Dalam masalah ini telah datang dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Islam
sangat menganjurkan umatnya untuk mempunyai anak bahkan mempunyai anak
banyak sebagai mana akan datang keterangannya di fasal ke tiga. Di
antara dalil-dalil tersebut ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : …dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu (yaitu anak)” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Anas bin Malik dan lain-lain Imam dari kaum
Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak (Tafsir Ibnu Jarir dan
Tafsir Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas)
Maksudnya : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk
mencari anak dengan jalan bercampur (jima’) suami istri apa yang Allah
telah tentukan untuk kamu.
Cukuplah ayat di atas sebagai dalil yang tegas dan terang bahwa Islam
memerintahkan mempunyai anak dengan jalan nikah dan bercampur
suami-istri. Dan sekaligus merupakan larangan dan celaan terhadap mereka
yang tidak mau mempunyai anak padahal ada jalan untuk memperolehnya
dengan qadar Allah.
Dan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai
suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku
akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang
terdahulu)” [Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim
dari jalan Ma’qil bin Yasar]
“Artinya : Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak
banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya
kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad,
Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Kelengkapan takhrij dua hadits di atas terdapat di kitab besar kami Riyadlul Jannah (no. 172 dan 173).
ISLAM MENGANJURKAN UMATNYA UNTUK MEMPUNYAI BANAK ANAK
Diantara dalil-dalilnya ialah duah hadits yang telah lalu di fasal 1
dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadts Anas bin Malik kemudian hadits
yang sangat terkenal di bawah ini yaitu do’a Nabi yang mulia Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Anas bin Malik.
Artinya : Ya Allah! Banyakanlah hartanya dan (banyakanlah) anaknya dan
berkahilah apa yang engkau telah berikan kepadanya” [Hadits shahih
riwayat Bukhari (7/152, 154, 161, 162 dan Muslim 2/128]
Dalam riwayat yang lain yang juga dikeluarkan oleh Imam Bukhari di
kitabnya yang lain di luar kitab Shahih-nya yaitu di kitabnya Adabul
Mufrad (no. 653), Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendo’akannya.
“Artinya : Ya Allah ! Banyakanlah hartanya dan anaknya, dan panjangkanlah umurnya dan ampunkanlah ia” [Derajad hadits ini Hasan]
Dari hadits yang mulia ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mencintai umatnya mempunyai banyak anak. Dengan
demikian, maka Islam menganjurkan umatnya mempunyai banyak anak dengan
maksud dan tujuan yang suci mengikuti ‘Syari’at Rabbul ‘Alamin di
antaranya yang terpenting adalah memperbanyak umat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau tegaskan (lihat haditsnya di fasal
pertama). Keadaan yang demikian membuat orang-orang kuffar ketakutan dan
cemas akan banyaknya kaum muslimin. Akhirnya merekapun menakut-nakuti
kaum muslimin dam membuat berbagai macam program dalam rangka membatasi
kelahiran di negeri-negeri Islam yang pemimpinnya dan para pejabatnya
jauh dari nur Islam. Ambil misal, di negeri kita ini –negeri Islam- di
masa orde baru rezim Soeharto mencekoki kaum muslimin dengan berbagai
macam program KB (Keluarga Berencana) membatasi kelahiran.
“Cukup anak dua saja!”
“Laki-laki perempuan sama saja!?”
Inilah salah satu dari sekian banyak kebodohan Soeharto yang akibatnya
dia rasakan sendiri rakyat hidup miskin akibat krisis moneter yang
berkepanjangan. Katanya KB itu menjanjikan hidup sejahtera dan sentosa
dan lain-lain dari janji-janji muluk. Apa kata orang-orang kuffar kepada
kaum muslimin, “Kalau kami mempunyai banyak anak niscaya kamu akan
jatuh miskin dan bangkrut karena akan kerepotan dalam mengurusnya dan
banyak keluar biaya dan lain-lain kesusahan. Lebih dari itu bumi akan
sesak dan perbendaharaannya akan habis dan punah? Dimana kita akan
bertempat tinggal dan apa yang akan kita makan!?”
Kita jawab
Pertama : Adapun tidak mau mempunyai anak karena miskin atau takut
miskin dan yang berhubungan dengannya dari masalah-masalah pengurusan
dan biaya telah kami jawab di fasal kedu.
Kedua : Adapun keyakinan tentang melonjaknya jumlah penduduk yang akan
membuat bumi ini sesak dan habis perbendaharaannya adalah keyakinan yang
batil dan sesat menyesatkan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman.
“Artinya : Dan bagi kamu di bumi tempat menetap dan rizki sampai waktu
yang telah ditentukan (yakn hari kiamat)” [Al-Baqarah : 36]
“Artinya : Dialah Allah yang menciptakan untuk kamu segala sesuatu di bumi ini semuanya’ [Al-Baqarah : 29]
“Artinya : Allah berfirman : Di bumi kamu hidup dan di bumi kamu mati
dan dari bumi itu (juga) kamu akan dibangkitkan” [Al-A’raaf : 25]
“Artinya : Bukankah Kami telah menjadikan bumi (tempat) berkumpul (yang
cukup). Untuk orang-orang yang hidup dan orang-orang yang
mati”[Al-Mursalat : 25-26]
Dari ayat-ayat di atas kita mengetahui
Pertama : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi tempat
tinggal bagi manusia dan tempat yang cukup untuk mereka bagi yang hidup
dan yang mati.
Kedua : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sediakan di bumi ini untuk
manusia perbendaharaan yang cukup yang tidak akan punah dan habis.
KEUTAMAAN MEMPUNYAI ANAK BANYAK
Artinya : Dari Abu Huarirah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ada seseorang [1] yang
diangkat (ditinggikan) derajadnya di jannah (surga)”. Lalu ia bertanya
(terheran-heran), “Bagaimana aku bisa mendapat ini (yakni derajad yang
tinggi di surga)?”. Dikatakan kepadanya, “(Ini) disebabkan istighfar
(permohonan ampun) dari anakmu (kepada Allah) untukmu”.
“Artinya : Dari Abu Hurairah : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila manusia itu telah mati maka
terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara.
1). Shadaqah jariyah
2). Atau ilmu yang diambil manfaatnya
3). Anak shalih yang mendo’akannya”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]
Inilah puncak tertinggi dari keutamaan-keutamaan mempunyai anak, yaitu
anak yang shalih yang bermanfaat bagi orang tua di dunia dan di akhirat.
Dari hadits ini pun kita mengetahui bahwa tujuan mulia dari mempunyai
anak –menurut syari’at Islam- ialah menjadikan anak-anak tersebut
menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya dan anak-anak yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya
(birrul walidain). Bukan anak-anak yang durhaka apalagi yang kufur dan
lain-lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Peran orang tua dalam
hal ini sangat penting sekali dan menentukan. Perhatikanlah sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda, “Setiap manusia dilahirkan ibunya atas dasar
fitrah [2]. Dan kedua orang tuanyalah yang sesudah itu yang
menjadikannya sebagai Yahudi dan Nashara dan Majusi. Maka apabila kedua
orang tuanya muslim, maka jadilah dia anak muslim..” [Riwayat Muslim dan
lain-lain]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lafadz-lafadz ini tidak menunjukkan hanya satu orang saja. Akan
tetapi setiap orang tua yang di-istighfarkan oleh anaknya. Kalau dia
termasuk ahli jannah maka derajatnya di surga akan diangkat seperti
hadits di atas, dan kalau dia termasuk orang yang berdosa dan calon
penghuni neraka maka dosa-dosanya akan berkurang atau hapus kalau Allah
Subhanahu wa Ta’ala menghendaki.
[2]. Menurut Imam Nawawi di Syarh Muslim bahwa pendapat yang lebih shahih fitrah itu maknanya Islam
Haram Murka Ketika Allah Subhanahu Wa Ta'ala Memberikan Kepadanya Anak-Anak Perempuan
Pada zaman jahiliyyah apabila terdengar suara tangis seorang anak
perempuan kecil yang diseret bapaknya untuk dikubur hidup-hidup adalah
hal yang biasa dan lumrah. Pemandangan yang sering dilihat oleh kedua
mata dan di dengar oleh kedua telinga di zaman dimana manusia hidup
dibawah naungan kegelapan-kegelapan jahiliyyah yang membawa hati-hati
manusia menjadi keras melebihi kerasnya batu gunung. Oleh karena itu
tidaklah aneh kerasnya hati seorang bapak yang mengubur anak
perempuannya hidup-hidup. Entah berapa banyak anak-anak perempuan yang
dikubur hidup-hidup tanpa dosa kecuali untuk menebus rasa malu dari
bapak-bapak mereka yang merasa terhina di tengah-tengah kaum jahiliyyah
hanya karena mereka mendapat anak perempuan!? Entah berapa banyak pula
di zaman jahiliyyah itu muka-muka yang masam dan hitam bercampur
kemarahan yang dalam ketika dikabarkan kepadanya bahwa istrinya telah
melahirkan sorang bayi perempuan?
