Searching

Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Memperingatkan Anak Yang Melakukan Kekeliruan


Fenomena yang muncul di hadapan kita, adanya asumsi keliru memandang anak sebagai personal yang belum layak untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar pada diri mereka, merupakan pandangan yang perlu dikoreksi. Dalih yang melatarbelakangi asumsi ini, karena memandang anak-anak masih kecil, sehingga mereka dianggap sebagai hal yang lumrah bila melakukan kekeliruan. Maka tak ayal, membiarkan anak dalam keadaan seperti itu juga menjadi hal yang biasa di kalangan orang tua. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif, karena anak menjadi terbiasa melakukan kekeliruan, yang berarti mereka tumbuh dan berkembang dengan dituntun budaya kejahatan dan alergi terhadap kebaikan.

Allah Azza wa Jalla telah menggambarkan kedudukan ummat Islam sebagai ummat terbaik. Dan ini menjadi salah satu sebab disandangnya sebutan tersebut, yaitu sebagai umat yang selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imran ayat 110). Begitu pula yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak-anak, meski usia mereka belum baligh. Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan peringatan kepada mereka. Ini menjadi contoh kongkrit, bahwa pada diri anak-anak yang belum baligh juga perlu diterapkan nahi munkar atas diri mereka.

Yang mesti diperhatikan, dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada diri anak, tidak cukup hanya ditempuh dengan cara pelarangan keras dan mencemooh mereka, tetapi hendaklah dengan menggunakan langkah-langkah dakwah yang benar. Yaitu dengan memberikan nasihat dan bimbingan. Jika hal itu tidak berhasil, maka bisa dilakukan dengan sikap yang tegas, begitu seterusnya. Lihat Ihya ‘Ulumuddin (2/329), Muhtashar Minhajil Qashidin (hlm. 135-137), Tanbihul Ghafilin ‘An A’malil Jahilin (hlm. 47-60).

Berikut kami contohkan peringatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu (Ibnu ‘Abbas) yang waktu itu masih kecil.

NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL BERDIRI DI SEBELAH KIRI BELIAU PADA WAKTU SHALAT
Si kecil ‘Abdullah bin ‘Abbas menginap di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah. Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat malam, Ibnu ‘Abbas juga bangun untuk shalat bersama Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik Ibnu ‘Abbas sehingga berada di sebelah kanan Beliau.

Asy Syaikhani, Al Bukhari Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Suatu malam aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Setelah beberap saat malam lewat, Nabi bangun untuk menunaikan shalat. Beliau melakukan wudhu` ringan sekali (dengan air yang sedikit) dan kemudian shalat. Maka, aku bangun dan berwudhu` seperti wudhu` Beliau. Aku menghampiri Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau memutarku ke arah sebelah kanannya dan meneruskan shalatnya sesuai yang dikehendaki Allah …”. [1]

Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits yang mulia ini, ialah :
1). Ihtisab (dakwah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ibnu ‘Abbas yang melakukan kesalahan karena berdiri di sisi kiri Beliau saat menjadi makmum dalam shalat bersama Beliau. Karena seorang makmum harus berada di sebelah kanan imam, jika ia sendirian bersama imam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan kekeliruan Ibnu ‘Abbas dengan dalih umurnya yang masih dini, namun Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap mengoreksinya dengan mengalihkan posisinya ke kanan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

2). Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian, meski dalam keadaan sedang shalat, tidak menghalangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan nahi munkar terhadap anak kecil yang melakukan kesalahan dalam shalatnya. Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian dan pengawasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak serta adanya bimbingan menuju kebenaran.

Realitas ini berlawanan dengan sikap para orang tua. Meski para ibu atau ayah menyibukkan dengan amalan ketaatan, seperti mengerjakan shalat nafilah, membaca Al Qur`an, duduk untuk berdzikir, menghadiri majlis ilmu, banyak melakukan umrah, haji dan lain-lain, namun mereka kirang memperhatikan anak-anak yang masih kecil, bahkan juga kurang perhatian kepada anak-anak yang sudah mencapai baligh. Anak-anak dibiarkan terhanyut dengan perbuatan maksiat, mendengarkan hal-hal yang dilarang Allah dan RasulNya, dan bermain di lingkungan yang buruk dan penuh kemaksiatan.

Para orang tua, harus mengintrospeksi diri, jika menginginkan keselamatan, bercita-cita untuk mendapatkan kemenangan dan kejayaan. Sebab, tidak ada keselamatan, tidak ada kemenangan bahkan tidak kejayaan, kecuali dengan meneladani perilaku Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

3). Dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, dapat disimpulkan, bahwa anak-anak yang sudah mulai mengerjakan ibadah, baik yang berupa wudhu`, shalat, berpuasa, umrah, haji atau ibadah lainnya, jika mereka melakukan kesalahan, maka tidak boleh dibiarkan larut dengan kekeliruannya tersebut, dengan dalih usia mereka masih kecil. Kewajiban kita sebagai orang Islam, semestinya menghidupkan semangat amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak-anak dan mengarahkan mereka kepada yang lebih benar, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap diri Ibnu ‘Abbas yang waktu itu masih berusia kanak-kanak.

Dengan demikian, anak tidak dibiarkan larut dengan kesalahan-kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sehingga, bila melakukan ibadah, mereka selalu melaksanakan dengan cara yang benar sesuai tuntunan Allah dan RasulNya.

NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL TIDUR KETIKA MENGERJAKAN SHALAT
Tatkala Ibnu ‘Abbas menunaikan shalat tahajjud bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah, ia sempat dihantui rasa kantuk, lantaran pada waktu itu dia masih berusia kanak-kanak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkannya tertidur. Setiap kantuk datang, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik ujung telinganya agar ia segar kembali.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah binti Al Harits. Aku meminta tolong kepadanya. Aku berkata,’Bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun untuk shalat (malam), bangunkanlah aku’. Saat Rasulullah melaksanakan shalat, aku berdiri di sebelah kirinya. Maka Beliau memegang tanganku dan mengalihkanku ke sisi kanannya. Dan saat aku tertidur dalam shalat, Beliau memegangi ujung telingaku”. Ibnu ‘Abbas menambahkan,”Beliau shalat sebelas rakaat.”[2]

Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Beliau meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan memegang telinga kananku untuk mengingatkanku”. [3]

Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas ialah :

1). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan nahi munkar (melarang dari perbuatan mungkar) kepada Ibnu ‘Abbas yang kedapatan tertidur saat melakukan shalat, satu keadaan yang tidak pantas terjadi saat sedang shalat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mendiamkannya, meskipun Ibnu ‘Abbas waktu itu masih berusia bocah. Justru yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah memegangi ujung telinga Ibnu ‘Abbas untuk membangunkan dan menyegarkannya dari rasa kantuk yang menyerangnya.

2). Hadits ini menunjukkan sebagai bukti kelembutan dan kasih sayang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diungkapkannya dengan melakukan nahi munkar terhadap anak kecil. Yaitu dengan meletakkan tangan Beliau di kepala Ibnu ‘Abbas dan memegangi ujung telinganya serta menekan-nekannya. Tindakan ini menunjukkan kelembutan, sikap lunak dan kasih sayang Beliau. Perlakuan Beliau yang seperti ini bukan tindakan aneh, sebab Allah Ta’ala mengutus Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

"Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" [Al Anbiya` : 107]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang sangat pengasih kepada orang-orang yang beriman.

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu`min" [At Taubat:128]

3). Dalam kisah ini, meskipun pada waktu itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sibuk dengan shalat, namun tidak mengendurkan niat Beliau untuk melakukan nahi munkar terhaap kesalahan yang diperbuat Ibnu ‘Abbas. Tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan perhatian yang sangat besar diri Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap dunia anak dan pembinaannya menuju kondisi yang baik.

Maka dapat kita pahami, bahwa para orang tua berkewajiban untuk menggalakkan amar ma`ruf nahi munkar terhadap anak-anak mereka yang melakukan kesalahan dalam beribadah. Kesibukan orang tua meski saat melakukan ketaatan, tidak boleh menjadi penghalang dalam melakukan amar ma`ruf nahi munkar tersebut.

PENGINGKARAN TRHADAP ANAK YANG MENYALAHI ATURAN SYAR'I MENJADI HAL YANG MA'RUF PADA MASA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mina melaksanakan shalat bersama kaum muslimin, datanglah Ibnu ‘Abbas dengan menunggang keledainya. Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas masih anak-anak yang belum baligh. Dia melewati barisan shalat, dan tidak ada seorangpun yang menegurnya.

Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,”Aku datang dengan keledai betina. Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh. Dan Rasulullah menunaikan shalat tanpa penghalang tembok. Aku melewati barisan shalat. Aku lepaskan tungganganku untuk makan rumput. Aku memasuki shaf shalat tanpa ada yang menegur(ku).” [4]. Dalam riwayat lain disebutkan : “Tidak ada seorangpun yang mengingkariku”. [5]

Dari riwayat ini, kita mendapatkan beberapa fakta sebagai berikut :
1). Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas belum baligh. Ini ditunjukkan dengan ucapannya: “Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh”.

Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan : “(Artinya) aku mendekati usia baligh; yang dimaksud dengan ihtilam ialah, baligh dalam pandangan syariat”. [6]

Hal ini juga dipertegas oleh Imam Bukhari dalam memberikan judul pada hadits ini, yaitu dengan judul Bab Kapan Kecakapan Anak Dianggap Sah (Diterima)?[7]. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak [8]

2). Ibnu ‘Abbas menjadikan hadits ini sebagai landasan bolehnya melewati shaf shalat, sebab para sahabat tidak bereaksi terhadap tindakannya.

