Memaafkan
Dalam hidup ini terkadang hati perih dan terluka bukan karena orang lain namun seringkali justru dilakukan oleh orang yang kita cintai.
Luka itu hanya bisa sembuh dengan memaafkan.
Sadarilah dan belajar menerima rasa sakit hati kita bukan karena perbuatan orang lain tetapi hal itu sebabkan betapa rapuhnya hati kita.
Cobalah belajar memahami bahwa setiap tindakan yang membuat kita sakit hati adalah ujian dan cobaan yang datangnya dari Allah agar kita senantiasa meningkatkan kualitas hidup kita menjadi Insan yang bertakwa kepada Allah.
Memaafkan berarti berprasangka baik kepada Allah bahwa apapun yang terjadi, meski peristiwa yang menyakitkan sekalipun tentu ada hikmahnya. Yakni Merupakan proses pendewasaan dalam hidup kita agar kita menjadi orang yang senantiasa bersyukur dan bersabar dalam menjalani hidup ini.
‘Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam segala urusannya.’ (QS. Ath-Thalaq : 4).
Aku Menunggumu
“Afwan (maaf) Ukhti[1], semoga ini tidak melukai Anti [2] dan keluarga Anti . Ana [3] pikir sudah saatnya Ana memberi keputusan tentang “proses” kita. Ya…, seperti yang Anti ketahui bahwa selama ini Ana telah berusaha melobi orang tua dengan beragam cara mulai dari memahamkan konsep nikah “versi” kita, memperkenalkan Anti pada mereka hingga melibatkan orang yang paling ayah percaya untuk membujuk ayah agar mengizinkan Ana untuk menikahi Anti .”
“Namun hingga sekarang nggak ada tanda-tanda mereka akan melunak, jadi menurut Ana…, sebaiknya Ana
mundur saja dari “proses” ini!” Dana diam sejenak untuk menunggu respon
dari seberang, tapi hingga beberapa detik tidak ada tanggapan. “Perlu Anti ketahui bahwa orang tua Ana sebenarnya sudah tidak keberatan dengan Anti hanya saja Timing-mya (waktu) belum tepat. Ayah Ana khawatir Ana tidak mampu menafkahi Anti jika belum bekerja. Apalagi Anti juga masih kuliah. Jadi Ana rasa, ahsan (lebih baik) kita nggak komitmen dulu hingga keadaannya membaik! Anti nggak keberatan kan Ukhti?”
“Keberatan…? Alhamdulillah nggak! Namun kalau Ana
boleh kasih saran, apa tidak lebih baik kalau kita terus melobi sambil
tetap proses saja. Soalnya kan kita sudah mantap satu sama lain, nggak
enak kalau mundur di saat seperti ini. Apalagi permasalahannya sudah
mulai mengerucut ke arah ma’isyah (penghasilan) saja.
“Anta [4] pasti masih ingat gimana sulitnya awal
kita membujuk orang tua, rasanya semua kriteria kita ditolak. Segala
keterbatasan kita jadi aib yang sangat besar, pokoknya semua jalan
sepertinya sudah tertutup rapat. Namun kenyataannya hanya dalam waktu 2
minggu kita bisa menghilangkan semua syarat menjadi satu syarat saja:
PEKERJAAN!”
Dini, gadis tegar itu akhirnya bicara juga. “Akhi [5]…,kita hanya tinggal selangkah, tetaplah ber-ikhtiar dan jangan putus asa. Bukankah Allah Maha membolak-balikkan hati?”
“Benar, Ana paham soal itu, Ana memang akan tetap melobi orang tua Ana, akan tetapi kalau kita terikat, Ana khawatir menghalangi Anti proses dengan ikhwan lain yang lebih selevel dibanding Ana. Lagi pula Ana khawatir tidak bisa menjaga hati”.
“Takut menghalagi Ana untuk proses dengan ikhwan lain? Itu kan urusan Allah bukan urusan Anta! Kewajiban Anta sekarang adalah berjuang mempertahankan sesuatu yang Anta sudah mantap dengannya. Hasil istikharah itu nggak mungkin salah. Tinggal bagaimana cara kita mengaplikasikannya saja.”
Hening sejenak….
“Ya….tapi kalau memang Akhi sudah merasa syak (ragu) terhadap Ana dan mantap untuk mundur, Alhamdulillah. InsyaAllah Ana akan dukung sepenuhnya”.
“Nggak!!” Reflek Dana berteriak.
“Astaghfirullahaladzim, Afwan (maaf) maksud Ana, Ana sama dengan keluarga Ana sudah tidak syak pada Anti , kami sangat menyukai Anti dan keluarga Anti . Selain itu Ana juga takut perasaan ini semakin mendalam, Ana ini hanya hamba yang dhaif (lemah) yang masih kesulitan mengekang hawa nafsu”.
Dana berhenti lagi, dadanya terasa sesak, air matanya
mengalir semakin deras. Jauh di dalam hatinya, sesungguhnya ia merasa
malu pada Allah atas kelalaiannya, jatuh cinta!
“Halo…!!” Dini merasa Dana diam terlalu lama. Dia tidak
tahu kalau pemuda itu sedang menangis. Tapi dia mengerti apa yang sedang
terjadi padanya. “Ya udah…, kalau begitu sekarang kita sepakat untuk
membatalkan “proses” ini!!! Setelah ini insyaallah kita tidak akan lagi berhubungan kecuali untuk keperluan syar’i yang sangat darurat, iya kan?”
Dini sengaja memberi jeda agar Dana bicara, tapi ikhwan itu memilih terus diam “Akhi …kita
tetap baik ya! Hubungan dengan keluarga harus tetap dijaga, jangan
suudzdzon pada ayah dan bunda karena bisa jadi keputusan mereka adalah
salah satu dari jalan Allah untuk menguji kita”. Dini berhenti lagi tapi
Dana masih enggan berkomentar.
“Laa Tahzan, ya Akhi …, insyaallah kalau
kita niatkan semuanya demi keridhaan Allah, maka Dia akan mencatat bagi
kita pahala yang besar. Afwan jika selama proses ta’aruf ini…Ana, teman-teman, dan keluarga Ana banyak melakukan kekhilafan. Ana mewakili mereka dan diri Ana sendiri untuk memohon maaf pada Anta.
Bersabarlah karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar…”
Samar, Dini mendengar isak tangis di seberang. Dia nyaris tidak percaya…
“Semoga ini bisa menjadi mahar cinta kita pada Allah dan semoga Akhi mendapat ganti yang lebih baik…’ Amin.”
Suara isak tangis makin terdengar jelas.
“Akhi …kalau sudah nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, tafadhal (silahkan) diakhiri!”
Tidak ada tanggapan.
“Halo…!!?. Ya udah, kalau gitu biar Ana yang tutup telponnya, ya…?”
Sepi.
“Assalamualaikum!” “Klik”.
Percakapan diantara mereka berakhir, tapi Dana baru
menyadarinya. Dia segera bergegas wudhu dan shalat. Jujur, sebenarnya
dia sudah sangat mantap dengan mantan calon istrinya itu…Namun dia tidak
yakin dapat membahagiakan akhwat itu kalau dirinya belum bisa menafkahi dengan layak.
Padahal Dini dan keluarganya tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sangat wellcome padanya. Ah…,mungkin ini sudah takdirnya. Mungkin Allah melihat bahwa akhwat itu terlalu baik utnuk dirinya. Mungkin seharusnya akhwat sekaliber dia, mendapatkan ikhwan yang jauh lebih baik dari dirinya. Dia benar-benar merasa tidak level!!
