Searching

Berhaji Dari Talangan Bank

Kiblat yang bermuara di Baitullah atau Ka’bah adalah arah-arah Anda setiap kali mendirikan shalat. Tentu arah ini memiliki arti tersendiri dalam hidup Anda. Dan sudah barang tentu hati Anda selalu merindukan untuk memiliki kesempatan beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah. Wajar bila pertama kali Anda berkesempatan untuk beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah, Anda tak kuasa menahan luapan rasa bahagia. Hati Anda berbunga-bunga, dan pikiran Anda terharu dan air matapun mengalir bercucuran. Betapa tidak, arah yang selama ini Anda agungkan ternyata bermuara pada bangunan sederhana, yaitu Ka’bah. Bangunan yang tersusun dari bebatuan hitam, yang sudah barang tentu tidak kuasa memberi Anda apapun.

Kesederhanaan Ka’bah menjadikan Anda menyadari bahwa selama ini ternyata Anda tidaklah menyembah bangunan Ka’bah. Selama ini sejatinya Anda sedang mengagungkan Tuhan Ka’bah, Pencipta dan Penguasa dunia beserta isinya.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِالَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” [Al-Quraisy : 34]

Walau demikian, mata Anda tak akan pernah puas memandang Ka’bah, dan kerinduan akan selalu melekat dalam hati Anda untuk terus berkunjung dan beribadah di dekatnya.

Saudaraku! Fenomena yang Anda rasakan bersama Ka’bah ini sejatinya adalah efek langsung dari kobaran iman Anda kepada Allah Ta’ala. Anda menyadari bahwa Allah-lah yang memerintahkan Anda untuk meghadapkan wajah ke arahnya, karenanya Anda selalu rindu kepadanya.

Begitu kuat kerinduan Anda kepada Ka’bah hingga menjadikan Anda berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengobati kerinduan Anda walau hanya sesaat atau minimal sekali seumur hidup Anda. Sedikit demi sedikit Anda menyisihkan dari hasil kucuran keringat Anda, agar dikemudian hari Anda berkesempatan menikmati kesejukan beribadah di sisi Baitullah Ka’bah. Bahkan mungkin Anda rela menjual berbagai aset Anda, atau bahkan berhutang agar dapat mewujudkan impian Anda ini.

BERHAJI DARI HASIL BERHUTANG
Kerinduan Anda kepada Ka’bah’ menjadikan banyak orang memutar otak dan mencari berbagai terobosan guna mewujudkannya. Dan diantara terobosan yang sekarang banyak ditawarkan ialah dengan mengikuti program arisan atau menggunakan dana talangan haji. Bagi banyak kalangan, program ini terasa bak hembusan angin surga yang mengobati kerinduan hatinya. Akibatnya, banyak dari mereka terbuai dan langsung menerimanya tanpa berpikir lebih dalam tentang hukum dan resikonya.

Andai mereka sedikit meluangkan waktu dan pikiranya guna menimbang-nimbang program ini, nisacaya mereka mewaspadainya, program-program semacam ini, walau pada awalnya terasa empuk, namun pada akhirnya terasa berat dan menyusahkan. Terlebih-lebih bila program dana talangan haji ditinjau dari hukum syar’inya.

Dana talangan haji yang sekarang sedang marak diterapkan di berbagai lembaga keuangan, adalah salah satu bentuk rekayasa melanggar hukum Allah Ta’ala. Praktek yang sekarang sedang menjamur di masyarakat ini sekilas berupa akad qardh (piutang) dan ijarah (sewa menyewa jasa). Dan tidak diragukan bahwa kedua akad ini bila dilakukan secara terpisah adalah halal.

Walau demikian, ketika kedua akad ini dilakukan secara bersamaan dan saling terkait, muncullah masalah besar. Yang demikian itu karena beberapa alasan :

1. Larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli” [HR Abu Dawud hadits no. 3506 dan At-Tirmidzy hadits no. 1234]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :”Pada hadits ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang penggabungan antara piutang dengan jual beli. Dengan demikian bila Anda menggabungkan antara akad piutang dengan akad sewa-menyewa berarti Anda telah menggabungkan antara akad piutang dengan akad jual-beli atau akad yang serupa dengannya. Dengan demikian, setiap akad sosial semisal hibah pinjam-meminjam, hibah buah-buahan yang masih di atas pohonnya, diskon pada akan penggarapan ladang atau sawah, dan lainnya semakna dengan akad hutang piutang, yaitu tidak boleh digabungkan dengan akad jual-beli dan sewa-menyewa” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/62]

2. Riba Terselubung
Secara lahir kreditur tidak memungut tambahan atau riba atau bunga dari piutangnya, namun secara tidak langsung ia telah mendapatkannya, yaitu dari uang sewa yang ia pungut. Anda pasti menyadari bahwa sewa menyewa (jual jasa pengurusan administrasi haji) yang dilakukan oleh lembaga keuangan terkait langsung dengan akad hutang piutang. Biasanya, yang telah memiliki dana sendiri untuk biaya hajinya, tidak akan menggunakan layanan “dana talangan haji” ini. Dengan demikian, adanya talangan dana haji ini, menjadikan lembaga keuangan terkait dapat memasarkan jasanya dan pasti mendapatkan keuntungan dari jual-beli jasa tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dengan berkata : “Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara akad komersial dengan akad sosial. Yang demikian itu karena keduanya menjalin akad sosial disebabkan adanya akad komersial antara mereka. Dengan demikian akad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. Namun akad sosial secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi dalam akad komersial.

Dengan demikian orang yang menghutangkan uang sebesar seribu dirham kepada orang lain, dan pada waktu yang sama kreditur tidak rela memberi piutang kecuali bila debitur membeli barangnya dengan harga mahal. Sebagaimana pembeli tidaklah rela membeli dengan harga mahal melainkan karena ia mendapatkan piutang dari penjual” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/63]

3. Memberatkan Masyarakat
Sistem setoran haji yang diterapkan oleh Departemen Agama dengan online, sehingga dapat dilakukan kapan saja, telah mendatangkan masalah besar. Masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan pembayaran secepat mungkin, guna mendapatkan kepastian jadwal keberangkatan. Akibatnya , banyak dari mereka yang sejatinya belum mampu menempuh segala macam cara, karena khawatir kelak harus menanti lama. Banyak dari mereka yang memaksakan diri dengan cara menggunakan sistem dana talangan haji atau arisan.