Imam Ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan,”Ibnu ‘Abbas ber-istidlal (menjadikan hadist ini sebagai dalil) bolehnya melewati depan shaf makmum dengan tidak adanya pengingkaran (dari para sahabat).” [9]

Imam Al Bukhari menjadikan hadits ini sebagai landasan, bahwa sutrah (penghalang atau pembatas shaf imam adalah sutrah makmum yang ada di belakangnya, sebab para sahabat tidak mengingkari perbuatan Ibnu ‘Abbas yang melewati depan makmum. Imam Al Bukhari menamai babnya dengan (judul) Bab Sutrah Imam Menjadi Sutrah Bagi Makmum Yang Ada di Belakangnya. [10]

Seandainya pengingkaran terhadap pelanggaran agama yang dilakukan oleh anak kecil bukan merupakan hal yang ma`ruf pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu istidlal (pengambilan dalil dengan hadits ini) tidak kuat. Sehingga akan ada yang berkomentar, bahwa tindakan Ibnu ‘Abbas tidak diingkari karena usianya masih kecil. Namun lantaran sudah menjadi suatu yang biasa pada masa Nabi, maka istidlal-nya tepat dan bebas dari sanggahan. Wallahu a’lam bish shawab.

Demikian di antara contoh-contoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak. tidak hanya yang berkaitan dengan shalat saja, tetapi masih banyak contoh yang diberikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, misalnya : larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap model rambut ala Yahudi, larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakan jenis makanan yang bukan haknya, larangan ceroboh dalam mengambil makanan saat bersantap, dan lain-lain. Semoga bermanfaat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Shahih Bukhari, Kitab Adzan, Bab Wudhu` Anak-Anak dan lafazh hadits milik Bukhari; Shahih Muslim, Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya, dengan redaksi “maka Beliau memutarku ke belakang”.
[2]. Shahih Muslim, Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya.
[3]. Ibid.
[4]. Shahih Bukhari, Kitab Ilmu, Bab Kapan Kecakapan Anak Kecil Dianggap Sah.
[5]. Ibid, Kitab Shalat, Bab Sutrah Bagi Imam Sutrah Bagi Para Makmum,(Fathul Bari).
[6]. Fathul Bari.
[7]. Shahih Al Bukhari. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak.
[8]. Ibid.
[9]. Dinukil dari Fathul Bari.
[10]. Shahih Bukhari, Kitab Shalat.

Hak Pengasuhan Anak Dalam Islam, Demi Kebaikan Anak

Pembicaraan mengenai seluk-beluk hak asuh, biasa dikenal dalam perspektif ilmu fiqih dengan istilah ahkam al hadhonah. Islam telah mengatur sedemikian rupa, untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang timbul akibat persengketaan dalam masalah ini. Pertikaian yang berawal dari perebutan anak, dapat berpotensi menimbulkan terputusnya silaturahmi dan berdampak psikologi pada diri anak.

Maka berikut ini mencoba mengangkat secara ringkas permasalahan tersebut. Kami nukil dari kitab Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, al Mulakhkhashul Fiqhi, Darul 'Ashimah, juz 2/439-447. Semoga bermanfaat.

HIKMAH KETETAPAN HUKUM HAK ASUH
Sudah pasti, hukum Allah berdampak positif, karena penuh keadilan, kebaikan, rahmat dan hikmah di dalamnya. Begitu juga dalam masalah pengasuhan anak. Sebagai contoh, anak yang masih kecil dan belum mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan bagi dirinya. Atau seorang yang gila dan cacat, mereka ini membutuhkan keberadaan orang lain untuk membantu menangani urusan-urusannya dan memberikan pemeliharaan bagi dirinya. Yaitu dengan mencurahkan kebaikan-kebaikan dan menghindarkannya dari bahaya-bahaya, serta mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.

Syari'at Islam memberlakukan hak asuh ini, untuk mengasihi, memelihara dan memberikan kebaikan bagi mereka. Pasalnya, bila mereka dibiarkan tanpa penanggung jawab, niscaya akan terabaikan, terbengkalai dan terancam bahaya. Padahal dinul Islam mengajarkan kasih-sayang, gotong-royong dan solidaritas. Sehingga benar-benar melarang dari perbuatan yang bersifat menyia-nyiakan kepada orang lain secara umum, apalagi mereka yang dalam keadaan nestapa. Ini merupakan kewajiban orang-orang yang masih terikat oleh tali kekerabatan dengan si anak. Dan kewajiban mereka adalah, mengurusi tanggung jawab anggota keluarga besarnya, sebagaimana dalam hukum-hukum lainnya.

IBU ADALAH PIHAK YANG PALING BERHAK
Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.

Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling terlihat sayang dan paling dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang, tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami (ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya).

Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu membuat satu ungkapan yang indah:

"Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya)".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari'at. [1]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي

"Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku".

Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab:

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah". [2]

Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya.

UNSUR-UNSUR YANG DAPAT MENGHALANGI HAK ASUH ANAK
Meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tidak bisa mendapatkan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yang dapat menghalangi haknya. Di antaranya sebagai berikut.

Pertama. Ar-Riqqu.
Maksudnya, orang yang bersangkutan berstatus sebagai budak, walaupun masih "tersisa sedikit". Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun seorang budak, ia tidak mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dengan pelayanan terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya.

Kedua. Orang Fasiq.
Orang seperti ini, ia mengerjakan maksiat sehingga keluar dari ketaatan kepada Allah. Itu berarti, ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak terlepas darinya. Keberadaan anak bersamanya -sedikit atau banyak- ia akan mendidik anak sesuai dengan kebiasaan buruknya. Ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif bagi anak, yang tentunya berdampak pada pendidikan anak.

Ketiga. Orang Kafir.
Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Kondisinya lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya lebih besar. Tidak menutup kemungkinan, ia memperdaya si anak dan mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan agama kufurnya.

Keempat. Seorang Wanita Yang Telah Menikah Lagi Dengan Lelaki Lain.
Dalam masalah pengasuhan anak, ibulah yang lebih memiliki hak yang utama. Akan tetapi, hak ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi dengan laki-laki ajnabi (laki-laki lain). Maksudnya, lelaki yang bukan dari kalangan 'ashabah (pewaris) anak yang diasuhnya. Tetapi, jika sang ibu menikah dengan seorang laki-laki yang masih memiliki hubungan tali kekerabatan dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.

Atau misalnya, seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, dan kemudian ia menikah dengan lelaki lain (ajnabi), maka dalam keadaan seperti ini, ia tidak memperoleh hak asuh anak dari suaminya yang pertama. Dengan demikian hak pengasuhannya menjadi gugur, berdasarkan kandungan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah".

Demikian beberapa faktor yang dapat menghalangi seseorang tidak memperoleh hak asuh bagi anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka seutuhnya, orang fasik itu bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, dan si ibu diceraikan kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali untuk mengasuh anaknya.

KAPAN ANAK MENENTUKAN PILIHAN?
Pada usia yang telah ditentukan syari'at, anak berhak menentukan pilihan untuk hidup bersama dengan ibu atau ayahnya. Dalam hal ini harus terpenuhi dua syarat.

Pertama : Ayah dan ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab mengasuh anaknya (ahlil hadhonah). Artinya, salah satu faktor yang menghalangi seseorang boleh pengasuh anaknya tidak boleh melekat padanya.

Kedua : Si anak sudah 'aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia tetap berada di bawah pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih sayang, lebih bertanggung jawab, dan lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan anak.

PERBEDAAN ANTARA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pada pilihan untuk menentukan. Yaitu, ia hidup bersama ayahnya atau ibunya, apabila ia sudah berusia tujuh tahun. Ketika telah berusia tujuh tahun, berakal, maka ia memutuskan pilihannya, dan kemudian tinggal bersama dengan orang pilihannya, ayah atau ibunya. Demikian ini keputusan yang telah diambil oleh Khalifah 'Umar dan 'Ali.

Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah. Ia mengadu, "Suamiku ingin membawa pergi anakku," maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya: "Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau inginkan!" Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua berlalu.[3]

Apabila anak memilik ayahnya, maka ia berada di tempat tinggal sang ayah siang dan malam. Supaya ayahnya leluasa menjaga, mengajari dan mendidiknya. Akan tetapi, tidak boleh menghalangi keinginan anak untuk menjenguk ibunya. Sebab menghalanginya, berarti menumbuhkan sikap durhaka kepada ibunya dan menyebabkan terputusnya tali silaturahmi.

Jika ia memilih ibunya, maka si anak bersama ibunya saat malam hari. Sedangkan siang hari, ia berada bersama ayahnya, untuk menerima pendidikan dan pembinaan.

Akan tetapi, jika si anak diam, tidak menentukan keputusan dalam masalah ini, maka ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut tidak ada pihak yang sangat istimewa dalam pandangan anak, sehingga diputuskan dengan qur`ah (undian).

Keterangan di atas berlaku pada anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?

Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan dan penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan berarti ibunya tidak boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi ibu sang anak yang ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbul hal-hal yang tidak baik atau perbuatan haram.

