarannya, dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Di dalamnya juga terkandung tujuan-tujuan mulia.

1. Kisah mampu memberikan peran yang penting dalam menarik perhatian, mengembangkan pikiran dan akal anak. Karena dengan mendengarkannya, dapat mendatangkan kesenangan dan kegembiraan.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbiasa membawakan kisah di hadapan para sahabat, baik yang muda maupun yang tua. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap kisah yang dituturkan beliau, berupa berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau, agar bisa mengambil pelajaran darinya, baik oleh orang-orang sekarang maupun sesudahnya hingga hari Kiamat

2. Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan kepercayaan anak-anak terhadap sejarah tokoh yang menjadi tauladan mereka. Sehingga akan menambah semangat untuk maju, serta membangkitkan semangat ke-islaman mereka agar lebih mendalam dan menggelora.

3. Kisah-kisah para ulama yang mengamalkan ilmunya, demikian juga kisah-kisah orang-orang shalih merupakan sarana terbaik untuk menanamkan berbagai sifat utama pada diri anak-anak, serta mendorongnya untuk siap mengemban berbagai kesulitan untuk meraih tujuan mulia dan luhur.

4. Kisah-kisah teladan juga akan membangkitkan anak-anak untuk mengambil teladan dari orang-orang yang mempunyai tekad kuat dan mau berkorban, sehingga ia akan terus naik menuju derajat yang tinggi dan terhormat.

5. Tujuan utama menuturkan kisah-kisah teladan tersebut, yaitu untuk mendidik dan membersihkan jiwa, bukan hanya sekedar untuk bersenang-senang atau menikmati kisah-kisah itu saja.

Oleh karena itulah, cerita juga memiliki peran sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut. Sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga banyak memaparkan kisah orang-orang terdahulu kepada para sahabatnya, untuk kemudian diambil pelajaran dan peringatan darinya. Kebiasaan beliau n dalam berkisah, beliau mendahului dengan uangkapan “telah terjadi pada orang-orang sebelum kalian", kemudian beliau n menuturkan kisah tersebut, dan para sahabat mendengarkannya dengan seksama sampai selesai. Dalam hal ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerapkan metode Ilahi, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla.

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

"Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir". [Al-A’raaf/7:176].

Para sahabat pun mengambil pelajaran pada setiap kisah yang dituturkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mendapatkan manfaat dari sisi pendidikan dan akhlak, sebagai bekal yang berguna bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.

Demikianlah semestinya seorang anak dibiasakan hidup dalam nuansa kisah-kisah yang pernah dibawakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sirah Nabi dan juga kisah-kisah dalam Al-Qur`an, agar ia terbiasa hidup dalam nuasa iman dan suri teladan yang utama, sehingga keimanannya semakin hari semakin kokoh. Wallahu a’lam.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Kaifa Nurabbi Auladana wa Mâ Huwa Wajib Al-Aba-i Wal-Abna’.
[2]. Lihat kitab At-Tarbiyyah bil-Qishashi, dengan beberapa perubahan.
[3]. Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah li-Thifli.

Memperlakukan Anak Dengan Lemah Lembut Tanpa Kekerasan

Sebuah tragedi memilukan dan susah untuk dipahami. Seorang anak kecil tewas terbunuh oleh orang tuanya sendiri, lantaran orang tua gregetan atas tangisan sang anak yang tidak segera berhenti. Sang ayah pun “memperlihatkan” kekuatannya, sehingga darah dagingnya tersebut menghembuskan nafas terakhir, di tangan orang tuanya sendiri.

Kisah memilukan semacam ini bukan imajinatif, tetapi pernah terjadi. Sebuah tindak kekerasan orang tua di lingkungan keluarga. Yang semua terjadi karena sikap emosi dan ketidak sabaran. Padahal, tubuh mungil itu seharusnya mendapatkan belaian kasih sayang. Karena kewajiban bagi orang tua untuk memberikan bimbingan bagi anak, sebagai implementasi amanah yang dibebankan kepada orang tua. Meski saat menghadapi sang anak, tak mustahil orang tua merasa kewalahan karena perilaku yang tidak menyenangkan dari si anak. Begitulah, anak yang merupakan amanah, tetapi juga bisa menjadi sumber cobaan.

ANAK MERUPAKAN AMANAH, SEKALIGUS SUMBER COBAAN
Sebagai konsekuensi dari amanah, orang tua dituntut untuk memberikan perhatian, mencurahkannya kepada sang buah hati dengan penuh kesungguhan. Baik yang berbentuk material maupun psikis. Orang tua harus mempunyai kewajiban memberi bimbingan demi kebaikan dan keselamatan anak. Secara implisit, di dalam al Qur`an surat Tahrim ayat 6, Allah telah mengingatkan pentingnya hal ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…" [at Tahrim : 6].

Setelah mengetengahkan ayat di atas, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan: “Ibu, ayah, guru dan masyarakat bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala kelak tentang pendidikan generasi penerus mereka. Jika mereka telah melaksanakan yang terbaik, niscaya sang anak dan mereka akan bahagia di dunia dan akhirat. Tetapi apabila melalaikan pembinaannya, niscaya akan celaka, dan dosa akan berada di pundak-pundak mereka”.[1]

Anak, selain berfungsi sebagai penyejuk mata orang tuanya, juga bisa berperan menjadi fitnah yang bisa menggoda, bahkan berpotensi menjerusmuskan orang tuanya menuju jurang kenistaan. Cobaan ini bisa terjadi, lantaran fitrah orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya, sehingga terkadang apapun yang menjadi tuntutan kebutuhan sang anak, selalu berusaha dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan tanpa reserve ini bisa menjadi salah satu sumber fitnah ini, tak mustahil membebani kemampuan orang tua, sehingga tatkala tak terpenuhi, ia bisa menimbulkan intrik (masalah).

Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam al Qur`an memperingatkan :

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadapnya …" [at Taghabun : 14].

Syaikh as Sa'di menyatakan: "Ini merupakan peringatan Allah bagi kaum Mukminin agar tidak terjerumus oleh tipuan istri dan anak-anaknya. Sebab, sebagian mereka bisa berperan sebagai musuh. Dan musuh adalah sosok yang menginginkan kejelekan bagimu. Maka tugasmu adalah, mewaspadai anggota rumah tangga dari sifat tersebut. Sementara tabiat jiwa manusia berkecenderungan mencintai istri dan anak-anak…”[2]

KASIH-SAYANG MERUPAKAN PRINSIP ISLAM[3]
Sifat rahmat dalam agama kita cakupannya meliputi dunia dan akhirat, manusia, hewan, bangsa burung dan lingkungan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan rahmatku meliputi sagala sesuatu." [al A’raf : 156].

Dalam ayat di atas, Allah menyifati diriNya dengan sifat rahmat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". [al Anbiya’ : 107].

Kata al ‘alamin dalam ayat di atas bersifat umum, menyangkut manusia, jin, hewan, burung, binatang-binatang penghuni daratan maupun lautan. Allah l memerintahkan (kaum Muslimin) bersikap kasih-sayang dalam segala hal dan tindakan. Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang padanya mesti lebih besar, dan kelembutan kepadanya lebih dituntut lagi. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang menghardik anak yatim dan berbuat jahat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau bertindak sewenang-wenang". [adh Dhuha:9].

Siapapun menyukai kelembutan dan sikap simpatik. Hal ini sudah menjadi tabiat manusia, mereka lebih menyenangi sosok-sosok yang penampilannya sejuk tidak angker. Cerminan implemenatsi kasih-sayang ini telah dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mencela orang yang tidak mempunyai rasa kasih-sayang pada anak-anaknya.

Imam al Bukhari menuliskan sebuah judul, bab rahmatu al waladi wa taqbilihi wa mu’anaqatihi, (bab kasih-sayang pada anak, menciumi dan memeluknya). Dalam bab ini, Imam al Bukhari membawakan sebuah hadits yang menceritakan, bahwa suatu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kedatangan seorang sahabat yang bernama Aqra’ bin Habis. Ia melihat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mencium al Hasan (cucunya). Maka ia berkomentar: “Aku mempunyai sepuluh orang anak, (namun) aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka,” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

"Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi".[4]

BUKAN KEKERASAN, TETAPI LEMAH-LEMBUT
Di tengah keluarga, anak-anak juga mempunyai hak layaknya anggota keluarga lainnya. Terutama hak untuk meraih hangatnya kasih-sayang dari orang tua atau pun penghuni rumah yang lain. Anak-anak meruapakan bagian dari keluarga yang mendapatkan perhatian dan kasih-sayang penuh, supaya pertumbuhan jasmani dan psikisnya baik.

Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang, sikap lemah-lembut kepadanya, semestinya lebih besar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencurahkan perhatian ekstra terhadap anak-anak, wanita dan orang tua renta, atau orang yang belum tahu (jahil).