Adanya praktek memaksakan diri ini tidak diragukan membebani masyarakat. Terlebih-lebih menjadikan agama Islam yang pada awalnya terasa mudah, sekarang menjadi terasa sulit nan berat. Untuk dapat berhaji harus menanti sekian lama, dan selama penantian banyak dari mereka yang harus tersiksa dengan cicilan piutang. Bahkan sepulang menunaikan ibadah hajipun, sering kali masih menanggung beban cicilan biaya perjalan hajinya.

Sudah barang tentu melaksanakan ibadah dengan cara memaksakan diri semacam ini tentu tidak selaras dengan syariat Islam.


يَاأَيُّهَاالنَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَالأَعْمَالِ مَاتُطِيْقُوْنَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَيَمُلُّ حَتَّى تَمُلُّواوَإِنَّ أَحَبَّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَادُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

“Wahai umat manusia, hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kuasa kalian kerjakan, karena sejatinya Allah tidak pernah merasa bosan (diibadahi) walaupun kalian sudah merasakannya. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah amalan yang dilakukan secara terus menerus, walaupun hanya sedikit” [HR Bukhari hadits dan Muslim]

Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini ketika mendengar cerita bahwa Khaula’ binti Tuwait senantiasa shalat malam dan tidak pernah tidur.

Dan dalam urusan haji Allah Ta’ala berfirman.

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” [Ali-Imran : 97]

Calo Tiket

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, calo berarti orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah. Calo bisa disamakan dengan makelar atau perantara. Dalam hal ini calo tiket dapat diartikan dengan perantara perusahaan pemberi jasa transportasi dan pengguna jasa.

Keberadaan calo sangat dibutuhkan oleh pihak produsen, pemilik barang atau jasa untuk memasarkan barang/jasa yang mereka miliki. Dan juga sangat dibutuhkan oleh para pembeli/pengguna jasa untuk memberikan informasi yang akurat sehingga pihak konsumen dapat menentukan pilihan mereka terhadap barang/jasa sesuai dengan keinginan dan anggaran mereka.

Karena kebutuhan pemilik barang/jasa dan konsumen akan jasa calo maka keberadaan calo sudah dikenal sejak lama dari masa Rasulullah dan qurun mufaddhalah, profesi calo dikenal dengan sebutan dallal atau simsaar.[1]

Pekerjaan mereka di saat itu adalah meneriakkan nama barang serta sepesifikasinya sehingga para pembeli berdatangan ke tempat tersebut untuk membeli barang yang mereka inginkan. Setelah selesai meneriakkan barang, mereka mendapatkan imbalan dari pemilik barang atas pekerjaan mereka. [2]

Atas dasar kebutuhan akan jasa calo dan karena hukum asal muamalat adalah mubah selama tidak terdapat larangan, maka profesi calo dibenarkan dalam Islam serta upah yang mereka dapatkan hukumnya halal. [3]

Kebolehan hukum calo telah dijelaskan oleh para ulama : Imam Bukhari (wafat 256H) berkata : “Bab : Upah calo. Ibnu Sirrin, Atha, Ibrahim An-Nakha’i, Hasan Al-Bashri membolehkan upa calo … dan Ibnu Abas. “[4]

An-Nawawi (ulama mazhab Syafi’i wafat : 676H) berkata : “Upah calo dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya. [5]

An-Najdy (ulama mazhab Hanbali wafat : 1392H) berkata : Upah calo dibayar oleh pemilk barang, ini adalah kebiasaan yang berlaku di pasar. [6]

Namun realita di zaman modern di mana para calo tersebut jauh dari mengenal tuntutan syariat dalam menjalankan profesinya, sering kali mereka melakukan pelanggaran. Hal ini berdampak terhadap rusaknya citra para calo dan terciptalah citra bahwa calo identik dengan sikap pemaksaan serta penipuan, termasuk calo tiket di terminal, pelabuhan dan bandara.

Berikut ini beberapa pelanggaran yang kerap dipraktekkan oleh para calo tiket.

1.Pemaksaan terhadap calon penumpang agar membeli tiket
Sudah menjadi pemandangan umum di beberapa terminal bis antar kota pada musim liburan para calo perusahaan bis berkerumun mendekati orang yang membawa tas koper yang diperkirakan akan menggunakan salah satu jasa angkutan.

Mulai dari menanyakan tujuan perjalanan hingga terkadang menarik-narik barang bawaan calon penumpang dan memaksanya untuk menggunakan jasa angkutan mereka.

Bila ini yang terjadi, calon penumpang membeli tiket perusahaan angkutan tersebut dalam keadaan setengah terpaksa maka sesungguhnya akad jual-beli tiket tidak sah, karena ada unsur pemaksaan [7], serta upah yang didapatkan calo dari usahanya tersebut tidak halal.

Berdasarkan firman Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu” [An-Nisaa : 29]

Maksud suka sama suka dalam ayat diatas tidak ada unsur pemaksaan dari salah satu pihak. Dan bila terdapat unsur pemaksaan, uang hasil imbalan barang dan jasa termasuk memakan harta orang lain dengan jalan yag batil.

2.Tidak jujur dalam memberikan informasi fasilitas jasa angkutan.
Selain setengah memaksa calon penumpang secara fisik, seringkali calo tidak jujur memberikan informasi kepada calon penumpang, seperti ; calo saat ditanya tentang jam keberangkatan ia menginformasikan bis akan berangkat sekarang, padahal ia tahu bahwa bis baru berangkat setelah dua jam kemudian.

Tindakan calo ini merupakan ghissy (penipuan) dalam akad dan hukumnya haram, bahkan sebagian ahli fiqh menempatkan ghissy dalam deretan dosa besar, dengan alasan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [8]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. : “Siapa yang melakukan ghissy (penipuan) dalam akad, tidaklah ia termasuk umatku” [HR Muslim]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. :

فَإِنْ صَدَقَاوَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَافِي بَيْعِهِمَا وَإِ نْ كَذَبَا وَكَتَمَا فَعَسَى أَنْ يَرْبَحَا رِبْحًا وَيُمْحَقَا بَرَ كَةَ بَيْعِهِمَا

“Jika penjual dan pembeli jujur serta menjelaskan cacat barang/jasa niscaya akad jual-beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta serta menyembunyikan cacat barang/jasa dihapus keberkahan dari akad jual-beli mereka” [HR Bukhari dan Muslim]

Ada juga calo tiket jenis lain, yaitu calo tiket kereta api dan pesawat terbang. Mereka membeli ticket sebanyak mungkin sebelum musim liburan. Pada saat jatuh temponya mereka berkeliaran di setasiun dan bandara untuk menjual ticket.

