Searching

Disukai Memberi Khabar Gembira Dan Mengucapkan Selamat Kepada Orang Yang Mendapat Anak

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kisah Ibrahim dan istrinya Sarah ketika didatangi oleh utusan-utusan Allah (para Malaikat) dengan membawa kabar gembira akan kelahiran Ishaq dan Ishaq akan mempunyai anak Ya'qub.

"Artinya : Dan istrinya[1] berdiri lalu tertawa[2] Maka kami sampaikan kepadanya kabar gembira akan (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir puteranya) Ya'qub. Isterinya berkata. 'Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh?'

Para Malaikat itu berkata. 'Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah ? (itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya dicurahkan atas kamu hai ahlul bait!

Sesungguhnya Allah Maha terpuji (dan) Maha Mulia" [Hud : 69-75]

Dan di dalam surat Al-Hijr ayat 53 Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang alim" [3]

Dan di dalam surat Adz-Dzaariyaat ayat 28 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan mereka (para Malaikat) memberi kabar gembira kepadanya (kepada Ibrahim) akan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang alim" [4]

Dan di dalam surat ASh-Shaaffaat ayat 101 Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.

"Artinya : Maka kami beri dia (Ibrahim)kabar gembira dengan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang amat sabar (yang penyantun)" [5]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi Zakariya.

"Artinya : Wahai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang namanya Yahya. Yang Kami tidak jadikan sebelumnya yang serupa dengannya [6]" [Maryam : 7]

Di antara fikih ayat-ayat di atas ialah bahwa disukai bagi kita memberi kabar gembira kepada ikhwan kita yang mendapat rizki seorang anak atau akan memperoleh anak sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi kabar gembira kepada Ibrahim akan kelahiran Ismail kemudian Ishaq dan Zakariya akan kelahiran Yahya. Atau memberikan selamat kepada saudara kita yang mendapat rizki seorang anak, sama saja apakah anak laki-laki atau anak perempuan tentang disukainya memberi kabar gembira dan mengucapkan selamat kepadanya.

Adapun perbedaan memberi kabar gembira dengan mengucapkan selamat ialah :

[a] Bahwa Al-Bisyaarah memberi kabar gembira maknanya memberitahukan kepadanya terhadap sesuatu yang menyenangkan.

[b] Sedangkan Tahniah mengucapkan selamat maknanya mendo'akan kebaikan kepadanya tentang sesuatu yang ada padanya sesudah dia mengetahuinya.

Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa ayat di akhir-akhir surat At-Taubah tentang telah diterimanya taubat Ka'ab bin Malik bersama dua orang kawannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat segera memberi kabar gembira kepada Ka'ab bin Malik dan mereka (para shahabat) mengucapkan selamat kepadanya. (Riwayat Bukhari dan Muslim dalam hadits yang panjang tentang kisah Ka'ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk).
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Yaitu Sarah
[2] Lantaran heran melihat tetamunya para Malaikat yang tidak mau makan hidangan yang telah disuguhkan oleh suaminya dan dilayani olehnya !?
[3] Yakni Ishaq yang akan menjadi Nabi.
[4] Yakni Ishaq
[5] Yakni Ismail anak tertua Ibrahim yang lahir lebih dahulu sebelum Ishaq.
[6] Yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menciptakan sebelumnya Yahya yang serupa dengan Yahya. Tafsir yang kedua bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak jadikan bagi perempuan-permepuan yang mandul dapat hamil dan melahirkan sebelum isteri Zakariya yang mandul kemudian hamil dan melahirkan Yahya. Tafsir yang ketiga bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak namakan kepada seorang pun juga dengan nama Yahya sebelum Yahya.

Antara Hak Anak Dan Kewajiban Ibu

Anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibunya. Anak merupakan darah daging kedua orang tuanya. Anak mempunyai hak-hak yang merupakan kewajiban orang tuanya, terutama ibunya, untuk menunaikan hak-hak tersebut. Jadi bukan hanya anak yang mempunyai kewajiban atas orang tua, tetapi orang tua pun mempunyai kewajiban atas anak. Secara ringkasnya kewajiban orangtua atas anaknya adalah sebagai berikut:

PERTAMA : MENYUSUI
Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan". [Al Baqarah: 233]

Allah berfirman, yang artinya : "Kami perintahkan kepada manusia Supaya berbuat baik kepada kedua iorang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan". [Al Ahqaf : 15]

Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,” Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan maksudnya adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih” [1]

KEDUA : MENDIDIKNYA
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah dia senatiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlaqk yang baik yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia.

Mendidik anak bukanlah kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang Allah berikan kepada seorang ibu.

Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya seperti mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja, bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang kita harapkan menjadi generasi yang tagguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan.

Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya :

1. Menanamkan Aqidah Yang Bersih Yang Bersumber Dari Kitab Dan Sunnah Yang Shahih
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah". [Muhammad : 19]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya : "Dari Abul Abbas Abdullah bin Abbas dia berkata,”Pada suatu hari aku membonceng di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau berkata,” Wahai anak, sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu : jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapatiNya dihadapanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah.dan apabila engkau mohon pertolongan maka mohonlah pertolngan kepada Allah. Ketahuilah seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yamg telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering” [2]

Dan dalam riwayat lain (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata) :"Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapatiNya dihadapanmu. Perkenalkanlah dirimu kepada Allah disaat kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu disaat sulit. Ketahuilah, apa-apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan ada bersama kesabaran dan bahwa kelapangan ada bersama kesempitan dan bahwa bersama kesusahan ada kemudahan". [3]

Seorang anak terlahir di atas fitrah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sesuatu yang sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang bersegera menanamkan agama yang mudah ini serta menanamkan kecintaan tehadap agama ini kepada anak-anaknya.

2. Mengajari Mereka Shalat
Mengajarkan anak-anak shalat yaitu dalam hal-hal yang utamanya, wajib-wajibnya, waktunya, cara berwudhu dan dengan shalat dihadapan mereka. Demikian pula dengan pergi bersama mereka ke masjid, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Sabroh Radhiyallahu 'anhu [4].

مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَلاَةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ إذا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا

"Perintahkanlah anakmu shalat, apabila mereka telah berumur tujuh tahun dan jika mereka telah berumur sepuluh tahun (tetapi tidak shalat) maka pukullah mereka" [5]

Dan hendaknya para ibu mengajari mereka bahwa shalat bukanlah hanya sekedar gerakan atau rutinitas seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla, akan tetapi ia merupakan hubungan yang dalam dan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Maka peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dari meninggalkan shalat dan berilah mereka ancaman dari perbuatan tersebut. Dan suruhlah mereka untuk senantiasa bersegera menunaikan shalat pada awal waktu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: "Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan kecuali orang yang bertaubat serta mengerjakan amal shalih..".[Maryam 59-60]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

أمِرْتُ أنْ أقَاتِلَ النَّاسِ حتى يَشْهَدُوا أن لاَ إله إلا الله وَ أنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ الله وَ يُقِيْمُوْا الصَلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَكَاةَ فَإذَا فَعَلُوا ذَلك عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأمْوَالَهُمْ إلا بِحَقِّ الإسْلاَمِ وَ حِسَابُهُمْ على الله تَعَالَى

"Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa muhammada adalh utusan Allah, dan sampai mereka mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan itu, maka terjagalah dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali merupakan hak islam dan perhitungan mereka atas Allah".[6]

Ibnu Hazm berkata,”Barangsiapa mengakhirkan shalat dari waktunya maka dia itu hina” [7]

3. Menanamkan Kecintaan Kepada Allah Dan RasulNya, Dan Mendahulukan Keduanya.
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حتى أكُوْنَ أحَبَ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلَدِهِ وَ النَّاسِ أجْمَعِيْنَ

"Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia”" [8]

Dengan mennanamkan kecintaan kepada Allah dan RasulNya di hati anak-anak akan menyebabkan mereka menyambut seruan Allah dan RasulNya, dan ini merupakan motivasi dasar untuk seluruh yang mengikuti dibelakangnya.

