Searching

Hikmah Dibalik Larangan Adopsi Anak

Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan anak. Secara alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di muka bumi. Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber kegembiraan di tengah keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak menjadi tumpuan harapan.

Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah rumah tangga yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga, tidak heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman mutakhir ini banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang anak, baik dengan operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan mengadopsi anak. Dalam fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah tabanni. Lantas bagaimanakah menurut tinjauan hukum Islam?

SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.

Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.[1]

Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh". Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah binti Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu 'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.

Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?

Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".

Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5.[2]

HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.

Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.

Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur. Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ . ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ

"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]

Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat 'Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah". al-Ahzab/33 ayat 5."[3]

Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.

Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا ئِِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ

"Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir [4]. [HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215]

Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata "saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)", padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).[5]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه, فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين, لايقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا

"Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah" [HR Muslim, no. 3314 dan 3373]

PENGECUALIAN HUKUM
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu" [al-Ahzab/33:5]

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa. Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah rahimauhllah yang menyatakan, apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung, berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa.[6]

Mengomentari hadits al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan no. 6768), al-Imam Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: "Kedua hadits ini tidak memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di atas, seperti al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu orang yang berpaling dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa jahiliyyah masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat "Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah" –al-Ahzâb/33 ayat 5- dan firman-Nya "Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian" –Qs al-Ahzâb/33 ayat 4.

Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad, karena bapaknya bukanlah al-Aswad, akan tetapi 'Amr bin Tsa’labah al-Bahrâni.[7]

Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat yang mengadopsi beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan sengaja.[8]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أنا ابن عبد المطلب, أنا النبي ولا كذب

"Aku adalah anak 'Abdul-Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan" [HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78; at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487]

Padahal nama beliau adalah Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdil-Muththalib, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya.[9]

PERKARA-PERKARA YANG DIBATALKAN

Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.

1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya, yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu.

Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا

"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya (Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan para isteri tersebut" [al-Ahzâb/33:37]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.[10]

Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: …(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…(Qs an-Nisaa`/4 ayat 23).

Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.[11]

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.[12]

Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.[13]

5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.

KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.

Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا

"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80]

Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.

Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah, maula Nabi (budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat Nabi yang terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah masih hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun..
[2]. Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. 'Abdur-Rahmân Ra’fat al-Bâsya.
[3]. HR al-Bukhari, Muslim; at-Tirmidzi,dll.
[4]. Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi makna yang mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir, apabila sang pelaku menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari al-Minhaj, karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits nomor 212.
[5]. Lihat al-Fath
[6]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân.
[7]. Lihat al-Fath.
[8]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân
[9]. Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Cet. Darus-Salam..
[10]. Al-Mishbahul-Munir.
[11]. Al-Mishbahul-Munir.
[12]. Al-Umm (6/69).
[13]. Al-Mughni (9/518).

K u n - y a h/Sebutan Penghormatan


Kun-yah adalah setiap nama yang dimulai baik dalam sebutan panggilan atau tulisan dengan Abu Fulan atau Abu Fulanah bagi laki-laki. Contohnya seperti : Abu Abdillah (dari nama Abdullah), Abu Unaisah (kun-yah/nya penulis). Dan Ummu Fulan atau Ummu Fulanah bagi perempuan. Contoh seperti : Ummu Abdillah atau Ummu Unaisah.

Kun-yah merupakan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Dan kun-yah juga merupakan kemuliaan bagi orang yang di kun-yah/kan [1]. Kun-yah merupakan kebiasaan kaum muslimin dan warisan yang turun temurun dari zaman ke zaman sampai mereka meninggalkannya. Demikian seriusnya perhatian ulama terhadap masalah kun-yah sehingga kalau kita membaca kitab-kitab rijalul hadits, kita akan dapati bab kun-yah tersendiri. Bahkan sebagian ulama memerlukan menyusun kitab khusus berbicara tentang masalah kun-yahnya para perawi hadits. Seperti Imam Muslim dengan kitabnya Al-Kuna wal Asma dan Imam Ad-Dulabiy dengan kitabnya Kitabul kuna wal Asma.

Tentang sunahnya kun-yah ini sangat luas sekali diantaranya.
Pertama : Bolehnya seorang itu berkun-yah meskipun dia belum menikah yang dengan sendirinya belum mempunyai anak. Seperti Anas bin Malik dikun-yahkan dengan Abu Hamzah atau Abu Hurairah yang namanya Abdurrahman dikun-yahkan dengan Abu Hurairah padahal keduanya belum menikah.

Kedua : Atau seorang yang telah menikah akan tetapi belum mempunyai anak atau tidak mempunyai anak sama seperti Aisyah dikun-yahkan dengan Ummu Abdillah. Padahal Aisyah tidak mempunyai anak dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia di kun-yahkan dengan nama keponakan/nya yaitu Abdullah bin Zubair anak Asma bin Abi Bakar Ash-Shidiq. [2]

Ketiga : Boleh seorang berkun-yah dengan yang bukan dengan nama anak-anaknya seperti Abu Bakar. Padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Bakar. Dan Umar dikun-yahkan dengan Abu Hafs padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Hafs. Dan lain-lain.

Keempat : Boleh memberi kun-yah kepada anak yang masih kecil berdasarkan riwayat shahih dibawah ini.

عَن أَنَسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صلّى اللّه عَليه و سلم أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرِ – قَالَ : أَحْسِنُهُ فَطِيْمًا- وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ : يَا أّبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّّغَيْرُ؟ (قَالَ:) نُغَيْرٌ كَانَ يَلْعَبْ بِهِ

"Dari Anas, dia berkata : Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil (dikun-yahkan) dengan Abu Umair -dan dia sudah disapih-. Dan beliau apabila datang (yakni ke rumah Anas) berkata, Ya, Aba Umair, apa yang telah diperbuat oleh Nughair?"

"Berkata Anas, Nughair yang dipakai bermain oleh Abu Umair".

Dikeluarkan oleh Bukhari  di kitab Shahihnya dan dikitabnya Adabul Mufrad , Abu Dawud , Tirmidzi  dan Ibnu Majah dan lain-lain.

Hadits yang mulia ini memberi fawaa-id yang demikian banyak dengan mengumpulkan seluruh jalannya dan lafadz-lafadznya sampai enam puluh faedah sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath  di antaranya ialah bolehnya memberi kun-yah kepada anak-anak yang masih kecil sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi kun-yah kepada saudara Anas yang masih kecil dengan Abu Umair. [3]

Kelima : Bolehnya memberi kun-yah kepada seseorang dengan sesuatu yang ada pada orang tersebut. Seperti Ali bin Abi Thalib dikunyah-kan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Abu Turab (yang artinya bapak tanah). Kejadiannya ketika Ali sedang tidur di masjid punggungnya ketutupan tanah, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membangunkannya sambil berkata, Ya, Aba Turab bangunnlah! [4]

Keenam : Bolehnya seseorang mempunyai lebih dari satu kun-yah seperti Ali, selain di kun-yah/kan dengan Abu Turab, dia pun di kun-yah/kan dengan Abu Hasan mengambil nama anaknya yang pertama yaitu Hasan.

Ketujuh : Bolehnya berkun-yah dengan anak laki-laki atau anak perempuan.