Pelanggaran kaidah muamalat yang sering dilanggar oleh calo jenis ini, diantaranya ;

a.Tindakan calo dengan memborong tiket angkutan umum termasuk bagian dari ihtikar.
Ihtikar adalah membeli sesuatu dengan tujuan menimbunnya, tindakan ini tentu menyebabkan harga menjadi naik dan pada saat itu penimbun menjualnya dengan harga sesukanya, karena pembeli dalam keadaan sangat membutuhkan barang tersebut ia terdesak untuk membelinya.

Ini yang dilakukan oleh calo tiket, ia membeli tiket sebanyak mungkin dengan berbagai cara, kemudian menjualnya lebih tinggi dari harga resmi yang dijual oleh perusahaan pemberi jasa. Karena pada puncak musim liburan tiket biasanya langka dan orang-orang sangat butuh untuk bepergian, kesempatan ini dimanfaatkan oleh calo.

Ihtikar diharamkan Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ احتَكَرَ فَهُوَخَا طِىءٌ

“Orang yang membeli barang dengan tujuan menimbunnya adalah orang yang berdosa” [HR Muslim]

b.Harga tiket yang ditawarkan sangat tinggi
Biasanya calo ini menawarkan harga tiket jauh di atas harga resmi yang dijual oleh perusahaan. Karena pada saat itu tiket sudah habis, maka calon penummpang bersedia membelinya, sekalipun mereka tahu bahwa mereka tertipu.

Sebetulnya, Islam membolehkan seorang penjual mengambil laba sekalipun mencapai 100% atau bahkan lebih.

Seperti dalam kasus yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu wa sallam memberikan uang 1 dinar kepada Urwah agar ia membelikan seekor kambing untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Maka ia mendatangi para pedagang yang membawa kambing untuk dijual di pasar. Ia menawarnya dan mendapatkan 2 ekor kambing. Dalam perjalanan menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seseorang yang menawar seekor kambing seharga 1 dinar maka iapun menjualnnya, lalu memberikan kepada Nabi 1 dinar ditambah 1 ekor kambing

Akan tetapi bila laba yang tinggi disebabkan karena ihtikar yag diakukan oleh pedagang maka laba yang didapatkannya tidak halal. [9]

Oleh karena itu berbeda kasusnya jika seseorang membeli tiket kereta api, kemudian ia berhalangan untuk berangkat dan menjual tiketnya dengan harga melebihi harga resmi, halalnya baginya mendapatkan laba tersebut, karena kenaikan harga bukan hasil ihtikar.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya calo hukumnya halal bila ia tidak melakukan larangan-larangan, seperti ; memaksa pembeli, tidak jujur memberikan informasi, ihtikar dan menarik laba yang tinggi.

Karena jasa calo berkaitan dengan hajat orang banyak sudah selayaknya pihak berwenang dalam hal ini dinas perhubungan untuk menertibkan mereka, sebagaimana dahulu dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa secara langsung onggokan gandum seorang pedagang di pasar Madinah yang ternyata bagian bawahnya tidak layak jual.

Dan bila menemukan kasus ihtkar calo tiket, hendaklah pihak berwenang memaksa mereka menjualnya dengan harga normal agar tidak mendatangkan mudharat bagi khalayak ramai. [10]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “ Terkadang kenaikan harga barang disebabkan oleh tindakan penimbunan barang oleh para pedagang …. Pada saat itu pihak berwenang wajib mematok harga dan memaksa para penimbun menjual barangnya dengan harga normal ditambah laba yang masuk akal …. Agar mereka tidak dianiaya dan orang banyakpun tidak teraniaya” [11]
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid X, hal.151-152
[2]. DR Abdurrahman Al Athram, Al Wisathah At Tijariyah, hal.51
[3]. DR Mubarak Al Sulaiman, Ahkamutta’amul fil Aswaq Al Maliyyah Al Mu’ashirah, jilid 1, hal.38
[4]. Shahih Bukhari
[5]. Raudha At Thalibin, jild IX, hal.69
[6]. Hasyiyah Ar Raudhul Murbi, jilid IV, hal.484
[7]. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid IX, hal.101
[8]. DR Abdullah As Sulamy, Al Ghissy wa Atsaruhu fil uqud, jilif I, hal.484
[9]. DR Abdullah Al Muslih, Malayasa’u at Tajir jahluh, hl.67
[10]. Dr. Fahd Al Hamud, Rtaj al Muamalat, hal. 171
[11]. Hasyiyah Ar Raudhul Murbi. Hal. 318

Praktek Riba Merajalela

Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup umat manusia dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bermaksiat. Karena itu, sudah sepantasnya bila anda mengenali kondisi dan fenomena yang terjadi disekitar anda. Dengan demikian, anda dapat mengambil yang positif dan menghidari yang buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk rayu para penjajanya.

Di antara bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan aplikasinya ialah praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah dimodifikasi sedemikian rupa, sampai-sampai diyakini sebgai “pilar utama” perekonomian umat manusia. System riba yang bertumpu pada pertumbuhan mata uang tanpa dibarengi dengan perputaran barang dan jasa, di zaman sekarang diimani dan ditetapkan di seluruh penjuru dunia. Sebab itu, wajar bila ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam. Yang kuat memakan yang lemah sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.

Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini kami berupaya utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi. Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak terperdaya dengan sebutan dan berbagai propaganda manisnya.

PRAKTEK PERTAMA : KREDIT SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak : pemilik barang, pembeli dan pihak pembiayaan.

Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama.
Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :

• Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
• Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
• Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
• Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama

Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan.

Jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang praktik semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari dan Muslim]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.

قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأ

Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya kedok belaka)”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]

PRAKTEK KEDUA : PERGADAIAN
Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba pegadaian. Telah menjadi budaya di berbagai daerah, pihak kreditur memanfaatkan barang gadai yang diserahkan kepadanya. Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola ladang tersebut dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka kreditur sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik semacam ini tidak diragukan sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” [1]

Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin Musayyib rahimahullah bahwa :

لاَ يَغلِقُ الرَّهْنُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِى رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

Barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang berhutang), miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula kerugiannya” [Riwayat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm : 3/170]

PRAKTEK KETIGA : MENGAITKAN NILAI PIUTANG DENGAN HARGA BARANG

Di antara bentuk riba yang kini telah merajalela di masyarakat ialah mengaitkan nilai piutang dengan nilai emas atau barang lainnya. Bila anda berhutang uang sebesar Rp. 1000.000 lima tahun silam, dan kala itu dengan satu juta anda dapat membeli 5 gram emas, maka ketika melunasi anda diminta membayar sejumlah uang yang dapat digunakan membeli emas seberat 5gram pula. Akibatnya, ketika pelunasan anda harus mengembalikan piutang anda dalam nomnal yang lebih besar. Misalnya bila nilai emas saat pembayaran adalah Rp. 300.000/gram maka anda harus membayar piutang anda sebesar Rp. 1.500.000.

