Searching

Riba Bukan Perniagaan


وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. [Al Baqarah:275].

Perniagaan model riba pada masa sekarang telah menyebar, merata di seluruh pelosok dunia, di kota dan di desa. Penggemarnya bukan hanya orang kafir, tetapi juga kaum muslimin. Berniaga dengan uang pinjaman dari bank riba yang harus dibayar bunganya setiap bulan itu, bukan hanya penguasaha kecil yang susah mencari pinjaman orang kampung -sehingga didatangi oleh bank keliling yang ingin menelurkan induknya dengan mencekik kaum dhuafa’- akan tetapi pengusaha yang kayapun hobinya senang berhutang di bank riba.

Mereka menganggap riba sama sengan peniagaan, karena dinilai sama-sama mencari keuntungan. Tentunya orang mukmin yang ingin menghidupkan hukum Allah dan Sunnah NabiNya tidak akan diam menghadapi kemungkaran ini.

Selanjutnya, mari simak pembahasannya, agar kita selamat dari murka Allah di dunia dan di akhirat. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita. Amin.

MAKNA RIBA DAN PERNIAGAAN
Riba menurut bahasa artinya tambahan. [1] Sedangkan menurut istilah, ialah tambahan secara khusus. [2] Sedangkan maksud tambahan secara khusus, ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.

Perniagaan (al bai’ was syira’), ialah memberikan harga dan mengambil yang dihargai. [3] Maksudnya, menyerahkan sesuatu yang berharga, dengan mengambil sesuatu yang lain, bertujuan untuk dimiliki, dengan akad secara lisan atau perbuatan, berdasar suka sama suka. Dalilnya firman Allah.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. [An Nisa’:29].

HUKUMNYA
Riba hukumnya haram, berdasarkan firmanNya: ( وَحَرَّمَ الرِّبَا dan Allah mengharamkan riba. (Al Baqarah:275), dan berdasarkan hadist yang shahih dan ijma’ ulama. Sedangkan perniagaan hukumnya -menurut asal- adalah halal, berdasarkan firmanNya: ( وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ ) dan Allah menghalalkan perniagaan. [Al Baqarah:275]

Perniagaan yang asalnya halal ini, suatu saat akan berubah menjadi haram karena ada beberapa sebab, antara lain:

Pertama : Penjualan benda tertentu.
Seperti dilarang menjual anjing, kucing, kera, binatang buas dan semisalnya. Dalilnya ialah, shahabat Ibn.Umar Radhiyallahu 'anhu berkata:

نَهَى النبي عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menerima hasil dari penjualan anjing. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’]. [4]

Kedua : Sifat penjualannya.
Seperti menjual barang yang belum jelas, menjual anak kambing di dalam perut induknya, menjual kacang tanah yang masih di dalam tanah, menjual ikan di dalam air, menjual kambingnya yang hilang, menjual barang yang bukan miliknya dan seterusnya, hal seperti ini dilarang. Mengapa? Karena ada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Hurairah, dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang yang ada unsur penipuan (tidak jelas). [HR Muslim, Kitabul Buyu’].

Ketiga : Berkenaan dengan waktunya.
Seperti berjualan ketika khatib sedang berkhotbah Jum’ah sampai selesai shalat.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. [Al Jum’ah:9].

Keempat : Berhubungan dengan tempatnya.
Seperti berjual-beli di masjid. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

Apabila kamu melihat orang berjualan di masjid atau membelinya, maka katakanlah: semoga Allah tidak memberi laba perniagaanmu. [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ad Darimi. Albani berkata, sanadnya shahih menurut ketetapan Imam Muslim].[5]

Kelima : Berkenaan dengan caranya.
Seperti menjual barang ribawi (mengandung unsur riba). Misalnya: menjual emas dengan emas, dengan melebihkan timbangannya sekalipun beda bentuknya. Atau menjual uang yang sama jenisnya, dengan melebihkan (menjual satu juta rupiah dengan memperoleh satu juta limapuluh ribu rupiah). Menjual beras lima kilogram dengan beras kwalitas lain, dengan tiga kilogram dan seterusnya. Dalilnya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilainya (timbangannya). Perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’]

PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN
Menurut pandangan orang jahiliyah dahulu, perniagaan itu disamakan dengan riba dari segi keuntungan (sebagaimana tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 275). Tetapi dari segi hukum, menurut pandangan Dinul Islam jelas berbeda. Riba hukumnya haram, tidak berubah menjadi halal dengan alasan apapun. Pelakunya diancam dengan tidak memperoleh barakah dari keuntungan yang didapatnya dan di akhirat mendapat siksa. Sedangkan perniagaan asalnya halal, kecuali sebagian bentuk perniagaan yang dilarangan dalam Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama.