4. Mengajari Mereka Al Qur’an Dan Menyuruh Mereka Menghafalnya
Ini merupakan masalah besar yang hanya akan di dapatkan oleh orang yang berusaha sungguh-sungguh menghafalnya dan mengamalkannya. Hendaklah ibu memulainya dengan menyuruh menghafal surat Al Fatihah dan surat-surat pendek. Demikian pula hendaklah kita menyuruh mereka menghafal at tahiyyat untuk shalat.

Hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan keutamaan itu semua, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.

خَيْرُكُمْ مضنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah yang memepelajari al Qur’an dan mengajarkannya".[9]

Para ibu pada masa kejayaan Islam, benar-benar memotivasi anak-anaknya untuk mendapatkan kebaikan, lebih-lebih al Qur’an, sebagaimana mereka mengusahakan kebaikan bagi jiwa anak-anaknya.

5. Membuat Mereka Cinta Kepada Sunnah Serta Menyuruh Mereka Menjaganya
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Barangsiapa mentaati Rasul itu, maka sesunguhnya dia telah mentaati Allah". [An Nisaa : 80]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang attinya : "Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al Hasyr :7]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari hadits Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, yang artinya : "Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintahkan kalian adalah budak dari Habasyah, karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat pentunjuk, peganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gerahammu". [10]

6. Membuat Mereka Benci Kepada Bid’ah
Agama Islam adalah agama yang sempuna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". [An Nisaa : 115]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.

كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ في النَّارِ

"Setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka".

Jadi setiap bid’ah itu tertolak atas pelakunya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Adapun tentang pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka sebenarnya yang dimaksud yang dimaksud adalah bid’ah (perkara baru) secara bahasa saja bukan secara syar’iyyah.

7. Membuat Mereka Cinta Kepada Ilmu Syar’i Dan Bersabar Dalam Mendapatkannya
Ilmu syar’i merupakan ilmu yang paling mulia. Allah telah memuji ilmu dan ulama lebih dari satu ayat dalam Al Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya yang takut kepada allah diantra para hamba-hambaNya hanyalah ulama". [Fathir : 28]

Dan katakanlah,” Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu” [Thaha : 114]

Dari Zar bin Hubasyi, dia berkata,”Aku mendatangi Shofan bin ‘Assal Al Muradi, lalu dia berkata,”Untuk tujuan apa engkau datang kemari” Aku menjawab, ”Karena mengharapkan ilmu”. Dia berkata,” Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka cari”

Belajar diwaktu kecil lebih baik daripada belajar di waktu dewasa, sebagaimana dalam sebuah sya’ir.

“Belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu”

Pada masa permulaan Islam para ibu memotivasi anaknya untuk menunutut ilmu (syar’I). Bahkan ada yang rela bekerja agar si anak bisa belajar Lihatlah bagaimana manusia memuji Sufyan Ats Tsauri karena keluasan ilmu yang dimilikinya.

Al Auza’i berkata tentang Beliau,”Tidak ada orang yang padanya orang awam berkumpul dengan ridha dan lapang dada, kecuali satu orang di Kufah yaitu Sufyan”

Sufyan tidaklah mencapai apa yang telah beliau capai itu kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan ibunya yang shalihah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Waki’, dia berkata,” Ummu Sufyan berkata kepada Sufyan,”Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan aku akan mencukupimu dengan alat pemintalku”

Alangkah besarnya tokoh-tokoh yang keluar dari madrasah ibu.

Ibu adalah madrasah. Apabila engkau memeprsiapkannya, berarti
Engkau mempersiapkan generai yang kuat akarnya
Ibu adalah tamn. Jika engkua merawatnya, dia akan hidup
Dengan elok, tumbuh daunnya beraneka rupa
Ibu adalah guru pertamanya para guru,
Kemuliaanya terpancar menyebar sepanjang cakrawala

8. Mengajari Anak Minta Izin
Ini termasuk adab mulia yang penting untuk diajarkan dan dibiasakan oleh seorang ibu muslimah kepada anak-anaknya, khususnya jika anak hampir baligh. Islam telah memberikan batasan dan rambu-rambu tentang hal ini dengan jelas. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminya izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat shubuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah shalat isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. Demikianlha Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana".[An Nur :58-59]

Ayat-ayat tersebut menjelaskan waktu-waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak yang belum baligh untuk masuk kecuali setelah mendapat izin. Adapun selan tiga waktu tersebut, maka tidak berdosa atas mereka masuk tanpa izin. Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang sebab minta izin pada tiga waktu tersebut perkataanya, ”Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman agar para budak ynag mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum baligh untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga waktu, yaitu :

Pertama : Sebelum shalat fajar, karena manusia pada waktu itu sedang tidur di tempat tidur mereka.

Kedua : Ketika menanggalkan pakaian pada siang hari yaitu pada waktu qailulah (tidur siang), karena manusia seringkali sedang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya pada waktu itu.

Ketiga : Setelah shalat Isya, karena itu adalah waktu tidur, maka diperintah kepada para budak dan anak-anak (yang belum baligh) untuk tidak masuk kepada ahli bait tanpa izin pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan ketika itu seorang suami sedang bersama istrinya atau sedang melakukan hal lainnya.

Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "(Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu". Maksudnya yaitu apabila mereka masuk selain dari tiga waktu itu tanpa izin, maka tidak apa-apa atas kalian dan tidak pula atas mereka apabila mereka melihat sesuatu selain dari tiga waktu itu, karena telah diizinkan bagi mereka masuk tanpa izin dan karena mereka banyak berinteraksi dengan kalian untuk melayani kalian atau yang lainnya. [14]

Adapun bagi anak-anak yang telah baligh, maka mereka harus minta izin setiap waktu apabila ingin masuk. Al Auza’i berkata dari Yahya bin Katsir,”Apabila anak masih berumur empat tahun, maka dia meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam tiga waktu. Apabila mereka telah baligh maka dia harus minta izin setiap waktu.[14]

Keharusan minta izin ini tidak hanya ketika akan masuk ke rumah orang lain saja, akan tetapi juga ketika masuk ke rumah yang hanya dihuni oleh ibu atau saudara perempuannya. Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrad bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, ”Apakah aku harus minta izin kepada ibuku?”, maka dia menjawab,”Jika engkau tidak minta izin kepadanya, engkau akan melihat apa yang engkau benci” [15]

Imam Al Bukhari meriwayatkan pula tentang keharusan seorang laki-laki minta izin kepada saudarinya. ‘Atha bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu tentang meminta izin kepada saudara perempuan, maka Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Ya,” Lalu aku ulangi lagi,”Dua saudariku itu berada dalam pemeliharaanku, aku yang menjamin dan menafkahi mereka, apakah aku harus izin?” Beliau menjawab,”Ya, apakah engkau suka melihat saudarimu sedang telanjang?”, kemudian beliau membaca, Al-Qur’an surat An Nuur ayat 58.