Seandainya, ternyata ayah tidak mampu menangani pemeliharaan putrinya, atau tidak peduli dengan masalah itu, lantaran kesibukan atau kedangkalan agamanya, maka sang ibu berhak mengambil alih, dan sang anak perempuan ini hidup bersama ibunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang sudah berusia tujuh tahun), bila tidak menimbulkan bahaya (masalah) kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tidak mampu menjaga dan melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka ibunyalah yang (berhak) menangani penjagaan dan perlindungan baginya. Dalam kondisi seperti ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur kerusakan pada anak perempuan yang ditimbulkan oleh salah seorang dari orang tuanya, maka tidak diragukan lagi, pihak lain (yang tidak menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak menanganinya. [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila diperkirakan bapaknya menikah lagi dan menitipkan putrinya di pangkuan ibu tirinya itu yang enggan menangani kemasalahatannya, bahkan (ibu tirinya itu) menyakiti dan mengabaikan kebaikan bagi diri (putrid)nya, sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya, tidakmenyakitinya, maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak hadhonah menjadi milik ibu.[5]

SOLUSI JIKA TERJADI POLEMIK ANTARA ISTERI DAN MANTAN SUAMI BERKAITAN DENGAN PENGASUHAN ANAK

Tak dipungkiri, terkadang pengasuhan anak ini juga menimbulkan problema yang disebabkan persoalan yang kadang muncul.

Sebagai contoh, bila salah seorang dari suami atau isteri ingin bepergian jauh dan tinggal sementara di tempat yang dituju, tanpa ada maksud buruk, situasinya aman, maka dalam keadaan seperti ini, hak hadhonah menjadi milik ayah, baik ayah bepergian ataupun tidak. Ayahlah yang mesti mengurusi pendidikan dan pemeliharaannya. Karena, bila si anak berada jauh dari ayah, sehingga menyebabkan ayahnya tidak bisa melaksanakan tugasnya, akan berakibat si anak tidak terurus.

Jika bepergian tersebut tidak jauh, masih berada dalam jarak qoshor sholat, dan berencana tinggal di sana, maka hak asuh ini menjadi milik ibu si anak. Sebab, ibu lebih sempurna kasih sayangnya kepada anak. Dan lagi, dalam keadaan seperti ini, si ayah masih sangat mungkin bisa melihat keadaan anaknya.

Adapun, jika bepergian itu untuk suatu tujuan, kemudian langsung kembali, atau rute perjalanan maupun kondisi negeri yang dituju mengkhawatirkan, maka hak hadhonah beralih kepada pihak yang tidak bepergian. Sebab, bepergian dalam keadaan seperti itu, akan menimbulkan mara bahaya baginya.

Ibnul Qayyim menyatakan: "Kalau menginginkan kekisruhan masalah atau merekayasa untuk menggugurkan hak asuh ibu, kemudian si ayah bapak melakukan perjalanan yang diikuti oleh anaknya, (maka) ini merupakan hilah (rekayasa) yang bertentangan dengan tujuan yang dimaksudkan syari'at. Sesungguhnya syari'at menetapkan, ibu lebih berhak dengan hak asuh anak daripada bapak jika kondisi tempat tinggal berdekatan, sehingga dimungkinkan untuk menengok setiap waktu".[6]

Demikian kaidah-kaidah ringkas mengenai hak asuh anak. Bahwa Islam sangat menjaga dan memelihara ikatan keluarga, meskipun antara suami dan isteri, atau antara ayah dan ibu si anak tersebut melakukan perceraian, yang tentu saja akan memengaruhi psikologis anak itu sendiri. Solusi Islam ini sangat berbeda dengan yang ditawarkan hukum publik. Begitu juga sangat berbeda dengan yang dikembangkan masyarakat Barat. Di kalangan Barat, jika terjadi persengketaan antara suami isteri, perebutan anak asuh pasti terjadi dan penyelesaiannya pun berlarut-larut. Bahkan bisa jadi memutuskan tali kekerabatan di antara mereka. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain untuk menjaga keutuhan komunitas, kecuali dengan Islam. Wallahu a'lam. (Mas)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Majmu' al Fatawa.
[2]. HR Ahmad, Abu Dawud dan al Hakim. Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan.
[3]. HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah.
[4]. Fatawa Syaikhil-Islam.
[5]. Fatawa Syaikhil-Islam.
[6]. I'lamul-Muwaqqi'in.

Meniru-Niru Tindak-Tanduk Dan Suara-Suara Binatang


Tulisan ini membicarakan tentang hukum meniru-niru binatang. Baik dalam aspek tingkah-laku atau suara-suaranya. Tindakan ini sering dilakukan oleh para pendidik di level taman kanak-kanak, atau para orang tua dalam upaya mendidik anak-anak mereka yang masih kecil, atau para pendongeng. Baik dalam rangka mengenalkan alam semesta atau sekedar menghibur anak-anak.

Jika dengan mengetengahkan cerita-cerita fiksi, berarti sudah menambahinya dengan kedustaan. Tentang peran cerita dalam pendidikan dan pengembangan kemampuan analitik anak didik, tidak terbantahkan. Namun, sebagai pendidik, sudah saatnya untuk ‘berani’ berkata tidak terhadap cerita-cerita fiktif. Apalagi sampai mengadopsi cerita-cerita dari Barat.yang banyak berseberangan dengan syari'at.

Pasalnya, Islam sangat kaya dengan cerita-cerita yang edukatif, baik dalam al Qur`an maupun Al Hadits. Dalam sejarah Rasulullah n (sirah) sendiri sarat dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi cermin para pendidik muslim. Atau cerita-cerita perjalanan hidup para sahabat, tabi’in dan para ulama rabbani lainnya.

Komisi Fatwa Lajnah Daimah pernah disodori pertanyaan yang berbunyi:
Apakah boleh seseorang menulis kisah-kisah dari imajinasi khayalannya?. Pada dasarnya, isinya merupakan rekaan semata. Disampaikan sebagai cerita bagi anak-anak untuk mengambil nilai-nilai pelajarannya.

Mereka menjawab:
Seorang muslim haram menulis kisah-kisah yang dusta (fiktif). Dalam kisah-kisah yang ada dalam al Qur`an dan Hadits dan kisah-kisah lain yang menceritakan tentang fakta dan mencerminkan kebenaran sudah memadai untuk menjadi rujukan pengambilan pelajaran dan mauizhah hasanah.[1]

KAUM MUSLIMIN UMAT PALING AFDHAL
Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah memuliakan umat Islam di atas umat-umat lainnya. Keutamaan umat ini bukan karena suku, warna kulit, wilayah ataupun bahasa, namun berdasarkan ketakwaannya kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian”. [Al Hujurat/49 : 13.]

Kemuliaan ini harus senantiasa dijaga. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah mengatakan : "Apabila seorang muslim mengetahui bahwa Allah telah memuliakan umat ini, maka kewajibannya untuk memuliakan dan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang akan menghinakannya’. [2]

Islam menginginkan supaya kepribadian seorang muslim berbeda dengan orang-orang non muslim. Maka sudah semestinya, ia mempunyai jati diri yang sempurna dan layak dengan dirinya.

Oleh karenanya, aturan-aturan agama Islam begitu banyak melarang seorang muslim bertasyabbuh dengan bangsa-bangsa kafir yang telah binasa atau orang-orang kafir sekarang. Allah Azza wa Jalla berfirman :

"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang". [Al Maidah/5 : 48]

Sebagaimana juga Islam mengarahkan kaum muslimin agar berbeda dengan orang-orang yang dangkal (kurang) agamanya seperti ahli bid’ah, orang-orang sesat dan orang-orang fasik serta pelaku maksiat. Juga mengarahkan agar mereka menyelisihi karakter orang-orang yang kurang ilmu, seperti orang-orang Badui dan orang-orang yang serupa dengan mereka.

Syariat Islam juga menjamin keterpeliharaan fitrah yang Allah Azza wa Jalla ciptakan pada manusia. Sehingga melarang seorang lelaki tasyabuh dengan perempuan, atau sebaliknya. Sebab, masing-masing mempunyai peran tersendiri di kehidupan ini, kewajiban-kewajiban serta kodrat yang berbeda dengan lawan jenisnya. Juga Islam ingin meninggikan kedudukan seorang muslim dengan melarang bertasyabuh dengan hewan-hewan’[3]

TASYABUH DENGAN BINATANG.
Makna tasyabuh, seperti yang telah disimpulkan oleh Syaikh Jamil bin Habib al Luwaihiq dalam disertasinya : ‘Usaha seseorang untuk meniru selainnya dalam seluruh aspek yang menjadi ciri khas obyek yang ditiru atau sebagiannya saja’.