Praktik semacam ini tidak diragukan keharamannya, karena ini nyata-nyata riba, berhutang satu juta kembali satu juta lima ratus ribu rupiah. Hutang piutang adalah salah satu bentuk akad tolong menolong sehingga tidak boleh ada pemikiran untung atau rugi. Yang ada hanyalah itikad baik menolong saudara yang kesusahan atau membutuhkan kepada uluran tangan. Adapun balasan atas uluran tangan ini hanyalah diminta dari Allah Ta’ala semata.

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤ مِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الذُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِىعَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Barangsiapa melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Baragsiapa menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong sudaranya” [Riwayat Muslim hadits no. 7028]

Praktik semacam ini muncul karena doktrin riba telah merasuki jiwa masyarakat. Praktik riba senantiasa memandang suram masa depan, sehinga doktrin inflasi dianggap sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin berubah. Padahal faktanya tidak selalu demikian, karena anda pasti mengetahui bahwa betapa banyak barang yang dahulu memiliki nilai jual dan kini tidak lagi laku dijual.

PRAKTEK KEEMPAT : TUKAR TAMBAH EMAS
Di antara bentuk riba yang banyak ditemukan di masyarakat ialah tukar tambah emas. Emas lama ditukar dengan emas baru, tanpa ada eksekusi fisik terhadap uang hasil penjualan emas lama. Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini terlarang karena ini termasuk riba fadhal yang diharamkan pada hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

Bila anda tidak rela emas baru anda ditukar sama dengan emas lama, maka solusinya ialah belilah dahulu emas lama dengan uang tunai. Dan setelah pembayaran dilakukan dan banar-benar terjadi eksekusi pembayaran, maka dengan uang hasil penjualan itu, penjual bisa membeli emas baru anda. Demikianlah solusi yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari riba pada praktik barter barang sejenis.

اسْتَعْمَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ، فَجَاءَهُ بِتَمْرِجُنَيْبٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ )) فَقَالَ :لاَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ، وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلاَثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((فَلاَ تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جُنَيْبًا))

وَفِي رِوَايَةٍ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((أَوَّهْ عَيْنَ الرِّبَا، لاَ تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ

اشْتَرِ بِهِ


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai tersebut datang menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik. Spontan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh kurma daerah Khaibar demikian ini?” Ia menjawab, “Tidak, Ya Rasulullah, sungguh demi Allah, kami membeli satu takar dari kurma ini dengan dua takar (kurma lainnya), dan dua takar dengan tiga takar”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan, juallah kurma yang biasa dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham tersebut belilah kurma dengan mutu terbaik tersebut”

“Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aduh (itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan. Akan tetapi, bila engkau hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil penjualannya belilah kurma yang bagus” [Riwayat Bukhari hadits dan Muslim hadits]

PRAKTEK KELIMA : JUAL BELI EMAS ONLINE
Kemajuan dunia iformatika telah merambah ke segala lini kehidupan manusia, tanpa terkecuali sektor perniagaan. Dengan bantuan teknologi informasi yang begitu canggih, perniagaan semakin mudah dan berkembang pesat. Akibatnya, anda sebagai pengusaha tidak lagi perlu bepergian jauh untuk menemui kolega anda atau lainnya. Semuanya bisa anda lakukan melalui jaringan internet, baik berjumpa dengan kolega, atau meninjau barang atau kegiatan lainnya. Kemajuan ini tentu merupakan kenikmatan yang sepantasnya anda syukuri dan manfaatkan sebaik mungkin, demi terwujudnya kemaslahatan sebesar mungkin untuk anda

Walau demikian halnya, anda tetap saja harus mengindahkan batas-batas syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan haram. Diantara batasan syari’at yang harus anda indahkan dalam perniagaan ialah ketentuan tunai dalam jual beli emas dan perak. Bila anda membeli atau menjual emas, maka harus terjadi serah terima barang dan uang langsung. Eksekusi serah terima barang dan uang ini benar-benar harus dilakukan pada fisik barang, dan bukan hanya surat-menyuratnya. Penjual menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan pembeli menyerahkan uang tunai, tanpa ada yang tertunda atau terhutang sedikitpun dari keduanya.

Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat ini nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

PRAKTIK KEENAM : KARTU KREDIT
Yaitu suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian transaksi ritel[2] dengan system kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman uang yang dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak penerbit kartu kredit. Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu kredit harus membayar tagihan dalam tempo waktu yang ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.

Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena penggunaan kartu kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap keterlambatan adalah riba.

Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila terjadi keterlambatan? Dengan demikian, bila saya tidak telat maka saya tidak berdosa karena tidak membayar riba atau bunga”.

Saudaraku ! Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat –sehingga tidak pernah tekena penalty- anda telah menyetujui persyaratan haram ini. Persetujuan atas persyaratan haram ini sudah termasuk perbuatan dosa yang tidak sepantasnya anda meremehkan.

Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga anda tidak behutang kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada penggunaan kartu debet sejatinya adalah sewa menyewa jasa transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda menggunakan kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah tagihan dari tabungan anda.

PRKATIK KETUJUH : SUKUK
Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi –sehingga banyak umat Islam yang terperdaya- ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud dalam bentuk jual beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten[3] kepada pemegang obligasi syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.

Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, berikut alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual suatu asset (misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT B yang berperan sebagai emiten. Dan pada akad penjualan disepakati pula :

• Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut setelah jangka waktu tertentu (10 tahun –misalnya)
• Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut selawam waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama. Tentunya dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan bagi-hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.

Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa :

Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah, sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan lancar.

Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset yang bersangkutan[4]

Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian sewa-menyewa yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas karena penjualan kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh tempo seharga waktu jual pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai jual sebenarnya yang berlaku di pasar.

Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik ‘inah sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan harga terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya dengan pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Jual beli ‘inah ini dicela pada hadits berikut.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi (peternakan), merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, nisacaya Allah menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian kembali kepada agama kalian” [5]

PENUTUP
Apa yang dipaparkan di sini hanyalah sebagian dari praktek riba yang banyak beredar di masyarakat. Masih banyak lagi praktek riba yang belum di kemukakan di sini. Semoga apa yang dikemukakan disini dapat menjadi contoh bagi kita sehingga kitasemakin waspada terhadap berbagai perangkap riba, semoga Allah Ta’ala senantiasa menambahkan ilmu yang bermanfaat dan memudahkan amal shalih bagi kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam bish-shawab.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi : 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah : 4/211 dan 213, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah : 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumti : 108-109, dan lain-lain
[2]. Ritel atau retail/retail ialah usaha bersama dalam bidang perniagaan dalam jumlah kecil kepada pengguna akhir (lihat Kamus Bahasa Indonesia – BSE http://bse.kemdiknas.go.id/)
[3]. Emiten badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga untuk diperjualbelikan (lihat KBBI Daring – http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ di akses pada 12 Juli 2011)
[4]. Disarikan dari http://www.managementfile.com/coulum.php?sub=bondsmutual&id=1278&page=bondsmutual&awal=20
[5]. Riwayat Ahmad, Abu Dawud,dan dinyatakan shahih oleh al-Albani, dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah

Risalah Do'a Dan Taubat

Religious Comments Pictures

Keutamaan Dan Kemuliaan Do'a

 
[1]. Do'a adalah ibadah berdasarkan firman Allah :
"Artinya : Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". [Ghafir : 60].

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Syaikh Taqiyuddin Subki berkata : Yang dimaksud doa dalam ayat di atas adalah doa yang bersifat permohonan, dan ayat berikutnya 'an 'ibaadatiy menunjukkan bahwa berdoa lebih khusus daripada beribadah, artinya barangsiapa sombong tidak mau beribadah, maka pasti sombong tidak mau berdoa.

Dengan demikian ancaman ditujukan kepada orang yang meninggalkan doa karena sombong dan barangsiapa melakukan perbuatan itu, maka dia telah kafir. Adapun orang yang tidak berdoa karena sesuatu alasan, maka tidak terkena ancaman tersebut. Walaupun demikian memperbanyak doa tetap lebih baik daripada meninggalkannya sebab dalil-dalil yang menganjurkan berdoa cukup banyak. [Fathul Bari 11/98].

Dari Nu'man bin Basyir bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Doa adalah ibadah", kemudian beliau membaca ayat : "Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu". [Ghafir : 60].

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Imam At-Thaibi berkata : Sebaiknya hadits Nu'man di atas difahami secara arti bahasa, artinya berdoa adalah memperlihatkan sikap berserah diri dan membutuhkan Allah, karena tidak dianjurkan ibadah melainkan untuk berserah diri dan tunduk kepada Pencipta serta merasa butuh kepada Allah. Oleh karena itu Allah mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya : "Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu". Dalam ayat ini orang yang tidak mau tunduk dan berserah diri kepada Allah disebut orang-orang yang sombong, sehingga berdoa mempunyai keutamaan di dalam ibadah, dan ancaman bagi mereka yang tidak mau berdoa adalah hina dina. [Fathul Bari 11/98].

Catatan :
Hadits yang berbunyi :

"Artinya : Doa adalah initi ibadah" [Hadits Dhaif]
[Didhaifkan Al-Albani, Ta'liq 'ala Misykatul Masabiih 2/693 No. 2231]

[2]. Doa adalah ibadah yang paling mulia di sisi Allah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah daripada doa". [At-Timidzi, Sunan Ibnu Majah,
Musnad Ahmad].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa makna hadits tersebut adalah tidak ada sesuatu ibadah qauliyah (ucapan) yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa, sebab membandingkan sesuatu harus sesuai dengan substansinya. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa shalat adalah ibadah badaniyah yang paling utama sehingga hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah.

"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu". [Al-Hujurat : 13].

[3]. Allah murka terhadap orang-orang yang meninggalkan doa, berdasarkan hadits bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan memurkainya". [ At-Tirmidzi].

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Imam At-Thaibi berkata : "Makna hadits di atas yaitu barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Dia akan murka begitu pula sebaliknya Dia sangat senang apabila diminta hamba-Nya". [Fathul Bari ]

Imam Al-Mubarak Furi berkata bahwa orang yang meninggalkan doa berarti sombong dan merasa tidak membutuhkan Allah.

Imam At-Thaibi berkata bahwa Allah sangat senang tatkala dimintai karunia-Nya, maka barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka berhak mendapat murka-Nya.

Dari hadits di atas menunjukkan bahwa permohonan hamba kepada Allah merupakan kewajiban yang paling agung dan paling utama, karena menghindar dari murka Allah adalah suatu yang menjadi keharusan. [Mura'atul Mashabih 7/358]

[4]. Doa mampu menolak takdir Allah, berdasarkan hadits dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa". [At-Tirmidzi]

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud adalah, takdir yang tergantung pada doa dan berdoa bisa menjadi sebab tertolaknya takdir karena takdir tidak bertolak belakang dengan masalah sebab akibat, boleh jadi terjadinya sesuatu menjadi penyebab terjadi atau tidaknya sesuatu yang lain termasuk takdir. Suatu contoh berdoa agar terhindar dari musibah, keduanya adalah takdir Allah. Boleh jadi seseorang ditakdirkan tidak berdoa sehingga terkena musibah dan seandainya dia berdoa, mungkin tidak terkena musibah, sehingga doa ibarat tameng dan musibah laksana panah. [Mura'atul Mafatih 7/354-355].

Syaikh Utsaimin ditanya : "Kita sering mendengar orang berdoa : Ya Allah kami tidak memohon agar takdir kami dirubah akan tetapi kami meminta kelembutan dalam takdir tersebut. Apakah doa tersebut dibolehkan .?"

Jawaban :
Berdoa seperti itu dilarang dan haram sebab doa bisa merubah takdir seperti yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Bahkan orang yang berdoa seperti itu menantang Allah dan seakan mengatakan : "Ya Allah takdirkanlah kepadaku apa saja yang Engkau kehendaki tetapi berilah kelembutan dalam takdir tersebut".