Kemudian Atha’ berkata,”Mereka diperintahkan minta izin kecuali pada tiga waktu itu,”. Ibnu Abbas membaca, firman Allah yang artinya : "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meinta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. [An Nur : 59]

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Minta izin hukumnya wajib”. Ibnu Juraij menambahkan,”Atas setiap manusia” [17]

9. Menanamkan Kejujuran.
Jujur adalah sikap terpuji yang wajib kita menanamkannya kepada anak-anak kita. Allah berfirman, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)". [At Taubah :9]

Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak, demikian pula hadits telah berulang menyitir akhlak terpuji ini.

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

"Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga, dan sesungguhnya seseorang berkata jujur sehingga dia menjadi orang yang jujjur. Dan sesungguhnya kedustaan menunjukkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantar kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang berkata dusta hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" [18]

Berkata jujur adalah kemuliaan bagi anak-anak kita, dan hal ini tidak akan tersealisasi kecuali dengan berkata jujur dalam segala urusan.

Jika seseorang biasa berdusta dia akan senantiasa dianggap pendusta di hadapan manusia meskipun dia berkata jujur.

10. Menanamkan Sifat Sabar
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab".[Az Zumar :10]

Dan juga firmanNya Azza wa Jalla, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". [Al Baqarah : 153]

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

عَجَبًا لأمْرِ المُؤْمِنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ. وَ لَيْسَ ذلِكَ إلاَّ للِمُؤْمِنِ إنْ أصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَ إنْ أصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

"Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sesunguhnya semua urusannya adalah baik baginya, dan hal itu tidak terjadi kecuali bagi orang yangberiman. Apabila dia diberi kesenangan maka dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia ditimpa kesusahan maka dia bersabar, dan itupun baik baginya" [19]

11. Menyadarkan Mereka Tentang Berharganya Waktu
Sesungguhnya menjaga waktu akan menanamkan sifat menepati janji pada waktunya, demikian pula harus diperhatikan untuk menyeleaaikan suatu pekerjaan tepat pada waktunya. Oleh karena itu Allah menganjurkan kita untuk menyusun jadwal kegiatan dan mengerjakannya pada waktu yang telah direncanakan. Dan waktu sangat terbatas.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". [An Nisaa : 103]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ”Amal apa yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab,”shalat pada awal waktunya….” [20]

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhususkan masalah shalat karena shalat dilakukan berulang lima kali sehari semalam. Apabila seseorang menjaga shalatnya dan melaksanakannya pada awal waktunya, maka hal akan menanamkan kedisiplinan dan pemanfaatan waktu. Dan agar dia akan menjadikan waktu sehat dan luangnya sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikan, karena umur itu terbatas. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصَّحَّةُ وَ الفَرَاغُ

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang” [21]

Para salafus shalih dan orang-orang yang meniti jalan mereka adalah manusia yang paling ketat dan paling bersemangat dalam menjaga waktu, yakni dengan memanfaatkan dan memenuhinya dengan berbagai kebaikan dan hal-hal bermafaat.

12. Menanamkan Sifat Pemberani
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh." [At Taubah : 111]

Dari Abu Aufa Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَ اعْلَمُوْا أنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ

"Dan ketahuilah bahwa surga di bawah naungan pedang" [22]

Ibnu Hajar berkata Al Qurtubi berkata,”Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas termasuk ucapan yang indah, singkat tapi padat, memiliki gaya bahasa nan indah, ringkas dan lafazhnya bagus. (Ucapan) ini memberi faedah anjuran untuk berjihad, dan mengabarkan pahalanya, serta anjuran untuk menghadapi musuh menggunakan pedang serta bersatu ketika perang sehingga pedang menaungi orang-orang yang sedang berperang” [23]

Ibnul Jauzi,” Maksudnya adalah surga dapat diraih dengan jihad”. [24]

Pada periode awal Islam, para ibu menjadi penolong dan pendorong anak-anaknya agar memiliki sifat pemberani. Dalam sejarah kita mempunyai contoh-contoh tentang hal itu. Sebutlah Abdullah bin Zubair bin Awwam, ketika dia keluar untuk memerangi Hajjaj bin Yusuf, tidak ada bersamanya dan tidak ada orang disekelilingnya kecuali sedikit orang. Ia mengadu kepada ibunya Asma tentang ketidak pedulian manusia dan sikap diam mereka terhadap Hajjaj sampai orang yang paling dekat denganya sekalipun. Abdullah menanyakan pendapat ibunya. Lalu apakah yang dikatakan oleh wanita yang berjiwa besar ini ? Apakah ia berkata kepada putranya “Tinggalkanlah urusan ini” karena ia khawatir akan keselamatan putranya yang merupakan darah dagingnya ? Yidak, demi Allah, bahkan ia memompakan keberanian dan kesabaran sampai ia mati syahid.

Dengan keberanian dan jihad semacam inilah akan tegak berdiri daulah islamiah yang diharapkan, dengan izin Allah Azza wa Jalla.

13. Bersikap Adil Diantara Anak-Anak.
Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ

"Bersikap adillah diantara ank-anakmu, adillah diantara anak-anakmu, adillah diantara anak-anakmu”[25]

Pada akhir dari pembahasan ini, ingin aku sitirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Luqman Al Hakim kepada anaknya sebagai nasehat atas anak. "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) menerjakan kebaikan dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang manimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesunguhnya seburk-buruk suara adalah suara keledai". [Luqman : 17-19]

