Allah Ta’ala berfirman:
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang
Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia
kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia
kehendaki atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan
(kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa
yang Dia dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa."
[Asy-Syuura: 49-50]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Dengan demikian,
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membagi keadaan suami isteri menjadi
empat bagian yang mencakup padanya keberadaan. Dan Dia memberitahukan
bahwa anak yang telah ditakdirkan bagi keduanya merupakan anugerah
baginya. Dan cukuplah bagi seorang hamba menghindari murka-Nya dengan
cara tidak murka pada apa yang telah Dia anugerahkan kepadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan menyebutkan anak perempuan. Ada
yang berpendapat: dengan paksaan bagi mereka untuk memperberat kedua
orang tua terhadap kedudukan mereka. Dan ada juga yang berpendapat lain
-dan ini yang terbaik-, yaitu sesungguhnya Dia mendahulukan wanita,
karena siyaqul kalam (redaksi) menyebutkan bahwa Dia berbuat sesuai
dengan apa yang Dia kehendaki dan tidak pada apa yang dikehendaki oleh
kedua orang tua. Sebab, seringkali kedua orang tua menghendaki anak
laki-laki. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia
akan menciptakan apa yang Dia kehendaki. Oleh karena itu, Dia memulai
dengan menyebutkan bagian yang memang Dia kehendaki dan tidak
dikehendaki oleh kedua orang tua. Dan menurut saya ada pandangan lain,
yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan apa yang diremehkan
oleh kaum Jahiliyah, yaitu mengenai anak-anak perempuan sehingga mereka
tega mengubur anak-anak perempuan itu hidup-hidup. Artinya, ini
merupakan jenis yang disepelekan oleh kalian, namun menurut Allah
dimuliakan dalam penyebutannya.
Renungkanlah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat kata nakirah
pada kata al-inats (perempuan) dan mema’rifatkan adz-dzukur (laki-laki).
Dengan demikian, Dia telah memperbaiki kekurangan wanita dengan
menempatkannya di awal, dan memperbaiki kekurangan kata adz-dzukur
dengan mema’rifatkannya. Sebab, ta’rif berarti pemujian. Seakan-akan
Allah berfirman, “Dia (Allah) berikan kepada siapa saja yang Dia
kehendaki dari dua jenis manusia (laki-laki dan perempuan) yang telah
disebutkan. Yang mana keduanya tidak tersembunyi bagi kalian.” Kemudian
setelah menyebutkan dua jenis manusia itu secara bersama-sama, Dia
mendahulukan laki-laki dengan memberikan hak kepada masing-masing jenis,
berupa pendahuluan dan pengakhiran. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui
apa yang Dia kehendaki dari hal tersebut.
Maksudnya bahwa murka terhadap (kelahiran) anak perempuan merupakan
akhlak orang-orang Jahiliyah yang sangat dicela oleh Allah Ta’ala
melalui firman-Nya:
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu." [An-Nahl: 58-59][1]
Selain itu, Dia juga telah mencela mereka ketika mereka menisbatkan apa yang tidak mereka sukai itu kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira
dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah,
maka jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih."
[Az-Zukhruf: 17]
Dia juga berfirman:
"Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak)
perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil."
[An-Najm: 21-22]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat,
mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan."
[An-Najm: 27]
MENGUBUR ANAK PEREMPUAN HIDUP-HIDUP TERMASUK DOSA BESAR
Allah Ta’ala berfirman:
"Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?" [At-Takwiir: 8-9]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Demikianlah jumhur ulama membacanya: ÓõÆöáóÊú.
Kata ÇóáúãóæúÁõæúÏóÉõ berarti bayi perempuan yang dahulu orang-orang
Jahiliyyah menguburkannya hidup-hidup ke tanah karena benci memiliki
anak perempuan. Kelak pada hari Kiamat, bayi-bayi itu akan ditanya
karena dosa apa mereka dikuburkan? Yang demikian itu agar menjadi
ancaman bagi orang-orang yang pernah melaku-kannya. Sebab, jika pihak
yang dizhalimi itu ditanya, maka apa gerangan yang terpikir oleh orang
yang berbuat zhalim?”
Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan atas kalian untuk durhaka kepada
ibu-ibu kalian, man’an wa haatin (menolak kewajiban dan menuntut yang
bukan haknya), mengubur hidup-hidup anak perempuan. Dan Allah membenci
kalian dalam hal berbicara yang tidak ada kebenarannya, banyak
meminta-minta kepada orang lain, dan menyia-nyiakan harta.” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim]
An-Nawawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab Syarh Muslim (IV/308), dengan menggunakan huruf hamzah- berarti
mengubur anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di bawah
timbunan tanah. Dan perbuatan ini termasuk dosa besar yang membinasakan.
Sebab, hal tersebut termasuk pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan.
Selain itu, mencakup juga pemutu-san hubungan silaturahmi. Dan
disebutkan secara khusus pada anak perempuan saja, karena hal tersebut
yang biasa dikerjakan oleh orang-orang Jahiliyah dahulu.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kami-lah Yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar." [Al-Israa':
31]
Dan dalam kitab ash-Shahiihain juga disebutkan dari hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dosa
apakah yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau
menjadikan sekutu bagi-Nya, padahal Dia telah menciptakanmu.’
‘Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar sangat besar,’ kataku.
Kemudian kutanyakan, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Engkau membunuh
anakmu karena engkau takut dia akan makan bersamamu.’ ‘Kemudian apa
lagi?’ tanyaku lebih lanjut. Beliau pun menjawab, ‘Engkau menzinai
isteri tetanggamu.’”
Adopsi Dan Hukumnya
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam bagi RasulNya, keluarga beliau serta sahabatnya, wa ba’du
Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa telah membaca pertanyaan dari sekertaris pelaksana Dewan Punjab untuk Kesejahteraan Anak, yang ditujukan kepada Ketua Bagian Riset Ilmiah, Fatwa dan Dakwah, yang dilimpahkan kepadanya dari Sekertaris Jenderal Majlis Ulama Besar no. 86/2 tanggal 15/1/1392H, yang isinya meminta penjelasan lebih jauh tentang aturan serta kaidah-kaidah berkenaan dengan hak anak adopsi dalam masalah waris?
Jawaban
Pertama : Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.
Kedua : Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan ke bapak mereka (yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak diketahui siapa bapak yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan loyalitas mereka bagi pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan anak adopsi dinasabkan kepada pengadopsi (ayah angkat) secara hakiki, bahkan anak-anak juga dilarang bernasab kepada selain bapak mereka yang asli, kecuali sudah terlanjur salah dalam pengucapan. Allah mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang mengandung kejujuran dalam perkataan, serta menjaga nasab dari keharmonisan, juga menjaga hak harta bagi orang yang berhak memilikinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 4-5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” [Hadits Riwayat Abu Daud]
Ketiga : Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan keputusan itu pula Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah hingga awal Islam berupa.
1. Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dengan kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari’at Islam. Dalam rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya. Dijelaskan pula secara global perintah berbuat baik dan sikap ma’ruf dalam bertindak.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)” [Al-Ahzab : 6]
2. Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak angkat setelah berpisah darinya, walaupun diharamkan di zaman jahiliyah. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat keabsahannya sekaligus sebagai pemangkas adat jahiliyah yang mengharamkan hal tersebut.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” [Al-Ahzab : 37]
Nabi menikahi Zaenab binti Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin Haritsah menceraikannya.
Keempat : Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.
1.Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan sebutan “wahai anakku” sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya dan mendengarkan nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya. Boleh juga memanggil orang yang usianya lebih tua dengan panggilan, “wahai ayahku” sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta nasehatnya, sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak dalam masyarakat, simpul-simpul antar individu menjadi kuat hingga satu sama lain saling merasakan persaudaraan seagama yang sejati.
2. Syari’at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Maidah : 2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak dapat tidur” [Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim]
Dan sabda beliau.
“Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan sebagiannya menopang sebagian yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i]
Termasuk dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar dan tak terurus. Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya pendidikan serta sikap kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap acuh dari masyarakat.
Kewajiban pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi orang tidak mampu, anak yatim, anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib dengan itu. Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada orang-orang mampu dari kalangan masyarakat, sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak, siapapun mereka. Tetapi jika meninggalkan utang atau kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena aku walinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Inilah yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad , keluarga serta sahabatnya.
Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa telah membaca pertanyaan dari sekertaris pelaksana Dewan Punjab untuk Kesejahteraan Anak, yang ditujukan kepada Ketua Bagian Riset Ilmiah, Fatwa dan Dakwah, yang dilimpahkan kepadanya dari Sekertaris Jenderal Majlis Ulama Besar no. 86/2 tanggal 15/1/1392H, yang isinya meminta penjelasan lebih jauh tentang aturan serta kaidah-kaidah berkenaan dengan hak anak adopsi dalam masalah waris?
Jawaban
Pertama : Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.
Kedua : Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan ke bapak mereka (yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak diketahui siapa bapak yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan loyalitas mereka bagi pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan anak adopsi dinasabkan kepada pengadopsi (ayah angkat) secara hakiki, bahkan anak-anak juga dilarang bernasab kepada selain bapak mereka yang asli, kecuali sudah terlanjur salah dalam pengucapan. Allah mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang mengandung kejujuran dalam perkataan, serta menjaga nasab dari keharmonisan, juga menjaga hak harta bagi orang yang berhak memilikinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ
بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ
تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا
تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 4-5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ اِدَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ، أَوْ اِنْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَ الِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ الْمُتَتَابَعَةُ
“Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” [Hadits Riwayat Abu Daud]
Ketiga : Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan keputusan itu pula Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah hingga awal Islam berupa.
1. Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dengan kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari’at Islam. Dalam rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya. Dijelaskan pula secara global perintah berbuat baik dan sikap ma’ruf dalam bertindak.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ
أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)” [Al-Ahzab : 6]
2. Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak angkat setelah berpisah darinya, walaupun diharamkan di zaman jahiliyah. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat keabsahannya sekaligus sebagai pemangkas adat jahiliyah yang mengharamkan hal tersebut.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا
مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” [Al-Ahzab : 37]
Nabi menikahi Zaenab binti Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin Haritsah menceraikannya.
Keempat : Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.
1.Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan sebutan “wahai anakku” sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya dan mendengarkan nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya. Boleh juga memanggil orang yang usianya lebih tua dengan panggilan, “wahai ayahku” sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta nasehatnya, sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak dalam masyarakat, simpul-simpul antar individu menjadi kuat hingga satu sama lain saling merasakan persaudaraan seagama yang sejati.
2. Syari’at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Maidah : 2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْؤُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرَ
الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak dapat tidur” [Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim]
Dan sabda beliau.
اِلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan sebagiannya menopang sebagian yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i]
Termasuk dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar dan tak terurus. Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya pendidikan serta sikap kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap acuh dari masyarakat.
Kewajiban pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi orang tidak mampu, anak yatim, anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib dengan itu. Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada orang-orang mampu dari kalangan masyarakat, sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَيُّمَا مُؤْ مِنٍ تَرَكَ مَالاَ فَلْيَرِثَهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا،
وَإِنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعَل فَلْيَأْ تِنِيْ فَاَنَا مَوْلاَهُ
“Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak, siapapun mereka. Tetapi jika meninggalkan utang atau kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena aku walinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Inilah yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad , keluarga serta sahabatnya.
Hak-Hak Pendidikan Anak Dalam Islam
Hak-hak yang harus dipenuhi supaya seorang anak muslim berada pada
keadaan yang cocok untuk pendidikan Islam yang benar banyak sekali, kami
akan meyebutkan di antaranya.
1. Memilih calon ibu yang baik, hal ini mengamalkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Lihatlah agama calon istri supaya engkau tidak celaka” [Muttafaqun alaihi]
2. Hendaknya kedua orang tua berdo’a dan merendahkan diri kepada Allah agar berkenan memberi rezki anak yang shalih kepada keduanya.
“Artinya : Dan orang-orang yang berkata : “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang bertakwa” [Al-Furqon : 74]
“Artinya : Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a” [Ali-Imran : 38]
Maka usaha apapun tanpa pertolongan Allah dan taufiq-Nya pasti akan berakhir dengan kegagalan.
Berapa banyak seorang ayah sengat menginginkan agar anaknya menjadi baik, ia sediakan hal-hal yang menunjang untuk kebahagiaan dan pendidikan anaknya, akan tetapi usahanya berakhir dengan kegagalan.
Dan berapa banyak seorang ayah memiliki anak-anak yang shalih, sedangkan ia sendiri bukan orang yang shalih.
3. Memberi Nama Baik
Salah satu hak anak yang wajib ditunaikan seorang ayah adalah memberi nama yang baik serta sesuai dengan syariat agama. Dan syariat agama Islam menganjurkan seorang muslim untuk memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama tertentu, dan nama yang paling dicintai oleh Allah adalah : Abdullah, Abdurrahman. Dan nama yang paling benar adalah : Hammam dan Harits.
4. Salah satu hak anak yang wajib ditunaikan orang tua adalah hendaknya anak melihat dari orang tuanya dan dari masyarakatnya akhlak yang bersih, jauh dari hal yang merubah fitrah dan menghiasi kebatilan, baik akhlak yang dibenci itu berupa kekafiran atau bid’ah atau perbuatan dosa besar. Karena sesungguhnya perbuatan yang menyelisihi fitrah itu memberi pengaruh terhadap kejiwaan seorang anak dan merubah fitrah yang telah dianugrahkan kepadanya.
Karena fitrah seorang anak adalah iman kepada Allah Sang Penciptanya dan beriman terhadap seluruh keutamaan, membenci kekafiran, kedustaan dan penipuan. Dalam hatinya terdapat cahaya fitrah yang senantiasa menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, hanya saja wahyu Allah menambahi fitrahnya dengan cahaya diatas cahaya. Dasar landasan hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Setiap anak dilahirkan diatas fitrahnya, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia yahudi, nashrani atau majusi” [Muttafaqun Alaih]
5. Diantara hak-hak seorang anak yang wajib ditunaikan orang tuanya hendaknya seorang anak tumbuh bersih, suci, ikhlas dan menepati janji. Dan hendaknya dia dijauhkan dari orang-orang yang melakukan perbuatan syirik dan kesesatan, dan perbuatan bid’ah serta maksiat-maksiat, serta perbuatan-perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu. Karena orang yang demikian itu terhadap seorang anak yang bersih dan suci hatinya serta baik jiwanya adalah ibarat teman duduk yang membawa racun yang mematikan dan penyakit kronis, dan itu semua merupakan penghancur keimanan dan perangainya yang baik.
Berapa banyak manusia rusak disebabkan bergaul dengan orang-orang yang pandir. Dan berapa banyak manusia dalam kebingungan disebabkan jauh dari orang-orang yang bijaksana dan ulama. Di dalam Al-Qur’an dan hadits telah disebutkan larangan bergaul dengan orang-orang jahat. Dan juga dari perkataan-perkataan Salafush Shalih banyak kita jumpai tentang hal itu. Kalaulah sekiranya dalam masalah ini tidak ada hadits yang menjelaskannya kecuali hadits An-Nu’man.
“Artinya : Permisalan teman duduk yang baik dan yang buruk adalah seperti pembawa minyak kasturi dan peniup api…” [Muttafaqun Alaih]
Tentulah hadits ini sudah mencukupi.
