Searching

Perlukah Hukuman Fisik Bagi Anak ?


HUKUMAN DAN IMBALAN SEBAGAI METODE PENDIDIKAN
Permasalahan ini amat penting untuk diperhatikan, mengingat kondisi anak didik yang tidak sama. Semestinya para orang tua dan pendidik memperhatikan betul metode yang tepat bagi anak didiknya. Perbedaan tingkat intelegensi, persepsi, usia serta tingkat emosi anak menuntut perlakuan yang berbeda pula. Manakala si anak berbuat kesalahan, penyimpangan, ataupun gagal mengerjakan tugasnya, tidak berarti saat itu juga si anak harus dihukum dengan hukuman berat. Tidak selamanya hukuman itu baik bagi anak. Tidak berarti pula kita membiarkan anak larut dalam kesalahan tanpa ada upaya pengarahan. Ada tipe anak yang sudah sadar akan kesalahannya hanya dengan pandangan tajam dari orang tua ataupun gurunya. Ada pula tipe anak yang mudah diarahkan dengan nasehat bijak. Dan ada pula tipe anak yang memang tidak bisa diluruskan kecuali dengan hukuman.

Namun pada asalnya, Rasulullah menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu mengedepankan sikap lemah lembut, terlebih pada anak- anak.

Dalam satu haditsnya Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الرِفْقَ لاَ يَكُوْنُ في شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ وَ مَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إلا شَانَهُ

“Sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah kelemahlembutan tercabut dari sesuatu kecuali akan menodainya” [1]

Juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain.

مَنْ يُحْرَمُ الرِفْقَ يُحْرَمُ الخَيْرُ

“Barangsiapa yang diharamkan kelemahlembutan baginya, berarti ia telah diharamkan dari kebaikan” [2]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

إنَهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنْ خَيْرِ الدُنْيَا وَ الآخِرَةِ

“Barangsiapa dianugerahi watak lemah lembut, sungguh berarti ia telah dianugerahi kebaikan dunia dan akhirat” [3]

Dan masih ada beberapa riwayat lain yang menegaskan keutamaan sikap lemah lembut.

Dalam satu riwayat Muslim, A’isyah Radhiyallahu 'anha menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memukul seorang pun, baik wanita maupun pelayan, kecuali ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berjihad di jalan Allah.

Pendidik yang bijak tentu tidak bersandar kepada hukuman semata dalam upaya meluruskan kesalahan anak. Akan tetapi hendaklah ia menempuh metode-metode sugestif semacam pemberian hadiah ataupun nasehat yang mampu memotivasi anak dalam kebaikan. Karena pada asalnya, anak-anak lebih menyukai imbalan/hadiah ketimbang hukuman. Hadiah ataupun wejangan lebih memberikan pengaruh positif pada jiwa anak. Sehingga dia lebih terdorong untuk melakukan kebajikan. Berbeda dengan hukuman yang biasanya memberikan efek negatif pada perkembangan mental dan emosi anak, Apalagi jika hukuman terlalu sering diberikan. Si anak bisa saja menjadi kebal hukuman serta tidak takut untuk melakukan kesalahan ataupun penyimpangan.

Syaikh Jamil Zainu memaparkan beberapa cara guna memotifasi anak, diantaranya adalah:

1. Pujian Yang Indah Serta Do’a Yang Baik
Misalnya dengan mengucapkan kepada anak ahsanta (bagus kamu), baarakallahu fiik (semoga Allah memberkahimu), waffaqakallahu (semoga Allah memberikan taufik kepadamu) ataupun pujian serta doa lain. Seorang pendidik yang baik, tentunya tidak segan-segan memuji anak didiknya sewaktu anak melakukan kebaikan dan berhasil menunaikan tugas dan kewajibannya dengan baik. Adapun kepada anak yang malas ataupun jelek akhlaknya, sang pendidik sebaiknya mendo’akannya dengan do’a yang baik, misalnya ucapan ashlahakallahu wa hadaaka (semoga Allah memperbaikimu dan menunjukimu). Ucapan-ucapan lembut seperti di atas akan mendorong semangat anak, sekaligus memberikan kesan yang baik pada jiwanya, sehingga ia akan lebih mencintai pendidiknya. Di sisi lain, teman-temannya juga akan termotivasi untuk meniru perbuatan baiknya agar mendapatkan pujian serta do’a yang sama dari gurunya.

2. Imbalan Materi
Watak dasar seorang anak adalah senang bila mendapat hadiah atau imbalan materi. Ini merupakan sisi yang bisa dimanfaatkan pendidik untuk memotivasinya, sejalan dengan kecenderungan manusiawinya yang suka apabila upaya dan jerih payahnya dihargai. Imbalan materi tersebut tidaklah harus berupa barang mahal. Hadiah sederhana sudah cukup membuat semangat anak tergugah untuk melakukan perbuatan baik sesuai dengan harapan pendidiknya.

3. Wasiat Kepada Keluarga Murid.
Metode ini bisa dilakukan oleh guru kepada orang tua anak didiknya, baik dengan bahasa lisan ataupun tulisan. Hal ini akan mendorong keluarga anak untuk semakin memperhatikannya dan memperlakukannya dengan baik. Bersamaan dengan itu, si anak juga akan semakin terpacu untuk maju dan bertingkah laku baik.

4. Pendekatan Persuasif
Sebagian orang tua atau pendidik, mungkin pernah menjumpai anak yang sulit memahami pelajaran. Pada kondisi demikian tidak selayaknya pendidik tergesa mengecap dan mengklaim si anak sebagai anak bodoh ataupun malas. Metode yang tepat adalah dengan melakukan pendekatan kepada si anak. Bertanya dengan lemah lembut tentang permasalahannya, dengan harapan agar anak mau berbagi kepada sang guru, serta berani mengungkapkan problematika yang dihadapinya. Dengan demikian sang guru bisa memahami latar belakang serta sebab-sebab yang menghambat pemahaman anak terhadap materi pelajaran, sekaligus membantu memberikan solusi agar anak kembali bersemangat. Adalah satu hal yang sangat bijak jika sang pendidik memberikan kesempatan pada setiap anak didiknya untuk memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan yang mungkin belum sepenuhnya ia fahami. Betapa banyak anak didik yang bersemangat hingga berhasil karena mendapat wejangan gurunya, padahal sebelumnya mereka merasa pesimis karena berbagai faktor yang membebaninya.

HUKUMAN, ANTARA MANFAAT DAN BAHAYANYA.
Dalam syari’at islam, hukuman atau ‘uqubah dikonotasikan sebagai penegakan ketentuan-ketentuan Allah (hudud), karena di dalamnya terdapat sanksi tegas dan keras serta efektif dalam mencegah terjadinya beragam kemaksiatan. Sejalan dengan kesempurnaan hikmahNya. Berkaca pada ajaran islam, sewajibnya bagi setiap pendidik untuk selalu mengingat tujuan dari adanya hukuman, yakni meluruskan kesalahan agar sang anak kembali dan bertaubat dari perbuatan salahnya. Karena hukuman, terlebih lagi hukuman fisik, merupakan langkah terakhir yang ditempuh dalam memperbaiki satu kesalahan. Hukuman ini diberikan ketika nasehat ataupun ancaman sudah tidak mempan lagi bagi anak. Sedapat mungkin seorang pendidik menghindari bentuk hukuman fisik pada anak didiknya, mengingat bahaya yang mungkin ditimbulkan, antara lain:

1. Timbulnya cacat fisik pada anak didik yang dipukul.
2. Membekasnya hukuman tersebut pada jiwa anak, hingga mempengaruhi kondisi psikis dan emosinya. Mungkin saja ia akan meniru hal serupa dari gurunya dan melampiaskannya kepada temannya.
3. Hilangnya sikap saling menghargai antara guru dan anak didik. Bahkan mungkin menimbulkan kebencian diantara keduanya.
4. Terhambatnya pemahaman anak terhadap pelajaran.
5. Serta bahaya-bahaya lain yang tentunya merugikan semuanya, baik pendidik, murid juga keluarga keduanya.

HUKUMAN YANG TERLARANG
1. Memukul muka
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

إذَا قَتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ

"Jika salah seorang diantara kalian berkelahi maka hindarilah memukul wajah" [4]

Dan juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain.

إَذَ ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ الوَجْهَ

"Apabila salah seorang diantara kalian memukul pelayannya, maka janganlah memukul wajahnya" [5]

2. Kekerasan Yang Berlebihan
Seorang pendidik hendaknya berhati-hati ketika menghukum anak agar ia tidak menyesal dikemudian hari karena tindakan kasarnya terhadap murid. Kekerasan bukanlah satu simbol kekuatan ataupun kehebatan seseorang. Simaklah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut.

لَيْسَ الشَدِيْدُ بالِصُرْعَةِ، إنَّمَا الشَدِيْدُ الَذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ

"Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang menang dalam bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah”[6]

Guru yang terlalu keras akan dijuluki oleh murid-muridnya sebagai guru galak atau guru zhalim. Cukuplah hal ini sebagai aib bagi pendidik.

3. Marah Besar
Biasanya hal ini terlahir dari pendidik yang kurang bisa mengontrol emosinya. Seharusnya pendidik dan orang tua mampu mengesampingkan ego manusiawinya serta tidak mengedepankan amarah ketika kata-katanya tidak dipatuhi anak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan satu do’a ketika kita marah.

