Dari Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Ayahku pernah menyedekahkan
sebagian hartanya kepadaku. Lalu ibuku, ‘Amrah binti Rawahah berkata,
‘Aku tidak rela sehingga engkau meminta disaksikan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka ayahku pun berangkat menghadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi saksi baginya
atas sedekah yang diberikan kepadaku. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini
kepada anakmu semua?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda:
"Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil di antara anak-anakmu.’
Kemudian ayahku kembali lagi dan mengambil sedekah tersebut”
[Al-Bukhari dan Muslim]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung
pengertian keharusan untuk menyamaratakan anak-anak dalam hal pemberian.
Di mana masing-masing diberi sama, tidak boleh membedakan satu dengan
yang lainnya, serta menyamakan antara anak laki-laki dan perempuan”
MENGAJARI DAN MENDIDIK ANAK PEREMPUAN
Allah Ta’ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
siksa api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya
Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan" [At-Tahrim: 6]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahiih keduanya,
dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kedua orang tuanya
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti binatang yang
melahirkan binatang juga, apakah engkau melihat kekurangan padanya?”
Anak yang lahir dan tumbuh berdasarkan fithrah yang baik ini bisa
menerima yang baik dan bisa juga yang buruk, sehingga ia perlu
diajarkan, dibimbing, dan diarahkan dengan pengarahan yang baik dan
benar di atas jalan Islam.
Berhati-hatilah, jangan sampai kalian menyepelekan anak perempuan
seperti binatang yang tidak mengetahui urusan agamanya dan urusan
dunianya. Dan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terdapat teladan yang baik bagi kalian.
Al-Bukhari telah membuat bab tersendiri di dalam kitab Shahiihnya di
dalam kitab al-‘Ilmu, bab Ta’liim ar-Rajul Amatahu wa Ahlahu (bab
Seseorang yang Mengajari Budak dan Keluarganya). Kemudian dia
menyebutkan di bawah judul bab tersebut hadits Abu Musa Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Ada tiga orang yang akan mendapatkan dua pahala: (1) seseorang dari
ahlul kitab yang beriman kepada Nabinya dan beriman kepada Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (2) seorang hamba sahaya jika
melaksanakan hak Allah dan hak majikannya, (3) dan seseorang yang
memiliki hamba sahaya, lalu dia membimbingnya dengan sebaik-baik
bimbingan serta mengajarinya dengan sebaik-baik pengajaran kepadanya,
kemudian memerdekakan, lalu menikahinya, maka baginya dua pahala.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunannya dengan sanad yang
hasan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka
berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat
ketika mereka berumur sepuluh tahun serta pisahkanlah mereka dari tempat
tidur mereka.”
Di dalam hadits ini terkandung bimbingan yang sangat berarti dalam
mendidik anak, yaitu bahwa cara mendidik itu berbeda-beda dari zaman ke
zaman. Dan setiap anak diperintah sesuai dengan kemampuannya.
Demikian juga dengan cara memberikan pelajaran, berbeda antara satu anak
dengan anak yang lainnya. Ada di antara mereka yang akan baru sadar
dengan pukulan dan ada pula yang sadar hanya dengan kata-kata yang baik.
Dan setiap tempat memiliki kalimat (cara) tersendiri.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Shahiih
keduanya. Dari hadits ‘Umar bin Abi Salamah, dia berkata, “Dulu ketika
masih kecil aku pernah berada di kamar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sementara tanganku menjulur ke piring, maka Rasulullah berkata
kepadaku.
“Wahai anak kecil, sebutlah Nama Allah dan makanlah dengan tangan
kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.’ Cara makanku
setelah itu berlangsung demikian.”
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya, Dari hadits
Hudzaifah, dia berkata, “Jika kami dihidangkan makanan bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak akan meletakkan tangan
kami di hidangan tersebut sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memulai, lalu beliau meletakkan tangan beliau di tempat hidangan
tersebut. Dan sesungguhnya suatu ketika kami pernah menghadiri suatu
jamuan makan. Kami tidak meletakkan tangan kami sehingga Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai. Lalu beliau meletakkan tangan
beliau. Dan sesungguhnya kami pernah menghadiri jamuan makan bersama
beliau, lalu datang seorang anak wanita, seakan-akan ia tergiur, maka ia
pun menuju hidangan tersebut dan meletakkan tangannya pada makanan,
maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tangan anak wanita
itu. Setelah itu datang seorang badui, seakan-akan dia didorong
sehingga beliau pun menarik tangan orang itu, lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya syaitan itu menghalalkan makanan yang tidak disebutkan
Nama Allah padanya. Dan sesungguhnya syaitan itu telah datang menyeret
anak wanita ini untuk menghalalkan makanan itu baginya, lalu aku menarik
tangannya. Lalu dia juga menyeret orang badui ini untuk mengambil
makanan itu, lalu aku menarik tangannya. Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, sesungguhnya tangan badui itu di tanganku bersama dengan
tangan anak wanita tersebut.”
Oleh karena itu, janganlah meremehkan dalam pengurusan anak kecil dengan
menunda-nunda untuk memberikan pengajaran. Dan janganlah berlebihan
serta keras dalam bertindak terhadapnya. Allah Ta’ala berfirman:
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…"
[An-Nisaa': 171]
Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
“Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Berikanlah berita gembira, dan janganlah kalian menakut-nakuti”
Jika pengarahan itu ditujukan bagi orang dewasa, lalu bagai-mana menurut Anda bagi anak kecil?
Demikian juga orang dewasa, yang sudah pasti membutuhkan pengajaran:
Dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Fathimah pernah mengeluh karena
(sakit) akibat batu yang dipergunakan untuk menumbuk. Lalu terdengar
olehnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan
tawanan. Kemudian Fathimah datang meminta pelayan kepada beliau, tetapi
Nabi tidak menyetujuinya. Lalu dia menyebutkan kepada ‘Aisyah. Kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, maka ‘Aisyah pun menceritakan
hal tersebut kepada beliau. Lantas beliau mendatangi kami sedang kami
tengah berbaring, maka kami pun beranjak bangun, lalu beliau bersabda,
“Tetaplah di tempat kalian.” Sehingga aku merasakan dingin kaki beliau
di dadaku. Lalu beliau bersabda:
“Maukah kalian aku tunjukkan kepada apa yang lebih baik daripada apa
yang kalian minta kepadaku? Jika kalian beranjak ke tempat tidur kalian,
maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertahmidlah tiga puluh tiga
kali, serta bertasbihlah tiga puluh tiga kali, karena sesungguhnya yang
demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.”
[Al-Bu-khari dan Muslim]
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Salah seorang
puteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim seorang
utusan kepada beliau untuk mengundang dan mengabari beliau bahwa anaknya
-atau puteranya- akan meninggal dunia, maka beliau berkata kepada
utusan itu:
“Kembali lagi kepadanya dan beritahukan kepadanya bahwa Allah Ta’ala
berhak untuk mengambil dan berhak memberi. Dan segala sesuatu di
sisi-Nya telah ditentukan batasnya. Maka perintahkanlah dia, suruh dia
bersabar serta mengharapkan pahala dari Allah.’” Kemudian Usamah
menyebutkan hadits ini secara lengkap” [Al-Bukhari dan Muslim]
Catatan.
Syaikh Mushthafa di dalam kitabnya, Fiqh Tarbiyatul Abnaa’, hal. 135,
mengatakan, “Terkadang seorang anak berbuat salah, karenanya ia
memerlukan bimbingan. Lalu sang ibu datang untuk membimbingnya. Tetapi,
sang suami yang berakal justeru menghardik sang ibu di hadapan anaknya
sehingga berdampak negatif bagi anaknya, yang mengakibatkan kewibawaan
sang ibu jatuh. Oleh karena itu, berhati-hatilah Anda agar tidak
menghardik isteri di hadapan anaknya, tetapi hendaklah Anda berlemah
lembut dalam bertutur kata dan berikan penghormatan terhadap kewibawaan
dan harga dirinya. Katakan kepadanya, misalnya, ‘Menurutku anak ini
belum pantas untuk dipukul, semoga Allah memberikan ampunan pada kali
ini, maka maafkanlah untuk kali ini. Dan jika dia mengulanginya lagi,
maka berikanlah hukuman. Dan aku akan memberinya hukuman yang sama
denganmu.’
Jika seorang ibu dipukul dan dihardik olehmu di hadapan anak-anaknya,
maka hal itu akan tampak jelas di mata anak-anaknya dan berpengaruh
terhadap psikologinya. Di antara mereka bahkan akan ada yang marah dan
membencimu serta sangat sedih atas apa yang dialami ibunya. Dan di
antara mereka juga ada yang memendam hal tersebut di dalam dirinya,
sehingga apabila ia melakukan kesalahan atau ditegur oleh ibunya, ia
akan mengatakan kepadanya, ‘Aku akan adukan kepada ayah, nanti ayah akan
memukulmu seperti yang pernah dilakukannya dulu.’ Beranjak dari hal
tersebut, maka rumah sangat berpengaruh sekali terhadap anak.”