Kedelapan : Bolehnya ber kun-yah bukan dengan nama anak tertua, akan tetapi yang telah maklum ber kun-yah dengan anak tertua mengambil perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau ber kun-yah dengan anak tertua beliau yaitu Abul Qasim. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hani, Maka (kun-yah)mu adalah Abu Syuraih. Mengambil anak tertua Hani, yaitu Syuraih.

Kesembilan : Lantaran ber kun-yah merupakan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kemuliaan atau penghormatan kepada orang yang di kun-yahkan, maka tidak ada kun-yah bagi orang kafir karena tidak ada kemuliaan dan kehormatan bagi mereka kecuali mereka tidak dikenal melainkan dengan kun-yah/nya.

Kesepuluh : Telah berselisih para Ulama tentang hukum berkunyah dengan kun-yah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah terjadi kesepakatan (ijma') di antara mereka tentang Sunnahnya memberi nama dengan nama beliau yaitu Muhammad atau Ahmad. Barangkali yang lebih mendekati kebenaran -wallahu a'lam- illat (sebab) larangan beliau terbatas dimasa hidup beliau agar tidak terjadi kesamaran di waktu berbicara atau memanggil. Ketika beliau telah wafat maka dengan sendirinya illat tersebut pun hilang. Lebih lanjut bacalah masalah ini di Fat-hul Baari dan di Tuhfatul Maudud .
    ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
    [1]. Oleh karena itu tidak patut memberi kun-yah kepada orang-orang kafir karena tidak ada kemuliaan bagi mereka kecuali mereka telah masyhur dengan kun-yahnya.
    [2]. Sunan Abi Dawud, Adabul Mufrad oleh Imam Bukhari
    [3]. Syarah Muslim Kitabul Adab oleh Imam An-Nawawi
    [4]. Fat-hul Baari Adabul Mufrad

    Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Memperingatkan Anak Yang Melakukan Kekeliruan


    Fenomena yang muncul di hadapan kita, adanya asumsi keliru memandang anak sebagai personal yang belum layak untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar pada diri mereka, merupakan pandangan yang perlu dikoreksi. Dalih yang melatarbelakangi asumsi ini, karena memandang anak-anak masih kecil, sehingga mereka dianggap sebagai hal yang lumrah bila melakukan kekeliruan. Maka tak ayal, membiarkan anak dalam keadaan seperti itu juga menjadi hal yang biasa di kalangan orang tua. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif, karena anak menjadi terbiasa melakukan kekeliruan, yang berarti mereka tumbuh dan berkembang dengan dituntun budaya kejahatan dan alergi terhadap kebaikan.

    Allah Azza wa Jalla telah menggambarkan kedudukan ummat Islam sebagai ummat terbaik. Dan ini menjadi salah satu sebab disandangnya sebutan tersebut, yaitu sebagai umat yang selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imran ayat 110). Begitu pula yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak-anak, meski usia mereka belum baligh. Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan peringatan kepada mereka. Ini menjadi contoh kongkrit, bahwa pada diri anak-anak yang belum baligh juga perlu diterapkan nahi munkar atas diri mereka.

    Yang mesti diperhatikan, dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada diri anak, tidak cukup hanya ditempuh dengan cara pelarangan keras dan mencemooh mereka, tetapi hendaklah dengan menggunakan langkah-langkah dakwah yang benar. Yaitu dengan memberikan nasihat dan bimbingan. Jika hal itu tidak berhasil, maka bisa dilakukan dengan sikap yang tegas, begitu seterusnya. Lihat Ihya ‘Ulumuddin (2/329), Muhtashar Minhajil Qashidin (hlm. 135-137), Tanbihul Ghafilin ‘An A’malil Jahilin (hlm. 47-60).

    Berikut kami contohkan peringatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu (Ibnu ‘Abbas) yang waktu itu masih kecil.

    NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL BERDIRI DI SEBELAH KIRI BELIAU PADA WAKTU SHALAT
    Si kecil ‘Abdullah bin ‘Abbas menginap di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah. Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat malam, Ibnu ‘Abbas juga bangun untuk shalat bersama Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik Ibnu ‘Abbas sehingga berada di sebelah kanan Beliau.

    Asy Syaikhani, Al Bukhari Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Suatu malam aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Setelah beberap saat malam lewat, Nabi bangun untuk menunaikan shalat. Beliau melakukan wudhu` ringan sekali (dengan air yang sedikit) dan kemudian shalat. Maka, aku bangun dan berwudhu` seperti wudhu` Beliau. Aku menghampiri Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau memutarku ke arah sebelah kanannya dan meneruskan shalatnya sesuai yang dikehendaki Allah …”. [1]

    Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits yang mulia ini, ialah :
    1). Ihtisab (dakwah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ibnu ‘Abbas yang melakukan kesalahan karena berdiri di sisi kiri Beliau saat menjadi makmum dalam shalat bersama Beliau. Karena seorang makmum harus berada di sebelah kanan imam, jika ia sendirian bersama imam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan kekeliruan Ibnu ‘Abbas dengan dalih umurnya yang masih dini, namun Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap mengoreksinya dengan mengalihkan posisinya ke kanan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

    2). Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian, meski dalam keadaan sedang shalat, tidak menghalangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan nahi munkar terhadap anak kecil yang melakukan kesalahan dalam shalatnya. Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian dan pengawasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak serta adanya bimbingan menuju kebenaran.

    Realitas ini berlawanan dengan sikap para orang tua. Meski para ibu atau ayah menyibukkan dengan amalan ketaatan, seperti mengerjakan shalat nafilah, membaca Al Qur`an, duduk untuk berdzikir, menghadiri majlis ilmu, banyak melakukan umrah, haji dan lain-lain, namun mereka kirang memperhatikan anak-anak yang masih kecil, bahkan juga kurang perhatian kepada anak-anak yang sudah mencapai baligh. Anak-anak dibiarkan terhanyut dengan perbuatan maksiat, mendengarkan hal-hal yang dilarang Allah dan RasulNya, dan bermain di lingkungan yang buruk dan penuh kemaksiatan.

    Para orang tua, harus mengintrospeksi diri, jika menginginkan keselamatan, bercita-cita untuk mendapatkan kemenangan dan kejayaan. Sebab, tidak ada keselamatan, tidak ada kemenangan bahkan tidak kejayaan, kecuali dengan meneladani perilaku Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

    3). Dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, dapat disimpulkan, bahwa anak-anak yang sudah mulai mengerjakan ibadah, baik yang berupa wudhu`, shalat, berpuasa, umrah, haji atau ibadah lainnya, jika mereka melakukan kesalahan, maka tidak boleh dibiarkan larut dengan kekeliruannya tersebut, dengan dalih usia mereka masih kecil. Kewajiban kita sebagai orang Islam, semestinya menghidupkan semangat amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak-anak dan mengarahkan mereka kepada yang lebih benar, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap diri Ibnu ‘Abbas yang waktu itu masih berusia kanak-kanak.

    Dengan demikian, anak tidak dibiarkan larut dengan kesalahan-kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sehingga, bila melakukan ibadah, mereka selalu melaksanakan dengan cara yang benar sesuai tuntunan Allah dan RasulNya.

    NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL TIDUR KETIKA MENGERJAKAN SHALAT
    Tatkala Ibnu ‘Abbas menunaikan shalat tahajjud bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah, ia sempat dihantui rasa kantuk, lantaran pada waktu itu dia masih berusia kanak-kanak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkannya tertidur. Setiap kantuk datang, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik ujung telinganya agar ia segar kembali.

    Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah binti Al Harits. Aku meminta tolong kepadanya. Aku berkata,’Bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun untuk shalat (malam), bangunkanlah aku’. Saat Rasulullah melaksanakan shalat, aku berdiri di sebelah kirinya. Maka Beliau memegang tanganku dan mengalihkanku ke sisi kanannya. Dan saat aku tertidur dalam shalat, Beliau memegangi ujung telingaku”. Ibnu ‘Abbas menambahkan,”Beliau shalat sebelas rakaat.”[2]

    Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Beliau meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan memegang telinga kananku untuk mengingatkanku”. [3]

    Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas ialah :

    1). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan nahi munkar (melarang dari perbuatan mungkar) kepada Ibnu ‘Abbas yang kedapatan tertidur saat melakukan shalat, satu keadaan yang tidak pantas terjadi saat sedang shalat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mendiamkannya, meskipun Ibnu ‘Abbas waktu itu masih berusia bocah. Justru yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah memegangi ujung telinga Ibnu ‘Abbas untuk membangunkan dan menyegarkannya dari rasa kantuk yang menyerangnya.

    2). Hadits ini menunjukkan sebagai bukti kelembutan dan kasih sayang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diungkapkannya dengan melakukan nahi munkar terhadap anak kecil. Yaitu dengan meletakkan tangan Beliau di kepala Ibnu ‘Abbas dan memegangi ujung telinganya serta menekan-nekannya. Tindakan ini menunjukkan kelembutan, sikap lunak dan kasih sayang Beliau. Perlakuan Beliau yang seperti ini bukan tindakan aneh, sebab Allah Ta’ala mengutus Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

    وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

    "Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" [Al Anbiya` : 107]

    Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang sangat pengasih kepada orang-orang yang beriman.

    لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

    "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu`min" [At Taubat:128]

    3). Dalam kisah ini, meskipun pada waktu itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sibuk dengan shalat, namun tidak mengendurkan niat Beliau untuk melakukan nahi munkar terhaap kesalahan yang diperbuat Ibnu ‘Abbas. Tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan perhatian yang sangat besar diri Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap dunia anak dan pembinaannya menuju kondisi yang baik.

    Maka dapat kita pahami, bahwa para orang tua berkewajiban untuk menggalakkan amar ma`ruf nahi munkar terhadap anak-anak mereka yang melakukan kesalahan dalam beribadah. Kesibukan orang tua meski saat melakukan ketaatan, tidak boleh menjadi penghalang dalam melakukan amar ma`ruf nahi munkar tersebut.

    PENGINGKARAN TRHADAP ANAK YANG MENYALAHI ATURAN SYAR'I MENJADI HAL YANG MA'RUF PADA MASA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
    Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mina melaksanakan shalat bersama kaum muslimin, datanglah Ibnu ‘Abbas dengan menunggang keledainya. Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas masih anak-anak yang belum baligh. Dia melewati barisan shalat, dan tidak ada seorangpun yang menegurnya.

    Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,”Aku datang dengan keledai betina. Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh. Dan Rasulullah menunaikan shalat tanpa penghalang tembok. Aku melewati barisan shalat. Aku lepaskan tungganganku untuk makan rumput. Aku memasuki shaf shalat tanpa ada yang menegur(ku).” [4]. Dalam riwayat lain disebutkan : “Tidak ada seorangpun yang mengingkariku”. [5]

    Dari riwayat ini, kita mendapatkan beberapa fakta sebagai berikut :
    1). Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas belum baligh. Ini ditunjukkan dengan ucapannya: “Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh”.

    Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan : “(Artinya) aku mendekati usia baligh; yang dimaksud dengan ihtilam ialah, baligh dalam pandangan syariat”. [6]

    Hal ini juga dipertegas oleh Imam Bukhari dalam memberikan judul pada hadits ini, yaitu dengan judul Bab Kapan Kecakapan Anak Dianggap Sah (Diterima)?[7]. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak [8]

    2). Ibnu ‘Abbas menjadikan hadits ini sebagai landasan bolehnya melewati shaf shalat, sebab para sahabat tidak bereaksi terhadap tindakannya.

    Imam Ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan,”Ibnu ‘Abbas ber-istidlal (menjadikan hadist ini sebagai dalil) bolehnya melewati depan shaf makmum dengan tidak adanya pengingkaran (dari para sahabat).” [9]

    Imam Al Bukhari menjadikan hadits ini sebagai landasan, bahwa sutrah (penghalang atau pembatas shaf imam adalah sutrah makmum yang ada di belakangnya, sebab para sahabat tidak mengingkari perbuatan Ibnu ‘Abbas yang melewati depan makmum. Imam Al Bukhari menamai babnya dengan (judul) Bab Sutrah Imam Menjadi Sutrah Bagi Makmum Yang Ada di Belakangnya. [10]

    Seandainya pengingkaran terhadap pelanggaran agama yang dilakukan oleh anak kecil bukan merupakan hal yang ma`ruf pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu istidlal (pengambilan dalil dengan hadits ini) tidak kuat. Sehingga akan ada yang berkomentar, bahwa tindakan Ibnu ‘Abbas tidak diingkari karena usianya masih kecil. Namun lantaran sudah menjadi suatu yang biasa pada masa Nabi, maka istidlal-nya tepat dan bebas dari sanggahan. Wallahu a’lam bish shawab.

    Demikian di antara contoh-contoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak. tidak hanya yang berkaitan dengan shalat saja, tetapi masih banyak contoh yang diberikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, misalnya : larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap model rambut ala Yahudi, larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakan jenis makanan yang bukan haknya, larangan ceroboh dalam mengambil makanan saat bersantap, dan lain-lain. Semoga bermanfaat.
    -----------------------------------------------------------------------------------------------------------
    [1]. Shahih Bukhari, Kitab Adzan, Bab Wudhu` Anak-Anak dan lafazh hadits milik Bukhari; Shahih Muslim, Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya, dengan redaksi “maka Beliau memutarku ke belakang”.
    [2]. Shahih Muslim, Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya.
    [3]. Ibid.
    [4]. Shahih Bukhari, Kitab Ilmu, Bab Kapan Kecakapan Anak Kecil Dianggap Sah.
    [5]. Ibid, Kitab Shalat, Bab Sutrah Bagi Imam Sutrah Bagi Para Makmum,(Fathul Bari).
    [6]. Fathul Bari.
    [7]. Shahih Al Bukhari. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak.
    [8]. Ibid.
    [9]. Dinukil dari Fathul Bari.
    [10]. Shahih Bukhari, Kitab Shalat.

    Hak Pengasuhan Anak Dalam Islam, Demi Kebaikan Anak

    Pembicaraan mengenai seluk-beluk hak asuh, biasa dikenal dalam perspektif ilmu fiqih dengan istilah ahkam al hadhonah. Islam telah mengatur sedemikian rupa, untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang timbul akibat persengketaan dalam masalah ini. Pertikaian yang berawal dari perebutan anak, dapat berpotensi menimbulkan terputusnya silaturahmi dan berdampak psikologi pada diri anak.

    Maka berikut ini mencoba mengangkat secara ringkas permasalahan tersebut. Kami nukil dari kitab Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, al Mulakhkhashul Fiqhi, Darul 'Ashimah, juz 2/439-447. Semoga bermanfaat.