Sebagai contoh, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mencaci-maki orang badui yang kencing di masjid, juga tidak memukulnya. Sebab orang tersebut belum mengetahui hukum dan kondisi. Oleh karena itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersikap kasar kepadanya, justru melarang sebagian sahabat yang berniat untuk menghentikan polahnya yang tidak terpuji di masjid.[5]

Demikian juga, saat mengomentari kesalahan sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami yang mendoakan orang yang bersin di tengah shalat. Usai shalat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menasihati : “Ini adalah shalat, tidak pantas di dalamnya diucapkan omongan-omongan dengan orang. (Yang dikerjakan) hanya mengucapkan tasbih, takbir dan membaca al Qur`an”.

Begitu melihat lembutnya teguran Nabi, maka ia pun berkata : “Aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Aku tidak pernah melihat pendidik sebelum dan sesudah itu yang lebih baik cara mendidiknya dibandingkan beliau. Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, (juga) tidak mencaci makiku”.[6]

Itulah karakter yang mendominasi pribadi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menjadi uswah (teladan) bagi seorang guru, pendidik ataupun orang tua. Sifat kelembutan dan kasih-sayang menjadi simbol, apalagi kepada anak-anak.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan mengingat Allah dengan banyak". [al Ahzab : 21].

Apabila rasa cinta, kasih sayang orang tua (dan pendidik) kurang tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang berperi laku aneh di tengah komunitasnya, yaitu kawan-kawannya. Misalnya tidak pandai berinteraksi dengan orang luar, kurang memiliki kepercayaan diri, kurang memiliki kepekaan social, tidak mampu menumbuhkan semangat gotong-royong ataupun pengorbanan. Kelak, kadang-kadang ia tidak bisa menjadi seorang ayah yang penyayang, atau pasangan yang baik interaksinya, juga tidak bisa berperan sebagai tetangga yang enggan mengganggu tetangganya, dan efek negatif lainnya. Sebab itu, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih kepada anak-anaknya.[7]

KEZHALIMAN AKAN MENDAPAT BALASAN

Islam memberlakukan juga cara mendidik anak dengan sanksi (iqab). Namun bentuk-bentuk sanksi itu merupakan pilihan terakhir, dan harus sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan Islam. Orang tua (setiap muslim) tidak boleh bertindak aniaya kepada siapa saja, apalagi menjadikan anak-anak sebagai obyek pelampiasan kemarahan, kompensasi dari stress ataupun kejengkelan yang sedang menyelimuti kepala orang tua. Menghukum orang dewasa yang tidak bersalah saja dilarang keras oleh Islam, apalagi menghukum anak-anak yang masih kecil yang tidak berdosa dan tidak berbuat salah.

Tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum orang tua, ibu atau ayah, baik yang bersifat fisik, emosi ataupun psikis, tetap saja termasuk dalam kategori kezhaliman, yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak di Akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Maka, demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua". [al Hijr : 92].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan di dalam hadits hasan riwayat an Nasa-i : “Sesungguhnya Allah akan menanyakan setiap penggembala (setiap orang yang diamanahi dengan tanggung jawab) tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya, apakah ia memeliharanya atau menyia-nyiakannya?”

Abu Mas'ud al Badri Radhiyallahu 'anhu pernah mengisahkan:

كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ فَلَمْ أَفْهَمْ الصَّوْتَ مِنْ الْغَضَبِ قَالَ فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ قَالَ فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي فَقَالَ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ أَنَّ اللَّهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ قَالَ فَقُلْتُ لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا. و في رواية : فَسَقَطَ مِنْ يَدِي السَّوْطُ مِنْ هَيْبَتِهِ

"Aku pernah memukul budak lelakiku. Kemudian aku mendengar suara dari belakang yang berbunyi : "Ketahuilah, wahai Abu Mas'ud," aku tidak memahami suara itu karena larut dalam emosi. Tatkala orang itu mendekat, ternyata adalah Rasulullah. Beliau berkata : "Ketahuilah, wahai Abu Mas'ud. Sesungguhnya Allah lebih kuasa menghukummu daripada dirimu terhadap budak lelaki itu”. Ia kemudian berkata : "Setelah itu, aku tidak pernah memukul seorang budak pun". Dalam riwayat lain : "Cambukku terjatuh dari tanganku karena kewibawaan beliau".[8]

EFEK NEGATIF KEKERASAN PADA ANAK DALAM RUMAH TANGGA
Orang tua yang sukses dalam mendidik anak harus menjauhi cara-cara hukuman fisik. Impian setiap pasangan adalah, anak-anak mereka tumbuh dan berkembang secara optimal, agar kelak menjadi manusia yang memiliki kepribadian matang.

Kekerasan, disamping merupakan tindakan itu sia-sia, hal itu juga berbahaya bagi pelaku dan obyeknya. Metode mendidik dengan tindakan fisik, seperti menampar, mencubit atau memukul tidak efektif memberikan penyadaran. Justru yang sangat mungkin akan menimbulkan luka batin, trauma, serta mengganggu pertumbuhan kepribadian anak. Dia akan menjadi pendiam dengan menyimpan kebencian karena karakternya sudah hancur oleh penghinaan dan ejekan [9]. Atau sebaliknya, sang anak menjadi hiperaktif atau dia justru mengalami depresi. Sangat mungkin pula terjadi, anak menjadi dendam saat beranjak dewasa nanti atas perlakuan orang tuanya yang menyakitkan.

Bahkan kemungkinan juga terjadi cacat fisik atau kematian. Pada saat itulah akan muncul penyesalan, namun nasi sudah menjadi bubur.

Layak untuk direnungkan perkataan Ibnu Khaldun : “Barangsiapa yang pola asuhannya dengan kekerasan dan otoriter, baik (ia) pelajar atau budak ataupun pelayan, (maka) kekerasaan itu akan mendominasi jiwanya. Jiwanya akan merasa sempit dalam menghadapinya. Ketekunannya akan sirna, dan menyeretnya menuju kemalasan, dusta dan tindakan keji. Yakni menampilkan diri dengan gambar yang berbeda dengan hatinya, lantaran takut ayunan tangan yang akan mengasarinya”.[10]

Oleh karenanya, untuk menjadi perhatian kita, bahwa :
1. Berinteraksi dengan anak kecil harus dilandasi dengan sifat kasih sayang dan cinta. Kekerasan hanya akan menimbulkan efek yang negatif bagi anak.
2. Islam melindungi hak-hak anak-anak.
3. Setiap apa yang kita lakukan, termasuk kezhaliman, maka perbuatan seperti ini akan mendapat balasan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Kaifa Nurabbi Auladana.
[2]. Taisiru al Karimi ar Rahman.
[3]. Pembicaraan tentang rahmat disarikan dari tulisan ar Rahimuna Yarhamuhu ar Rahman, Syaikh Dr. Muhamammad bin Musa bin Nashr secara ringkas, Ithafu al Khiayarari al Maharati fi Ma’rifati Wasaili at Tarbiyah al Muatstsirah.
[4]. Shahih al Bukhari, kitab al Adab,. bab Rahmatu al Waladi wa Taqbilihi wa Mu’anaqatihi; Muslim, kitab al Fadhail.
[5]. HR Muslim.
[6]. HR Muslim.
[7]. Lihat Ushul at Tarbiyah al Islamiyyah, karya Abdur Rahman an Nahlawi..
[8]. HR Muslim.
[9]. Kaifa Nurabbi Waladaka.
[10]. Al Muqaddimah, Lihat pula Kaifa Nurabbi Waladaka, karya Laila bintu Abdir Rahman al Juraiba.

Perlukah Hukuman Fisik Bagi Anak ?


HUKUMAN DAN IMBALAN SEBAGAI METODE PENDIDIKAN
Permasalahan ini amat penting untuk diperhatikan, mengingat kondisi anak didik yang tidak sama. Semestinya para orang tua dan pendidik memperhatikan betul metode yang tepat bagi anak didiknya. Perbedaan tingkat intelegensi, persepsi, usia serta tingkat emosi anak menuntut perlakuan yang berbeda pula. Manakala si anak berbuat kesalahan, penyimpangan, ataupun gagal mengerjakan tugasnya, tidak berarti saat itu juga si anak harus dihukum dengan hukuman berat. Tidak selamanya hukuman itu baik bagi anak. Tidak berarti pula kita membiarkan anak larut dalam kesalahan tanpa ada upaya pengarahan. Ada tipe anak yang sudah sadar akan kesalahannya hanya dengan pandangan tajam dari orang tua ataupun gurunya. Ada pula tipe anak yang mudah diarahkan dengan nasehat bijak. Dan ada pula tipe anak yang memang tidak bisa diluruskan kecuali dengan hukuman.

Namun pada asalnya, Rasulullah menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu mengedepankan sikap lemah lembut, terlebih pada anak- anak.

Dalam satu haditsnya Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الرِفْقَ لاَ يَكُوْنُ في شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ وَ مَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إلا شَانَهُ

“Sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah kelemahlembutan tercabut dari sesuatu kecuali akan menodainya” [1]

Juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain.