Kisah Relawan Cilik : Berdakwah Dengan Cara Menginfakkan Hartanya
MENDAFTARKAN DIRI MENJADI RELAWAN
Pada pagi yang cerah, di kota Jeddah, sekitar pertengahan bulan Dzulhijjah 1425H, atau akhir Januari 2005M. Saat itu, saya sedang duduk di kantor Jeddah Da'wah Center (JDC) bersama rekan. Tiba-tiba masuklah seorang anak kecil sambil mengucapkan salam, lalu. menyalami kami berdua. Ia datang ke kantor JDC diantar supirnya yang berasal dari Indonesia, sementara ibu dan neneknya menunggu di mobilnya.
Anak ini masuk ke ruang sekretariat sendiri seraya mengatakan : "Saya ingin menjadi relawan di kantor dakwah ini. Ingin berkhidmat untuk kepentingan agama Islam".
Saya dibuat kagum dengannya. Saya sambut dengan baik dan saya katakan : "Kirakira, di bidang apa Anda bisa membantu kami?"
Dia katakan, "Saya mampu menggunakan komputer dan bisa berbahasa lnggris."
Karena saya tidak bisa berbahasa Inggris; maka saya minta rekan saya untuk berbicara dengannya dengan bahasa Inggris. Setelah terjadi komunikasi antara teman dan anak ini, teman saya pun memberitahu saya : "Bagus sekali anak ini bahasa Inggrisnya".
Saya katakan, "Saya belum bisa memutuskan apakah Anda bisa diterima atau tidak. Insya Allah akan saya sampaikan kepada direktur yang juga seorang relawan. Beliau sendiri bekerja di kantor Telkom Saudi. Tapi saya optimis, kalau orang seperti Anda akan diterima, insya Allah," lalu saya minta nomor teleponnya dan saya berikan juga nomor telepon kantor kepadanya. Lalu saya katakan : "Saya sendiri, insya Altah ada acara dakwah untuk jamaah haji Indonesia yang akan pulang ke tanah air. Anda bisa ikut bantu saya dengan membagikan kaset atau buku di air port haji di madinatu( hujjaj (asrama haji) di Jeddah, bagaimana?"
Anak itu menjawab, "Insya Allah. Saya akan minta izin orang tua dulu."
Sore harinya, orang tua Ahmad (nama anak ini), menelepon ke kantor kami mencari saya dan menanyakan : "Apa betul Anda mengajak anak saya pergi ke air port haji untuk berdakwah?"
Saya katakan, "Betul, kalau dia berminat."
Orang tuanya mengatakan : "Justru kami sangat senang sekali, jika Anda bisa membawa anak saya ke air port haji untuk ikut membantu dakwah Islam. Saya ingin anak saya ini besarnya kelak bermafaat bagi umat Islam, supaya dia ikut bergembira jika umat Islam bergembira; ikut sedih jika umat Islam sedang mendapatkan bencana dan musibah, serta supaya anak saya tidak membedakan orang menurut suku dan kebangsaannya, karena sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara manusia adalah yang paling bertakwa. Hanya saja, karena anak ini masih kecil, kami tidak pernah membiarkan ia pergi sendiri. Meskipun ke sekolah, selalu kami antar dan kami jemput. Jadi bagaimana sekiranya dari pihak keluarga ikut juga ke air port bersama Anda?"
Saya katakan,"Itu lebih baik..
Akhirnya, kami pun berangkat ke air port haji bersama Ahmad dan keluarganya. Dalam perjalanan ke air port, saya tanya kepada anak ini: "Apa yang memotivasi Anda beramal untuk kepentingan Islam?" Dia menjawab, "Ajru ‘Indallaah" Artinya, aku mengharap ganjaran pahala dari sisi Allah.
Kemudian saya tanya lagi : "Apakah Anda hafal dzikir pagi dan sore hari?"
Dia menjawab,"Saya hafal."
"Coba saya mau mendengar," tanya saya lagi.
Lalu dia membaca dzikir pagi dan sore. Banyak sekali yang dia hafal. Sampai kami pulang dari air port.
Pihak kantor pun, setelah diberitahu ada anak kecil yang mendaftar menjadi relawan, menerima dengan senang hati. Dia datang ke kantor tiap hari Jum'at saat sekolah libur.
MUDAH MENERIMA NASIHAT
Yang namanya anak-anak, tentu tidak lepas dari kekeliruan dalam bersikap, dan kita harus memakluminya. Janganlah kita mudah marah kepada anak, karena kita sebagai orang dewasa juga tidak lepas dari kekeliruan. Tinggal bagaimana kita harus memperbaiki kesalahannya dengan cara yang bijaksana.
Suatu hari, pada hari Jum'at, saat kami dan Ahmad berada di kantor, datanglah tamu menemui Ustadz Hamadi al Ashlani, salah seorang pengurus kantor JDC. Tampak perbincangan yang serius di antara mereka berdua. Ahmad yang duduk dekat mereka berdua mendengar mereka berbicara, kemudian ia langsung menyambung dan memotong ucapan mereka. Mungkin dia ingin membuktikan kepada mereka berdua, bahwa ia mengerti topik yang sedang dibicarakan.
Ustadz Hamadi tidak menggubris Ahmad dan tetap berbicara dengan tamunya. Ia tidak marah dan memaklumi, bahwa yang mengganggunya adalah anak-anak. Saya yang berada dekat mereka segera memanggil Ahmad dan mengalihkannya kepada kegiatan lain. Saya minta Ahmad menemani saya ke sebuah toko yang jaraknya kurang lebih 1 kilometer, untuk memberikan buku kepada orang Indonesia yang bekerja di sana. Sebelumnya dia menawarkan agar saya naik mobilnya dan ia pun segera mencari sopir. Saya berkeberatan, karena belum izin orang tuanya. Dia berpendapat tidak apa-apa. Alhamdulillah, ternyata sopir Ahmad sedang mengikuti pengajian yang dibimbing Ustadz Farid bin Muhammad al Bathathi. Akhirnya kami berdua berjalan kaki di bawah terik matahari, pulang pergi menempuh jarak sekitar 2 kilometer. Dalam perjalanan, saya sempat bertanya kepadanya : "Pada masa yang akan datang, Anda ingin menjadi apa?" Ahmad menjawab dengan mantap, tanpa ragu-ragu : "Ingin menjadi pedagang".
Saya sempat menyesal membawa Ahmad berjalan kaki cukup jauh untuk anak seusia dia di bawah terik matahari. Dalam perjalanan pulang ke kantor, ibunya telepon ke hp Ahmad, yang hanya dipegang jika Ahmad ke luar rumah saja. Setelah selesai, saya katakan akan bicara ke ibunya, lalu saya mohon maaf karena membawa Ahmad jalan kaki. Ibunya mengatakan tidak apa-apa. Ahmad adalah seorang olahragawan dan fisiknya kuat, insya Allah.
Pada hari yang lain, saya sedang dalam perjalanan dengan rekan sekantor. Di antara pembicaraan teman saya ini, bahwa pada hari Jum'at yang lalu -saat itu saya tidak berada di kantor- datanglah tamu dari perusahaan komputer menemui pengurus kantor. Saat pengurus kantor dan tamu sedang berbincang-bincang, Ahmad pun memotong dan ikut melibatkan diri dalam pembicaraan mereka. Ada di antara rekan yang masih muda merasa jengkel kepada Ahmad.
Malamnya, segera saya telepon orang tua Ahmad, dan saya beritahu dua kejadian. Yang satu saya saksikan sendiri, dan yang kedua saya dengar dari teman sekantor, bahwa Ahmad suka memotong dan turut campur dalam pembicaraan orang dewasa. Orang tuanya senang dengan laporan ini, dan berjanji akan menasihati Ahmad. Saya juga mengatakan kepadanya akan menasihati Ahmad, tetapi belum bisa secara langsung.
Sayapun menulis surat kepada Ahmad tentang pentingnya saling memberi nasihat sesama muslim. Di antaranya, saya sebutkan temanmu itu adalah yang bersikap jujur dan tulus kepadamu, bukan yang selalu membenarkanmu. Disamping surat tersebut, saya sertakan pula sebuah hadits dalam Shohih Bukhari yang menunjukkan, bahwa memotong pembicaraan orang lain adalah tidak sesuai dengan adab Islam. Orang tuanya juga menasihati Ahmad. Alhamdulillah, setelah itu, terjadi perubahan yang positif. Ahmad tidak suka memotong pembicaraan orang dewasa. Dia tahu kapan ia harus bicara, dan kapan ia harus diam mendengarkan. Saya sendiri perlu mencontohnya, karena terkadang tanpa terasa suka memotong pembicaraan orang lain.