Saudariku muslimah, sesungguhnya anak-anak kita adalah amanah yang Allah Azza wa Jalla titipkan kepada kita, dan Allah Azza wa Jalla akan menanyakannya kepada kita apakah kita menjaganya atau menyia-nyiakannya. Maka wajib atas kita untuk menjaga amanah ini, dengan keyakinan kita sedang mendidik generasi muslim, kita persiapkan mereka agar menjadi generasi kuat untuk menghadapi orang-orang yang menyimpangkan Al Kitab dan Assunnah. (Salamah Ummu Ismail).
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Husnul uswah hal.215
[2]. H.R Tirmidzi dan berkata hadits hasan shahih
[3]. H.R selain Tirmidzi
[4]. Sabrah yakni Ibnu Abdil Aziz bin Rabi’ bin Sabroh Al Juhani
[5]. Dikeluarkan oleh Abu dawud, Tirmidzi  dan dia berkata,”Hasan shahih”. Ad Darimi, Ibnul Jarud, Ibnu Khuzaimah, Hakim  dan dia berkata,’ Sahih atas syarat Muslim dan disepakati oelh Adz Dzahabi” Berkata Al Albani dalam Al Irwa’,” Dan dalam apa-apa yag dikatakan keduanya perlu diteliti karena Muslim hanya mengeluarkan satu hadits saja dari Abdul Malli ini dalam hal mut’ah sebagai pendukung sebagaimana yang disebutkan oelh Al Hafizh dan lainnya. Hadits ini sanad-sanadnya dha’if akan tetapi dia mempunyai syahid yang menguatkannya kepada derajat shahih dari hadits Ibnu Amr
[6]. H.R Al Bukhari dan Muslim ( Nawawi)
[7]. Al Muhalla
[8]. H.R Al Bukhari  Muslim (Nawawi), Ibnu Majah , Ad Darimi, Ahmad , Abdurrazzaq, Ibnu Hazm dalam al Muhalla
[9]. H.R al Bukhari, Abu dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, ahmad ,Ath Thayalisi dan Ad Darimi
[10]. H.R Abu dawud , Tirmidzi  dan di berkata,” Hasan shahih”, Ibnu Majah, Ad Darimi , Ahmad , Hakim , Ibnu abdil bar dalam Jami’ul ilmi
[11]. H.R Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, ad darimi, ahmad, Ibnu Khuzaimah, Asy syafi’I dalam al umm , Hakim, Ibnu Abdil bar dalam al jami’, Ibnu Hazm dalam Al muhalla ( Ibnul Jarud), Humaidi
 [12]. Beliau adalah salah seorang imam dari enam madzhab, beliau adalah amirul mu’minin dalam hadits. Syu’bah, Ibnu Mubarak, Abu ‘Ashim, Ibu mu’ayyan dan lebih dari satu ulama lainnya, berkata,”Sufyan adalah amirul mu’minin dalam hadits” Ibnul Mubarak berkata,”Aku menulis dari seribu seratus syaikh, tidaklah aku menulis yang lebih utama daripada Suyan (At Tahdzib). Dikatakan pula bahwa Sufyana adalah penduduk dunia yang paling faqih (Siyar Alamin Nubala)
[13]. ‘Audatul Hijab karya Muhammad Ismail dinukil dari Al Imam Sufyan Ats Tsauri” karya Muhammad Abul fath Al Bayanuni
[14]. Tafsir ibnu katsir
[15]. Tafsir ibnu katsir
[16]. Al Adabul Mufrad
[17]. Al Adabul mufrad
[18]. H.R Al Bukhari, Muslim, Abu Daud , Tirmidzi dan dia berkata,”Hasan Shahih”
[19]. H.R Muslim (Nawawi)
[20]. H.R Muslim (Nawawi)
[21]. H.R Al Buhaaari, Muslim (nawawi0, Tirmidzi dan dia berkata,”Hasan Shahih”, Nasaai, Ad Ddarimi , Ahmad, Humaidi, Thabrani dalam Ash shagir, Al Baihaqi dalamAl I’tiqad
[23]. Fathul Bari
[24]. Fathul Bari
[25]. H.R Abu Dawud), Nasai, Ahmad.

Haram Bagi Seorang Ayah Murka Terhadap (Kelahiran) Anak Perempuannya

Allah Ta’ala berfirman:

"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." [Asy-Syuura: 49-50]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membagi keadaan suami isteri menjadi empat bagian yang mencakup padanya keberadaan. Dan Dia memberitahukan bahwa anak yang telah ditakdirkan bagi keduanya merupakan anugerah baginya. Dan cukuplah bagi seorang hamba menghindari murka-Nya dengan cara tidak murka pada apa yang telah Dia anugerahkan kepadanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan menyebutkan anak perempuan. Ada yang berpendapat: dengan paksaan bagi mereka untuk memperberat kedua orang tua terhadap kedudukan mereka. Dan ada juga yang berpendapat lain -dan ini yang terbaik-, yaitu sesungguhnya Dia mendahulukan wanita, karena siyaqul kalam (redaksi) menyebutkan bahwa Dia berbuat sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan tidak pada apa yang dikehendaki oleh kedua orang tua. Sebab, seringkali kedua orang tua menghendaki anak laki-laki. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia akan menciptakan apa yang Dia kehendaki. Oleh karena itu, Dia memulai dengan menyebutkan bagian yang memang Dia kehendaki dan tidak dikehendaki oleh kedua orang tua. Dan menurut saya ada pandangan lain, yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan apa yang diremehkan oleh kaum Jahiliyah, yaitu mengenai anak-anak perempuan sehingga mereka tega mengubur anak-anak perempuan itu hidup-hidup. Artinya, ini merupakan jenis yang disepelekan oleh kalian, namun menurut Allah dimuliakan dalam penyebutannya.

Renungkanlah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat kata nakirah pada kata al-inats (perempuan) dan mema’rifatkan adz-dzukur (laki-laki). Dengan demikian, Dia telah memperbaiki kekurangan wanita dengan menempatkannya di awal, dan memperbaiki kekurangan kata adz-dzukur dengan mema’rifatkannya. Sebab, ta’rif berarti pemujian. Seakan-akan Allah berfirman, “Dia (Allah) berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari dua jenis manusia (laki-laki dan perempuan) yang telah disebutkan. Yang mana keduanya tidak tersembunyi bagi kalian.” Kemudian setelah menyebutkan dua jenis manusia itu secara bersama-sama, Dia mendahulukan laki-laki dengan memberikan hak kepada masing-masing jenis, berupa pendahuluan dan pengakhiran. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang Dia kehendaki dari hal tersebut.

Maksudnya bahwa murka terhadap (kelahiran) anak perempuan merupakan akhlak orang-orang Jahiliyah yang sangat dicela oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya:

"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu." [An-Nahl: 58-59][1]

Selain itu, Dia juga telah mencela mereka ketika mereka menisbatkan apa yang tidak mereka sukai itu kepada-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah, maka jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih." [Az-Zukhruf: 17]

Dia juga berfirman:

"Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil." [An-Najm: 21-22]

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan." [An-Najm: 27]

MENGUBUR ANAK PEREMPUAN HIDUP-HIDUP TERMASUK DOSA BESAR

Allah Ta’ala berfirman:

"Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?" [At-Takwiir: 8-9]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Demikianlah jumhur ulama membacanya: ÓõÆöáóÊú.

Kata ÇóáúãóæúÁõæúÏóÉõ berarti bayi perempuan yang dahulu orang-orang Jahiliyyah menguburkannya hidup-hidup ke tanah karena benci memiliki anak perempuan. Kelak pada hari Kiamat, bayi-bayi itu akan ditanya karena dosa apa mereka dikuburkan? Yang demikian itu agar menjadi ancaman bagi orang-orang yang pernah melaku-kannya. Sebab, jika pihak yang dizhalimi itu ditanya, maka apa gerangan yang terpikir oleh orang yang berbuat zhalim?”