مَنْ يُحْرَمُ الرِفْقَ يُحْرَمُ الخَيْرُ

“Barangsiapa yang diharamkan kelemahlembutan baginya, berarti ia telah diharamkan dari kebaikan” [2]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

إنَهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنْ خَيْرِ الدُنْيَا وَ الآخِرَةِ

“Barangsiapa dianugerahi watak lemah lembut, sungguh berarti ia telah dianugerahi kebaikan dunia dan akhirat” [3]

Dan masih ada beberapa riwayat lain yang menegaskan keutamaan sikap lemah lembut.

Dalam satu riwayat Muslim, A’isyah Radhiyallahu 'anha menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memukul seorang pun, baik wanita maupun pelayan, kecuali ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berjihad di jalan Allah.

Pendidik yang bijak tentu tidak bersandar kepada hukuman semata dalam upaya meluruskan kesalahan anak. Akan tetapi hendaklah ia menempuh metode-metode sugestif semacam pemberian hadiah ataupun nasehat yang mampu memotivasi anak dalam kebaikan. Karena pada asalnya, anak-anak lebih menyukai imbalan/hadiah ketimbang hukuman. Hadiah ataupun wejangan lebih memberikan pengaruh positif pada jiwa anak. Sehingga dia lebih terdorong untuk melakukan kebajikan. Berbeda dengan hukuman yang biasanya memberikan efek negatif pada perkembangan mental dan emosi anak, Apalagi jika hukuman terlalu sering diberikan. Si anak bisa saja menjadi kebal hukuman serta tidak takut untuk melakukan kesalahan ataupun penyimpangan.

Syaikh Jamil Zainu memaparkan beberapa cara guna memotifasi anak, diantaranya adalah:

1. Pujian Yang Indah Serta Do’a Yang Baik
Misalnya dengan mengucapkan kepada anak ahsanta (bagus kamu), baarakallahu fiik (semoga Allah memberkahimu), waffaqakallahu (semoga Allah memberikan taufik kepadamu) ataupun pujian serta doa lain. Seorang pendidik yang baik, tentunya tidak segan-segan memuji anak didiknya sewaktu anak melakukan kebaikan dan berhasil menunaikan tugas dan kewajibannya dengan baik. Adapun kepada anak yang malas ataupun jelek akhlaknya, sang pendidik sebaiknya mendo’akannya dengan do’a yang baik, misalnya ucapan ashlahakallahu wa hadaaka (semoga Allah memperbaikimu dan menunjukimu). Ucapan-ucapan lembut seperti di atas akan mendorong semangat anak, sekaligus memberikan kesan yang baik pada jiwanya, sehingga ia akan lebih mencintai pendidiknya. Di sisi lain, teman-temannya juga akan termotivasi untuk meniru perbuatan baiknya agar mendapatkan pujian serta do’a yang sama dari gurunya.

2. Imbalan Materi
Watak dasar seorang anak adalah senang bila mendapat hadiah atau imbalan materi. Ini merupakan sisi yang bisa dimanfaatkan pendidik untuk memotivasinya, sejalan dengan kecenderungan manusiawinya yang suka apabila upaya dan jerih payahnya dihargai. Imbalan materi tersebut tidaklah harus berupa barang mahal. Hadiah sederhana sudah cukup membuat semangat anak tergugah untuk melakukan perbuatan baik sesuai dengan harapan pendidiknya.

3. Wasiat Kepada Keluarga Murid.
Metode ini bisa dilakukan oleh guru kepada orang tua anak didiknya, baik dengan bahasa lisan ataupun tulisan. Hal ini akan mendorong keluarga anak untuk semakin memperhatikannya dan memperlakukannya dengan baik. Bersamaan dengan itu, si anak juga akan semakin terpacu untuk maju dan bertingkah laku baik.

4. Pendekatan Persuasif
Sebagian orang tua atau pendidik, mungkin pernah menjumpai anak yang sulit memahami pelajaran. Pada kondisi demikian tidak selayaknya pendidik tergesa mengecap dan mengklaim si anak sebagai anak bodoh ataupun malas. Metode yang tepat adalah dengan melakukan pendekatan kepada si anak. Bertanya dengan lemah lembut tentang permasalahannya, dengan harapan agar anak mau berbagi kepada sang guru, serta berani mengungkapkan problematika yang dihadapinya. Dengan demikian sang guru bisa memahami latar belakang serta sebab-sebab yang menghambat pemahaman anak terhadap materi pelajaran, sekaligus membantu memberikan solusi agar anak kembali bersemangat. Adalah satu hal yang sangat bijak jika sang pendidik memberikan kesempatan pada setiap anak didiknya untuk memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan yang mungkin belum sepenuhnya ia fahami. Betapa banyak anak didik yang bersemangat hingga berhasil karena mendapat wejangan gurunya, padahal sebelumnya mereka merasa pesimis karena berbagai faktor yang membebaninya.

HUKUMAN, ANTARA MANFAAT DAN BAHAYANYA.
Dalam syari’at islam, hukuman atau ‘uqubah dikonotasikan sebagai penegakan ketentuan-ketentuan Allah (hudud), karena di dalamnya terdapat sanksi tegas dan keras serta efektif dalam mencegah terjadinya beragam kemaksiatan. Sejalan dengan kesempurnaan hikmahNya. Berkaca pada ajaran islam, sewajibnya bagi setiap pendidik untuk selalu mengingat tujuan dari adanya hukuman, yakni meluruskan kesalahan agar sang anak kembali dan bertaubat dari perbuatan salahnya. Karena hukuman, terlebih lagi hukuman fisik, merupakan langkah terakhir yang ditempuh dalam memperbaiki satu kesalahan. Hukuman ini diberikan ketika nasehat ataupun ancaman sudah tidak mempan lagi bagi anak. Sedapat mungkin seorang pendidik menghindari bentuk hukuman fisik pada anak didiknya, mengingat bahaya yang mungkin ditimbulkan, antara lain:

1. Timbulnya cacat fisik pada anak didik yang dipukul.
2. Membekasnya hukuman tersebut pada jiwa anak, hingga mempengaruhi kondisi psikis dan emosinya. Mungkin saja ia akan meniru hal serupa dari gurunya dan melampiaskannya kepada temannya.
3. Hilangnya sikap saling menghargai antara guru dan anak didik. Bahkan mungkin menimbulkan kebencian diantara keduanya.
4. Terhambatnya pemahaman anak terhadap pelajaran.
5. Serta bahaya-bahaya lain yang tentunya merugikan semuanya, baik pendidik, murid juga keluarga keduanya.

HUKUMAN YANG TERLARANG
1. Memukul muka
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

إذَا قَتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ

"Jika salah seorang diantara kalian berkelahi maka hindarilah memukul wajah" [4]

Dan juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain.

إَذَ ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ الوَجْهَ

"Apabila salah seorang diantara kalian memukul pelayannya, maka janganlah memukul wajahnya" [5]

2. Kekerasan Yang Berlebihan
Seorang pendidik hendaknya berhati-hati ketika menghukum anak agar ia tidak menyesal dikemudian hari karena tindakan kasarnya terhadap murid. Kekerasan bukanlah satu simbol kekuatan ataupun kehebatan seseorang. Simaklah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut.

لَيْسَ الشَدِيْدُ بالِصُرْعَةِ، إنَّمَا الشَدِيْدُ الَذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ

"Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang menang dalam bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah”[6]

Guru yang terlalu keras akan dijuluki oleh murid-muridnya sebagai guru galak atau guru zhalim. Cukuplah hal ini sebagai aib bagi pendidik.

3. Marah Besar
Biasanya hal ini terlahir dari pendidik yang kurang bisa mengontrol emosinya. Seharusnya pendidik dan orang tua mampu mengesampingkan ego manusiawinya serta tidak mengedepankan amarah ketika kata-katanya tidak dipatuhi anak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan satu do’a ketika kita marah.