BERDAKWAH DENGAN CARA MENGINFAKKAN HARTANYA
Pada Jum'at yang lain, pengurus kantor menugaskan Ahmad untuk duduk di ruang istikbal (resepsion) menerima tamu atau pembeli yang datang. Kantor JDC menjual buku-buku dan kaset-kaset dalam berbagai bahasa, seperti : bahasa Indonesia, bahasa Tagalog (Philipina), bahasa Urdu (Pakistan), bahasa Tamil dan Sinhali (Srilangka), bahasa Inggris dan lain-lain. Sebelum mulai melaksanakan tugasnya, ia mengeluarkan dari sakunya uang sebesar 5 real Saudi (sekitar dua belas ribu lima ratus rupiah), lalu ia mengatakan kepada kami": "Ini uang milik saya, saya bawa dari rumah".
Saya menjawab,"Kami percaya, bahwa Anda adatah orang yang jujur."
Setelah itu, saya lihat ia mulai menerima uang dari pembeli sebesar 10 real Saudi, dimasukannya ke dalam sakunya dan dicatatnya uang yang masuk tadi. Sampai datanglah seorang pengunjung asal Pakistan. Ia membeli 2 set buku yang berbahasa Inggris seharga 10 real, dan 3 kaset berbahasa Urdu seharga 9 real. Total semuanya 19 real. Sang pengunjung menyodorkan uang 50 real kepada Ahmad. Karena tidak ada kembalian, Ahmad pun membawa uang tersebut kepada sekretaris kantor di ruang lain untuk menukar uang.
Saya lihat buku berbahasa Inggris yang dibeli tertulis "Untuk Non Muslim", maka saya tanya kepada pengunjung tersebut : "Anda membeli buku bebahasa Inggris ini untuk siapa? Untuk dibaca sendiri atau untuk orang lain?" Saya khawatir ia salah beli.
Dia menjawab,"Saya akan berikan sebagai hadiah untuk teman saya sekantor, ia kafir bukan muslim. Semoga ia mendapatkan hidayah dan masuk Islam!"
Mendengar jawaban tersebut, segera saya bergegas menuju sekretaris kantor. Saya katakan, "Bagaimana pendapatmu, kalau buku yang dibeli oleh tamu kita ini, kita hadiahkan saja, karena buku tersebut akan dihadiahkan kepada teman sekerjanya yang kafir?"
Sekretaris kantor setuju. Ahmad mendengar pembicaraan kami berdua, karena ia sedang menunggu kembalian uang untuk tamunya. Sekretaris kantor mengatakan, jadi total yang ia beli hanya 9 real dan kembalinya 41 real. Tiba-tiba, secara spontan, Ahmad mengeluarkan uang 5 real miliknya dan ia berikan kepada sekretaris sambil berkata: "Saya ikut menyumbang 5 real untuk beli kaset dakwah yang dibeli orang itu. Jadi biar ia membayar cukup 4 real saja".
Mendengar itu, saya menjadi terharu dan saya katakan, biar saya yang membayar 5 real, Ahmad cukup 4 real saja. Dia bilang,"Ustadz saja yang 4 real, saya yang 5 real," kemudian saya paksakan ia menerima kembali 1real. Akhirnya, pengunjung tadi mendapatkan buku-buku dan kaset secara gratis, dikembalikanlah uang 50 real. Dia pulang dengan girang.
.
MEMBERIKAN CERAMAH DI DEPAN JAMAAH HAJI INDONESIA
Suatu hari, saya pernah menawarkan kepada Ahmad untuk memberikan ceramah di hadapan jamaah haji Indonesia di madinatu( hujjaj di air port lama, Jeddah. Dia pun menyanggupi: Lalu saya beritahukan materinya tentang ukhuwah Istamiyah, dan saya berikan point-pointnya, yaitu tentang pentingnya ukhuwah, sarana-sarana untuk memperkokoh ukhuwah serta perusak-perusak ukhuwah.
Kira-kira dua pekan kemudian ia bertanya : "Bagaimana Ustadz, kalau saya sampaikan materi ini dengan membaca teks. Saya belum pernah berceramah sebelum ini".
Saya katakan, "Tidak apa-apa, walaupun kalau bisa tidak dengan teks itu lebih bagus."
Akhirnya, pada hari yang sudah dijadwalkan, ia dengan diantar kakek dan ibunya berangkat ke madinatul hujjaj untuk berceramah di hadapan jamaah haji Indonesia. Mereka sampai disana sebelum Maghrib. Saya sempat bertanya kepada Ahmad, berapa juz ia hafal al Qur`an. Ia menjawab, 10 juz. Ketika saya sampaikan ke Ahmad, bahwa setelah ia berpidato ada acara tanya jawab. Semula Ahmad berkeberatan dengan mengatakan:"Saya tidak mempunyai wewenang untuk berfatwa". Saya tersenyum dan menjelaskan, bahwa pertanyaannya bukan tentang masalah hukum, tetapi yang sifatnya ta'aruf untuk mengenal tebih dekat lagi.
Saya sampaikan pada pembukaan kepada jamaah haji, bahwa hari ini kita kedatangan tamu; seorang anak kecil. Saya ceritakan, bahwa perkenalan saya dengannya baru satu bulan ketika dia datang ke kantor Jeddah Da'wah Center mendaftarkan diri untuk menjadi relawan di sana. Saya ceritakan tentang perhatiannya terhadap hafalan al Qur`an, doa-doa dan dzikir, kepandaiannya dalam bidang komputer dan bahasa Inggris, serta aktifitasnya yang padat dengan kegiatan olah raga, kursus-kursus komputer dan bahasa Inggris. Setelah itu Ahmad berceramah dalam bahasa Arab dengan membaca teks dan saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ahmad berpidato dengan suara yang lantang. Ia kemukakan, bahwa ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) lebih kuat dari pada ikatan nasab (keturunan). Kemudian ia pun menceritakan sarana-sarana yang dapat memperkuat ukhuwah Istamiyah, seperti : menyebarkan salam, saling mengunjungi, saling memberi hadiah, bertutur kata dengan baik dan santun. Kemudian, ia juga menjelaskan hal-hal yang dapat merusak ukhuwah, seperti : ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), menyebar luaskan rahasia.
Di antara jamaah haji ada yang bertanya dengan bahasa Inggris. Ahmad menjawab pertanyaan dengan lancar. Jamaah haji itu bertanya, "Mungkin Anda pernah tinggal di Eropa atau Amerika, atau lahir di sana barangkali?" Ahmad menjawab,"Tidak! Saya lahir di Saudi Arabia, dan tidak pernah pergi ke luar negeri." Jamaah haji bertanya,"Sejak kapan Anda belajar bahasa Inggris?" Ahmad menjawab,"Saya belajar bahasa Inggris sejak umur 5 tahun." Ahmad juga sempat ditanya jumlah saudaranya. Dia menyebutkan dua bersaudara, ia dan adiknya, Laila yang masih duduk di kelas 4 SD. Setelah selesai, maka para jamaah haji laki-taki menghampiri Ahmad dan kakeknya dan menyalaminya. Saya lihat ada di antara mereka yang menangis terharu.
AHMAD DAN BENCANA TSUNAMI
Ahmad memiliki hati yang lembut dan perhatian untuk mengetahui keadaan kaum Muslimin di belahan dunia. Ketika terjadi bencana Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004M, ia pun membaca berita berita tentang para korban dari koran, karena di rumahnya tidak ada televisi. Ia tidak menghabiskan waktunya untuk membaca berita dan informasi, tapi sekedar tahu secara global. Di antara perbincangan saya dengan Ahmad pada hari Jum'at adalah tentang bencana Tsunami. Dia sangat interes untuk mendengar berita dari saya, dan juga bersemangat menceritakan informasi yang dia dapat.
Tidak lama sesudah bencana Tsunami, seorang ibu yang tidak kami kenal menelpon ke kantor Islamic Center di Jeddah, meminta agar dai yang berasal dari Indonesia memberikan nasihat dalam bentuk kaset untuk kaum Muslimin di Aceh dan Sumatera Utara, agar mereka bersabar, ridha dengan ketentuan Allah, selalu bersangka baik kepada Allah, dan mengambil hikmah dari segala ujian serta cobaan yang berat ini. Alhamdulillah, akhirnya usulan ibu tersebut tertaksana, dan setelah itu, timbul ide baru agar isi nasihat itu dibukukan.