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan atas kalian untuk durhaka kepada ibu-ibu kalian, man’an wa haatin (menolak kewajiban dan menuntut yang bukan haknya), mengubur hidup-hidup anak perempuan. Dan Allah membenci kalian dalam hal berbicara yang tidak ada kebenarannya, banyak meminta-minta kepada orang lain, dan menyia-nyiakan harta.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab Syarh Muslim (IV/308), dengan menggunakan huruf hamzah- berarti mengubur anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di bawah timbunan tanah. Dan perbuatan ini termasuk dosa besar yang membinasakan. Sebab, hal tersebut termasuk pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan. Selain itu, mencakup juga pemutu-san hubungan silaturahmi. Dan disebutkan secara khusus pada anak perempuan saja, karena hal tersebut yang biasa dikerjakan oleh orang-orang Jahiliyah dahulu.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah Yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar." [Al-Israa': 31]

Dan dalam kitab ash-Shahiihain juga disebutkan dari hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menjadikan sekutu bagi-Nya, padahal Dia telah menciptakanmu.’ ‘Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar sangat besar,’ kataku. Kemudian kutanyakan, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Engkau membunuh anakmu karena engkau takut dia akan makan bersamamu.’ ‘Kemudian apa lagi?’ tanyaku lebih lanjut. Beliau pun menjawab, ‘Engkau menzinai isteri tetanggamu.’”

Adopsi Dan Hukumnya

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam bagi RasulNya, keluarga beliau serta sahabatnya, wa ba’du

Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa telah membaca pertanyaan dari sekertaris pelaksana Dewan Punjab untuk Kesejahteraan Anak, yang ditujukan kepada Ketua Bagian Riset Ilmiah, Fatwa dan Dakwah, yang dilimpahkan kepadanya dari Sekertaris Jenderal Majlis Ulama Besar no. 86/2 tanggal 15/1/1392H, yang isinya meminta penjelasan lebih jauh tentang aturan serta kaidah-kaidah berkenaan dengan hak anak adopsi dalam masalah waris?

Jawaban
Pertama : Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.

Kedua : Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan ke bapak mereka (yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak diketahui siapa bapak yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan loyalitas mereka bagi pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan anak adopsi dinasabkan kepada pengadopsi (ayah angkat) secara hakiki, bahkan anak-anak juga dilarang bernasab kepada selain bapak mereka yang asli, kecuali sudah terlanjur salah dalam pengucapan. Allah mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang mengandung kejujuran dalam perkataan, serta menjaga nasab dari keharmonisan, juga menjaga hak harta bagi orang yang berhak memilikinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 4-5]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ اِدَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ، أَوْ اِنْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَ الِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ الْمُتَتَابَعَةُ

“Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” [Hadits Riwayat Abu Daud]

Ketiga : Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan keputusan itu pula Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah hingga awal Islam berupa.

1. Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dengan kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari’at Islam. Dalam rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya. Dijelaskan pula secara global perintah berbuat baik dan sikap ma’ruf dalam bertindak.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا

“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)” [Al-Ahzab : 6]

2. Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak angkat setelah berpisah darinya, walaupun diharamkan di zaman jahiliyah. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat keabsahannya sekaligus sebagai pemangkas adat jahiliyah yang mengharamkan hal tersebut.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” [Al-Ahzab : 37]

Nabi menikahi Zaenab binti Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin Haritsah menceraikannya.

Keempat : Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.

1.Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan sebutan “wahai anakku” sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya dan mendengarkan nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya. Boleh juga memanggil orang yang usianya lebih tua dengan panggilan, “wahai ayahku” sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta nasehatnya, sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak dalam masyarakat, simpul-simpul antar individu menjadi kuat hingga satu sama lain saling merasakan persaudaraan seagama yang sejati.

2. Syari’at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Maidah : 2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْؤُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرَ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak dapat tidur” [Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim]

Dan sabda beliau.

اِلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan sebagiannya menopang sebagian yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i]

Termasuk dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar dan tak terurus. Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya pendidikan serta sikap kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap acuh dari masyarakat.

Kewajiban pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi orang tidak mampu, anak yatim, anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib dengan itu. Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada orang-orang mampu dari kalangan masyarakat, sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَيُّمَا مُؤْ مِنٍ تَرَكَ مَالاَ فَلْيَرِثَهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا، وَإِنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعَل فَلْيَأْ تِنِيْ فَاَنَا مَوْلاَهُ

“Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak, siapapun mereka. Tetapi jika meninggalkan utang atau kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena aku walinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Inilah yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad , keluarga serta sahabatnya.

Hak-Hak Pendidikan Anak Dalam Islam

Hak-hak yang harus dipenuhi supaya seorang anak muslim berada pada keadaan yang cocok untuk pendidikan Islam yang benar banyak sekali, kami akan meyebutkan di antaranya.

1. Memilih calon ibu yang baik, hal ini mengamalkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Lihatlah agama calon istri supaya engkau tidak celaka” [Muttafaqun alaihi]

2. Hendaknya kedua orang tua berdo’a dan merendahkan diri kepada Allah agar berkenan memberi rezki anak yang shalih kepada keduanya.

“Artinya : Dan orang-orang yang berkata : “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang bertakwa” [Al-Furqon : 74]

“Artinya : Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a” [Ali-Imran : 38]

Maka usaha apapun tanpa pertolongan Allah dan taufiq-Nya pasti akan berakhir dengan kegagalan.

Berapa banyak seorang ayah sengat menginginkan agar anaknya menjadi baik, ia sediakan hal-hal yang menunjang untuk kebahagiaan dan pendidikan anaknya, akan tetapi usahanya berakhir dengan kegagalan.

Dan berapa banyak seorang ayah memiliki anak-anak yang shalih, sedangkan ia sendiri bukan orang yang shalih.

3. Memberi Nama Baik
Salah satu hak anak yang wajib ditunaikan seorang ayah adalah memberi nama yang baik serta sesuai dengan syariat agama. Dan syariat agama Islam menganjurkan seorang muslim untuk memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama tertentu, dan nama yang paling dicintai oleh Allah adalah : Abdullah, Abdurrahman. Dan nama yang paling benar adalah : Hammam dan Harits.

4. Salah satu hak anak yang wajib ditunaikan orang tua adalah hendaknya anak melihat dari orang tuanya dan dari masyarakatnya akhlak yang bersih, jauh dari hal yang merubah fitrah dan menghiasi kebatilan, baik akhlak yang dibenci itu berupa kekafiran atau bid’ah atau perbuatan dosa besar. Karena sesungguhnya perbuatan yang menyelisihi fitrah itu memberi pengaruh terhadap kejiwaan seorang anak dan merubah fitrah yang telah dianugrahkan kepadanya.

