Hak-hak yang harus dipenuhi supaya seorang anak muslim berada pada
keadaan yang cocok untuk pendidikan Islam yang benar banyak sekali, kami
akan meyebutkan di antaranya.
1. Memilih calon ibu yang baik, hal ini mengamalkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Lihatlah agama calon istri supaya engkau tidak celaka” [Muttafaqun alaihi]
2. Hendaknya kedua orang tua berdo’a dan merendahkan diri kepada Allah
agar berkenan memberi rezki anak yang shalih kepada keduanya.
“Artinya : Dan orang-orang yang berkata : “Ya Rabb kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang bertakwa” [Al-Furqon :
74]
“Artinya : Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang
baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a” [Ali-Imran : 38]
Maka usaha apapun tanpa pertolongan Allah dan taufiq-Nya pasti akan berakhir dengan kegagalan.
Berapa banyak seorang ayah sengat menginginkan agar anaknya menjadi
baik, ia sediakan hal-hal yang menunjang untuk kebahagiaan dan
pendidikan anaknya, akan tetapi usahanya berakhir dengan kegagalan.
Dan berapa banyak seorang ayah memiliki anak-anak yang shalih, sedangkan ia sendiri bukan orang yang shalih.
3. Memberi Nama Baik
Salah satu hak anak yang wajib ditunaikan seorang ayah adalah memberi
nama yang baik serta sesuai dengan syariat agama. Dan syariat agama
Islam menganjurkan seorang muslim untuk memberi nama anak-anaknya dengan
nama-nama tertentu, dan nama yang paling dicintai oleh Allah adalah :
Abdullah, Abdurrahman. Dan nama yang paling benar adalah : Hammam dan
Harits.
4. Salah satu hak anak yang wajib ditunaikan orang tua adalah hendaknya
anak melihat dari orang tuanya dan dari masyarakatnya akhlak yang
bersih, jauh dari hal yang merubah fitrah dan menghiasi kebatilan, baik
akhlak yang dibenci itu berupa kekafiran atau bid’ah atau perbuatan
dosa besar. Karena sesungguhnya perbuatan yang menyelisihi fitrah itu
memberi pengaruh terhadap kejiwaan seorang anak dan merubah fitrah yang
telah dianugrahkan kepadanya.
Karena fitrah seorang anak adalah iman kepada Allah Sang Penciptanya dan
beriman terhadap seluruh keutamaan, membenci kekafiran, kedustaan dan
penipuan. Dalam hatinya terdapat cahaya fitrah yang senantiasa menyuruh
kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, hanya saja wahyu Allah
menambahi fitrahnya dengan cahaya diatas cahaya. Dasar landasan hal ini
adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Setiap anak dilahirkan diatas fitrahnya, ibu bapaknyalah yang
menjadikan ia yahudi, nashrani atau majusi” [Muttafaqun Alaih]
5. Diantara hak-hak seorang anak yang wajib ditunaikan orang tuanya
hendaknya seorang anak tumbuh bersih, suci, ikhlas dan menepati janji.
Dan hendaknya dia dijauhkan dari orang-orang yang melakukan perbuatan
syirik dan kesesatan, dan perbuatan bid’ah serta maksiat-maksiat, serta
perbuatan-perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu. Karena orang yang
demikian itu terhadap seorang anak yang bersih dan suci hatinya serta
baik jiwanya adalah ibarat teman duduk yang membawa racun yang mematikan
dan penyakit kronis, dan itu semua merupakan penghancur keimanan dan
perangainya yang baik.
Berapa banyak manusia rusak disebabkan bergaul dengan orang-orang yang
pandir. Dan berapa banyak manusia dalam kebingungan disebabkan jauh
dari orang-orang yang bijaksana dan ulama. Di dalam Al-Qur’an dan hadits
telah disebutkan larangan bergaul dengan orang-orang jahat. Dan juga
dari perkataan-perkataan Salafush Shalih banyak kita jumpai tentang hal
itu. Kalaulah sekiranya dalam masalah ini tidak ada hadits yang
menjelaskannya kecuali hadits An-Nu’man.
“Artinya : Permisalan teman duduk yang baik dan yang buruk adalah
seperti pembawa minyak kasturi dan peniup api…” [Muttafaqun Alaih]
Tentulah hadits ini sudah mencukupi.
Ringkasanya adalah bahwa bahaya perangai jelek ini sangat besar,
tidaklah orang-orang menjadi rusak melainkan disebabkan berteman dengan
orang-orang yang jahat. Dan tidaklah orang-orang menjadi baik melainkan
disebabkan oleh nasehat orang-orang yang baik. Dan dalam suatu
perumpamaan dikatakan seorang teman itu akan menarik temannya (menarik
kepada kebaikan atau kejahatan).
Engkau akan melihat seorang sahabat akan mengajak sahabatnya untuk
nonton film, pergi ketempat-tempat minuman keras, melakukan perbuatan
hina dan mengajaknya untuk menyukai gambar-gambar wanita yang terbuka
auratnya serta mengajaknya untuk menyukai melihat majalah-majalah porno
yang merusakkan kemuliaan akhlak dan menyebabkan penyimpangan dan
kemunafikan, lalu seorang sahabat mengajak sahabatnya untuk mengikuti
golongan-golongan dan pemahaman-pemahaman yang menentang dan menyimpang
dari agama.
Akan tetapi seorang teman duduk yang baik memberi petunjuk kepada teman
duduknya untuk menghadiri majelis-majelis ulama dan mengunjungi
orang-orang yang shalih, bijaksana dan beradab. Dan dia akan mengajak
temannya ke masjid serta mencintai orang-orang yang melakukan ruku’ dan
sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hatinya itu menjadi cinta
dan selalu terpaut dengan masjid hingga dia menjadi orang yang shalih.
Masjid adalah tempat hatinya, mushaf Al-Qur’an adalah teman yang selalu
menyertainya dalam kesendiriannya, dan kitab yang berfaedah adalah teman
duduknya, matanya mengucurkan air mata tatkala membaca Al-Qur’an dan
dia merindukan untuk melihat Allah yang Maha Mulia dan yang Maha Memberi
karunia, ia merindukan melihat Allah yang maha pemurah lagi maha
penyayang, ia hidup bersama manusia dengan tubuhnya sedangkan hatinya
hidup bersama bidadari di kamar-kamar surga, tidaklah dia memetik buah
ini dan tidaklah ia hidup dengan hatinya ini di surga yang paling tinggi
melainkan disebabkan duduk dengan orang-orang yang baik.
Dan ringkasnya adalah jika kita menjauhkan anak-anak dari teman duduk
yang buruk (jahat), berarti kita telah memberikan kepada anak-anak itu
salah satu dari hak-haknya yang paling besar.
6. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka memerintahkannya untuk shalat di saat berumur 7 tahun, dan
memukulnya lantarannya tidak mengerjakan shalat di saat berumur 10
tahun, serta memisahkan tempat tidur anak-anak mereka.
7. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua adalah
hendaknya mereka mengajari anak-anaknya untuk berenang, memanah dan
menunggang kuda.
8. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka membiasakannya berlaku jujur, menepati janji dan berakhlak mulia.
9. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka mengajarinya petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam makan dengan tangan kanan disertai dengan membaca basmalah dan
makan makanan yang paling dekat.
“Artinya : Wahai anak muda, ucapkanlah bismillah dan makanlah dengan
tangan kananmu dan makanlah makanan yang terdekat darimu” [Muttafaqun
Alaih]
10. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka mecegahnya dari menonton televisi khususnya acara-acara yang
haram misalnya tarian dan campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Dan melarangnya untuk melihat drama-drama berseri, yang berisikan
pembunuhan dan kejahatan yang mengajarkan pembunuhan, pencurian dan
pengkhianatan.
11. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka bersikap adil dalam mendidik anak untuk melakukan amar ma’ruf dan
nahi mungkar, janganlah orang tua melampaui batas dan jangan pula
terlalu lemah, janganlah berlebih-lebihan dalam memukul anak dan jangan
pula membiarkannya tanpa teguran.
12. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka mengajarkan kepada anak untuk membenci orang-orang yang melakukan
perbuatan bodoh, seperti seorang yang sudah mashur di masyarakat bahwa
ia adalah orang yang suka berkhianat dan melakukan perbuatan nifak dan
pemain-pemain sandiwara yang dinamakan oleh orang-orang dengan bintang
seni disertai dengan usaha mengisi hati anak untuk cinta kepada para
sahabat nabi, tabi’in, ulama dan mujahidin.
13. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka mendidik anak untuk memakan makanan yang halal dan makan dari
hasil jerih payah sendiri secara bertahap.
14. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka menolong anak untuk taat kepada Allah dan RasulNya, contohnya
kalau seorang anak memilih perkara-perkara yang tidak menyelisihi
syariat agama maka janganlah kedua orang tua melarannya.
15. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka memilihkan dengan baik calon isteri yang shalihah yang
membantunya untuk taat kepada Allah dan RasulNya.
16. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka mengarahkan anak sebelum ia menikah untuk memperoleh ilmu agama
dari para ulama yang mengamalkan imunya, dan menanamkan rasa cinta untuk
menghafal Al-Qur’an dan juga seluruh ilmu-ilmu syariat agama ini
seperti fikih, hadits, ilmu bahasa, contohnya nahwu, shorf dan balaghah.
Serta ilmu ushul fikiih, dan menanamkan rasa cinta kepada aqidah
Salafush Shalih.
17. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya
mereka memberi semangat anak untuk belajar secara khusus ilmu dunia yang
ia minati untuk melayani masyarakat sesudah memperoleh ilmu agama yang
wajib ia pelajari.
Dan terakhir : Sesungguhnya hak-hak pendidikan terhadap anak dalam agama
Islam tidak ada perbedaan diantara satu negeri dengan negeri yang
lainnya atau masa yang satu dengan masa yang lainnya. Perbedaan yang ada
hanyalah perbedaan masalah nama dan washilahnya (prasarananya) saja.
Dan pokok-pokok yang disebutkan tadi cocok untuk manusia pada setiap
zaman, tempat dan sesuai untuk seluruh manusia dipenjuru negeri
Dan segala puji bagi Allah,Rabb smesta alam, shalawat serta salam atas Nabi, keluarga dan para sahabat beliau.
Islam Mengharamkan Tidak Mau Mempunyai Anak Karena Takut Miskin
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan (kamu). Kami akan memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka” [Al-An’aam : 151]
Dan firman-Nya lagi
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar” [Al-Israa : 31]
Faedah.
Pada ayat yang pertama (Al-An’aam : 151) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu”. Karena kemiskinan (kamu) terjemahan dari (min imlaaqi). Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kekafiran memang telah ada sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain Ulama. Maka janganlah kefakiran kamu itu menyebabkan kamu membunuh anak-anak kamu. Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini didahulukan penyebutan terhadap orang tua kemudian anak.
Firman-Nya : “Kamilah yang memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka (anak-anak kamu)”. Sedangkan dalam ayat yang kedua (Al-Israa : 31) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin”. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kefakiran belum datang kepada mereka (orang tua). Akan tetapi mereka takut hidup miskin atau fakir disebabkan adanya anak di masa mendatang. Lantaran itu mereka bunuh anak-anak mereka karena takut kemiskinan yang akan menimpa mereka!? Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai menyebut anak kemudian orang tua.
Firman-Nya : “Kami yang akan memberi rizki kepada mereka (yakni anak-anak kamu) dan juga kepada kamu”. Disinilah letak perbedaan kedua ayat di atas (Al-An’aam : 151 dan Al-Israa : 31). Perhatikanlah!
Kedua firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas memberikan pelajaran dan hukum yang sangat tinggi kepada kita ;
Pertama : Bahwa salah satu perbuatan jahilliyyah ialah membunuh anak mereka karena kemiskinan yang ada pada mereka atau karena takut miskin di masa mendatang disebabkan adanya anak. Dari sini kita mengetahui bahwa salah satu sifat orang jahilliyyah ialah takut mempunyai anak atau tidak mau mempunyai anak karena kefakiran mereka atau takut jatuh miskin atau fakir. Perhatikanlah dan pahamkanlah ! Alangkah serupanya kemarin malam dengan malan ini! Sebagian kaum muslimin yang hidup pada zaman kita sekarang ini ketakutan bahkan sangat takutnya mempunyai anak karena kemiskinan mereka itu atau takut miskin di masa mendatang!? Kaum muda yang baru nikah tidak mau langsung mempunyai anak dengan alasan misal yang kita dengar :
“Ekonomi kami belum cukup!”
Gaji masih kecil!”
“Belum mampu mengurus anak!”
“Rumah masih ngontrak!”.
Sebagian mereka ada yang membatasi kelahiran, tidak mau lebih karena alasan yang sama yang semua itu terkumpul menjadi satu yaitu ketakutan di atas ketakutan atas kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin disebabkan anak!
Alangkah serupanya sifat dua keyakinan mereka dengan sifat keyakinan orang-orang jahilliyyah yaitu tidak mau mempunyai anak karena kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin!!!
Dan inilah yang dibatakan oleh Islam ketika Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hajjatul Wada’ sewaktu beliau wuquf di Arafah.
“Artinya : Ketahuilah ! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan” [Riwayat Muslim : 4/41]
Salah satu urusan jahilliyyah ialah membunuh anak-anak mereka karena kemiskinan atau takut miskin! Ini! Maka kaum muslimin yang tidak mau mempunyai anak dengan i’tiqad (keyakinan) takut miskin atau takut tidak bisa makan atau, atau, atau…. Samalah keyakinan mereka ini dengan keyakinan orang-orang jahilliyyah meskipun mereka tidak membunuh anak-anak mereka.