    HIKMAH KETETAPAN HUKUM HAK ASUH
    Sudah pasti, hukum Allah berdampak positif, karena penuh keadilan, kebaikan, rahmat dan hikmah di dalamnya. Begitu juga dalam masalah pengasuhan anak. Sebagai contoh, anak yang masih kecil dan belum mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan bagi dirinya. Atau seorang yang gila dan cacat, mereka ini membutuhkan keberadaan orang lain untuk membantu menangani urusan-urusannya dan memberikan pemeliharaan bagi dirinya. Yaitu dengan mencurahkan kebaikan-kebaikan dan menghindarkannya dari bahaya-bahaya, serta mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.

    Syari'at Islam memberlakukan hak asuh ini, untuk mengasihi, memelihara dan memberikan kebaikan bagi mereka. Pasalnya, bila mereka dibiarkan tanpa penanggung jawab, niscaya akan terabaikan, terbengkalai dan terancam bahaya. Padahal dinul Islam mengajarkan kasih-sayang, gotong-royong dan solidaritas. Sehingga benar-benar melarang dari perbuatan yang bersifat menyia-nyiakan kepada orang lain secara umum, apalagi mereka yang dalam keadaan nestapa. Ini merupakan kewajiban orang-orang yang masih terikat oleh tali kekerabatan dengan si anak. Dan kewajiban mereka adalah, mengurusi tanggung jawab anggota keluarga besarnya, sebagaimana dalam hukum-hukum lainnya.

    IBU ADALAH PIHAK YANG PALING BERHAK
    Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.

    Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling terlihat sayang dan paling dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang, tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami (ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya).

    Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu membuat satu ungkapan yang indah:

    "Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya)".

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari'at. [1]

    Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:

    يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي

    "Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku".

    Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab:

    أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

    "Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah". [2]

    Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya.

    UNSUR-UNSUR YANG DAPAT MENGHALANGI HAK ASUH ANAK
    Meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tidak bisa mendapatkan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yang dapat menghalangi haknya. Di antaranya sebagai berikut.

    Pertama. Ar-Riqqu.
    Maksudnya, orang yang bersangkutan berstatus sebagai budak, walaupun masih "tersisa sedikit". Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun seorang budak, ia tidak mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dengan pelayanan terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya.

    Kedua. Orang Fasiq.
    Orang seperti ini, ia mengerjakan maksiat sehingga keluar dari ketaatan kepada Allah. Itu berarti, ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak terlepas darinya. Keberadaan anak bersamanya -sedikit atau banyak- ia akan mendidik anak sesuai dengan kebiasaan buruknya. Ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif bagi anak, yang tentunya berdampak pada pendidikan anak.

    Ketiga. Orang Kafir.
    Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Kondisinya lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya lebih besar. Tidak menutup kemungkinan, ia memperdaya si anak dan mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan agama kufurnya.

    Keempat. Seorang Wanita Yang Telah Menikah Lagi Dengan Lelaki Lain.
    Dalam masalah pengasuhan anak, ibulah yang lebih memiliki hak yang utama. Akan tetapi, hak ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi dengan laki-laki ajnabi (laki-laki lain). Maksudnya, lelaki yang bukan dari kalangan 'ashabah (pewaris) anak yang diasuhnya. Tetapi, jika sang ibu menikah dengan seorang laki-laki yang masih memiliki hubungan tali kekerabatan dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.

    Atau misalnya, seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, dan kemudian ia menikah dengan lelaki lain (ajnabi), maka dalam keadaan seperti ini, ia tidak memperoleh hak asuh anak dari suaminya yang pertama. Dengan demikian hak pengasuhannya menjadi gugur, berdasarkan kandungan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

    أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

    "Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah".

    Demikian beberapa faktor yang dapat menghalangi seseorang tidak memperoleh hak asuh bagi anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka seutuhnya, orang fasik itu bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, dan si ibu diceraikan kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali untuk mengasuh anaknya.

    KAPAN ANAK MENENTUKAN PILIHAN?
    Pada usia yang telah ditentukan syari'at, anak berhak menentukan pilihan untuk hidup bersama dengan ibu atau ayahnya. Dalam hal ini harus terpenuhi dua syarat.

    Pertama : Ayah dan ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab mengasuh anaknya (ahlil hadhonah). Artinya, salah satu faktor yang menghalangi seseorang boleh pengasuh anaknya tidak boleh melekat padanya.

    Kedua : Si anak sudah 'aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia tetap berada di bawah pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih sayang, lebih bertanggung jawab, dan lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan anak.

    PERBEDAAN ANTARA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
    Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pada pilihan untuk menentukan. Yaitu, ia hidup bersama ayahnya atau ibunya, apabila ia sudah berusia tujuh tahun. Ketika telah berusia tujuh tahun, berakal, maka ia memutuskan pilihannya, dan kemudian tinggal bersama dengan orang pilihannya, ayah atau ibunya. Demikian ini keputusan yang telah diambil oleh Khalifah 'Umar dan 'Ali.

    Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah. Ia mengadu, "Suamiku ingin membawa pergi anakku," maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya: "Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau inginkan!" Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua berlalu.[3]

    Apabila anak memilik ayahnya, maka ia berada di tempat tinggal sang ayah siang dan malam. Supaya ayahnya leluasa menjaga, mengajari dan mendidiknya. Akan tetapi, tidak boleh menghalangi keinginan anak untuk menjenguk ibunya. Sebab menghalanginya, berarti menumbuhkan sikap durhaka kepada ibunya dan menyebabkan terputusnya tali silaturahmi.

    Jika ia memilih ibunya, maka si anak bersama ibunya saat malam hari. Sedangkan siang hari, ia berada bersama ayahnya, untuk menerima pendidikan dan pembinaan.

    Akan tetapi, jika si anak diam, tidak menentukan keputusan dalam masalah ini, maka ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut tidak ada pihak yang sangat istimewa dalam pandangan anak, sehingga diputuskan dengan qur`ah (undian).

    Keterangan di atas berlaku pada anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?

    Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan dan penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan berarti ibunya tidak boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi ibu sang anak yang ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbul hal-hal yang tidak baik atau perbuatan haram.

    Seandainya, ternyata ayah tidak mampu menangani pemeliharaan putrinya, atau tidak peduli dengan masalah itu, lantaran kesibukan atau kedangkalan agamanya, maka sang ibu berhak mengambil alih, dan sang anak perempuan ini hidup bersama ibunya.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang sudah berusia tujuh tahun), bila tidak menimbulkan bahaya (masalah) kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tidak mampu menjaga dan melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka ibunyalah yang (berhak) menangani penjagaan dan perlindungan baginya. Dalam kondisi seperti ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur kerusakan pada anak perempuan yang ditimbulkan oleh salah seorang dari orang tuanya, maka tidak diragukan lagi, pihak lain (yang tidak menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak menanganinya. [4]

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila diperkirakan bapaknya menikah lagi dan menitipkan putrinya di pangkuan ibu tirinya itu yang enggan menangani kemasalahatannya, bahkan (ibu tirinya itu) menyakiti dan mengabaikan kebaikan bagi diri (putrid)nya, sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya, tidakmenyakitinya, maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak hadhonah menjadi milik ibu.[5]

    SOLUSI JIKA TERJADI POLEMIK ANTARA ISTERI DAN MANTAN SUAMI BERKAITAN DENGAN PENGASUHAN ANAK

    Tak dipungkiri, terkadang pengasuhan anak ini juga menimbulkan problema yang disebabkan persoalan yang kadang muncul.