“Ya…, ikhwan lemah sepertiku, mana mungkin
mendapatkan seorang Dini. Populer tapi tetap rendah hati, tegar,
bijaksana, wara’, zuhud, qanita, qanaah…Pokoknya semua sifat baik ada
padanya. Sedangkan aku, semoga aku nggak akan menyakiti akhwat lain
setelah ini.”
Astaghfirullahaladzim…, apa yang telah kusombongkan selama ini? Sudah ikut mulazamah
(berguru dengan ustadz) bertahun-tahun tapi masih belum berani
mengamalkan ilmu yang kudapat sedikit pun. Katanya percaya bahwa orang
yang menikah pasti akan dijamin rezekinya oleh Allah, ternyata aku nggak
lebih hanya seorang ikhwan pengecut.
Dana tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Dia benar-benar merasa tak berarti.
“Dulu…., aku pernah begitu khusyu’ berdoa pada Allah agar
dipertemukan dengan akhwat shalihah yang nggak banyak permintaan seperti
dia. Sekarang ketika sudah dapat, malah kusia-siakan. Kini aku sadar
bahwa Allah selalu mengabulkan permohonan hamba-Nya. Manusialah yang
selalu kufur terhadap rabb-nya.”
Di tempat yang berbeda, Dini menjalani hari-harinya dengan
penuh semangat. Dia tetap ceria seperti biasanya. Ya…, seperti tidak
pernah terjadi apa-apa. Kecewa? Jelas ada, karena dini juga hanya
manusia biasa. Namun dia bisa mengemas kekecewaannya dengan manis,
membuat kesedihannya menjadi sesuatu yang lumrah dari proses kehidupan.
Dia percaya bahwa hatinya tidak mungkin berbohong dan janji
Allah pasti terjadi. Maka sesulit apapun kondisi yang dihadapi saat
itu, dia mencoba untuk tetap tersenyum. Jujur, aku bangga padanya.
“Aku sudah mantap dengannya, kak. Aku yakin dialah jodohku. Aku akan terus menunggunya…”
Sepekan kemudian, Dana menitipkan biodata ikhwan lain yang merupakan teman dekatnya untuk diberikan pada Dini. Menurutnya, Ikhwan itu bisa membahagiakan Dini karena sudah matang dan punya pekerjaan tetap. Jelas, Aku Tahu bahwa pendapatnya keliru.
Dini bukan mengharap ikhwan yang matang dan mapan.
Dia hanya mengikuti kata hatinya saja. Diniku tidak akan bahagia hanya
dengan harta dan tahta. Namun, tak urung diterima juga biodata itu. Dan
bisa ditebak, bagaimana reaksi Dini saat kuberikan empat lembar kertas
berukuran A4 itu. Dini menggelang pasti.
“Anti coba istikharah-kan dulu. Barangkali semuanya bisa berubah…,” bujukku.
“Jazakumullah khair, tapi…Afwan tolong jangan paksa Ana, Kak!”
***Cacatan redaksi
Ikhwan fillah, mungkin sebagian Anda akan
menganggap Dana sebagaimana penilaian Dana terhadap dirinya sendiri.
Pengecut, jahil, dan sifat-sifat buruk yang lainnya. Tapi bagi saya,
Dana tidaklah seburuk itu, justru sebaliknya, Dana dalam pandangan saya
adalah ikhwan yang baik.
Dia berani mengambil resiko dengan mundur dari proses dan
memilih untuk bersabar melawan nafsunya. Padahal kalau dia mau, dengan
sikap Dini yang penurut, dia bisa minta untuk tetap meneruskan hubungan
dengan gadis pilihannya itu. Namun dia tahu bahwa di atas segalanya,
Allah-lah yang patut utnuk lebih dicintai.
Dana yakin bahwa jodoh adalah kekuasaan Allah dan Dia tetah
menetapkannya 50 ribu tahun sebelum semesta ada. Dia tahu kalau jodoh
pasti akan ketemu lagi, bagaimanapun caranya. Mungkin Dini tidak akan
pernah tahu kalau biodata yang kusodorkan kemarin adalah kiriman Dana.
Mungkin Dana juga tidak akan pernah tahu kalau ternyata
Dini akan terus menunggunya. Dan mereka juga tidak boleh tahu bahwa
diam-diam aku selalu mendoakan kebaikan untuk mereka. Entah bagaimana ending kisah ini nantinya, yang pasti aku selalu berharap agar masing-masing dari mereka mendapatkan ganti yang lebih baik. Segera…..
Taubatnya Sang Jagoan
Awal 1993
Aku lega, urusanku dengan pihak kepolisian tidak berlanjut lebih panjang lagi. Hal itu karena masalah tawuran di sekolah kami bisa diselesaikan dengan damai. Inilah pertama kalinya aku berurusan dengan polisi. Seorang siswa kelas 3 SMP, yang masih mengenakan celana pendek ketika sekolah, tapi sudah berani ikut tawuran. Masalahnya? Ah, aku sendiri lupa. Yang pasti, justru ada rasa bangga di hatiku. Orang tuaku tidak boleh tahu hal ini. Surat panggilan untuk mereka sudah kubuang jauh-jauh tadi.
Aku lega, urusanku dengan pihak kepolisian tidak berlanjut lebih panjang lagi. Hal itu karena masalah tawuran di sekolah kami bisa diselesaikan dengan damai. Inilah pertama kalinya aku berurusan dengan polisi. Seorang siswa kelas 3 SMP, yang masih mengenakan celana pendek ketika sekolah, tapi sudah berani ikut tawuran. Masalahnya? Ah, aku sendiri lupa. Yang pasti, justru ada rasa bangga di hatiku. Orang tuaku tidak boleh tahu hal ini. Surat panggilan untuk mereka sudah kubuang jauh-jauh tadi.
Ah, aku tak peduli. Toh selama ini mereka tidak pernah
memperhatikanku, sibuk dengan urusannya sendiri. Keluargaku memang bukan
golongan jet set, meski demikian kebutuhan materiku lebih dari
tercukupi. Tapi aku heran, kenapa aku jarang berkomunikasi dengan
mereka? Hingga sebesar ini, aku belum juga bisa mengaji dan shalat.
Tidak ada yang mengajariku tentang agama, apalagi keluargaku sendiri
masih awam. Tapi, siapa peduli?
Tahun 1994
Sekarang aku sudah duduk di SMA favorit di kotaku. Tapi kebandelanku bukannya berkurang, justru semakin bertambah. Aku sudah lupa, berapa kali aku terlibat perkelahian dengan alasan yang tidak jelas, bolos sekolah, dan merokok.
Sekarang aku sudah duduk di SMA favorit di kotaku. Tapi kebandelanku bukannya berkurang, justru semakin bertambah. Aku sudah lupa, berapa kali aku terlibat perkelahian dengan alasan yang tidak jelas, bolos sekolah, dan merokok.
Hingga suatu hari aku bertemu dengan seorang teman, yang mengajariku
untuk berguru pada orang “pintar”. Kuterima tawaran itu dengan senang
hati. Satu hal yang harus kupantang atas anjuran “kyai” agar berhasil
yakni aku harus menjahui “molimo”. Maka senakal-nakalnya aku, tidak
pernah sampai mabuk, bahkan pacaran pun aku tidak pernah, demi menjalani
perintah itu.
Sekarang jimat jadi andalanku. Agar penampilanku tambah “gagah”, sering aku mengenakan anting di hidung atau di alis. Meski demikian, aku tetap saja memiliki katakutan di sisi hatiku yang dalam. Aku takut jika tiba-tiba ada orang yang menusukku dari belakang, atau tanpa sepengetahuanku menyerang dengan senjata tajam.
Sekarang jimat jadi andalanku. Agar penampilanku tambah “gagah”, sering aku mengenakan anting di hidung atau di alis. Meski demikian, aku tetap saja memiliki katakutan di sisi hatiku yang dalam. Aku takut jika tiba-tiba ada orang yang menusukku dari belakang, atau tanpa sepengetahuanku menyerang dengan senjata tajam.