Seharusnya orang yang berdoa berketetapan hati dalam doanya, seperti berdoa : Ya Allah kami memohon rahmat-Mu dan kami berlindung dari siksaan-Mu, dan doa semisalnya. Apabila seorang berdoa kepada Allah agar tidak dirubah takdirnya, maka apa manfaatnya sementara doa bisa merubah takdir, dan bisa jadi takdir tersebut hanya bisa berubah lantaran doa. Yang penting doa tersebut di atas tidak boleh dan hendaknya dihindarkan serta barangsiapa yang mendengar doa seperti itu sebaiknya menasehatinya. [Liqa' Babul Maftuh 5/45-46]

5]. Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak mampu berdoa berdasarkan hadits Nabi bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Orang yang lemah adalah orang yang meninggalkan berdoa dan orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil terhadap salam". [Al-Haitsami, kitab Majma' Az-Zawaid. Thabrani, Al-Ausath. Al-Mundziri, kitab At-Targhib berkata : Sanadnya Jayyid (bagus) dan dishahihkan Al-Albani,As-Silsilah Ash-Shahihah 2/152-153 No. 601].

Imam Manawi berkata bahwa yang dimaksud dengan 'Ajazu an-naasi adalah orang yang paling lemah akalnya dan paling buta penglihatan hatinya, dan yang dimaksud dengan Min 'ajzin 'an ad-dua'i adalah lemah memohon kepada Allah terlebih pada saat kesusahan dan demikian itu bisa mendatangkan murka Allah karena dia meninggalkan perintah-Nya padahal berdoa adalah perkerjaan yang sangat ringan.[Faidhul Qadir 1/556].

Ahli syair berkata.
Janganlah kamu meminta kepada manusia, memintalah
kepada Dzat yang pintu-Nya tidak pernah tertutup.

Allah akan murka jika engkau tidak meminta-Nya,
sementara manusia marah jika sering diminta.
Syair di atas menjadi bantahan terhadap anggapan bahwa yang lebih baik tidak berdoa.

[6]. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan berdoa, barangsiapa yang meninggalkan doa berarti menentang perintah Allah dan barangsiapa yang melaksanakan berarti telah memenuhi perintah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". [Al-Baqarah : 186].

Syaikh Sa'di mengatakan bahwa ayat di atas sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mereka bertanya : Wahai Rasulullah, apakah Allah dekat sehingga kami memohon dengan berbisik-bisik ataukah Dia jauh sehingga kami memanggil-Nya dengan berteriak ? Maka turunlah ayat Allah. [Tafsir At-Thabari dan didhaifkan oleh Imam Ahmad ].

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat". Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Melihat, Maha Mengetahui dan Maha Menyaksikan terhadap sesuatu yang tersembunyi, rahasia dan mengetahui perubahan pandangan mata serta isi hati. Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang meminta dan selalu sanggup mengabulkan permintaan. Maka Allah berfirman : "Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku".

Doa adalah dua macam yaitu doa ibadah dan doa permohonan. Kedekatan Allah dengan hamba-Nya terbagi dua macam yaitu ; kedekatan ilmu-Nya dengan setiap mahluk-Nya dan kedekatan dengan hamba-Nya dalam memberikan setiap permohonan, pertolongan dan taufik kepada mereka.

Barangsiapa yang berdoa kepada Allah dengan hati yang khusyu' dan berdoa sesuai dengan aturan syariat serta tidak ada penghalang diterima doa tersebut seperti makan makanan yang haram atau semisalnya, maka Allah berjanji akan mengabulkan permohonan tersebut. Apalagi bila disertai hal-hal yang menyebabkan terkabulnya doa seperti memenuhi perintah Allah, meninggalkan larangan-Nya baik secara ucapan maupun perbuatan dan yakin bahwa doa tersebut akan dikabulkan. Maka Allah berfirman : "Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hedaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran".

Artinya orang yang berdoa akan berada dalam kebenaran yaitu mendapatkan hidayah untuk beriman dan berbuat amal shalih serta terhindar dari kejahatan dan kekejian. [Tafsir As-Sa'di 1/224-225].

[7]. Imam Zarkasi berkata bahwa konsentrasi dalam berdoa serta menunjukkan sikap rendah, tunduk, penghambaan dan merasa membutuhkan Allah adalah merupakan ibadah yang paling agung bahkan demikian itu menjadi syarat sahnya ibadah.

Allah berjanji akan memberikan pahala orang yang berdoa, meskipun tidak dikabulkan doanya.

[8]. Berdoa adalah menyibukkan diri untuk mengingat Allah sehingga timbul dalam hati rasa pengagungan terhadap kebesaran Allah dan ingin kembali kepada-Nya berhenti dari maksiat. Sering mengetuk pintu mempunyai kesempatan besar untuk masuk, sehingga ada pepatah bahwa barangsiapa yang sering mengetuk pintu, maka suatu saat akan diberi izin masuk sehingga dikatakan :"Diberi kesempatan berdoa lebih baik daripada diberi sesuatu".

[9]. Banyak berdoa bisa menghindarkan bencana dan musibah, sebagaimana firman Allah yang mengkisahkan tentang Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam :

"Artinya : Dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku". [Maryam : 48]

Dan firman Allah tentang Nabi Zakaria 'Alaihis Salam.

"Artinya : Ia berkata :'Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku". [(Maryam : 4) Al-Azhiyah fi Ahkamil Ad'iyah hal. 38-42].

[10]. Sebagian orang hanya berdoa sekali atau dua kali dan setelah merasa tidak dikabulkan, lalu berhenti berdoa. Jelas tindakan seperti itu adalah tindakan yang keliru bahkan dia harus terus menerus mengulangi doanya hingga Allah mengabulkannya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Do'a seorang hamba akan selalu dikabulkan selagi tidak memohon sesuatu yang berdosa atau pemutusan kerabat, atau tidak tergesa-gesa. Mereka bertanya : Apa yang dimaksud tergesa-gesa ? Beliau menjawab : " Dia berkata ; Saya berdoa berkali-kali tidak dikabulkan, lalu dia merasa menyesal kemudian meninggalkan doa". [Shahih Muslim].

Menurut Imam An-Nawawi yang dimaksud menyesal adalah meninggalkan doa. [Shahih Muslim].

Maka seharusnya seorang hamba harus terus berdoa dan tidak boleh bosan serta merasa tidak dikabulkan doanya. Dalam ucapan : "Saya berdoa berkali-kali tetapi tidak dikabulkan".