إذَا غَضَبَ أحَدُكُمْ فَقَالَ: أعُوْذُ بِالله، سَكَنَ غَضَبُهُ

"Jika salah seorang diantara kalian marah, kemudian ia mengucapkan: Aku berllindung kepada Allah, niscaya kemarahannya akan reda"[7]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

وَ إذَا غَضَبَ أحَدُكُمْ وَ هُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الغَضَبُ وَ إِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ

"Dan apabila salah seorang kalian marah sedangkan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk, niscaya kemarahannya akan lenyap. Jika tidak lenyap maka hendaklah ia berbaring" [8]

4. Memukul Ketika Marah
Abu Mas’ud bercerita,” Pernah ketika aku memukul budak saya dengan cemeti, aku mendengar suara dari belakang yang berkata,”Ketahuilah wahai Abu Mas’ud”, namun aku tidak mengenali suara tersebut karena sedang marah”. Kemudian Abu Mas’ud melanjutkan perkataanya,” Ketika orang tersebut mendekat tenyata Rasulullah, Beliau bersabda lagi,”Ketahuilah hai Abu Mas’ud, ketahuilah hai Abu Mas’ud”!
Abu Mas’ud berkata lagi,”Maka kulepaskan cemetiku”. Lantas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Ketahuilah hai Abu Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih kuasa untuk berbuat demikian atas dirimu daripada apa yang engkau perbuat atas budak ini.” Maka aku menjawab,” Aku tidak akan memukul seorang budak pun setelah ini selama-lamanya" [9]

5. Berkata Buruk
Seorang pendidik harus menjauhi kata-kata buruk ataupun hinaan kepada anak didiknya. Misalnya ucapan “setan kamu” atau “laknat kamu” juga kata-kata yang bersifat celaan kepada murid. Ucapan-ucapan semacam itu sangat tidak pantas keluar dari lisan seorang pendidik, sebab akan melukai perasaan murid, menghilangkan kepercayaan dirinya, membuatnya semakin menjauh dari guru serta tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran. Lebih jauh lagi akibatnya adalah murid akan meniru ucapan gurunya tersebut dan melontarkannya kepada temannya atau pun saudaranya. Tanggung jawab ini tentu akan kembali kepada guru yang telah mengajarkan kata-kata buruk tadi kepada anak didiknya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَ مَنْ سَنَّ في الإسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

"…dan barangsiapa yang mencontohkan contoh kejelekan dalam islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang meniru perbuatannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun" [10]

HUKUMAN EDUKATIF YANG BERMANFAAT
Ada beberapa jenis hukuman yang bersifat mendidik, yang baik dilakukan oleh seorang pendidik terhadap murid yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Kami tegaskan lagi, tujuan menghukum anak yang berbuat salah adalah agar ia menyadari kesalahannya serta tidak mengulangi kesalahan serupa. Penekanan hukuman adalah pada sisi edukatif guna membentuk pribadi anak yang selalu bertanggung jawab atas setiap perbuatannya
Jadi hukuman bukan semata ajang pelampiasan amarah guru untuk menyakiti si anak ataupun untuk menunujukkan kekuasaanya sebagai guru.

Diantara hukuman yang bersifat mendidik adalah:
1. Memperlihatkan wajah masam untuk menunjukkan ketidak sukaan guru terhadap pelanggaran muridnya. Dengan demikian si murid menyadari perubahan raut wajah gurunya dan berusaha mengoreksi diri dari kesalahan yang tidak disukai gurunya.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: حَشَوْتُ وِسَدَةً لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فِيْهَا تَمَاثِيْلُ كَأَنَّهَا نُمْرُقَة فَقَامَ بَينَ البَابَيْنِ، وَ جَعَلَ يَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ، فَقُلْتُ: ما لَنَا يَا رَسُولَ الله؟[أَتُوْبُ إلى الله مِمَّا أَذْنَبْتُ]، قَالَ: مَا بَالُ هذه الوِسَادَةِ؟ قَالَتْ: قُلْتُ: وِسِادَة جَعَلْتُهَا لَكَ لِتَضْجِعَ عَلَيْهَا، قَالَ: أَمَا عَلِمْتِ أَنَّ مَنْ صَنَعَ الصُوَرَ يُعَذَّبُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُقَالُ: أحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ؟!

"Dari A’isyah ia berkata,” Aku membuat sebuah bantal untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalamnya terdapat gambar, lalu Beliau berdiri diambang pintu dan raut wajah Beliau berubah, aku berkata,” Ada apa ya Rasulullah? (Aku bertaubat kepada Allah atas dosa yang kukerjakan)”. Beliau bertanya,” Ada dengan bantal ini?” Aku menjawab,” Itu adalah bantal yang kubuat untukmu agar engkau bisa bersandar padanya,” Beliau berkata,” Tidakkah engkau tahu bahwa orang yang membuat gambar (makhluk hidup) akan disiksa pad hari kiamat nanti seraya dikatakan kepada mereka,”hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan?!" [11]

2. Menghajr yaitu mengisolir anak dengan tidak mengajaknya berbicara serta berpaling darinya selama beberapa waktu, dengan catatan tidak boleh dari tiga hari. Karena ada larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

عَنْ أبِي أَيُّوْب رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله قَال لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخَاه فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هذا و يُعْرِضُ هذا، وَخَيْرُهُمَا الذي يَبْدَأُ بِالسَلاَم

"Dari Abu Ayyub bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dai tiga hari, keduanya saling berpaling ketika bertemu, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam" [12]

3. Perkataan Pedas.
Seorang pendidik perlu mengeluarkan kata-kata pedas kepada anak yang melakukan dosa besar, apabila nasehat serta bimbingan sudah tidak berpengaruh lagi.

4. Menggantungkan Cambuk Di Dinding Rumah.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

عَلِّقُوا السَوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ البَيْتِ، فَإِنَّهُ أدَبٌ لَهُمْ

"Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga. Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka" [13]

Berkenaan dengan hadis di atas, Ibnu Al Anbari berkata, cambuk tersebut tidak dimaksudkan untuk memukul atau mecambuk mereka (penghuni rumah), sebab Nabi tidak pernah memerintah siapapun untuk memukul dengan cambuk tersebut. Yang Beliau maksudkan adalah janganlah kamu (para orangtua) meninggalkan pengajaran terhadap mereka. Adapun sabda Nabi “Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” , maksudnya cambuk tersebut akan menjadi pendorong bagi mereka untuk berakhlak dengan akhlak mulia dan bertingkah laku terhormat”[14]

5. Pukulan Ringan
Pukulan merupakan cara terakhir yang ditempuh jika cara-cara di atas tidak berhasil menyadarkan anak dari kesalahannya. Sebagaimana firman Allah yang memuat tahapan sanksi bagi istri yang durhaka kepada suaminya. Allah berfirman.

وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat mereka serta pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar". [An Nisaa’: 34]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. H.R Muslim
[2]. H.R Muslim
[3]. H.R Ahmad dalam Al Musnad, lihat juga Sunan At Tirmidzi hadits
[4]. H.R Muslim
[5]. Hadits hasan, lihat Shahihul Jami’
[6]. Muttafaqqun ‘alaih
[7]. Lihat Shahihul Jami, hadits
[8]. Hadits shahih, lihat Shahihul Jami’ hadits
[9]. H.R Muslim
[10]. H.R Muslim dan yang selainnya
[11]. H.R Al Bukhari dan Abu Bakr Asy Syafi’i dalam Al Fawaid
[12]. H.R Al Bukhari dan Muslim
[13]. Hadits yang dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’
[14]. Al Manawi menyebutkannya dalam Faidhul Qadiir

Radha'ah (Masa Menyusui) Dan Pembinaannya

Ilmu perkembangan manusia yang dikenal saat ini, konon merupakan produk dan hasil penelitian Barat. Asumsi ini sangat mendominasi dan telah menjadi wacana umum.

Padahal Al Qur’an dan Sunnah Nabi telah menerangkan siklus perkembangan manusia sejak masih berupa sel telur, embrio dalam rahim, sampai ia mencapai episode terakhir dari kehidupannya sebagai manusia di bumi ini.

Selain mengangkat tentang fase-fase tersebut, Al Qur’an dan Sunnah juga menetapkan bimbingan dan pengarahan untuk setiap fase itu, agar manusia senantiasa berada di jalur yang benar, bebas dari penyimpangan.

DALIL MENGENAI FASE KEHIDUPAN MANUSIA DI DUNIA
Allah menciptakan manusia dari air yang hina (sperma). Melalui perjalanan waktu, cairan itu berubah menjadi segumpal darah, dan akhirnya membentuk segumpal daging.

Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنكُم مِّن يُتَوَفَّى مِن قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلاً مُّسَمَّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa) kemudian (kamu dibiarkan hidup kembali) sampai tua. Di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). [Al Mukmin:67].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ

Sesungguhnya salah seorang dari kalian, penciptaan dirinya disatukan di perut ibunya pada empat puluh hari pertama. Kemudian ia berubah menjadi segumpal darah dalam masa yang sama. Berikutnya ia beralih menjadi segumpal daging dalam masa yang sama. Kemudian malaikat diutus untuk menuliskan empat perkara, (yaitu) menulis rezekinya, ajalnya, amalannya dan nasibnya, menjadi sengsara atau berbahagia kemudian meniupkan ruh padanya.[2]

Para ulama tarbiyah sangat intensif dalam memperhatikan proses perkembangan manusia. Tujuannya untuk mengungkapkan karakteristik setiap fasenya, baik dalam tinjauan fisik, kejiwaan, emosional dan kemampuan intelektualnya. Dari situ, penetapan sistem pembelajaran dan bobot materi bertumpu.