إذَا غَضَبَ أحَدُكُمْ فَقَالَ: أعُوْذُ بِالله، سَكَنَ غَضَبُهُ

"Jika salah seorang diantara kalian marah, kemudian ia mengucapkan: Aku berllindung kepada Allah, niscaya kemarahannya akan reda"[7]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

وَ إذَا غَضَبَ أحَدُكُمْ وَ هُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الغَضَبُ وَ إِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ

"Dan apabila salah seorang kalian marah sedangkan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk, niscaya kemarahannya akan lenyap. Jika tidak lenyap maka hendaklah ia berbaring" [8]

4. Memukul Ketika Marah
Abu Mas’ud bercerita,” Pernah ketika aku memukul budak saya dengan cemeti, aku mendengar suara dari belakang yang berkata,”Ketahuilah wahai Abu Mas’ud”, namun aku tidak mengenali suara tersebut karena sedang marah”. Kemudian Abu Mas’ud melanjutkan perkataanya,” Ketika orang tersebut mendekat tenyata Rasulullah, Beliau bersabda lagi,”Ketahuilah hai Abu Mas’ud, ketahuilah hai Abu Mas’ud”!
Abu Mas’ud berkata lagi,”Maka kulepaskan cemetiku”. Lantas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Ketahuilah hai Abu Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih kuasa untuk berbuat demikian atas dirimu daripada apa yang engkau perbuat atas budak ini.” Maka aku menjawab,” Aku tidak akan memukul seorang budak pun setelah ini selama-lamanya" [9]

5. Berkata Buruk
Seorang pendidik harus menjauhi kata-kata buruk ataupun hinaan kepada anak didiknya. Misalnya ucapan “setan kamu” atau “laknat kamu” juga kata-kata yang bersifat celaan kepada murid. Ucapan-ucapan semacam itu sangat tidak pantas keluar dari lisan seorang pendidik, sebab akan melukai perasaan murid, menghilangkan kepercayaan dirinya, membuatnya semakin menjauh dari guru serta tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran. Lebih jauh lagi akibatnya adalah murid akan meniru ucapan gurunya tersebut dan melontarkannya kepada temannya atau pun saudaranya. Tanggung jawab ini tentu akan kembali kepada guru yang telah mengajarkan kata-kata buruk tadi kepada anak didiknya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَ مَنْ سَنَّ في الإسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

"…dan barangsiapa yang mencontohkan contoh kejelekan dalam islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang meniru perbuatannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun" [10]

HUKUMAN EDUKATIF YANG BERMANFAAT
Ada beberapa jenis hukuman yang bersifat mendidik, yang baik dilakukan oleh seorang pendidik terhadap murid yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Kami tegaskan lagi, tujuan menghukum anak yang berbuat salah adalah agar ia menyadari kesalahannya serta tidak mengulangi kesalahan serupa. Penekanan hukuman adalah pada sisi edukatif guna membentuk pribadi anak yang selalu bertanggung jawab atas setiap perbuatannya
Jadi hukuman bukan semata ajang pelampiasan amarah guru untuk menyakiti si anak ataupun untuk menunujukkan kekuasaanya sebagai guru.

Diantara hukuman yang bersifat mendidik adalah:
1. Memperlihatkan wajah masam untuk menunjukkan ketidak sukaan guru terhadap pelanggaran muridnya. Dengan demikian si murid menyadari perubahan raut wajah gurunya dan berusaha mengoreksi diri dari kesalahan yang tidak disukai gurunya.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: حَشَوْتُ وِسَدَةً لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فِيْهَا تَمَاثِيْلُ كَأَنَّهَا نُمْرُقَة فَقَامَ بَينَ البَابَيْنِ، وَ جَعَلَ يَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ، فَقُلْتُ: ما لَنَا يَا رَسُولَ الله؟[أَتُوْبُ إلى الله مِمَّا أَذْنَبْتُ]، قَالَ: مَا بَالُ هذه الوِسَادَةِ؟ قَالَتْ: قُلْتُ: وِسِادَة جَعَلْتُهَا لَكَ لِتَضْجِعَ عَلَيْهَا، قَالَ: أَمَا عَلِمْتِ أَنَّ مَنْ صَنَعَ الصُوَرَ يُعَذَّبُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُقَالُ: أحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ؟!

"Dari A’isyah ia berkata,” Aku membuat sebuah bantal untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalamnya terdapat gambar, lalu Beliau berdiri diambang pintu dan raut wajah Beliau berubah, aku berkata,” Ada apa ya Rasulullah? (Aku bertaubat kepada Allah atas dosa yang kukerjakan)”. Beliau bertanya,” Ada dengan bantal ini?” Aku menjawab,” Itu adalah bantal yang kubuat untukmu agar engkau bisa bersandar padanya,” Beliau berkata,” Tidakkah engkau tahu bahwa orang yang membuat gambar (makhluk hidup) akan disiksa pad hari kiamat nanti seraya dikatakan kepada mereka,”hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan?!" [11]

2. Menghajr yaitu mengisolir anak dengan tidak mengajaknya berbicara serta berpaling darinya selama beberapa waktu, dengan catatan tidak boleh dari tiga hari. Karena ada larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

عَنْ أبِي أَيُّوْب رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله قَال لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخَاه فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هذا و يُعْرِضُ هذا، وَخَيْرُهُمَا الذي يَبْدَأُ بِالسَلاَم

"Dari Abu Ayyub bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dai tiga hari, keduanya saling berpaling ketika bertemu, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam" [12]

3. Perkataan Pedas.
Seorang pendidik perlu mengeluarkan kata-kata pedas kepada anak yang melakukan dosa besar, apabila nasehat serta bimbingan sudah tidak berpengaruh lagi.

4. Menggantungkan Cambuk Di Dinding Rumah.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

عَلِّقُوا السَوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ البَيْتِ، فَإِنَّهُ أدَبٌ لَهُمْ

"Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga. Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka" [13]

Berkenaan dengan hadis di atas, Ibnu Al Anbari berkata, cambuk tersebut tidak dimaksudkan untuk memukul atau mecambuk mereka (penghuni rumah), sebab Nabi tidak pernah memerintah siapapun untuk memukul dengan cambuk tersebut. Yang Beliau maksudkan adalah janganlah kamu (para orangtua) meninggalkan pengajaran terhadap mereka. Adapun sabda Nabi “Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” , maksudnya cambuk tersebut akan menjadi pendorong bagi mereka untuk berakhlak dengan akhlak mulia dan bertingkah laku terhormat”[14]

5. Pukulan Ringan
Pukulan merupakan cara terakhir yang ditempuh jika cara-cara di atas tidak berhasil menyadarkan anak dari kesalahannya. Sebagaimana firman Allah yang memuat tahapan sanksi bagi istri yang durhaka kepada suaminya. Allah berfirman.

وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat mereka serta pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar". [An Nisaa’: 34]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. H.R Muslim
[2]. H.R Muslim
[3]. H.R Ahmad dalam Al Musnad, lihat juga Sunan At Tirmidzi hadits
[4]. H.R Muslim
[5]. Hadits hasan, lihat Shahihul Jami’
[6]. Muttafaqqun ‘alaih
[7]. Lihat Shahihul Jami, hadits
[8]. Hadits shahih, lihat Shahihul Jami’ hadits
[9]. H.R Muslim
[10]. H.R Muslim dan yang selainnya
[11]. H.R Al Bukhari dan Abu Bakr Asy Syafi’i dalam Al Fawaid
[12]. H.R Al Bukhari dan Muslim
[13]. Hadits yang dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’
[14]. Al Manawi menyebutkannya dalam Faidhul Qadiir

Radha'ah (Masa Menyusui) Dan Pembinaannya

Ilmu perkembangan manusia yang dikenal saat ini, konon merupakan produk dan hasil penelitian Barat. Asumsi ini sangat mendominasi dan telah menjadi wacana umum.

Padahal Al Qur’an dan Sunnah Nabi telah menerangkan siklus perkembangan manusia sejak masih berupa sel telur, embrio dalam rahim, sampai ia mencapai episode terakhir dari kehidupannya sebagai manusia di bumi ini.

Selain mengangkat tentang fase-fase tersebut, Al Qur’an dan Sunnah juga menetapkan bimbingan dan pengarahan untuk setiap fase itu, agar manusia senantiasa berada di jalur yang benar, bebas dari penyimpangan.

DALIL MENGENAI FASE KEHIDUPAN MANUSIA DI DUNIA
Allah menciptakan manusia dari air yang hina (sperma). Melalui perjalanan waktu, cairan itu berubah menjadi segumpal darah, dan akhirnya membentuk segumpal daging.

Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنكُم مِّن يُتَوَفَّى مِن قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلاً مُّسَمَّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa) kemudian (kamu dibiarkan hidup kembali) sampai tua. Di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). [Al Mukmin:67].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ

Sesungguhnya salah seorang dari kalian, penciptaan dirinya disatukan di perut ibunya pada empat puluh hari pertama. Kemudian ia berubah menjadi segumpal darah dalam masa yang sama. Berikutnya ia beralih menjadi segumpal daging dalam masa yang sama. Kemudian malaikat diutus untuk menuliskan empat perkara, (yaitu) menulis rezekinya, ajalnya, amalannya dan nasibnya, menjadi sengsara atau berbahagia kemudian meniupkan ruh padanya.[2]

Para ulama tarbiyah sangat intensif dalam memperhatikan proses perkembangan manusia. Tujuannya untuk mengungkapkan karakteristik setiap fasenya, baik dalam tinjauan fisik, kejiwaan, emosional dan kemampuan intelektualnya. Dari situ, penetapan sistem pembelajaran dan bobot materi bertumpu.

Fase-fase perkembangan tersebut meliputi : fase radha’ah (masa menyusui), fase hadhanah (masa usia dua sampai tiga tahun), fase tamyiz (masa usia tiga sampai tujuh tahun), fase bulugh (masa akil baligh), fase syabab (remaja, dewasa) dan fase syaikhukhah (masa tua). Dan yang hendak dibahas dalam tulisan ini seputar fase radha’ah (masa menyusui).

Dalam fase radha'ah ini, sang bocah bayi praktis hanya mengandalkan asupan ASI dari ibu. Bermula tatkala setelah janin keluar dari rahim, sampai berusia dua tahun. Artinya masanya dua tahun. Allah berfirman.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ُ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. [Al Baqarah:233].