Dengan “prestasiku” itu, hampir setiap “pekerja jalanan” mengenalku.
Aku mengenal sopir angkot, kernet, tukang ojek, tukang becak, dan
orang-orang terminal, karena memang di situ aku bergaul. Ya… di rumah
aku jadi anak manis karena memang sikapku yang kalem, tapi diluar aku
bisa bertindak seenaknya. Meski demikian, aku merasa ada sesuatu yang
masih ingin kumiliki, entah apa itu.
Hari ini pertama kalinya aku melihat ibuku menangis, hanya karena aku
pamit mau ke jogja dan tinggal agak lama di sana. Dan untuk pertama
kalinya pula aku menyadari, ternyata selama ini orang tuaku sangat
memperhatikanku. Aku telah salah menilai. Rasanya aku ingin minta maaf
pada ibuku. Tapi jiwa remajaku melarangnya.
Berhari-hari aku merenungi peristiwa itu. Ada keinginan untuk memperbaiki diri. Tapi bagaimana caranya?
Akhir 1995
Aku sudah kelas 3 SMA. Meski demikian, tidak terlintas sama sekali dalam benakku apa yang akan kulakukan setelah lulus. Ketika teman-teman yang lain sibuk belajar, aku lebih suka nongkrong dengan teman-temanku.
Aku sudah kelas 3 SMA. Meski demikian, tidak terlintas sama sekali dalam benakku apa yang akan kulakukan setelah lulus. Ketika teman-teman yang lain sibuk belajar, aku lebih suka nongkrong dengan teman-temanku.
Hingga suatu malam, saat aku nongkrong seperti biasa, aku mendengar
ada suara pengajian dari radio. Suaranya cukup keras, hingga bisa
terdengar dengan jelas. Awalnya aku tidak menggubris suara itu, namun
tiba-tiba,”….Allah tidak akan mengampuni bosa syirik….” mubaligh
tersebut mengutip suatu ayat Al-Quran. Aku sendiri tidak tahu apa
kelanjutannya, tapi entah kenapa, tiba-tiba aku merasa takut mendengar
ayat tadi.
Rasanya seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh suara tadi. Dan entah
kenapa, aku seperti mendengar suara itu berulang-ulang,”….Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik…” Bukankah apa yang kulakukan selama ini
adalah kesyirikan (seperti guru agama pernah menerangkan kepadaku)? Ya,
aku telah bergelut dengan jimat, tenaga dalam, dan tetek bengeknya yang
semuanya adalah syirik. Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku?
Lantas buat apa aku hidup jika jelas-jelas dosaku tidak diampuni
oleh-Nya?
Malam itu aku benar-benar tidak dapat memejamkan mata. Aku gelisah
sekali. Ya, sebandel-bandelnya kau ternyata masih takut dengan dosa dan
neraka. Berhari-hari aku mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga
suatu malam, di saat kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan
untuk menemui seorang kyai. Aku melihat jam, sudah jam 12 malam, tapi
aku tidak peduli, aku harus segera menemukan jawaban.
Kunaiki motorku dengan seorang teman, menuju rumah seorang kyai yang
cukup ternama. Di sana aku mendapatkan penjelasan panjang lebar. Tapi
aku merasa tidak puas dengan jawaban yang ku dapat. Esoknya kuajak
temanku untuk menemui ustadz yang lain. Beberapa orang sudah kutanya,
dari beberapa toloh organisasi Islam, maupun tokoh agama yang kuanggap
mampu. Tapi dari semua jawaban yang mereka berikan tidak ada yang
memuaskanku. Mereka mengatakan bahwa apa yang kulakukan hanyalah
perantara atau wasilah, jadi tidak termasuk syirik. Namun entah kenapa,
hatiku menolak jawaban itu.
Awal 1996
Aku memutuskan untuk mencari sendiri jawabannya. Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan, untuk mencari buku-buku agama. Aku membaca seperti orang yang kehausan kemudian menemukan tetesan-tetesan air. Semua buku yang ada dari tipis sampai yang tebal kulalap habis, jika belum selesai aku sangat penasaran. Aku mulai mendekati teman-teman ROHIS, kupinjam buku-buku mereka. Sekarang aku makin benyak bergadang, tapi bukan untuk nongkrong seperti dulu, melainkan membaca buku yang sudah kupinjam sebelumnya. Aku sendiri heran, kekuatan dari mana yang mampu mendorongku begitu semangatnya untuk menekuni buku demi buku tiap harinya? Tentunya semua atas kehendak-Nya.
Aku memutuskan untuk mencari sendiri jawabannya. Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan, untuk mencari buku-buku agama. Aku membaca seperti orang yang kehausan kemudian menemukan tetesan-tetesan air. Semua buku yang ada dari tipis sampai yang tebal kulalap habis, jika belum selesai aku sangat penasaran. Aku mulai mendekati teman-teman ROHIS, kupinjam buku-buku mereka. Sekarang aku makin benyak bergadang, tapi bukan untuk nongkrong seperti dulu, melainkan membaca buku yang sudah kupinjam sebelumnya. Aku sendiri heran, kekuatan dari mana yang mampu mendorongku begitu semangatnya untuk menekuni buku demi buku tiap harinya? Tentunya semua atas kehendak-Nya.
Kebiasaanku mulai kutinggalkan, teman-teman gengku juga mulai
kujauhi, dan aku mulai jadi pendiam. Banyak yang heran melihat
perubahanku yang sedrastis itu.
Aku mulai menjalankan shalat. Meski awalnya agak kaku, tapi
kubulatkan tekadku untuk menjaga kewajibanku ini. Subhanallah, aku yang
dulu merasa malu jika ketahuan shalat, karena akan menurunkan
“wibawaku”, sekarang harus belajar dari nol tentang bacaan shalat. Aku
juga mulai bertekad belajar mengaji, maka kutemui seorang ustadz di
kampungku untuk belajar. Dan, hanya karena pertolongan dari Allah, aku
sudah mampu membaca Al-Quran hanya dalam waktu seminggu. Allahu Akbar!
Dari membaca pula aku tahu bahwa merokok haram hukumnya. Maka tanpa
menunggu waktu lagi, segera kutinggalkan rokok. Aku benar-benar mendapat
pertolongan dari Allah, hingga mampu melakukan semua itu. Dari sebuah
buku aku juga tahu, bahwa pakaian bagi laki-laki tidak boleh melebihi
mata maki, dan sunnah memanjangkan jenggot. Maka sejak saat itu, aku
mulai mengubah penampilanku.
September 1996
Sekarang aku mahasiswa sebuah PTS di Solo. Tempat yang pertama kucari adalah perpustakaan. Aku memang sudah “keranjingan” membaca buku-buku agama. Dan alhamdulillah, di sini referensinya lebih lengkap. Maka, aku mulai berkutat dengan buku-buku tebal, demi pencarian kebenaran yang kucari selama ini.
Sekarang aku mahasiswa sebuah PTS di Solo. Tempat yang pertama kucari adalah perpustakaan. Aku memang sudah “keranjingan” membaca buku-buku agama. Dan alhamdulillah, di sini referensinya lebih lengkap. Maka, aku mulai berkutat dengan buku-buku tebal, demi pencarian kebenaran yang kucari selama ini.
Hingga, aku membaca sebuah kitab tafsir. Dan alhamdulillah, aku
menemukan ayat yang kucari-cari selama ini.” Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
(An-Nisa’:48)
Dari tafsirnya aku tahu, bahwa masih ada kesempatan bertaubat bagi
orang-orang yang melakukan dosa syirik selama dia masih bisa bertaubat
kepada Allah. MasyaAllah, indahnya! Aku menangis, dan bersujud syukur
atas karunia ini. Kini semangatku bertambah besar, jika Allah masih
membuka pintu taubat, maka apalagi yang kutunggu?