Fase-fase perkembangan tersebut meliputi : fase radha’ah (masa menyusui), fase hadhanah (masa usia dua sampai tiga tahun), fase tamyiz (masa usia tiga sampai tujuh tahun), fase bulugh (masa akil baligh), fase syabab (remaja, dewasa) dan fase syaikhukhah (masa tua). Dan yang hendak dibahas dalam tulisan ini seputar fase radha’ah (masa menyusui).

Dalam fase radha'ah ini, sang bocah bayi praktis hanya mengandalkan asupan ASI dari ibu. Bermula tatkala setelah janin keluar dari rahim, sampai berusia dua tahun. Artinya masanya dua tahun. Allah berfirman.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ُ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. [Al Baqarah:233].

Fase ini merupakan momentum yang sangat penting, lantaran janin telah memasuki fase barunya di dunia yang asing baginya. Pengaruh eksternal mulai bersinggungan dengannya, berupa nutrisi, interaksi orang, dan jenis pendekatan pada sang bayi.

Ibnul Qayyim menyatakan: "Perhatian intensif padanya pasca persalinan sangat ditekankan, dan tingkat kewaspadaan pada mereka harus tinggi. Sebab ranting pohon dan cabang-cabangnya ketika masih mengakar kuat pada batang inti, dan terkait dengannya, maka angin tidak mampu menggoyang dan mencabutnya. Tetapi tatkala dipisahkan dan ditanam di tempat lain, maka bahaya mengancamnya dan angin yang lembut sekalipun akhirnya mampu mencabutnya" [3].

Lanjut Ibnul Qayyim: "Janin yang baru saja meninggalkan rahim ibu, telah melepaskan diri dari ruangan yang biasa meliputinya dalam seluruh kondisi, hanya dalam satu waktu saja. Proses ini lebih berat daripada perpindahan yang bertahap".

Proses yang paling berpengaruh dalam pembentukan jati diri anak dalam fase ini adalah proses penyusuan. Para ahli pendidikan mengungkapkan, bahwa anak kecil sangat terpengaruh dengan ASI wanita yang menyusuinya, akhlaknya melalui air susu yang diminumnya. Oleh karena itu, semestinya memilih wanita yang baik akhlaknya, dari komunitas yang baik. [4]

Ibnu Qudamah mengatakan: “Abu Abdillah (Imam Ahmad) tidak menyenangi penyusuan anak dari wanita jahat dan musyrik”.

Umar bin Abdil Aziz berkata,”ASI sangat berperan kuat. Maka janganlah engkau menyusukan kepada wanita Yahudi, Nashara, atau wanita tuna susila…”

Mengapa demikian? Karena, ASI wanita yang buruk perangainya berpotensi mengantarkan anak menyerupai kejahatan wanita yang menyusuinya. Ia dapat terpengaruh ibu susuannya. Ada pepatah yang berbunyi “Sesungguhnya susuan membentuk tabiat”. Wallahu a'lam.[5]

Jadi, bayi harus dijauhkan dari ASI yang haram. Baik lantaran pembiayaannya haram atau sang wanita tidak menjaga diri dari makanan haram.

Al Ghazali menyatakan : "ASI yang keluar dari makanan haram tidak ada berkahnya. Jika terserap anak kecil, maka jasmaninya ternoda dengan materi yang buruk. Akhirnya perangainya cenderung kepada tindakan-tindakan yang buruk".[6]

Demikian juga sebaliknya, wanita shalihah lagi penuh kasih sayang, akan memberi warna positif terhadap sang bayi. Susuan, dekapan dan kehangatan ibunya yang shalihah sangat membekas pada pembentukan karakter bayi.

Susuan, selain memenuhi kebutuhan energi, juga mengalirkan tali kasih pada jiwanya yang haus terhadap kasih sayang, cinta dan perlindungan.

KARAKTERISTIK FASE RADHA'AH
a. Bayi tidak mampu mengekspresikan keinginan dengan bahasa verbal. Tangisan menjadi tumpuan alat komunikasi untuk memberitakan rasa lapar, rasa sakitnya, atau perasaan tidak enak lainnya. [7]
b .Ciri khas fase ini, lemahnya fisik bayi karena belum berapa lama keluar dari perut ibu. Karena itu, tidak perlu dipaksakan untuk berjalan. Hal ini hanya akan mengakibatkan kebengkokan pada kakinya.
c. Tanda lainnya, seringnya terjadi tangisan untuk meminta asupan ASI, terutama jika sedang merasa lapar. Ayah ibu tidak perlu risau bila mendenganr tangisan bayinya. Sebab tangisan dapat memperkuat lambung, anggota tubuh lainnya, dan menggerakkan lambung dan usus untuk mendorong hasil metabolisme yang tak berguna sehingga keluar. Demikian juga, tangisan dapat mengeluarkan kotoran dalam otak dan lain-lain.
d. Bayi sulit dipisahkan dari proses susuan. Karena itu, penyapihan harus dilakukan dengan bertahap. Bila tidak, akan berdampak pada dirinya.[8]

PENGARAHAN PENDIDIKAN DALAM FASE INI
Tahnik
Tahnik adalah mencerna kurma dan memasukkannya ke dalam mulut bayi dan diusapkan pada langit-langit mulut. Abu Musa Al Asy'ari bercerita:

وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ

"Anakku dilahirkan. Maka aku membawanya kepada Nabi dan memberinya nama Ibrahim serta mentahniknya dengan sebuah kurma…".[9]

Tujuan tahnik, supaya sang bayi melatih diri dan menguatkan lidahnya untuk makan. Yang paling baik adalah mentahnik dengan kurma. Bila tidak ada, maka bisa ruthab (kurma muda), atau kalau tidak, dengan sesuatu yang manis dan madu lebah lebih baik dari manisan yang lain [10]. Atau bertujuan menguatkan syaraf mulut untuk menggerakkan lidah dan dagu sehingga ia siap memulai proses penyusuan dan mengisap ASI. [11]

Aqiqah
Ritual lain yang disyariatkan pada masa ini, ialah penyembelihan hewan 'aqiqah sebagai cerminan ekspresi kebahagiaan dengan kehadiran sang bayi.

Dari Ummu Kurz Al Ka'biyah, ia bertanya kepada Rasulullah tentang aqiqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

"Untuk bayi lelaki dua kambing dan untuk bayi perempuan satu ekor kambing".[12]

Membersihkan Kotoran Kepala.
Tuntunan lain yang diarahkan oleh Islam berkaitan dengan bayi yang baru saja lahir, membersihkan noda dan kotoran yang ada di kepala bayi.

عَقَّ رَسُولُ الله عَنِ الْحَسَنِ وَ الْحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا وَأَمَرَ أنْ يُمَاطَ عَنِ رُؤُوسِهِمَا الأذَى

“Rasulullah menyembelih hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain di hari ketujuh, memberi nama keduanya dan Beliau memerintahkan agar kepalanya dibersihkan dari kotoran”.[13]

Tasmiyah
Tasmiyah adalah memberi nama kepada anak. Islam memberikan petunjuk yang agung, agar orang tua memilihkan nama yang baik bagi anaknya yang baru lahir. Rasulullah n sangat menyukai nama-nama yang baik. [14]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Malam ini telah lahir anak lelakiku dan aku beri nama dengan nama ayahku, Ibrahim".

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Sesungguhnya, nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.

Nama, semestinya bermakna baik dan bagus. Sebab nama juga bisa memberikan efek psikologis bagi pemiliknya. Seorang penyair berkata :

وَقَـلَّمَا أبْصَرَتْ عَينَاكَ ذَا لَقَبٍ إلاَّ وَمَعْنَاهُ إن فَكَّرْتَ فِيْ لَقَبِهِ

Dan tidaklah setiap kali pandangan Anda tertuju pada seseorang
Kecuali jika engkau renungi, maknanya mesti tersimpul dalam namanya.

Kapan waktu memberikan nama kepada bayi yang baru lahir? Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Sebagian hadits menunjukkan, bahwa penamaan dilakukan pada hari kelahiran bayi. Ada hadits lainn yang menentukannya di hari ketujuh.

Imam Bukhari menuliskan sebuah bab yang berjudul “Bab Penamaan Bayi Pada Hari Kelahirannya Buat Yang Tidak Disembelihkan Aqiqah dan Tahnik,
Barangsiapa Akan Disembelihkan Aqiqah Untuknya, Ditunda (Penamaannya) Sampai Hari Ketujuh”. Ini sebuah usaha pengkompromian dalil-dalil secara tepat [5]. Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan: “Pemberian nama boleh dilakukan di hari kelahirannya, boleh (juga) di hari ketiga. Demikian juga boleh ditunda sampai hari ketujuh. Dalam masalah ini ada kelonggaran”. [16]

Khitan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ

"Fitrah terdapat dalam lima perkara. (Yaitu) khitah, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak".[17]

Orang tua atau wali anak, wajib mengkhitan anaknya sebelum memasuki masa usia baligh. Hikmahnya, sebagaimana diterangkan Ibnul Qayyim: "Khitan mengandung unsur kesehatan, kebersihan, kerapian dan mempercantik kondisi fisik serta menormalkan syahwat, jika dilepas, maka manusia bagaikan hewan. Namun sebaliknya, bila dikebiri, maka manusia layaknya benda mati. sedangkan khitan akan menyeimbangkannya. Oleh karena itu, engkau dapati lelaki atau wanita yang tidak berkhitan, tidak pernah merasa kenyang dengan jima'". [18]

Dengan ini, menjadi jelas perhatian Islam terhadap fase kehidupan radha'ah ini. Adab-adab tersebut berpengaruh pada pembentukan moral. Ini termasuk nilai keistimewaan ajaran agama Islam.