Saat penyusunan buku tersebut yang diberi judul Hikmah Di Balik Musibah, saya mendapat sedikit kesulitan dalam penutisan hadits-hadits Nabi. Saat itu kantor belum punya CD hadits, sedangkan untuk mengetik satu per satu teks hadits bisa membutuhkan waktu yang agak panjang, karena saya belum lancar menulis dengan huruf Arab di komputer. Akhirnya saya ingat Ahmad, dan segera menelepon keluarganya untuk minta izin agar Ahmad menyempatkan waktunya untuk membantu saya mengetik hadits hadits Nabi berkenaan dengan musibah. Saya pun memberitahu hadits-hadits yang perlu diketik. Ahmad mengetik hadits-hadits permintaan saya itu di rumahnya, sebab di kantor sendiri pekerjaan yang ia tangani cukup banyak. Dia diberi tugas oleh pengurus kantor untuk mengetik urusan administrasi, sehingga praktis di kantor ia tidak punya waktu untuk mengetik hadits-hadits yang saya minta itu. Karena di rumahnya juga banyak kegiatan seperti belajar, ia juga aktif berolah raga seperti berenang; menunggang kuda dan bela diri, maka Ahmad akhirnya minta bantuan adiknya, Laila, yang masih duduk di kelas 4 SD untuk membantunya. Sang ibu mengawasinya dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut. Jika ada hal yang keliru atau salah, baru dibenarkan. Sepekan kemudian, ketika ke kantor, ia menyerahkan hasil pekerjaannya dan mengatakan : "Ustadz, saya mengetiknya sekian halaman, dan adik saya sekian halaman".
Ahmad juga ikut menyumbang 100 real (sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah) dari uang tabungannya untuk korban bencana Tsunami yang akan saya sebutkan saat perpisahan.
BERGAUL DENGAN ORANG-ORANG YANG BAIK
Orang tua Ahmad mengarahkan dan memotivasi anaknya agar menjadi relawan di kantor Islamic Center, di antara tujuannya agar anaknya bergaul dengan orang-orang yang baik dan bisa mencontoh mereka dan terhindar dari pergaulan yang ti.dak baik.
Suatu hari saya telepon orang tuanya. Saya beritahukan ada seorang dai yang usianya 70 tahun dari Jenewa, Swiss datang ke Mekkah untuk umroh dan silaturahmi mengunjungi adik-adiknya di Mekkah dan Jeddah. Saya katakan, sekarang masih berada di Mekkah dan saya ada janji untuk bertemu dengannya. Saya tawarkan, jika ayah Ahmad ada waktu, kita bisa bertemu di Mekkah. Orang tuanya senang dengan rencana ini, tetapi belum bisa memastikan apakah dapat berangkat atau tidak.
Kemudian, saya juga teringat Ahmad, mungkin ia tidak berminat pergi ke Mekkah untuk menemui orang tua dan mendengarkan nasihatnya. Saya katakan kepada orangtuanya, tolong tanyakan dulu kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak pergi ke Mekkah bersama kami. Orang tuanya mengatakan : "Saya rasa kita tidak perlu menanyakan kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak, karena mengunjungi orang yang shalih adalah suatu kebaikan, dan tugas kami sebagai orang tua adalah menumbuhkan minat anak".
PERPISAHAN
Tibalah saat saya pulang ke Indonesia pada pertengahan bulan Safar 1426H, atau akhir Maret 2005M. Saya izin kepada Ummu Ahmad untuk mengajak Ahmad dan sopirnya al akh Musthafa makan siang di rumah makan.
Mendengar permintaan saya, Ummu Ahmad mengatakan : "Seharusnya kami yang mengundang Anda makan di rumah, karena anda adatah tamu. Tetapi karena suami saya sedang keluar kota, maka Ahmadlah yang akan mentraktir Anda makan di rumah makan". Mulanya saya menolak, karena yang punya ide adalah saya, maka saya yang berhak untuk membayar. Beliau tetap memaksa, maka akhirnya saya mengalah. Sekitar jam empat sore sepulang saya dari masjid, saya dapatkan Ahmad dan Musthafa sudah menunggu di depan kantor tempat saya tinggal di sana selama dua bulan di Jeddah.
Sebelum berangkat ke rumah makan, Ahmad menyerahkan surat dari orang tuanya untuk saya baca, dan saya diminta untuk memberi masukan dan komentar. Surat itu dari orang tua Ahmad untuk pihak sekolah tempat Ahmad belajar.
Sebelumnya, pihak sekolah telah melontarkan surat kepada orang tua Ahmad, meminta izin bahwa dalam liburan musim panas, pihak sekolah akan merencanakan study tour ke Malaysia membawa 20 siswa yang berbakat, salah satu di antaranya adalah Ahmad. Ada dua tujuan pokok, yaitu untuk mengunjungi universitas universitas di Malaysia guna mengetahui sistem pendidikannya, dan yang kedua . untuk melihat kemegahan bangunan dan arsitektur di Malaysia.
Orang tua Ahmad tidak setuju dan menulis surat balasan kepada sekolah. Saya baca surat tersebut. Orang tuanya menyebutkan alasan tidak mengizinkan Ahmad, bahwa tujuan tersebut tidak begitu penting, karena anaknya masih duduk di bangku SD, sehingga kurang bermanfaat bagi anak SD untuk mengetahui sistem pendidikan di universitas. Kalaupun dianggap penting, bisa dengan mendatangi pameran pameran yang diadakan di Jeddah, misalnya. Begitu pula melihat kemegahan arsitektur dan bangunan tidak begitu penting, malah bisa berdampak negatif, yaitu anak-anak dapat tertipu dengan penampilan lahiriah, bangga dengan bangunan yang megah dan lupa dengan yang lebih pokok, yaitu masalah pentingnya membenahi hati, aqidah, ibadah dan akhlak.
Dalam surat itu disebutkan pula, jika pihak sekolah mempunyai program membawa siswa ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana, seperti ke Aceh, misalnya, untuk membantu para korban bencana, kami dengan senang hati akan mengizinkan anak kami untuk ikut berangkat. Lebih-lebih lagi kita tahu bersama, bahwa para missionaris Kristen banyak mengirim relawannya pergi ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana. Mereka melancarkan misinya dengan payung memberikan bantuan kemanusiaan.
Selesai membaca surat tersebut, saya beranggapan bahwa Ahmad tentu kecewa dengan keputusan orang tuanya ini. Segera saya ingin menghiburnya. Saya pancing Ahmad dengan pertanyaan : "Apakah Anda kecewa tidak berangkat ke Malaysia?" Ahmad menjawab dengan mantap : "Saya tidak kecewa". Saya tanya,"Mengapa tidak kecewa? Padahal teman-teman Anda berangkat ke sana." Kemudian Ahmad menjelaskan kepada saya, persis seperti isi surat orang tuanya untuk pihak sekolah.
Tidak terasa hari semakin sore, sedangkan kami belum makan siang. Ahmad mengatakan kepada saya : "Ustadz bisa pilih, ingin makan di rumah makan mana? Tidak mesti yang dekat, yang jauh juga boleh". Saya katakan kepadanya, yang dekat saja di rumah makan at Tazaj. Berangkatlah kami bertiga ke rumah makan yang jaraknya dari kantor kurang lebih 1 kilometer. Setelah kami pesan makanan, saya tanya kepada Ahmad, pilih minum Pepsi Cola, Seven Up atau apa? Dia menjawab,"Saya pilih air putih saja." Musthafa mengatakan, bahwa Ahmad memang sejak kecil tidak minum minuman seperti itu.
Selama kami makan, kami berbicara. Saya lupa apa saja yang kami bicarakan saat itu. Yang saya ingat, saya sempat bertanya kepadanya:"Apakah Anda sudah membaca surat yang saya tulis di Masjidil Haram di Mekkah untuk Anda?" Ahmad menjawab,"Belum, karena semalam saya kecapaian sehingga langsung tidur."
Setetah kami selesai makan, ada di antara pelayan restoran yang berasal dari Philipina memberikan hadiah berupa selebaran berwarna-warni untuk anak-anak, dan diberikannya kepada Ahmad. Semula Ahmad tidak ingin mengambilnya, bisa jadi karena ia merasa bukan anak-anak lagi. Saya segera minta kepadaAhmad untuk menerimanya. Setelah kami sampai di mobil, saya katakan, kita berusaha untuk menjaga perasaan orang lain, jika Anda terima, berarti Anda menggembirakan dia. Dan jika Anda tolak, bisa membuat dia sedih atau kecewa.
Dalam perjalanan ke kantor, Ahmad mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang sebesar 100 real, lalu dia berikan kepada saya seraya berkata : "Ustadz akan pulang ke Indonesia, ini saya titip uang 100 real dari tabungan saya untuk korban bencana alam Tsunami di Aceh." Terharu saya mendengar ucapannya yang tulus keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Sebenarnya saya tidak ingin menerima amanat ini. Tetapi karena saya juga tidak ingin mengecewakan Ahmad yang ingin berpartisipasi ikut andil menyumbang, akhirnya amanat tersebut saya terima, dan saya katakan : "Insya Allah saya akan sampaikan amanat ini kepada orang yang berhak menerimanya".