Hingga suatu hari, aku lewat di masjid dekat kosku. Di sana aku
melihat sekumpulan orang yang berpenampilan sama dengan penampilanku
sedang mengikuti pengajian. Maka tanpa ragu lagi, aku masuk masjid dan
ikut mendengarkan. Meski awalnya masih malu karena belum ada yang
kukenal, tapi aku merasa tertarik dengan penyampaian ustadz tersebut.
Subhanallah, baru kali ini aku mendengar penyampaian materi dengan ilmu
dan hujjah yang mantap, tidak dibuat-buat.
Maka aku selalu mengikuti setiap taklim yang ada di masjid tersebut.
Aku juga mulai kenal dengan baik ikhwan-ikhwan di sana. Ya, inilah yang
kucari-cari selama ini. Pemahaman Islam sesuai dengan salafusshalih. Dan
aku mulai mantap di atas manhaj salaf ini. Hingga aku menutuskan untuk
tinggal di masjid, meskipun kosku belum genap 3 bulan kutempati. Aku
ingin lingkungan yang lebih baik dan kondusif untuk belajar tentang din.
Dengan dorongan dari ikhwan-ikhwan serta ustadz aku berhasil “membuang”
ilmu tenaga dalamku.
Sekarang aku merasakan nikmatnya thalabul ‘ilmi. Tahun 1997, untuk menambah pengetahuanku aku ikut kursus bahasa Arab yang diselenggarakan sebuah pondok dan menjadi mustami’ di tadribud du’at.
Sekarang aku merasakan nikmatnya thalabul ‘ilmi. Tahun 1997, untuk menambah pengetahuanku aku ikut kursus bahasa Arab yang diselenggarakan sebuah pondok dan menjadi mustami’ di tadribud du’at.
Februari 2007
Kini aku telah berkeluarga, dengan seorang istri dan 2 anak. Jika kuingat-ingat kilasan 11 tahun yang lalu, semakin besar syukurku kepada Allah. Allah telah memberikan hidayah-Nya kepadaku, dan Dia-lah yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Kini aku telah berkeluarga, dengan seorang istri dan 2 anak. Jika kuingat-ingat kilasan 11 tahun yang lalu, semakin besar syukurku kepada Allah. Allah telah memberikan hidayah-Nya kepadaku, dan Dia-lah yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Dan Alhamdulillah, meskipun dengan usaha yang berat, keluargaku sudah
bisa menerima prinsip dan keyakinanku. Meski demikian, aku sadar
tugasku belum selesai. Aku masih memilki kewajiban mendidik keluargaku,
berdakwah kepada orangtuaku, mendakwahi keluarga istriku, dan masyarakat
sekitar. Sebuah tugas yang tidak ringan. Tapi aku yakin dengan
pertolongan Allah. Ya Allah, mudahkanlah! (al faqir ilallah, Ibnu
Abdurrahman)
Tunggu Aku Maisya...
Aku telah dilanda keinginan mengebu untuk menikah. Bahkan sudah kujalani semua cara agar cepat bisa melaksanakan sunah Rasul yang satu ini. Malah aku selalu mengimpikannya di tiap malam menjelang tidur.
Gadis yang kuidamkan sejak kecil, bahkan menjadi teman main bersama, ternyata dinikahi orang lain. Padahal dia sudah ngaji. Sedih juga rasanya. Ada juga yang aku dapatkan dari orang yang aku kenal baik, dan sudah kujalani “prosedurnya”. Tapi ternyata kandas karena aku dinilai masih terlalu muda untuk menikah.
Akhirnya , aku kenal dengan seseorang yang sesuai dengan kriteria. Aku mengenalnya dengan perantaraan teman dekatku. Jujur saja, aku telah mendapat biodatanya, juga gambaran wajahnya. Langsung saja kukatakan pada teman dekatku bahwa aku sangat-sangat setuju.
“Eh, ente (kamu) harus ketemu dulu dan tahu dengan baik siapa dia,” kata temanku.
Tapi kujawab enteng, “Tapi ane (aku) langsung sreg kok”.
“Ya sudah, terserah ente aja lah,” sahut temanku sambil geleng-geleng kepala.
Karena aku yakin pacaran jelas-jelas dilarang dalam Islam sebab hal itu adalah jalan menuju zina, aku pun tak menjalaninya. Jangankan zina, hal-hal yang akan mengarahkan kepadanya saja sudah dilarang. Oleh karena itu, aku hanya menunggu waktu kapan ada pembicaraan awal antara aku dan Maisya (akhwat incaranku itu). Sabar deh, sementara ikuti saja seperti air mengalir.
Lewat kurang lebih 2-3 minggu mulailah terjadi pembicaraan antar aku dan Maisya. Ketika kuberanikan diri memulai pada poin yang penting yaitu mengungkapkan niatku untuk menikahinya, apa jawabnya? Aku disuruh menghadap murabbinya (guru/pembimbing).
“Kenapa tidak ke orang tua Maisya saja?” tanyaku.
“Tidak, pokoknya akhi (saudara lelaki) harus ketemu dulu sama Murabbi saya.” jawabnya.
Aku baru tahu, ada seorang akhwat ketika ada yang ingin menikahinya disuruh menghadap Murabbinya, bukan orang tuanya. Padahal, di antara birrul walidain adalah menjadikan orang tua sebagai orang yang pertama kali diajak diskusi tentang pernikahan, bukan gurunya, ustadznya, atau siapa pun. Barulah kutahu itu merupakan kebiasaan akhwat-akhwat tarbiyah (pergerakan).
***
Aku catat alamat murabbi (MR) yang Maisya sebutkan. Pada hari Ahad kuajak 2 teman dekatku untuk menemani ke rumah sang MR. Dengan sedikit kesasar akhirnya sampailah kami di rumahnya. Tapi setelah pencet tombol tiga kali dan “Assalamu’alaikum” tiga kali tak dibuka, kami pun pulang dengan agak kecewa, sebab siang itu adalah jam 2, saat matahari sangat terik menyengat.
Kutelepon Maisya bahwa aku tak bisa ketemu MR-nya. Maisya membolehkanku hanya dengan menelepon MR. Malam itu juga aku pun menelepon dan alhamdulillah nyambung. Aku ditanya segala macam yang berkaitan dengan agama. Dari masalah belajar, kerja, ngaji, tarbiyah, murabbi-ku, ustadz yang sering kuikuti kajiannya, sampai buku-buku yang sering kubaca. Juga, pertanyaan-pertanyaan tambahan lainnya.
Dengan polos dan santai kujawab pertanyaan-pertanyaan itu. Yang membuatku heran, ketika kusebutkan nama ustadz-ustadz yang sering kuikuti kajiannya sampai, nada MR agak beda dari awal pembicaraan. Terutama ketika kusebutkan kitab-kitab yang sering kujadikan rujukan dalam memahami agama. Aku belum tahu kenapa bisa begitu.
Kuceritakan pembicaraan itu pada teman dekatku. Ternyata temanku menjawab dengan nada menyesal.
“Aduh, kenapa tidak bicarakan dulu denganku. Ente tahu? Kalau akan menikahi akhwat tarbiyah sedang ente tidak ikut dalam tarbiyah atau liqa’ tertentu dan punya MR, maka ente otomais akan ditolak. Apalagi ente sebutkan nama-nama ustadz, buku-buku dan para syeikh Timur Tengah, bakalan ditolak deh, itu sudah ma’ruf (populer).”