Ringkasanya adalah bahwa bahaya perangai jelek ini sangat besar, tidaklah orang-orang menjadi rusak melainkan disebabkan berteman dengan orang-orang yang jahat. Dan tidaklah orang-orang menjadi baik melainkan disebabkan oleh nasehat orang-orang yang baik. Dan dalam suatu perumpamaan dikatakan seorang teman itu akan menarik temannya (menarik kepada kebaikan atau kejahatan).
Engkau akan melihat seorang sahabat akan mengajak sahabatnya untuk nonton film, pergi ketempat-tempat minuman keras, melakukan perbuatan hina dan mengajaknya untuk menyukai gambar-gambar wanita yang terbuka auratnya serta mengajaknya untuk menyukai melihat majalah-majalah porno yang merusakkan kemuliaan akhlak dan menyebabkan penyimpangan dan kemunafikan, lalu seorang sahabat mengajak sahabatnya untuk mengikuti golongan-golongan dan pemahaman-pemahaman yang menentang dan menyimpang dari agama.
Akan tetapi seorang teman duduk yang baik memberi petunjuk kepada teman duduknya untuk menghadiri majelis-majelis ulama dan mengunjungi orang-orang yang shalih, bijaksana dan beradab. Dan dia akan mengajak temannya ke masjid serta mencintai orang-orang yang melakukan ruku’ dan sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hatinya itu menjadi cinta dan selalu terpaut dengan masjid hingga dia menjadi orang yang shalih.
Masjid adalah tempat hatinya, mushaf Al-Qur’an adalah teman yang selalu menyertainya dalam kesendiriannya, dan kitab yang berfaedah adalah teman duduknya, matanya mengucurkan air mata tatkala membaca Al-Qur’an dan dia merindukan untuk melihat Allah yang Maha Mulia dan yang Maha Memberi karunia, ia merindukan melihat Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, ia hidup bersama manusia dengan tubuhnya sedangkan hatinya hidup bersama bidadari di kamar-kamar surga, tidaklah dia memetik buah ini dan tidaklah ia hidup dengan hatinya ini di surga yang paling tinggi melainkan disebabkan duduk dengan orang-orang yang baik.
Dan ringkasnya adalah jika kita menjauhkan anak-anak dari teman duduk yang buruk (jahat), berarti kita telah memberikan kepada anak-anak itu salah satu dari hak-haknya yang paling besar.
6. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memerintahkannya untuk shalat di saat berumur 7 tahun, dan memukulnya lantarannya tidak mengerjakan shalat di saat berumur 10 tahun, serta memisahkan tempat tidur anak-anak mereka.
7. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua adalah hendaknya mereka mengajari anak-anaknya untuk berenang, memanah dan menunggang kuda.
8. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka membiasakannya berlaku jujur, menepati janji dan berakhlak mulia.
9. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengajarinya petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam makan dengan tangan kanan disertai dengan membaca basmalah dan makan makanan yang paling dekat.
“Artinya : Wahai anak muda, ucapkanlah bismillah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang terdekat darimu” [Muttafaqun Alaih]
10. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mecegahnya dari menonton televisi khususnya acara-acara yang haram misalnya tarian dan campur baur antara laki-laki dan perempuan. Dan melarangnya untuk melihat drama-drama berseri, yang berisikan pembunuhan dan kejahatan yang mengajarkan pembunuhan, pencurian dan pengkhianatan.
11. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka bersikap adil dalam mendidik anak untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, janganlah orang tua melampaui batas dan jangan pula terlalu lemah, janganlah berlebih-lebihan dalam memukul anak dan jangan pula membiarkannya tanpa teguran.
12. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengajarkan kepada anak untuk membenci orang-orang yang melakukan perbuatan bodoh, seperti seorang yang sudah mashur di masyarakat bahwa ia adalah orang yang suka berkhianat dan melakukan perbuatan nifak dan pemain-pemain sandiwara yang dinamakan oleh orang-orang dengan bintang seni disertai dengan usaha mengisi hati anak untuk cinta kepada para sahabat nabi, tabi’in, ulama dan mujahidin.
13. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mendidik anak untuk memakan makanan yang halal dan makan dari hasil jerih payah sendiri secara bertahap.
14. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka menolong anak untuk taat kepada Allah dan RasulNya, contohnya kalau seorang anak memilih perkara-perkara yang tidak menyelisihi syariat agama maka janganlah kedua orang tua melarannya.
15. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memilihkan dengan baik calon isteri yang shalihah yang membantunya untuk taat kepada Allah dan RasulNya.
16. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengarahkan anak sebelum ia menikah untuk memperoleh ilmu agama dari para ulama yang mengamalkan imunya, dan menanamkan rasa cinta untuk menghafal Al-Qur’an dan juga seluruh ilmu-ilmu syariat agama ini seperti fikih, hadits, ilmu bahasa, contohnya nahwu, shorf dan balaghah. Serta ilmu ushul fikiih, dan menanamkan rasa cinta kepada aqidah Salafush Shalih.
17. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memberi semangat anak untuk belajar secara khusus ilmu dunia yang ia minati untuk melayani masyarakat sesudah memperoleh ilmu agama yang wajib ia pelajari.
Dan terakhir : Sesungguhnya hak-hak pendidikan terhadap anak dalam agama Islam tidak ada perbedaan diantara satu negeri dengan negeri yang lainnya atau masa yang satu dengan masa yang lainnya. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan masalah nama dan washilahnya (prasarananya) saja. Dan pokok-pokok yang disebutkan tadi cocok untuk manusia pada setiap zaman, tempat dan sesuai untuk seluruh manusia dipenjuru negeri
Dan segala puji bagi Allah,Rabb smesta alam, shalawat serta salam atas Nabi, keluarga dan para sahabat beliau.
1. Memilih calon ibu yang baik, hal ini mengamalkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Lihatlah agama calon istri supaya engkau tidak celaka” [Muttafaqun alaihi]
2. Hendaknya kedua orang tua berdo’a dan merendahkan diri kepada Allah agar berkenan memberi rezki anak yang shalih kepada keduanya.
“Artinya : Dan orang-orang yang berkata : “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang bertakwa” [Al-Furqon : 74]
“Artinya : Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a” [Ali-Imran : 38]
Maka usaha apapun tanpa pertolongan Allah dan taufiq-Nya pasti akan berakhir dengan kegagalan.
Berapa banyak seorang ayah sengat menginginkan agar anaknya menjadi baik, ia sediakan hal-hal yang menunjang untuk kebahagiaan dan pendidikan anaknya, akan tetapi usahanya berakhir dengan kegagalan.
Dan berapa banyak seorang ayah memiliki anak-anak yang shalih, sedangkan ia sendiri bukan orang yang shalih.
3. Memberi Nama Baik
Salah satu hak anak yang wajib ditunaikan seorang ayah adalah memberi nama yang baik serta sesuai dengan syariat agama. Dan syariat agama Islam menganjurkan seorang muslim untuk memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama tertentu, dan nama yang paling dicintai oleh Allah adalah : Abdullah, Abdurrahman. Dan nama yang paling benar adalah : Hammam dan Harits.
4. Salah satu hak anak yang wajib ditunaikan orang tua adalah hendaknya anak melihat dari orang tuanya dan dari masyarakatnya akhlak yang bersih, jauh dari hal yang merubah fitrah dan menghiasi kebatilan, baik akhlak yang dibenci itu berupa kekafiran atau bid’ah atau perbuatan dosa besar. Karena sesungguhnya perbuatan yang menyelisihi fitrah itu memberi pengaruh terhadap kejiwaan seorang anak dan merubah fitrah yang telah dianugrahkan kepadanya.