Fase ini merupakan momentum yang sangat penting, lantaran janin telah memasuki fase barunya di dunia yang asing baginya. Pengaruh eksternal mulai bersinggungan dengannya, berupa nutrisi, interaksi orang, dan jenis pendekatan pada sang bayi.

Ibnul Qayyim menyatakan: "Perhatian intensif padanya pasca persalinan sangat ditekankan, dan tingkat kewaspadaan pada mereka harus tinggi. Sebab ranting pohon dan cabang-cabangnya ketika masih mengakar kuat pada batang inti, dan terkait dengannya, maka angin tidak mampu menggoyang dan mencabutnya. Tetapi tatkala dipisahkan dan ditanam di tempat lain, maka bahaya mengancamnya dan angin yang lembut sekalipun akhirnya mampu mencabutnya" [3].

Lanjut Ibnul Qayyim: "Janin yang baru saja meninggalkan rahim ibu, telah melepaskan diri dari ruangan yang biasa meliputinya dalam seluruh kondisi, hanya dalam satu waktu saja. Proses ini lebih berat daripada perpindahan yang bertahap".

Proses yang paling berpengaruh dalam pembentukan jati diri anak dalam fase ini adalah proses penyusuan. Para ahli pendidikan mengungkapkan, bahwa anak kecil sangat terpengaruh dengan ASI wanita yang menyusuinya, akhlaknya melalui air susu yang diminumnya. Oleh karena itu, semestinya memilih wanita yang baik akhlaknya, dari komunitas yang baik. [4]

Ibnu Qudamah mengatakan: “Abu Abdillah (Imam Ahmad) tidak menyenangi penyusuan anak dari wanita jahat dan musyrik”.

Umar bin Abdil Aziz berkata,”ASI sangat berperan kuat. Maka janganlah engkau menyusukan kepada wanita Yahudi, Nashara, atau wanita tuna susila…”

Mengapa demikian? Karena, ASI wanita yang buruk perangainya berpotensi mengantarkan anak menyerupai kejahatan wanita yang menyusuinya. Ia dapat terpengaruh ibu susuannya. Ada pepatah yang berbunyi “Sesungguhnya susuan membentuk tabiat”. Wallahu a'lam.[5]

Jadi, bayi harus dijauhkan dari ASI yang haram. Baik lantaran pembiayaannya haram atau sang wanita tidak menjaga diri dari makanan haram.

Al Ghazali menyatakan : "ASI yang keluar dari makanan haram tidak ada berkahnya. Jika terserap anak kecil, maka jasmaninya ternoda dengan materi yang buruk. Akhirnya perangainya cenderung kepada tindakan-tindakan yang buruk".[6]

Demikian juga sebaliknya, wanita shalihah lagi penuh kasih sayang, akan memberi warna positif terhadap sang bayi. Susuan, dekapan dan kehangatan ibunya yang shalihah sangat membekas pada pembentukan karakter bayi.

Susuan, selain memenuhi kebutuhan energi, juga mengalirkan tali kasih pada jiwanya yang haus terhadap kasih sayang, cinta dan perlindungan.

KARAKTERISTIK FASE RADHA'AH
a. Bayi tidak mampu mengekspresikan keinginan dengan bahasa verbal. Tangisan menjadi tumpuan alat komunikasi untuk memberitakan rasa lapar, rasa sakitnya, atau perasaan tidak enak lainnya. [7]
b .Ciri khas fase ini, lemahnya fisik bayi karena belum berapa lama keluar dari perut ibu. Karena itu, tidak perlu dipaksakan untuk berjalan. Hal ini hanya akan mengakibatkan kebengkokan pada kakinya.
c. Tanda lainnya, seringnya terjadi tangisan untuk meminta asupan ASI, terutama jika sedang merasa lapar. Ayah ibu tidak perlu risau bila mendenganr tangisan bayinya. Sebab tangisan dapat memperkuat lambung, anggota tubuh lainnya, dan menggerakkan lambung dan usus untuk mendorong hasil metabolisme yang tak berguna sehingga keluar. Demikian juga, tangisan dapat mengeluarkan kotoran dalam otak dan lain-lain.
d. Bayi sulit dipisahkan dari proses susuan. Karena itu, penyapihan harus dilakukan dengan bertahap. Bila tidak, akan berdampak pada dirinya.[8]

PENGARAHAN PENDIDIKAN DALAM FASE INI
Tahnik
Tahnik adalah mencerna kurma dan memasukkannya ke dalam mulut bayi dan diusapkan pada langit-langit mulut. Abu Musa Al Asy'ari bercerita:

وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ

"Anakku dilahirkan. Maka aku membawanya kepada Nabi dan memberinya nama Ibrahim serta mentahniknya dengan sebuah kurma…".[9]

Tujuan tahnik, supaya sang bayi melatih diri dan menguatkan lidahnya untuk makan. Yang paling baik adalah mentahnik dengan kurma. Bila tidak ada, maka bisa ruthab (kurma muda), atau kalau tidak, dengan sesuatu yang manis dan madu lebah lebih baik dari manisan yang lain [10]. Atau bertujuan menguatkan syaraf mulut untuk menggerakkan lidah dan dagu sehingga ia siap memulai proses penyusuan dan mengisap ASI. [11]

Aqiqah
Ritual lain yang disyariatkan pada masa ini, ialah penyembelihan hewan 'aqiqah sebagai cerminan ekspresi kebahagiaan dengan kehadiran sang bayi.

Dari Ummu Kurz Al Ka'biyah, ia bertanya kepada Rasulullah tentang aqiqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

"Untuk bayi lelaki dua kambing dan untuk bayi perempuan satu ekor kambing".[12]

Membersihkan Kotoran Kepala.
Tuntunan lain yang diarahkan oleh Islam berkaitan dengan bayi yang baru saja lahir, membersihkan noda dan kotoran yang ada di kepala bayi.

عَقَّ رَسُولُ الله عَنِ الْحَسَنِ وَ الْحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا وَأَمَرَ أنْ يُمَاطَ عَنِ رُؤُوسِهِمَا الأذَى

“Rasulullah menyembelih hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain di hari ketujuh, memberi nama keduanya dan Beliau memerintahkan agar kepalanya dibersihkan dari kotoran”.[13]

Tasmiyah
Tasmiyah adalah memberi nama kepada anak. Islam memberikan petunjuk yang agung, agar orang tua memilihkan nama yang baik bagi anaknya yang baru lahir. Rasulullah n sangat menyukai nama-nama yang baik. [14]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Malam ini telah lahir anak lelakiku dan aku beri nama dengan nama ayahku, Ibrahim".

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Sesungguhnya, nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.

Nama, semestinya bermakna baik dan bagus. Sebab nama juga bisa memberikan efek psikologis bagi pemiliknya. Seorang penyair berkata :

وَقَـلَّمَا أبْصَرَتْ عَينَاكَ ذَا لَقَبٍ إلاَّ وَمَعْنَاهُ إن فَكَّرْتَ فِيْ لَقَبِهِ

Dan tidaklah setiap kali pandangan Anda tertuju pada seseorang
Kecuali jika engkau renungi, maknanya mesti tersimpul dalam namanya.

Kapan waktu memberikan nama kepada bayi yang baru lahir? Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Sebagian hadits menunjukkan, bahwa penamaan dilakukan pada hari kelahiran bayi. Ada hadits lainn yang menentukannya di hari ketujuh.

Imam Bukhari menuliskan sebuah bab yang berjudul “Bab Penamaan Bayi Pada Hari Kelahirannya Buat Yang Tidak Disembelihkan Aqiqah dan Tahnik,
Barangsiapa Akan Disembelihkan Aqiqah Untuknya, Ditunda (Penamaannya) Sampai Hari Ketujuh”. Ini sebuah usaha pengkompromian dalil-dalil secara tepat [5]. Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan: “Pemberian nama boleh dilakukan di hari kelahirannya, boleh (juga) di hari ketiga. Demikian juga boleh ditunda sampai hari ketujuh. Dalam masalah ini ada kelonggaran”. [16]

Khitan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ

"Fitrah terdapat dalam lima perkara. (Yaitu) khitah, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak".[17]

Orang tua atau wali anak, wajib mengkhitan anaknya sebelum memasuki masa usia baligh. Hikmahnya, sebagaimana diterangkan Ibnul Qayyim: "Khitan mengandung unsur kesehatan, kebersihan, kerapian dan mempercantik kondisi fisik serta menormalkan syahwat, jika dilepas, maka manusia bagaikan hewan. Namun sebaliknya, bila dikebiri, maka manusia layaknya benda mati. sedangkan khitan akan menyeimbangkannya. Oleh karena itu, engkau dapati lelaki atau wanita yang tidak berkhitan, tidak pernah merasa kenyang dengan jima'". [18]

Dengan ini, menjadi jelas perhatian Islam terhadap fase kehidupan radha'ah ini. Adab-adab tersebut berpengaruh pada pembentukan moral. Ini termasuk nilai keistimewaan ajaran agama Islam.