Kedua : Membunuh anak-anak karena dua sebab di atas yaitu karena kemiskinan atau takut miskin atau sebab-sebab lain adalah perbuatan dosa yang sangat besar sekali sebagaimana firman Allah di atas bersama sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata : Aku bertanya atau ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah dosa yang paling besar di sisi Allah?”
Jawab beliau, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan (sekutu) padahal Dia yang menciptakan kamu”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Jawab beliau, “Engkau membunuh anakmu lantaran takut makan bersamamu”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Jawab beliau, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”
[Shahih Riwayat Bukhari 6/14 dan Muslim 1/63 : 64]
Kesimpulan
Bahwa tidak mau atau takut mempunyai anak atau membatasi kelahiran dengan keyakinan seperti keyakinan jahilliyyah yaitu :
1). Karena kemiskinan dan takut semakin miskin dan fakir
2). Atau takut jatuh miskin dan fakir
3). Atau takut miskin karena banyak anak
4). Atau susah dan merasa berat mengurus dengan dasar pendidikan dan lain-lain.
Maka hukumnya haram dengan kesepakatan para Ulama umat ini yang dahulu dan sekarang (baca ; Ulama pewaris ilmunya para Nabi).
Jika dikatakan, “Bukankah di dalam Islam ada ‘azal (yaitu mengeluarkan mani di luar rahim). Sedangkan ‘azal pada hakikatnya tidak mempunyai anak dengan pencegahan kehamilan. Dan ‘azal ini dibolehkan di dalam Islam. Dengan sendirinya Islam tidak melarang mencegah kehamilan atau membatasi kelahiran, bagaimana jawaban saudara?”
Saya jawab.
Pertama : Tidak syak lagi bagi ahli ilmu khususnya dan sebagian kaum muslim umumnya, bahwa ‘azal terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Hadits-hadits yang berbicara tentang masalah ini cukup banyak dan masyhur dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslin dan lain-lain.
Kedua : Adapun hukumnya para Ulama kita telah beselisih dalam menentukannya. Akan tetapi pandangan yang lebih kuat hukum ‘azal adalah makruh yang lebih utama ditinggalkan karena beberapa sebab.
Sebab Pertama : ‘Azal terjadi pada masa turunnya wahyu sedangkan Allah tidak menurunkan ayat yang melarangnya.
Sebab Kedua : Tidak ada larangan yang sharih (tegas) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ‘azal adalah :
“Artinya : Mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi” [Riwayat Muslim 4/161 dan lain-lain]
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidak secar zhahirnya. Akan tetapi hanya merupakan tasybih yaitu penyerupaan bahwa ‘azal itu menyerupai orang yang mengubur anak hidup-hidup secara zhahir yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan secara sembunyi (khafi) karena beberapa hal.
Hal yang pertama : Niat dan maksudnya tidak mau mempunyai anak
Hal yang kedua : Memutuskan kelahiran sebelum datangnya (yakni datang kehamilan). Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namakan mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi.
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun jelas bahwa mereka (orang yang melakukan ‘azal) tidak mengubur anak hidup-hidup secara zhahir. Oleh karena itu hukumnya pun tidak berlaku secara zhahir.
Sebab Ketiga : Bahwa ‘azal menghilangkan sebagian dari maksud-maksud nikah diantaranya ialah memperbanyak umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi kebanggaan beliau di hadapan para Nabi dan umat-umat yang terdahulu bahwa umat beliau adalah yang terbanyak dan terbesar dari seluruh umat para Nabi dan Rasul. (Baca kembali hadits-hadits di fasal pertama)
Sebab Keempat : Bahwa ‘azal menghilangkan sebagian kelezatan jima’ (bersetubuh). Imma terhadap istri atau terhadap keduanya (suami – istri).
Ketiga : Bahwa ‘azal yang terjadi dan dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dikerjakan oleh sebagian Shahabat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada zaman kita hidup sekarang ini dengan beberapa perbedaan yang sangat mendasar sekali yaitu.
Perbedaan yang pertama : Bahwa para Shahabat melakukan ‘azal dengan tidak meyakini (tanpa i’tiqad) bahwa dengan ‘azal itu pasti dapat mencegah kehamilan ! Tidak demikian keyakinan mereka!
Keyakinan mereka bawha ‘azal sama sekali tidak dapat merubah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan akan terjadi anak maka terjadilan. Begitu keyakinan (i’tiqad) mereka sebagaimana diajarkan oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya sabda beliau ketika ditanya tentang ‘azal.
“Artinya : Hanyasanya dia itu qadar (takdir)” [Shahih Muslim : 4/158, 159]
Maksudnya : Terjadinya anak dan tidaknya disebabkan takdir bukan karena ‘azal!
Perhatikanlah ! inilah keyakinan yang benar!
Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian kaum kita selain mereka telah mempergunakan berbagai macam alat pencegah kehamilan bukan ‘azal yang dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meyakini bahwa dengan alat-alat tersebut kehamilan dapat dicegah!? Ini adalah keyakinan yang batil dan menyalahi kenyataan yang dapat disaksikan oleh manusia! Berapa banyak orang yang ‘azal baik dengan cara lama atau dengan menggunakan alat –terlepas dari keyakinan masing-masing- kenyataannya istrinya hamil kemudian melahirkan yang akhirnya ia mendapat anak!
Sebaliknya, berapa banyak orang yang tidak melakukan ‘azal baik dengan cara lama atau menggunakan alat kenyataannya istrinya tidak hamil! Bahkan ada yang sampai seumur hidupnya tidak mempunyai anak! Cerita tentang dua kejadian di atas banyak sekali sampai kepada derajat mutawatir! Ini perbedaan yang pertama!
Sedangkan perbedaan yang kedua : Bahwa para Shahabat melakukan ‘azal atau katakanlah “mencegah kehamilan”, tanpa i’tiqad (keyakinan) sama sekali seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kuffar seperti kami terangkan di atas.
Sedangkan kaum kita dewasa ini –tentunya tidak semuanya- mereka melakukan ‘azal atau lebih bebasnya kita katakan saja mencegah kehamilan karena tidak mau mempunyai anak atau lebih ‘arifnya kita katakan belum mau mempunyai anak atau membatasi kelahiran, apakah dengan cara lama ‘azal atau dengan menggunakan alat, semuanya mereka lakukan dengan keyakinan (i’tiqad), seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kufar pada zaman kita sekarang ini, yaitu.
1). Karena miskin atau fakir
2). Karena takut miskin atau fakir
3). Takut miskin karena mempunyai anak banyak
4). Kata mereka, “Susah mengurusnya!?, “Jadi beban!?”, “Banyak keluar biaya!?”
Dan lain-lain alasan yang semuanya terkumpul menjadi kamus “kesusahan diatas kesusahan”. Itulah keyakinan sebagian kaum kita dalam masalah mencegah kehamilan atau membatasinya. Alangkah sedihnya melihat kenyataan ini!