    Sebagai contoh, bila salah seorang dari suami atau isteri ingin bepergian jauh dan tinggal sementara di tempat yang dituju, tanpa ada maksud buruk, situasinya aman, maka dalam keadaan seperti ini, hak hadhonah menjadi milik ayah, baik ayah bepergian ataupun tidak. Ayahlah yang mesti mengurusi pendidikan dan pemeliharaannya. Karena, bila si anak berada jauh dari ayah, sehingga menyebabkan ayahnya tidak bisa melaksanakan tugasnya, akan berakibat si anak tidak terurus.

    Jika bepergian tersebut tidak jauh, masih berada dalam jarak qoshor sholat, dan berencana tinggal di sana, maka hak asuh ini menjadi milik ibu si anak. Sebab, ibu lebih sempurna kasih sayangnya kepada anak. Dan lagi, dalam keadaan seperti ini, si ayah masih sangat mungkin bisa melihat keadaan anaknya.

    Adapun, jika bepergian itu untuk suatu tujuan, kemudian langsung kembali, atau rute perjalanan maupun kondisi negeri yang dituju mengkhawatirkan, maka hak hadhonah beralih kepada pihak yang tidak bepergian. Sebab, bepergian dalam keadaan seperti itu, akan menimbulkan mara bahaya baginya.

    Ibnul Qayyim menyatakan: "Kalau menginginkan kekisruhan masalah atau merekayasa untuk menggugurkan hak asuh ibu, kemudian si ayah bapak melakukan perjalanan yang diikuti oleh anaknya, (maka) ini merupakan hilah (rekayasa) yang bertentangan dengan tujuan yang dimaksudkan syari'at. Sesungguhnya syari'at menetapkan, ibu lebih berhak dengan hak asuh anak daripada bapak jika kondisi tempat tinggal berdekatan, sehingga dimungkinkan untuk menengok setiap waktu".[6]

    Demikian kaidah-kaidah ringkas mengenai hak asuh anak. Bahwa Islam sangat menjaga dan memelihara ikatan keluarga, meskipun antara suami dan isteri, atau antara ayah dan ibu si anak tersebut melakukan perceraian, yang tentu saja akan memengaruhi psikologis anak itu sendiri. Solusi Islam ini sangat berbeda dengan yang ditawarkan hukum publik. Begitu juga sangat berbeda dengan yang dikembangkan masyarakat Barat. Di kalangan Barat, jika terjadi persengketaan antara suami isteri, perebutan anak asuh pasti terjadi dan penyelesaiannya pun berlarut-larut. Bahkan bisa jadi memutuskan tali kekerabatan di antara mereka. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain untuk menjaga keutuhan komunitas, kecuali dengan Islam. Wallahu a'lam. (Mas)
    --------------------------------------------------------------------------------------------------------------
    [1]. Majmu' al Fatawa.
    [2]. HR Ahmad, Abu Dawud dan al Hakim. Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan.
    [3]. HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah.
    [4]. Fatawa Syaikhil-Islam.
    [5]. Fatawa Syaikhil-Islam.
    [6]. I'lamul-Muwaqqi'in.

    Meniru-Niru Tindak-Tanduk Dan Suara-Suara Binatang


    Tulisan ini membicarakan tentang hukum meniru-niru binatang. Baik dalam aspek tingkah-laku atau suara-suaranya. Tindakan ini sering dilakukan oleh para pendidik di level taman kanak-kanak, atau para orang tua dalam upaya mendidik anak-anak mereka yang masih kecil, atau para pendongeng. Baik dalam rangka mengenalkan alam semesta atau sekedar menghibur anak-anak.

    Jika dengan mengetengahkan cerita-cerita fiksi, berarti sudah menambahinya dengan kedustaan. Tentang peran cerita dalam pendidikan dan pengembangan kemampuan analitik anak didik, tidak terbantahkan. Namun, sebagai pendidik, sudah saatnya untuk ‘berani’ berkata tidak terhadap cerita-cerita fiktif. Apalagi sampai mengadopsi cerita-cerita dari Barat.yang banyak berseberangan dengan syari'at.

    Pasalnya, Islam sangat kaya dengan cerita-cerita yang edukatif, baik dalam al Qur`an maupun Al Hadits. Dalam sejarah Rasulullah n (sirah) sendiri sarat dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi cermin para pendidik muslim. Atau cerita-cerita perjalanan hidup para sahabat, tabi’in dan para ulama rabbani lainnya.

    Komisi Fatwa Lajnah Daimah pernah disodori pertanyaan yang berbunyi:
    Apakah boleh seseorang menulis kisah-kisah dari imajinasi khayalannya?. Pada dasarnya, isinya merupakan rekaan semata. Disampaikan sebagai cerita bagi anak-anak untuk mengambil nilai-nilai pelajarannya.

    Mereka menjawab:
    Seorang muslim haram menulis kisah-kisah yang dusta (fiktif). Dalam kisah-kisah yang ada dalam al Qur`an dan Hadits dan kisah-kisah lain yang menceritakan tentang fakta dan mencerminkan kebenaran sudah memadai untuk menjadi rujukan pengambilan pelajaran dan mauizhah hasanah.[1]

    KAUM MUSLIMIN UMAT PALING AFDHAL
    Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah memuliakan umat Islam di atas umat-umat lainnya. Keutamaan umat ini bukan karena suku, warna kulit, wilayah ataupun bahasa, namun berdasarkan ketakwaannya kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

    "Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian”. [Al Hujurat/49 : 13.]

    Kemuliaan ini harus senantiasa dijaga. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah mengatakan : "Apabila seorang muslim mengetahui bahwa Allah telah memuliakan umat ini, maka kewajibannya untuk memuliakan dan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang akan menghinakannya’. [2]

    Islam menginginkan supaya kepribadian seorang muslim berbeda dengan orang-orang non muslim. Maka sudah semestinya, ia mempunyai jati diri yang sempurna dan layak dengan dirinya.

    Oleh karenanya, aturan-aturan agama Islam begitu banyak melarang seorang muslim bertasyabbuh dengan bangsa-bangsa kafir yang telah binasa atau orang-orang kafir sekarang. Allah Azza wa Jalla berfirman :

    "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang". [Al Maidah/5 : 48]

    Sebagaimana juga Islam mengarahkan kaum muslimin agar berbeda dengan orang-orang yang dangkal (kurang) agamanya seperti ahli bid’ah, orang-orang sesat dan orang-orang fasik serta pelaku maksiat. Juga mengarahkan agar mereka menyelisihi karakter orang-orang yang kurang ilmu, seperti orang-orang Badui dan orang-orang yang serupa dengan mereka.

    Syariat Islam juga menjamin keterpeliharaan fitrah yang Allah Azza wa Jalla ciptakan pada manusia. Sehingga melarang seorang lelaki tasyabuh dengan perempuan, atau sebaliknya. Sebab, masing-masing mempunyai peran tersendiri di kehidupan ini, kewajiban-kewajiban serta kodrat yang berbeda dengan lawan jenisnya. Juga Islam ingin meninggikan kedudukan seorang muslim dengan melarang bertasyabuh dengan hewan-hewan’[3]

    TASYABUH DENGAN BINATANG.
    Makna tasyabuh, seperti yang telah disimpulkan oleh Syaikh Jamil bin Habib al Luwaihiq dalam disertasinya : ‘Usaha seseorang untuk meniru selainnya dalam seluruh aspek yang menjadi ciri khas obyek yang ditiru atau sebagiannya saja’.