Karena fitrah seorang anak adalah iman kepada Allah Sang Penciptanya dan beriman terhadap seluruh keutamaan, membenci kekafiran, kedustaan dan penipuan. Dalam hatinya terdapat cahaya fitrah yang senantiasa menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, hanya saja wahyu Allah menambahi fitrahnya dengan cahaya diatas cahaya. Dasar landasan hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Setiap anak dilahirkan diatas fitrahnya, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia yahudi, nashrani atau majusi” [Muttafaqun Alaih]
5. Diantara hak-hak seorang anak yang wajib ditunaikan orang tuanya hendaknya seorang anak tumbuh bersih, suci, ikhlas dan menepati janji. Dan hendaknya dia dijauhkan dari orang-orang yang melakukan perbuatan syirik dan kesesatan, dan perbuatan bid’ah serta maksiat-maksiat, serta perbuatan-perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu. Karena orang yang demikian itu terhadap seorang anak yang bersih dan suci hatinya serta baik jiwanya adalah ibarat teman duduk yang membawa racun yang mematikan dan penyakit kronis, dan itu semua merupakan penghancur keimanan dan perangainya yang baik.
Berapa banyak manusia rusak disebabkan bergaul dengan orang-orang yang pandir. Dan berapa banyak manusia dalam kebingungan disebabkan jauh dari orang-orang yang bijaksana dan ulama. Di dalam Al-Qur’an dan hadits telah disebutkan larangan bergaul dengan orang-orang jahat. Dan juga dari perkataan-perkataan Salafush Shalih banyak kita jumpai tentang hal itu. Kalaulah sekiranya dalam masalah ini tidak ada hadits yang menjelaskannya kecuali hadits An-Nu’man.
“Artinya : Permisalan teman duduk yang baik dan yang buruk adalah seperti pembawa minyak kasturi dan peniup api…” [Muttafaqun Alaih]
Tentulah hadits ini sudah mencukupi.
Ringkasanya adalah bahwa bahaya perangai jelek ini sangat besar, tidaklah orang-orang menjadi rusak melainkan disebabkan berteman dengan orang-orang yang jahat. Dan tidaklah orang-orang menjadi baik melainkan disebabkan oleh nasehat orang-orang yang baik. Dan dalam suatu perumpamaan dikatakan seorang teman itu akan menarik temannya (menarik kepada kebaikan atau kejahatan).
Engkau akan melihat seorang sahabat akan mengajak sahabatnya untuk nonton film, pergi ketempat-tempat minuman keras, melakukan perbuatan hina dan mengajaknya untuk menyukai gambar-gambar wanita yang terbuka auratnya serta mengajaknya untuk menyukai melihat majalah-majalah porno yang merusakkan kemuliaan akhlak dan menyebabkan penyimpangan dan kemunafikan, lalu seorang sahabat mengajak sahabatnya untuk mengikuti golongan-golongan dan pemahaman-pemahaman yang menentang dan menyimpang dari agama.
Akan tetapi seorang teman duduk yang baik memberi petunjuk kepada teman duduknya untuk menghadiri majelis-majelis ulama dan mengunjungi orang-orang yang shalih, bijaksana dan beradab. Dan dia akan mengajak temannya ke masjid serta mencintai orang-orang yang melakukan ruku’ dan sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hatinya itu menjadi cinta dan selalu terpaut dengan masjid hingga dia menjadi orang yang shalih.
Masjid adalah tempat hatinya, mushaf Al-Qur’an adalah teman yang selalu menyertainya dalam kesendiriannya, dan kitab yang berfaedah adalah teman duduknya, matanya mengucurkan air mata tatkala membaca Al-Qur’an dan dia merindukan untuk melihat Allah yang Maha Mulia dan yang Maha Memberi karunia, ia merindukan melihat Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, ia hidup bersama manusia dengan tubuhnya sedangkan hatinya hidup bersama bidadari di kamar-kamar surga, tidaklah dia memetik buah ini dan tidaklah ia hidup dengan hatinya ini di surga yang paling tinggi melainkan disebabkan duduk dengan orang-orang yang baik.
Dan ringkasnya adalah jika kita menjauhkan anak-anak dari teman duduk yang buruk (jahat), berarti kita telah memberikan kepada anak-anak itu salah satu dari hak-haknya yang paling besar.
6. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memerintahkannya untuk shalat di saat berumur 7 tahun, dan memukulnya lantarannya tidak mengerjakan shalat di saat berumur 10 tahun, serta memisahkan tempat tidur anak-anak mereka.
7. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua adalah hendaknya mereka mengajari anak-anaknya untuk berenang, memanah dan menunggang kuda.
8. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka membiasakannya berlaku jujur, menepati janji dan berakhlak mulia.
9. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengajarinya petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam makan dengan tangan kanan disertai dengan membaca basmalah dan makan makanan yang paling dekat.
“Artinya : Wahai anak muda, ucapkanlah bismillah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang terdekat darimu” [Muttafaqun Alaih]
10. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mecegahnya dari menonton televisi khususnya acara-acara yang haram misalnya tarian dan campur baur antara laki-laki dan perempuan. Dan melarangnya untuk melihat drama-drama berseri, yang berisikan pembunuhan dan kejahatan yang mengajarkan pembunuhan, pencurian dan pengkhianatan.
11. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka bersikap adil dalam mendidik anak untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, janganlah orang tua melampaui batas dan jangan pula terlalu lemah, janganlah berlebih-lebihan dalam memukul anak dan jangan pula membiarkannya tanpa teguran.
12. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengajarkan kepada anak untuk membenci orang-orang yang melakukan perbuatan bodoh, seperti seorang yang sudah mashur di masyarakat bahwa ia adalah orang yang suka berkhianat dan melakukan perbuatan nifak dan pemain-pemain sandiwara yang dinamakan oleh orang-orang dengan bintang seni disertai dengan usaha mengisi hati anak untuk cinta kepada para sahabat nabi, tabi’in, ulama dan mujahidin.
13. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mendidik anak untuk memakan makanan yang halal dan makan dari hasil jerih payah sendiri secara bertahap.
14. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka menolong anak untuk taat kepada Allah dan RasulNya, contohnya kalau seorang anak memilih perkara-perkara yang tidak menyelisihi syariat agama maka janganlah kedua orang tua melarannya.
15. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memilihkan dengan baik calon isteri yang shalihah yang membantunya untuk taat kepada Allah dan RasulNya.
16. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengarahkan anak sebelum ia menikah untuk memperoleh ilmu agama dari para ulama yang mengamalkan imunya, dan menanamkan rasa cinta untuk menghafal Al-Qur’an dan juga seluruh ilmu-ilmu syariat agama ini seperti fikih, hadits, ilmu bahasa, contohnya nahwu, shorf dan balaghah. Serta ilmu ushul fikiih, dan menanamkan rasa cinta kepada aqidah Salafush Shalih.
17. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memberi semangat anak untuk belajar secara khusus ilmu dunia yang ia minati untuk melayani masyarakat sesudah memperoleh ilmu agama yang wajib ia pelajari.
Dan terakhir : Sesungguhnya hak-hak pendidikan terhadap anak dalam agama Islam tidak ada perbedaan diantara satu negeri dengan negeri yang lainnya atau masa yang satu dengan masa yang lainnya. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan masalah nama dan washilahnya (prasarananya) saja. Dan pokok-pokok yang disebutkan tadi cocok untuk manusia pada setiap zaman, tempat dan sesuai untuk seluruh manusia dipenjuru negeri
Dan segala puji bagi Allah,Rabb smesta alam, shalawat serta salam atas Nabi, keluarga dan para sahabat beliau.
Islam Mengharamkan Tidak Mau Mempunyai Anak Karena Takut Miskin
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan (kamu). Kami akan memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka” [Al-An’aam : 151]
Dan firman-Nya lagi
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar” [Al-Israa : 31]
Faedah.
Pada ayat yang pertama (Al-An’aam : 151) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu”. Karena kemiskinan (kamu) terjemahan dari (min imlaaqi). Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kekafiran memang telah ada sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain Ulama. Maka janganlah kefakiran kamu itu menyebabkan kamu membunuh anak-anak kamu. Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini didahulukan penyebutan terhadap orang tua kemudian anak.