Dari definisi di atas, faktor kesengajaan berpengaruh. Artinya, apabila terjadi tasyabuh tanpa ada unsur kesengajaan, maka keluar dari topik ini. Demikian pula, obyek yang ditiru luas, mencakup makhluk yang berakal, misalnya manusia, ataupun tidak, seperti binatang. Ungkapan tasyabuh ini seringkali dipakai pada peniruan terhadap perkara-perkara yang zhahir (tampak).[4]

Syaikhul Islam menyoroti salah satu bentuk tasyabuh yang menjadikan manusia (seorang muslim) akan keluar dari fitrah dan nilai-nilai syariat Islam yang luhur . Yaitu meniru-meniru tingkah laku dan suara binatang-binatang. Kata beliau : ‘Tasyabuh dengan binatang-binatang dalam perkara-perkara yang dicela oleh syariat, merupakan perbuatan yang madzmum (tidak terpuji) lagi terlarang, dalam meniru-niru suara-suaranya, tindak-tanduknya dan lain sebagainya. Misalnya melolong layaknya lolongan anjing atau meringkik bak ringkikan keledai dan lain sebagainya. Sisi celanya ditilik dari beberapa alasan:

Alasan Pertama:
Qiyas Aula
Terdapat celaan meniru-niru sebagian manusia, seperti orang-orang Badui, non Arab dalam aspek yang menjadi karakter asli mereka. Pasalnya, peniruan tersebut akan mengakibatkan penurunan nilai-nilai dan menyeret kepadanya. Oleh karenanya, meniru-niru binatang pada sisi yang menjadi watak keasliannya lebih tercela dan lebih terlarang. [7]

Sebab, seorang manusia yang berasal dari Badui atau bukan orang Arab lebih baik dari anjing, keledai atau babi. Jika sudah terdapat larangan bertasyabuh dengan jenis-jenis manusia seperti ini, maka tasyabuh dengan binatang dalam aspek yang menjadi karakternya lebih tercela dan dilarang” [8]

Alasan Kedua:
Terdapat celaan terhadap orang-orang yang berwatak keras lantaran sering bergaul dengan sebagian binatang. Karena terpengaruh dengan kebiasaannya. Misalnya, orang-orang yang melatih anjing dan onta. Celaan ini berkonsekuensi melarang meniru-niru binatang-binatang tersebut dalam sifat-sifatnya yang tercela.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Bahkan kaidah ini, melalui makna peringatan implisit yang terkandungnya, melarang tasyabuh dengan binatang secara mutlak dalam aspek yang merupakan karakternya. Kendatipun, sebenarnya tidak tercela tindakan itu. Pasalnya, efeknya akan mengakibatkan peniruan pada dimensi yang nanti dicela”.[9]

Alasan Ketiga:
Manusia menjelma seperti binatang, sebuah kejadian yang tercela. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan sesungguhnya Kami menjadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. [Al A’raf : 179]

Alasan Keempat:
Sesungguhnya Allah menyamakan manusia dengan anjing dan keledai serta binatang lainnya dalam rangka mencelanya. Misalnya dalam firmanNya:

"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al Kitab). Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu. Lalu ia diikuti oleh syaithan (sampai ia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat iu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka, perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zhalim" [Al A’raf/7 : 175-177]

Dan firmanNya :

"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kital tebal…" [Al Jumu’ah/62 : 5]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

"Luruslah kalian dalam bersujud. Jangan sampai salah seorang kalian membentangkan lengannya seperti bentangan seekor anjing’" [HR. Al Bukhari no: 788 Muslim 493]

al Munawi menuliskan sebuah ta’liq pada hadits ini: “Dalam hadits ini terkandung larangan bertasyabuh dengan hewan-hewan yang hina dalam akhlak, sifat, cara duduk dan lain sebagainya”.[10]

Jika serupa dengan binatang itu saja sudah tercela padahal tanpa ada maksud untuk menirunya. Maka, orang yang sengaja ingin menirunya lebih tercela lagi. Tetapi, bila menirunya dalam obyek yang dicela oleh syariat, maka ia menjadi tercela dari dua sisi. Jika meniru dalam obyek yang tidak dicela oleh syariat, ia tercela dari sisi melakukan tasyabuh yang menyeretnya kepada perkara yang dicela. [11]

Alasan Kelima:
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ ...

"Sesungguhnya malaikat tidak masuk rumah yang berisi anjing".[HR. al Bukhari Muslim]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا

"Jika kalian mendengar kokokan ayam, maka mohonlah keutamaan dari Allah, karena sesungguhnya dia melihat Malaikat. Jika kalian mendengar ringkikan keledai, mintalah perlindungan kepada Allah dari syaithan, karena sesungguhnya ia melihat setan". [HR. Bukhari dan Muslim]

Ini menunjukkan bahwa suara-suaranya menyerupai syaithan dan menjauhkan malaikat. Dan sudah diketahui, yang meniru sesuatu, sudah pasti akan menyentuh sebagian hukum-hukumnya sesuai dengan kadar tasyabuh. Bila meringkik seperti ringkikan keledai, maka perbuatan ini mengandung penyerupaan dengan syaithan dan menjauhkan malaikat. Sesuatu yang mendatangkan syaithan dan menjauhkan malaikat, tidak diperbolehkan untuk dikerjakan kecuali dalam kondisi darurat. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan memiliki anjing kecuali dalam kondisi darurat. Untuk mendatangkan kemanfaatan, seperti dalam berburu atau mencegah bahaya dari binatang ternak atau tanaman. Sampai-sampai Nabi bersabda:

مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

"Barang siapa memiliki anjing selain untuk (menjaga) binatang ternak atau tanaman atau untuk berburu, akan berkurang amalannya sebesar qirath setiap harinya’" [HR. al Bukhari Muslim]

Alasan Keenam:
Qiyas tentang larangan tasyabuh lelaki kepada wanita dan sebaliknya.

Nabi melaknat orang-orang lelaki yang bertasyabuh dengan wanita, dan melaknat wanita-wanita yang bertasyabuh dengan lelaki’. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan ciri khas bagi masing-masing jenis. Namun, antara lelaki dan perempuan terdapat persamaan yang banyak sekali. Sisi persamaan ini tidak menjadi ciri khusus bagi masing-masing jenis. Karenanya, tidak ada larangan padanya. Misalnya kebutuhan makan, minum dan lainnya.

Larangan-larangan berlaku pada hal-hal yang menjadi ciri khasnya saja. Apabila perkara-perkara yang menjadi ciri wanita, maka tidak boleh lelaki bertasyabuh padanya. Dan perkara-perkara yang menjadi trade mark lelaki, wanita tidak boleh menirunya.

(Begitu pula) hal-hal yang menjadi ciri khas binatang, sudah tentu dan sepantasnya manusia tidak boleh menirunya dalam masalah-masalah itu.

Kesimpulan
Usai mengutarakan alasan-alasan di atas, Syaikhul Islam mengatakan:

"Apabila demikian, Allah telah menjadikan manusia benar-benar berbeda dengan hewan secara prinsip, serta menjadikan kesempurnaan dan kebaikannya dalam perkara yang pantas baginya. Seluruhnya tidak menyerupai hewan. Apabila ada orang yang sengaja meniru-niru hewan dan merubah penciptaan Allah, sungguh telah memasuki kerusakan fitrah dan syariat. Dan hukumnya haram wallahu a’lam.".[12]

Jadi, Islam datang mendukung fitrah manusia. Sebab, mustahil dalam agama Allah terdapat kandungan yang bertentangan dengan fitrah. Allah Maha Hakim, Maha Mengetahui ciptaanNya, menempatkan syariat yang berkorelasi dengan fitrah ciptaanNya.

Tidak berhenti pada penataan fitrah saja, syariat Islam juga mentazkiyah (mensucikan) fitrah manusia agar menjadi luhur. Tujuannya, agar kedudukan manusia terangkat lebih tinggi dari golongan binatang yang hanya ingin memenuhi kebutuhan duniawinya semata. Agar menjadi orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, yang selalu menunggu-nunggu kenikmatan yang Allah persiapkan bagi mereka di akhirat kelak di syurgaNya.

Sehingga fitrah manusia tetap berada di atas relnya, semakin mengkilat dan terjaga dari noda-noda. Karenanya, Islam menyandang sebutan dinul fitrah (agama fitrah).

Imam al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah z bahwasanya Nabi n pada malam menempuh perjalan Isra`, disodori dua bejana, salah satunya berisi air susu. Dan lainnya berisikan khomer. Malaikat Jibril berkata: ‘Minumlah apa yang engkau inginkan’. Beliau kemudian mengambil susu dan meminumnya. Setelah itu ada yang bersuara:

أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ

"Engkau menepati fitrah. Jika engkau mengambil khomer, niscaya umatmu akan tersesat".

Dalam lafazh yang lain:

أَصَبْتَ أَصَابَ اللهُ بِكَ أُمَّتُكَ عَلَى الْفِطْرَةِ

‘Engkau tepat. Allah telah mengarahkanmu kepada yang tepat. Umatmu akan berada di atas fitrah’.

Dalam lafazh lain, malaikat Jibril berkata:

اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ

“Engkau telah memilih fitrah” [13]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Fatwa Lajnah Daimah.
[2]. Raf’udz Dzulli.
[3]. At Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anhu.
[4]. At Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anhu.
[5]. Secara terperinci, silahkan lihat Majmu’ al Fatawa.
[6]. Majmu’ul Fatawa. dengan sedikit ringkasan, at Tasyabbuh al Manhiyyu Anhu Fil Fiqhil Islami.
[7]. Majmu al Fatawa. at Tasyabbuh al Manhiyyu.
[8]. ibid.
[9]. ibid.
[10]. Faidhul Qadir karya al Munawi. Kutipan dari at Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anh.
[11]. Majmu’ al Fatawa.
[12]. Majmu’ al Fatawa.
[13]. HR. al Bukhari dan Muslim

Tarbiyah Bagi Yatim


BATASAN YATIM MENURUT PARA ULAMA DAN ANJURAN BERBUAT IHSAN KEPADA MEREKA
Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

"Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya". [1]

Beliau hafizhahullah berkata, "Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam." [2]

Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahju.

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

"Tidak ada keyatiman setelah baligh ......" [3]

Kerabat ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya, mendidik serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi, menyayanginya serta mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap menghadapi hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syari’at Islam yang sempurna, tidak hanya membatasi kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya pada kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka.

Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu". [al Baqarah : 220].

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: Ketika turun ayat

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala". [an Nisa’: 10].

Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya, Pen).

Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud (ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara kalian juga. Dan (sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur dengan saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa.

Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. Demikian inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan maksud (tujuannya). [4]

Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا

"Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya". [5]

Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

METODE DAN SARANA TARBIYYAH BAGI ANAK YATIM

Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.