“Lho kan ane jawab jujur, saat ini ane tidak ikut tarbiyah, atau apa namanya tadi, liqa’? Ya memang aku tak ikut. Ane juga nggak punya MR dong. Oo.., jadi begitu ya?” aku hanya melongo.
***
Beberapa hari kemudian, aku dapat telpon dari Maisya yang menjadikan hatiku sedikit hancur.
“Assalamu’alaikum, akhi saya sudah mempertimbangkan semuanya, mungkin Allah belum menakdirkan kita berjodoh. Semoga kita sama-sama mendapatkan yang terbaik untuk pasangan kita, saya minta maaf, kalau ada kesalahan selama ini, Assalamu’alaikum,”
“Kletuk, nuut nuut nuut” terdengar suara gagang telpon ditutup dan nada sambung terputus.
Aku masih memegang gagang telepon dan hanya bisa melongo mendapat jawaban tersebut. Kutaruh gagang telpon dengan lunglai. “Astagfirullah,” kusebut kata-kata itu berulang kali. Apa yang harus kuperbuat? Tak tahu harus bagaimana. Tapi sohib dekatku yang dari tadi memperhatikanku waktu menelepon nyeletuk .
“Ditolak ya? Udah deh, kan masih banyak harem (wanita) lain, ngapain ngejar-ngejar ngapain ngejar-ngejar yang sudah jelas-jelas nolak.”
Aku jawab saja dengan ketus, “Ane belum nyerah, karena ada janggal dalam pemolakan it, ane belum yakin dia menolak, akan ane coba lagi”.
“Udah deh jangan terlalu PD,” sahut sohibku.
Ternyata bener juga kata temanku itu, jawaban-jawabanku kepada MR menyebabkan aku ditolak oleh Maisya. Aku dipandang beda manhaj dalam memahami Islam, padahal yang kusebutkan waktu menjawab pertanyaan tentang buku-buku rujukan adalah Fathul Majiid, Al-Ushul Al-Tsalatsah, dan kitab-kitab karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muhammad Shalih Utsaimin, yang semuanya aku tahu bahwa mereka selalu mendasarkan bahasannya kepada dalil-dalil yang shahih.
Hatiku sudah terlanjur cocok sama Maisya. Jujur aku sudah merasa sreg sekali kalau Maisya jadi pendamping hidupku. Tapi aku ditolak. “Apa yang harus kuperbuat?” kataku dalam hati. Menyerah kemudian mencari yang lain? Baru begitu saja kok nyerah.
Tanpa sepengetahuan sohibku, kutulis surat ke orangtua Maisya. Yang kutahu bahwa dia hanya punya ibu. Bapaknya sudah meninggal saat Maisya berumur 8 tahun. Kutulis surat yang isinya kurang lebih tentang proses penolakan itu. Juga janjiku jika ditolak oleh ibunya, maka aku akan menerima dan tak akan menghubunginya lagi.
Dengan penuh harap kukirim surat tersebut, tak disangka ternyata surat itu sampai di tangan Maisya dan dibacanya. Alamak, kenapa bisa begitu? Untuk beberapa hari tidak ada respon. Gundah gulana pun datang. Apa yang harus kulakukan?
Kuputuskan untuk mengirim surat ke Maisya langsung. Semuanya aku ungkapkan dengan bahasa setengah resmi tapi santai. Aku memang sedikit ndableg. Di penghujung surat tersebut kukatakan, “Kalau memang Allah takdirkan kita tidak jodoh, saya punya satu permintaan, tolonglah saya untuk mendapatkan pendamping dari teman-teman Maisya yang Maisya pandang pas untuk saya, minimal yang seperti Maisya.”
Kupikir Maisya akan “tersungkur” dengan membaca suratku yang panjang lebar. Aku berpikir seandainya ada orang membaca suratku, pasti akan mengatakan “rayuan gombal!”. Tapi jujur saja, itu berangkat dari hatiku yang paling dalam.
Surat kedua itu, qadarallah ternyata malah diterima dan dibaca oleh ibu Maisya dan kakak perempuannya. Nah, dari situlah terjadi kontak antara aku dan keluarganya. Tak disangka-sangka kudapat telpon dari kakak perempuan Maisya, Kak Dahlia (tentu saja bukan nama asli). Kak Dahlia menelepon dan memintaku untuk datang ke rumahnya guna klarifikasi surat tersebut.
***
Seminggu kemudian kupenuhi undangan itu. Setelah bertemu dan “sesi tanya-jawab” , dengan manggut-manggut akhirnya Kak Dahlia angkat bicara,
“Baiklah, kakak sudah dengar cerita kamu, saya heran kenapa Maisya menolakmu, ya? Padahal menurut hemat kakak, kamu pantas diterima kok”.
Hatiku berbunga-bunga mendengarnya,. Tapi langsung surut lagi karena pernyataan itu datang dari Kak Dahlia bukan Maisya. Aku sedikit senyum kecut menanggapi omongan kak Dahlia.
“Begini aja deh, kamu sekarang pulang dulu. Biar nanti kakak dan Umi yang akan rayu Maisya. Pokoknya kamu banyak doa aja. Pada dasarnya kami setuju kok sama kamu.”
Aku izin pulang dengan sedikit riang gembira. Mulutku hanya bergumam penuh doa, semoga Allah mengabulkan cita-citaku. Kira-kira 2 minggu setelah itu kudapat telpon lagi dari Kak Dahlia agar aku ke rumahnya. Dia bilang aku harus bertemu langsung dengan Maisya. Hatiku pun berdebar. Dengan sedikit gagap aku iyakan undangan itu. “Besok deh Kak, insyaAllah saya datang,” jawabku.
Aku duduk di kursi ruang tamu yang sama untuk kedua kalinya. Sedikit basa-basi Kak Dahlia mengajakku ngobrol tentang hal-hal yang belum ditanyakan pada pertemuan sebelumya. Kurang lebih 10-15 menit Kak Dahlia memanggil Maisya agar ke ruang tamu menemuiku. Dadaku berdegub. Inilah saatnya aku nadhar (melihat) bagaimana rupa Maisya yang sebenarnya. Apa sama seperti yang kubayangkan sebelumnya? Jangan-jangan tidak sama. Lebih jelek atau bahkan lebih cakep dari aslinya. Tunggu saja deh.
Tidak lama kemudian keluarlah sosok makhluk Allah yang bernama Maisya. Aku tetap menjaga pandanganku. Tapi jujur saja, tak kuasa kucuri pandang untuk yang pertama kalinya. Bahkan seharusnya untuk acara nadhar biasanya lebih dari mencuri pandang, karena memang dianjurkan oleh Rasulullah. Tapi bagiku sangat cukup melihatnya sekali-kali. Aku hanya bisa mengatakan dalam hatiku tentang Maisya, subhanallah! Aku tak bisa ceritakan kepada pembaca karena itu hanya untukku saja.
Tak sadar keringat dingin mengalir dari pelipis. Ada apa gerangan? Kenapa rasanya agak grogi? Ah, aku harus teguh dan tangguh hadapi semua ini. Obrolan pun mulai bergulir. Dari mulai pertanyaan-pertanyaan agama secara umum sampai diskusi tentang kerumahtanggaan. Kurang lebih satu jam aku di rumah itu. Aku pun pamit sambil memberikan hadiah-hadiah buku-buku kecil tentang agama.
Di bus kota aku senyum-senyum sendirian. Seakan-akan bus itu adalah bus patas AC padahal sebenarnya hanya bus ekonomi yang panas dan penuh asap rokok. Tapi semua itu tidak kurasakan. Kuberdoa semoga rayuan Kak Dahlia berhasil.
Ternyata benar, beberapa hari kemudian aku ditelepon Maisya, kali ini menanyakan kelanjutan proses kami kemarin. Kujawab jika dibolehkan akan kuajak keluargaku di waktu yang kutentukan. Di penghujung pembicaraan, Maisya setuju dengan tawaranku.