Firman-Nya : “Kamilah yang memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka (anak-anak kamu)”. Sedangkan dalam ayat yang kedua (Al-Israa : 31) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin”. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kefakiran belum datang kepada mereka (orang tua). Akan tetapi mereka takut hidup miskin atau fakir disebabkan adanya anak di masa mendatang. Lantaran itu mereka bunuh anak-anak mereka karena takut kemiskinan yang akan menimpa mereka!? Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai menyebut anak kemudian orang tua.
Firman-Nya : “Kami yang akan memberi rizki kepada mereka (yakni anak-anak kamu) dan juga kepada kamu”. Disinilah letak perbedaan kedua ayat di atas (Al-An’aam : 151 dan Al-Israa : 31). Perhatikanlah!
Kedua firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas memberikan pelajaran dan hukum yang sangat tinggi kepada kita ;
Pertama : Bahwa salah satu perbuatan jahilliyyah ialah membunuh anak mereka karena kemiskinan yang ada pada mereka atau karena takut miskin di masa mendatang disebabkan adanya anak. Dari sini kita mengetahui bahwa salah satu sifat orang jahilliyyah ialah takut mempunyai anak atau tidak mau mempunyai anak karena kefakiran mereka atau takut jatuh miskin atau fakir. Perhatikanlah dan pahamkanlah ! Alangkah serupanya kemarin malam dengan malan ini! Sebagian kaum muslimin yang hidup pada zaman kita sekarang ini ketakutan bahkan sangat takutnya mempunyai anak karena kemiskinan mereka itu atau takut miskin di masa mendatang!? Kaum muda yang baru nikah tidak mau langsung mempunyai anak dengan alasan misal yang kita dengar :
“Ekonomi kami belum cukup!”
Gaji masih kecil!”
“Belum mampu mengurus anak!”
“Rumah masih ngontrak!”.
Sebagian mereka ada yang membatasi kelahiran, tidak mau lebih karena alasan yang sama yang semua itu terkumpul menjadi satu yaitu ketakutan di atas ketakutan atas kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin disebabkan anak!
Alangkah serupanya sifat dua keyakinan mereka dengan sifat keyakinan orang-orang jahilliyyah yaitu tidak mau mempunyai anak karena kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin!!!
Dan inilah yang dibatakan oleh Islam ketika Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hajjatul Wada’ sewaktu beliau wuquf di Arafah.
“Artinya : Ketahuilah ! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan” [Riwayat Muslim : 4/41]
Salah satu urusan jahilliyyah ialah membunuh anak-anak mereka karena kemiskinan atau takut miskin! Ini! Maka kaum muslimin yang tidak mau mempunyai anak dengan i’tiqad (keyakinan) takut miskin atau takut tidak bisa makan atau, atau, atau…. Samalah keyakinan mereka ini dengan keyakinan orang-orang jahilliyyah meskipun mereka tidak membunuh anak-anak mereka.
Kedua : Membunuh anak-anak karena dua sebab di atas yaitu karena kemiskinan atau takut miskin atau sebab-sebab lain adalah perbuatan dosa yang sangat besar sekali sebagaimana firman Allah di atas bersama sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata : Aku bertanya atau ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah dosa yang paling besar di sisi Allah?”
Jawab beliau, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan (sekutu) padahal Dia yang menciptakan kamu”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Jawab beliau, “Engkau membunuh anakmu lantaran takut makan bersamamu”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Jawab beliau, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”
[Shahih Riwayat Bukhari 6/14 dan Muslim 1/63 : 64]
Kesimpulan
Bahwa tidak mau atau takut mempunyai anak atau membatasi kelahiran dengan keyakinan seperti keyakinan jahilliyyah yaitu :
1). Karena kemiskinan dan takut semakin miskin dan fakir
2). Atau takut jatuh miskin dan fakir
3). Atau takut miskin karena banyak anak
4). Atau susah dan merasa berat mengurus dengan dasar pendidikan dan lain-lain.
Maka hukumnya haram dengan kesepakatan para Ulama umat ini yang dahulu dan sekarang (baca ; Ulama pewaris ilmunya para Nabi).
Jika dikatakan, “Bukankah di dalam Islam ada ‘azal (yaitu mengeluarkan mani di luar rahim). Sedangkan ‘azal pada hakikatnya tidak mempunyai anak dengan pencegahan kehamilan. Dan ‘azal ini dibolehkan di dalam Islam. Dengan sendirinya Islam tidak melarang mencegah kehamilan atau membatasi kelahiran, bagaimana jawaban saudara?”
Saya jawab.
Pertama : Tidak syak lagi bagi ahli ilmu khususnya dan sebagian kaum muslim umumnya, bahwa ‘azal terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Hadits-hadits yang berbicara tentang masalah ini cukup banyak dan masyhur dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslin dan lain-lain.
Kedua : Adapun hukumnya para Ulama kita telah beselisih dalam menentukannya. Akan tetapi pandangan yang lebih kuat hukum ‘azal adalah makruh yang lebih utama ditinggalkan karena beberapa sebab.
Sebab Pertama : ‘Azal terjadi pada masa turunnya wahyu sedangkan Allah tidak menurunkan ayat yang melarangnya.
Sebab Kedua : Tidak ada larangan yang sharih (tegas) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ‘azal adalah :
“Artinya : Mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi” [Riwayat Muslim 4/161 dan lain-lain]
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidak secar zhahirnya. Akan tetapi hanya merupakan tasybih yaitu penyerupaan bahwa ‘azal itu menyerupai orang yang mengubur anak hidup-hidup secara zhahir yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan secara sembunyi (khafi) karena beberapa hal.
Hal yang pertama : Niat dan maksudnya tidak mau mempunyai anak
Hal yang kedua : Memutuskan kelahiran sebelum datangnya (yakni datang kehamilan). Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namakan mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi.
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun jelas bahwa mereka (orang yang melakukan ‘azal) tidak mengubur anak hidup-hidup secara zhahir. Oleh karena itu hukumnya pun tidak berlaku secara zhahir.
Sebab Ketiga : Bahwa ‘azal menghilangkan sebagian dari maksud-maksud nikah diantaranya ialah memperbanyak umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi kebanggaan beliau di hadapan para Nabi dan umat-umat yang terdahulu bahwa umat beliau adalah yang terbanyak dan terbesar dari seluruh umat para Nabi dan Rasul. (Baca kembali hadits-hadits di fasal pertama)
Sebab Keempat : Bahwa ‘azal menghilangkan sebagian kelezatan jima’ (bersetubuh). Imma terhadap istri atau terhadap keduanya (suami – istri).
Ketiga : Bahwa ‘azal yang terjadi dan dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dikerjakan oleh sebagian Shahabat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada zaman kita hidup sekarang ini dengan beberapa perbedaan yang sangat mendasar sekali yaitu.
Perbedaan yang pertama : Bahwa para Shahabat melakukan ‘azal dengan tidak meyakini (tanpa i’tiqad) bahwa dengan ‘azal itu pasti dapat mencegah kehamilan ! Tidak demikian keyakinan mereka!
Keyakinan mereka bawha ‘azal sama sekali tidak dapat merubah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan akan terjadi anak maka terjadilan. Begitu keyakinan (i’tiqad) mereka sebagaimana diajarkan oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya sabda beliau ketika ditanya tentang ‘azal.
“Artinya : Hanyasanya dia itu qadar (takdir)” [Shahih Muslim : 4/158, 159]
Maksudnya : Terjadinya anak dan tidaknya disebabkan takdir bukan karena ‘azal!
Perhatikanlah ! inilah keyakinan yang benar!
Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian kaum kita selain mereka telah mempergunakan berbagai macam alat pencegah kehamilan bukan ‘azal yang dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meyakini bahwa dengan alat-alat tersebut kehamilan dapat dicegah!? Ini adalah keyakinan yang batil dan menyalahi kenyataan yang dapat disaksikan oleh manusia! Berapa banyak orang yang ‘azal baik dengan cara lama atau dengan menggunakan alat –terlepas dari keyakinan masing-masing- kenyataannya istrinya hamil kemudian melahirkan yang akhirnya ia mendapat anak!