Kesimpulannya, penanaman pendidikan pada masa menyusui ini meliputi: (1) Memberikan perhatian ekstra untuk menerapkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui tahnik, aqiqah, khitan dan penyusuan sang ibu. (2) Memilih wanita shalihah untuk menyusui bayi. (3) Kesehatan fisik anak mencerminkan kesehatan akal dan ruhani yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan moral yang baik.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Diangkat dari kitab Marahilu An Numuwwi Fi Dhaui Al Kitabi Was Sunnah karya Dr. Khalid bin Al Hazimi. Darul ‘Alamil Kutub.
[2]. HR Bukhari kitab Bad`ul Wahyi, Bab Dzikri Al Malaikah, Muslim kitab Al Qadar, Bab Kaifiyati Al Adami Fi Bathni Ummihi. Dan ini teks Imam Muslim.
[3]. Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud, karya Ibnul Qayyim, Darul Bayan.
[4]. Ibid.
[5]. Al Mughni  secara ringkas, Darul Kutub Al Ilmiyah.
[6]. Ihyau ‘Ulumid Din .
[7]. Tuhfatul Maudud,.
[8]. Ibid.
[9]. HR Bukhari, kitab 'Aqiqah, Bab Tasmiyatil Mauludi Ghadata Yuladu dan Muslim kitab Adab, Bab Istihbabi Tahnikil Maulud.
[10]. Fathul Bari.
[11]. Qishshatul Hidayah, karya Abdullah Ulwan.
[12]. Shahih Sunan Abi Dawud.
[13]. Hadits shahih diriwayatkan Al Hakim Lihat Irwaul Ghalil.
[14]. Zaadul Ma'ad.
[15]. Fathul Bari.
[16]. Tuhfatul Maudud.
[17]. HR Bukhari. Muslim .
[18]. Tuhfatul Maudud.

Langkah Menanamkan Kehormatan Pada Anak

Pendidikan yang buruk tanpa kontrol kontinyu di rumah, merupakan faktor dominan munculnya tindak keburukan dari anak-anak. Mereka hidup tanpa pengarahan atau pembinaan. Jalanan dan lingkungan lebih sering mempengaruhi otak dan pribadinya. Kondisi sosial yang tidak bersahabat dengan pertumbuhan anak, mengharuskan para orang tua agar meningkatkan perhatian mereka terhadap anak, terutama dalam aspek agamanya. Karena, selain sebagai karunia dari Sang Pencipta Azza wa Jalla, anak juga sekaligus sebuah tanggung jawab yang tidak boleh disia-siakan.

Oleh karena itu, proses pendidikan yang baik lagi intensif sangat urgens untuk segera dimulai sejak dini, supaya tercipta insan-insan yang menjunjung tinggi iffah. Yaitu mentalitas untuk selalu menjauhi segala sesuatu yang haram dan tidak terpuji untuk dikerjakan. Dengan ini, berarti para orang tua telah menanam investasi buat kehidupan akhiratnya, lantaran anak-anaknya shalih dan shalihah. Sebuah investasi yang tidak terukur harganya buat orang tua. Hilangnya iffah dari hati anak-anak (remaja) menimbulkan berbagai dampak sosial yang berbahaya. Para remaja enggan menikah lantaran kebutuhan biologis dapat terpenuhi dengan jalan haram.

Hancurnya keluarga, banyaknya kasus aborsi ataupun pemerkosaan, merupakan sebagian kisah memilukan yang nampak di tengah masyarakat. Belum lagi menyebarnya berbagai jenis penyakit kelamin dan penyakit jiwa, seakan menjadi pelengkap rusaknya tatanan nilai sosial yang luhur.

Ada beberapa langkah preventif untuk merealisasikan terciptanya iffah (kehormatan) pada diri anak. Yaitu:

PERINTAH MENINGKATKAN KETAKWAAN DAN KEIMANAN.
Pengekang paling efektif dalam menghadapi maksiat ialah dengan meningkatkan kualitas keimanannya kepada Allah. Caranya, sebagaimana diungkapkan sebagian ulama, "Janganlah engkau melihat kecilnya suatu dosa, tetapi ingatlah keagungan Dzat yang engkau hadapi".

Ada ulama yang ditanya tentang resep praktis agar kita dapat menjaga pandangan dari obyek yang haram, maka ia menjawab: "Dengan keyakinanmu, bahwa pandangan Allah kepadamu mendahului pandanganmu kepada obyek yang haram".

Seorang hamba yang meyakini Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dariNya, baik di langit maupun di bumi, bahkan yang disembunyikan hati; maka sikap ini akan mengarahkan seseorang untuk memelihara lidah, anggota tubuh yang lain, serta apa yang terlintas di benaknya. Sehingga tidak ada tindak-tanduknya yang menyebabkan kemurkaan Allah.

Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tiga orang yang terjebak dalam gua, karena sebongkah batu menutup mulut gua, sehingga tidak bisa keluar darinya. Mereka bertiga bertawasul (memohon kepada Allah dengan perantaraan) dengan amalan terbaiknya, dengan harapan Allah akan menyelamatkan mereka dari kungkungan kegelapan gua.

Orang yang ketiga mengatakan: "Ya, Allah. Aku mempunyai sepupu wanita yang merupakan gadis yang paling aku senangi. Aku pernah merayunya untuk berzina dengannya, tetapi ia menolak sampai akhirnya datanglah masa paceklik. Ia pun mendatangiku (untuk minta bantuan). Aku beri ia seratus dua puluh dinar dengan syarat memberiku jalan untuk berzina dengannya. Ia pun terpaksa menyetujuinya. Sampai akhirnya, aku berada dalam posisi akan menyentuhnya, ia berkata: "Tidak halal bagimu untuk membuka ‘segel’ kecuali dengan haknya", maka aku pun merasa tidak sampai hati untuk menyetubuhinya, dan aku langsung bergegas pergi. Padahal, ia gadis yang sangat aku idamkan. Dan aku tinggalkan uang emas yang aku berikan. Ya, Allah! Jika itu aku lakukan karena ingin mengharapkan wajahMu, maka bebaskan kami dari kondisi yang meliputi kami (ini). Maka batu itupun bergeser [1]

PERNIKAHAN DINI
Ini terhitung terapi manjur dalam menciptakan kehormatan pada anak. Orang tua bertanggung jawab menikahkan anak-anaknya. Di banyak ayat, Al Qur’an menganjurkan orang agar mengakhiri kesendiriannya dengan pernikahan sebagai media menjaga gejolak seksualnya, dan sekaligus mengokohkan tatanan sosial. Juga untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak menikah di antara hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya". [An Nur : 32].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menekankan hal ini dengan menjadikannya sebagai Sunnah Beliau. Oleh karena itu, pernikahan dini menjadi pilihan tepat untuk menuntaskan problematika seksual dan sangat cocok dengan fitrah manusia.

Ketika dua insan, lelaki wanita mengikat tali kasih cinta lewat pernikahan, maka ada dua manfaat yang diraihnya. Yaitu ketentraman jiwa dan kenikmatan duniawi melalui jima’. Dua hal ini sangat berpotensi dalam pengendalian nafsu syahwat manusia.

MENJAGA PANDANGAN.
Makna menjaga pandangan, ialah menahannya dari pandangan yang diharamkan. Jika tanpa sengaja pandangan matanya mengarah kepada obyek haram, maka langsung dipalingkan darinya. Ini harus ditekankan orang tua kepada anak sejak dini. Sehingga nantinya mudah bagi sang anak untuk menjaga diri dari pandangan haram. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya". [An Nur : 30].

Ibnul Qayyim menjelaskan : “Allah Azza wa Jalla menitahkan NabiNya untuk memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluannya. Karena awalnya disebabkan oleh pandangan, maka perintah menjaga pandangan lebih di kedepankan daripada tekanan untuk menjaga kemaluan. Pasalnya, kasus-kasus yang terjadi bermula dari pandangan. Kronologisnya, (dimulainya dengan) pandangan, angan-angan, langkah dan kemudian terjadi dosa. Ada ungkapan: "Barangsiapa bisa menjaga empat hal ini, niscaya akan dapat membentengi agamanya. (Yaitu) detik-detik waktunya, angan-angan, tutur kata dan langkah-langkahnya".[2]

Al Qurthubi memberi nasihat : "Mata adalah gerbang terbesar menuju hati, dan panca indera yang paling berpengaruh terhadapnya. Karena itu, banyak terjadi kebinasaan (karenanya), dan wajib diwaspadai. Menjaganya dari yang haram hukumnya wajib, dan juga (harus menjaganya) dari setiap yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah"[3].