Dia juga menawarkan diri untuk mengantar saya sampai air port. Saya katakan, bahwa saya sudah janji dengan Ustadz Farid al Bathathi, beliau yang akan mengantarkan saya ke air port. "Yang kedua, saya tahu bahwa jadwal Anda sangat padat. Saya tidak mau mengganggu kegiatan Anda".
Tibalah saat perpisahan. Saya tidak tahu, apakah dapat berjumpa kembali dengannya atau tidak. Yang jelas banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari Ahmad dan keluarganya.
Semoga Allah memberikan taufik kepada Ahmad dan anak-anak kaum Muslimin untuk tetap istiqomah dalam ketaatan, dan memberikan taufik kepada kedua orang tua Ahmad dan semua orang tua Muslimin untuk dapat mendidik anak-anak mereka menjadi anak-anak yang shalih.
Rabbana laatuzikhquluubanaa ba’da idzhadaitanaa wahablanaa milladunkarahmah innaka antalwahhab.
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kisah Ahmad. Insya Allah penulis akan membahasnya dalam sebuah buku tersendiri.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12]
Hikmah Dibalik Larangan Adopsi Anak
Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan anak. Secara
alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di muka
bumi. Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber
kegembiraan di tengah keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak
menjadi tumpuan harapan.
Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah rumah tangga yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga, tidak heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman mutakhir ini banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang anak, baik dengan operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan mengadopsi anak. Dalam fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah tabanni. Lantas bagaimanakah menurut tinjauan hukum Islam?
SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.[1]
Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh". Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah binti Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu 'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?
Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".
Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5.[2]
HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.
Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.
Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur. Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]
Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat 'Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah". al-Ahzab/33 ayat 5."[3]
Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir [4]. [HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215]
Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata "saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)", padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).[5]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah" [HR Muslim, no. 3314 dan 3373]
PENGECUALIAN HUKUM
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu" [al-Ahzab/33:5]
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa. Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah rahimauhllah yang menyatakan, apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung, berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa.[6]
Mengomentari hadits al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan no. 6768), al-Imam Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: "Kedua hadits ini tidak memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di atas, seperti al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu orang yang berpaling dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa jahiliyyah masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat "Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah" –al-Ahzâb/33 ayat 5- dan firman-Nya "Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian" –Qs al-Ahzâb/33 ayat 4.
Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad, karena bapaknya bukanlah al-Aswad, akan tetapi 'Amr bin Tsa’labah al-Bahrâni.[7]
Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat yang mengadopsi beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan sengaja.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أنا ابن عبد المطلب, أنا النبي ولا كذب
"Aku adalah anak 'Abdul-Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan" [HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78; at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487]
Padahal nama beliau adalah Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdil-Muththalib, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya.[9]
PERKARA-PERKARA YANG DIBATALKAN
Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.
1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya, yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu.
Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya (Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan para isteri tersebut" [al-Ahzâb/33:37]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.[10]
Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: …(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…(Qs an-Nisaa`/4 ayat 23).
Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.[11]
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.[12]
Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.[13]
5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.
KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.
Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80]
Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.
Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah, maula Nabi (budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat Nabi yang terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah masih hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun..
[2]. Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. 'Abdur-Rahmân Ra’fat al-Bâsya.
[3]. HR al-Bukhari, Muslim; at-Tirmidzi,dll.
[4]. Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi makna yang mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir, apabila sang pelaku menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari al-Minhaj, karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits nomor 212.
[5]. Lihat al-Fath
[6]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân.
[7]. Lihat al-Fath.
[8]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân
[9]. Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Cet. Darus-Salam..
[10]. Al-Mishbahul-Munir.
[11]. Al-Mishbahul-Munir.
[12]. Al-Umm (6/69).
[13]. Al-Mughni (9/518).
Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah rumah tangga yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga, tidak heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman mutakhir ini banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang anak, baik dengan operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan mengadopsi anak. Dalam fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah tabanni. Lantas bagaimanakah menurut tinjauan hukum Islam?
SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.[1]
Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh". Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah binti Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu 'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?
Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".
Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5.[2]
HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.
Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.
Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur. Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم
بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ .
ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ
"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]
Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat 'Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah". al-Ahzab/33 ayat 5."[3]
Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا ئِِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ
"Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir [4]. [HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215]
Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata "saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)", padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).[5]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه, فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين, لايقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا
"Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah" [HR Muslim, no. 3314 dan 3373]
PENGECUALIAN HUKUM
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu" [al-Ahzab/33:5]
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa. Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah rahimauhllah yang menyatakan, apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung, berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa.[6]
Mengomentari hadits al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan no. 6768), al-Imam Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: "Kedua hadits ini tidak memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di atas, seperti al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu orang yang berpaling dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa jahiliyyah masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat "Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah" –al-Ahzâb/33 ayat 5- dan firman-Nya "Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian" –Qs al-Ahzâb/33 ayat 4.
Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad, karena bapaknya bukanlah al-Aswad, akan tetapi 'Amr bin Tsa’labah al-Bahrâni.[7]
Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat yang mengadopsi beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan sengaja.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أنا ابن عبد المطلب, أنا النبي ولا كذب
"Aku adalah anak 'Abdul-Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan" [HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78; at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487]
Padahal nama beliau adalah Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdil-Muththalib, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya.[9]
PERKARA-PERKARA YANG DIBATALKAN
Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.
1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya, yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu.
Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا
مِنْهُنَّ وَطَرًا
"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya (Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan para isteri tersebut" [al-Ahzâb/33:37]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.[10]
Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: …(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…(Qs an-Nisaa`/4 ayat 23).
Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.[11]
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.[12]
Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.[13]
5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.
KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.
Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80]
Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.
Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah, maula Nabi (budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat Nabi yang terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah masih hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun..
[2]. Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. 'Abdur-Rahmân Ra’fat al-Bâsya.
[3]. HR al-Bukhari, Muslim; at-Tirmidzi,dll.
[4]. Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi makna yang mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir, apabila sang pelaku menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari al-Minhaj, karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits nomor 212.
[5]. Lihat al-Fath
[6]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân.
[7]. Lihat al-Fath.
[8]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân
[9]. Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Cet. Darus-Salam..
[10]. Al-Mishbahul-Munir.
[11]. Al-Mishbahul-Munir.
[12]. Al-Umm (6/69).
[13]. Al-Mughni (9/518).
K u n - y a h/Sebutan Penghormatan
Kun-yah adalah setiap nama yang dimulai baik dalam sebutan panggilan atau tulisan dengan Abu Fulan atau Abu Fulanah bagi laki-laki. Contohnya seperti : Abu Abdillah (dari nama Abdullah), Abu Unaisah (kun-yah/nya penulis). Dan Ummu Fulan atau Ummu Fulanah bagi perempuan. Contoh seperti : Ummu Abdillah atau Ummu Unaisah.
Kun-yah merupakan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Dan kun-yah juga merupakan kemuliaan bagi orang yang di kun-yah/kan [1]. Kun-yah merupakan kebiasaan kaum muslimin dan warisan yang turun temurun dari zaman ke zaman sampai mereka meninggalkannya. Demikian seriusnya perhatian ulama terhadap masalah kun-yah sehingga kalau kita membaca kitab-kitab rijalul hadits, kita akan dapati bab kun-yah tersendiri. Bahkan sebagian ulama memerlukan menyusun kitab khusus berbicara tentang masalah kun-yahnya para perawi hadits. Seperti Imam Muslim dengan kitabnya Al-Kuna wal Asma dan Imam Ad-Dulabiy dengan kitabnya Kitabul kuna wal Asma.
Tentang sunahnya kun-yah ini sangat luas sekali diantaranya.
Pertama : Bolehnya seorang itu berkun-yah meskipun dia belum menikah yang dengan sendirinya belum mempunyai anak. Seperti Anas bin Malik dikun-yahkan dengan Abu Hamzah atau Abu Hurairah yang namanya Abdurrahman dikun-yahkan dengan Abu Hurairah padahal keduanya belum menikah.
Kedua : Atau seorang yang telah menikah akan tetapi belum mempunyai anak atau tidak mempunyai anak sama seperti Aisyah dikun-yahkan dengan Ummu Abdillah. Padahal Aisyah tidak mempunyai anak dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia di kun-yahkan dengan nama keponakan/nya yaitu Abdullah bin Zubair anak Asma bin Abi Bakar Ash-Shidiq. [2]
Ketiga : Boleh seorang berkun-yah dengan yang bukan dengan nama anak-anaknya seperti Abu Bakar. Padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Bakar. Dan Umar dikun-yahkan dengan Abu Hafs padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Hafs. Dan lain-lain.
Keempat : Boleh memberi kun-yah kepada anak yang masih kecil berdasarkan riwayat shahih dibawah ini.