Sebaliknya, berapa banyak orang yang tidak melakukan ‘azal baik dengan cara lama atau menggunakan alat kenyataannya istrinya tidak hamil! Bahkan ada yang sampai seumur hidupnya tidak mempunyai anak! Cerita tentang dua kejadian di atas banyak sekali sampai kepada derajat mutawatir! Ini perbedaan yang pertama!
Sedangkan perbedaan yang kedua : Bahwa para Shahabat melakukan ‘azal atau katakanlah “mencegah kehamilan”, tanpa i’tiqad (keyakinan) sama sekali seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kuffar seperti kami terangkan di atas.
Sedangkan kaum kita dewasa ini –tentunya tidak semuanya- mereka melakukan ‘azal atau lebih bebasnya kita katakan saja mencegah kehamilan karena tidak mau mempunyai anak atau lebih ‘arifnya kita katakan belum mau mempunyai anak atau membatasi kelahiran, apakah dengan cara lama ‘azal atau dengan menggunakan alat, semuanya mereka lakukan dengan keyakinan (i’tiqad), seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kufar pada zaman kita sekarang ini, yaitu.
1). Karena miskin atau fakir
2). Karena takut miskin atau fakir
3). Takut miskin karena mempunyai anak banyak
4). Kata mereka, “Susah mengurusnya!?, “Jadi beban!?”, “Banyak keluar biaya!?”
Dan lain-lain alasan yang semuanya terkumpul menjadi kamus “kesusahan diatas kesusahan”. Itulah keyakinan sebagian kaum kita dalam masalah mencegah kehamilan atau membatasinya. Alangkah sedihnya melihat kenyataan ini!
Keyakinan yang ditangisi oleh Islam dan dibatalkannya! Inilah yang sangat kita sayangkan dan sesalkan, bahwa sebagian saudara-saudara kita telah dimiskinkan hatinya oleh orang-orang kafir sebelum orang-orang kafir itu memiskinkan harta-harta mereka!
Ini ! Kemudian datang kepada saya satu pertanyaan yang maknanya sebagai berikut ; Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?
Saya jawab : [1]
Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?
Pertama : Bahwa i’tiqad di atas menyerupai i’tiqad kaum jahilliyyah atau kaum kuffar dan maksud-maksud mereka yang dahulu dan sekarang. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatalkan segala urusan jahilliyyah sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, ‘Ketahuilah! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan”.
Bersama sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : …Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum (yakni kaum kuffar), maka dia (orang tersebut) termasuk dari golongan mereka (yakni orang yang mengikuti sunnahnya orang-orang kafir)”.
Hadits ini shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan Thahawiy di kitabnya Musykilul Atsar sebagaimana telah saya terangkan di Riyadlul Jannah (no.145).
Hadits yang mulia ini merupakan larangan yang tegas dalam bentuk khabar tentang tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Dalam hal ini sebagai kaum muslimin telah menyerupai keyakinan orang-orang jahilliyyah tentang masalah anak.
Ketahuilah! Bahwa orang-orang jahilliyyah membunuh anak-anak mereka –sebagaimana di beritakan Al-Qur’an- karena tiga sebab.
Pertama : Karena sebab kemiskinan mereka
Kedua : Karena sebab takut miskin
Ketiga : Karena sebab malu mempunyai anak perempuan
Untuk yang pertama dan kedua tidak syak lagi bahwa sebagian kita telah mempunyai i’tiqad orang-orang jahilliyyah. Mereka tidak mau mempunyai anak atau katakanlah belum mau atau membatasi kelahiran karena sebab miskin atau takut miskin meskipun mereka belum membunuhnya! Bahkan mereka pun telah melakukannya walaupun jumlahnya masih kecil! Dan celakanya, sebagian dari mereka telah menempuh atau mencari jalan yang lain yaitu menjual anak-anak mereka kepada orang-orang kaya karena dua sebab di atas. Lebih lanjut masalah ini akan saya luaskan di fasal adopsi.
Adapun untuk yang ketiga tidak syak lagi bahwa sebagian dari kita telah membunuh anak-anak mereka bukan karena malu mempunyai anak perempuan akan tetapi karena malu mempunyai anak disebabkan hamil atau melahirkan di luar nikah!!!
Mereka bunuh anak-anak mereka dengan berbagai macam cara yang keji-keji. Ada yang di cekik, ada yang dibuang di got, di tong sampah, di kali dan lain-lain. Bahkan! Lebih celaka lagi sebagian dari mereka membunuh anak-anak mereka untuk tujuan-tujuan tertentu seperti memperoleh kekayaan atau ilmu (baca : ngelmu). Mereka mendatangi gunung-gunung atau goa-goa tertentu dan lain-lain tempat. Misalnya gunung Kawi yang sudah cukup masyhur untuk memperoleh kekayaan misalnya dengan mengadakan pernjanjian untuk menyembah iblis! Dan iblis pun memberikan berbagai macam syarat kalau mau kaya di antaranya “membunuh anak” untuk dipersembahkan kepada iblis sebagai tumbal!? Ini kenyataan!
Semua yang tersebut di atas adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi kecuali kita rela membutakan mata hati dan lahir kita!
Anak Adalah Pemberian Allah Azza Wa Jalla
Anak merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia. Allah menciptakan apa-apa yang Ia kehendaki dan memberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi. Ia menciptakan apa-apa yang Ia kehendaki. Ia memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki anak-anak perempuan dan Ia memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki anak-anak laki-laki. Atau (Ia memberikan kepada siapa yang ia kehendaki) anak-anak laki-laki dan perempuan. Dan Ia jadikan siapa yang Ia kehendaki mandul (tidak dapat mempunyai anak). Sesungguhnya Ia Maha Mengetahui (dan) Maha Berkuasa[1]” [Asy-Syuura : 49-50]
Dari ayat yang mulia ini kita mengetahui berbedanya pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia tentang anak menjadi empat bagian. [2]
Pertama : Sebagian manusia Allah berikan kepada mereka hanya mendapat anak-anak perempuan saja tidak anak-anak laki-laki atau kedua-keduanya. Selama hidupnya mereka tidak mendapat anak laki-laki walaupun selalu menjadi impian mereka!
Kedua : Sebagian lagi Allah berikan kepada mereka hanya anak laki-laki saja tidak anak perempuan atau kedua-duanya. Selama hidup mereka tidak pernah melihat anak perempuan lahir di tengah-tengah mereka walaupun mereka sangat megharapkan kehadirannya!
Ketiga : Sebagian yang lain Allah berikan kepada mereka anak laki-laki dan perempuan maka terwujudlah apa yang selama ini mereka dambakan!
Keempat : Sebagian manusia lain hidup di dalam kesunyian dan kesepian. Tidak mereka mendengar kecuali suara mereka! Suami-isteri yang selama hidupnya tidak pernah mendengar jeritan dan tangis seorangpun bayi yang lahir dari sulbi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa tidak memberikan kepada mereka seorangpun anak!
Itulah pembagian anak dari Rabbul Alamani kepada manusia! Hendaklah kita ridlai kepada pembagian anak yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui siapa yang berhak dan tidak berhak mendapatkannya. Dan Allah Maha Kuasa memberikan dan tidak memberikan.
ANAK MERUPAKAN FITNAH (UJIAN)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah (ujian/cobaan bagi kamu). Dan sesungguhnya Allah di sisi-Nya-lah ada ganjaran yang besar” [Al-Anfal : 28]
“Artinya : Hanya saja harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah (ujian/cobaan bagi kamu). Dan sesungguhnya Allah di sisi-Nya-lah ada ganjaran yang besar” [Ath-Thaghaabun : 157]
Anak merupakan fitnah atau ujian bagi setiap orang tua yang dapat membawa orang tua kepada kesenangan dunia dan akhirat apabila mereka mendidiknya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau akan membawa mereka kepada kesengsaraan dunia dan akhirat apabila orang tua itu mendidik anak-anaknya di jalan syaithan.