Kesimpulannya, penanaman pendidikan pada masa menyusui ini meliputi: (1) Memberikan perhatian ekstra untuk menerapkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui tahnik, aqiqah, khitan dan penyusuan sang ibu. (2) Memilih wanita shalihah untuk menyusui bayi. (3) Kesehatan fisik anak mencerminkan kesehatan akal dan ruhani yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan moral yang baik.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Diangkat dari kitab Marahilu An Numuwwi Fi Dhaui Al Kitabi Was Sunnah karya Dr. Khalid bin Al Hazimi. Darul ‘Alamil Kutub.
[2]. HR Bukhari kitab Bad`ul Wahyi, Bab Dzikri Al Malaikah, Muslim kitab Al Qadar, Bab Kaifiyati Al Adami Fi Bathni Ummihi. Dan ini teks Imam Muslim.
[3]. Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud, karya Ibnul Qayyim, Darul Bayan.
[4]. Ibid.
[5]. Al Mughni  secara ringkas, Darul Kutub Al Ilmiyah.
[6]. Ihyau ‘Ulumid Din .
[7]. Tuhfatul Maudud,.
[8]. Ibid.
[9]. HR Bukhari, kitab 'Aqiqah, Bab Tasmiyatil Mauludi Ghadata Yuladu dan Muslim kitab Adab, Bab Istihbabi Tahnikil Maulud.
[10]. Fathul Bari.
[11]. Qishshatul Hidayah, karya Abdullah Ulwan.
[12]. Shahih Sunan Abi Dawud.
[13]. Hadits shahih diriwayatkan Al Hakim Lihat Irwaul Ghalil.
[14]. Zaadul Ma'ad.
[15]. Fathul Bari.
[16]. Tuhfatul Maudud.
[17]. HR Bukhari. Muslim .
[18]. Tuhfatul Maudud.

Langkah Menanamkan Kehormatan Pada Anak

Pendidikan yang buruk tanpa kontrol kontinyu di rumah, merupakan faktor dominan munculnya tindak keburukan dari anak-anak. Mereka hidup tanpa pengarahan atau pembinaan. Jalanan dan lingkungan lebih sering mempengaruhi otak dan pribadinya. Kondisi sosial yang tidak bersahabat dengan pertumbuhan anak, mengharuskan para orang tua agar meningkatkan perhatian mereka terhadap anak, terutama dalam aspek agamanya. Karena, selain sebagai karunia dari Sang Pencipta Azza wa Jalla, anak juga sekaligus sebuah tanggung jawab yang tidak boleh disia-siakan.

Oleh karena itu, proses pendidikan yang baik lagi intensif sangat urgens untuk segera dimulai sejak dini, supaya tercipta insan-insan yang menjunjung tinggi iffah. Yaitu mentalitas untuk selalu menjauhi segala sesuatu yang haram dan tidak terpuji untuk dikerjakan. Dengan ini, berarti para orang tua telah menanam investasi buat kehidupan akhiratnya, lantaran anak-anaknya shalih dan shalihah. Sebuah investasi yang tidak terukur harganya buat orang tua. Hilangnya iffah dari hati anak-anak (remaja) menimbulkan berbagai dampak sosial yang berbahaya. Para remaja enggan menikah lantaran kebutuhan biologis dapat terpenuhi dengan jalan haram.

Hancurnya keluarga, banyaknya kasus aborsi ataupun pemerkosaan, merupakan sebagian kisah memilukan yang nampak di tengah masyarakat. Belum lagi menyebarnya berbagai jenis penyakit kelamin dan penyakit jiwa, seakan menjadi pelengkap rusaknya tatanan nilai sosial yang luhur.

Ada beberapa langkah preventif untuk merealisasikan terciptanya iffah (kehormatan) pada diri anak. Yaitu:

PERINTAH MENINGKATKAN KETAKWAAN DAN KEIMANAN.
Pengekang paling efektif dalam menghadapi maksiat ialah dengan meningkatkan kualitas keimanannya kepada Allah. Caranya, sebagaimana diungkapkan sebagian ulama, "Janganlah engkau melihat kecilnya suatu dosa, tetapi ingatlah keagungan Dzat yang engkau hadapi".

Ada ulama yang ditanya tentang resep praktis agar kita dapat menjaga pandangan dari obyek yang haram, maka ia menjawab: "Dengan keyakinanmu, bahwa pandangan Allah kepadamu mendahului pandanganmu kepada obyek yang haram".

Seorang hamba yang meyakini Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dariNya, baik di langit maupun di bumi, bahkan yang disembunyikan hati; maka sikap ini akan mengarahkan seseorang untuk memelihara lidah, anggota tubuh yang lain, serta apa yang terlintas di benaknya. Sehingga tidak ada tindak-tanduknya yang menyebabkan kemurkaan Allah.

Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tiga orang yang terjebak dalam gua, karena sebongkah batu menutup mulut gua, sehingga tidak bisa keluar darinya. Mereka bertiga bertawasul (memohon kepada Allah dengan perantaraan) dengan amalan terbaiknya, dengan harapan Allah akan menyelamatkan mereka dari kungkungan kegelapan gua.

Orang yang ketiga mengatakan: "Ya, Allah. Aku mempunyai sepupu wanita yang merupakan gadis yang paling aku senangi. Aku pernah merayunya untuk berzina dengannya, tetapi ia menolak sampai akhirnya datanglah masa paceklik. Ia pun mendatangiku (untuk minta bantuan). Aku beri ia seratus dua puluh dinar dengan syarat memberiku jalan untuk berzina dengannya. Ia pun terpaksa menyetujuinya. Sampai akhirnya, aku berada dalam posisi akan menyentuhnya, ia berkata: "Tidak halal bagimu untuk membuka ‘segel’ kecuali dengan haknya", maka aku pun merasa tidak sampai hati untuk menyetubuhinya, dan aku langsung bergegas pergi. Padahal, ia gadis yang sangat aku idamkan. Dan aku tinggalkan uang emas yang aku berikan. Ya, Allah! Jika itu aku lakukan karena ingin mengharapkan wajahMu, maka bebaskan kami dari kondisi yang meliputi kami (ini). Maka batu itupun bergeser [1]

PERNIKAHAN DINI
Ini terhitung terapi manjur dalam menciptakan kehormatan pada anak. Orang tua bertanggung jawab menikahkan anak-anaknya. Di banyak ayat, Al Qur’an menganjurkan orang agar mengakhiri kesendiriannya dengan pernikahan sebagai media menjaga gejolak seksualnya, dan sekaligus mengokohkan tatanan sosial. Juga untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak menikah di antara hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya". [An Nur : 32].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menekankan hal ini dengan menjadikannya sebagai Sunnah Beliau. Oleh karena itu, pernikahan dini menjadi pilihan tepat untuk menuntaskan problematika seksual dan sangat cocok dengan fitrah manusia.

Ketika dua insan, lelaki wanita mengikat tali kasih cinta lewat pernikahan, maka ada dua manfaat yang diraihnya. Yaitu ketentraman jiwa dan kenikmatan duniawi melalui jima’. Dua hal ini sangat berpotensi dalam pengendalian nafsu syahwat manusia.

MENJAGA PANDANGAN.
Makna menjaga pandangan, ialah menahannya dari pandangan yang diharamkan. Jika tanpa sengaja pandangan matanya mengarah kepada obyek haram, maka langsung dipalingkan darinya. Ini harus ditekankan orang tua kepada anak sejak dini. Sehingga nantinya mudah bagi sang anak untuk menjaga diri dari pandangan haram. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya". [An Nur : 30].

Ibnul Qayyim menjelaskan : “Allah Azza wa Jalla menitahkan NabiNya untuk memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluannya. Karena awalnya disebabkan oleh pandangan, maka perintah menjaga pandangan lebih di kedepankan daripada tekanan untuk menjaga kemaluan. Pasalnya, kasus-kasus yang terjadi bermula dari pandangan. Kronologisnya, (dimulainya dengan) pandangan, angan-angan, langkah dan kemudian terjadi dosa. Ada ungkapan: "Barangsiapa bisa menjaga empat hal ini, niscaya akan dapat membentengi agamanya. (Yaitu) detik-detik waktunya, angan-angan, tutur kata dan langkah-langkahnya".[2]

Al Qurthubi memberi nasihat : "Mata adalah gerbang terbesar menuju hati, dan panca indera yang paling berpengaruh terhadapnya. Karena itu, banyak terjadi kebinasaan (karenanya), dan wajib diwaspadai. Menjaganya dari yang haram hukumnya wajib, dan juga (harus menjaganya) dari setiap yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah"[3].

Anas bin Malik berkata : "Jika seorang wanita melewatimu, maka pejamkan matamu sampai dia menjauh". [4].

BERPUASA BAGI YANG BELUM MAMPU MENIKAH.
Puasa dapat meningkatkan ketakwaan seseorang dan memudahkannya untuk mengekang hasrat seksualnya. Nabi menjadikannya sebagai solusi bagi yang belum mampu membina rumah tangga. Bukan dengan melampiaskan melalui sarana yang haram atau maksiat. Sebab perilaku seperti ini tidak akan bisa mengobatinya, tetapi menumbuhkan penyakit bagi hatinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, (artina) : "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaknya menikah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa akan menjadi pengekang buat dirinya [5].

Perintah puasa buat para pemuda sangat efektif untuk memelihara diri mereka. Dia akan menahan diri dari berbagai makanan, minuman dan syahwatnya demi meraih ridha Allah. Puasa bagaikan wahana pembinaan menghadapi segala perkara yang berat dan meredam gejolak syahwat perut yang merupakan syahwat yang paling kuat. Juga bermanfaat untuk melahirkan pribadi yang berkepribadian kuat.

HENDAKNYA DIBERI PENEKANAN AGAR SELALU BERKAWAN DENGAN ORANG-ORANG YANG BAIK
Sahabat yang baik akan menjadi penolong setelah Allah dalam meniti jalan yang lurus. Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda :

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

"Seseorang akan mengikuti kebiasaan teman karibnya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat orang yang dia ajak berkawan". [HR Abu Dawud dan Tirmidzi.].

Meremehkan bahaya teman yang buruk, akan menjadi bumerang di kemudian hari. Allah telah menceritakan penyesalan orang yang berkawan dengan orang yang tidak baik.

Qotadah berpesan: "Demi Allah. Sesungguhnya kami tidak melihat seorang lelaki yang mencari kawan, kecuali yang sama atau serupa. Maka berkawanlah dengan orang-orang yang shalih. Semoga kalian selalu bersama mereka atau menjadi seperti mereka".

MENANANMKAN RASA MALU PADA DIRI ANAK.
Al haya` (rasa malu) merupakan etika yang baik yang akan mengantarkannya menuju perbuatan yang baik dan menghalanginya dari tindakan buruk. Karena itu, Islam memuji rasa malu.