Mengingat pembahasan perbedaan antara jual-beli dan riba ini sangat luas jangkaunnya, -dikarenakan banyak dalil yang menjelaskan bentuk perniagaan yang haram (yang mengandung riba), disusul pula perkembangan model perniagaan pada zaman sekarang, yang pada hakikatnya mengarah kepada riba- oleh karenanya dalam pembahasan ini, kami batasi hanya memberikan contoh-contoh sepanjang pengetahuan kami model perniagaan dan riba yang berkembang pada masa kini dengan mengacu kepada dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan fatwa para ulama’ yang dapat dipercaya keilmuannya.

Sebelum memasuki pembahasan perbedaan diantara keduanya, perlu kita mengetahui, mengenai benda apa yang apabila ditukar atau dijual dengan melebihkan salah-satunya, berarti dinamakan riba? Maka jawabnya ialah berikut ini.

Pertama : Ulama ahli fiqih telah sepakat, bahwa enam barang ini, yaitu: emas, perak, gandum, syair (jenis gandum), korma dan garam, tergolong riba, yaitu bila:
1. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya. Dinamakan riba fadhel.
2. Dijual atau ditukar, tidak diambil sebelum berpisah dari majelis. Dinamakan riba nasiah.
3. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya, dan diambil kemudian hari. Dinamakan riba fadhel dan nasiah.

Adapun dalilnya, sebagaimana dituturkan Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, sesungguhnya kami pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ , فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى , الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ

Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dengan gandum, syair (jenis gandum) dengan syair, korma dengan korma, garam dengan garam, maka harus sama (timbangan atau takarannya) dan harus lewat tangan dengan tangan (diterima sebelum berpisah). Maka barangsiapa yang menambahi atau minta tambah, sungguh ia telah meribakan, yang mengambil atau yang memberi sama. [HR Muslim, Kitabul Masaqat].

Kedua : Ulama fiqih berbeda pendapat, tentang barang ribawi selain enam macam tersebut. Ada yang berpendapat:
1. Tidak termasuk ribawi. Demikian ini pendapat Zhahiriyah
2. Semua barang yang dijual dengan timbangan atau takaran termasuk ribawi. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.
3. Mata uang dan makanan, demikian pendapat Imam Syafi’i.
4. Khusus makanan yang dijual dengan timbangan atau takaran, menurut pendapat Imam Ahmad.
5. Makanan pokok bila ditukar sama jenisnya dengan melebihkan, termasuk riba. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik.

Ibnul Qoyyim berkata,”Pendapat yang paling kuat, ialah pendapat yang mengatakan, bahwa makanan pokok bila dijual sama jenisnya dengan melebihkan salah satunya atau tidak diambil langsung, termasuk riba.”[6]

Contohnya gula dengan gula, tepung dengan tepung, beras dengan beras dan seterusnya.

Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim ini, nampaknya diperkuat pula oleh hadits dari Makmar bin Abdullah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلًا بِمِثْلٍ, قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ

Makanan ditukar dengan makanan harus sama. Makmar berkata: Makanan kami saat itu ialah gandum. [HR Muslim, Bab Al Masaqah].

CONTOH PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN
1. Termasuk riba, bila menjual atau menukar uang lain jenis, dengan pembayaran belakangan.
Misalnya, menjual dolar dengan rupiah, salah satunya diambil nanti atau besok dan seterusnya. Penjualan ini haram karena termasuk riba nasi’ah.

Dalilnya, dari Umar bin Khathab Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ

Dan janganlah kamu menjual perak dengan emas, salah satunya tidak kelihatan yang lain di hadapannya (tunai). [HR Imam Malik, Kitabul Buyu’, sanadnya shahih].

Termasuk jual beli yang sah, bila menjual uang lain jenis dengan pembayaran tunai, sekalipun tidak sama nilainya.

Misalnya, menjual $ 100 USA dengan Rp 900.000,- diterima di tempat penjualan, maka penjualan ini sah, karena uangnya lain jenis dan diterima di tempat.

Dalilnya, dari Ubadah bin Shamit, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sesukamu apabila berhadap-hadapan (tunai). [HR Muslim, Kitabul Masaqat].

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, apabila sama penyebabnya dan berbeda jenisnya, boleh dijual dengan melebihkan salah satunya, tetapi harus tunai. [7]

2. Termasuk riba, menjual barang ribawi yang sama jenisnya yang satu kelihatan, sedangkan yang lainnya tersembunyi.
Misalnya: Jual gelang emasmu 10 gr ini dengan kalung emasku di rumah seberat 10 gr. Penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba nasi’ah.