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Dan apabila anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya [2] karena dosa apakah dia dibunuh?’ [At-Takwir : 8-9]
Artinya : Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (marah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah, ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan berita buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah ! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu” [An-Nahl 58-59]
Cukuplah seorang itu berdosa ketika dia diberi kabar gembira dengan kelahiran bayi perempuannya, kemudian dia marah dan murka atau bermasam muka yang menunjukkan ketidak ridlaanya kepada pemberian Rabbul Alamin!? Alangkah besarnya dosa orang itu disebabkan.
Pertama : Dia membenci dan tidak ridla kepada rizki yang Allah berikan kepadanya berupa seorang bayi perempuan.
Kedua : Dia telah mengikuti akhlak dan sifat kaum jahiliyyah yang sangat membenci anak-anak perempuan sehingga mereka mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan dan anak-anak perempuan mereka.
Terlalu banyak bapak-bapak muslim pada zaman kita hidup sekarang ini yang berakhlak seperti akhlaknya kaum jahiliyyah. Tidak sedikit di antara mereka ketika mendapat kabar gembira bahwa istrinya telah melahirkan sang bayi perempuan mereka menyesal, kusut mukanya dan tidak tampak kegembiraan di wajahnya, marah-marah dan lain-lain dari sifat jahiliyyah. Bahkan tidak sedikit para istri menjadi sasaran kemarahan suami dan mertuanya yang sangat menginginkan anak dan cucu laki-laki hanya karena si istri dan mantu ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melahirkan sang bayi perempuan!!?
Semua itu menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin iman dan ilmu. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Kuasa menentukan laki-laki atau perempuan dan manusia tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun juga!.
Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya : Dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mewakilkan di rahim (perempuan) seorang malaikat. Malaikat itu berkata : Ya Rabbi ! Ini nutfah (mani)! Ya Rabbi, ini ‘alaqah (darah)! Ya Rabbi ini mudlghah (daging)! Maka apabila Allah hendak menentukan menjadi makhluk (yakni manusia) Malaikat berkata ; Apakah laki-laki atau perempuan? Menjadi orang yang celaka atau berbahagia? Apa rizki dan ajalnya? Lalu ditulislah (ketentuan tersebut) di perut ibunya” [Hadits shahih riwayat Bukhari no. 318 dan Muslim 8/46]
Kenapakah kita tidak berkata seperti Imam Ahmad bin Hanbal setiap kali mendapatkan anak perempuan beliau selalu berkata.
“Artinya : Para Nabi itu mereka adalah para bapak bagi anak-anak perempuan” [3]
Ketika orang-orang jahiliyyah membenci anak-anak perempuan dan ketika umumnya orang tua selalu menginginkan anak-anak laki-laki maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahului menyebut perempuan ketika mereka membelakanginya. Firman-Nya : “Dan Ia memberikan kepada siapa yang ia kehendaki anak-anak perempuan”.
Kemudian agama pun menetapkan betapa besarnya ganjaran orang tua yang mengurus, merawat dan mendidik anak-anak perempuannya dengan ihsan sesuai dengan syari’at Rabbul Alamin!
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Dan apabila anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya [2] karena dosa apakah dia dibunuh?’ [At-Takwir : 8-9]
Artinya : Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (marah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah, ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan berita buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah ! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu” [An-Nahl 58-59]
Cukuplah seorang itu berdosa ketika dia diberi kabar gembira dengan kelahiran bayi perempuannya, kemudian dia marah dan murka atau bermasam muka yang menunjukkan ketidak ridlaanya kepada pemberian Rabbul Alamin!? Alangkah besarnya dosa orang itu disebabkan.
Pertama : Dia membenci dan tidak ridla kepada rizki yang Allah berikan kepadanya berupa seorang bayi perempuan.
Kedua : Dia telah mengikuti akhlak dan sifat kaum jahiliyyah yang sangat membenci anak-anak perempuan sehingga mereka mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan dan anak-anak perempuan mereka.
Terlalu banyak bapak-bapak muslim pada zaman kita hidup sekarang ini yang berakhlak seperti akhlaknya kaum jahiliyyah. Tidak sedikit di antara mereka ketika mendapat kabar gembira bahwa istrinya telah melahirkan sang bayi perempuan mereka menyesal, kusut mukanya dan tidak tampak kegembiraan di wajahnya, marah-marah dan lain-lain dari sifat jahiliyyah. Bahkan tidak sedikit para istri menjadi sasaran kemarahan suami dan mertuanya yang sangat menginginkan anak dan cucu laki-laki hanya karena si istri dan mantu ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melahirkan sang bayi perempuan!!?
Semua itu menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin iman dan ilmu. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Kuasa menentukan laki-laki atau perempuan dan manusia tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun juga!.
Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya : Dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mewakilkan di rahim (perempuan) seorang malaikat. Malaikat itu berkata : Ya Rabbi ! Ini nutfah (mani)! Ya Rabbi, ini ‘alaqah (darah)! Ya Rabbi ini mudlghah (daging)! Maka apabila Allah hendak menentukan menjadi makhluk (yakni manusia) Malaikat berkata ; Apakah laki-laki atau perempuan? Menjadi orang yang celaka atau berbahagia? Apa rizki dan ajalnya? Lalu ditulislah (ketentuan tersebut) di perut ibunya” [Hadits shahih riwayat Bukhari no. 318 dan Muslim 8/46]
Kenapakah kita tidak berkata seperti Imam Ahmad bin Hanbal setiap kali mendapatkan anak perempuan beliau selalu berkata.
“Artinya : Para Nabi itu mereka adalah para bapak bagi anak-anak perempuan” [3]
Ketika orang-orang jahiliyyah membenci anak-anak perempuan dan ketika umumnya orang tua selalu menginginkan anak-anak laki-laki maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahului menyebut perempuan ketika mereka membelakanginya. Firman-Nya : “Dan Ia memberikan kepada siapa yang ia kehendaki anak-anak perempuan”.
Kemudian agama pun menetapkan betapa besarnya ganjaran orang tua yang mengurus, merawat dan mendidik anak-anak perempuannya dengan ihsan sesuai dengan syari’at Rabbul Alamin!
Kematian Bayi Karena Kesalahan Dan Kelalaian Ibunya
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Ada seorang wanita tidur di kasurnya bersama anak perempuannya yang masih kecil, tidak dalam keadaan sakit. Ketika bangun ia mendapati anak perempuannya sudah meninggal. Dan wanita itu tidak mengetahui sebab-sebab kematiannya. Apa yang harus ditanggungnya?
Jawaban
Tidak ada yang harus ditanggungnya, karena pada dasarnya ia terbebas dari tanggung jawab. Tapi apabila diperkirakan bahwa kematiannya disebabkan karena ibunya dan ada bukti-bukti serta tanda-tanda yang menunjukkan hal itu, maka pada saat itu pendapat tadi berubah menjadi kewajiban bagi wanita itu untuk membayar kafarat. Jika tidak ada bukti-bukti selain perasaan gundah dari ibunya (bahwa ia merasa telah menyebabkan kematiannya) maka boleh baginya membayar kafarat untuk berjaga-jaga.
[Fatawa wa Rasailusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 11/370]
WANITA MENYUSUI ANAKNYA DENGAN TIDURAN, KETIKA BANGUN IA MENDAPATI ANAKNYA SUDAH MENINGGAL
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu saya bekerja di ladang semenjak tiga puluh tahun yang lalu. Suatu ketika setelah hari yang berat dan melelahkan ia berkehendak tidur pada malam hari dengan menyusui anak perempuannya yang berumur sekitar tiga bulan, yang tidur disampingnya. Ketika pagi ia mendapati anak perempuannya telah meninggal, dan ia tidak mengetahui sebab-sebab kematiannya, karena tertindih ketika ia tidur, atau mendorong kearah si bayi sehingga payudaranya menutupi mulut bayi tersebut. Apa kewajiban bagi ibunya?
Jawaban
Untuk berjaga-jaga, hendaknya ia melaksanakan puasa selama enam puluh hari berturut-turut, karena secara zhahir ia meninggal dikarenakan ibunya, jika tidak diketahui ada sebab-sebab lain. Dalam kadiah syar’i disebutkan, melaksanakan yang paling selamat dalam kondisi yang meragukan, dengan tujuan untuk menunaikan tanggung jawab terhadap Allah dan hak hamba-Nya. Semoga Allah menolongnya dalam menyempurnakan puasanya.