    Dari definisi di atas, faktor kesengajaan berpengaruh. Artinya, apabila terjadi tasyabuh tanpa ada unsur kesengajaan, maka keluar dari topik ini. Demikian pula, obyek yang ditiru luas, mencakup makhluk yang berakal, misalnya manusia, ataupun tidak, seperti binatang. Ungkapan tasyabuh ini seringkali dipakai pada peniruan terhadap perkara-perkara yang zhahir (tampak).[4]

    Syaikhul Islam menyoroti salah satu bentuk tasyabuh yang menjadikan manusia (seorang muslim) akan keluar dari fitrah dan nilai-nilai syariat Islam yang luhur . Yaitu meniru-meniru tingkah laku dan suara binatang-binatang. Kata beliau : ‘Tasyabuh dengan binatang-binatang dalam perkara-perkara yang dicela oleh syariat, merupakan perbuatan yang madzmum (tidak terpuji) lagi terlarang, dalam meniru-niru suara-suaranya, tindak-tanduknya dan lain sebagainya. Misalnya melolong layaknya lolongan anjing atau meringkik bak ringkikan keledai dan lain sebagainya. Sisi celanya ditilik dari beberapa alasan:

    Alasan Pertama:
    Qiyas Aula
    Terdapat celaan meniru-niru sebagian manusia, seperti orang-orang Badui, non Arab dalam aspek yang menjadi karakter asli mereka. Pasalnya, peniruan tersebut akan mengakibatkan penurunan nilai-nilai dan menyeret kepadanya. Oleh karenanya, meniru-niru binatang pada sisi yang menjadi watak keasliannya lebih tercela dan lebih terlarang. [7]

    Sebab, seorang manusia yang berasal dari Badui atau bukan orang Arab lebih baik dari anjing, keledai atau babi. Jika sudah terdapat larangan bertasyabuh dengan jenis-jenis manusia seperti ini, maka tasyabuh dengan binatang dalam aspek yang menjadi karakternya lebih tercela dan dilarang” [8]

    Alasan Kedua:
    Terdapat celaan terhadap orang-orang yang berwatak keras lantaran sering bergaul dengan sebagian binatang. Karena terpengaruh dengan kebiasaannya. Misalnya, orang-orang yang melatih anjing dan onta. Celaan ini berkonsekuensi melarang meniru-niru binatang-binatang tersebut dalam sifat-sifatnya yang tercela.

    Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Bahkan kaidah ini, melalui makna peringatan implisit yang terkandungnya, melarang tasyabuh dengan binatang secara mutlak dalam aspek yang merupakan karakternya. Kendatipun, sebenarnya tidak tercela tindakan itu. Pasalnya, efeknya akan mengakibatkan peniruan pada dimensi yang nanti dicela”.[9]

    Alasan Ketiga:
    Manusia menjelma seperti binatang, sebuah kejadian yang tercela. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

    “Dan sesungguhnya Kami menjadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. [Al A’raf : 179]

    Alasan Keempat:
    Sesungguhnya Allah menyamakan manusia dengan anjing dan keledai serta binatang lainnya dalam rangka mencelanya. Misalnya dalam firmanNya:

    "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al Kitab). Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu. Lalu ia diikuti oleh syaithan (sampai ia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat iu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka, perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zhalim" [Al A’raf/7 : 175-177]

    Dan firmanNya :

    "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kital tebal…" [Al Jumu’ah/62 : 5]

    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

    "Luruslah kalian dalam bersujud. Jangan sampai salah seorang kalian membentangkan lengannya seperti bentangan seekor anjing’" [HR. Al Bukhari no: 788 Muslim 493]

    al Munawi menuliskan sebuah ta’liq pada hadits ini: “Dalam hadits ini terkandung larangan bertasyabuh dengan hewan-hewan yang hina dalam akhlak, sifat, cara duduk dan lain sebagainya”.[10]

    Jika serupa dengan binatang itu saja sudah tercela padahal tanpa ada maksud untuk menirunya. Maka, orang yang sengaja ingin menirunya lebih tercela lagi. Tetapi, bila menirunya dalam obyek yang dicela oleh syariat, maka ia menjadi tercela dari dua sisi. Jika meniru dalam obyek yang tidak dicela oleh syariat, ia tercela dari sisi melakukan tasyabuh yang menyeretnya kepada perkara yang dicela. [11]

    Alasan Kelima:
    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    لاَ تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ ...

    "Sesungguhnya malaikat tidak masuk rumah yang berisi anjing".[HR. al Bukhari Muslim]

    Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

    إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا

    "Jika kalian mendengar kokokan ayam, maka mohonlah keutamaan dari Allah, karena sesungguhnya dia melihat Malaikat. Jika kalian mendengar ringkikan keledai, mintalah perlindungan kepada Allah dari syaithan, karena sesungguhnya ia melihat setan". [HR. Bukhari dan Muslim]

    Ini menunjukkan bahwa suara-suaranya menyerupai syaithan dan menjauhkan malaikat. Dan sudah diketahui, yang meniru sesuatu, sudah pasti akan menyentuh sebagian hukum-hukumnya sesuai dengan kadar tasyabuh. Bila meringkik seperti ringkikan keledai, maka perbuatan ini mengandung penyerupaan dengan syaithan dan menjauhkan malaikat. Sesuatu yang mendatangkan syaithan dan menjauhkan malaikat, tidak diperbolehkan untuk dikerjakan kecuali dalam kondisi darurat. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan memiliki anjing kecuali dalam kondisi darurat. Untuk mendatangkan kemanfaatan, seperti dalam berburu atau mencegah bahaya dari binatang ternak atau tanaman. Sampai-sampai Nabi bersabda:

    مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

    "Barang siapa memiliki anjing selain untuk (menjaga) binatang ternak atau tanaman atau untuk berburu, akan berkurang amalannya sebesar qirath setiap harinya’" [HR. al Bukhari Muslim]

    Alasan Keenam:
    Qiyas tentang larangan tasyabuh lelaki kepada wanita dan sebaliknya.

    Nabi melaknat orang-orang lelaki yang bertasyabuh dengan wanita, dan melaknat wanita-wanita yang bertasyabuh dengan lelaki’. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan ciri khas bagi masing-masing jenis. Namun, antara lelaki dan perempuan terdapat persamaan yang banyak sekali. Sisi persamaan ini tidak menjadi ciri khusus bagi masing-masing jenis. Karenanya, tidak ada larangan padanya. Misalnya kebutuhan makan, minum dan lainnya.

    Larangan-larangan berlaku pada hal-hal yang menjadi ciri khasnya saja. Apabila perkara-perkara yang menjadi ciri wanita, maka tidak boleh lelaki bertasyabuh padanya. Dan perkara-perkara yang menjadi trade mark lelaki, wanita tidak boleh menirunya.

    (Begitu pula) hal-hal yang menjadi ciri khas binatang, sudah tentu dan sepantasnya manusia tidak boleh menirunya dalam masalah-masalah itu.