Diantaranya ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama yang mereka butuhkan ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang, terpenuhinya perasaan aman, serta kehadiran sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohaninya. Mereka juga membutuhkan dorongan motivasi untuk ikut berkembang dalam lingkungan masyarakat sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim adalah anak-anak yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka kehilangan muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua.

Untuk itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatim dan menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang berbuat baik kepada mereka.

Kondisi anak-anak yatim pun berbeda antara satu dengan lainnya. Di antara mereka ada yang kehilangan salah satu saja dari orang tuanya, yakni ibu atau bapaknya. Dalam kondisi semacam ini, biasanya mereka lebih mudah diarahkan dalam lingkungan yang baru, yaitu ketika orang tuanya (ibu atau bapaknya) yang masih hidup telah menikah lagi, kemudian ia memiliki saudara-saudara baru yang nantinya akan ikut berkembang bersama dengannya, dengan syarat orang tuanya tersebut menikah dengan duda atau janda yang telah memiliki anak-anak juga. Dengan mencurahkan segenap kesungguhan untuk memelihara mereka, insya Allah anak-anak yatim tersebut akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya permasalahan psikis yang cukup serius. Tentunya, hal ini terkait juga dengan din kedua orang tuanya. Artinya selama kedua orang tuanya itu konsisten dengan ajaran-ajaran Islam, dan mereka meluruskan niat dalam mengasuh anak-anak mereka, niscaya anak-anak mereka akan tumbuh normal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain, dengan taufik dari Allah. Jika tidak, tentunya usaha untuk mengarahkan anak yatim tersebut menjadi anak yang baik akan menemui banyak kendala, karena din adalah muara kebaikan bagi segala urusan hidup manusia.

Di antara mereka juga ada yang kehilangan ayahnya, sedangkan mereka memiliki kakak laki-laki yang mampu mengasuh dan mendidik mereka. Dalam keadaan seperti ini, sang kakak menggantikan posisi ayahnya, dengan syarat ia memiliki kepribadian kuat serta teguh pendirian; karena mengasuh anak-anak yatim bukanlah suatu pekerjaan ringan, dan tanggung jawabnya teramat besar. Bagi ibu dari anak-anak yatim tersebut, semestinya memberikan penghormatan kepada sang kakak, bahu-membahu bersamanya dalam mendidik anak-anaknya, serta mempercayakan kepemimpinan keluarga kepada sang kakak secara kongkrit. Hal yang demikian ini, memberikan efek kepada adik-adiknya yang yatim untuk tunduk terhadap perintah sang kakak, dan secara bersamaan juga kepekaan dan tanggung jawab sang kakak sebagai pengganti ayah akan tebentuk, sehingga ia terbiasa dan lebih memiliki kepercayaan diri untuk mengasuh dan mendidik adik-adiknya. Seorang ibu, meskipun ia memiliki kekuasaan untuk memerintah anak-anaknya, namun jika anak-anaknya itu telah menginjak masa dewasa, mereka tetap membutuhkan sosok pembimbing lain selain ibu, yakni sosok pemimpin laki-laki yang mampu mengarahkan mereka yang tidak lain adalah kakaknya tadi.

Diantara mereka ada pula yatim yang kehilangan salah satu dari orang tuanya karena perceraian, atau pun kepergian orang tua yang sangat lama, atau karena orang tuanya sakit, kemudian sang ibu tidak menikah lagi dan memilih tinggal bersama keluarganya sedangkan ia memiliki beberapa anak. Dalam kondisi seperti ini, sang yatim membutuhkan sosok pendidik lain, yaitu semisal kakek atau pamannya. Dan selayaknya, bagi ibu untuk memberikan kepercayaan kepada kakek atau paman dalam perkara-perkara penting, jika anak-anaknya telah tumbuh besar dan mereka tidak sepenuhnya lagi berada dalam kekuasaan sang ibu. Pengarahan kakek atau paman sangat berpengaruh bagi mereka, karena laki-laki pada umumnya lebih tegas dan berakal panjang dibandingkan wanita.

Berikut ini kami paparkan beberapa point yang memuat metode tarbiyyah bagi anak yatim. Di antaranya ialah sebagai berikut :

1. Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu memiliki kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban tanggung jawab pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna tentang problematika anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak membedakan anak-anak yatim itu antara yang satu dengan lainnya.

2. Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim tersebut untuk mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang meremehkan masalah ini serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi pemelihara anak yatim untuk memperlakukan mereka sebagaimana layaknya mereka memperlakukan anak-anak mereka sendiri.

3. Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim untuk bergaul dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal yang bisa menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi sikap memata-matai mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi kepercayaan untuk mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal dan dan fungsi sosialnya akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah memberikan pemahaman tentang tanggung jawab hidup kepada anak ketika mereka menginjak usia dewasa, fahamkan bahwa mereka adalah generasi harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut membantu anak untuk mencapai kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta kemapanan dalam berpikir untuk menghadapi hidup.

4. Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan penuh bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat tumbuh lurus tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya. Selayaknya mereka saling memberikan dan menunjukkan pengormatan kepada mantan pasangan, menghindari sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu dengan lainnya serta tidak membeberkan seluruh konflik yang terjadi di antara mereka berdua kepada sang anak. Dengan cara seperti ini, kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak ia dapatkan dari kedua orang tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap mulia dan perwira dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan lainnya meski dalam kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori sang anak. Sang anak akan tetap menghormati kedua orang tuanya, karena hal itu ia lihat dari sikap kedua orang tuanya dalam wujud nyata. Dan sebaliknya, jika kedua orang tua saling cela dan menyalahkan satu sama lainya, saling membeberkan kejelekan pasangannya di hadapan sang anak, hal ini akan merusak kepercayaan dan penghormatan sang anak kepada kedua orang tuanya sekaligus, sehingga ia tidak lagi mau menghormati kedua orang tuanya serta sulit untuk menerima arahan dan bimbingan dari keduanya.

ANCAMAN BAGI PEMAKAN HARTA ANAK YATIM DENGAN ZHALIM

Para yatim adalah golongan dhu’afa (kaum lemah) yang sangat membutuhkan tangan-tangan penuh kasih, yang mau mengayomi mereka, membimbing dan menjaga mereka dari ketergelinciran yang akan mencelakakan hidup mereka. Maka selayaknya bagi setiap wali dan pihak-pihak yang diberi amanah mengurusi mereka untuk selalu mengontrol hati mereka, senantiasa meluruskan niat demi meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, serta menjauhi sikap mengkhianati amanah, berbuat zhalim dan semena-mena terhadap anak yatim.

Berbuat zhalim kepada mereka merupakan dosa besar yang diancam dengan siksa neraka. Adzab memakan harta anak yatim secara zhalim terkadang langsung Allah berikan di dunia. Mungkin para yatim yang lemah itu, tidak bisa membalas kezhaliman yang mereka terima, tidak bisa menuntut haknya yang dirampas secara semena-mena. Namun janganlah kita lupa, Allah-lah yang menjadi penolong mereka. Hendaklah kita takut terhadap adzab Allah yang mungkin datang secara tiba-tiba dan kita ditimpa su’ul khatimah disebabkan kezhaliman kita, wal’iyadzubillah.

Telah banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta anak yatim secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan shighat tahrim (konteks pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di antara nash-nash tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An Nisa’ di atas:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala". [an Nisa’: 10]

Tentang tafsir ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, ”Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا

"Yaitu mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar. Batasan ini, (yaitu secara zhalim) mengeluarkan masalah sebelumnya, yaitu bolehnya memakan harta anak yatim bagi (pemelihara mereka ) yang faqir dengan cara yang ma’ruf, serta bolehnya mencampurkan makanan mereka dengan makanan para yatim".

Barangsiapa yang memakannya secara zhalim, maka (sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya), yaitu sesungguhnya yang mereka makan hakikatnya adalah api neraka yang menyala-nyala di dalam perut mereka, dan mereka sendiri yang memasukkan api tersebut ke dalam perutnya. وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً (dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala), yaitu api yang membakar dan menyala-nyala. Ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi dosa-dosa, yang menunjukkan keburukan memakan harta anak yatim, dan ia menjadi penyebab masuk neraka. Hal itu menunjukkan jika perbuatan itu termasuk salah satu dari dosa-dosa besar. Kita memohon keselamatan kepada Allah.” [6]

Kemudian firmanNya dalam surat Al Ma’un:

أَرَءَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ

"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim" . [al Ma'un : 1-2]

Imam Al Mufassir Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, "Allah Ta’ala berfirman: Apakah engkau tahu wahai Muhammad, (siapakah) yang mendustakan din? (Din) adalah (hari) kembalinya manusia, balasan serta pahala, فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (yaitu orang-orang yang menguasai anak yatim), menzhalimi haknya, tidak memberinya makan dan tidak berbuat baik kepadanya" [7]

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan kepada kaum mu’minin, berbuat zhalim kepada anak yatim merupakan sifat orang-orang yang mendustakan agama. Mereka akan dibalas atas kezhaliman tersebut dengan siksa yang amat keras. Wal’iyadzu billah.

Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

"Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah! Apakah perkara-perkara itu?” Beliau menjawab,”Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh wanita merdeka yang menjaga diri lagi beriman dan tidak berbuat kekejian". [8]

Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dengan jelas tersurat bahwa memakan harta anak yatim termasuk dari tujuh perkara yang membinasakan. Konteks larangan tersebut datang dengan lafazh ( اجْتَنِبُوا ). Hal ini menunjukkan keharaman yang lebih tegas daripada sekedar lafazh nahyi (larangan) [9]. Wallahu a’lam.