[Kitab Fatawa Da’wah Syaikh Ibnu Baz, 2/252]
ANAK SELALU MENANGIS KARENA DITINGGAL PERGI IBUNYA HINGGA MENINGGAL DUNIA KARENANYA
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada anak perempuan dalam susuan yang diletakkan ibunya di tempat tidurnya, kemudian ibunya pergi ke anak-anak yang lain dan bersama mereka hingga ketiduran bersama anak-anak. Ketika bangun ia mendapati anak yang ditinggalkannya menangis dengan keras dan bekas tangisan nampak dari mukanya, hingga ia sakit dan di opname di rumah sakit beberapa hari kemudian ia meninggal karenanya. Pertanyaannya , adakah kewajiban kafarat atas ibunya? Dan apa kafaratnya ? Semoga Allah memberi anda pahala.
Jawaban
Jika kondisinya sebagaimana yang dimaksudkan oleh penanya, maka ibu tersebut tidak mempunyai kewajiban apa-apa karena ia tidak berbuat apa-apa yang (secara langsung) menyebabkan kematiannya.
[Fatawa Mar’ah, 20/75]
WANITA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ANAKNYA KARENA KESALAHAN DAN KETIDAKTAHUANNYA
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada wanita yang menyebabkan kematian anak bayinya karena kesalahannya dan ketidaktahuannya, adakah kewajiban kafarat atasnya?
Jawaban
Wanita yang menaruh anaknya di atas drum, tidak diragukan bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan dan perlakuan yang tidak baik kepada anaknya, karena anak seumur ini tidak mungkin dilepaskan di atas drum kecuali ada orang yang bersamanya yang memegangnya. Karena anak seusianya biasanya senantiasa bergerak. Maka jatuhnya dari atas drum, adalah suatu perkara yang sangat mungkin terjadi
Wanita itu wajib bertaubat kepada Allah atas apa yang diperbuatnya dan membayar kafaratnya, yaitu memerdekakan budak, bila tidak mendapatkannya maka dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu melaksanakannya, maka tidak apa-apa, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam hal kafarat membunuh.
“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [An-Nisaa : 92]
YANG LALAI TERHADAP ANAKNYA HINGGA ANAKNYA KENA TUMPAHAN KOPI
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Ifta Wal Buhuts ditanya : Ada wanita duduk bersama anak berumur sekitar dua tahun, disampingnya ada teko kopi dan teh. Kemudian anak tersebut pergi bermain, sementara ibunya menoleh ke arah lain, karena ia sedang mencuci cangkir-cangkir. Tiba-tiba anaknya datang dan memegang teko kopi hingga ketumpahan kopi yang sangat panas. Ketika terjatuh, air kopi masuk ke dalam perut dalamnya. Setelah dua puluh empat jam anak tersebut meninggal. Wanita tersebut bertanya, adakah kewajiban kafarta atasnya? Apa kafaratnya?
Jawaban
Si penanya lebih tahu tentang kondisi dan situasi yang ada dalam masalah ini. Jika ia memang merasa telah lalai dalam meninggalkan anaknya hingga terjadi hal tersebut dan ia merupakan penyebabnya, maka wajib baginya menunaikan kafarat dalam bentuk memerdekakan budak bila tidak mampu, maka diganti dengan puasa selama dua bulan berturut-turut.
Bersikap Adil Diantara Semua Anak
Dari Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Ayahku pernah menyedekahkan
sebagian hartanya kepadaku. Lalu ibuku, ‘Amrah binti Rawahah berkata,
‘Aku tidak rela sehingga engkau meminta disaksikan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka ayahku pun berangkat menghadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi saksi baginya
atas sedekah yang diberikan kepadaku. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini
kepada anakmu semua?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda:
"Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil di antara anak-anakmu.’ Kemudian ayahku kembali lagi dan mengambil sedekah tersebut” [Al-Bukhari dan Muslim]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung pengertian keharusan untuk menyamaratakan anak-anak dalam hal pemberian. Di mana masing-masing diberi sama, tidak boleh membedakan satu dengan yang lainnya, serta menyamakan antara anak laki-laki dan perempuan”
MENGAJARI DAN MENDIDIK ANAK PEREMPUAN
Allah Ta’ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" [At-Tahrim: 6]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahiih keduanya, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti binatang yang melahirkan binatang juga, apakah engkau melihat kekurangan padanya?”
Anak yang lahir dan tumbuh berdasarkan fithrah yang baik ini bisa menerima yang baik dan bisa juga yang buruk, sehingga ia perlu diajarkan, dibimbing, dan diarahkan dengan pengarahan yang baik dan benar di atas jalan Islam.
Berhati-hatilah, jangan sampai kalian menyepelekan anak perempuan seperti binatang yang tidak mengetahui urusan agamanya dan urusan dunianya. Dan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi kalian.
Al-Bukhari telah membuat bab tersendiri di dalam kitab Shahiihnya di dalam kitab al-‘Ilmu, bab Ta’liim ar-Rajul Amatahu wa Ahlahu (bab Seseorang yang Mengajari Budak dan Keluarganya). Kemudian dia menyebutkan di bawah judul bab tersebut hadits Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Ada tiga orang yang akan mendapatkan dua pahala: (1) seseorang dari ahlul kitab yang beriman kepada Nabinya dan beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (2) seorang hamba sahaya jika melaksanakan hak Allah dan hak majikannya, (3) dan seseorang yang memiliki hamba sahaya, lalu dia membimbingnya dengan sebaik-baik bimbingan serta mengajarinya dengan sebaik-baik pengajaran kepadanya, kemudian memerdekakan, lalu menikahinya, maka baginya dua pahala.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunannya dengan sanad yang hasan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika mereka berumur sepuluh tahun serta pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka.”
Di dalam hadits ini terkandung bimbingan yang sangat berarti dalam mendidik anak, yaitu bahwa cara mendidik itu berbeda-beda dari zaman ke zaman. Dan setiap anak diperintah sesuai dengan kemampuannya.
Demikian juga dengan cara memberikan pelajaran, berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya. Ada di antara mereka yang akan baru sadar dengan pukulan dan ada pula yang sadar hanya dengan kata-kata yang baik. Dan setiap tempat memiliki kalimat (cara) tersendiri.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Shahiih keduanya. Dari hadits ‘Umar bin Abi Salamah, dia berkata, “Dulu ketika masih kecil aku pernah berada di kamar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tanganku menjulur ke piring, maka Rasulullah berkata kepadaku.
“Wahai anak kecil, sebutlah Nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.’ Cara makanku setelah itu berlangsung demikian.”
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya, Dari hadits Hudzaifah, dia berkata, “Jika kami dihidangkan makanan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak akan meletakkan tangan kami di hidangan tersebut sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai, lalu beliau meletakkan tangan beliau di tempat hidangan tersebut. Dan sesungguhnya suatu ketika kami pernah menghadiri suatu jamuan makan. Kami tidak meletakkan tangan kami sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai. Lalu beliau meletakkan tangan beliau. Dan sesungguhnya kami pernah menghadiri jamuan makan bersama beliau, lalu datang seorang anak wanita, seakan-akan ia tergiur, maka ia pun menuju hidangan tersebut dan meletakkan tangannya pada makanan, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tangan anak wanita itu. Setelah itu datang seorang badui, seakan-akan dia didorong sehingga beliau pun menarik tangan orang itu, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya syaitan itu menghalalkan makanan yang tidak disebutkan Nama Allah padanya. Dan sesungguhnya syaitan itu telah datang menyeret anak wanita ini untuk menghalalkan makanan itu baginya, lalu aku menarik tangannya. Lalu dia juga menyeret orang badui ini untuk mengambil makanan itu, lalu aku menarik tangannya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tangan badui itu di tanganku bersama dengan tangan anak wanita tersebut.”
Oleh karena itu, janganlah meremehkan dalam pengurusan anak kecil dengan menunda-nunda untuk memberikan pengajaran. Dan janganlah berlebihan serta keras dalam bertindak terhadapnya. Allah Ta’ala berfirman:
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…" [An-Nisaa': 171]
Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
“Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Berikanlah berita gembira, dan janganlah kalian menakut-nakuti”
Jika pengarahan itu ditujukan bagi orang dewasa, lalu bagai-mana menurut Anda bagi anak kecil?