Anas bin Malik berkata : "Jika seorang wanita melewatimu, maka pejamkan matamu sampai dia menjauh". [4].

BERPUASA BAGI YANG BELUM MAMPU MENIKAH.
Puasa dapat meningkatkan ketakwaan seseorang dan memudahkannya untuk mengekang hasrat seksualnya. Nabi menjadikannya sebagai solusi bagi yang belum mampu membina rumah tangga. Bukan dengan melampiaskan melalui sarana yang haram atau maksiat. Sebab perilaku seperti ini tidak akan bisa mengobatinya, tetapi menumbuhkan penyakit bagi hatinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, (artina) : "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaknya menikah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa akan menjadi pengekang buat dirinya [5].

Perintah puasa buat para pemuda sangat efektif untuk memelihara diri mereka. Dia akan menahan diri dari berbagai makanan, minuman dan syahwatnya demi meraih ridha Allah. Puasa bagaikan wahana pembinaan menghadapi segala perkara yang berat dan meredam gejolak syahwat perut yang merupakan syahwat yang paling kuat. Juga bermanfaat untuk melahirkan pribadi yang berkepribadian kuat.

HENDAKNYA DIBERI PENEKANAN AGAR SELALU BERKAWAN DENGAN ORANG-ORANG YANG BAIK
Sahabat yang baik akan menjadi penolong setelah Allah dalam meniti jalan yang lurus. Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda :

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

"Seseorang akan mengikuti kebiasaan teman karibnya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat orang yang dia ajak berkawan". [HR Abu Dawud dan Tirmidzi.].

Meremehkan bahaya teman yang buruk, akan menjadi bumerang di kemudian hari. Allah telah menceritakan penyesalan orang yang berkawan dengan orang yang tidak baik.

Qotadah berpesan: "Demi Allah. Sesungguhnya kami tidak melihat seorang lelaki yang mencari kawan, kecuali yang sama atau serupa. Maka berkawanlah dengan orang-orang yang shalih. Semoga kalian selalu bersama mereka atau menjadi seperti mereka".

MENANANMKAN RASA MALU PADA DIRI ANAK.
Al haya` (rasa malu) merupakan etika yang baik yang akan mengantarkannya menuju perbuatan yang baik dan menghalanginya dari tindakan buruk. Karena itu, Islam memuji rasa malu.

Ibnu ‘Umar meriwayatkan dari Nabi yang bersabda: "Rasa malu dan iman selalu bersanding. Jika salah satunya lenyap, maka yang lain (juga) hilang".[6]

Abu Said Al Khudri berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا

"Rasulullah sangat pemalu, melebihi seorang gadis perawan dalam pingitannya".[7]

Rasa malu adalah sumber kebaikan. Wajah yang dihiasi dengan rasa malu bak permata yang mahal. Kehormatan akan terjaga. Terutama bagi seorang gadis, akan menjaga kesucian dirinya, menjauhkannya dari wilayah rawan yang bisa memperkeruh kehormatannya. Akhirnya ia menjadi pribadi yang hidup hatinya dan suci jiwanya.

MENJAUHI OBYEK YANG MENIMBULKAN RANGSANGAN ATAU FITNAH.
Seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah. Demikian juga, tidak menjadi sumber fitnah untuk orang lain. Ada beberapa hal yang dilarang syari’at lantaran dapat menimbulkan gejolak nafsu dan merangsang berbuat maksiat.

1. Berjabat Tangan Antara Lelaki Dan Perempuan Yang Bukan Mahram.
Lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, dilarang keras untuk berjabat tangan. Dengan tegas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

لِأنْ يَطْعَنَ فِي رَأْسِ أحَدَكِمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لَا تَحِلُّ لَهُ

"Tertusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [8]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm sebagai pribadi yang paling bertakwa dan mulia, Beliau tidak pernah berjabat tangan dengan wanita. Umaimah binti Raqiqah menceritakan, ketika sebagian wanita berbaiat kepada Nabi, kami berkata: "Ya, Rasulullah! Tidakkah engkau berjabat tangan dengan kami?" Beliau menjawab:

إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ كَقَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ

"Aku tidak bersalaman dengan wanita. Ucapanku pada seorang wanita (dalam baiat), seperti halnya ucapanku kepada seratus wanita".[9]

Siapapun, lelaki maupun wanita itu, jika ia bukan mahramnya, maka tidak boleh terjadi persentuhan antara kulit mereka berdua.

2. Menikmati Musik.
Musik termasuk pemicu yang dapat menimbulkan rangsangan syahwat dan menyebarkannya. Suara merdu, apalagi diiringi dengan alunan musik, sangat melekat di hati.

Ibnu Taimiyah mengatakan: "Musik rayuan menuju zina. Ia menjadi salah satu penyebab terjadinya kemungkaran. Seorang lelaki atau anak kecil atau seorang wanita yang sebelumnya kehormatannya terjaga, begitu menghadiri tontonan musik, maka jiwanya berubah lepas, dan kemungkaran mudah ia kerjakan. Ia langsung menjadi pelaku atau sebagai obyek dari maksiat tersebut, atau menjadi dua-duanya, sebagaimana yang dialami penenggak minuman keras". [10]

Sedangkan Ibnul Qayyim berkata: "Tidak pelak lagi, lelaki yang punya ghirah (kecemburuan terhadap agama) akan menjauhkan keluarganya dari alunan musik, sebagaimana ia menjaga mereka dari perkara-perkara fitnah,” beliau menambahkan: “Demi Allah. Berapa banyak wanita terhormat yang akhirnya menjadi wanita jalang karena pengaruh musik…" [11]

3. Tutur Kata Yang Menggoda.
Tutur kata yang menggoda dan terlalu genit, terutama dari pihak perempuan termasuk faktor yang dapat melunturkan kehormatannya. Di sisi lain, ia mampu membuat lawan jenisnya terfitnah. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lainnya, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". [12]

Dalam ayat ini, Allah melarang al khudhu’fil qaul (berbicara dengan menggoda) kepada lelaki. Sebab, seperti dijelaskan hikmahnya, agar tidak menimbulkan rangsangan kepada orang yang hatinya ada penyakit.

Fenomena yang terjadi, sebagian wanita terlalu ramah dalam berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Senyumnya selalu tersungging, seolah-olah sedang berbicara dengan suami atau ayah dan anaknya. Bahkan tidak itu saja. Ada yang mencoba mencandainya. Bisa jadi, tingkat keramahannya melebihi saat ia bersama suaminya. Tentu ini sebuah kesalahan dan kemungkaran yang bisa mengantarkannya kepada kemaksiatan lainnya.

4. Ikhtlath (Bercampurnya) Lelaki Perempuan.
Islam tidak memprbolehkan terjadinya ikhtilah antara kaum lelaki dengan perempuan dan sebaliknya. Semua ini untuk menjaga keluhuran akhlak, kehormatan dan norma-norma.

KHUSUS BAGI ANAK PEREMPUAN, HENDAKNYA MENUTUPI DIRI DENGAN PAKAIAN MUSLIMAH.
Salah satu indikasi kebaikan seorang wanita muslimah, ialah mengenakan pakaian yang sesuai dengan syari’at Islam yang suci. Hijab, itulah istilahnya. Dalam hal ini, seorang mukminah tidak mempunyai alternatif lain, kecuali harus tunduk patuh kepada Rabb-nya. Termasuk dalam hal ini, yaitu tunduk patuh dalam mengikuti petunjuk perintah tersebut. Sebab, manakala kaidah-kaidah umumnya diserahkan kepada masing-masing individu, maka tujuan agung dari peraturan tersebut akan menjadi kabur.

Fenomena sosial menjadi bukti nyata. Apabila prinsip berpakaian ‘bebas’, maka yang muncul jilbab gaul, desain baju yang sempit lagi transparan dan terkesan kurang bahan. Ditambah lagi, tampilan yang mengundang tatapan mata. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, (artinya) : "Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al Ahzab : 59].

Pakaian wanita harus menutupi sekujur tubuhnya, tidak boleh tranparan atau berdesain yang menyolok, tidak sempit atau mini. Demikian juga tidak menyerupai tradisi wanita kafir atau perempuan yang fasik.

Demikianlah diantara kunci untuk memelihara kehormatan anak-anak. Penjagaan kehormatan sangat penting. Karena ia merupakan cerminan iman dan kunci untuk menggapai kebahagian abadi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam bersabda:

مَنْ ضَمِنَ لِيْ مَا بَينَ لِحْيَيهِ وَفَخِذَيهِ ضَمِنْتُ لَهُ الْجَنَّةَ

"Barangsiapa mampu menjamin pemeliharaan anggota yang ada diantara dua tulang rahangnya dan diantara dua selangkangannya, maka aku jamin baginya surga". [Lihat Shahihul Jami’].