Demikian sedikit pembahasan berkenaan dengan anak yatim. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hambaNya yang menunaikan amanah. Wallahu waliyyu at taufiiq. (Ummu Abdillah).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Muslim.” Lihat Bahjatun Nazhirin.
[2]. Bahjatun Nazhirin.
[3]. Sunan Abu Dawud. Lihat Tafsir Ibni Katsir, tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.
[4]. Taisir Karimir Rahman.
[5]. HR Bukhari,” Lihat Bahjatun Nazhirin.
[6]. Taisir Karimir Rahman.
[7]. Tafsir Al Qur’an Al Azhim.
[8]. HR Bukhari . dan Muslim.
[9]. Lihat perkataan Syaikh Salim bin Id Al Hilai dalam Bahjatun Nazhirin.

Memilihkan Kisah Yang Mendidik

Kisah, keterkaiatannya dengan pendidikan anak, memiliki peran yang sangat penting, lantaran kisah juga merupakan salah satu metode pengajaran. Dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengajarkan berbagai kisah dari umat-umat terdahulu. Sehingga secara langsung bisa dipahami, bahwa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap masalah ini, yaitu dengan menyebutkan kisah-kisah yang mendidik dan bermanfaat sebagai metode dalam menyampaikan pengajaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mencontohkan kisah tentang Luqman Al-Hakim yang memberi wasiat kepada anaknya dengan wasiat yang sangat penting dan berharga.[1]

Demikian semestinya yang diterapkan dalam mendidik anak, ialah dengan mendasarkan kepada wahyu, yaitu Al-Kitab dan juga As-Sunnah. Karena dalam dua sumber tersebut terdapat kebaikan, kesempurnaan, dan tepat bagi manusia. Bukankah jika memperhatikan Al-Qur`an dan As-Sunnah, kita mendapatkan keterangan yang jelas kandungan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya?

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

"Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa".[Al-Baqarah/2:2].

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ

"Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu . . ." [An-Nisa/4:164].

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". [Yusuf/12:111].

Inilah di antara metode yang digunakan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam masalah pengajaran, yaitu dengan menuturkan kisah-kisah teladan. Kita dapatkan bahwasanya memberi nasihat dengan menuturkan cerita-cerita yang menarik, akan memberikan pengaruh yang besar pada jiwa anak-anak, apalagi jika sang penuturnya juga mempunyai cara yang menarik dalam menyampaikannya, sehingga mampu mempesona dan memberikan pengaruh mendalam bagi yang mendengarnya. Karena ciri khas kisah-kisah teladan, ia mampu memberikan pengaruh bagi yang membacanya maupun yang mendengarkannya. Oleh karenanya, sepatutnya sebagai pendidik, juga memberikan perhatian ketika menerapkan metode ini.

Terlebih lagi, di tengah masyarakat sejak dahulu telah merebak berbagai kisah ataupun hikayat yang tidak diketahui asal-usulnya. Banyaknya cerita fiktif dan sarat dengan kedustaan yang dijadikan sebagai sandaran dalam memberikan pengajaran kepada manusia umumnya, dan khusus kepada anak-anak. Kisah-kisah fiktif ini telah mempengaruhi pola pikir anak-anak kita. Misalnya menjadikan para penjahat sebagai pahlawan, dan orang-orang yang buruk perangainya menjadi sang pemenang, ataupun orang-orang fasik menjadi idola. Ini merupakan kejahatan terhadap anak-anak kita, dan cepat atau lambat akan menumbuhkan dampak buruk bagi anak didik kita.

MEWASPADAI KISAH-KISAH BURUK
Melihat merebaknya kisah-kisah fiktif dan dusta tersebut, maka layaklah jika kita mewaspadai adanya pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh cerita-cerita tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata kisah-kisah atau hikayat-hikayat tersebut dipenuhi dengan kemungkaran dan kemusyrikan, sehingga kita harus berhati-hati dan bersikap kritis. Misalnya sebagai berikut.

1. Cerita-Cerita Yang Menimbulkan Rasa Takut Dan Cemas.
Misalnya: cerita-cerita horor, hantu, makhluk yang menakutkan dan lain-lain.

Cerita-cerita seperti ini berpengaruh buruk pada diri anak-anak dan memunculkan sifat pengecut, tidak membentuk anak menjadi seorang yang pemberani. Anak akan terpengaruh dengan cerita yang ia dengar walaupun cerita tersebut telah berakhir. Pikiran anak akan selalu sibuk berkhayal adanya makhluk yang selalu mengikutinya, dan ia terus dihantui dengan rasa takut. Kekalutan ini akan mempengaruhi kepribadiannya, dan ia menjadi pribadi yang labil. Padahal kita semestinya membentuk pribadi anak menjadi pemberani dan berkepribadian kuat, bukan menjadi umat yang lemah dan penakut.

2. Cerita-Cerita Rakyat Yang Berisi Kedustaan, Khurafat, Mitos Dan Khayalan.
Sebagai misal : hikayat Malin Kundang, Sangkuriang, kisah kancil dan buaya, dan sebagainya.

Cerita-cerita klasik sejenis ini sangat banyak kita dapatkan di tengah masyarakat. Semuanya menceritakan hal-hal yang sulit diterima akal sehat dan dipenuhi kedustaan, bahkan mengarah kepada keyakinan syirik.

Ini juga akan membentuk pribadi anak sehingga senang untuk mempercayai hal-hal yang dusta, tidak masuk akal, tidak sesuai dengan kondisi riil, bahkan mustahil akan terjadi. Misalnya kisah Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu, Sangkuriang yang hendak mengawini ibunya sendiri atau kancil yang licik, suka menipu. Sungguh tak mustahil, kisah-kisah seperti ini telah memberikan pengaruh buruk pada anak-anak kita.

3. Cerita-Cerita Yang Lebih Menunjukkan Kekuatan Badan Daripada Akal.
Misalnya: kisah Tarzan, Superman, Spiderman dan lainnya.

Semua kisah-kisah seperti ini menceritakan bahwa tidak ada jalan untuk menyelesaikan masalah, kecuali dengan kekuatan dan kekerasan. Maka kisah semacam ini pun akan membentuk jiwa anak-anak menjadi jiwa yang suka bermusuhan, mengutamakan kekuatan badannya dari pada akalnya. Di samping itu, kisah-kisah ini telah menanamkan khayali pada anak. Lantaran apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama tersebut sangat tidak mungkin mewujud dalam kenyataan.

4. Cerita-Cerita Yang Mengunggulkan Kekuatan Jahat Dan Mengagungkannya.
Contohnya: orang zhalim berhasil mengalahkan orang-orang yang baik, penjahat berhasil memperdayai polisi.

Kisah semacam ini dituturkan kepada anak-anak dengan alasan untuk menjelaskan tentang perilaku-perilaku jahat, akan tetapi alasan ini melupakan tabiat anak-anak yang suka meniru apa yang ia lihat atau ia dengar. Yang pada akhirnya, kita banyak mendengar kejadian-kejadian mengerikan yang dilakukan oleh anak-anak, karena mencontoh yang mereka lihat atau yang mereka dengar.

5. Kisah-kisah yang berisi hinaan, celaan atau merendahkan orang lain, juga gangguan kepada orang yang lebih tua dengan berbagai perbuatan usil, bahkan hinaan kepada orang yang mempunyai cacat pada tubuhnya, seperti buta, dengan membuatnya jatuh di lobang atau semisalnya, tanpa memikirkan pengaruh buruk pada anak yang melihatnya.

Contoh paling nyata cerita-cerita seperti ini, yaitu film kartun Tom and Jery. Film ini sangat terkenal di kalangan anak-anak, bahkan orang dewasa. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi pendidikan, film ini sangat merusak. Karena memberikan gambaran perilaku yang buruk pada anak-anak, ketidak sopan-santunan, usil dan nakal. Pada gilirannya, tak mustahil perilaku dalam film ini akan ditiru dan dipraktekkan kepada orang-orang di sekitarnya, dan sebagai sebab munculnya perasaan lebih unggul di bandingkan yang lainnya.

Demikian juga film ini mengisyaratkan adanya perbuatan yang bersifat merendahkan bangsa lainnya, seperti bangsa kulit hitam. Sehingga dapat menimbulkan perasaan dengki, dendam dan juga perselisihan yang berkepanjangan. Demikian gambaran kisah-kisah yang ditampilkan di hadapan anak-anak kita, yang maksud dan tujuannya untuk mendidik, akan tetapi justru sebaliknya, yaitu tidak mendidik, bahkan merusak dan menimbulkan dampak negatif pada perkembangan kejiwaan anak-anak. [2]

HADIRKAN KISAH-KISAH TELADAN
Setelah mengetahui kandungan dan kemungkinan munculnya dampat negatif dari kisah-kisah fiktif tersebut, maka menjadi kewajiban kita untuk mengarahkan anak-anak agar menjauhi kisah-kisah fiktif dan penuh kedustaan tersebut. Kemudian mereka didekatkan dengan kisah-kisah teladan penuh hikmah. Misalnya kisah tentang para nabi Allah. Kisah-kisah teladan inilah yang semestinya mewarnai kehidupan anak-anak kita.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka". [Al-An'am/6:90].

Seperti halnya kisah Nabi Yunus Alaihissalam ketika berada di dalam perut ikan paus, Nabi Sulaiman Alaihissalam dengan burung Hud-Hud, juga kisah Nabi Yusuf Alaihissalam dengan saudara-saudaranya. Demikian pula kisah Nabi Musa Alaihissalam dengan Khidir, dan kisah-kisah lainnya.