Keyakinan yang ditangisi oleh Islam dan dibatalkannya! Inilah yang sangat kita sayangkan dan sesalkan, bahwa sebagian saudara-saudara kita telah dimiskinkan hatinya oleh orang-orang kafir sebelum orang-orang kafir itu memiskinkan harta-harta mereka!
Ini ! Kemudian datang kepada saya satu pertanyaan yang maknanya sebagai berikut ; Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?
Saya jawab : [1]
Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?
Pertama : Bahwa i’tiqad di atas menyerupai i’tiqad kaum jahilliyyah atau kaum kuffar dan maksud-maksud mereka yang dahulu dan sekarang. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatalkan segala urusan jahilliyyah sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, ‘Ketahuilah! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan”.
Bersama sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : …Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum (yakni kaum kuffar), maka dia (orang tersebut) termasuk dari golongan mereka (yakni orang yang mengikuti sunnahnya orang-orang kafir)”.
Hadits ini shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan Thahawiy di kitabnya Musykilul Atsar sebagaimana telah saya terangkan di Riyadlul Jannah (no.145).
Hadits yang mulia ini merupakan larangan yang tegas dalam bentuk khabar tentang tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Dalam hal ini sebagai kaum muslimin telah menyerupai keyakinan orang-orang jahilliyyah tentang masalah anak.
Ketahuilah! Bahwa orang-orang jahilliyyah membunuh anak-anak mereka –sebagaimana di beritakan Al-Qur’an- karena tiga sebab.
Pertama : Karena sebab kemiskinan mereka
Kedua : Karena sebab takut miskin
Ketiga : Karena sebab malu mempunyai anak perempuan
Untuk yang pertama dan kedua tidak syak lagi bahwa sebagian kita telah mempunyai i’tiqad orang-orang jahilliyyah. Mereka tidak mau mempunyai anak atau katakanlah belum mau atau membatasi kelahiran karena sebab miskin atau takut miskin meskipun mereka belum membunuhnya! Bahkan mereka pun telah melakukannya walaupun jumlahnya masih kecil! Dan celakanya, sebagian dari mereka telah menempuh atau mencari jalan yang lain yaitu menjual anak-anak mereka kepada orang-orang kaya karena dua sebab di atas. Lebih lanjut masalah ini akan saya luaskan di fasal adopsi.
Adapun untuk yang ketiga tidak syak lagi bahwa sebagian dari kita telah membunuh anak-anak mereka bukan karena malu mempunyai anak perempuan akan tetapi karena malu mempunyai anak disebabkan hamil atau melahirkan di luar nikah!!!
Mereka bunuh anak-anak mereka dengan berbagai macam cara yang keji-keji. Ada yang di cekik, ada yang dibuang di got, di tong sampah, di kali dan lain-lain. Bahkan! Lebih celaka lagi sebagian dari mereka membunuh anak-anak mereka untuk tujuan-tujuan tertentu seperti memperoleh kekayaan atau ilmu (baca : ngelmu). Mereka mendatangi gunung-gunung atau goa-goa tertentu dan lain-lain tempat. Misalnya gunung Kawi yang sudah cukup masyhur untuk memperoleh kekayaan misalnya dengan mengadakan pernjanjian untuk menyembah iblis! Dan iblis pun memberikan berbagai macam syarat kalau mau kaya di antaranya “membunuh anak” untuk dipersembahkan kepada iblis sebagai tumbal!? Ini kenyataan!
Semua yang tersebut di atas adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi kecuali kita rela membutakan mata hati dan lahir kita!
Anak Adalah Pemberian Allah Azza Wa Jalla
Anak merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia. Allah menciptakan apa-apa yang Ia kehendaki dan memberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi. Ia menciptakan apa-apa yang Ia kehendaki. Ia memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki anak-anak perempuan dan Ia memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki anak-anak laki-laki. Atau (Ia memberikan kepada siapa yang ia kehendaki) anak-anak laki-laki dan perempuan. Dan Ia jadikan siapa yang Ia kehendaki mandul (tidak dapat mempunyai anak). Sesungguhnya Ia Maha Mengetahui (dan) Maha Berkuasa[1]” [Asy-Syuura : 49-50]
Dari ayat yang mulia ini kita mengetahui berbedanya pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia tentang anak menjadi empat bagian. [2]
Pertama : Sebagian manusia Allah berikan kepada mereka hanya mendapat anak-anak perempuan saja tidak anak-anak laki-laki atau kedua-keduanya. Selama hidupnya mereka tidak mendapat anak laki-laki walaupun selalu menjadi impian mereka!
Kedua : Sebagian lagi Allah berikan kepada mereka hanya anak laki-laki saja tidak anak perempuan atau kedua-duanya. Selama hidup mereka tidak pernah melihat anak perempuan lahir di tengah-tengah mereka walaupun mereka sangat megharapkan kehadirannya!
Ketiga : Sebagian yang lain Allah berikan kepada mereka anak laki-laki dan perempuan maka terwujudlah apa yang selama ini mereka dambakan!
Keempat : Sebagian manusia lain hidup di dalam kesunyian dan kesepian. Tidak mereka mendengar kecuali suara mereka! Suami-isteri yang selama hidupnya tidak pernah mendengar jeritan dan tangis seorangpun bayi yang lahir dari sulbi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa tidak memberikan kepada mereka seorangpun anak!
Itulah pembagian anak dari Rabbul Alamani kepada manusia! Hendaklah kita ridlai kepada pembagian anak yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui siapa yang berhak dan tidak berhak mendapatkannya. Dan Allah Maha Kuasa memberikan dan tidak memberikan.
ANAK MERUPAKAN FITNAH (UJIAN)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah (ujian/cobaan bagi kamu). Dan sesungguhnya Allah di sisi-Nya-lah ada ganjaran yang besar” [Al-Anfal : 28]
“Artinya : Hanya saja harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah (ujian/cobaan bagi kamu). Dan sesungguhnya Allah di sisi-Nya-lah ada ganjaran yang besar” [Ath-Thaghaabun : 157]
Anak merupakan fitnah atau ujian bagi setiap orang tua yang dapat membawa orang tua kepada kesenangan dunia dan akhirat apabila mereka mendidiknya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau akan membawa mereka kepada kesengsaraan dunia dan akhirat apabila orang tua itu mendidik anak-anaknya di jalan syaithan.
ANAK MERUPAKAN BUAH HATI ORANG TUA
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dari Abi Musa Al-Asy’ari : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila mati anak seorang hamba, Allah berfirman kepada para Malaikat-Nya, ‘Kamu telah ambil anak dari hamba-Ku?.
Jawab mereka : ‘Ya’
Maka Allah berfirman : ‘Kamu telah ambil buah hatinya?’
Mereka menjawab : ‘Ya’
Maka Allah berfirman : ‘Apa yang diucapkan hamba-Ku?’
Jawab mereka : ‘Ia memuji Engkau dan istirja[3]’
Maka Allah berfirman ; ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku satu rumah di surga dan namakanlah rumah tersebut dengan baitul hamdi (rumah pujian)’.