Demikian juga orang dewasa, yang sudah pasti membutuhkan pengajaran:
Dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Fathimah pernah mengeluh karena (sakit) akibat batu yang dipergunakan untuk menumbuk. Lalu terdengar olehnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan tawanan. Kemudian Fathimah datang meminta pelayan kepada beliau, tetapi Nabi tidak menyetujuinya. Lalu dia menyebutkan kepada ‘Aisyah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, maka ‘Aisyah pun menceritakan hal tersebut kepada beliau. Lantas beliau mendatangi kami sedang kami tengah berbaring, maka kami pun beranjak bangun, lalu beliau bersabda, “Tetaplah di tempat kalian.” Sehingga aku merasakan dingin kaki beliau di dadaku. Lalu beliau bersabda:
“Maukah kalian aku tunjukkan kepada apa yang lebih baik daripada apa yang kalian minta kepadaku? Jika kalian beranjak ke tempat tidur kalian, maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertahmidlah tiga puluh tiga kali, serta bertasbihlah tiga puluh tiga kali, karena sesungguhnya yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” [Al-Bu-khari dan Muslim]
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Salah seorang puteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim seorang utusan kepada beliau untuk mengundang dan mengabari beliau bahwa anaknya -atau puteranya- akan meninggal dunia, maka beliau berkata kepada utusan itu:
“Kembali lagi kepadanya dan beritahukan kepadanya bahwa Allah Ta’ala berhak untuk mengambil dan berhak memberi. Dan segala sesuatu di sisi-Nya telah ditentukan batasnya. Maka perintahkanlah dia, suruh dia bersabar serta mengharapkan pahala dari Allah.’” Kemudian Usamah menyebutkan hadits ini secara lengkap” [Al-Bukhari dan Muslim]
Catatan.
Syaikh Mushthafa di dalam kitabnya, Fiqh Tarbiyatul Abnaa’, hal. 135, mengatakan, “Terkadang seorang anak berbuat salah, karenanya ia memerlukan bimbingan. Lalu sang ibu datang untuk membimbingnya. Tetapi, sang suami yang berakal justeru menghardik sang ibu di hadapan anaknya sehingga berdampak negatif bagi anaknya, yang mengakibatkan kewibawaan sang ibu jatuh. Oleh karena itu, berhati-hatilah Anda agar tidak menghardik isteri di hadapan anaknya, tetapi hendaklah Anda berlemah lembut dalam bertutur kata dan berikan penghormatan terhadap kewibawaan dan harga dirinya. Katakan kepadanya, misalnya, ‘Menurutku anak ini belum pantas untuk dipukul, semoga Allah memberikan ampunan pada kali ini, maka maafkanlah untuk kali ini. Dan jika dia mengulanginya lagi, maka berikanlah hukuman. Dan aku akan memberinya hukuman yang sama denganmu.’
Jika seorang ibu dipukul dan dihardik olehmu di hadapan anak-anaknya, maka hal itu akan tampak jelas di mata anak-anaknya dan berpengaruh terhadap psikologinya. Di antara mereka bahkan akan ada yang marah dan membencimu serta sangat sedih atas apa yang dialami ibunya. Dan di antara mereka juga ada yang memendam hal tersebut di dalam dirinya, sehingga apabila ia melakukan kesalahan atau ditegur oleh ibunya, ia akan mengatakan kepadanya, ‘Aku akan adukan kepada ayah, nanti ayah akan memukulmu seperti yang pernah dilakukannya dulu.’ Beranjak dari hal tersebut, maka rumah sangat berpengaruh sekali terhadap anak.”
"Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil di antara anak-anakmu.’ Kemudian ayahku kembali lagi dan mengambil sedekah tersebut” [Al-Bukhari dan Muslim]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung pengertian keharusan untuk menyamaratakan anak-anak dalam hal pemberian. Di mana masing-masing diberi sama, tidak boleh membedakan satu dengan yang lainnya, serta menyamakan antara anak laki-laki dan perempuan”
MENGAJARI DAN MENDIDIK ANAK PEREMPUAN
Allah Ta’ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" [At-Tahrim: 6]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahiih keduanya, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti binatang yang melahirkan binatang juga, apakah engkau melihat kekurangan padanya?”
Anak yang lahir dan tumbuh berdasarkan fithrah yang baik ini bisa menerima yang baik dan bisa juga yang buruk, sehingga ia perlu diajarkan, dibimbing, dan diarahkan dengan pengarahan yang baik dan benar di atas jalan Islam.
Berhati-hatilah, jangan sampai kalian menyepelekan anak perempuan seperti binatang yang tidak mengetahui urusan agamanya dan urusan dunianya. Dan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi kalian.
Al-Bukhari telah membuat bab tersendiri di dalam kitab Shahiihnya di dalam kitab al-‘Ilmu, bab Ta’liim ar-Rajul Amatahu wa Ahlahu (bab Seseorang yang Mengajari Budak dan Keluarganya). Kemudian dia menyebutkan di bawah judul bab tersebut hadits Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Ada tiga orang yang akan mendapatkan dua pahala: (1) seseorang dari ahlul kitab yang beriman kepada Nabinya dan beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (2) seorang hamba sahaya jika melaksanakan hak Allah dan hak majikannya, (3) dan seseorang yang memiliki hamba sahaya, lalu dia membimbingnya dengan sebaik-baik bimbingan serta mengajarinya dengan sebaik-baik pengajaran kepadanya, kemudian memerdekakan, lalu menikahinya, maka baginya dua pahala.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunannya dengan sanad yang hasan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika mereka berumur sepuluh tahun serta pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka.”
Di dalam hadits ini terkandung bimbingan yang sangat berarti dalam mendidik anak, yaitu bahwa cara mendidik itu berbeda-beda dari zaman ke zaman. Dan setiap anak diperintah sesuai dengan kemampuannya.
Demikian juga dengan cara memberikan pelajaran, berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya. Ada di antara mereka yang akan baru sadar dengan pukulan dan ada pula yang sadar hanya dengan kata-kata yang baik. Dan setiap tempat memiliki kalimat (cara) tersendiri.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Shahiih keduanya. Dari hadits ‘Umar bin Abi Salamah, dia berkata, “Dulu ketika masih kecil aku pernah berada di kamar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tanganku menjulur ke piring, maka Rasulullah berkata kepadaku.
“Wahai anak kecil, sebutlah Nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.’ Cara makanku setelah itu berlangsung demikian.”
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya, Dari hadits Hudzaifah, dia berkata, “Jika kami dihidangkan makanan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak akan meletakkan tangan kami di hidangan tersebut sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai, lalu beliau meletakkan tangan beliau di tempat hidangan tersebut. Dan sesungguhnya suatu ketika kami pernah menghadiri suatu jamuan makan. Kami tidak meletakkan tangan kami sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai. Lalu beliau meletakkan tangan beliau. Dan sesungguhnya kami pernah menghadiri jamuan makan bersama beliau, lalu datang seorang anak wanita, seakan-akan ia tergiur, maka ia pun menuju hidangan tersebut dan meletakkan tangannya pada makanan, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tangan anak wanita itu. Setelah itu datang seorang badui, seakan-akan dia didorong sehingga beliau pun menarik tangan orang itu, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya syaitan itu menghalalkan makanan yang tidak disebutkan Nama Allah padanya. Dan sesungguhnya syaitan itu telah datang menyeret anak wanita ini untuk menghalalkan makanan itu baginya, lalu aku menarik tangannya. Lalu dia juga menyeret orang badui ini untuk mengambil makanan itu, lalu aku menarik tangannya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tangan badui itu di tanganku bersama dengan tangan anak wanita tersebut.”
Oleh karena itu, janganlah meremehkan dalam pengurusan anak kecil dengan menunda-nunda untuk memberikan pengajaran. Dan janganlah berlebihan serta keras dalam bertindak terhadapnya. Allah Ta’ala berfirman:
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…" [An-Nisaa': 171]
Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
“Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Berikanlah berita gembira, dan janganlah kalian menakut-nakuti”
Jika pengarahan itu ditujukan bagi orang dewasa, lalu bagai-mana menurut Anda bagi anak kecil?
Demikian juga orang dewasa, yang sudah pasti membutuhkan pengajaran:
Dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Fathimah pernah mengeluh karena (sakit) akibat batu yang dipergunakan untuk menumbuk. Lalu terdengar olehnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan tawanan. Kemudian Fathimah datang meminta pelayan kepada beliau, tetapi Nabi tidak menyetujuinya. Lalu dia menyebutkan kepada ‘Aisyah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, maka ‘Aisyah pun menceritakan hal tersebut kepada beliau. Lantas beliau mendatangi kami sedang kami tengah berbaring, maka kami pun beranjak bangun, lalu beliau bersabda, “Tetaplah di tempat kalian.” Sehingga aku merasakan dingin kaki beliau di dadaku. Lalu beliau bersabda:
“Maukah kalian aku tunjukkan kepada apa yang lebih baik daripada apa yang kalian minta kepadaku? Jika kalian beranjak ke tempat tidur kalian, maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertahmidlah tiga puluh tiga kali, serta bertasbihlah tiga puluh tiga kali, karena sesungguhnya yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” [Al-Bu-khari dan Muslim]
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Salah seorang puteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim seorang utusan kepada beliau untuk mengundang dan mengabari beliau bahwa anaknya -atau puteranya- akan meninggal dunia, maka beliau berkata kepada utusan itu:
“Kembali lagi kepadanya dan beritahukan kepadanya bahwa Allah Ta’ala berhak untuk mengambil dan berhak memberi. Dan segala sesuatu di sisi-Nya telah ditentukan batasnya. Maka perintahkanlah dia, suruh dia bersabar serta mengharapkan pahala dari Allah.’” Kemudian Usamah menyebutkan hadits ini secara lengkap” [Al-Bukhari dan Muslim]
Catatan.