Karena fitrah seorang anak adalah iman kepada Allah Sang Penciptanya dan beriman terhadap seluruh keutamaan, membenci kekafiran, kedustaan dan penipuan. Dalam hatinya terdapat cahaya fitrah yang senantiasa menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, hanya saja wahyu Allah menambahi fitrahnya dengan cahaya diatas cahaya. Dasar landasan hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Setiap anak dilahirkan diatas fitrahnya, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia yahudi, nashrani atau majusi” [Muttafaqun Alaih]

5. Diantara hak-hak seorang anak yang wajib ditunaikan orang tuanya hendaknya seorang anak tumbuh bersih, suci, ikhlas dan menepati janji. Dan hendaknya dia dijauhkan dari orang-orang yang melakukan perbuatan syirik dan kesesatan, dan perbuatan bid’ah serta maksiat-maksiat, serta perbuatan-perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu. Karena orang yang demikian itu terhadap seorang anak yang bersih dan suci hatinya serta baik jiwanya adalah ibarat teman duduk yang membawa racun yang mematikan dan penyakit kronis, dan itu semua merupakan penghancur keimanan dan perangainya yang baik.

Berapa banyak manusia rusak disebabkan bergaul dengan orang-orang yang pandir. Dan berapa banyak manusia dalam kebingungan disebabkan jauh dari orang-orang yang bijaksana dan ulama. Di dalam Al-Qur’an dan hadits telah disebutkan larangan bergaul dengan orang-orang jahat. Dan juga dari perkataan-perkataan Salafush Shalih banyak kita jumpai tentang hal itu. Kalaulah sekiranya dalam masalah ini tidak ada hadits yang menjelaskannya kecuali hadits An-Nu’man.

“Artinya : Permisalan teman duduk yang baik dan yang buruk adalah seperti pembawa minyak kasturi dan peniup api…” [Muttafaqun Alaih]

Tentulah hadits ini sudah mencukupi.

Ringkasanya adalah bahwa bahaya perangai jelek ini sangat besar, tidaklah orang-orang menjadi rusak melainkan disebabkan berteman dengan orang-orang yang jahat. Dan tidaklah orang-orang menjadi baik melainkan disebabkan oleh nasehat orang-orang yang baik. Dan dalam suatu perumpamaan dikatakan seorang teman itu akan menarik temannya (menarik kepada kebaikan atau kejahatan).

Engkau akan melihat seorang sahabat akan mengajak sahabatnya untuk nonton film, pergi ketempat-tempat minuman keras, melakukan perbuatan hina dan mengajaknya untuk menyukai gambar-gambar wanita yang terbuka auratnya serta mengajaknya untuk menyukai melihat majalah-majalah porno yang merusakkan kemuliaan akhlak dan menyebabkan penyimpangan dan kemunafikan, lalu seorang sahabat mengajak sahabatnya untuk mengikuti golongan-golongan dan pemahaman-pemahaman yang menentang dan menyimpang dari agama.

Akan tetapi seorang teman duduk yang baik memberi petunjuk kepada teman duduknya untuk menghadiri majelis-majelis ulama dan mengunjungi orang-orang yang shalih, bijaksana dan beradab. Dan dia akan mengajak temannya ke masjid serta mencintai orang-orang yang melakukan ruku’ dan sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hatinya itu menjadi cinta dan selalu terpaut dengan masjid hingga dia menjadi orang yang shalih.

Masjid adalah tempat hatinya, mushaf Al-Qur’an adalah teman yang selalu menyertainya dalam kesendiriannya, dan kitab yang berfaedah adalah teman duduknya, matanya mengucurkan air mata tatkala membaca Al-Qur’an dan dia merindukan untuk melihat Allah yang Maha Mulia dan yang Maha Memberi karunia, ia merindukan melihat Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, ia hidup bersama manusia dengan tubuhnya sedangkan hatinya hidup bersama bidadari di kamar-kamar surga, tidaklah dia memetik buah ini dan tidaklah ia hidup dengan hatinya ini di surga yang paling tinggi melainkan disebabkan duduk dengan orang-orang yang baik.

Dan ringkasnya adalah jika kita menjauhkan anak-anak dari teman duduk yang buruk (jahat), berarti kita telah memberikan kepada anak-anak itu salah satu dari hak-haknya yang paling besar.

6. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memerintahkannya untuk shalat di saat berumur 7 tahun, dan memukulnya lantarannya tidak mengerjakan shalat di saat berumur 10 tahun, serta memisahkan tempat tidur anak-anak mereka.

7. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua adalah hendaknya mereka mengajari anak-anaknya untuk berenang, memanah dan menunggang kuda.

8. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka membiasakannya berlaku jujur, menepati janji dan berakhlak mulia.

9. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengajarinya petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam makan dengan tangan kanan disertai dengan membaca basmalah dan makan makanan yang paling dekat.

“Artinya : Wahai anak muda, ucapkanlah bismillah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang terdekat darimu” [Muttafaqun Alaih]

10. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mecegahnya dari menonton televisi khususnya acara-acara yang haram misalnya tarian dan campur baur antara laki-laki dan perempuan. Dan melarangnya untuk melihat drama-drama berseri, yang berisikan pembunuhan dan kejahatan yang mengajarkan pembunuhan, pencurian dan pengkhianatan.

11. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka bersikap adil dalam mendidik anak untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, janganlah orang tua melampaui batas dan jangan pula terlalu lemah, janganlah berlebih-lebihan dalam memukul anak dan jangan pula membiarkannya tanpa teguran.

12. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengajarkan kepada anak untuk membenci orang-orang yang melakukan perbuatan bodoh, seperti seorang yang sudah mashur di masyarakat bahwa ia adalah orang yang suka berkhianat dan melakukan perbuatan nifak dan pemain-pemain sandiwara yang dinamakan oleh orang-orang dengan bintang seni disertai dengan usaha mengisi hati anak untuk cinta kepada para sahabat nabi, tabi’in, ulama dan mujahidin.

13. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mendidik anak untuk memakan makanan yang halal dan makan dari hasil jerih payah sendiri secara bertahap.

14. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka menolong anak untuk taat kepada Allah dan RasulNya, contohnya kalau seorang anak memilih perkara-perkara yang tidak menyelisihi syariat agama maka janganlah kedua orang tua melarannya.

15. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memilihkan dengan baik calon isteri yang shalihah yang membantunya untuk taat kepada Allah dan RasulNya.

16. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka mengarahkan anak sebelum ia menikah untuk memperoleh ilmu agama dari para ulama yang mengamalkan imunya, dan menanamkan rasa cinta untuk menghafal Al-Qur’an dan juga seluruh ilmu-ilmu syariat agama ini seperti fikih, hadits, ilmu bahasa, contohnya nahwu, shorf dan balaghah. Serta ilmu ushul fikiih, dan menanamkan rasa cinta kepada aqidah Salafush Shalih.

17. Diantara hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang tua hendaknya mereka memberi semangat anak untuk belajar secara khusus ilmu dunia yang ia minati untuk melayani masyarakat sesudah memperoleh ilmu agama yang wajib ia pelajari.

Dan terakhir : Sesungguhnya hak-hak pendidikan terhadap anak dalam agama Islam tidak ada perbedaan diantara satu negeri dengan negeri yang lainnya atau masa yang satu dengan masa yang lainnya. Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan masalah nama dan washilahnya (prasarananya) saja. Dan pokok-pokok yang disebutkan tadi cocok untuk manusia pada setiap zaman, tempat dan sesuai untuk seluruh manusia dipenjuru negeri

Dan segala puji bagi Allah,Rabb smesta alam, shalawat serta salam atas Nabi, keluarga dan para sahabat beliau.