Syaikh Al-Mubarak Furi mengatakan bahwa Syaikh Al-Qari berkata : "Yang dimaksud dengan kalimat tersebut adalah tidak melihat hasil doa saya. Terkadang merasa doanya lambat dikabulkan atau putus asa dari berdoa dan keduanya tercela. Perlu diketahui, ada waktu tertentu untuk terkabulnya doa, sebagaimana yang diriwayatkan bahwa doa Musa dan Harun agar Fir'aun dihancurkan oleh Allah baru terkabul setelah empat puluh tahun. Adapun berputus asa dari rahmat Allah tidak akan terjadi kecuali atas orang-orang kafir". [Mura'atul Mafatih 7/348].

Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa di dalam hadits di atas terdapat etika berdoa yaitu terus mengajukan permohonan dan tidak berputus asa dalam berdoa sebab demikian itu merupakan bagian dari sikap ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah serta merasa membutuhkan Allah, oleh karena itu sebagian ulama salaf berkata : "Kami lebih takut dihalangi untuk berdoa daripada dihalangi terkabulnya doa".

Imam Ad-Dawudi berkata : "Dikhawatirkan orang yang mengatakan bahwa dia selalu berdoa tetapi tidak dikabulkan maka doanya benar-benar tidak dikabulkan, atau benar-benar tidak dikabulkan penangguhan siksa akhirat atau pengampunan dosa-dosanya".

Imam Ibnul Jauzi berkata : "Ketahuilah bahwa doa orang mukmin tidak mungkin ditolak, boleh jadi ditunda pengkabulannya lebih baik atau digantikan sesuatu yang lebih maslahat dari pada yang diminta baik di dunia atau di akhirat. Sebaiknya seorang hamba tidak meninggalkan berdoa kepada Rabbnya sebab doa adalah ibadah yaitu ibadah penyerahan dan ketundukan kepada Allah". [Fathul Bari 7/348 ]

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa beliau berkata : "Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkena sihir orang Yahudi bernama Lubaid bin A'sham, beliau berkata sehingga seakan-akan Rasulullah melakukan sesuatu padahal tidak melakukannya hingga pada suatu malam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kemudian berdoa dan terus berdoa". [Shahih Muslim]

Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menekankan kepada setiap hamba tatkala tertimpa bencana atau musibah untuk memperbanyak doa dan terus berserah diri kepada Allah. [Shahih Muslim].

Dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa tatkala saya mulai bertempur saat perang Badr saya kembali dengan cepat untuk melihat apa yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang bersujud dan membaca : Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Kekal, Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Kekal, kemudian saya kembali bertempur, lalu saya kembali lagi ke tempat Rasulullah, saya temui beliau dalam keadaan sujud, kemudian saya kembali bertempur lalu saya kembali ke tempat beliau dan saya temui masih membaca doa tersebut sehingga Allah memberikan kemenangan". [ At-Tirmidzi,Dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/98]

Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada seorang muslim berdoa kepada Allah di dunia dengan suatu permohonan kecuali Allah akan mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya, selagi tidak berdoa sesuatu dosa atau pemutusan kerabat. Ada seorang laki-laki dari suatu kaum berkata : Jikalau begitu saya akan memperbanyak (doa). Beliau bersabda : '"Allah mengabulkan doa lebih banyak daripada yang kalian minta". [ At-Tirmidzi,Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul bari 11/98].

[11]. Hadits yang berbunyi.

"Artinya : Allah mencintai orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berdoa". [Hadits Dhaif, Al-Albani berkata dalam Silsilah Dhaifah bahwa hadits ini bathil 2/96-97].

Penghalang-Penghalang Do'a

Banyak orang yang berdoa melakukan perbuatan yang menyebabkan doa mereka ditolak dan tidak dikabulkan, karena kebodohan mereka tentang syarat-syarat doa, padahal apabila tidak terpenuhi salah satu syarat tersebut, maka doa tersebut tidak dikabulkan.

Adapun syarat-syarat yang terpenting antara lain.

[1]. Ikhlas

Sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya". [Ghafir : 14]

Ibnu Katsir mengatakan bahwa setiap orang yang beribadah dan berdoa hendaknya dengan ikhlas serta menyelisihi orang-orang musyrik dalam cara dan madzhab mereka.[Tafsir Ibnu Katsir 4/73]

Dari Abdurrahman bin Yazid bahwa dia berkata bahwasanya Ar-Rabii' datang kepada 'Alqamah pada hari Jum'at dan jika saya tidak ada dia memberikan kabar kepada saya, lalu 'Alqamah bertemu dengan saya dan berkata : Bagaimana pendapatmu tentang apa yang dibawa oleh Rabii'.? Dia menjawab : "Berapa banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan ? Karena Allah tidak menerima doa kecuali yang ikhlas". Saya berkata : Bukankah itu telah dikatakannya ? Dia berkata : Abdullah mengatakan bahwa Allah tidak mendengar doa seseorang yang berdoa karena sum'ah, riya' dan main-main tetapi Allah menerima orang yang berdoa dengan ikhlas dari lubuk hatinya". [Imam Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 2/65 No. 606. Dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani dalam Shahih Adabul Mufrad No. 473. Nakhilah maksudnya adalah iikhlas, Masma' adalah orang yang beramal untuk dipuji atau tenar].

Termasuk syarat terkabulnya doa adalah tidak beribadah dan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Jika seseorang menujukan sebagian ibadah kepada selain Allah baik kepada para Nabi atau para wali seperti mengajukan permohonan kepada mereka, maka doanya tidak terkabulkan dan nanti di akhirat termasuk orang-orang yang merugi serta kekal di dalam Neraka Jahim bila dia meninggal sebelum bertaubat.

[2] & [3]. Tidak Berdoa Untuk Sesuatu Dosa Atau Memutuskan Silaturrahmi

Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu yang berdosa atau pemutusan kerabat kecuali akan diakabulkan oleh Allah salah satu dari tiga ; Akan dikabulkan doanya atau ditunda untuk simpanan di akhirat atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya".[Musnad Ahmad 3/18. Imam Al-Mundziri mengatakannya Jayyid (bagus) Targhib 2/478].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud "tidak berdoa untuk suatu yang berdosa" artinya berdoa untuk kemaksiatan suatu contoh : "Ya Allah takdirkan aku untuk bisa membunuh si fulan", sementara si fulan itu tidak berhak dibunuh atau "Ya Allah berilah aku rizki untuk bisa minum khamer" atau "Ya Allah pertemukanlah aku dengan seorang wanita untuk berzina". Atau berdoa untuk memutuskan silaturrahmi suatu contoh : "Ya Allah jauhkanlah aku dari bapak dan ibuku serta saudaraku" atau doa semisalnya. Doa tersebut pengkhususan terhadap yang umum. Imam Al-Jazri berkata bahwa memutuskan silaturahmi bisa berupa tidak saling menyapa, saling menghalangi dan tidak berbuat baik dengan semua kerabat dan keluarga.