    Kesimpulan
    Usai mengutarakan alasan-alasan di atas, Syaikhul Islam mengatakan:

    "Apabila demikian, Allah telah menjadikan manusia benar-benar berbeda dengan hewan secara prinsip, serta menjadikan kesempurnaan dan kebaikannya dalam perkara yang pantas baginya. Seluruhnya tidak menyerupai hewan. Apabila ada orang yang sengaja meniru-niru hewan dan merubah penciptaan Allah, sungguh telah memasuki kerusakan fitrah dan syariat. Dan hukumnya haram wallahu a’lam.".[12]

    Jadi, Islam datang mendukung fitrah manusia. Sebab, mustahil dalam agama Allah terdapat kandungan yang bertentangan dengan fitrah. Allah Maha Hakim, Maha Mengetahui ciptaanNya, menempatkan syariat yang berkorelasi dengan fitrah ciptaanNya.

    Tidak berhenti pada penataan fitrah saja, syariat Islam juga mentazkiyah (mensucikan) fitrah manusia agar menjadi luhur. Tujuannya, agar kedudukan manusia terangkat lebih tinggi dari golongan binatang yang hanya ingin memenuhi kebutuhan duniawinya semata. Agar menjadi orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, yang selalu menunggu-nunggu kenikmatan yang Allah persiapkan bagi mereka di akhirat kelak di syurgaNya.

    Sehingga fitrah manusia tetap berada di atas relnya, semakin mengkilat dan terjaga dari noda-noda. Karenanya, Islam menyandang sebutan dinul fitrah (agama fitrah).

    Imam al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih dari Abu Hurairah z bahwasanya Nabi n pada malam menempuh perjalan Isra`, disodori dua bejana, salah satunya berisi air susu. Dan lainnya berisikan khomer. Malaikat Jibril berkata: ‘Minumlah apa yang engkau inginkan’. Beliau kemudian mengambil susu dan meminumnya. Setelah itu ada yang bersuara:

    أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ

    "Engkau menepati fitrah. Jika engkau mengambil khomer, niscaya umatmu akan tersesat".

    Dalam lafazh yang lain:

    أَصَبْتَ أَصَابَ اللهُ بِكَ أُمَّتُكَ عَلَى الْفِطْرَةِ

    ‘Engkau tepat. Allah telah mengarahkanmu kepada yang tepat. Umatmu akan berada di atas fitrah’.

    Dalam lafazh lain, malaikat Jibril berkata:

    اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ

    “Engkau telah memilih fitrah” [13]
    ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
    [1]. Fatwa Lajnah Daimah.
    [2]. Raf’udz Dzulli.
    [3]. At Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anhu.
    [4]. At Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anhu.
    [5]. Secara terperinci, silahkan lihat Majmu’ al Fatawa.
    [6]. Majmu’ul Fatawa. dengan sedikit ringkasan, at Tasyabbuh al Manhiyyu Anhu Fil Fiqhil Islami.
    [7]. Majmu al Fatawa. at Tasyabbuh al Manhiyyu.
    [8]. ibid.
    [9]. ibid.
    [10]. Faidhul Qadir karya al Munawi. Kutipan dari at Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anh.
    [11]. Majmu’ al Fatawa.
    [12]. Majmu’ al Fatawa.
    [13]. HR. al Bukhari dan Muslim

    Tarbiyah Bagi Yatim


    BATASAN YATIM MENURUT PARA ULAMA DAN ANJURAN BERBUAT IHSAN KEPADA MEREKA
    Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

    كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

    "Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya". [1]

    Beliau hafizhahullah berkata, "Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam." [2]

    Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahju.

    لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

    "Tidak ada keyatiman setelah baligh ......" [3]

    Kerabat ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya, mendidik serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi, menyayanginya serta mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap menghadapi hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syari’at Islam yang sempurna, tidak hanya membatasi kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya pada kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka.

    Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

    وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ

    "Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu". [al Baqarah : 220].

    Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: Ketika turun ayat

    إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً

    "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala". [an Nisa’: 10].

    Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya, Pen).

    Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud (ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara kalian juga. Dan (sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur dengan saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa.

    Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. Demikian inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan maksud (tujuannya). [4]

    Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا

    "Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya". [5]

    Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

    METODE DAN SARANA TARBIYYAH BAGI ANAK YATIM

    Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.

    Diantaranya ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama yang mereka butuhkan ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang, terpenuhinya perasaan aman, serta kehadiran sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohaninya. Mereka juga membutuhkan dorongan motivasi untuk ikut berkembang dalam lingkungan masyarakat sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim adalah anak-anak yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka kehilangan muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua.

    Untuk itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatim dan menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang berbuat baik kepada mereka.

    Kondisi anak-anak yatim pun berbeda antara satu dengan lainnya. Di antara mereka ada yang kehilangan salah satu saja dari orang tuanya, yakni ibu atau bapaknya. Dalam kondisi semacam ini, biasanya mereka lebih mudah diarahkan dalam lingkungan yang baru, yaitu ketika orang tuanya (ibu atau bapaknya) yang masih hidup telah menikah lagi, kemudian ia memiliki saudara-saudara baru yang nantinya akan ikut berkembang bersama dengannya, dengan syarat orang tuanya tersebut menikah dengan duda atau janda yang telah memiliki anak-anak juga. Dengan mencurahkan segenap kesungguhan untuk memelihara mereka, insya Allah anak-anak yatim tersebut akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya permasalahan psikis yang cukup serius. Tentunya, hal ini terkait juga dengan din kedua orang tuanya. Artinya selama kedua orang tuanya itu konsisten dengan ajaran-ajaran Islam, dan mereka meluruskan niat dalam mengasuh anak-anak mereka, niscaya anak-anak mereka akan tumbuh normal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain, dengan taufik dari Allah. Jika tidak, tentunya usaha untuk mengarahkan anak yatim tersebut menjadi anak yang baik akan menemui banyak kendala, karena din adalah muara kebaikan bagi segala urusan hidup manusia.

    Di antara mereka juga ada yang kehilangan ayahnya, sedangkan mereka memiliki kakak laki-laki yang mampu mengasuh dan mendidik mereka. Dalam keadaan seperti ini, sang kakak menggantikan posisi ayahnya, dengan syarat ia memiliki kepribadian kuat serta teguh pendirian; karena mengasuh anak-anak yatim bukanlah suatu pekerjaan ringan, dan tanggung jawabnya teramat besar. Bagi ibu dari anak-anak yatim tersebut, semestinya memberikan penghormatan kepada sang kakak, bahu-membahu bersamanya dalam mendidik anak-anaknya, serta mempercayakan kepemimpinan keluarga kepada sang kakak secara kongkrit. Hal yang demikian ini, memberikan efek kepada adik-adiknya yang yatim untuk tunduk terhadap perintah sang kakak, dan secara bersamaan juga kepekaan dan tanggung jawab sang kakak sebagai pengganti ayah akan tebentuk, sehingga ia terbiasa dan lebih memiliki kepercayaan diri untuk mengasuh dan mendidik adik-adiknya. Seorang ibu, meskipun ia memiliki kekuasaan untuk memerintah anak-anaknya, namun jika anak-anaknya itu telah menginjak masa dewasa, mereka tetap membutuhkan sosok pembimbing lain selain ibu, yakni sosok pemimpin laki-laki yang mampu mengarahkan mereka yang tidak lain adalah kakaknya tadi.