Syaikh Mushthafa di dalam kitabnya, Fiqh Tarbiyatul Abnaa’, hal. 135, mengatakan, “Terkadang seorang anak berbuat salah, karenanya ia memerlukan bimbingan. Lalu sang ibu datang untuk membimbingnya. Tetapi, sang suami yang berakal justeru menghardik sang ibu di hadapan anaknya sehingga berdampak negatif bagi anaknya, yang mengakibatkan kewibawaan sang ibu jatuh. Oleh karena itu, berhati-hatilah Anda agar tidak menghardik isteri di hadapan anaknya, tetapi hendaklah Anda berlemah lembut dalam bertutur kata dan berikan penghormatan terhadap kewibawaan dan harga dirinya. Katakan kepadanya, misalnya, ‘Menurutku anak ini belum pantas untuk dipukul, semoga Allah memberikan ampunan pada kali ini, maka maafkanlah untuk kali ini. Dan jika dia mengulanginya lagi, maka berikanlah hukuman. Dan aku akan memberinya hukuman yang sama denganmu.’
Jika seorang ibu dipukul dan dihardik olehmu di hadapan anak-anaknya, maka hal itu akan tampak jelas di mata anak-anaknya dan berpengaruh terhadap psikologinya. Di antara mereka bahkan akan ada yang marah dan membencimu serta sangat sedih atas apa yang dialami ibunya. Dan di antara mereka juga ada yang memendam hal tersebut di dalam dirinya, sehingga apabila ia melakukan kesalahan atau ditegur oleh ibunya, ia akan mengatakan kepadanya, ‘Aku akan adukan kepada ayah, nanti ayah akan memukulmu seperti yang pernah dilakukannya dulu.’ Beranjak dari hal tersebut, maka rumah sangat berpengaruh sekali terhadap anak.”
Kisah Relawan Cilik : Berdakwah Dengan Cara Menginfakkan Hartanya
MENDAFTARKAN DIRI MENJADI RELAWAN
Pada pagi yang cerah, di kota Jeddah, sekitar pertengahan bulan Dzulhijjah 1425H, atau akhir Januari 2005M. Saat itu, saya sedang duduk di kantor Jeddah Da'wah Center (JDC) bersama rekan. Tiba-tiba masuklah seorang anak kecil sambil mengucapkan salam, lalu. menyalami kami berdua. Ia datang ke kantor JDC diantar supirnya yang berasal dari Indonesia, sementara ibu dan neneknya menunggu di mobilnya.
Anak ini masuk ke ruang sekretariat sendiri seraya mengatakan : "Saya ingin menjadi relawan di kantor dakwah ini. Ingin berkhidmat untuk kepentingan agama Islam".
Saya dibuat kagum dengannya. Saya sambut dengan baik dan saya katakan : "Kirakira, di bidang apa Anda bisa membantu kami?"
Dia katakan, "Saya mampu menggunakan komputer dan bisa berbahasa lnggris."
Karena saya tidak bisa berbahasa Inggris; maka saya minta rekan saya untuk berbicara dengannya dengan bahasa Inggris. Setelah terjadi komunikasi antara teman dan anak ini, teman saya pun memberitahu saya : "Bagus sekali anak ini bahasa Inggrisnya".
Saya katakan, "Saya belum bisa memutuskan apakah Anda bisa diterima atau tidak. Insya Allah akan saya sampaikan kepada direktur yang juga seorang relawan. Beliau sendiri bekerja di kantor Telkom Saudi. Tapi saya optimis, kalau orang seperti Anda akan diterima, insya Allah," lalu saya minta nomor teleponnya dan saya berikan juga nomor telepon kantor kepadanya. Lalu saya katakan : "Saya sendiri, insya Altah ada acara dakwah untuk jamaah haji Indonesia yang akan pulang ke tanah air. Anda bisa ikut bantu saya dengan membagikan kaset atau buku di air port haji di madinatu( hujjaj (asrama haji) di Jeddah, bagaimana?"
Anak itu menjawab, "Insya Allah. Saya akan minta izin orang tua dulu."
Sore harinya, orang tua Ahmad (nama anak ini), menelepon ke kantor kami mencari saya dan menanyakan : "Apa betul Anda mengajak anak saya pergi ke air port haji untuk berdakwah?"
Saya katakan, "Betul, kalau dia berminat."
Orang tuanya mengatakan : "Justru kami sangat senang sekali, jika Anda bisa membawa anak saya ke air port haji untuk ikut membantu dakwah Islam. Saya ingin anak saya ini besarnya kelak bermafaat bagi umat Islam, supaya dia ikut bergembira jika umat Islam bergembira; ikut sedih jika umat Islam sedang mendapatkan bencana dan musibah, serta supaya anak saya tidak membedakan orang menurut suku dan kebangsaannya, karena sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara manusia adalah yang paling bertakwa. Hanya saja, karena anak ini masih kecil, kami tidak pernah membiarkan ia pergi sendiri. Meskipun ke sekolah, selalu kami antar dan kami jemput. Jadi bagaimana sekiranya dari pihak keluarga ikut juga ke air port bersama Anda?"
Saya katakan,"Itu lebih baik..
Akhirnya, kami pun berangkat ke air port haji bersama Ahmad dan keluarganya. Dalam perjalanan ke air port, saya tanya kepada anak ini: "Apa yang memotivasi Anda beramal untuk kepentingan Islam?" Dia menjawab, "Ajru ‘Indallaah" Artinya, aku mengharap ganjaran pahala dari sisi Allah.
Kemudian saya tanya lagi : "Apakah Anda hafal dzikir pagi dan sore hari?"
Dia menjawab,"Saya hafal."
"Coba saya mau mendengar," tanya saya lagi.
Lalu dia membaca dzikir pagi dan sore. Banyak sekali yang dia hafal. Sampai kami pulang dari air port.
Pihak kantor pun, setelah diberitahu ada anak kecil yang mendaftar menjadi relawan, menerima dengan senang hati. Dia datang ke kantor tiap hari Jum'at saat sekolah libur.
MUDAH MENERIMA NASIHAT
Yang namanya anak-anak, tentu tidak lepas dari kekeliruan dalam bersikap, dan kita harus memakluminya. Janganlah kita mudah marah kepada anak, karena kita sebagai orang dewasa juga tidak lepas dari kekeliruan. Tinggal bagaimana kita harus memperbaiki kesalahannya dengan cara yang bijaksana.
Suatu hari, pada hari Jum'at, saat kami dan Ahmad berada di kantor, datanglah tamu menemui Ustadz Hamadi al Ashlani, salah seorang pengurus kantor JDC. Tampak perbincangan yang serius di antara mereka berdua. Ahmad yang duduk dekat mereka berdua mendengar mereka berbicara, kemudian ia langsung menyambung dan memotong ucapan mereka. Mungkin dia ingin membuktikan kepada mereka berdua, bahwa ia mengerti topik yang sedang dibicarakan.
Ustadz Hamadi tidak menggubris Ahmad dan tetap berbicara dengan tamunya. Ia tidak marah dan memaklumi, bahwa yang mengganggunya adalah anak-anak. Saya yang berada dekat mereka segera memanggil Ahmad dan mengalihkannya kepada kegiatan lain. Saya minta Ahmad menemani saya ke sebuah toko yang jaraknya kurang lebih 1 kilometer, untuk memberikan buku kepada orang Indonesia yang bekerja di sana. Sebelumnya dia menawarkan agar saya naik mobilnya dan ia pun segera mencari sopir. Saya berkeberatan, karena belum izin orang tuanya. Dia berpendapat tidak apa-apa. Alhamdulillah, ternyata sopir Ahmad sedang mengikuti pengajian yang dibimbing Ustadz Farid bin Muhammad al Bathathi. Akhirnya kami berdua berjalan kaki di bawah terik matahari, pulang pergi menempuh jarak sekitar 2 kilometer. Dalam perjalanan, saya sempat bertanya kepadanya : "Pada masa yang akan datang, Anda ingin menjadi apa?" Ahmad menjawab dengan mantap, tanpa ragu-ragu : "Ingin menjadi pedagang".