Islam Mengharamkan Tidak Mau Mempunyai Anak Karena Takut Miskin



Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan (kamu). Kami akan memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka” [Al-An’aam : 151]

Dan firman-Nya lagi
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar” [Al-Israa : 31]

Faedah.
Pada ayat yang pertama (Al-An’aam : 151) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu”. Karena kemiskinan (kamu) terjemahan dari (min imlaaqi). Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kekafiran memang telah ada sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain Ulama. Maka janganlah kefakiran kamu itu menyebabkan kamu membunuh anak-anak kamu. Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini didahulukan penyebutan terhadap orang tua kemudian anak.

Firman-Nya : “Kamilah yang memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka (anak-anak kamu)”. Sedangkan dalam ayat yang kedua (Al-Israa : 31) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin”. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kefakiran belum datang kepada mereka (orang tua). Akan tetapi mereka takut hidup miskin atau fakir disebabkan adanya anak di masa mendatang. Lantaran itu mereka bunuh anak-anak mereka karena takut kemiskinan yang akan menimpa mereka!? Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai menyebut anak kemudian orang tua.

Firman-Nya : “Kami yang akan memberi rizki kepada mereka (yakni anak-anak kamu) dan juga kepada kamu”. Disinilah letak perbedaan kedua ayat di atas (Al-An’aam : 151 dan Al-Israa : 31). Perhatikanlah!

Kedua firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas memberikan pelajaran dan hukum yang sangat tinggi kepada kita ;

Pertama : Bahwa salah satu perbuatan jahilliyyah ialah membunuh anak mereka karena kemiskinan yang ada pada mereka atau karena takut miskin di masa mendatang disebabkan adanya anak. Dari sini kita mengetahui bahwa salah satu sifat orang jahilliyyah ialah takut mempunyai anak atau tidak mau mempunyai anak karena kefakiran mereka atau takut jatuh miskin atau fakir. Perhatikanlah dan pahamkanlah ! Alangkah serupanya kemarin malam dengan malan ini! Sebagian kaum muslimin yang hidup pada zaman kita sekarang ini ketakutan bahkan sangat takutnya mempunyai anak karena kemiskinan mereka itu atau takut miskin di masa mendatang!? Kaum muda yang baru nikah tidak mau langsung mempunyai anak dengan alasan misal yang kita dengar :
“Ekonomi kami belum cukup!”
Gaji masih kecil!”
“Belum mampu mengurus anak!”
“Rumah masih ngontrak!”.

Sebagian mereka ada yang membatasi kelahiran, tidak mau lebih karena alasan yang sama yang semua itu terkumpul menjadi satu yaitu ketakutan di atas ketakutan atas kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin disebabkan anak!

Alangkah serupanya sifat dua keyakinan mereka dengan sifat keyakinan orang-orang jahilliyyah yaitu tidak mau mempunyai anak karena kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin!!!

Dan inilah yang dibatakan oleh Islam ketika Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hajjatul Wada’ sewaktu beliau wuquf di Arafah.

“Artinya : Ketahuilah ! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan” [Riwayat Muslim : 4/41]

Salah satu urusan jahilliyyah ialah membunuh anak-anak mereka karena kemiskinan atau takut miskin! Ini! Maka kaum muslimin yang tidak mau mempunyai anak dengan i’tiqad (keyakinan) takut miskin atau takut tidak bisa makan atau, atau, atau…. Samalah keyakinan mereka ini dengan keyakinan orang-orang jahilliyyah meskipun mereka tidak membunuh anak-anak mereka.

Kedua : Membunuh anak-anak karena dua sebab di atas yaitu karena kemiskinan atau takut miskin atau sebab-sebab lain adalah perbuatan dosa yang sangat besar sekali sebagaimana firman Allah di atas bersama sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.

“Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata : Aku bertanya atau ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah dosa yang paling besar di sisi Allah?”
Jawab beliau, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan (sekutu) padahal Dia yang menciptakan kamu”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Jawab beliau, “Engkau membunuh anakmu lantaran takut makan bersamamu”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Jawab beliau, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”
[Shahih Riwayat Bukhari 6/14 dan Muslim 1/63 : 64]

Kesimpulan
Bahwa tidak mau atau takut mempunyai anak atau membatasi kelahiran dengan keyakinan seperti keyakinan jahilliyyah yaitu :
1). Karena kemiskinan dan takut semakin miskin dan fakir
2). Atau takut jatuh miskin dan fakir
3). Atau takut miskin karena banyak anak
4). Atau susah dan merasa berat mengurus dengan dasar pendidikan dan lain-lain.

Maka hukumnya haram dengan kesepakatan para Ulama umat ini yang dahulu dan sekarang (baca ; Ulama pewaris ilmunya para Nabi).

Jika dikatakan, “Bukankah di dalam Islam ada ‘azal (yaitu mengeluarkan mani di luar rahim). Sedangkan ‘azal pada hakikatnya tidak mempunyai anak dengan pencegahan kehamilan. Dan ‘azal ini dibolehkan di dalam Islam. Dengan sendirinya Islam tidak melarang mencegah kehamilan atau membatasi kelahiran, bagaimana jawaban saudara?”

Saya jawab.
Pertama : Tidak syak lagi bagi ahli ilmu khususnya dan sebagian kaum muslim umumnya, bahwa ‘azal terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Hadits-hadits yang berbicara tentang masalah ini cukup banyak dan masyhur dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslin dan lain-lain.

Kedua : Adapun hukumnya para Ulama kita telah beselisih dalam menentukannya. Akan tetapi pandangan yang lebih kuat hukum ‘azal adalah makruh yang lebih utama ditinggalkan karena beberapa sebab.

Sebab Pertama : ‘Azal terjadi pada masa turunnya wahyu sedangkan Allah tidak menurunkan ayat yang melarangnya.

Sebab Kedua : Tidak ada larangan yang sharih (tegas) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ‘azal adalah :

“Artinya : Mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi” [Riwayat Muslim 4/161 dan lain-lain]

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidak secar zhahirnya. Akan tetapi hanya merupakan tasybih yaitu penyerupaan bahwa ‘azal itu menyerupai orang yang mengubur anak hidup-hidup secara zhahir yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan secara sembunyi (khafi) karena beberapa hal.

Hal yang pertama : Niat dan maksudnya tidak mau mempunyai anak
Hal yang kedua : Memutuskan kelahiran sebelum datangnya (yakni datang kehamilan). Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namakan mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi.

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun jelas bahwa mereka (orang yang melakukan ‘azal) tidak mengubur anak hidup-hidup secara zhahir. Oleh karena itu hukumnya pun tidak berlaku secara zhahir.