[Riwayat Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits ini hasan gharib]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Allah Maha Mengetahui kepada siapa yang berhak mendapat anak laki-laki atau perempuan atau kedua-duanya atau tidak mendapat anak sama sekali.
[2]. Allah Maha Kuasa menciptakan perbedaan di atas di antara manusia.
[3]. Yakni mengucapkan Alhamdulillah dan istirja’ yaitu : Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Islam Menganjurkan Umatnya Untuk Mempunyai Banyak Anak
Dalam masalah ini telah datang dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Islam
sangat menganjurkan umatnya untuk mempunyai anak bahkan mempunyai anak
banyak sebagai mana akan datang keterangannya di fasal ke tiga. Di
antara dalil-dalil tersebut ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : …dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu (yaitu anak)” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Anas bin Malik dan lain-lain Imam dari kaum Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak (Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas)
Maksudnya : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mencari anak dengan jalan bercampur (jima’) suami istri apa yang Allah telah tentukan untuk kamu.
Cukuplah ayat di atas sebagai dalil yang tegas dan terang bahwa Islam memerintahkan mempunyai anak dengan jalan nikah dan bercampur suami-istri. Dan sekaligus merupakan larangan dan celaan terhadap mereka yang tidak mau mempunyai anak padahal ada jalan untuk memperolehnya dengan qadar Allah.
Dan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” [Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar]
“Artinya : Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Kelengkapan takhrij dua hadits di atas terdapat di kitab besar kami Riyadlul Jannah (no. 172 dan 173).
ISLAM MENGANJURKAN UMATNYA UNTUK MEMPUNYAI BANAK ANAK
Diantara dalil-dalilnya ialah duah hadits yang telah lalu di fasal 1 dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadts Anas bin Malik kemudian hadits yang sangat terkenal di bawah ini yaitu do’a Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Anas bin Malik.
Artinya : Ya Allah! Banyakanlah hartanya dan (banyakanlah) anaknya dan berkahilah apa yang engkau telah berikan kepadanya” [Hadits shahih riwayat Bukhari (7/152, 154, 161, 162 dan Muslim 2/128]
Dalam riwayat yang lain yang juga dikeluarkan oleh Imam Bukhari di kitabnya yang lain di luar kitab Shahih-nya yaitu di kitabnya Adabul Mufrad (no. 653), Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya.
“Artinya : Ya Allah ! Banyakanlah hartanya dan anaknya, dan panjangkanlah umurnya dan ampunkanlah ia” [Derajad hadits ini Hasan]
Dari hadits yang mulia ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai umatnya mempunyai banyak anak. Dengan demikian, maka Islam menganjurkan umatnya mempunyai banyak anak dengan maksud dan tujuan yang suci mengikuti ‘Syari’at Rabbul ‘Alamin di antaranya yang terpenting adalah memperbanyak umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau tegaskan (lihat haditsnya di fasal pertama). Keadaan yang demikian membuat orang-orang kuffar ketakutan dan cemas akan banyaknya kaum muslimin. Akhirnya merekapun menakut-nakuti kaum muslimin dam membuat berbagai macam program dalam rangka membatasi kelahiran di negeri-negeri Islam yang pemimpinnya dan para pejabatnya jauh dari nur Islam. Ambil misal, di negeri kita ini –negeri Islam- di masa orde baru rezim Soeharto mencekoki kaum muslimin dengan berbagai macam program KB (Keluarga Berencana) membatasi kelahiran.
“Cukup anak dua saja!”
“Laki-laki perempuan sama saja!?”
Inilah salah satu dari sekian banyak kebodohan Soeharto yang akibatnya dia rasakan sendiri rakyat hidup miskin akibat krisis moneter yang berkepanjangan. Katanya KB itu menjanjikan hidup sejahtera dan sentosa dan lain-lain dari janji-janji muluk. Apa kata orang-orang kuffar kepada kaum muslimin, “Kalau kami mempunyai banyak anak niscaya kamu akan jatuh miskin dan bangkrut karena akan kerepotan dalam mengurusnya dan banyak keluar biaya dan lain-lain kesusahan. Lebih dari itu bumi akan sesak dan perbendaharaannya akan habis dan punah? Dimana kita akan bertempat tinggal dan apa yang akan kita makan!?”
Kita jawab
Pertama : Adapun tidak mau mempunyai anak karena miskin atau takut miskin dan yang berhubungan dengannya dari masalah-masalah pengurusan dan biaya telah kami jawab di fasal kedu.
Kedua : Adapun keyakinan tentang melonjaknya jumlah penduduk yang akan membuat bumi ini sesak dan habis perbendaharaannya adalah keyakinan yang batil dan sesat menyesatkan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
“Artinya : Dan bagi kamu di bumi tempat menetap dan rizki sampai waktu yang telah ditentukan (yakn hari kiamat)” [Al-Baqarah : 36]
“Artinya : Dialah Allah yang menciptakan untuk kamu segala sesuatu di bumi ini semuanya’ [Al-Baqarah : 29]
“Artinya : Allah berfirman : Di bumi kamu hidup dan di bumi kamu mati dan dari bumi itu (juga) kamu akan dibangkitkan” [Al-A’raaf : 25]
“Artinya : Bukankah Kami telah menjadikan bumi (tempat) berkumpul (yang cukup). Untuk orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati”[Al-Mursalat : 25-26]
Dari ayat-ayat di atas kita mengetahui
Pertama : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi tempat tinggal bagi manusia dan tempat yang cukup untuk mereka bagi yang hidup dan yang mati.
Kedua : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sediakan di bumi ini untuk manusia perbendaharaan yang cukup yang tidak akan punah dan habis.
KEUTAMAAN MEMPUNYAI ANAK BANYAK
Artinya : Dari Abu Huarirah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ada seseorang [1] yang diangkat (ditinggikan) derajadnya di jannah (surga)”. Lalu ia bertanya (terheran-heran), “Bagaimana aku bisa mendapat ini (yakni derajad yang tinggi di surga)?”. Dikatakan kepadanya, “(Ini) disebabkan istighfar (permohonan ampun) dari anakmu (kepada Allah) untukmu”.
“Artinya : Dari Abu Hurairah : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila manusia itu telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara.
1). Shadaqah jariyah
2). Atau ilmu yang diambil manfaatnya
3). Anak shalih yang mendo’akannya”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]
Inilah puncak tertinggi dari keutamaan-keutamaan mempunyai anak, yaitu anak yang shalih yang bermanfaat bagi orang tua di dunia dan di akhirat.