Ibnu ‘Umar meriwayatkan dari Nabi yang bersabda: "Rasa malu dan iman selalu bersanding. Jika salah satunya lenyap, maka yang lain (juga) hilang".[6]

Abu Said Al Khudri berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا

"Rasulullah sangat pemalu, melebihi seorang gadis perawan dalam pingitannya".[7]

Rasa malu adalah sumber kebaikan. Wajah yang dihiasi dengan rasa malu bak permata yang mahal. Kehormatan akan terjaga. Terutama bagi seorang gadis, akan menjaga kesucian dirinya, menjauhkannya dari wilayah rawan yang bisa memperkeruh kehormatannya. Akhirnya ia menjadi pribadi yang hidup hatinya dan suci jiwanya.

MENJAUHI OBYEK YANG MENIMBULKAN RANGSANGAN ATAU FITNAH.
Seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah. Demikian juga, tidak menjadi sumber fitnah untuk orang lain. Ada beberapa hal yang dilarang syari’at lantaran dapat menimbulkan gejolak nafsu dan merangsang berbuat maksiat.

1. Berjabat Tangan Antara Lelaki Dan Perempuan Yang Bukan Mahram.
Lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, dilarang keras untuk berjabat tangan. Dengan tegas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

لِأنْ يَطْعَنَ فِي رَأْسِ أحَدَكِمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لَا تَحِلُّ لَهُ

"Tertusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [8]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm sebagai pribadi yang paling bertakwa dan mulia, Beliau tidak pernah berjabat tangan dengan wanita. Umaimah binti Raqiqah menceritakan, ketika sebagian wanita berbaiat kepada Nabi, kami berkata: "Ya, Rasulullah! Tidakkah engkau berjabat tangan dengan kami?" Beliau menjawab:

إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ كَقَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ

"Aku tidak bersalaman dengan wanita. Ucapanku pada seorang wanita (dalam baiat), seperti halnya ucapanku kepada seratus wanita".[9]

Siapapun, lelaki maupun wanita itu, jika ia bukan mahramnya, maka tidak boleh terjadi persentuhan antara kulit mereka berdua.

2. Menikmati Musik.
Musik termasuk pemicu yang dapat menimbulkan rangsangan syahwat dan menyebarkannya. Suara merdu, apalagi diiringi dengan alunan musik, sangat melekat di hati.

Ibnu Taimiyah mengatakan: "Musik rayuan menuju zina. Ia menjadi salah satu penyebab terjadinya kemungkaran. Seorang lelaki atau anak kecil atau seorang wanita yang sebelumnya kehormatannya terjaga, begitu menghadiri tontonan musik, maka jiwanya berubah lepas, dan kemungkaran mudah ia kerjakan. Ia langsung menjadi pelaku atau sebagai obyek dari maksiat tersebut, atau menjadi dua-duanya, sebagaimana yang dialami penenggak minuman keras". [10]

Sedangkan Ibnul Qayyim berkata: "Tidak pelak lagi, lelaki yang punya ghirah (kecemburuan terhadap agama) akan menjauhkan keluarganya dari alunan musik, sebagaimana ia menjaga mereka dari perkara-perkara fitnah,” beliau menambahkan: “Demi Allah. Berapa banyak wanita terhormat yang akhirnya menjadi wanita jalang karena pengaruh musik…" [11]

3. Tutur Kata Yang Menggoda.
Tutur kata yang menggoda dan terlalu genit, terutama dari pihak perempuan termasuk faktor yang dapat melunturkan kehormatannya. Di sisi lain, ia mampu membuat lawan jenisnya terfitnah. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lainnya, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". [12]

Dalam ayat ini, Allah melarang al khudhu’fil qaul (berbicara dengan menggoda) kepada lelaki. Sebab, seperti dijelaskan hikmahnya, agar tidak menimbulkan rangsangan kepada orang yang hatinya ada penyakit.

Fenomena yang terjadi, sebagian wanita terlalu ramah dalam berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Senyumnya selalu tersungging, seolah-olah sedang berbicara dengan suami atau ayah dan anaknya. Bahkan tidak itu saja. Ada yang mencoba mencandainya. Bisa jadi, tingkat keramahannya melebihi saat ia bersama suaminya. Tentu ini sebuah kesalahan dan kemungkaran yang bisa mengantarkannya kepada kemaksiatan lainnya.

4. Ikhtlath (Bercampurnya) Lelaki Perempuan.
Islam tidak memprbolehkan terjadinya ikhtilah antara kaum lelaki dengan perempuan dan sebaliknya. Semua ini untuk menjaga keluhuran akhlak, kehormatan dan norma-norma.

KHUSUS BAGI ANAK PEREMPUAN, HENDAKNYA MENUTUPI DIRI DENGAN PAKAIAN MUSLIMAH.
Salah satu indikasi kebaikan seorang wanita muslimah, ialah mengenakan pakaian yang sesuai dengan syari’at Islam yang suci. Hijab, itulah istilahnya. Dalam hal ini, seorang mukminah tidak mempunyai alternatif lain, kecuali harus tunduk patuh kepada Rabb-nya. Termasuk dalam hal ini, yaitu tunduk patuh dalam mengikuti petunjuk perintah tersebut. Sebab, manakala kaidah-kaidah umumnya diserahkan kepada masing-masing individu, maka tujuan agung dari peraturan tersebut akan menjadi kabur.

Fenomena sosial menjadi bukti nyata. Apabila prinsip berpakaian ‘bebas’, maka yang muncul jilbab gaul, desain baju yang sempit lagi transparan dan terkesan kurang bahan. Ditambah lagi, tampilan yang mengundang tatapan mata. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, (artinya) : "Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al Ahzab : 59].

Pakaian wanita harus menutupi sekujur tubuhnya, tidak boleh tranparan atau berdesain yang menyolok, tidak sempit atau mini. Demikian juga tidak menyerupai tradisi wanita kafir atau perempuan yang fasik.

Demikianlah diantara kunci untuk memelihara kehormatan anak-anak. Penjagaan kehormatan sangat penting. Karena ia merupakan cerminan iman dan kunci untuk menggapai kebahagian abadi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam bersabda:

مَنْ ضَمِنَ لِيْ مَا بَينَ لِحْيَيهِ وَفَخِذَيهِ ضَمِنْتُ لَهُ الْجَنَّةَ

"Barangsiapa mampu menjamin pemeliharaan anggota yang ada diantara dua tulang rahangnya dan diantara dua selangkangannya, maka aku jamin baginya surga". [Lihat Shahihul Jami’].

Semoga pengakuan Ibnu Sirin di bawah ini bukan lagi khayalan pada generasi muda. Dia pernah menceritakan tentang dirinya: "Demi Allah. Aku tidak pernah menyetubuhi wanita sama sekali, kecuali Ummu’Abdillah saja –istrinya-. Pernah aku bermimpi melihat wanita, dan aku pun ingat bahwa ia tidak halal bagiku, maka aku palingkan pandanganku darinya".
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Bukhari dan Muslim.
[2]. Ad Da`Wa Ad Dawa`.
[3]. Tafsir Al Qurthubi.
[4]. Al Wara`, karya Ibnu Abid Dunya.
[5]. HR Bukhari,dan Muslim.
[6]. HR Al Hakim dan dishahihkan Syaikh Al Albani.
[7]. HR Muslim.
[8]. HR Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami’.
[9]. HR Imam Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ibnu Katsir berkomentar: “Ini sanadnya jayyid”.
[10]. Majmu’ Al Fatawa.
[11]. Ighatsatu Al Lahafan.
[12]. QS Al Ahzab : 32.

Mendo'akan Anak Ciri Pendidik Ideal

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka(jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku. [Al Baqarah : 186]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السَّوءَ

Atau siapakah yang memperkenankan (Do’a) orang yang dalam kesulitan apa bila ia berdo’a kepadaNya dan yang menghilangkan kesusahan. [An Naml : 62]

Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Berdoa itu adalah Ibadah. [1]

Wahai para pendidik, doa sangat memberi manfaat kepada anak dan menambah keteguhan dan kesolehan mereka serta orang akan selalu mendapat hidayah dan petunjuk kepada jalan yang lurus.

Oleh sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong kita agar selalu berdoa untuk kebaikan anak, sebab doa akan menambah keberkahan dan kebaikan pada anak. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kepada kita mendoakan buruk atas anak sebagaimana Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمِ وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أمِوَالِكُمْ, وَلاَ تُوَافِقُوْا مِنَ الله سَاعَةً إلاَّ يَسْألُ فِيْهَا عَطاَءً فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ.

Janganlah kalian berdoa buruk atas dirimu, jangan berdoa buruk atas anakmu, dan jangan berdoa buruk atas hartamu sebab bila kalian tepat pada saat yang dikabulkan Allah ketika kamu meminta suatu permintaan maka Allah akan mengabulkannya.

Seorang laki-laki datang kepada Abdullah Ibnu Mubarak yang mengeluhkan tentang kenakalan anaknya, maka Beliau bertanya kepadanya,” Apakah kamu pernah berdoa buruk atasnya? ia menjawab,”Ya”. Ibnu Mubarak berkata,” Kamulah yang merusaknya”.

Wahai para pendidik, daripada anda merusak anak maka lebih baik anda menjadi sebab baiknya anak dan datangnya keberkahan dalam hidup mereka lewat cara berdoa baik untuk mereka seperti yang dilakukan oleh pendidik utama, Muhammad dan para rasul serta para nabi.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah merangkulku ke dadanya lalu bersabda.

اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ وَفِي رِوَايَةٍ عَلِّمْهُ الْكِتَابَ

Ya Allah ajarkanlah kepadanya Al hikmah” dalam riwayat lain “Ajarkanlah kepadanya Al Kitab.