Saya sempat menyesal membawa Ahmad berjalan kaki cukup jauh untuk anak seusia dia di bawah terik matahari. Dalam perjalanan pulang ke kantor, ibunya telepon ke hp Ahmad, yang hanya dipegang jika Ahmad ke luar rumah saja. Setelah selesai, saya katakan akan bicara ke ibunya, lalu saya mohon maaf karena membawa Ahmad jalan kaki. Ibunya mengatakan tidak apa-apa. Ahmad adalah seorang olahragawan dan fisiknya kuat, insya Allah.
Pada hari yang lain, saya sedang dalam perjalanan dengan rekan sekantor. Di antara pembicaraan teman saya ini, bahwa pada hari Jum'at yang lalu -saat itu saya tidak berada di kantor- datanglah tamu dari perusahaan komputer menemui pengurus kantor. Saat pengurus kantor dan tamu sedang berbincang-bincang, Ahmad pun memotong dan ikut melibatkan diri dalam pembicaraan mereka. Ada di antara rekan yang masih muda merasa jengkel kepada Ahmad.
Malamnya, segera saya telepon orang tua Ahmad, dan saya beritahu dua kejadian. Yang satu saya saksikan sendiri, dan yang kedua saya dengar dari teman sekantor, bahwa Ahmad suka memotong dan turut campur dalam pembicaraan orang dewasa. Orang tuanya senang dengan laporan ini, dan berjanji akan menasihati Ahmad. Saya juga mengatakan kepadanya akan menasihati Ahmad, tetapi belum bisa secara langsung.
Sayapun menulis surat kepada Ahmad tentang pentingnya saling memberi nasihat sesama muslim. Di antaranya, saya sebutkan temanmu itu adalah yang bersikap jujur dan tulus kepadamu, bukan yang selalu membenarkanmu. Disamping surat tersebut, saya sertakan pula sebuah hadits dalam Shohih Bukhari yang menunjukkan, bahwa memotong pembicaraan orang lain adalah tidak sesuai dengan adab Islam. Orang tuanya juga menasihati Ahmad. Alhamdulillah, setelah itu, terjadi perubahan yang positif. Ahmad tidak suka memotong pembicaraan orang dewasa. Dia tahu kapan ia harus bicara, dan kapan ia harus diam mendengarkan. Saya sendiri perlu mencontohnya, karena terkadang tanpa terasa suka memotong pembicaraan orang lain.
BERDAKWAH DENGAN CARA MENGINFAKKAN HARTANYA
Pada Jum'at yang lain, pengurus kantor menugaskan Ahmad untuk duduk di ruang istikbal (resepsion) menerima tamu atau pembeli yang datang. Kantor JDC menjual buku-buku dan kaset-kaset dalam berbagai bahasa, seperti : bahasa Indonesia, bahasa Tagalog (Philipina), bahasa Urdu (Pakistan), bahasa Tamil dan Sinhali (Srilangka), bahasa Inggris dan lain-lain. Sebelum mulai melaksanakan tugasnya, ia mengeluarkan dari sakunya uang sebesar 5 real Saudi (sekitar dua belas ribu lima ratus rupiah), lalu ia mengatakan kepada kami": "Ini uang milik saya, saya bawa dari rumah".
Saya menjawab,"Kami percaya, bahwa Anda adatah orang yang jujur."
Setelah itu, saya lihat ia mulai menerima uang dari pembeli sebesar 10 real Saudi, dimasukannya ke dalam sakunya dan dicatatnya uang yang masuk tadi. Sampai datanglah seorang pengunjung asal Pakistan. Ia membeli 2 set buku yang berbahasa Inggris seharga 10 real, dan 3 kaset berbahasa Urdu seharga 9 real. Total semuanya 19 real. Sang pengunjung menyodorkan uang 50 real kepada Ahmad. Karena tidak ada kembalian, Ahmad pun membawa uang tersebut kepada sekretaris kantor di ruang lain untuk menukar uang.
Saya lihat buku berbahasa Inggris yang dibeli tertulis "Untuk Non Muslim", maka saya tanya kepada pengunjung tersebut : "Anda membeli buku bebahasa Inggris ini untuk siapa? Untuk dibaca sendiri atau untuk orang lain?" Saya khawatir ia salah beli.
Dia menjawab,"Saya akan berikan sebagai hadiah untuk teman saya sekantor, ia kafir bukan muslim. Semoga ia mendapatkan hidayah dan masuk Islam!"
Mendengar jawaban tersebut, segera saya bergegas menuju sekretaris kantor. Saya katakan, "Bagaimana pendapatmu, kalau buku yang dibeli oleh tamu kita ini, kita hadiahkan saja, karena buku tersebut akan dihadiahkan kepada teman sekerjanya yang kafir?"
Sekretaris kantor setuju. Ahmad mendengar pembicaraan kami berdua, karena ia sedang menunggu kembalian uang untuk tamunya. Sekretaris kantor mengatakan, jadi total yang ia beli hanya 9 real dan kembalinya 41 real. Tiba-tiba, secara spontan, Ahmad mengeluarkan uang 5 real miliknya dan ia berikan kepada sekretaris sambil berkata: "Saya ikut menyumbang 5 real untuk beli kaset dakwah yang dibeli orang itu. Jadi biar ia membayar cukup 4 real saja".
Mendengar itu, saya menjadi terharu dan saya katakan, biar saya yang membayar 5 real, Ahmad cukup 4 real saja. Dia bilang,"Ustadz saja yang 4 real, saya yang 5 real," kemudian saya paksakan ia menerima kembali 1real. Akhirnya, pengunjung tadi mendapatkan buku-buku dan kaset secara gratis, dikembalikanlah uang 50 real. Dia pulang dengan girang.
.
MEMBERIKAN CERAMAH DI DEPAN JAMAAH HAJI INDONESIA
Suatu hari, saya pernah menawarkan kepada Ahmad untuk memberikan ceramah di hadapan jamaah haji Indonesia di madinatu( hujjaj di air port lama, Jeddah. Dia pun menyanggupi: Lalu saya beritahukan materinya tentang ukhuwah Istamiyah, dan saya berikan point-pointnya, yaitu tentang pentingnya ukhuwah, sarana-sarana untuk memperkokoh ukhuwah serta perusak-perusak ukhuwah.
Kira-kira dua pekan kemudian ia bertanya : "Bagaimana Ustadz, kalau saya sampaikan materi ini dengan membaca teks. Saya belum pernah berceramah sebelum ini".
Saya katakan, "Tidak apa-apa, walaupun kalau bisa tidak dengan teks itu lebih bagus."
Akhirnya, pada hari yang sudah dijadwalkan, ia dengan diantar kakek dan ibunya berangkat ke madinatul hujjaj untuk berceramah di hadapan jamaah haji Indonesia. Mereka sampai disana sebelum Maghrib. Saya sempat bertanya kepada Ahmad, berapa juz ia hafal al Qur`an. Ia menjawab, 10 juz. Ketika saya sampaikan ke Ahmad, bahwa setelah ia berpidato ada acara tanya jawab. Semula Ahmad berkeberatan dengan mengatakan:"Saya tidak mempunyai wewenang untuk berfatwa". Saya tersenyum dan menjelaskan, bahwa pertanyaannya bukan tentang masalah hukum, tetapi yang sifatnya ta'aruf untuk mengenal tebih dekat lagi.
Saya sampaikan pada pembukaan kepada jamaah haji, bahwa hari ini kita kedatangan tamu; seorang anak kecil. Saya ceritakan, bahwa perkenalan saya dengannya baru satu bulan ketika dia datang ke kantor Jeddah Da'wah Center mendaftarkan diri untuk menjadi relawan di sana. Saya ceritakan tentang perhatiannya terhadap hafalan al Qur`an, doa-doa dan dzikir, kepandaiannya dalam bidang komputer dan bahasa Inggris, serta aktifitasnya yang padat dengan kegiatan olah raga, kursus-kursus komputer dan bahasa Inggris. Setelah itu Ahmad berceramah dalam bahasa Arab dengan membaca teks dan saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ahmad berpidato dengan suara yang lantang. Ia kemukakan, bahwa ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) lebih kuat dari pada ikatan nasab (keturunan). Kemudian ia pun menceritakan sarana-sarana yang dapat memperkuat ukhuwah Istamiyah, seperti : menyebarkan salam, saling mengunjungi, saling memberi hadiah, bertutur kata dengan baik dan santun. Kemudian, ia juga menjelaskan hal-hal yang dapat merusak ukhuwah, seperti : ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), menyebar luaskan rahasia.