Dari hadits ini pun kita mengetahui bahwa tujuan mulia dari mempunyai anak –menurut syari’at Islam- ialah menjadikan anak-anak tersebut menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan anak-anak yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya (birrul walidain). Bukan anak-anak yang durhaka apalagi yang kufur dan lain-lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting sekali dan menentukan. Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Setiap manusia dilahirkan ibunya atas dasar fitrah [2]. Dan kedua orang tuanyalah yang sesudah itu yang menjadikannya sebagai Yahudi dan Nashara dan Majusi. Maka apabila kedua orang tuanya muslim, maka jadilah dia anak muslim..” [Riwayat Muslim dan lain-lain]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lafadz-lafadz ini tidak menunjukkan hanya satu orang saja. Akan tetapi setiap orang tua yang di-istighfarkan oleh anaknya. Kalau dia termasuk ahli jannah maka derajatnya di surga akan diangkat seperti hadits di atas, dan kalau dia termasuk orang yang berdosa dan calon penghuni neraka maka dosa-dosanya akan berkurang atau hapus kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki.
[2]. Menurut Imam Nawawi di Syarh Muslim bahwa pendapat yang lebih shahih fitrah itu maknanya Islam
“Artinya : …dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu (yaitu anak)” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Anas bin Malik dan lain-lain Imam dari kaum Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak (Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas)
Maksudnya : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mencari anak dengan jalan bercampur (jima’) suami istri apa yang Allah telah tentukan untuk kamu.
Cukuplah ayat di atas sebagai dalil yang tegas dan terang bahwa Islam memerintahkan mempunyai anak dengan jalan nikah dan bercampur suami-istri. Dan sekaligus merupakan larangan dan celaan terhadap mereka yang tidak mau mempunyai anak padahal ada jalan untuk memperolehnya dengan qadar Allah.
Dan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” [Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar]
“Artinya : Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Kelengkapan takhrij dua hadits di atas terdapat di kitab besar kami Riyadlul Jannah (no. 172 dan 173).
ISLAM MENGANJURKAN UMATNYA UNTUK MEMPUNYAI BANAK ANAK
Diantara dalil-dalilnya ialah duah hadits yang telah lalu di fasal 1 dari hadits Ma’qil bin Yasar dan hadts Anas bin Malik kemudian hadits yang sangat terkenal di bawah ini yaitu do’a Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Anas bin Malik.
Artinya : Ya Allah! Banyakanlah hartanya dan (banyakanlah) anaknya dan berkahilah apa yang engkau telah berikan kepadanya” [Hadits shahih riwayat Bukhari (7/152, 154, 161, 162 dan Muslim 2/128]
Dalam riwayat yang lain yang juga dikeluarkan oleh Imam Bukhari di kitabnya yang lain di luar kitab Shahih-nya yaitu di kitabnya Adabul Mufrad (no. 653), Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya.
“Artinya : Ya Allah ! Banyakanlah hartanya dan anaknya, dan panjangkanlah umurnya dan ampunkanlah ia” [Derajad hadits ini Hasan]
Dari hadits yang mulia ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai umatnya mempunyai banyak anak. Dengan demikian, maka Islam menganjurkan umatnya mempunyai banyak anak dengan maksud dan tujuan yang suci mengikuti ‘Syari’at Rabbul ‘Alamin di antaranya yang terpenting adalah memperbanyak umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau tegaskan (lihat haditsnya di fasal pertama). Keadaan yang demikian membuat orang-orang kuffar ketakutan dan cemas akan banyaknya kaum muslimin. Akhirnya merekapun menakut-nakuti kaum muslimin dam membuat berbagai macam program dalam rangka membatasi kelahiran di negeri-negeri Islam yang pemimpinnya dan para pejabatnya jauh dari nur Islam. Ambil misal, di negeri kita ini –negeri Islam- di masa orde baru rezim Soeharto mencekoki kaum muslimin dengan berbagai macam program KB (Keluarga Berencana) membatasi kelahiran.
“Cukup anak dua saja!”
“Laki-laki perempuan sama saja!?”
Inilah salah satu dari sekian banyak kebodohan Soeharto yang akibatnya dia rasakan sendiri rakyat hidup miskin akibat krisis moneter yang berkepanjangan. Katanya KB itu menjanjikan hidup sejahtera dan sentosa dan lain-lain dari janji-janji muluk. Apa kata orang-orang kuffar kepada kaum muslimin, “Kalau kami mempunyai banyak anak niscaya kamu akan jatuh miskin dan bangkrut karena akan kerepotan dalam mengurusnya dan banyak keluar biaya dan lain-lain kesusahan. Lebih dari itu bumi akan sesak dan perbendaharaannya akan habis dan punah? Dimana kita akan bertempat tinggal dan apa yang akan kita makan!?”
Kita jawab
Pertama : Adapun tidak mau mempunyai anak karena miskin atau takut miskin dan yang berhubungan dengannya dari masalah-masalah pengurusan dan biaya telah kami jawab di fasal kedu.
Kedua : Adapun keyakinan tentang melonjaknya jumlah penduduk yang akan membuat bumi ini sesak dan habis perbendaharaannya adalah keyakinan yang batil dan sesat menyesatkan. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
“Artinya : Dan bagi kamu di bumi tempat menetap dan rizki sampai waktu yang telah ditentukan (yakn hari kiamat)” [Al-Baqarah : 36]
“Artinya : Dialah Allah yang menciptakan untuk kamu segala sesuatu di bumi ini semuanya’ [Al-Baqarah : 29]
“Artinya : Allah berfirman : Di bumi kamu hidup dan di bumi kamu mati dan dari bumi itu (juga) kamu akan dibangkitkan” [Al-A’raaf : 25]
“Artinya : Bukankah Kami telah menjadikan bumi (tempat) berkumpul (yang cukup). Untuk orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati”[Al-Mursalat : 25-26]
Dari ayat-ayat di atas kita mengetahui
Pertama : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bumi tempat tinggal bagi manusia dan tempat yang cukup untuk mereka bagi yang hidup dan yang mati.
Kedua : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sediakan di bumi ini untuk manusia perbendaharaan yang cukup yang tidak akan punah dan habis.
KEUTAMAAN MEMPUNYAI ANAK BANYAK
Artinya : Dari Abu Huarirah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ada seseorang [1] yang diangkat (ditinggikan) derajadnya di jannah (surga)”. Lalu ia bertanya (terheran-heran), “Bagaimana aku bisa mendapat ini (yakni derajad yang tinggi di surga)?”. Dikatakan kepadanya, “(Ini) disebabkan istighfar (permohonan ampun) dari anakmu (kepada Allah) untukmu”.
“Artinya : Dari Abu Hurairah : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila manusia itu telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara.
1). Shadaqah jariyah
2). Atau ilmu yang diambil manfaatnya
3). Anak shalih yang mendo’akannya”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]
Inilah puncak tertinggi dari keutamaan-keutamaan mempunyai anak, yaitu anak yang shalih yang bermanfaat bagi orang tua di dunia dan di akhirat.