Dengan karunia Allah Azza wa Jalla berkat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu menjadi pemuka ulama dan ahli tafsir Al-Qur’an.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berdoa untuk kebaikan anak-anak ketika dalam keadaan bepergian, sebab dia pada saat itu sangat dikabulkan. Beliau berdoa.

اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبَ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةَ فِي اْلأَهْلِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلِبِ فِي الْمَالِ وَالأهْلِ وَالْوَلَدِ.

Ya Allah Engkau adalah teman dalam perjalanan, pengganti di keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gangguan perjalanan, kegelisahan penungguan dan buruknya kembali pada harta, keluarga dan anak.

Kaum Ibu pernah datang kepada Rasulullah agar Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa untuk anak-anak mereka.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Ummu Sulaim berkata,” Wahai Rasulullah, Anas menjadi pembantumu maka berdoalah kepada Allah untuk kebaikannya”. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa.

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ وَبَارَكَ فِيْمَا أَعْطَيْتَهُ

Ya Allah berikanlah kepada Anas harta dan anak yang banyak dan berkahilah apa-apa yang engkau berikan kepadanya.

Dalam riwayat Bukhari bahwa Anas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Ummu Sulaim membawaku kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menutupi badanku dengan setengah tudungnya dan setengah selendangnya. Maka ia berkata,” Wahai Rasulullah, anak ini bernama Unais aku membawanya kepadamu untuk menjadi pembantumu, maka berdoalah kepada Allah untuk kebaikannya”. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa.

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ

Ya Allah berikanlah kepada Anas harta dan anak yang banyak.

Anas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Demi Allah hartaku banyak dan sungguh anak dan cucuku sampai seratus orang sejak hari ini”.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Khildah berkata bahwa Abu Aliyah pernah mendengar Anas Radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kepadaku untuk kebaikan maka aku punya kebun buah-buahan yang bisa panen setahun dua kali sementara dalam kebun juga ada pohon raihan untuk bahan minyak kasturi”.

Berdoa merupakan perihal yang menjadi ciri utama pendidik yang berhasil yang pasti bisa dipetik buah dan hasilnya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. [Ghafir : 60]

Dalam memenuhi panggilan Allah tersebut, para nabi dan rasul selalu berdoa untuk kebaikan anak cucu mereka.

Bukanlah kemiskinan yang menjdikan mereka cemas dan risau. Sebab tidak ada kerisauan dan kemalangan yang lebih besar daripada orang yang melepas keimanan demi mengejar dunia yang fana. Melepas iman apapun sebabnya merupakan sebab kecelakaan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu para nabi selalu mewanti-wanti kepada keturunan mereka agar senantiasa menjaga benteng iman yang merupakan sebab keberhasilan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.

Allah Azza wa Jalla berfirman ketika menceritakan doa Nabi Ibrahim untuk keturunannya.

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. [Al Baqarah : 128]

Lalu firmanNya dalam surat lain, mengisahkan doa Nabi Ibrahim yang lain.

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

Ya tuhanku,jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman dan jauhkanlahaku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. [Ibrahim : 35]

Juga firman Allah.

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku. [Ibrahim : 40]

Begitu juga Zakaria berdoa sebagaimana firman Allah.

قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَآءِ

Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a. [Ali Imran : 38]

Allah Ta'ala juga berfirman mengisahkan sifat-sifat ‘Ibadurrahman adalah berdoa untuk kebaikan istri dan keturunannya.

Firman Allah,

قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَى وَالِدَيذَ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Ya tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. [Al Ahqaf : 15]

Firman Allah

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami , anugerhakanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati(kami) dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertakwa. [Al Furqan : 74]

Wahai para pendidik, berdoalah kepada Allah untuk anak-anakmu terus menerus dan tumbuhkan perasaan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali datang dari Allah karena seluruh taufik hanya datang dari Allah sementara manusia hanya sekedar usaha dan ikhtiar. Marilah kita berdoa dengan penuh khusyu’ dan perasaan tunduk semoga Allah menutup kekurangan, memberi belas kasih kepada yang lemah di antara kita, dan memelihara anak cucu kita. Hendaklah kita membiasakan pola makan, pola minum dan dalam berpakaian yang bersih dan halal. Begitu juga hendaklah berdoa dalam keadaan suci, menghadap kiblat dan mengembalikan kedzaliman kepada pemiliknya serta memilih waktu yang mustajab terutama pada saat sujud berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأكْثِرُوْا مِنَ الدُّعَاءِ

Saat yang paling dekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sedang sujud maka perbanyaklah berdoa. [2]

Dari Abu Umamah berkata, ” Pernah Rasulullah ditanya: Kapan doa sangat dikabulkan? Beliau bersabda, ”Pada waktu pertengahan malam dan setiap selesai shalat wajib”.

Wahai saudaraku, jangan lupa perdoa terutama ketika dalam keadaan bepergian berdasarkan hadits dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ, دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالَدِ عَلَي وَلَدِهِ.

Ada tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan, doa orang yang teraniaya, doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua atas anaknya.

Begitu juga berdoa pada siang hari dan malam hari dari bulan ramadhan serta berdoa pada saat haji dan umrah. Maka berdoalah kepada Allah pada saat itu sementara dalam keadaan sangat yakin bahwa doa anda dikabulkan sehingga Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata,”Yang menjadi perhatianku bukan terkabulnya doa akan tetapi perhatian utamaku adalah ilham untuk bisa berdoa sebab orang kalau sudah bisa berdoa maka pengkabulan doa akan bisa diraih”.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Riwayat Abu Dawud
[2]. HR Muslim

Bagaimana Mencintai Buah Hati Anda..?


SIKAP SEIMBANG DALAM MENCINTAI ANAK
Cinta kepada buah hati adalah fitrah manusia yang dibenarkan syari’at. Orang tua sewajibnya menempatkan cinta dan kasih sayangnya kepada anak secara benar. Sebab anak adalah amanah bagi orang tua. Mengekspresikan cinta kepada anak melalui didikan dan arahan yang benar, sebagai tindakan bijaksana dari orang tua yang betul-betul memahami hakikat cinta kepada anak. Membimbingnya agar tumbuh menjadi generasi yang lurus dan tangguh, mampu mengemban tugas-tugasnya sebagai hamba Allah dan sebagai bagian dari masyarakat. Sehingga mustahil dapat membimbing mereka dengan arahan dan didikan yang benar, jika kita tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang. Di sisi lain, tidak sedikit orang tua yang keliru mengejewantahkan rasa cinta dan kasih sayangnya sehingga justru melahirkan sikap manja, pengecut dan sederet sikap tercela lainnya pada anak. Hingga membuahkan petaka dan penyesalan di penghujungnya. Lalu bagaimanakah wujud cinta kita yang benar kepada anak?

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan agung yang telah memberikan contoh kepada kita. Beliau adalah orang yang begitu besar rasa kasih sayangnya terhadap anak-anak. Sejarah hidup Beliau telah menorehkan kumpulan petunjuk, bagaimana mewujudkan rasa cinta kepada anak, bagaimana mencurahkan cinta kepada anak secara seimbang dan proporsional. Hingga kita dan sang buah hati kesayangan menuai kebahagiaan di dunia dan akhirat, biidznillah. Itulah wujud cinta yang hakiki, sehingga akan membuahkan kesuksesan sejati.

Untuk itu, agar kecintaan dan perasaan kasih-sayang kita kepada anak seimbang dan benar sesuai dengan kaidah dan pedoman yang Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan, maka kita harus membangunnya, sebagaimana kaidah-kaidah berikut.

ALLAH DAN RASULNYA HARUS DIDAHULUKAN
Orang tua mencintai anak ada batasannya. Begitu juga anak mencintai bapak-ibunya ada batasannya. Yakni, seorang mukmin wajib mendahulukan cinta kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala macam kecintaan. Sehingga, cinta anak tidak boleh mengalahkan cinta Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang muslim harus mengutamakan perintah Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, tunduk terhadap ajaran agama serta menjauhi segala larangan syari’at.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى أكُوْنَ أحَبَّ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أجْمَعِيْنَ.

Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya. Tidaklah salah seorang diantara kalian beriman, hingga aku lebih dicintai daripada bapaknya, anaknya dan semua umat manusia. [Muttafaqun’alaih].

Imam Tirmidzi meriwayatkan kisah Salman bin Amr bin Al Ahwas Radhiyallahu 'anhu. Salman menuturkan,”Bapakku telah bercerita kepadaku, bahwa ia ikut hadir pada haji Wada’ bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah memuji dan menyanjung Allah Azza wa Jalla serta memberi peringatan dan nasihat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Janganlah orang tua melakukan kejahatan kepada anak, dan begitu juga anak jangan berbuat kejahatan kepada orang tua’.”

Pernah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla.

وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ عَظِيمُُ

Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan. (Al Anfal:28), ketika melihat Hasan bin Ali terpeleset sementara ia seorang bocah kecil, dan ketika itu Rasulullah sedang berkhutbah lalu turun untuk menggendongnya.[1]

JANGAN BAKHIL, BODOH DAN MENJADI ORANG PENGECUT KARENA ANAK
Dari Khaulah binti Hukaim, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar dari rumah sedang menggendong salah seorang cucunya, maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

والله إنَّكُمْ لَتُبَخِّلُوْنَ وَتُجَبِّنُوْنَ وَتُجَهِّلُوْنَ وَ إنَّكُمْ لَمِنْ رَيْحَانِ الله.

Dan demi Allah, sesungguhnya kalian membuat bakhil, membuat pengecut dan membuat bodoh (orang tua). Dan kalian laksana bunga raihan karunia dari Allah.[2]

Dari Hakim dari Al Aswad bin Khalaf dan Thabrani dari Khaulah binti Hukaim berkata, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memegang tangan Al Hasan, lalu Beliau menciumnya seraya Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ مَجْهَلَةٌ مَخْزَنَةٌ.