Dalilnya, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

Janganlah kamu menjual emas dengan emas, melainkan sama timbangannya, jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan janganlah kamu menjual perak dengan perak, melainkan sama timbangannya, jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan jangan engkau menjual yang tidak kelihatan dengan yang nampak. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, bila sama illat (penyebab) dan jenisnya, haram dijual dengan lebih (fadhel) atau tertunda (nasi’ah) penerimaannya. [8]

Termasuk jual beli yang sah, bila dia berkata: Jual gelang emasmu 10 gr ini, dengan kalung emasku seberat 10 gr itu. Hukum perniagaanya sah, karena sama ridha dan sama nilainya dan keduanya diterima ditempat.

3. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain bentuk.
Misalnya: Aku jual perakku yang berupa cincin 10 gr ini dengan gelang perakmu 12 gr itu.

Hukum penjualan seperti ini haram, sekalipun sama-sama ridha, sama illat dan jenisnya, diterima ditempat, tetapi berbeda nilainya, yaitu 10 gr dengan 12 gr. Ini termasuk riba fadhel.

Dalilnya, lihat hadits yang dituturkan Ubadah bin Ash Shamit di atas, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Masaqah.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan dari emas dengan emas, perak dengan perak, lebih dari timbangannya karena berbeda bentuknya. [9]

Termasuk jual beli yang sah, bila,
a. Perak dengan perak tadi dijual sama timbangannya, seperti 10 gr dengan 10 gr sekalipun berbeda modelnya (misal: gelang dengan cincin).Dalilnya sebagaimana hadits diatas.
b. Dijual cincin perak dengan berat 10 gr tadi dengan uang, lalu dibelikan perak berupa gelang 12 gr tadi, walaupun tidak menambah dengan uang.
c. Jual atau tukar tambah sepeda dengan sepeda, motor dengan motor yang sama merknya, rumah dengan rumah, tanah dengan tanah dan semisalnya, sekalipun sama jenisnya dan diterima saat sebelum pisah, tetapi illatnya bukan barang ribawi, yaitu bukan emas dan perak atau uang dan bukan makanan pokok.
d. Menjual makanan yang lazimnya tidak dijual dengan takaran, seperti buah durian dengan buah kelapa, sekalipun jumlahnya berbeda, karena illatnya buah bukan makanan pokok dan tidak harus dijual dengan takaran atau timbangan.

4. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain mutu atau kwalitasnya.
Misalnya: Saya jual berasku 100 kg yang aku peroleh dari tunjangan pemerintah ini dengan berasmu yang baru itu 90 kg, atau gula 5kg warnanya putih sekali ini dijual dengan gula agak kekuning-kuningan 6 kg. Hukum penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba fadhel, dan karena illatnya sama. Yaitu makanan pokok dan jenisnya sama (beras dengan beras, gula dengan gula) sekalipun kwalitasnya tidak sama.

Dalilnya Dari Abu Hurairah, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا قَالَ لَا وَاللَّهِ يَارَسُولَ اللَّهِ , إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّه لَا تَفْعَلْ بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat seorang pekerja (Sawad bin Aziyah Al Anshari) di Khaibar, lalu dia datang dengan membawa kurma yang sangat istimewa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,”Apakah kurma Khaibar seperti ini semua?” Lalu dia menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah. Demi Allah aku menukar satu sha’ kurma yang istimewa ini dengan korma kami dua sha’, dan dua sha’ dengan tiga sha’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jangan kamu membeli seperti itu! Jual kormamu yang campuran itu dengan dirham (mata uang), lalu beli korma yang istimewa itu dengan dirham.” [HR Bukhari Muslim, Kitabul Buyu’]

Termasuk jual beli yang sah, bila beras bagian yang jelek mutunya tadi dijual terlebih dahulu, dirupakan dengan uang atau barang lain, lalu dibelikan beras yang baik, demikian juga untuk gula.