Di antara jamaah haji ada yang bertanya dengan bahasa Inggris. Ahmad menjawab pertanyaan dengan lancar. Jamaah haji itu bertanya, "Mungkin Anda pernah tinggal di Eropa atau Amerika, atau lahir di sana barangkali?" Ahmad menjawab,"Tidak! Saya lahir di Saudi Arabia, dan tidak pernah pergi ke luar negeri." Jamaah haji bertanya,"Sejak kapan Anda belajar bahasa Inggris?" Ahmad menjawab,"Saya belajar bahasa Inggris sejak umur 5 tahun." Ahmad juga sempat ditanya jumlah saudaranya. Dia menyebutkan dua bersaudara, ia dan adiknya, Laila yang masih duduk di kelas 4 SD. Setelah selesai, maka para jamaah haji laki-taki menghampiri Ahmad dan kakeknya dan menyalaminya. Saya lihat ada di antara mereka yang menangis terharu.
AHMAD DAN BENCANA TSUNAMI
Ahmad memiliki hati yang lembut dan perhatian untuk mengetahui keadaan kaum Muslimin di belahan dunia. Ketika terjadi bencana Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004M, ia pun membaca berita berita tentang para korban dari koran, karena di rumahnya tidak ada televisi. Ia tidak menghabiskan waktunya untuk membaca berita dan informasi, tapi sekedar tahu secara global. Di antara perbincangan saya dengan Ahmad pada hari Jum'at adalah tentang bencana Tsunami. Dia sangat interes untuk mendengar berita dari saya, dan juga bersemangat menceritakan informasi yang dia dapat.
Tidak lama sesudah bencana Tsunami, seorang ibu yang tidak kami kenal menelpon ke kantor Islamic Center di Jeddah, meminta agar dai yang berasal dari Indonesia memberikan nasihat dalam bentuk kaset untuk kaum Muslimin di Aceh dan Sumatera Utara, agar mereka bersabar, ridha dengan ketentuan Allah, selalu bersangka baik kepada Allah, dan mengambil hikmah dari segala ujian serta cobaan yang berat ini. Alhamdulillah, akhirnya usulan ibu tersebut tertaksana, dan setelah itu, timbul ide baru agar isi nasihat itu dibukukan.
Saat penyusunan buku tersebut yang diberi judul Hikmah Di Balik Musibah, saya mendapat sedikit kesulitan dalam penutisan hadits-hadits Nabi. Saat itu kantor belum punya CD hadits, sedangkan untuk mengetik satu per satu teks hadits bisa membutuhkan waktu yang agak panjang, karena saya belum lancar menulis dengan huruf Arab di komputer. Akhirnya saya ingat Ahmad, dan segera menelepon keluarganya untuk minta izin agar Ahmad menyempatkan waktunya untuk membantu saya mengetik hadits hadits Nabi berkenaan dengan musibah. Saya pun memberitahu hadits-hadits yang perlu diketik. Ahmad mengetik hadits-hadits permintaan saya itu di rumahnya, sebab di kantor sendiri pekerjaan yang ia tangani cukup banyak. Dia diberi tugas oleh pengurus kantor untuk mengetik urusan administrasi, sehingga praktis di kantor ia tidak punya waktu untuk mengetik hadits-hadits yang saya minta itu. Karena di rumahnya juga banyak kegiatan seperti belajar, ia juga aktif berolah raga seperti berenang; menunggang kuda dan bela diri, maka Ahmad akhirnya minta bantuan adiknya, Laila, yang masih duduk di kelas 4 SD untuk membantunya. Sang ibu mengawasinya dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut. Jika ada hal yang keliru atau salah, baru dibenarkan. Sepekan kemudian, ketika ke kantor, ia menyerahkan hasil pekerjaannya dan mengatakan : "Ustadz, saya mengetiknya sekian halaman, dan adik saya sekian halaman".
Ahmad juga ikut menyumbang 100 real (sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah) dari uang tabungannya untuk korban bencana Tsunami yang akan saya sebutkan saat perpisahan.
BERGAUL DENGAN ORANG-ORANG YANG BAIK
Orang tua Ahmad mengarahkan dan memotivasi anaknya agar menjadi relawan di kantor Islamic Center, di antara tujuannya agar anaknya bergaul dengan orang-orang yang baik dan bisa mencontoh mereka dan terhindar dari pergaulan yang ti.dak baik.
Suatu hari saya telepon orang tuanya. Saya beritahukan ada seorang dai yang usianya 70 tahun dari Jenewa, Swiss datang ke Mekkah untuk umroh dan silaturahmi mengunjungi adik-adiknya di Mekkah dan Jeddah. Saya katakan, sekarang masih berada di Mekkah dan saya ada janji untuk bertemu dengannya. Saya tawarkan, jika ayah Ahmad ada waktu, kita bisa bertemu di Mekkah. Orang tuanya senang dengan rencana ini, tetapi belum bisa memastikan apakah dapat berangkat atau tidak.
Kemudian, saya juga teringat Ahmad, mungkin ia tidak berminat pergi ke Mekkah untuk menemui orang tua dan mendengarkan nasihatnya. Saya katakan kepada orangtuanya, tolong tanyakan dulu kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak pergi ke Mekkah bersama kami. Orang tuanya mengatakan : "Saya rasa kita tidak perlu menanyakan kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak, karena mengunjungi orang yang shalih adalah suatu kebaikan, dan tugas kami sebagai orang tua adalah menumbuhkan minat anak".
PERPISAHAN
Tibalah saat saya pulang ke Indonesia pada pertengahan bulan Safar 1426H, atau akhir Maret 2005M. Saya izin kepada Ummu Ahmad untuk mengajak Ahmad dan sopirnya al akh Musthafa makan siang di rumah makan.
Mendengar permintaan saya, Ummu Ahmad mengatakan : "Seharusnya kami yang mengundang Anda makan di rumah, karena anda adatah tamu. Tetapi karena suami saya sedang keluar kota, maka Ahmadlah yang akan mentraktir Anda makan di rumah makan". Mulanya saya menolak, karena yang punya ide adalah saya, maka saya yang berhak untuk membayar. Beliau tetap memaksa, maka akhirnya saya mengalah. Sekitar jam empat sore sepulang saya dari masjid, saya dapatkan Ahmad dan Musthafa sudah menunggu di depan kantor tempat saya tinggal di sana selama dua bulan di Jeddah.
Sebelum berangkat ke rumah makan, Ahmad menyerahkan surat dari orang tuanya untuk saya baca, dan saya diminta untuk memberi masukan dan komentar. Surat itu dari orang tua Ahmad untuk pihak sekolah tempat Ahmad belajar.
Sebelumnya, pihak sekolah telah melontarkan surat kepada orang tua Ahmad, meminta izin bahwa dalam liburan musim panas, pihak sekolah akan merencanakan study tour ke Malaysia membawa 20 siswa yang berbakat, salah satu di antaranya adalah Ahmad. Ada dua tujuan pokok, yaitu untuk mengunjungi universitas universitas di Malaysia guna mengetahui sistem pendidikannya, dan yang kedua . untuk melihat kemegahan bangunan dan arsitektur di Malaysia.
Orang tua Ahmad tidak setuju dan menulis surat balasan kepada sekolah. Saya baca surat tersebut. Orang tuanya menyebutkan alasan tidak mengizinkan Ahmad, bahwa tujuan tersebut tidak begitu penting, karena anaknya masih duduk di bangku SD, sehingga kurang bermanfaat bagi anak SD untuk mengetahui sistem pendidikan di universitas. Kalaupun dianggap penting, bisa dengan mendatangi pameran pameran yang diadakan di Jeddah, misalnya. Begitu pula melihat kemegahan arsitektur dan bangunan tidak begitu penting, malah bisa berdampak negatif, yaitu anak-anak dapat tertipu dengan penampilan lahiriah, bangga dengan bangunan yang megah dan lupa dengan yang lebih pokok, yaitu masalah pentingnya membenahi hati, aqidah, ibadah dan akhlak.
Dalam surat itu disebutkan pula, jika pihak sekolah mempunyai program membawa siswa ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana, seperti ke Aceh, misalnya, untuk membantu para korban bencana, kami dengan senang hati akan mengizinkan anak kami untuk ikut berangkat. Lebih-lebih lagi kita tahu bersama, bahwa para missionaris Kristen banyak mengirim relawannya pergi ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana. Mereka melancarkan misinya dengan payung memberikan bantuan kemanusiaan.
Selesai membaca surat tersebut, saya beranggapan bahwa Ahmad tentu kecewa dengan keputusan orang tuanya ini. Segera saya ingin menghiburnya. Saya pancing Ahmad dengan pertanyaan : "Apakah Anda kecewa tidak berangkat ke Malaysia?" Ahmad menjawab dengan mantap : "Saya tidak kecewa". Saya tanya,"Mengapa tidak kecewa? Padahal teman-teman Anda berangkat ke sana." Kemudian Ahmad menjelaskan kepada saya, persis seperti isi surat orang tuanya untuk pihak sekolah.