Semoga pengakuan Ibnu Sirin di bawah ini bukan lagi khayalan pada generasi muda. Dia pernah menceritakan tentang dirinya: "Demi Allah. Aku tidak pernah menyetubuhi wanita sama sekali, kecuali Ummu’Abdillah saja –istrinya-. Pernah aku bermimpi melihat wanita, dan aku pun ingat bahwa ia tidak halal bagiku, maka aku palingkan pandanganku darinya".
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Bukhari dan Muslim.
[2]. Ad Da`Wa Ad Dawa`.
[3]. Tafsir Al Qurthubi.
[4]. Al Wara`, karya Ibnu Abid Dunya.
[5]. HR Bukhari,dan Muslim.
[6]. HR Al Hakim dan dishahihkan Syaikh Al Albani.
[7]. HR Muslim.
[8]. HR Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami’.
[9]. HR Imam Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ibnu Katsir berkomentar: “Ini sanadnya jayyid”.
[10]. Majmu’ Al Fatawa.
[11]. Ighatsatu Al Lahafan.
[12]. QS Al Ahzab : 32.

Mendo'akan Anak Ciri Pendidik Ideal

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka(jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku. [Al Baqarah : 186]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السَّوءَ

Atau siapakah yang memperkenankan (Do’a) orang yang dalam kesulitan apa bila ia berdo’a kepadaNya dan yang menghilangkan kesusahan. [An Naml : 62]

Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Berdoa itu adalah Ibadah. [1]

Wahai para pendidik, doa sangat memberi manfaat kepada anak dan menambah keteguhan dan kesolehan mereka serta orang akan selalu mendapat hidayah dan petunjuk kepada jalan yang lurus.

Oleh sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong kita agar selalu berdoa untuk kebaikan anak, sebab doa akan menambah keberkahan dan kebaikan pada anak. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kepada kita mendoakan buruk atas anak sebagaimana Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمِ وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أمِوَالِكُمْ, وَلاَ تُوَافِقُوْا مِنَ الله سَاعَةً إلاَّ يَسْألُ فِيْهَا عَطاَءً فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ.

Janganlah kalian berdoa buruk atas dirimu, jangan berdoa buruk atas anakmu, dan jangan berdoa buruk atas hartamu sebab bila kalian tepat pada saat yang dikabulkan Allah ketika kamu meminta suatu permintaan maka Allah akan mengabulkannya.

Seorang laki-laki datang kepada Abdullah Ibnu Mubarak yang mengeluhkan tentang kenakalan anaknya, maka Beliau bertanya kepadanya,” Apakah kamu pernah berdoa buruk atasnya? ia menjawab,”Ya”. Ibnu Mubarak berkata,” Kamulah yang merusaknya”.

Wahai para pendidik, daripada anda merusak anak maka lebih baik anda menjadi sebab baiknya anak dan datangnya keberkahan dalam hidup mereka lewat cara berdoa baik untuk mereka seperti yang dilakukan oleh pendidik utama, Muhammad dan para rasul serta para nabi.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah merangkulku ke dadanya lalu bersabda.

اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ وَفِي رِوَايَةٍ عَلِّمْهُ الْكِتَابَ

Ya Allah ajarkanlah kepadanya Al hikmah” dalam riwayat lain “Ajarkanlah kepadanya Al Kitab.

Dengan karunia Allah Azza wa Jalla berkat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu menjadi pemuka ulama dan ahli tafsir Al-Qur’an.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berdoa untuk kebaikan anak-anak ketika dalam keadaan bepergian, sebab dia pada saat itu sangat dikabulkan. Beliau berdoa.

اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبَ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةَ فِي اْلأَهْلِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلِبِ فِي الْمَالِ وَالأهْلِ وَالْوَلَدِ.

Ya Allah Engkau adalah teman dalam perjalanan, pengganti di keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gangguan perjalanan, kegelisahan penungguan dan buruknya kembali pada harta, keluarga dan anak.

Kaum Ibu pernah datang kepada Rasulullah agar Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa untuk anak-anak mereka.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Ummu Sulaim berkata,” Wahai Rasulullah, Anas menjadi pembantumu maka berdoalah kepada Allah untuk kebaikannya”. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa.

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ وَبَارَكَ فِيْمَا أَعْطَيْتَهُ

Ya Allah berikanlah kepada Anas harta dan anak yang banyak dan berkahilah apa-apa yang engkau berikan kepadanya.

Dalam riwayat Bukhari bahwa Anas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Ummu Sulaim membawaku kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menutupi badanku dengan setengah tudungnya dan setengah selendangnya. Maka ia berkata,” Wahai Rasulullah, anak ini bernama Unais aku membawanya kepadamu untuk menjadi pembantumu, maka berdoalah kepada Allah untuk kebaikannya”. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa.

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ

Ya Allah berikanlah kepada Anas harta dan anak yang banyak.

Anas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Demi Allah hartaku banyak dan sungguh anak dan cucuku sampai seratus orang sejak hari ini”.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Khildah berkata bahwa Abu Aliyah pernah mendengar Anas Radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kepadaku untuk kebaikan maka aku punya kebun buah-buahan yang bisa panen setahun dua kali sementara dalam kebun juga ada pohon raihan untuk bahan minyak kasturi”.

Berdoa merupakan perihal yang menjadi ciri utama pendidik yang berhasil yang pasti bisa dipetik buah dan hasilnya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. [Ghafir : 60]

Dalam memenuhi panggilan Allah tersebut, para nabi dan rasul selalu berdoa untuk kebaikan anak cucu mereka.

Bukanlah kemiskinan yang menjdikan mereka cemas dan risau. Sebab tidak ada kerisauan dan kemalangan yang lebih besar daripada orang yang melepas keimanan demi mengejar dunia yang fana. Melepas iman apapun sebabnya merupakan sebab kecelakaan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu para nabi selalu mewanti-wanti kepada keturunan mereka agar senantiasa menjaga benteng iman yang merupakan sebab keberhasilan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.

Allah Azza wa Jalla berfirman ketika menceritakan doa Nabi Ibrahim untuk keturunannya.

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. [Al Baqarah : 128]

Lalu firmanNya dalam surat lain, mengisahkan doa Nabi Ibrahim yang lain.

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

Ya tuhanku,jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman dan jauhkanlahaku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. [Ibrahim : 35]

Juga firman Allah.

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku. [Ibrahim : 40]

Begitu juga Zakaria berdoa sebagaimana firman Allah.

قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَآءِ

Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a. [Ali Imran : 38]

Allah Ta'ala juga berfirman mengisahkan sifat-sifat ‘Ibadurrahman adalah berdoa untuk kebaikan istri dan keturunannya.

Firman Allah,

قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَى وَالِدَيذَ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Ya tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. [Al Ahqaf : 15]

Firman Allah

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami , anugerhakanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati(kami) dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertakwa. [Al Furqan : 74]

Wahai para pendidik, berdoalah kepada Allah untuk anak-anakmu terus menerus dan tumbuhkan perasaan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali datang dari Allah karena seluruh taufik hanya datang dari Allah sementara manusia hanya sekedar usaha dan ikhtiar. Marilah kita berdoa dengan penuh khusyu’ dan perasaan tunduk semoga Allah menutup kekurangan, memberi belas kasih kepada yang lemah di antara kita, dan memelihara anak cucu kita. Hendaklah kita membiasakan pola makan, pola minum dan dalam berpakaian yang bersih dan halal. Begitu juga hendaklah berdoa dalam keadaan suci, menghadap kiblat dan mengembalikan kedzaliman kepada pemiliknya serta memilih waktu yang mustajab terutama pada saat sujud berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأكْثِرُوْا مِنَ الدُّعَاءِ

Saat yang paling dekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sedang sujud maka perbanyaklah berdoa. [2]

Dari Abu Umamah berkata, ” Pernah Rasulullah ditanya: Kapan doa sangat dikabulkan? Beliau bersabda, ”Pada waktu pertengahan malam dan setiap selesai shalat wajib”.

Wahai saudaraku, jangan lupa perdoa terutama ketika dalam keadaan bepergian berdasarkan hadits dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ, دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالَدِ عَلَي وَلَدِهِ.

Ada tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan, doa orang yang teraniaya, doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua atas anaknya.

Begitu juga berdoa pada siang hari dan malam hari dari bulan ramadhan serta berdoa pada saat haji dan umrah. Maka berdoalah kepada Allah pada saat itu sementara dalam keadaan sangat yakin bahwa doa anda dikabulkan sehingga Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata,”Yang menjadi perhatianku bukan terkabulnya doa akan tetapi perhatian utamaku adalah ilham untuk bisa berdoa sebab orang kalau sudah bisa berdoa maka pengkabulan doa akan bisa diraih”.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Riwayat Abu Dawud
[2]. HR Muslim

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...