ANAK MERUPAKAN BUAH HATI ORANG TUA
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dari Abi Musa Al-Asy’ari : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila mati anak seorang hamba, Allah berfirman kepada para Malaikat-Nya, ‘Kamu telah ambil anak dari hamba-Ku?.
Jawab mereka : ‘Ya’
Maka Allah berfirman : ‘Kamu telah ambil buah hatinya?’
Mereka menjawab : ‘Ya’
Maka Allah berfirman : ‘Apa yang diucapkan hamba-Ku?’
Jawab mereka : ‘Ia memuji Engkau dan istirja[3]’
Maka Allah berfirman ; ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku satu rumah di surga dan namakanlah rumah tersebut dengan baitul hamdi (rumah pujian)’.
[Riwayat Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits ini hasan gharib]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Allah Maha Mengetahui kepada siapa yang berhak mendapat anak laki-laki atau perempuan atau kedua-duanya atau tidak mendapat anak sama sekali.
[2]. Allah Maha Kuasa menciptakan perbedaan di atas di antara manusia.
[3]. Yakni mengucapkan Alhamdulillah dan istirja’ yaitu : Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Islam Menganjurkan Umatnya Untuk Mempunyai Banyak Anak
Dalam masalah ini telah datang dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Islam
sangat menganjurkan umatnya untuk mempunyai anak bahkan mempunyai anak
banyak sebagai mana akan datang keterangannya di fasal ke tiga. Di
antara dalil-dalil tersebut ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : …dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu (yaitu anak)” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Anas bin Malik dan lain-lain Imam dari kaum Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak (Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas)
Maksudnya : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mencari anak dengan jalan bercampur (jima’) suami istri apa yang Allah telah tentukan untuk kamu.
Cukuplah ayat di atas sebagai dalil yang tegas dan terang bahwa Islam memerintahkan mempunyai anak dengan jalan nikah dan bercampur suami-istri. Dan sekaligus merupakan larangan dan celaan terhadap mereka yang tidak mau mempunyai anak padahal ada jalan untuk memperolehnya dengan qadar Allah.
Dan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” [Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar]
“Artinya : Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Kelengkapan takhrij dua hadits di atas terdapat di kitab besar kami Riyadlul Jannah (no. 172 dan 173).
ISLAM MENGANJURKAN UMATNYA UNTUK MEMPUNYAI BANAK ANAK
Diantara dalil-dalilnya ialah duah hadits yang telah lalu di fasal 1 dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadts Anas bin Malik kemudian hadits yang sangat terkenal di bawah ini yaitu do’a Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Anas bin Malik.
Artinya : Ya Allah! Banyakanlah hartanya dan (banyakanlah) anaknya dan berkahilah apa yang engkau telah berikan kepadanya” [Hadits shahih riwayat Bukhari (7/152, 154, 161, 162 dan Muslim 2/128]
Dalam riwayat yang lain yang juga dikeluarkan oleh Imam Bukhari di kitabnya yang lain di luar kitab Shahih-nya yaitu di kitabnya Adabul Mufrad (no. 653), Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya.
“Artinya : Ya Allah ! Banyakanlah hartanya dan anaknya, dan panjangkanlah umurnya dan ampunkanlah ia” [Derajad hadits ini Hasan]
Dari hadits yang mulia ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai umatnya mempunyai banyak anak. Dengan demikian, maka Islam menganjurkan umatnya mempunyai banyak anak dengan maksud dan tujuan yang suci mengikuti ‘Syari’at Rabbul ‘Alamin di antaranya yang terpenting adalah memperbanyak umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau tegaskan (lihat haditsnya di fasal pertama). Keadaan yang demikian membuat orang-orang kuffar ketakutan dan cemas akan banyaknya kaum muslimin. Akhirnya merekapun menakut-nakuti kaum muslimin dam membuat berbagai macam program dalam rangka membatasi kelahiran di negeri-negeri Islam yang pemimpinnya dan para pejabatnya jauh dari nur Islam. Ambil misal, di negeri kita ini –negeri Islam- di masa orde baru rezim Soeharto mencekoki kaum muslimin dengan berbagai macam program KB (Keluarga Berencana) membatasi kelahiran.
“Cukup anak dua saja!”
“Laki-laki perempuan sama saja!?”
Inilah salah satu dari sekian banyak kebodohan Soeharto yang akibatnya dia rasakan sendiri rakyat hidup miskin akibat krisis moneter yang berkepanjangan. Katanya KB itu menjanjikan hidup sejahtera dan sentosa dan lain-lain dari janji-janji muluk. Apa kata orang-orang kuffar kepada kaum muslimin, “Kalau kami mempunyai banyak anak niscaya kamu akan jatuh miskin dan bangkrut karena akan kerepotan dalam mengurusnya dan banyak keluar biaya dan lain-lain kesusahan. Lebih dari itu bumi akan sesak dan perbendaharaannya akan habis dan punah? Dimana kita akan bertempat tinggal dan apa yang akan kita makan!?”
Kita jawab
Pertama : Adapun tidak mau mempunyai anak karena miskin atau takut miskin dan yang berhubungan dengannya dari masalah-masalah pengurusan dan biaya telah kami jawab di fasal kedu.
Kedua : Adapun keyakinan tentang melonjaknya jumlah penduduk yang akan membuat bumi ini sesak dan habis perbendaharaannya adalah keyakinan yang batil dan sesat menyesatkan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
“Artinya : Dan bagi kamu di bumi tempat menetap dan rizki sampai waktu yang telah ditentukan (yakn hari kiamat)” [Al-Baqarah : 36]
“Artinya : Dialah Allah yang menciptakan untuk kamu segala sesuatu di bumi ini semuanya’ [Al-Baqarah : 29]
“Artinya : Allah berfirman : Di bumi kamu hidup dan di bumi kamu mati dan dari bumi itu (juga) kamu akan dibangkitkan” [Al-A’raaf : 25]
“Artinya : Bukankah Kami telah menjadikan bumi (tempat) berkumpul (yang cukup). Untuk orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati”[Al-Mursalat : 25-26]
Dari ayat-ayat di atas kita mengetahui
Pertama : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi tempat tinggal bagi manusia dan tempat yang cukup untuk mereka bagi yang hidup dan yang mati.
Kedua : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sediakan di bumi ini untuk manusia perbendaharaan yang cukup yang tidak akan punah dan habis.
KEUTAMAAN MEMPUNYAI ANAK BANYAK
Artinya : Dari Abu Huarirah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ada seseorang [1] yang diangkat (ditinggikan) derajadnya di jannah (surga)”. Lalu ia bertanya (terheran-heran), “Bagaimana aku bisa mendapat ini (yakni derajad yang tinggi di surga)?”. Dikatakan kepadanya, “(Ini) disebabkan istighfar (permohonan ampun) dari anakmu (kepada Allah) untukmu”.
“Artinya : Dari Abu Hurairah : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila manusia itu telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara.
1). Shadaqah jariyah
2). Atau ilmu yang diambil manfaatnya
3). Anak shalih yang mendo’akannya”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]
Inilah puncak tertinggi dari keutamaan-keutamaan mempunyai anak, yaitu anak yang shalih yang bermanfaat bagi orang tua di dunia dan di akhirat.