Kutanya ke sana ke mari tentang barang-barang apa yang pantas dibawa ketika meng-khitbah seorang wanita. Kubeli sebuah koper kecil dan kuisi dengan barang-barang seperti bahan pakaian, komestik, sepatu, dan sebagainya. Tak lupa aku bawakan buah-buahan seadanya. Hal ini sebenarnya sudah kutanyakan kepada Maisya, tapi Maisya hanya menjawab terserah aku mau bawa apa saja pasti dia akan terima. Duh…, senangnya.
Sebelumnya aku lupa, ternyata Maisya masih punya darah Arab dari ibunya. Bahkan, ibunya punya nasab Arab yang dikenal di Indonesia sebagai Habib (Orang Arab yang mengaku punya garis nasab langsung dengan Rasulullah). Padahal setahuku Rasulullah tak punya keturunan laki-laki yang kemudian punya anak. Yang ada hanya Fatimah yang diperistri oleh Ali bin Abi Thalib. Sedangkan dalam Islam, darah nasab hanya sah dari garis bapak atau lelaki (Koreksi: Cucu beliau dari anak-anak beliau merupakan termasuk keluarga beliau yang berarti ahlul bait). Jadi, mungkin yang dimaksud mereka adalah keturunan dari Ali bin Abi Thalib.
Satu hal yang perlu diketahui, bahwa dalam adat orang Arab terutama golongan Habaib atau Habib, wanita mereka pantang dinikahi oleh non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Alasan yang populer adalah mereka merasa lebih mulia dari keturunan non Arab. Bahkan, sebagian mengharamkannya. Aku pun harus siap dengan apa yang akan aku hadapi nanti. Bisa jadi ditolak atau tidak. Dan yang ada di depan mataku adalah ditolak.
Aku datang sekeluarga dengan naik Taksi. Aku tidak punya mobil. Dari mana aku punya mobil sedangkan aku baru bekerja setahun? Sambutan hambar kudapatkan ketika memasuki ruang tamu. Di situ sudah hadir ibu-ibu yang merupakan keluarga besar dari ibu Maisya. Anehnya,di acara itu tidak hadir laki-laki dari pihak keluarga besar Maisya.
Kemudian acara dilanjutkan dengan saling memberi sambutan. Namun yang kutunggu hanya momen di mana Maisya menerima lamaranku dari mulutnya sendiri. Saat itu pun tiba. Dengan agak malu-malu dan terbata-bata Maisya menerima lamaranku.
Diakhir acara ketika hari penentuan hari “H” dan bentuk acaranya. Ada salah satu dari anggota keluarga Maisya yang menanyakan uang untuk walimah nanti. Aku hanya menjawab bahwa hal itu sudah kubicarakan dengan Maisya. Tapi dia memaksaku untuk menyebutkan jumlahnya. Aku tetap tak mau menyebutkan. Rupanya orang tadi kecewa berat dengan jawabanku.
Setelah acara selesai, aku pamit. Sedikit lega kulalui detik-detik mendebarkan. Aku bersyukur kepada Allah yang meloloskan diriku pada babak berikutnya dalam usaha mengamalkan sunah Rasulullah yang mulia ini.
Ternyata ujian belum selesai juga. Maisya didatangi keluarga besarnya dengan membawa lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Lamaranku ditimpa oleh lamaran orang lain. Orang yang akan dijodohkan dengan Maisya masih punya hubungan keluarga. Mereka datang dengan mobil, membawa makanan banyak sekali, uang lamaran, dan juga perhiasan.
Apa yang kubawa kemarin tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang dibawa pelamar kedua ini. Tapi subhanallah, apa yang Maisya lakukan? Maisya tak mau menemuinya. Maisya tak menerima lamarannya.
Bahkan setelah rombongan itu pulang dan meninggalkan bawaan mereka sebagai lamaran untuk Maisya, apa yang Maisya lakukan? “Kembalikan semua barang bawaannya dan jangan ada yang menyentuh walau untuk mencicipi makanan, kembalikan dan jangan ada yang tersisa di rumah ini.” Aku dapatkan cerita ini dari kak Dahlia yang meneleponku.
Mendengar semua ini, tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Padahal aku adalah lelaki yang selama ini selalu berpantang untuk menangis. Saat itulah aku mulai yakin bahwa Maisya harus kudapatkan, sekali pun harus menghadapi hal-hal yang menyakiti hatiku.
***
Beberapa hari kemudian aku mendapat telepon dari seorang ibu yang mengaku bibi Maisya. Ketika kutanya namanya dia tak mau menyebutkan. Malah dia nyerocos panjang lebar tentang acara lamaranku kepada Maisya. Dengan nada sinis dan tinggi dia mulai merayuku untuk membatalkan lamaranku. “Saya kasih tau ya! Kamu kan baru bekerja belum satu tahun, belum punya rumah dan mobil. Sedangkan Juli Jajuli (bukan nama asli) kan sudah punya kerjaan, rumah besar, mobil ada dua. Jadi, kamu batalkan lamaran. Biar Maisya menerima lamaran Jajuli. Kamu kan bisa cari yang lain.”
Hhh! Betapa mendidih mendengar ocehan sinis itu. Tapi aku langsung kontrol diri. Aku jawab dengan suara pelan dan sopan bahwa aku akan terima hal itu dengan ikhlas tanpa ada paksaan dari siapa pun. Sebelum kudengar langsung dari mulut Maisya, aku tak akan pernah membatalkan lamaranku. Gubrakkkk!, terdengar suara gagang telepon dibanting, padahal jawabanku belum selesai.
Suatu hari di tengah kesibukanku, datanglah seorang wanita sekitar umur 25-30 tahun ke kantorku. Tanpa permisi dan sopan santun dia menghampiriku, “Kamu yang melamar Maisya? Kamu tuh ga tahu diri ya? Belum jadi menantu saja sudah belagu,” cerocosnya.
“Mohon tenang dulu, apa masalahnya? Ayo kita duduk dulu di sini jelaskan dengan pelan,” sambutku dengan sabar.
“Kamu tuh kalo ngasih alamat yang jelas, biar mudah dicari, saya sudah muter-muter mencari alamatmu tapi ternyata tidak ketemu-ketemu, apa kamu mau mempermainkan kami?” tukasnya sambil menunjukkan kartu namaku.
“Apa tadi ente tidak tanya sama orang-orang?” tanyaku.
“Tidak!” jawabnya ketus.
“Ya jelas pasti kesasar, seharusnya ente tanya-tanya dong,” sahutku.
“Aaah udah deh jangan banyak alasan,” jawabnya. “Eh aku kasih tau ya, kau tuh jangan pernah macam-macam dengan keturunan Nabi, kuwalat loh!”, ancamnya.
Dengan sedikit senyum kujawab ancamannnya, “Kalo Nabi punya keturunan seperti ente, pasti Nabi akan sangat marah pada ente. Wanita kok pakai celana jeans, kaos ketat, dan tidak berjilbab. Nabi tentu akan malu jika punya keturunan seperti ente.” Wanita itu kabur sambil ngomel-ngomel entah apa yang dia katakan.
Kejadian itu membuat hatuku semakin was-was dan khawatir. Kalau demikian dengkinya mereka dengan pernikahanku bersama Maisya, maka bisa jadi mereka akan lebih jauh lagi dalam memberikan “teror”. Akankah mereka menghalangiku sampai pelaksanaan hari “H”? Wallahu a’lam.
Yang jelas sebelum aku tanda tangan surat nikah yang disediakan penghulu, maka aku belum bisa menentukan bahwa Allah takdirkan aku menikahi Maisya. Semuanya bisa terjadi. Sabarkanlah diriku ya Allah.