Sebab Ketiga : Bahwa ‘azal menghilangkan sebagian dari maksud-maksud nikah diantaranya ialah memperbanyak umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi kebanggaan beliau di hadapan para Nabi dan umat-umat yang terdahulu bahwa umat beliau adalah yang terbanyak dan terbesar dari seluruh umat para Nabi dan Rasul. (Baca kembali hadits-hadits di fasal pertama)

Sebab Keempat : Bahwa ‘azal menghilangkan sebagian kelezatan jima’ (bersetubuh). Imma terhadap istri atau terhadap keduanya (suami – istri).

Ketiga : Bahwa ‘azal yang terjadi dan dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dikerjakan oleh sebagian Shahabat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada zaman kita hidup sekarang ini dengan beberapa perbedaan yang sangat mendasar sekali yaitu.

Perbedaan yang pertama : Bahwa para Shahabat melakukan ‘azal dengan tidak meyakini (tanpa i’tiqad) bahwa dengan ‘azal itu pasti dapat mencegah kehamilan ! Tidak demikian keyakinan mereka!

Keyakinan mereka bawha ‘azal sama sekali tidak dapat merubah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan akan terjadi anak maka terjadilan. Begitu keyakinan (i’tiqad) mereka sebagaimana diajarkan oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya sabda beliau ketika ditanya tentang ‘azal.

“Artinya : Hanyasanya dia itu qadar (takdir)” [Shahih Muslim : 4/158, 159]

Maksudnya : Terjadinya anak dan tidaknya disebabkan takdir bukan karena ‘azal!

Perhatikanlah ! inilah keyakinan yang benar!

Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian kaum kita selain mereka telah mempergunakan berbagai macam alat pencegah kehamilan bukan ‘azal yang dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meyakini bahwa dengan alat-alat tersebut kehamilan dapat dicegah!? Ini adalah keyakinan yang batil dan menyalahi kenyataan yang dapat disaksikan oleh manusia! Berapa banyak orang yang ‘azal baik dengan cara lama atau dengan menggunakan alat –terlepas dari keyakinan masing-masing- kenyataannya istrinya hamil kemudian melahirkan yang akhirnya ia mendapat anak!

Sebaliknya, berapa banyak orang yang tidak melakukan ‘azal baik dengan cara lama atau menggunakan alat kenyataannya istrinya tidak hamil! Bahkan ada yang sampai seumur hidupnya tidak mempunyai anak! Cerita tentang dua kejadian di atas banyak sekali sampai kepada derajat mutawatir! Ini perbedaan yang pertama!

Sedangkan perbedaan yang kedua : Bahwa para Shahabat melakukan ‘azal atau katakanlah “mencegah kehamilan”, tanpa i’tiqad (keyakinan) sama sekali seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kuffar seperti kami terangkan di atas.

Sedangkan kaum kita dewasa ini –tentunya tidak semuanya- mereka melakukan ‘azal atau lebih bebasnya kita katakan saja mencegah kehamilan karena tidak mau mempunyai anak atau lebih ‘arifnya kita katakan belum mau mempunyai anak atau membatasi kelahiran, apakah dengan cara lama ‘azal atau dengan menggunakan alat, semuanya mereka lakukan dengan keyakinan (i’tiqad), seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kufar pada zaman kita sekarang ini, yaitu.
1). Karena miskin atau fakir
2). Karena takut miskin atau fakir
3). Takut miskin karena mempunyai anak banyak
4). Kata mereka, “Susah mengurusnya!?, “Jadi beban!?”, “Banyak keluar biaya!?”

Dan lain-lain alasan yang semuanya terkumpul menjadi kamus “kesusahan diatas kesusahan”. Itulah keyakinan sebagian kaum kita dalam masalah mencegah kehamilan atau membatasinya. Alangkah sedihnya melihat kenyataan ini!

Keyakinan yang ditangisi oleh Islam dan dibatalkannya! Inilah yang sangat kita sayangkan dan sesalkan, bahwa sebagian saudara-saudara kita telah dimiskinkan hatinya oleh orang-orang kafir sebelum orang-orang kafir itu memiskinkan harta-harta mereka!

Ini ! Kemudian datang kepada saya satu pertanyaan yang maknanya sebagai berikut ; Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?

Saya jawab : [1]
Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?
Pertama : Bahwa i’tiqad di atas menyerupai i’tiqad kaum jahilliyyah atau kaum kuffar dan maksud-maksud mereka yang dahulu dan sekarang. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatalkan segala urusan jahilliyyah sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, ‘Ketahuilah! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan”.

Bersama sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : …Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum (yakni kaum kuffar), maka dia (orang tersebut) termasuk dari golongan mereka (yakni orang yang mengikuti sunnahnya orang-orang kafir)”.

Hadits ini shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan Thahawiy di kitabnya Musykilul Atsar sebagaimana telah saya terangkan di Riyadlul Jannah (no.145).

Hadits yang mulia ini merupakan larangan yang tegas dalam bentuk khabar tentang tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Dalam hal ini sebagai kaum muslimin telah menyerupai keyakinan orang-orang jahilliyyah tentang masalah anak.

Ketahuilah! Bahwa orang-orang jahilliyyah membunuh anak-anak mereka –sebagaimana di beritakan Al-Qur’an- karena tiga sebab.

Pertama : Karena sebab kemiskinan mereka
Kedua : Karena sebab takut miskin
Ketiga : Karena sebab malu mempunyai anak perempuan

Untuk yang pertama dan kedua tidak syak lagi bahwa sebagian kita telah mempunyai i’tiqad orang-orang jahilliyyah. Mereka tidak mau mempunyai anak atau katakanlah belum mau atau membatasi kelahiran karena sebab miskin atau takut miskin meskipun mereka belum membunuhnya! Bahkan mereka pun telah melakukannya walaupun jumlahnya masih kecil! Dan celakanya, sebagian dari mereka telah menempuh atau mencari jalan yang lain yaitu menjual anak-anak mereka kepada orang-orang kaya karena dua sebab di atas. Lebih lanjut masalah ini akan saya luaskan di fasal adopsi.

Adapun untuk yang ketiga tidak syak lagi bahwa sebagian dari kita telah membunuh anak-anak mereka bukan karena malu mempunyai anak perempuan akan tetapi karena malu mempunyai anak disebabkan hamil atau melahirkan di luar nikah!!!

Mereka bunuh anak-anak mereka dengan berbagai macam cara yang keji-keji. Ada yang di cekik, ada yang dibuang di got, di tong sampah, di kali dan lain-lain. Bahkan! Lebih celaka lagi sebagian dari mereka membunuh anak-anak mereka untuk tujuan-tujuan tertentu seperti memperoleh kekayaan atau ilmu (baca : ngelmu). Mereka mendatangi gunung-gunung atau goa-goa tertentu dan lain-lain tempat. Misalnya gunung Kawi yang sudah cukup masyhur untuk memperoleh kekayaan misalnya dengan mengadakan pernjanjian untuk menyembah iblis! Dan iblis pun memberikan berbagai macam syarat kalau mau kaya di antaranya “membunuh anak” untuk dipersembahkan kepada iblis sebagai tumbal!? Ini kenyataan!

Semua yang tersebut di atas adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi kecuali kita rela membutakan mata hati dan lahir kita!

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...