Dari hadits ini pun kita mengetahui bahwa tujuan mulia dari mempunyai anak –menurut syari’at Islam- ialah menjadikan anak-anak tersebut menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan anak-anak yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya (birrul walidain). Bukan anak-anak yang durhaka apalagi yang kufur dan lain-lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting sekali dan menentukan. Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Setiap manusia dilahirkan ibunya atas dasar fitrah [2]. Dan kedua orang tuanyalah yang sesudah itu yang menjadikannya sebagai Yahudi dan Nashara dan Majusi. Maka apabila kedua orang tuanya muslim, maka jadilah dia anak muslim..” [Riwayat Muslim dan lain-lain]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lafadz-lafadz ini tidak menunjukkan hanya satu orang saja. Akan tetapi setiap orang tua yang di-istighfarkan oleh anaknya. Kalau dia termasuk ahli jannah maka derajatnya di surga akan diangkat seperti hadits di atas, dan kalau dia termasuk orang yang berdosa dan calon penghuni neraka maka dosa-dosanya akan berkurang atau hapus kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki.
[2]. Menurut Imam Nawawi di Syarh Muslim bahwa pendapat yang lebih shahih fitrah itu maknanya Islam
Haram Murka Ketika Allah Subhanahu Wa Ta'ala Memberikan Kepadanya Anak-Anak Perempuan
Pada zaman jahiliyyah apabila terdengar suara tangis seorang anak
perempuan kecil yang diseret bapaknya untuk dikubur hidup-hidup adalah
hal yang biasa dan lumrah. Pemandangan yang sering dilihat oleh kedua
mata dan di dengar oleh kedua telinga di zaman dimana manusia hidup
dibawah naungan kegelapan-kegelapan jahiliyyah yang membawa hati-hati
manusia menjadi keras melebihi kerasnya batu gunung. Oleh karena itu
tidaklah aneh kerasnya hati seorang bapak yang mengubur anak
perempuannya hidup-hidup. Entah berapa banyak anak-anak perempuan yang
dikubur hidup-hidup tanpa dosa kecuali untuk menebus rasa malu dari
bapak-bapak mereka yang merasa terhina di tengah-tengah kaum jahiliyyah
hanya karena mereka mendapat anak perempuan!? Entah berapa banyak pula
di zaman jahiliyyah itu muka-muka yang masam dan hitam bercampur
kemarahan yang dalam ketika dikabarkan kepadanya bahwa istrinya telah
melahirkan sorang bayi perempuan?
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Dan apabila anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya [2] karena dosa apakah dia dibunuh?’ [At-Takwir : 8-9]
Artinya : Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (marah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah, ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan berita buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah ! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu” [An-Nahl 58-59]
Cukuplah seorang itu berdosa ketika dia diberi kabar gembira dengan kelahiran bayi perempuannya, kemudian dia marah dan murka atau bermasam muka yang menunjukkan ketidak ridlaanya kepada pemberian Rabbul Alamin!? Alangkah besarnya dosa orang itu disebabkan.
Pertama : Dia membenci dan tidak ridla kepada rizki yang Allah berikan kepadanya berupa seorang bayi perempuan.
Kedua : Dia telah mengikuti akhlak dan sifat kaum jahiliyyah yang sangat membenci anak-anak perempuan sehingga mereka mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan dan anak-anak perempuan mereka.
Terlalu banyak bapak-bapak muslim pada zaman kita hidup sekarang ini yang berakhlak seperti akhlaknya kaum jahiliyyah. Tidak sedikit di antara mereka ketika mendapat kabar gembira bahwa istrinya telah melahirkan sang bayi perempuan mereka menyesal, kusut mukanya dan tidak tampak kegembiraan di wajahnya, marah-marah dan lain-lain dari sifat jahiliyyah. Bahkan tidak sedikit para istri menjadi sasaran kemarahan suami dan mertuanya yang sangat menginginkan anak dan cucu laki-laki hanya karena si istri dan mantu ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melahirkan sang bayi perempuan!!?
Semua itu menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin iman dan ilmu. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Kuasa menentukan laki-laki atau perempuan dan manusia tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun juga!.
Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya : Dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mewakilkan di rahim (perempuan) seorang malaikat. Malaikat itu berkata : Ya Rabbi ! Ini nutfah (mani)! Ya Rabbi, ini ‘alaqah (darah)! Ya Rabbi ini mudlghah (daging)! Maka apabila Allah hendak menentukan menjadi makhluk (yakni manusia) Malaikat berkata ; Apakah laki-laki atau perempuan? Menjadi orang yang celaka atau berbahagia? Apa rizki dan ajalnya? Lalu ditulislah (ketentuan tersebut) di perut ibunya” [Hadits shahih riwayat Bukhari no. 318 dan Muslim 8/46]
Kenapakah kita tidak berkata seperti Imam Ahmad bin Hanbal setiap kali mendapatkan anak perempuan beliau selalu berkata.
“Artinya : Para Nabi itu mereka adalah para bapak bagi anak-anak perempuan” [3]
Ketika orang-orang jahiliyyah membenci anak-anak perempuan dan ketika umumnya orang tua selalu menginginkan anak-anak laki-laki maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahului menyebut perempuan ketika mereka membelakanginya. Firman-Nya : “Dan Ia memberikan kepada siapa yang ia kehendaki anak-anak perempuan”.
Kemudian agama pun menetapkan betapa besarnya ganjaran orang tua yang mengurus, merawat dan mendidik anak-anak perempuannya dengan ihsan sesuai dengan syari’at Rabbul Alamin!
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Dan apabila anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya [2] karena dosa apakah dia dibunuh?’ [At-Takwir : 8-9]
Artinya : Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (marah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah, ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan berita buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah ! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu” [An-Nahl 58-59]
Cukuplah seorang itu berdosa ketika dia diberi kabar gembira dengan kelahiran bayi perempuannya, kemudian dia marah dan murka atau bermasam muka yang menunjukkan ketidak ridlaanya kepada pemberian Rabbul Alamin!? Alangkah besarnya dosa orang itu disebabkan.
Pertama : Dia membenci dan tidak ridla kepada rizki yang Allah berikan kepadanya berupa seorang bayi perempuan.
Kedua : Dia telah mengikuti akhlak dan sifat kaum jahiliyyah yang sangat membenci anak-anak perempuan sehingga mereka mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan dan anak-anak perempuan mereka.
Terlalu banyak bapak-bapak muslim pada zaman kita hidup sekarang ini yang berakhlak seperti akhlaknya kaum jahiliyyah. Tidak sedikit di antara mereka ketika mendapat kabar gembira bahwa istrinya telah melahirkan sang bayi perempuan mereka menyesal, kusut mukanya dan tidak tampak kegembiraan di wajahnya, marah-marah dan lain-lain dari sifat jahiliyyah. Bahkan tidak sedikit para istri menjadi sasaran kemarahan suami dan mertuanya yang sangat menginginkan anak dan cucu laki-laki hanya karena si istri dan mantu ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melahirkan sang bayi perempuan!!?
Semua itu menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin iman dan ilmu. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Kuasa menentukan laki-laki atau perempuan dan manusia tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun juga!.
Perhatikanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
“Artinya : Dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mewakilkan di rahim (perempuan) seorang malaikat. Malaikat itu berkata : Ya Rabbi ! Ini nutfah (mani)! Ya Rabbi, ini ‘alaqah (darah)! Ya Rabbi ini mudlghah (daging)! Maka apabila Allah hendak menentukan menjadi makhluk (yakni manusia) Malaikat berkata ; Apakah laki-laki atau perempuan? Menjadi orang yang celaka atau berbahagia? Apa rizki dan ajalnya? Lalu ditulislah (ketentuan tersebut) di perut ibunya” [Hadits shahih riwayat Bukhari no. 318 dan Muslim 8/46]
Kenapakah kita tidak berkata seperti Imam Ahmad bin Hanbal setiap kali mendapatkan anak perempuan beliau selalu berkata.
“Artinya : Para Nabi itu mereka adalah para bapak bagi anak-anak perempuan” [3]
Ketika orang-orang jahiliyyah membenci anak-anak perempuan dan ketika umumnya orang tua selalu menginginkan anak-anak laki-laki maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahului menyebut perempuan ketika mereka membelakanginya. Firman-Nya : “Dan Ia memberikan kepada siapa yang ia kehendaki anak-anak perempuan”.
Kemudian agama pun menetapkan betapa besarnya ganjaran orang tua yang mengurus, merawat dan mendidik anak-anak perempuannya dengan ihsan sesuai dengan syari’at Rabbul Alamin!
Kematian Bayi Karena Kesalahan Dan Kelalaian Ibunya
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Ada seorang wanita tidur di kasurnya bersama anak perempuannya yang masih kecil, tidak dalam keadaan sakit. Ketika bangun ia mendapati anak perempuannya sudah meninggal. Dan wanita itu tidak mengetahui sebab-sebab kematiannya. Apa yang harus ditanggungnya?
Jawaban
Tidak ada yang harus ditanggungnya, karena pada dasarnya ia terbebas dari tanggung jawab. Tapi apabila diperkirakan bahwa kematiannya disebabkan karena ibunya dan ada bukti-bukti serta tanda-tanda yang menunjukkan hal itu, maka pada saat itu pendapat tadi berubah menjadi kewajiban bagi wanita itu untuk membayar kafarat. Jika tidak ada bukti-bukti selain perasaan gundah dari ibunya (bahwa ia merasa telah menyebabkan kematiannya) maka boleh baginya membayar kafarat untuk berjaga-jaga.
[Fatawa wa Rasailusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 11/370]
WANITA MENYUSUI ANAKNYA DENGAN TIDURAN, KETIKA BANGUN IA MENDAPATI ANAKNYA SUDAH MENINGGAL
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu saya bekerja di ladang semenjak tiga puluh tahun yang lalu. Suatu ketika setelah hari yang berat dan melelahkan ia berkehendak tidur pada malam hari dengan menyusui anak perempuannya yang berumur sekitar tiga bulan, yang tidur disampingnya. Ketika pagi ia mendapati anak perempuannya telah meninggal, dan ia tidak mengetahui sebab-sebab kematiannya, karena tertindih ketika ia tidur, atau mendorong kearah si bayi sehingga payudaranya menutupi mulut bayi tersebut. Apa kewajiban bagi ibunya?
Jawaban
Untuk berjaga-jaga, hendaknya ia melaksanakan puasa selama enam puluh hari berturut-turut, karena secara zhahir ia meninggal dikarenakan ibunya, jika tidak diketahui ada sebab-sebab lain. Dalam kadiah syar’i disebutkan, melaksanakan yang paling selamat dalam kondisi yang meragukan, dengan tujuan untuk menunaikan tanggung jawab terhadap Allah dan hak hamba-Nya. Semoga Allah menolongnya dalam menyempurnakan puasanya.
[Kitab Fatawa Da’wah Syaikh Ibnu Baz, 2/252]
ANAK SELALU MENANGIS KARENA DITINGGAL PERGI IBUNYA HINGGA MENINGGAL DUNIA KARENANYA
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada anak perempuan dalam susuan yang diletakkan ibunya di tempat tidurnya, kemudian ibunya pergi ke anak-anak yang lain dan bersama mereka hingga ketiduran bersama anak-anak. Ketika bangun ia mendapati anak yang ditinggalkannya menangis dengan keras dan bekas tangisan nampak dari mukanya, hingga ia sakit dan di opname di rumah sakit beberapa hari kemudian ia meninggal karenanya. Pertanyaannya , adakah kewajiban kafarat atas ibunya? Dan apa kafaratnya ? Semoga Allah memberi anda pahala.
Jawaban
Jika kondisinya sebagaimana yang dimaksudkan oleh penanya, maka ibu tersebut tidak mempunyai kewajiban apa-apa karena ia tidak berbuat apa-apa yang (secara langsung) menyebabkan kematiannya.
[Fatawa Mar’ah, 20/75]
WANITA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ANAKNYA KARENA KESALAHAN DAN KETIDAKTAHUANNYA
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada wanita yang menyebabkan kematian anak bayinya karena kesalahannya dan ketidaktahuannya, adakah kewajiban kafarat atasnya?
Jawaban
Wanita yang menaruh anaknya di atas drum, tidak diragukan bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan dan perlakuan yang tidak baik kepada anaknya, karena anak seumur ini tidak mungkin dilepaskan di atas drum kecuali ada orang yang bersamanya yang memegangnya. Karena anak seusianya biasanya senantiasa bergerak. Maka jatuhnya dari atas drum, adalah suatu perkara yang sangat mungkin terjadi
Wanita itu wajib bertaubat kepada Allah atas apa yang diperbuatnya dan membayar kafaratnya, yaitu memerdekakan budak, bila tidak mendapatkannya maka dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu melaksanakannya, maka tidak apa-apa, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam hal kafarat membunuh.
“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [An-Nisaa : 92]
YANG LALAI TERHADAP ANAKNYA HINGGA ANAKNYA KENA TUMPAHAN KOPI
Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Ifta Wal Buhuts ditanya : Ada wanita duduk bersama anak berumur sekitar dua tahun, disampingnya ada teko kopi dan teh. Kemudian anak tersebut pergi bermain, sementara ibunya menoleh ke arah lain, karena ia sedang mencuci cangkir-cangkir. Tiba-tiba anaknya datang dan memegang teko kopi hingga ketumpahan kopi yang sangat panas. Ketika terjatuh, air kopi masuk ke dalam perut dalamnya. Setelah dua puluh empat jam anak tersebut meninggal. Wanita tersebut bertanya, adakah kewajiban kafarta atasnya? Apa kafaratnya?
Jawaban
Si penanya lebih tahu tentang kondisi dan situasi yang ada dalam masalah ini. Jika ia memang merasa telah lalai dalam meninggalkan anaknya hingga terjadi hal tersebut dan ia merupakan penyebabnya, maka wajib baginya menunaikan kafarat dalam bentuk memerdekakan budak bila tidak mampu, maka diganti dengan puasa selama dua bulan berturut-turut.
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...