Dari telepon pula aku tahu bahwa Maisya sempat disidang oleh keluarga besarnya untuk membatalkan pernikahan denganku. Tapi dia lebih memilih akan kabur dari rumah dan tetap menikah denganku. Padahal keluarganya memberi pilihan: batal nikah atau putus hubungan keluarga.
***
Undangan mulai kucetak. Sederhana sekali karena aku memang tidak punya biaya banyak untuk pernikahan ini. Aku tidak punya saudara di kota tempat Maisya tinggal. Jadi undangan yang banyak hanya untuk keluarga, tetangga, dan kenalan Maisya.
Hari H semakin dekat. Persiapan juga semakin matang. Aku terharu lagi ketika ditanya, “Akhi siapnya ngasih berapa untuk persiapan ini? Tapi jangan merasa berat dan terpaksa, kalau tidak ada ya nggak apa-apa.” Aku hanya bisa tergagap menjawabnya. Ku katakan bahwa aku akan mendapat sumbangan dari kantorku tapi perlu proses untuk cair, jadi sementara aku hanya bisa beri sedikit. Itu pun sudah kupaksakan pinjam ke sana-sini. Tapi Maisya menyambut hal itu dengan tanpa cemberut sedikitpun. Subhanallah.
Panitia pernikahan dari ikhwan sudah aku siapkan. Aku bertekad bahwa pernikahan ini harus seislami mungkin, di antaranya memisahkan antara tamu pria dan wanita walau mungkin akan mendapatkan respon yang bermacam-macam. Aku tak peduli.
Keluarga Maisya pun tak tinggal diam. Di antara mereka ada yang memintaku agar busana Maisya pada saat penikahan nanti adalah busana pengantin pada umumnya. Astaghfirullah, usulan yang sangat berlumuran dosa. Jelas kutolak mentah-mentah.
Ada juga yang nyeletuk agar pernikahan kami dihibur dengan orkes atau musik gambus dan yang sejenisnya. Tapi itu pun aku tolak. Ternyata sampai mendekati hari H pun aku harus beradu urat syaraf dengan mereka.
Tibalah saatnya kegelisahanku yang paling dalam. Aku sedang berpikir bagaimana jadinya jika ada yang mengacaukan pernikahanku. Aku punya seorang saudara marinir. Aku telepon dia dan kuwajibkan datang. Kalau perlu pakai seragam resmi lengkap. Aku akan jadikan dia sebagai pengamanan tambahan. Karena pengamanan Allah lebih kuat, bahkan tidak perlu ada pengamanan tambahan. Itu hanya ikhtiar saja. Malam hari “H” dia datang dan siap menghadiri acara nikah besoknya.
Aku minta bantuan teman lamaku untuk mengantarku pakai Kijang. Teman senior kantorku yang sudah aku anggap orang tuaku juga siap mengantar pakai Panther, bahkan dialah yang akan memberi sambutan dari pihak mempelai pria.
Dengan sedikit gemetar dan mata sedikit basah, aku lalui proses ijab kabul yang sederhana tanpa disertai ritual-ritual yang tidak ada dasarnya seperti sungkem, injak telor, membasuh kaki, dan sebagainya.
Tangisku meledak ketika berdua dengan Maisya untuk pertama kalinya. Tangis makin dahsyat saat aku menghadap ibuku. Kupeluk erat-erat ibuku, kakakku, dan saudara yang mendampingiku.
Subhanallah, aku sudah menjadi seorang suami. Aku menjadi kepala keluarga yang didampingi oleh Maisya yang aku dapatkan dengan “darah dan air mata”. Akhirnya kulalui rumah tangga ini dengan segala bunga rampainya sampai dikaruniai beberapa anak yang lucu-lucu. Semoga dapat aku lalui kehidupan ini dengan diiringi bimbingan dari yang Maha membolak balikkan hati, sehingga hatiku tetap teguh dengan agama-Nya.
Suami Maisya
Sumber:“Semudah Cinta Di Awal Senja” Terbitan Nikah Media Samara
Engkau Lebih Berharga Dari Uang Itu Ayah....
Salah satu da’i berkata, “Ada seorang laki-laki memiliki hutang, dan
pada suatu hari datanglah kepadanya pemilik hutang, kemudian mengetuk
pintunya. Selanjutnya salah seorang putranya membukakan pintu untuknya.
Dengan tiba-tiba, orang itu mendorong masuk tanpa salam dan
penghormatan, lalu memegang kerah baju pemilik rumah seraya berkata
kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah, bayar
hutang-hutangmu, sungguh aku telah bersabar lebih dari seharusnya,
kesabaranku sekarang telah habis, sekarang kamu lihat apa yang kulakukan
terhadapmu hai laki-laki?!
Pada saat itulah sang anak ikut campur, sementara air mata mengalir
dari kedua matanya saat dia melihat ayahandanya ada pada kondisi terhina
seperti itu.
Anak,”Berapa hutang yang harus di bayar ayahku?’
Ayah,”Tujuh puluh ribu real.”
Anak,”Lepaskan ayahku, tenanglah, bergembiralah, semua akan beres.”
Lalu masuklah sang anak kekamarnya, dimana dia telah mengumpulkan
sejumlah uang yang bernilai 27 ribu Real dari gajinya untuk hari
pernikahan yang tengah ditunggunya. Akan tetapi dia lebih mementingkan
ayahanda dan hutangnya daripada membiarkan uang itu di lemari
pakaiannya. Sang anak masuk ke ruangan lantas berkata kepada pemilik
hutang, “Ini pembayaran dari hutang ayahku, nilainya 27 ribu Real, nanti
akan datang rizki, dan akan kami lunasi sisanya segera dalam waktu
dekat Insya Allah.”
Di saat itulah, sang ayah menangis dan meminta kepada lelaki itu
untuk mengembalikan uang itu kepada putranya, karena ia membutuhkannya,
dan dia tidak punya dosa dalam hal ini. Sang anak memaksa agar lelaki
itu mengambil uangnya. Lalu melepas kepergian lelaki itu di pintu sambil
meminta darinya agar tidak menagih ayahnya, dan hendaknya dia meminta
sisa hutang itu kepadanya secara pribadi.
Kemudian sang anak mendatangi ayahnya, mencium keningnya seraya
berkata, “Ayah, kedudukan ayah lebih besar dari uang itu, segala sesuatu
akan diganti jika Allah azza wa jalla memanjangkan usia kita, dan
menganugerahi kita dengan kesehatan dan ‘afiyah. Saya tidak tahan
melihat kejadian tadi, seandainya saya memiliki segala tanggungan yang
wajib ayah bayar, pastilah saya akan membayarkan kepadanya, dan saya
tidak mau melihat ada air mata yang jatuh dari kedua mata ayah di atas
jenggot ayah yang suci ini.”
Lantas sang ayah pun memeluk putranya, sembari sesegukan karena
tangisan haru, menciumnya seraya berkata, “Mudah-mudahan Allah meridhai
dan memberikan taufiq kepadamu wahai anakku, serta merealisasikan segala
cita-citamu.”
Pada hari berikutnya, saat sang anak sedang asyik melaksanakan tugas
pekerjaannya, salah seorang sahabatnya yang sudah lama tidak dilihatnya
datang menziarahinya. Setelah mengucapkan salam dan bertanya tentang
keadaannya, sahabat tadi bertanya,
“Akhi (saudaraku), kemarin, salah seorang manajer perusahaan
memintaku untuk mencarikan seorang laki-laki muslim, terpercaya lagi
memiliki akhlak mulia yang juga memiliki kemampuan menjalankan usaha.