    Diantara mereka ada pula yatim yang kehilangan salah satu dari orang tuanya karena perceraian, atau pun kepergian orang tua yang sangat lama, atau karena orang tuanya sakit, kemudian sang ibu tidak menikah lagi dan memilih tinggal bersama keluarganya sedangkan ia memiliki beberapa anak. Dalam kondisi seperti ini, sang yatim membutuhkan sosok pendidik lain, yaitu semisal kakek atau pamannya. Dan selayaknya, bagi ibu untuk memberikan kepercayaan kepada kakek atau paman dalam perkara-perkara penting, jika anak-anaknya telah tumbuh besar dan mereka tidak sepenuhnya lagi berada dalam kekuasaan sang ibu. Pengarahan kakek atau paman sangat berpengaruh bagi mereka, karena laki-laki pada umumnya lebih tegas dan berakal panjang dibandingkan wanita.

    Berikut ini kami paparkan beberapa point yang memuat metode tarbiyyah bagi anak yatim. Di antaranya ialah sebagai berikut :

    1. Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu memiliki kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban tanggung jawab pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna tentang problematika anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak membedakan anak-anak yatim itu antara yang satu dengan lainnya.

    2. Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim tersebut untuk mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang meremehkan masalah ini serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi pemelihara anak yatim untuk memperlakukan mereka sebagaimana layaknya mereka memperlakukan anak-anak mereka sendiri.

    3. Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim untuk bergaul dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal yang bisa menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi sikap memata-matai mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi kepercayaan untuk mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal dan dan fungsi sosialnya akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah memberikan pemahaman tentang tanggung jawab hidup kepada anak ketika mereka menginjak usia dewasa, fahamkan bahwa mereka adalah generasi harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut membantu anak untuk mencapai kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta kemapanan dalam berpikir untuk menghadapi hidup.

    4. Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan penuh bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat tumbuh lurus tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya. Selayaknya mereka saling memberikan dan menunjukkan pengormatan kepada mantan pasangan, menghindari sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu dengan lainnya serta tidak membeberkan seluruh konflik yang terjadi di antara mereka berdua kepada sang anak. Dengan cara seperti ini, kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak ia dapatkan dari kedua orang tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap mulia dan perwira dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan lainnya meski dalam kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori sang anak. Sang anak akan tetap menghormati kedua orang tuanya, karena hal itu ia lihat dari sikap kedua orang tuanya dalam wujud nyata. Dan sebaliknya, jika kedua orang tua saling cela dan menyalahkan satu sama lainya, saling membeberkan kejelekan pasangannya di hadapan sang anak, hal ini akan merusak kepercayaan dan penghormatan sang anak kepada kedua orang tuanya sekaligus, sehingga ia tidak lagi mau menghormati kedua orang tuanya serta sulit untuk menerima arahan dan bimbingan dari keduanya.

    ANCAMAN BAGI PEMAKAN HARTA ANAK YATIM DENGAN ZHALIM

    Para yatim adalah golongan dhu’afa (kaum lemah) yang sangat membutuhkan tangan-tangan penuh kasih, yang mau mengayomi mereka, membimbing dan menjaga mereka dari ketergelinciran yang akan mencelakakan hidup mereka. Maka selayaknya bagi setiap wali dan pihak-pihak yang diberi amanah mengurusi mereka untuk selalu mengontrol hati mereka, senantiasa meluruskan niat demi meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, serta menjauhi sikap mengkhianati amanah, berbuat zhalim dan semena-mena terhadap anak yatim.

    Berbuat zhalim kepada mereka merupakan dosa besar yang diancam dengan siksa neraka. Adzab memakan harta anak yatim secara zhalim terkadang langsung Allah berikan di dunia. Mungkin para yatim yang lemah itu, tidak bisa membalas kezhaliman yang mereka terima, tidak bisa menuntut haknya yang dirampas secara semena-mena. Namun janganlah kita lupa, Allah-lah yang menjadi penolong mereka. Hendaklah kita takut terhadap adzab Allah yang mungkin datang secara tiba-tiba dan kita ditimpa su’ul khatimah disebabkan kezhaliman kita, wal’iyadzubillah.

    Telah banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta anak yatim secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan shighat tahrim (konteks pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di antara nash-nash tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An Nisa’ di atas:

    إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً

    "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala". [an Nisa’: 10]

    Tentang tafsir ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, ”Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا

    "Yaitu mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar. Batasan ini, (yaitu secara zhalim) mengeluarkan masalah sebelumnya, yaitu bolehnya memakan harta anak yatim bagi (pemelihara mereka ) yang faqir dengan cara yang ma’ruf, serta bolehnya mencampurkan makanan mereka dengan makanan para yatim".

    Barangsiapa yang memakannya secara zhalim, maka (sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya), yaitu sesungguhnya yang mereka makan hakikatnya adalah api neraka yang menyala-nyala di dalam perut mereka, dan mereka sendiri yang memasukkan api tersebut ke dalam perutnya. وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً (dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala), yaitu api yang membakar dan menyala-nyala. Ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi dosa-dosa, yang menunjukkan keburukan memakan harta anak yatim, dan ia menjadi penyebab masuk neraka. Hal itu menunjukkan jika perbuatan itu termasuk salah satu dari dosa-dosa besar. Kita memohon keselamatan kepada Allah.” [6]

    Kemudian firmanNya dalam surat Al Ma’un:

    أَرَءَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ

    "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim" . [al Ma'un : 1-2]

    Imam Al Mufassir Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, "Allah Ta’ala berfirman: Apakah engkau tahu wahai Muhammad, (siapakah) yang mendustakan din? (Din) adalah (hari) kembalinya manusia, balasan serta pahala, فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (yaitu orang-orang yang menguasai anak yatim), menzhalimi haknya, tidak memberinya makan dan tidak berbuat baik kepadanya" [7]

    Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan kepada kaum mu’minin, berbuat zhalim kepada anak yatim merupakan sifat orang-orang yang mendustakan agama. Mereka akan dibalas atas kezhaliman tersebut dengan siksa yang amat keras. Wal’iyadzu billah.

    Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

    اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

    "Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah! Apakah perkara-perkara itu?” Beliau menjawab,”Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh wanita merdeka yang menjaga diri lagi beriman dan tidak berbuat kekejian". [8]

    Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dengan jelas tersurat bahwa memakan harta anak yatim termasuk dari tujuh perkara yang membinasakan. Konteks larangan tersebut datang dengan lafazh ( اجْتَنِبُوا ). Hal ini menunjukkan keharaman yang lebih tegas daripada sekedar lafazh nahyi (larangan) [9]. Wallahu a’lam.

    Demikian sedikit pembahasan berkenaan dengan anak yatim. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hambaNya yang menunaikan amanah. Wallahu waliyyu at taufiiq. (Ummu Abdillah).
    ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
    [1]. HR Muslim.” Lihat Bahjatun Nazhirin.
    [2]. Bahjatun Nazhirin.
    [3]. Sunan Abu Dawud. Lihat Tafsir Ibni Katsir, tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.
    [4]. Taisir Karimir Rahman.
    [5]. HR Bukhari,” Lihat Bahjatun Nazhirin.
    [6]. Taisir Karimir Rahman.
    [7]. Tafsir Al Qur’an Al Azhim.
    [8]. HR Bukhari . dan Muslim.
    [9]. Lihat perkataan Syaikh Salim bin Id Al Hilai dalam Bahjatun Nazhirin.

    NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

    Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...