Tidak terasa hari semakin sore, sedangkan kami belum makan siang. Ahmad mengatakan kepada saya : "Ustadz bisa pilih, ingin makan di rumah makan mana? Tidak mesti yang dekat, yang jauh juga boleh". Saya katakan kepadanya, yang dekat saja di rumah makan at Tazaj. Berangkatlah kami bertiga ke rumah makan yang jaraknya dari kantor kurang lebih 1 kilometer. Setelah kami pesan makanan, saya tanya kepada Ahmad, pilih minum Pepsi Cola, Seven Up atau apa? Dia menjawab,"Saya pilih air putih saja." Musthafa mengatakan, bahwa Ahmad memang sejak kecil tidak minum minuman seperti itu.
Selama kami makan, kami berbicara. Saya lupa apa saja yang kami bicarakan saat itu. Yang saya ingat, saya sempat bertanya kepadanya:"Apakah Anda sudah membaca surat yang saya tulis di Masjidil Haram di Mekkah untuk Anda?" Ahmad menjawab,"Belum, karena semalam saya kecapaian sehingga langsung tidur."
Setetah kami selesai makan, ada di antara pelayan restoran yang berasal dari Philipina memberikan hadiah berupa selebaran berwarna-warni untuk anak-anak, dan diberikannya kepada Ahmad. Semula Ahmad tidak ingin mengambilnya, bisa jadi karena ia merasa bukan anak-anak lagi. Saya segera minta kepadaAhmad untuk menerimanya. Setelah kami sampai di mobil, saya katakan, kita berusaha untuk menjaga perasaan orang lain, jika Anda terima, berarti Anda menggembirakan dia. Dan jika Anda tolak, bisa membuat dia sedih atau kecewa.
Dalam perjalanan ke kantor, Ahmad mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang sebesar 100 real, lalu dia berikan kepada saya seraya berkata : "Ustadz akan pulang ke Indonesia, ini saya titip uang 100 real dari tabungan saya untuk korban bencana alam Tsunami di Aceh." Terharu saya mendengar ucapannya yang tulus keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Sebenarnya saya tidak ingin menerima amanat ini. Tetapi karena saya juga tidak ingin mengecewakan Ahmad yang ingin berpartisipasi ikut andil menyumbang, akhirnya amanat tersebut saya terima, dan saya katakan : "Insya Allah saya akan sampaikan amanat ini kepada orang yang berhak menerimanya".
Dia juga menawarkan diri untuk mengantar saya sampai air port. Saya katakan, bahwa saya sudah janji dengan Ustadz Farid al Bathathi, beliau yang akan mengantarkan saya ke air port. "Yang kedua, saya tahu bahwa jadwal Anda sangat padat. Saya tidak mau mengganggu kegiatan Anda".
Tibalah saat perpisahan. Saya tidak tahu, apakah dapat berjumpa kembali dengannya atau tidak. Yang jelas banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari Ahmad dan keluarganya.
Semoga Allah memberikan taufik kepada Ahmad dan anak-anak kaum Muslimin untuk tetap istiqomah dalam ketaatan, dan memberikan taufik kepada kedua orang tua Ahmad dan semua orang tua Muslimin untuk dapat mendidik anak-anak mereka menjadi anak-anak yang shalih.
Rabbana laatuzikhquluubanaa ba’da idzhadaitanaa wahablanaa milladunkarahmah innaka antalwahhab.
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kisah Ahmad. Insya Allah penulis akan membahasnya dalam sebuah buku tersendiri.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12]
Hikmah Dibalik Larangan Adopsi Anak
Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan anak. Secara
alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di muka
bumi. Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber
kegembiraan di tengah keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak
menjadi tumpuan harapan.
Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah rumah tangga yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga, tidak heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman mutakhir ini banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang anak, baik dengan operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan mengadopsi anak. Dalam fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah tabanni. Lantas bagaimanakah menurut tinjauan hukum Islam?
SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.[1]
Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh". Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah binti Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu 'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?
Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".
Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5.[2]
HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.
Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.
Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur. Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]
Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat 'Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah". al-Ahzab/33 ayat 5."[3]
Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir [4]. [HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215]
Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata "saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)", padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).[5]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah" [HR Muslim, no. 3314 dan 3373]
PENGECUALIAN HUKUM
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu" [al-Ahzab/33:5]
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa. Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah rahimauhllah yang menyatakan, apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung, berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa.[6]
Mengomentari hadits al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan no. 6768), al-Imam Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: "Kedua hadits ini tidak memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di atas, seperti al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu orang yang berpaling dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa jahiliyyah masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat "Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah" –al-Ahzâb/33 ayat 5- dan firman-Nya "Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian" –Qs al-Ahzâb/33 ayat 4.
Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad, karena bapaknya bukanlah al-Aswad, akan tetapi 'Amr bin Tsa’labah al-Bahrâni.[7]
Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat yang mengadopsi beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan sengaja.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أنا ابن عبد المطلب, أنا النبي ولا كذب
"Aku adalah anak 'Abdul-Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan" [HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78; at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487]
Padahal nama beliau adalah Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdil-Muththalib, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya.[9]
PERKARA-PERKARA YANG DIBATALKAN
Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.
1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya, yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu.
Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya (Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan para isteri tersebut" [al-Ahzâb/33:37]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.[10]
Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: …(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…(Qs an-Nisaa`/4 ayat 23).
Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.[11]
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.[12]
Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.[13]
5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.
KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.
Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80]
Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.
Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah, maula Nabi (budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat Nabi yang terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah masih hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun..
[2]. Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. 'Abdur-Rahmân Ra’fat al-Bâsya.
[3]. HR al-Bukhari, Muslim; at-Tirmidzi,dll.
[4]. Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi makna yang mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir, apabila sang pelaku menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari al-Minhaj, karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits nomor 212.
[5]. Lihat al-Fath
[6]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân.
[7]. Lihat al-Fath.
[8]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân
[9]. Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Cet. Darus-Salam..
[10]. Al-Mishbahul-Munir.
[11]. Al-Mishbahul-Munir.
[12]. Al-Umm (6/69).
[13]. Al-Mughni (9/518).
Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah rumah tangga yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga, tidak heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman mutakhir ini banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang anak, baik dengan operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan mengadopsi anak. Dalam fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah tabanni. Lantas bagaimanakah menurut tinjauan hukum Islam?
SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.[1]
Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh". Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah binti Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu 'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?
Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".
Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5.[2]
HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.
Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.
Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur. Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم
بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ .
ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ
"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]
Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat 'Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah". al-Ahzab/33 ayat 5."[3]
Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا ئِِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ
"Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir [4]. [HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215]
Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata "saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)", padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).[5]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه, فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين, لايقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا
"Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah" [HR Muslim, no. 3314 dan 3373]
PENGECUALIAN HUKUM
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu" [al-Ahzab/33:5]
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa. Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah rahimauhllah yang menyatakan, apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung, berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa.[6]
Mengomentari hadits al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan no. 6768), al-Imam Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: "Kedua hadits ini tidak memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di atas, seperti al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu orang yang berpaling dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa jahiliyyah masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat "Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah" –al-Ahzâb/33 ayat 5- dan firman-Nya "Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian" –Qs al-Ahzâb/33 ayat 4.
Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad, karena bapaknya bukanlah al-Aswad, akan tetapi 'Amr bin Tsa’labah al-Bahrâni.[7]
Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat yang mengadopsi beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan sengaja.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أنا ابن عبد المطلب, أنا النبي ولا كذب
"Aku adalah anak 'Abdul-Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan" [HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78; at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487]
Padahal nama beliau adalah Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdil-Muththalib, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya.[9]
PERKARA-PERKARA YANG DIBATALKAN
Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.
1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya, yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu.
Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا
مِنْهُنَّ وَطَرًا
"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya (Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan para isteri tersebut" [al-Ahzâb/33:37]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.[10]
Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: …(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…(Qs an-Nisaa`/4 ayat 23).
Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.[11]
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.[12]
Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.[13]
5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.
KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.
Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80]
Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.
Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah, maula Nabi (budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat Nabi yang terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah masih hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun..
[2]. Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. 'Abdur-Rahmân Ra’fat al-Bâsya.
[3]. HR al-Bukhari, Muslim; at-Tirmidzi,dll.
[4]. Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi makna yang mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir, apabila sang pelaku menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari al-Minhaj, karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits nomor 212.
[5]. Lihat al-Fath
[6]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân.
[7]. Lihat al-Fath.
[8]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân
[9]. Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Cet. Darus-Salam..
[10]. Al-Mishbahul-Munir.
[11]. Al-Mishbahul-Munir.
[12]. Al-Umm (6/69).
[13]. Al-Mughni (9/518).
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...