Aku tidak menemukan seorang pun yang kukenal dengan kriteria-kriteria
itu kecuali kamu. Maka apa pendapatmu jika kita pergi bersama untuk
menemuinya sore ini?”
Maka berbinar-binarlah wajah sang anak dengan kebahagiaan, seraya berkata,
“Mudah-mudahan ini adalah do’a ayah, Allah azza wa jalla telah mengabulkannya.”
Maka dia pun banyak memuji Allah azza wa jalla. Pada waktu pertemuan
di sore harinya, tidaklah manajer tersebut melihat kecuali dia merasa
tenang dan sangat percaya kepadanya, dan berkata,
“Inilah laki-laki yang tengah kucari.”
Lalu dia bertanya kepada sang anak, “Berapa gajimu?”
Dia menjawab, “Mendekati 5 ribu Real.”
Dia berkata, “Pergi besok pagi, sampaikan surat pengunduran dirimu,
gajimu 15 ribu Real, bonus 10% dari laba, dua kali gaji sebagai tempat
dan mobil, dan enam bulan gaji akan di bayarkan untuk memperbaiki
keadaanmu.”
Tidaklah pemuda itu mendengarnya, hingga dia menangis sambil berkata, “Bergembiralah wahai ayahku.”
Manajer pun bertanya kepadanya tentang sebab tangisannya. Maka pemuda
itu pun menceritakan apa yang telah terjadi dua hari sebelumnya. Maka
manajer itu pun memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang ayahnya.
Adalah hasil dari labanya pada tahun pertama, tidak kurang dari setengah
milyar Real Berbakti kepada kedua orang tua adalah bagian dari ketaatan
terbesar, dan bentuk taqarrub kepada Allah azza wa jalla yang teragung.
Dengan berbakti kepada keduanya rahmat-rahmat akan diturunkan, segala
kesukaran akan disingkapkan. Dan Allah azza wa jalla telah mengaitkan
antara berbakti kepada kedua orang tua dengan tauhid, Allah azza wa
jalla berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari keduanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al Israa’. 23]
Di dalam shahihahin, dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Amal mana yang paling dicintai oleh Allah?” Maka
beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Kukatakan lagi, “Kemudian apa?”
Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Kukatakan,
“Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Kemudian jihad di jalan Allah.” [HR.al
Bukhari & Muslim]
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Akan datang atas kalian Uwais
bin ‘Amir bersama dengan penduduk Yaman dari Murad kemudian dari Qorn.
Dulu dia kena penyakit sopak, kemudian sembuh darinya kecuali selebar
koin uang dirham. Dia punya seorang ibu yang dulu dia berbakti
kepadanya. Seandainya dia bersumpah atas nama Allah, pastilah akan
dipenuhiNya. Maka jika kamu mampu dia beristighfar untukmu, maka
lakukanlah.” [HR. Muslim]
Ini pula Hiwah bin Syuraih, dia adalah salah seorang Imam kaum
muslimin dan ulama yang terkenal. Dia duduk pada halaqohnya mengajar
manusia. Berbagai thalib (penuntut ilmu) datang kepadanya dari segenap
tempat untuk mendengar darinya. Maka suatu ketika ibunya berkata
kepadanya, saat dia berada di tengah-tengah muridnya, “Berdirilah wahai
Hiwah, beri makan ayam.” Maka dia pun berdiri dan meninggalkan kajian.
Ketahuilah wahai saudaraku yang tercinta, bahwasanya termasuk
pintu-pintu sorga adalah Babul Walid (Pintu berbakti kepada orang tua).
Maka janganlah kehilangan pintu tersebut, bersungguh-sungguhlah dalam
menaati kedua orang tuamu. Demi Allah, baktimu terhadap keduanya
termasuk diantara sebab-sebab kebahagiaanmu di dunia akhirat.
Aku memohon kepada Allah azza wa jalla agar memberikan taufik
kepadaku dan seluruh kaum muslimin untuk berbakti kepada kedua orang tua
dan berbuat baik kepada keduanya. Wallahu a`lam
Macam-Macam Hati
Hati itu bisa hidup dan bisa mati. Sehubungan dengan itu, hati dapat dikelompokkan menjadi:
[1]. Hati yang sehat
[2]. Hati yang mati
[3]. Hati yang sakit
Hati yang sehat adalah hati yang selamat. Pada hari kiamat nanti, barangsiapa menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa membawanya tidak akan selamat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat." [Asy-Syu'ara : 88-89]
Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ini saja tidak dirasa cukup. Sehingga ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian bersikap lancing (mendahului) Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Al-Hujurat : 1]
Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepadaNya dengan menjalankan perintahNya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridlaiNya. Hati model ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ia tidak peduli dengan keridlaan atau kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Baginya, yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu. Ia menghamba kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala . Jika ia mencinta, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridlaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi. Ia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan negeri akhirat, tetapi ia berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak menyambutnya. Bahkan ia mengikuti setiap setan yang sesat. Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta selain kepada kebatilan.[1]. Bergaul dengan orang yang hatinya mati ini adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis dengan mereka adalah bencana.
Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada 'kehidupan', dan kadang-kadang pula cenderung kepada 'penyakit'. Padanya ada kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad [2], kibr [3], dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Ia ada diantara dua penyeru; penyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi. Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat, paling akrab.
Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu', tawadlu', lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati, Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.
_________
[1]. Disebutkan dalam sebuah hadits, "Cintamu kepada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu," Diriwayatkan oleh Abu Dawud secara marfu'dan oleh Imam Ahmad dalam Musnad secara marfu', juga secara mauquf. Semuanya dari Abu Darda'. Abu Dawud tidak mengomentari hadits ini. Namun sebagian ulama menghasankannya, dan sebagian yang lain mendlaif-kannya.
[2]. Hasad atau dengki adalah sikap tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat dan mengharapkan nikmat itu lenyap darinya.
[3]. Kibr atau sombong adalah menganggap remeh orang lain. Rasulullah bersabda, Kibr itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." HR. Muslim
[1]. Hati yang sehat
[2]. Hati yang mati
[3]. Hati yang sakit
Hati yang sehat adalah hati yang selamat. Pada hari kiamat nanti, barangsiapa menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa membawanya tidak akan selamat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat." [Asy-Syu'ara : 88-89]
Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ini saja tidak dirasa cukup. Sehingga ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian bersikap lancing (mendahului) Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Al-Hujurat : 1]
Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepadaNya dengan menjalankan perintahNya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridlaiNya. Hati model ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ia tidak peduli dengan keridlaan atau kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Baginya, yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu. Ia menghamba kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala . Jika ia mencinta, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridlaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi. Ia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan negeri akhirat, tetapi ia berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak menyambutnya. Bahkan ia mengikuti setiap setan yang sesat. Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta selain kepada kebatilan.[1]. Bergaul dengan orang yang hatinya mati ini adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis dengan mereka adalah bencana.
Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada 'kehidupan', dan kadang-kadang pula cenderung kepada 'penyakit'. Padanya ada kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad [2], kibr [3], dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Ia ada diantara dua penyeru; penyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi. Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat, paling akrab.
Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu', tawadlu', lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati, Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.
_________
[1]. Disebutkan dalam sebuah hadits, "Cintamu kepada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu," Diriwayatkan oleh Abu Dawud secara marfu'dan oleh Imam Ahmad dalam Musnad secara marfu', juga secara mauquf. Semuanya dari Abu Darda'. Abu Dawud tidak mengomentari hadits ini. Namun sebagian ulama menghasankannya, dan sebagian yang lain mendlaif-kannya.
[2]. Hasad atau dengki adalah sikap tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat dan mengharapkan nikmat itu lenyap darinya.
[3]. Kibr atau sombong adalah menganggap remeh orang lain. Rasulullah bersabda, Kibr itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." HR. Muslim
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...