Sesungguhnya anak itu membuat bakhil, pengecut, bodoh dan menyusahkan (orang tua).[3]

Ada beberapa komentar ulama tentang makna hadits di atas. Zamakhsyary berkata,”Anak menjatuhkan orang tua kepada sifat bakhil dalam masalah harta benda dengan alasan masa depan anak. Orang tua menjadi bodoh karena sibuk mengurus anak hingga lalai mencari ilmu. Orang tua menjadi pengecut hingga takut terbunuh, khawatir nanti anaknya terlantar. Dan orang tua dibuat sedih karena berbagai masalah dan problem yang timbul dari anak. Adapun sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Kalian laksana bunga raihan karunia dari Allah”, karena orang tua mencium dan memeluk anak, bagaikan mencium bunga raihan yang ditumbuhkan Allah.” [4]

Dan obat dari semua sifat tercela tersebut, baik bakhil, pengecut dan bodoh, adalah dengan berpegang teguh kepada manhaj Islam, yaitu manhaj yang telah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada para sahabatnya, pendidikan yang dibangun di atas kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ketaatan secara total.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa ada seseorang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, ”Sesungguhnya saya dalam keadaan susah”. (Kemudian) Beliau menyuruh untuk menemui salah seorang isterinya, ia berkata,”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, tidak ada sesuatu dalam rumahku, kecuali air”. Lalu Beliau menyuruh untuk menemui isteri yang lain, dan ia mengatakan hal yang sama. Tetapi semua juga mengatakan seperti itu. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa bisa menyambut tamu, Allah Azza wa Jalla akan merahmatinya.” Kemudian ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang bernama Abu Thalhah berkata, ”Saya, wahai Rasulullah,” Maka ia mengajak tamu ke rumahnya, dan Abu Thalhah berkata kepada isterinya,”Apakah engkau punya makanan?” Isterinya menjawab,”Tidak, kecuali makanan untuk anak-anak.” Ia berkata, ”Hiburlah dan tidurkan mereka. Dan bila tamu kita datang, maka tampakkan bahwa kita punya makanan. Dan bila tamu kita sedang makan, maka bangkitlah ke arah lampu pura-pura ingin membenahi, lalu matikanlah lampu itu.” Isterinya pun mengerjakan perintah itu. Setelah tamu tersebut makan, maka Abu Thalhah semalam bersama isterinya tidur menahan lapar. Lalu pada pagi hari ia datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau bersabda, ”Sungguh, Allah kagum atau tertawa terhadap tindakan fulan dan fulanah, maka turunlah firman Allah.” [5]

وَيُوْسِرُو نَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَا صَةٌ

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)

Dalam riwayat lain Nabi bersabda.

قَدْ عَجِب الله مِنْ صَنِيْعِكُمَابِضَيْفِكُمَا

Allah sangat kagum terhadap sikap kalian berdua terhadap tamu kalian.

Inilah obat penyakit bakhil yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat. Maka semestinya kita meniru dan mengikuti jejak mereka, karena mereka adalah sebaik-baik panutan dalam pendidikan yang benar.

Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata, ”Suatu hari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami agar bersedekah. Dan ketika itu, aku sedang memiliki harta yang sangat banyak. Maka aku berkata,’Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar’. Lalu aku membawa separuh hartaku untuk disedekahkan. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,”Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Aku menjawab,”Aku tinggalkan untuk keluargaku semisalnya”. Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,”Wahai, Abu Bakar. Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Ia menjawab,”Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.” Maka aku (Umar) berkata,”Aku tidak akan bisa mengunggulimu selamanya.” [6]

Inilah perlombaan dalam kedermawanan, cinta sedekah dan lebih mengutamakan orang lain. Maka ajarilah anak-anak kita di atas ajaran kebaikan, dan janganlah menjadikan cinta kepada anak membuat kita mengalahkan cinta Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

SABAR TERHADAP COBAAN DARI ANAK
1. Sabar atas cobaan ketika anak sakit.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ يَنْزِلُ بِالْمُؤْمِنِ وَ الْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّي يَلْقَي الله وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيْئَةٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِمَالِكٍ: وَمَا يَزَالُ الْمُؤْمِنُ يُضَارُّ فِي وَلَدِهِ وَحَامَتِهِ حَتَّي يَلْقَي الله وَلَيْسَتْ لَهُ خَطِيْئَةٌ.

Tidaklah musibah terus menimpa terhadap seorang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan pada dirinya, anaknya dan harta bendanya hingga nanti bertemu Allah tidak tersisa kesalahan sama sekali. Dalam sebagian riwayat imam Malik: Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah pada anaknya dan sanak kerabatnya hingga nanti bertemu Allah tidak tersisa kesalahan sama sekali. [7]

Abu Dawud meriwayatkan dari Muhammad bin Khalid As Sulami dari bapaknya dari kakeknya, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الْعَبْدَ إذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنَ الله منزلة فَلَمْ يَبْلُغْهَا ابْتَللاَهُ الله تَعَالَى فِي جَسَدِهِ أوْ فِي مَالِهِ أوْ فِي وَلَدِهِ.

Sesungguhnya, apabila seorang hamba ingin mendapatkan kedudukan tinggi dari sisi Allah sementara tidak sampai, maka Allah akan menimpakan musibah pada jasadnya atau harta bendanya atau anaknya”.

Dalam riwayat lain disebutkan: Kemudian Allah memberi kesabaran hingga sampai kepada derajat yang diinginkan oleh Allah.

2. Sabar menghadapi kematian anak.
Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا {80} فَأَرَدْنَآ أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا

Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). [Al Kahfi: 80, 81].

Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata,”Kecintaan kedua orang tua kepada anaknya akan membuat mereka mengikuti anak dalam kekufuran.”

Abu Qatadah berkata,”Ketika anak terlahir, kedua orang tua bergembira. Dan ketika anak terbunuh, mereka sedih. Sehingga bila anak tersebut tetap hidup, maka akan menjadi sumber kehancuran bagi orang tua. Hendaknya kedua orang tua bersabar dan menerima ketentuan takdir Allah Azza wa Jalla, karena putusan Allah Azza wa Jalla atas seorang mukmin dalam hal yang tidak menyenangkan, mungkin lebih baik daripada dalam hal yang menyenangkan hati.”

Dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ الله لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي؟ فَيَقُوُلُوْنَ: نَعَمْ فَيَقُوْلُ: قَبَضْتُمْ ثَمْرَةَ فُؤَادِهِ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ. فَيَقُوْلُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَكَ. فَيَقُوْلُ: اُبْنُوْا لِعَبْدِي بَيْتاً فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوْهُ بَيْتَ الْحَمْدِ.

Jika putera seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada Malaikat,”Kalian telah mengambil putera hambaku?” Mereka berkata,” Ya.” Allah berfirman,”Kalian telah mengambil buah hati hambaku?” Mereka berkata,”Ya.” Allah berfirman,”Apa yang diucapkan oleh hambaku?” Mereka berkata,”Ia memujiMu dan mengembalikan kepadaMu.” Maka Allah berfirman,”Bangunkanlah rumah di surga, dan berilah nama dengan Baitul Hamd.” [8]

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk rumah dan bertemu dengan anak Beliau, Ibrahim, maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menaruh kasihan kepadanya sementara kedua matanya berlinang air mata. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, ”Wahai, Rasulullah. Mengapa engkau menangis?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Wahai, Ibnu Auf. Ini adalah rahmat, kemudian diikuti dengan yang lainnya.” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إلَّا مَا يَرْضَي رَبُّنَا إنَّا بَفِرَاقِكَ يَا إبْرَاهِيْمُ لَمَحْزُوْنُوْنَ.

Mata melelehkan air mata, hati bersedih, namun kita tidaklah berucap kecuali dengan sesuatu yang membuat ridha Rabb kami dan sesungguhnya kami sangat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.

Ibnu Hajar Al Asqalani membawakan komentar tentang hadits di atas: Ibnu Baththal dan ulama selain dia berkata: ”Hadits di atas menjelaskan tangisan yang mubah. Juga kesedihan yang diperbolehkan, yaitu dengan linangan air mata dan kesedihan hati tanpa harus dibarengi dengan perasaan tidak terima dan benci terhadap keputusan Allah Azza wa Jalla. Demikian itu makna yang paling jelas dalam hadits tersebut. Dalam hadits di atas, juga terdapat anjuran untuk mencium, memeluk anak, menyusui bayi, menjenguk anak kecil yang sedang sakit, menghadiri orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, menyayangi anak kecil dan keluarga, dan boleh mengabarkan kesedihan, walaupun bila bisa menyembunyikannya itu lebih baik. Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang lain, karena ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan anaknya, anak tersebut belum faham pembicaraan karena dua hal: yang pertama, karena dia masih sangat kecil, dan yang kedua, karena ia sedang menghadapi sakaratul maut. Apabila yang diinginkan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini adalah semua orang, maka tangisan tersebut tidak termasuk dalam jenis tangisan yang dilarang”.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda.

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ لَمْ يَبْلُغُوْا الحنث إلاَّ أدْخَلَهُ الله اْلْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إيَّاهُمْ.

Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga anakanya yang belum mencapai umur baligh, melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam surga karena karunia dan rahmatNya kepada mereka.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

لاَ يَمُوْتُ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَا تَمَسُّهُ النَّارُ إلَّا تِحْلَةُ الْقَسَمِ.

Tidaklah seorang muslim tiga anaknya meninggal dunia tidak akan terkena neraka, kecuali hanya sekedar penebus ketentuan. [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَمُوْتُ لإحْدَاكُنَّ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبُهُمْ إلَّا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ. وَاثْنَانِ

Tidaklah salah seorang di antara kalian tiga anaknya meninggal dunia lalu bersabar, kecuali ia masuk surga. Dan dua anak juga. [HR Bukhari dan Muslim].