عَن أَنَسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صلّى اللّه عَليه و سلم أَحْسَنَ
النَّاسِ خُلُقًا وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرِ – قَالَ :
أَحْسِنُهُ فَطِيْمًا- وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ : يَا أّبَا عُمَيْرٍ
مَا فَعَلَ النُّّغَيْرُ؟ (قَالَ:) نُغَيْرٌ كَانَ يَلْعَبْ بِهِ
"Dari Anas, dia berkata : Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil (dikun-yahkan) dengan Abu Umair -dan dia sudah disapih-. Dan beliau apabila datang (yakni ke rumah Anas) berkata, Ya, Aba Umair, apa yang telah diperbuat oleh Nughair?"
"Berkata Anas, Nughair yang dipakai bermain oleh Abu Umair".
Dikeluarkan oleh Bukhari di kitab Shahihnya dan dikitabnya Adabul Mufrad , Abu Dawud , Tirmidzi dan Ibnu Majah dan lain-lain.
Hadits yang mulia ini memberi fawaa-id yang demikian banyak dengan mengumpulkan seluruh jalannya dan lafadz-lafadznya sampai enam puluh faedah sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath di antaranya ialah bolehnya memberi kun-yah kepada anak-anak yang masih kecil sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi kun-yah kepada saudara Anas yang masih kecil dengan Abu Umair. [3]
Kelima : Bolehnya memberi kun-yah kepada seseorang dengan sesuatu yang ada pada orang tersebut. Seperti Ali bin Abi Thalib dikunyah-kan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Abu Turab (yang artinya bapak tanah). Kejadiannya ketika Ali sedang tidur di masjid punggungnya ketutupan tanah, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membangunkannya sambil berkata, Ya, Aba Turab bangunnlah! [4]
Keenam : Bolehnya seseorang mempunyai lebih dari satu kun-yah seperti Ali, selain di kun-yah/kan dengan Abu Turab, dia pun di kun-yah/kan dengan Abu Hasan mengambil nama anaknya yang pertama yaitu Hasan.
Ketujuh : Bolehnya berkun-yah dengan anak laki-laki atau anak perempuan.
Kedelapan : Bolehnya ber kun-yah bukan dengan nama anak tertua, akan tetapi yang telah maklum ber kun-yah dengan anak tertua mengambil perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau ber kun-yah dengan anak tertua beliau yaitu Abul Qasim. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hani, Maka (kun-yah)mu adalah Abu Syuraih. Mengambil anak tertua Hani, yaitu Syuraih.
Kesembilan : Lantaran ber kun-yah merupakan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kemuliaan atau penghormatan kepada orang yang di kun-yahkan, maka tidak ada kun-yah bagi orang kafir karena tidak ada kemuliaan dan kehormatan bagi mereka kecuali mereka tidak dikenal melainkan dengan kun-yah/nya.
Kesepuluh : Telah berselisih para Ulama tentang hukum berkunyah dengan kun-yah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah terjadi kesepakatan (ijma') di antara mereka tentang Sunnahnya memberi nama dengan nama beliau yaitu Muhammad atau Ahmad. Barangkali yang lebih mendekati kebenaran -wallahu a'lam- illat (sebab) larangan beliau terbatas dimasa hidup beliau agar tidak terjadi kesamaran di waktu berbicara atau memanggil. Ketika beliau telah wafat maka dengan sendirinya illat tersebut pun hilang. Lebih lanjut bacalah masalah ini di Fat-hul Baari dan di Tuhfatul Maudud .
[1]. Oleh karena itu tidak patut memberi kun-yah kepada orang-orang kafir karena tidak ada kemuliaan bagi mereka kecuali mereka telah masyhur dengan kun-yahnya.
[2]. Sunan Abi Dawud, Adabul Mufrad oleh Imam Bukhari
[3]. Syarah Muslim Kitabul Adab oleh Imam An-Nawawi
[4]. Fat-hul Baari Adabul Mufrad
Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Memperingatkan Anak Yang Melakukan Kekeliruan
Fenomena yang muncul di hadapan kita, adanya asumsi keliru memandang anak sebagai personal yang belum layak untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar pada diri mereka, merupakan pandangan yang perlu dikoreksi. Dalih yang melatarbelakangi asumsi ini, karena memandang anak-anak masih kecil, sehingga mereka dianggap sebagai hal yang lumrah bila melakukan kekeliruan. Maka tak ayal, membiarkan anak dalam keadaan seperti itu juga menjadi hal yang biasa di kalangan orang tua. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif, karena anak menjadi terbiasa melakukan kekeliruan, yang berarti mereka tumbuh dan berkembang dengan dituntun budaya kejahatan dan alergi terhadap kebaikan.
Allah Azza wa Jalla telah menggambarkan kedudukan ummat Islam sebagai ummat terbaik. Dan ini menjadi salah satu sebab disandangnya sebutan tersebut, yaitu sebagai umat yang selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imran ayat 110). Begitu pula yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak-anak, meski usia mereka belum baligh. Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan peringatan kepada mereka. Ini menjadi contoh kongkrit, bahwa pada diri anak-anak yang belum baligh juga perlu diterapkan nahi munkar atas diri mereka.
Yang mesti diperhatikan, dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada diri anak, tidak cukup hanya ditempuh dengan cara pelarangan keras dan mencemooh mereka, tetapi hendaklah dengan menggunakan langkah-langkah dakwah yang benar. Yaitu dengan memberikan nasihat dan bimbingan. Jika hal itu tidak berhasil, maka bisa dilakukan dengan sikap yang tegas, begitu seterusnya. Lihat Ihya ‘Ulumuddin (2/329), Muhtashar Minhajil Qashidin (hlm. 135-137), Tanbihul Ghafilin ‘An A’malil Jahilin (hlm. 47-60).
Berikut kami contohkan peringatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu (Ibnu ‘Abbas) yang waktu itu masih kecil.
NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL BERDIRI DI SEBELAH KIRI BELIAU PADA WAKTU SHALAT
Si kecil ‘Abdullah bin ‘Abbas menginap di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah. Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat malam, Ibnu ‘Abbas juga bangun untuk shalat bersama Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik Ibnu ‘Abbas sehingga berada di sebelah kanan Beliau.
Asy Syaikhani, Al Bukhari Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Suatu malam aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Setelah beberap saat malam lewat, Nabi bangun untuk menunaikan shalat. Beliau melakukan wudhu` ringan sekali (dengan air yang sedikit) dan kemudian shalat. Maka, aku bangun dan berwudhu` seperti wudhu` Beliau. Aku menghampiri Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau memutarku ke arah sebelah kanannya dan meneruskan shalatnya sesuai yang dikehendaki Allah …”. [1]
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits yang mulia ini, ialah :
1). Ihtisab (dakwah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ibnu ‘Abbas yang melakukan kesalahan karena berdiri di sisi kiri Beliau saat menjadi makmum dalam shalat bersama Beliau. Karena seorang makmum harus berada di sebelah kanan imam, jika ia sendirian bersama imam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan kekeliruan Ibnu ‘Abbas dengan dalih umurnya yang masih dini, namun Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap mengoreksinya dengan mengalihkan posisinya ke kanan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2). Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian, meski dalam keadaan sedang shalat, tidak menghalangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan nahi munkar terhadap anak kecil yang melakukan kesalahan dalam shalatnya. Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian dan pengawasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak serta adanya bimbingan menuju kebenaran.
Realitas ini berlawanan dengan sikap para orang tua. Meski para ibu atau ayah menyibukkan dengan amalan ketaatan, seperti mengerjakan shalat nafilah, membaca Al Qur`an, duduk untuk berdzikir, menghadiri majlis ilmu, banyak melakukan umrah, haji dan lain-lain, namun mereka kirang memperhatikan anak-anak yang masih kecil, bahkan juga kurang perhatian kepada anak-anak yang sudah mencapai baligh. Anak-anak dibiarkan terhanyut dengan perbuatan maksiat, mendengarkan hal-hal yang dilarang Allah dan RasulNya, dan bermain di lingkungan yang buruk dan penuh kemaksiatan.
Para orang tua, harus mengintrospeksi diri, jika menginginkan keselamatan, bercita-cita untuk mendapatkan kemenangan dan kejayaan. Sebab, tidak ada keselamatan, tidak ada kemenangan bahkan tidak kejayaan, kecuali dengan meneladani perilaku Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3). Dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, dapat disimpulkan, bahwa anak-anak yang sudah mulai mengerjakan ibadah, baik yang berupa wudhu`, shalat, berpuasa, umrah, haji atau ibadah lainnya, jika mereka melakukan kesalahan, maka tidak boleh dibiarkan larut dengan kekeliruannya tersebut, dengan dalih usia mereka masih kecil. Kewajiban kita sebagai orang Islam, semestinya menghidupkan semangat amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak-anak dan mengarahkan mereka kepada yang lebih benar, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap diri Ibnu ‘Abbas yang waktu itu masih berusia kanak-kanak.