Begitu juga anak harus didekatkan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sirah beliau ini, kita dapat memetik banyak pelajaran, sejak beliau masih di dalam kandungan, kemudian bapak beliau meninggal, sehingga beliau lahir dalam keadaan yatim, dan seterusnya. Banyak pula peristiwa-peristiwa besar yang beliau lewati, sehingga membawa perubahan besar bagi umat manusia. Begitu juga dengan kisah-kisah yang beliau tuturkan dalam hadits-hadist yang shahih. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah" [Al-Ahzab/33:21].

Demikian juga kita bisa menuturkan kepada anak-anak dengan kisah-kisah para sahabat Nabi, sebagaimana yang dipaparkan oleh seorang penyair:

Jika kalian tidak bisa menjadi seperti mereka, (maka) contohlah mereka!
Karena sesungguhnya, meneladani orang-orang mulia, merupakan keutamaan.

Sebagai contoh, kisah yang disebutkan dalam sirah 'Umar bin 'Abdil-'Azis (Juz 1, hlm 23). Yaitu kisah Amirul-Mukminin 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau melarang mencampur susu dengan air.

Awal kisah, pada suatu malam Khalifah 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak, bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan berkata: "Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah 'Umar melarangnya?"

Mendengar jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: "Umar tidak akan mengetahui."

Mendengar ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: "Kalaupun 'Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya."

Kata-kata anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati 'Umar. Sehingga pada pagi harinya, anaknya yang bernama 'Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya, dan beliau berkata: "Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut," maka menikahlah 'Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan, yang darinya kelak akan lahir Khalifah 'Umar bin 'Abdil 'Azis.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut ialah sebagai berikut.
- Kesungguhan salaf dalam mendidik anak-anak mereka.
- Selalu menanamkan sifat muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain.
- Tidak meresa segan untuk memberikan nasihat kepada orang tua.
- Memilihkan suami yang shalih atau istri yang shalihah bagi anak-anaknya.

Penggalan kisah ini hanya sekedar contoh, bagaimana cara kita mengambil pelajaran berharga dari sebuah kisah, kemudian menanamkannya pada anak-anak kita, dan masih banyak contoh lainnya, baik di dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits yang bisa digali dan jadikan sebagai kisah-kisah yang layak dituturkan kepada anak-anak kita.

PELAJARAN DAN KEUTAMAAN KISAH-KISAH TELADAN

Kisah-kisah teladan mempunyai keistimewaan yang sangat berbeda dengan kisah-kisah fiktif maupun mitos, yaitu dari sisi kebenarannya, dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Di dalamnya juga terkandung tujuan-tujuan mulia.

1. Kisah mampu memberikan peran yang penting dalam menarik perhatian, mengembangkan pikiran dan akal anak. Karena dengan mendengarkannya, dapat mendatangkan kesenangan dan kegembiraan.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbiasa membawakan kisah di hadapan para sahabat, baik yang muda maupun yang tua. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap kisah yang dituturkan beliau, berupa berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau, agar bisa mengambil pelajaran darinya, baik oleh orang-orang sekarang maupun sesudahnya hingga hari Kiamat

2. Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan kepercayaan anak-anak terhadap sejarah tokoh yang menjadi tauladan mereka. Sehingga akan menambah semangat untuk maju, serta membangkitkan semangat ke-islaman mereka agar lebih mendalam dan menggelora.

3. Kisah-kisah para ulama yang mengamalkan ilmunya, demikian juga kisah-kisah orang-orang shalih merupakan sarana terbaik untuk menanamkan berbagai sifat utama pada diri anak-anak, serta mendorongnya untuk siap mengemban berbagai kesulitan untuk meraih tujuan mulia dan luhur.

4. Kisah-kisah teladan juga akan membangkitkan anak-anak untuk mengambil teladan dari orang-orang yang mempunyai tekad kuat dan mau berkorban, sehingga ia akan terus naik menuju derajat yang tinggi dan terhormat.

5. Tujuan utama menuturkan kisah-kisah teladan tersebut, yaitu untuk mendidik dan membersihkan jiwa, bukan hanya sekedar untuk bersenang-senang atau menikmati kisah-kisah itu saja.

Oleh karena itulah, cerita juga memiliki peran sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut. Sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga banyak memaparkan kisah orang-orang terdahulu kepada para sahabatnya, untuk kemudian diambil pelajaran dan peringatan darinya. Kebiasaan beliau n dalam berkisah, beliau mendahului dengan uangkapan “telah terjadi pada orang-orang sebelum kalian", kemudian beliau n menuturkan kisah tersebut, dan para sahabat mendengarkannya dengan seksama sampai selesai. Dalam hal ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerapkan metode Ilahi, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla.

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

"Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir". [Al-A’raaf/7:176].

Para sahabat pun mengambil pelajaran pada setiap kisah yang dituturkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mendapatkan manfaat dari sisi pendidikan dan akhlak, sebagai bekal yang berguna bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.

Demikianlah semestinya seorang anak dibiasakan hidup dalam nuansa kisah-kisah yang pernah dibawakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sirah Nabi dan juga kisah-kisah dalam Al-Qur`an, agar ia terbiasa hidup dalam nuasa iman dan suri teladan yang utama, sehingga keimanannya semakin hari semakin kokoh. Wallahu a’lam.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Kaifa Nurabbi Auladana wa Mâ Huwa Wajib Al-Aba-i Wal-Abna’.
[2]. Lihat kitab At-Tarbiyyah bil-Qishashi, dengan beberapa perubahan.
[3]. Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah li-Thifli.

Memperlakukan Anak Dengan Lemah Lembut Tanpa Kekerasan

Sebuah tragedi memilukan dan susah untuk dipahami. Seorang anak kecil tewas terbunuh oleh orang tuanya sendiri, lantaran orang tua gregetan atas tangisan sang anak yang tidak segera berhenti. Sang ayah pun “memperlihatkan” kekuatannya, sehingga darah dagingnya tersebut menghembuskan nafas terakhir, di tangan orang tuanya sendiri.

Kisah memilukan semacam ini bukan imajinatif, tetapi pernah terjadi. Sebuah tindak kekerasan orang tua di lingkungan keluarga. Yang semua terjadi karena sikap emosi dan ketidak sabaran. Padahal, tubuh mungil itu seharusnya mendapatkan belaian kasih sayang. Karena kewajiban bagi orang tua untuk memberikan bimbingan bagi anak, sebagai implementasi amanah yang dibebankan kepada orang tua. Meski saat menghadapi sang anak, tak mustahil orang tua merasa kewalahan karena perilaku yang tidak menyenangkan dari si anak. Begitulah, anak yang merupakan amanah, tetapi juga bisa menjadi sumber cobaan.

ANAK MERUPAKAN AMANAH, SEKALIGUS SUMBER COBAAN
Sebagai konsekuensi dari amanah, orang tua dituntut untuk memberikan perhatian, mencurahkannya kepada sang buah hati dengan penuh kesungguhan. Baik yang berbentuk material maupun psikis. Orang tua harus mempunyai kewajiban memberi bimbingan demi kebaikan dan keselamatan anak. Secara implisit, di dalam al Qur`an surat Tahrim ayat 6, Allah telah mengingatkan pentingnya hal ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…" [at Tahrim : 6].

Setelah mengetengahkan ayat di atas, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan: “Ibu, ayah, guru dan masyarakat bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala kelak tentang pendidikan generasi penerus mereka. Jika mereka telah melaksanakan yang terbaik, niscaya sang anak dan mereka akan bahagia di dunia dan akhirat. Tetapi apabila melalaikan pembinaannya, niscaya akan celaka, dan dosa akan berada di pundak-pundak mereka”.[1]

Anak, selain berfungsi sebagai penyejuk mata orang tuanya, juga bisa berperan menjadi fitnah yang bisa menggoda, bahkan berpotensi menjerusmuskan orang tuanya menuju jurang kenistaan. Cobaan ini bisa terjadi, lantaran fitrah orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya, sehingga terkadang apapun yang menjadi tuntutan kebutuhan sang anak, selalu berusaha dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan tanpa reserve ini bisa menjadi salah satu sumber fitnah ini, tak mustahil membebani kemampuan orang tua, sehingga tatkala tak terpenuhi, ia bisa menimbulkan intrik (masalah).

Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam al Qur`an memperingatkan :

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadapnya …" [at Taghabun : 14].

Syaikh as Sa'di menyatakan: "Ini merupakan peringatan Allah bagi kaum Mukminin agar tidak terjerumus oleh tipuan istri dan anak-anaknya. Sebab, sebagian mereka bisa berperan sebagai musuh. Dan musuh adalah sosok yang menginginkan kejelekan bagimu. Maka tugasmu adalah, mewaspadai anggota rumah tangga dari sifat tersebut. Sementara tabiat jiwa manusia berkecenderungan mencintai istri dan anak-anak…”[2]

KASIH-SAYANG MERUPAKAN PRINSIP ISLAM[3]
Sifat rahmat dalam agama kita cakupannya meliputi dunia dan akhirat, manusia, hewan, bangsa burung dan lingkungan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan rahmatku meliputi sagala sesuatu." [al A’raf : 156].

Dalam ayat di atas, Allah menyifati diriNya dengan sifat rahmat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". [al Anbiya’ : 107].