Dari hadits ini pun kita mengetahui bahwa tujuan mulia dari mempunyai anak –menurut syari’at Islam- ialah menjadikan anak-anak tersebut menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan anak-anak yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya (birrul walidain). Bukan anak-anak yang durhaka apalagi yang kufur dan lain-lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting sekali dan menentukan. Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Setiap manusia dilahirkan ibunya atas dasar fitrah [2]. Dan kedua orang tuanyalah yang sesudah itu yang menjadikannya sebagai Yahudi dan Nashara dan Majusi. Maka apabila kedua orang tuanya muslim, maka jadilah dia anak muslim..” [Riwayat Muslim dan lain-lain]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lafadz-lafadz ini tidak menunjukkan hanya satu orang saja. Akan tetapi setiap orang tua yang di-istighfarkan oleh anaknya. Kalau dia termasuk ahli jannah maka derajatnya di surga akan diangkat seperti hadits di atas, dan kalau dia termasuk orang yang berdosa dan calon penghuni neraka maka dosa-dosanya akan berkurang atau hapus kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki.
[2]. Menurut Imam Nawawi di Syarh Muslim bahwa pendapat yang lebih shahih fitrah itu maknanya Islam
“Artinya : …dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu (yaitu anak)” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Anas bin Malik dan lain-lain Imam dari kaum Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak (Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas)
Maksudnya : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mencari anak dengan jalan bercampur (jima’) suami istri apa yang Allah telah tentukan untuk kamu.
Cukuplah ayat di atas sebagai dalil yang tegas dan terang bahwa Islam memerintahkan mempunyai anak dengan jalan nikah dan bercampur suami-istri. Dan sekaligus merupakan larangan dan celaan terhadap mereka yang tidak mau mempunyai anak padahal ada jalan untuk memperolehnya dengan qadar Allah.
Dan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” [Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar]
“Artinya : Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Kelengkapan takhrij dua hadits di atas terdapat di kitab besar kami Riyadlul Jannah (no. 172 dan 173).
ISLAM MENGANJURKAN UMATNYA UNTUK MEMPUNYAI BANAK ANAK
Diantara dalil-dalilnya ialah duah hadits yang telah lalu di fasal 1 dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadts Anas bin Malik kemudian hadits yang sangat terkenal di bawah ini yaitu do’a Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Anas bin Malik.
Artinya : Ya Allah! Banyakanlah hartanya dan (banyakanlah) anaknya dan berkahilah apa yang engkau telah berikan kepadanya” [Hadits shahih riwayat Bukhari (7/152, 154, 161, 162 dan Muslim 2/128]
Dalam riwayat yang lain yang juga dikeluarkan oleh Imam Bukhari di kitabnya yang lain di luar kitab Shahih-nya yaitu di kitabnya Adabul Mufrad (no. 653), Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya.
“Artinya : Ya Allah ! Banyakanlah hartanya dan anaknya, dan panjangkanlah umurnya dan ampunkanlah ia” [Derajad hadits ini Hasan]
Dari hadits yang mulia ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai umatnya mempunyai banyak anak. Dengan demikian, maka Islam menganjurkan umatnya mempunyai banyak anak dengan maksud dan tujuan yang suci mengikuti ‘Syari’at Rabbul ‘Alamin di antaranya yang terpenting adalah memperbanyak umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau tegaskan (lihat haditsnya di fasal pertama). Keadaan yang demikian membuat orang-orang kuffar ketakutan dan cemas akan banyaknya kaum muslimin. Akhirnya merekapun menakut-nakuti kaum muslimin dam membuat berbagai macam program dalam rangka membatasi kelahiran di negeri-negeri Islam yang pemimpinnya dan para pejabatnya jauh dari nur Islam. Ambil misal, di negeri kita ini –negeri Islam- di masa orde baru rezim Soeharto mencekoki kaum muslimin dengan berbagai macam program KB (Keluarga Berencana) membatasi kelahiran.
“Cukup anak dua saja!”
“Laki-laki perempuan sama saja!?”
Inilah salah satu dari sekian banyak kebodohan Soeharto yang akibatnya dia rasakan sendiri rakyat hidup miskin akibat krisis moneter yang berkepanjangan. Katanya KB itu menjanjikan hidup sejahtera dan sentosa dan lain-lain dari janji-janji muluk. Apa kata orang-orang kuffar kepada kaum muslimin, “Kalau kami mempunyai banyak anak niscaya kamu akan jatuh miskin dan bangkrut karena akan kerepotan dalam mengurusnya dan banyak keluar biaya dan lain-lain kesusahan. Lebih dari itu bumi akan sesak dan perbendaharaannya akan habis dan punah? Dimana kita akan bertempat tinggal dan apa yang akan kita makan!?”
Kita jawab
Pertama : Adapun tidak mau mempunyai anak karena miskin atau takut miskin dan yang berhubungan dengannya dari masalah-masalah pengurusan dan biaya telah kami jawab di fasal kedu.
Kedua : Adapun keyakinan tentang melonjaknya jumlah penduduk yang akan membuat bumi ini sesak dan habis perbendaharaannya adalah keyakinan yang batil dan sesat menyesatkan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
“Artinya : Dan bagi kamu di bumi tempat menetap dan rizki sampai waktu yang telah ditentukan (yakn hari kiamat)” [Al-Baqarah : 36]
“Artinya : Dialah Allah yang menciptakan untuk kamu segala sesuatu di bumi ini semuanya’ [Al-Baqarah : 29]
“Artinya : Allah berfirman : Di bumi kamu hidup dan di bumi kamu mati dan dari bumi itu (juga) kamu akan dibangkitkan” [Al-A’raaf : 25]
“Artinya : Bukankah Kami telah menjadikan bumi (tempat) berkumpul (yang cukup). Untuk orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati”[Al-Mursalat : 25-26]
Dari ayat-ayat di atas kita mengetahui
Pertama : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi tempat tinggal bagi manusia dan tempat yang cukup untuk mereka bagi yang hidup dan yang mati.
Kedua : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sediakan di bumi ini untuk manusia perbendaharaan yang cukup yang tidak akan punah dan habis.
KEUTAMAAN MEMPUNYAI ANAK BANYAK
Artinya : Dari Abu Huarirah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ada seseorang [1] yang diangkat (ditinggikan) derajadnya di jannah (surga)”. Lalu ia bertanya (terheran-heran), “Bagaimana aku bisa mendapat ini (yakni derajad yang tinggi di surga)?”. Dikatakan kepadanya, “(Ini) disebabkan istighfar (permohonan ampun) dari anakmu (kepada Allah) untukmu”.
“Artinya : Dari Abu Hurairah : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila manusia itu telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara.
1). Shadaqah jariyah
2). Atau ilmu yang diambil manfaatnya
3). Anak shalih yang mendo’akannya”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]
Inilah puncak tertinggi dari keutamaan-keutamaan mempunyai anak, yaitu anak yang shalih yang bermanfaat bagi orang tua di dunia dan di akhirat.
Dari hadits ini pun kita mengetahui bahwa tujuan mulia dari mempunyai anak –menurut syari’at Islam- ialah menjadikan anak-anak tersebut menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan anak-anak yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya (birrul walidain). Bukan anak-anak yang durhaka apalagi yang kufur dan lain-lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting sekali dan menentukan. Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Setiap manusia dilahirkan ibunya atas dasar fitrah [2]. Dan kedua orang tuanyalah yang sesudah itu yang menjadikannya sebagai Yahudi dan Nashara dan Majusi. Maka apabila kedua orang tuanya muslim, maka jadilah dia anak muslim..” [Riwayat Muslim dan lain-lain]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lafadz-lafadz ini tidak menunjukkan hanya satu orang saja. Akan tetapi setiap orang tua yang di-istighfarkan oleh anaknya. Kalau dia termasuk ahli jannah maka derajatnya di surga akan diangkat seperti hadits di atas, dan kalau dia termasuk orang yang berdosa dan calon penghuni neraka maka dosa-dosanya akan berkurang atau hapus kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki.
[2]. Menurut Imam Nawawi di Syarh Muslim bahwa pendapat yang lebih shahih fitrah itu maknanya Islam
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...