Dengan demikian, anak tidak dibiarkan larut dengan kesalahan-kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sehingga, bila melakukan ibadah, mereka selalu melaksanakan dengan cara yang benar sesuai tuntunan Allah dan RasulNya.
NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL TIDUR KETIKA MENGERJAKAN SHALAT
Tatkala Ibnu ‘Abbas menunaikan shalat tahajjud bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah, ia sempat dihantui rasa kantuk, lantaran pada waktu itu dia masih berusia kanak-kanak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkannya tertidur. Setiap kantuk datang, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik ujung telinganya agar ia segar kembali.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah binti Al Harits. Aku meminta tolong kepadanya. Aku berkata,’Bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun untuk shalat (malam), bangunkanlah aku’. Saat Rasulullah melaksanakan shalat, aku berdiri di sebelah kirinya. Maka Beliau memegang tanganku dan mengalihkanku ke sisi kanannya. Dan saat aku tertidur dalam shalat, Beliau memegangi ujung telingaku”. Ibnu ‘Abbas menambahkan,”Beliau shalat sebelas rakaat.”[2]
Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Beliau meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan memegang telinga kananku untuk mengingatkanku”. [3]
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas ialah :
1). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan nahi munkar (melarang dari perbuatan mungkar) kepada Ibnu ‘Abbas yang kedapatan tertidur saat melakukan shalat, satu keadaan yang tidak pantas terjadi saat sedang shalat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mendiamkannya, meskipun Ibnu ‘Abbas waktu itu masih berusia bocah. Justru yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah memegangi ujung telinga Ibnu ‘Abbas untuk membangunkan dan menyegarkannya dari rasa kantuk yang menyerangnya.
2). Hadits ini menunjukkan sebagai bukti kelembutan dan kasih sayang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diungkapkannya dengan melakukan nahi munkar terhadap anak kecil. Yaitu dengan meletakkan tangan Beliau di kepala Ibnu ‘Abbas dan memegangi ujung telinganya serta menekan-nekannya. Tindakan ini menunjukkan kelembutan, sikap lunak dan kasih sayang Beliau. Perlakuan Beliau yang seperti ini bukan tindakan aneh, sebab Allah Ta’ala mengutus Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" [Al Anbiya` : 107]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang sangat pengasih kepada orang-orang yang beriman.
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu`min" [At Taubat:128]
3). Dalam kisah ini, meskipun pada waktu itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sibuk dengan shalat, namun tidak mengendurkan niat Beliau untuk melakukan nahi munkar terhaap kesalahan yang diperbuat Ibnu ‘Abbas. Tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan perhatian yang sangat besar diri Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap dunia anak dan pembinaannya menuju kondisi yang baik.
Maka dapat kita pahami, bahwa para orang tua berkewajiban untuk menggalakkan amar ma`ruf nahi munkar terhadap anak-anak mereka yang melakukan kesalahan dalam beribadah. Kesibukan orang tua meski saat melakukan ketaatan, tidak boleh menjadi penghalang dalam melakukan amar ma`ruf nahi munkar tersebut.
PENGINGKARAN TRHADAP ANAK YANG MENYALAHI ATURAN SYAR'I MENJADI HAL YANG MA'RUF PADA MASA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mina melaksanakan shalat bersama kaum muslimin, datanglah Ibnu ‘Abbas dengan menunggang keledainya. Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas masih anak-anak yang belum baligh. Dia melewati barisan shalat, dan tidak ada seorangpun yang menegurnya.
Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,”Aku datang dengan keledai betina. Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh. Dan Rasulullah menunaikan shalat tanpa penghalang tembok. Aku melewati barisan shalat. Aku lepaskan tungganganku untuk makan rumput. Aku memasuki shaf shalat tanpa ada yang menegur(ku).” [4]. Dalam riwayat lain disebutkan : “Tidak ada seorangpun yang mengingkariku”. [5]
Dari riwayat ini, kita mendapatkan beberapa fakta sebagai berikut :
1). Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas belum baligh. Ini ditunjukkan dengan ucapannya: “Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh”.
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan : “(Artinya) aku mendekati usia baligh; yang dimaksud dengan ihtilam ialah, baligh dalam pandangan syariat”. [6]
Hal ini juga dipertegas oleh Imam Bukhari dalam memberikan judul pada hadits ini, yaitu dengan judul Bab Kapan Kecakapan Anak Dianggap Sah (Diterima)?[7]. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak [8]
2). Ibnu ‘Abbas menjadikan hadits ini sebagai landasan bolehnya melewati shaf shalat, sebab para sahabat tidak bereaksi terhadap tindakannya.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan,”Ibnu ‘Abbas ber-istidlal (menjadikan hadist ini sebagai dalil) bolehnya melewati depan shaf makmum dengan tidak adanya pengingkaran (dari para sahabat).” [9]
Imam Al Bukhari menjadikan hadits ini sebagai landasan, bahwa sutrah (penghalang atau pembatas shaf imam adalah sutrah makmum yang ada di belakangnya, sebab para sahabat tidak mengingkari perbuatan Ibnu ‘Abbas yang melewati depan makmum. Imam Al Bukhari menamai babnya dengan (judul) Bab Sutrah Imam Menjadi Sutrah Bagi Makmum Yang Ada di Belakangnya. [10]
Seandainya pengingkaran terhadap pelanggaran agama yang dilakukan oleh anak kecil bukan merupakan hal yang ma`ruf pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu istidlal (pengambilan dalil dengan hadits ini) tidak kuat. Sehingga akan ada yang berkomentar, bahwa tindakan Ibnu ‘Abbas tidak diingkari karena usianya masih kecil. Namun lantaran sudah menjadi suatu yang biasa pada masa Nabi, maka istidlal-nya tepat dan bebas dari sanggahan. Wallahu a’lam bish shawab.
Demikian di antara contoh-contoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak. tidak hanya yang berkaitan dengan shalat saja, tetapi masih banyak contoh yang diberikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, misalnya : larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap model rambut ala Yahudi, larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakan jenis makanan yang bukan haknya, larangan ceroboh dalam mengambil makanan saat bersantap, dan lain-lain. Semoga bermanfaat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Shahih Bukhari, Kitab Adzan, Bab Wudhu` Anak-Anak dan lafazh hadits milik Bukhari; Shahih Muslim, Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya, dengan redaksi “maka Beliau memutarku ke belakang”.
[2]. Shahih Muslim, Kitab Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya.
[3]. Ibid.
[4]. Shahih Bukhari, Kitab Ilmu, Bab Kapan Kecakapan Anak Kecil Dianggap Sah.
[5]. Ibid, Kitab Shalat, Bab Sutrah Bagi Imam Sutrah Bagi Para Makmum,(Fathul Bari).
[6]. Fathul Bari.
[7]. Shahih Al Bukhari. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak.
[8]. Ibid.
[9]. Dinukil dari Fathul Bari.
[10]. Shahih Bukhari, Kitab Shalat.
Hak Pengasuhan Anak Dalam Islam, Demi Kebaikan Anak
Maka berikut ini mencoba mengangkat secara ringkas permasalahan tersebut. Kami nukil dari kitab Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, al Mulakhkhashul Fiqhi, Darul 'Ashimah, juz 2/439-447. Semoga bermanfaat.
HIKMAH KETETAPAN HUKUM HAK ASUH
Sudah pasti, hukum Allah berdampak positif, karena penuh keadilan, kebaikan, rahmat dan hikmah di dalamnya. Begitu juga dalam masalah pengasuhan anak. Sebagai contoh, anak yang masih kecil dan belum mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan bagi dirinya. Atau seorang yang gila dan cacat, mereka ini membutuhkan keberadaan orang lain untuk membantu menangani urusan-urusannya dan memberikan pemeliharaan bagi dirinya. Yaitu dengan mencurahkan kebaikan-kebaikan dan menghindarkannya dari bahaya-bahaya, serta mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.
Syari'at Islam memberlakukan hak asuh ini, untuk mengasihi, memelihara dan memberikan kebaikan bagi mereka. Pasalnya, bila mereka dibiarkan tanpa penanggung jawab, niscaya akan terabaikan, terbengkalai dan terancam bahaya. Padahal dinul Islam mengajarkan kasih-sayang, gotong-royong dan solidaritas. Sehingga benar-benar melarang dari perbuatan yang bersifat menyia-nyiakan kepada orang lain secara umum, apalagi mereka yang dalam keadaan nestapa. Ini merupakan kewajiban orang-orang yang masih terikat oleh tali kekerabatan dengan si anak. Dan kewajiban mereka adalah, mengurusi tanggung jawab anggota keluarga besarnya, sebagaimana dalam hukum-hukum lainnya.
IBU ADALAH PIHAK YANG PALING BERHAK
Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.
Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling terlihat sayang dan paling dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang, tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami (ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya).
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu membuat satu ungkapan yang indah:
"Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya)".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari'at. [1]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً
وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي
وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي
"Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku".
Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah". [2]
Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya.
UNSUR-UNSUR YANG DAPAT MENGHALANGI HAK ASUH ANAK
Meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tidak bisa mendapatkan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yang dapat menghalangi haknya. Di antaranya sebagai berikut.
Pertama. Ar-Riqqu.
Maksudnya, orang yang bersangkutan berstatus sebagai budak, walaupun masih "tersisa sedikit". Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun seorang budak, ia tidak mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dengan pelayanan terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya.
Kedua. Orang Fasiq.
Orang seperti ini, ia mengerjakan maksiat sehingga keluar dari ketaatan kepada Allah. Itu berarti, ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak terlepas darinya. Keberadaan anak bersamanya -sedikit atau banyak- ia akan mendidik anak sesuai dengan kebiasaan buruknya. Ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif bagi anak, yang tentunya berdampak pada pendidikan anak.
Ketiga. Orang Kafir.
Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Kondisinya lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya lebih besar. Tidak menutup kemungkinan, ia memperdaya si anak dan mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan agama kufurnya.
Keempat. Seorang Wanita Yang Telah Menikah Lagi Dengan Lelaki Lain.
Dalam masalah pengasuhan anak, ibulah yang lebih memiliki hak yang utama. Akan tetapi, hak ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi dengan laki-laki ajnabi (laki-laki lain). Maksudnya, lelaki yang bukan dari kalangan 'ashabah (pewaris) anak yang diasuhnya. Tetapi, jika sang ibu menikah dengan seorang laki-laki yang masih memiliki hubungan tali kekerabatan dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.
Atau misalnya, seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, dan kemudian ia menikah dengan lelaki lain (ajnabi), maka dalam keadaan seperti ini, ia tidak memperoleh hak asuh anak dari suaminya yang pertama. Dengan demikian hak pengasuhannya menjadi gugur, berdasarkan kandungan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah".
Demikian beberapa faktor yang dapat menghalangi seseorang tidak memperoleh hak asuh bagi anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka seutuhnya, orang fasik itu bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, dan si ibu diceraikan kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali untuk mengasuh anaknya.
KAPAN ANAK MENENTUKAN PILIHAN?
Pada usia yang telah ditentukan syari'at, anak berhak menentukan pilihan untuk hidup bersama dengan ibu atau ayahnya. Dalam hal ini harus terpenuhi dua syarat.
Pertama : Ayah dan ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab mengasuh anaknya (ahlil hadhonah). Artinya, salah satu faktor yang menghalangi seseorang boleh pengasuh anaknya tidak boleh melekat padanya.
Kedua : Si anak sudah 'aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia tetap berada di bawah pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih sayang, lebih bertanggung jawab, dan lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan anak.
PERBEDAAN ANTARA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pada pilihan untuk menentukan. Yaitu, ia hidup bersama ayahnya atau ibunya, apabila ia sudah berusia tujuh tahun. Ketika telah berusia tujuh tahun, berakal, maka ia memutuskan pilihannya, dan kemudian tinggal bersama dengan orang pilihannya, ayah atau ibunya. Demikian ini keputusan yang telah diambil oleh Khalifah 'Umar dan 'Ali.
Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah. Ia mengadu, "Suamiku ingin membawa pergi anakku," maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya: "Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau inginkan!" Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua berlalu.[3]
Apabila anak memilik ayahnya, maka ia berada di tempat tinggal sang ayah siang dan malam. Supaya ayahnya leluasa menjaga, mengajari dan mendidiknya. Akan tetapi, tidak boleh menghalangi keinginan anak untuk menjenguk ibunya. Sebab menghalanginya, berarti menumbuhkan sikap durhaka kepada ibunya dan menyebabkan terputusnya tali silaturahmi.
Jika ia memilih ibunya, maka si anak bersama ibunya saat malam hari. Sedangkan siang hari, ia berada bersama ayahnya, untuk menerima pendidikan dan pembinaan.
Akan tetapi, jika si anak diam, tidak menentukan keputusan dalam masalah ini, maka ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut tidak ada pihak yang sangat istimewa dalam pandangan anak, sehingga diputuskan dengan qur`ah (undian).
Keterangan di atas berlaku pada anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?
Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan dan penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan berarti ibunya tidak boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi ibu sang anak yang ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbul hal-hal yang tidak baik atau perbuatan haram.
Seandainya, ternyata ayah tidak mampu menangani pemeliharaan putrinya, atau tidak peduli dengan masalah itu, lantaran kesibukan atau kedangkalan agamanya, maka sang ibu berhak mengambil alih, dan sang anak perempuan ini hidup bersama ibunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang sudah berusia tujuh tahun), bila tidak menimbulkan bahaya (masalah) kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tidak mampu menjaga dan melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka ibunyalah yang (berhak) menangani penjagaan dan perlindungan baginya. Dalam kondisi seperti ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur kerusakan pada anak perempuan yang ditimbulkan oleh salah seorang dari orang tuanya, maka tidak diragukan lagi, pihak lain (yang tidak menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak menanganinya. [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila diperkirakan bapaknya menikah lagi dan menitipkan putrinya di pangkuan ibu tirinya itu yang enggan menangani kemasalahatannya, bahkan (ibu tirinya itu) menyakiti dan mengabaikan kebaikan bagi diri (putrid)nya, sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya, tidakmenyakitinya, maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak hadhonah menjadi milik ibu.[5]
SOLUSI JIKA TERJADI POLEMIK ANTARA ISTERI DAN MANTAN SUAMI BERKAITAN DENGAN PENGASUHAN ANAK
Tak dipungkiri, terkadang pengasuhan anak ini juga menimbulkan problema yang disebabkan persoalan yang kadang muncul.
Sebagai contoh, bila salah seorang dari suami atau isteri ingin bepergian jauh dan tinggal sementara di tempat yang dituju, tanpa ada maksud buruk, situasinya aman, maka dalam keadaan seperti ini, hak hadhonah menjadi milik ayah, baik ayah bepergian ataupun tidak. Ayahlah yang mesti mengurusi pendidikan dan pemeliharaannya. Karena, bila si anak berada jauh dari ayah, sehingga menyebabkan ayahnya tidak bisa melaksanakan tugasnya, akan berakibat si anak tidak terurus.
Jika bepergian tersebut tidak jauh, masih berada dalam jarak qoshor sholat, dan berencana tinggal di sana, maka hak asuh ini menjadi milik ibu si anak. Sebab, ibu lebih sempurna kasih sayangnya kepada anak. Dan lagi, dalam keadaan seperti ini, si ayah masih sangat mungkin bisa melihat keadaan anaknya.
Adapun, jika bepergian itu untuk suatu tujuan, kemudian langsung kembali, atau rute perjalanan maupun kondisi negeri yang dituju mengkhawatirkan, maka hak hadhonah beralih kepada pihak yang tidak bepergian. Sebab, bepergian dalam keadaan seperti itu, akan menimbulkan mara bahaya baginya.
Ibnul Qayyim menyatakan: "Kalau menginginkan kekisruhan masalah atau merekayasa untuk menggugurkan hak asuh ibu, kemudian si ayah bapak melakukan perjalanan yang diikuti oleh anaknya, (maka) ini merupakan hilah (rekayasa) yang bertentangan dengan tujuan yang dimaksudkan syari'at. Sesungguhnya syari'at menetapkan, ibu lebih berhak dengan hak asuh anak daripada bapak jika kondisi tempat tinggal berdekatan, sehingga dimungkinkan untuk menengok setiap waktu".[6]
Demikian kaidah-kaidah ringkas mengenai hak asuh anak. Bahwa Islam sangat menjaga dan memelihara ikatan keluarga, meskipun antara suami dan isteri, atau antara ayah dan ibu si anak tersebut melakukan perceraian, yang tentu saja akan memengaruhi psikologis anak itu sendiri. Solusi Islam ini sangat berbeda dengan yang ditawarkan hukum publik. Begitu juga sangat berbeda dengan yang dikembangkan masyarakat Barat. Di kalangan Barat, jika terjadi persengketaan antara suami isteri, perebutan anak asuh pasti terjadi dan penyelesaiannya pun berlarut-larut. Bahkan bisa jadi memutuskan tali kekerabatan di antara mereka. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain untuk menjaga keutuhan komunitas, kecuali dengan Islam. Wallahu a'lam. (Mas)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Majmu' al Fatawa.
[2]. HR Ahmad, Abu Dawud dan al Hakim. Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan.
[3]. HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah.
[4]. Fatawa Syaikhil-Islam.
[5]. Fatawa Syaikhil-Islam.
[6]. I'lamul-Muwaqqi'in.
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...