Kata al ‘alamin dalam ayat di atas bersifat umum, menyangkut manusia, jin, hewan, burung, binatang-binatang penghuni daratan maupun lautan. Allah l memerintahkan (kaum Muslimin) bersikap kasih-sayang dalam segala hal dan tindakan. Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang padanya mesti lebih besar, dan kelembutan kepadanya lebih dituntut lagi. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang menghardik anak yatim dan berbuat jahat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau bertindak sewenang-wenang". [adh Dhuha:9].

Siapapun menyukai kelembutan dan sikap simpatik. Hal ini sudah menjadi tabiat manusia, mereka lebih menyenangi sosok-sosok yang penampilannya sejuk tidak angker. Cerminan implemenatsi kasih-sayang ini telah dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mencela orang yang tidak mempunyai rasa kasih-sayang pada anak-anaknya.

Imam al Bukhari menuliskan sebuah judul, bab rahmatu al waladi wa taqbilihi wa mu’anaqatihi, (bab kasih-sayang pada anak, menciumi dan memeluknya). Dalam bab ini, Imam al Bukhari membawakan sebuah hadits yang menceritakan, bahwa suatu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kedatangan seorang sahabat yang bernama Aqra’ bin Habis. Ia melihat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mencium al Hasan (cucunya). Maka ia berkomentar: “Aku mempunyai sepuluh orang anak, (namun) aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka,” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

"Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi".[4]

BUKAN KEKERASAN, TETAPI LEMAH-LEMBUT
Di tengah keluarga, anak-anak juga mempunyai hak layaknya anggota keluarga lainnya. Terutama hak untuk meraih hangatnya kasih-sayang dari orang tua atau pun penghuni rumah yang lain. Anak-anak meruapakan bagian dari keluarga yang mendapatkan perhatian dan kasih-sayang penuh, supaya pertumbuhan jasmani dan psikisnya baik.

Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang, sikap lemah-lembut kepadanya, semestinya lebih besar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencurahkan perhatian ekstra terhadap anak-anak, wanita dan orang tua renta, atau orang yang belum tahu (jahil).

Sebagai contoh, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mencaci-maki orang badui yang kencing di masjid, juga tidak memukulnya. Sebab orang tersebut belum mengetahui hukum dan kondisi. Oleh karena itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersikap kasar kepadanya, justru melarang sebagian sahabat yang berniat untuk menghentikan polahnya yang tidak terpuji di masjid.[5]

Demikian juga, saat mengomentari kesalahan sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami yang mendoakan orang yang bersin di tengah shalat. Usai shalat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menasihati : “Ini adalah shalat, tidak pantas di dalamnya diucapkan omongan-omongan dengan orang. (Yang dikerjakan) hanya mengucapkan tasbih, takbir dan membaca al Qur`an”.

Begitu melihat lembutnya teguran Nabi, maka ia pun berkata : “Aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Aku tidak pernah melihat pendidik sebelum dan sesudah itu yang lebih baik cara mendidiknya dibandingkan beliau. Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, (juga) tidak mencaci makiku”.[6]

Itulah karakter yang mendominasi pribadi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menjadi uswah (teladan) bagi seorang guru, pendidik ataupun orang tua. Sifat kelembutan dan kasih-sayang menjadi simbol, apalagi kepada anak-anak.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan mengingat Allah dengan banyak". [al Ahzab : 21].

Apabila rasa cinta, kasih sayang orang tua (dan pendidik) kurang tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang berperi laku aneh di tengah komunitasnya, yaitu kawan-kawannya. Misalnya tidak pandai berinteraksi dengan orang luar, kurang memiliki kepercayaan diri, kurang memiliki kepekaan social, tidak mampu menumbuhkan semangat gotong-royong ataupun pengorbanan. Kelak, kadang-kadang ia tidak bisa menjadi seorang ayah yang penyayang, atau pasangan yang baik interaksinya, juga tidak bisa berperan sebagai tetangga yang enggan mengganggu tetangganya, dan efek negatif lainnya. Sebab itu, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih kepada anak-anaknya.[7]

KEZHALIMAN AKAN MENDAPAT BALASAN

Islam memberlakukan juga cara mendidik anak dengan sanksi (iqab). Namun bentuk-bentuk sanksi itu merupakan pilihan terakhir, dan harus sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan Islam. Orang tua (setiap muslim) tidak boleh bertindak aniaya kepada siapa saja, apalagi menjadikan anak-anak sebagai obyek pelampiasan kemarahan, kompensasi dari stress ataupun kejengkelan yang sedang menyelimuti kepala orang tua. Menghukum orang dewasa yang tidak bersalah saja dilarang keras oleh Islam, apalagi menghukum anak-anak yang masih kecil yang tidak berdosa dan tidak berbuat salah.

Tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum orang tua, ibu atau ayah, baik yang bersifat fisik, emosi ataupun psikis, tetap saja termasuk dalam kategori kezhaliman, yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak di Akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Maka, demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua". [al Hijr : 92].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan di dalam hadits hasan riwayat an Nasa-i : “Sesungguhnya Allah akan menanyakan setiap penggembala (setiap orang yang diamanahi dengan tanggung jawab) tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya, apakah ia memeliharanya atau menyia-nyiakannya?”

Abu Mas'ud al Badri Radhiyallahu 'anhu pernah mengisahkan:

كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ فَلَمْ أَفْهَمْ الصَّوْتَ مِنْ الْغَضَبِ قَالَ فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ قَالَ فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي فَقَالَ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ أَنَّ اللَّهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ قَالَ فَقُلْتُ لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا. و في رواية : فَسَقَطَ مِنْ يَدِي السَّوْطُ مِنْ هَيْبَتِهِ

"Aku pernah memukul budak lelakiku. Kemudian aku mendengar suara dari belakang yang berbunyi : "Ketahuilah, wahai Abu Mas'ud," aku tidak memahami suara itu karena larut dalam emosi. Tatkala orang itu mendekat, ternyata adalah Rasulullah. Beliau berkata : "Ketahuilah, wahai Abu Mas'ud. Sesungguhnya Allah lebih kuasa menghukummu daripada dirimu terhadap budak lelaki itu”. Ia kemudian berkata : "Setelah itu, aku tidak pernah memukul seorang budak pun". Dalam riwayat lain : "Cambukku terjatuh dari tanganku karena kewibawaan beliau".[8]

EFEK NEGATIF KEKERASAN PADA ANAK DALAM RUMAH TANGGA
Orang tua yang sukses dalam mendidik anak harus menjauhi cara-cara hukuman fisik. Impian setiap pasangan adalah, anak-anak mereka tumbuh dan berkembang secara optimal, agar kelak menjadi manusia yang memiliki kepribadian matang.

Kekerasan, disamping merupakan tindakan itu sia-sia, hal itu juga berbahaya bagi pelaku dan obyeknya. Metode mendidik dengan tindakan fisik, seperti menampar, mencubit atau memukul tidak efektif memberikan penyadaran. Justru yang sangat mungkin akan menimbulkan luka batin, trauma, serta mengganggu pertumbuhan kepribadian anak. Dia akan menjadi pendiam dengan menyimpan kebencian karena karakternya sudah hancur oleh penghinaan dan ejekan [9]. Atau sebaliknya, sang anak menjadi hiperaktif atau dia justru mengalami depresi. Sangat mungkin pula terjadi, anak menjadi dendam saat beranjak dewasa nanti atas perlakuan orang tuanya yang menyakitkan.

Bahkan kemungkinan juga terjadi cacat fisik atau kematian. Pada saat itulah akan muncul penyesalan, namun nasi sudah menjadi bubur.

Layak untuk direnungkan perkataan Ibnu Khaldun : “Barangsiapa yang pola asuhannya dengan kekerasan dan otoriter, baik (ia) pelajar atau budak ataupun pelayan, (maka) kekerasaan itu akan mendominasi jiwanya. Jiwanya akan merasa sempit dalam menghadapinya. Ketekunannya akan sirna, dan menyeretnya menuju kemalasan, dusta dan tindakan keji. Yakni menampilkan diri dengan gambar yang berbeda dengan hatinya, lantaran takut ayunan tangan yang akan mengasarinya”.[10]

Oleh karenanya, untuk menjadi perhatian kita, bahwa :
1. Berinteraksi dengan anak kecil harus dilandasi dengan sifat kasih sayang dan cinta. Kekerasan hanya akan menimbulkan efek yang negatif bagi anak.
2. Islam melindungi hak-hak anak-anak.
3. Setiap apa yang kita lakukan, termasuk kezhaliman, maka perbuatan seperti ini akan mendapat balasan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Kaifa Nurabbi Auladana.
[2]. Taisiru al Karimi ar Rahman.
[3]. Pembicaraan tentang rahmat disarikan dari tulisan ar Rahimuna Yarhamuhu ar Rahman, Syaikh Dr. Muhamammad bin Musa bin Nashr secara ringkas, Ithafu al Khiayarari al Maharati fi Ma’rifati Wasaili at Tarbiyah al Muatstsirah.
[4]. Shahih al Bukhari, kitab al Adab,. bab Rahmatu al Waladi wa Taqbilihi wa Mu’anaqatihi; Muslim, kitab al Fadhail.
[5]. HR Muslim.
[6]. HR Muslim.
[7]. Lihat Ushul at Tarbiyah al Islamiyyah, karya Abdur Rahman an Nahlawi..
[8]. HR Muslim.
[9]. Kaifa Nurabbi Waladaka.
[10]. Al Muqaddimah, Lihat pula Kaifa Nurabbi Waladaka, karya Laila bintu Abdir Rahman al Juraiba.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...