[4]. Hendaknya Makanan Dan Pakaian Dari Yang Halal Dan Bagus

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan :

"Artinya : Seorang laki-laki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi dan berdoa : Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimana doanya bisa terkabulkan.?" [Shahih Muslim, kitab Zakat bab Qabulus Sadaqah 3/85-86].

Imam An-Nawawi berkata bahwa yang dimaksud lama bepergian dalam rangka beribadah kepada Allah seperti haji, ziarah, bersilaturrahmi dan yang lainnya.

Pada zaman sekarang ini berapa banyak orang yang mengkonsumsi makanan, minuman dan pakaian yang haram baik dari harta riba, perjudian atau harta suap yang yang lainnya. [Syarh Shahih Muslim 7/100].

Ahli Syair berkata.

"Kita berdoa dan menyangka doa terangkat padahal dosa menghadangnya lalu doa tersebut kembali. Bagaimana doa kita bisa sampai sementara dosa kita menghadang di jalannya". [Al-Azhiyah dalam Ahkamil Ad'iyah hal. 141].

[5]. Tidak Tergesa-gesa Dalam Menunggu Terkabulnya Doa

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda.

"Artinya : Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan : Saya telah berdoa tetapi belum dikabulkan". [Shahih Al-Bukhari, kitab Da'awaat 7/153. Shahih Muslim, kitab Do'a wa Dzikir
8/87]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : Yang dimaksud dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Saya berdoa tetapi tidak dikabulkan", Ibnu Baththaal berkata bahwa seseorang bosan berdoa lalu meninggalkannya, seakan-akan mengungkit-ungkit dalam doanya atau mungkin dia berdoa dengan baik sesuai dengan syaratnya, tetapi bersikap bakhil dalam doanya dan menyangka Alllah tidak mampu mengabulkan doanya, padahal Dia dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan tidak pernah habis pemberian-Nya. [Fathul Bari 11/145].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa Imam Al-Madzhari berkata : Barangsiapa yang bosan dalam berdoa, maka doanya tidak terkabulkan sebab doa adalah ibadah baik dikabulkan atau tidak, seharusnya seseorang tidak boleh bosan beribadah. Tertundanya permohonan boleh jadi belum waktunya doa tersebut dikabulkan karena segala sesuatu telah ditetapkan waktu terjadinya, sehingga segala sesuatu yang belum waktunya tidak akan mungkin terjadi, atau boleh jadi permohonan tersebut tidak terkabulkan dengan tujuan Allah mengganti doa tersebut dengan pahala, atau boleh jadi doa tersebut tertunda pengabulannya agar orang tersebut rajin berdoa sebab Allah sangat senang terhadap orang yang rajin berdoa karena doa memperlihatkan sikap rendah diri, menyerah dan merasa membutuhkan Allah. Orang sering mengetuk pintu akan segera dibukakan pintu dan begitu pula orang yang sering berdoa akan segera dikabulkan doanya. Maka seharusnya setiap kaum Muslimin tidak boleh meninggalkan berdoa. [Mir'atul Mafatih 7/349].

Syubhat.

Allah berfirman.

"Artinya : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu". (Ghafir : 60).

Banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan, kalau seandainya ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya pasti tidak mungkin doa tersebut ditolak.

Hafizh Ibnu Hajar menjawab bahwa setiap orang yang berdoa pasti terkabulkan tetapi dengan bentuk pengkabulan yang berbeda-beda, terkadang apa yang diminta terkabulkan, atau terkadang diganti dengan sesuatu pemberian lain, sebagaimana hadits dari 'Ubadah bin Shamit bahwasanya NabiShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada seorang muslim di dunia berdoa memohon suatu permohonan melainkan Allah pasti mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya". [Fathul Bari 11/98].

[6] &[ 7] Hendaknya Berdoa Dengan Hati Yang Khusyu' Dan Yakin Bahwa Doanya Pasti Akan Dikabulkan

Dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Hati itu laksana wadah dan sebahagian wadah ada yang lebih besar dari yang lainnya, maka apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah kepada-Nya sedangkan kamu merasa yakin akan dikabulkan karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai". [Musnad Ahmad 2/177, Mundziri dalam kitab Targhib 2/478, Al-Haitsami dalam Majma Zawaid 10/148]

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi : " dan kalian yakin akan dikabulkan", adalah pengharusan artinya berdoalah sementara kalian bersikap dengan sifat yang menjadi penyebab terkabulnya doa. Imam Al-Madzhari berkata bahwa hendaknya orang yang bedoa merasa yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya sebab sebuah doa tertolak mungkin disebabkan yang diminta tidak mampu mengabulkan atau tidak ada sifat dermawan atau tidak mendengar terhadap doa tersebut, sementara kesemuanya sangat tidak layak menjadi sifat Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Tahu dan Maha Kuasa yang tidak menghalangi doa hamba-Nya. Jika seorang hamba tahu bahwa Allah tidak mungkin menghalangi doa hamba-Nya, maka seharusnya kita berdoa kepada Allah dan merasa yakin bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah.

Seandainya ada orang yang mengatakan bahwa kita dianjurkan agar kita selalu yakin bahwa doa kita akan terkabulkan dan keyakinan itu akan muncul jika doa pasti dikabulkan, sementara kita melihat sebagian orang terkabul doanya dan sebagian yang lainnya tidak terkabulkan, bagaimana kita bisa yakin ?

Jawab.
Orang yang berdoa pasti terkabulkan dan pemintaannya pasti diberikan kecuali bila dalam catatan azali Allah doa tersebut tidak mungkin dikabulkan akan tetapi dia akan dihindarkan oleh Allah dari musibah semisalnya dengan permohonan yang dia minta sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits. Atau diberi ganti yang berupa pahala dan derajat di akhirat. Karena doa adalah ibadah dan barangsiapa yang beribadah dengan baik, maka tidak mungkin akan dihalangi dari pahala.

Yang dimaksud dengan sabda Nabi : "dari hati yang lalai" adalah hati yang berpaling dari Allah atau berpaling dari yang dimintanya. [Mir'atul Mafatih 7/360-361].

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...