Allah Azza wa Jalla juga akan memberi penghargaan kepada seorang mukmin, berupa pertemuan di surga dengan anak cucunya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآأَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [Ath Thur:21].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa anak kecil lalu berkata, ”Wahai, Rasulullah. Berdo’alah untuknya, karena aku menguburkan tiga anak.” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, ”Engkau telah memasang tirai yang kuat dari api neraka. Ia memanggil di pintu surga, lalu diantara mereka yang bertemu dengan bapaknya lalu memegang baju orang tuanya dan tidak dilepaskan hingga memasukkan ke dalam surga.” [HR Muslim].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami tidak mampu bertemu denganmu di suatu majlis, maka berilah janji waktu pada suatu hari agar kami bertanya tentang agama?” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda,”Kita akan bertemu di rumah fulan.” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam datang pada hari yang telah dijanjikan dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَا مِنْكُمْ امْرَأةٌ يَمُوْتَ لَهَا ثَلَاثٌ مِنَ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبُهُمْ إلَّا دَخَلَتْ الْجَنَّةَ. قاَلَتِ امْرَأةٌ وَاثْناَنِ قَالَ: وَاثْناَنِ.

Tidaklah salah seorang wanita di antara kalian tiga anaknya meninggal dunia lalu bersabar berharap pahala, kecuali ia masuk surga. Seorang wanita bertanya,”Bila yang meninggal dunia dua anak?” Beliau bersabda,”Dan dua anak juga.” [HR Muslim].

Kepada saudaraku kaum muslimin, para orang tua sekaligus murabbi (pendidik) generasi umat......, janganlah meremehkan kebaikan yang bisa kita lakukan, meskipun hanya kecil sekalipun. Marilah kita mencurahkan perhatian untuk berbuat yang sebaik-baiknya bagi anak-anak kita. Semoga Allah memudahkan dan meringankan langkah kita untuk menggapai keridhaanNya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Tirmidzi.An Nasa’i dari hadits Buraidah tentang Hasan dan Husain. Tirmidzi berkata,”Ini hadits hasan gharib.”
[2]. Riwayat Imam Ahmad..
[3]. Riwayat Ibnu Majah Shahihul Jami’.
[4]. Manhaj Tarbawiyyah Nubuwah Lithafal.
[5]. HR Bukhari Muslim
[6]. Riwayat Tirmidzi Hakim dalam Mustadrak dan dia berkata: Shahih.
[7]. Dikeluarkan Tirmidzi Ahmad Shahihul Jami’ dan di dalam Ash Shahihah
[8]. Riwayat Tirmidzi dan dia berkata: “Hadits hasan shahih.”; Jami’ush Shaghir Ash Shahihah.
[9]. Yaitu ketentuan Allah dalam firmannya. Lihat Fathul Bari.

Buah Hati, Antara Perhiasan Dan Ujian Keimanan


ANAK SEBAGAI PERHIASAN DUNIA
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada manusia pilihan Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat keluarga dan para pengikutnya dengan baik hingga hari akhir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi sebagai perhiasan bagi kehidupan dunia, termasuk di dalamnya adalah harta dan anak-anak. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). [Ali Imran:14].

Anak merupakan karunia dan hibah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai penyejuk pandangan mata, kebanggaan orang tua dan sekaligus perhiasan dunia, serta belahan jiwa yang berjalan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalah adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik menjadi harapan. [Al Kahfi:46].

Dan diantara bentuk perhiasan dunia adalah bangga dengan banyaknya anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبُُ وَلَهْوُُ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرُُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُُ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ

Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. [Al Hadid:20].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ

Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penyayang. Karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak. [HR Nasa’i].

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ, وَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Nikah adalah sunnahku dan barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukan termasuk golonganku. Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penuh kasih sayang. Karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak pada hari kiamat. [HR. Nasa’i]

Seorang yang bijak, jika sudah mengetahui bahwa anak merupakan perhiasan, tentunya ia akan menjaga perhiasan tersebut sebaik-baiknya. Yakni dengan membekali mereka dengan pendidikan yang baik. Hingga mereka betul-betul menjadi penyejuk pandangan mata, memiliki keluhuran budi pekerti, akhlak mulia dan sikap ksatria.

Hal ini adalah perkara yang wajib atas setiap orang tua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. [At Tahrim:6].

Cukuplah sebagai tanda jasa dan pujian bagi pendidik, bahwa seorang hamba akan meraih balasan pahala yang besar setelah wafatnya dan masa umurnya habis serta habis masa hidupnya.

Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا مَاتَ اْلإنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أوْ عِلْمٌ يَنْتَفِعُ بِهِ أوْ وَلَدٌ صَالحٌِ يَدْعُوْ لَهُ.

Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendo’akannya. [1]

Jadi, seorang pendidik akan meraih derajat yang tinggi, pahala berlipat ganda dan meninggalkan pusaka yang mulia di dunia bagi anak cucunya.

Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي اْلجَنَّةِ, فَيَقُوْلُ: أَنَّي لِي هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ.

Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, maka ia berkata,”Dari manakah balasan ini?” Dikatakan,” Dari sebab istighfar anakmu kepadamu”.[2]

Begitu pula dia akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan kerabatnya sebagai karunia dan balasan yang baik dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآأَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [Ath Thur:21].

ANAK SEBAGAI FITNAH DUNIA
Anak, selain sebagai perhiasan dan penyejuk mata, juga bisa menjadi fitnah (ujian dan cobaan) bagi orang tuanya. Ia merupakan amanah yang akan menguji setiap orang tua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتُصْفِحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ {14} إِنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَاللهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. [At Taghabun:14,15].

Firman Allah di atas dengan sangat tegas menandaskan, anak bisa menjadi fitnah dunia bagi kita. Ibarat permata zamrud yang wajib kita pelihara. Maka berhati-hatilah, janganlah kita terlena dan tertipu sehingga kita melanggar perintah Allah Azza wa Jalla dan menodai laranganNya. Jangan sampai anak kita menjadi penyebab turunnya murka dan bencana Allah Azza wa Jalla pada diri kita. Allah Azza wa Jalla befirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ , وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ عَظِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan RasulNya, dan juga janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu padahal kamu mengetahui. Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. [Al Anfal:27, 28].

Berkenaan dengan firman Allah Azza wa Jalla di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,”Allah Ta’ala memerintahkan para hambaNya yang beriman, agar mereka menunaikan amanah yang diembankan kepada mereka, baik berupa perintah-perintahNya maupun larangan-laranganNya. Sesungguhnya amanah adalah hal yang pernah Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian dipikullah amanat tersebut oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh. Maka barangsiapa yang menunaikan amanah tersebut, ia berhak meraih pahala dan ganjaran dari Allah. Adapun orang yang menyia-nyiakan amanah tersebut, ia berhak mendapat siksa yang pedih, dan ia menjadi orang yang berkhianat terhadap Allah dan RasulNya serta amanahNya. Dia telah menurunkan derajat dirinya sendiri dengan sifat tercela, yakni khianat. Dan telah telah melenyapkan dari dirinya kesempurnaan sifat, yaitu sifat amanah.” [3]

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

يَآأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لاَيَجْزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلاَمَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُورُ

Hai manusia, bertawaqalah kepada Rabb-mu, dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaithan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah. [Luqman:33].

Dalam realita, mungkin kerap kita saksikan, para orang tua bekerja membanting tulang tak kenal lelah demi sang anak. Mencurahkan segenap upayanya, semata demi kebahagiaan anak. Dari sini dapat kita fahami, betapa anak mampu menggelincirkan orang tua dari jalan kebenaran, melalaikan mereka dari akhirat, jika mereka tidak mendasari segala upaya tersebut untuk meraih ridha Allah.

Sebagian orang mungkin berasumsi, orang tua yang beruntung adalah yang berhasil menyekolahkan anaknya sampai meraih gelar doktor, insinyur dan seabrek titel dan gelar lainnya. Mungkin asumsi ini benar, jika ditilik dari satu sisi saja. Namun ada satu hal penting yang harus diperhatikan oleh orang tua, bahwa keberhasilan mendidik anak serta kebahagiaan hidup tidak hanya terletak pada gelar sarjana dan segala fasilitas dunia lainnya. Anak juga membutuhkan pendidikan rohani dan bimbingan religi, agar mereka kelak tumbuh menjadi pribadi yang seimbang, mengerti tugasnya sebagai hamba Allah Azza wa Jalla, juga memahami kedudukannya sebagai anak dan fungsinya sebagai bagian dari umat. Alangkah baiknya jika kita memiliki anak bergelar doktor sekaligus muwahhid. Betapa bahagianya orang tua yang memiliki anak bergelar arsitek yang mu’min dan shalih. Sehingga ilmu mereka bisa bermanfaat untuk kemashlahatan umat.

Oleh karena itu, setiap orang tua wajib mengetahui perkara-perkara yang telah Allah wajibkan kepada mereka berkaitan dengan anak-anak. Sehingga dapat menjaga amanah yang berharga ini.

Diantara yang bisa menebus dosa akibat fitnah yang ditimbulkan dari anak adalah puasa, shalat dan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim serta Tirmidzi dari Hudzaifah dalam hadits yang panjang, beliau berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أهْلِهِ وَمَالِهِ وَ وَلَدِهِ وَنَفْسِهِ وِجَارِهِ يُكَفَّرُهَا: الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلأمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ.

Fitnah seseorang dari keluarganya, hartanya, anaknya, dirinya dan tetangganya ditebus dengan puasa, shalat, sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar. [Muttafaqun’alaih]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan karunia anak yang shalih, yang membantu dalam ketaatan dan menjadi pengingat dari kelalaian, serta memberi nasihat ketika lupa dan luput dari ajaran Islam. Wallahu waliyyut taufiq.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
[2]. Shahih Sunan Ibnu Majah, dan dikeluarkan Ahmad di dalam Musnad.
[3]. Taisir Karimir Rahman

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...