Hadits di atas menunjukkan bolehnya merekayasa di dalam jual beli, asal dalam batas syar’i, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah n tentang korma yang jelek dijual dengan dirham dulu, kemudian uangnya untuk membeli korma yang baik.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi bila sama illat dan jenisnya, haram dijual dengan melebihkan salah satunya dan tertunda penerimannya. Misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, sekalipun salah satunya bermutu baik, yang lain jelek. [10]

5. Termasuk riba, bila menjual atau menukar benda ribawi sama jenisnya, dengan menambah ongkos pembuatan.
Misalnya: Menukar cincin emas senilai 3 gr di toko emas dengan senilai 3gr pula, lalu ditambah ongkos pembuatan. Hukumnya haram , karena termasuk riba fadhel, seharusnya tidak pakai tambah . Adapun dalilnya sebagaimana tercantum di atas.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan dari emas dan perak, yang sama jenisnya dengan melebihkan pada salah satunya karena ongkos pembuatan. [11]

Termasuk jual beli yang sah.
- Bilas cincin emas yang bernilai 3 gr tadi dijual dengan uang, lalu diterimanya, lalu dibelikan emas 3 gr pula sama bentunya atau lain , sekalipun nilai jual dan beli berbeda , karena orang menjual ingin cari untung , dan dia menjual dengan lain jenis , yaitu emas dengan uang.
- Bila mempunyai emas 10 gr, ingin ditukar dengan 17 gr, dengan membayar kekurangannya berupa uang tunai, hukumnya sah. [12]

6. Termasuk riba, menjual benda ribawi yang lazimnya dijual dengan takaran atau timbangan, tetapi dijual salah satunya tanpa ditimbang atau ditakar.
Misalnya : Ada orang menjual emas tetapi tidak diketahui timbangannya dengan emas milik temannya, berupa gelang emas 10 gr, atau menjual beras di dalam karung yang tidak jelas timbangannya dengan beras 50 kg. Hukumnya haram, termasuk riba fadhel, karena sesuatu yang tidak jelas, maka akan terjadi penambahan pada salah satunya.

Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah, dia berkata.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الصُّبْرَةِ مِنَ التَّمْرِ لَا يُعْلَمُ مَكِيلَتُهَا بِالْكَيْلِ الْمُسَمَّى مِنَ التَّمْرِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual tumpukan kurma yang belum diketahui takarannya dengan korma yang sudah ditakar. [HR Muslim, Kitabul Buyu’]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Yang dinamakan al mumatsalah (persamaan) harus terwujud persyaratannya (harus sama jenis dan ukurannya). Maka, apabila meragukan, berarti melebihkan (riba). [13]

Termasuk jual beli yang sah, bila emas yang belum jelas timbangannya, ditimbang dulu, lalu dijual dengan uang atau ditukar dengan emas dengan nilai yang sama dan diterima sebelum berpisah, sebagaimana mafhum (pemahaman) hadits di atas.

7. Termasuk riba, bila menjual barang ribawi, tidak dengan ukuran syar’i.
Misalnya: Menjual emas dengan takaran atau bijian. Padahal menurut syari’at Islam harus dijual dengan timbangan. Contoh yang lain, menjual gula dengan cawukan (Jawa, menyiduk secara serampangan). Padahal lazimnya dijual dengan timbangan. Adapun barang yang lazimnya dijual dengan takaran atau timbangan, seperti beras, maka boleh membelinya dengan salah satu ukurannya, asal dengan uang atau benda yang lain. Akan tetapi tidak boleh menjual beras 1 kg dengan beras 1 liter, karena termasuk riba fadhel. Sebab ukurannya tidak sama.

Dalilnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ كَيْلاً بِكَيْلٍ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ كَيْلاً بِكَيْلٍ

Emas dijual dengan emas, hendaknya sama timbangannya. Dan perak dijual dengan perak, hendaknya sama timbangannya. Gandum dijual dengan gandum, hendaknya sama takarannya. Dan gandum syair dijual dengan syair, hendaknya sama dengan takarannya. [HR Al Atsram dan Ath Thahawi, dishahihkan oleh Al Lajnah Daimah 13/502]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual barang ribawi, melainkan dengan ukuran syar’i. Yaitu barang yang lazimnya dijual dengan timbangan, maka harus dijual dengan timbangan; yang dijual dengan takaran, maka harus dijual dengan takaran pula. [14]

Termasuk jual beli yang sah.
- Bila emas dijual dengan timbangan dan diterima tunai.
- Bila tanah dengan meteran atau ukuran lain, karena bukan termasuk barang riba.
- Bila makanan ringan dan buah-buahan dengan bijian atau jumlah, karena bukan makanan pokok.
- Bila besi dengan timbangan atau bijian, karena bukan benda ribawi.

8. Termasuk riba, bila menjual sama jenisnya, tetapi bercampur dengan jenis lain, sebelum dipisah.
Misalnya: Menjual cincin emas yang bermata, dengan perhiasan emas yang tak bermata, atau dijual dengan uang, maka hukumnya haram. Karena tidak jelas timbangan emasnya dan termasuk riba fadhel. [15]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Barang ribawi tidak boleh dijual walaupun sama jenisnya, apabila salah satunya atau keduanya bercampur dengan jenis lain. Seperti, satu mud korma ajwah dan satu dirham, ditukar dengan semisalnya. Atau dengan dua mud dan dua dirham. Atau satu dirham dan satu dinar dengan dinar. [16]

Dalilnya, dari Fadhalah bin Ubaid, dia berkata.

اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ فَقَالَ : لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ

Saya membeli kalung pada waktu perang Khaibar dengan harga dua belas dinar. Di dalamya terdapat emas dan permatanya, lalu aku lepas permatanya. Tiba-tiba aku menjumpai beratnya lebih dari dua belas dinar, kemudian aku menuturkan kepada Nabi n , lalu beliau menjawab,”Jangan kamu jual, sehingga kamu pisahkan (emas dengan permatanya).” [HR Muslim, Kitabul Masaqat]

Termasuk jual beli yang sah, bila menjual perhiasan emas tadi dengan melepas permatanya sebelum dijual, lalu ditukar dengan emas yang sama timbangannya dan diterima sebelum berpisah, atau dibelinya dengan uang.

Dalilnya dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilai (timbangannya). Perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

9. Termasuk riba, bila menjual barang dengan pembayaran taqsith (kredit), dan harus menambah nilainya apabila terlambat pembayarannya. Hal ini termasuk riba jahiliyah (riba nasiah). Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 154 ,156, 161.]

Termasuk jual beli yang sah, bila pembelian barang dengan kredit tersebut tidak mengalami penambahan nilai hutang, bila tertunda pembayarannya.

Dalilnya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 155.

10. Termasuk riba, bila membelikan barang untuk orang lain dengan pembayaran tempo (tentunya lebih mahal), lalu pembeli menjualnya kepada penjual pertama lebih murah, karena dibayar tunai. Ini temasuk jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca Fatawa Lajnah Daimah 13/ 136-138.

Contohnya, Fulan membelikan mobil untuk orang lain dengan harga kredit 100 juta rupiah, diangsur selama dua tahun. Setelah akad pembelian, sebelum dipegangnya, dia menjualnya kepada Fulan lagi dengan tunai lebih murah, hanya 70 juta rupiah umpamanya. Maka, hukumnya haram.

Dalilnya, dari Ibnu Umar, dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Apabila kamu jual beli dengan cara ‘inah, dan kamu sibuk dengan membajak ladangmu, dan kamu ridha dengan bercocok tanam, dan kamu tinggalkan kewajiban jihad (fardhu’ ain), maka Allah akan membuat kamu hina. Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kamu kembali ke agamamu. [HR Abu Dawud, Kitabul Buyu’ dan Imam Ahmad Musnad Muktsirin].

Termasuk jual beli yang sah, bila pembeli di atas menjual kepada penjual pertama, walaupun hanya 70 juta rupiah, bila hutangnya yang berupa kredit tadi telah dibayar lunas. Untuk lebih jelasnya, baca Fatawa Lajnah Daimah 13/ 139.

11. Termasuk riba, bila meminjamkan barang ribawi untuk mendapatkan ganti lebih dari pokoknya.

Misalnya:
a. Meminjamkan uang Rp 1.000.000,00 kembali menjadi Rp 1.050.000,00. Dinamakan riba fadhel, karena sama jenis rupiahnya.
b. Meminjamkan emas 10 gr, kembali setelah 3 bulan menjadi 11gr. Atau 10 gr dan gula 10 kg, atau 10 gr dan Rp 100.000,00. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu emas.
c. Meminjam beras 1 kwintal di KUD atau orang lain, kembali setelah panen menjadi 1,5 kwintal. Atau harus menjual panennya ke KUD. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu beras.
d. Meminjam benih anak ayam dari perusahaan tertentu. Hasilnya harus dijual kepadanya dengan harga dari perusahaan. Dinamakan riba fadhel dan nasiah. Karena menjual barang haknya penjual, bukan haknya pembeli.

Dalilnya, firman Allah.

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka bagimu pokok hartamu;kamu tidak menganiaya (dengan memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al Baqarah:279].

Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli. Tetapi berhubungan dengan peminjaman barang riba. Kami masukkan benih telur ke dalam contoh, sekalipun bukan benda riba, karena meminjam sesuatu, harus kembali dengan sesuatu yang sama pula. والله أعلم

Peminjaman di atas sah, apabila:
- Huruf a, Rp. 1.000.000,00 kembali Rp. 1.000.000,00
- Huruf b, emas 10 gr kembali emas 10gr.
- Huruf c, 1 kwintal beras, kembali 1 kwintal beras. Atau 1 kwintal beras dari KUD tersebut dibeli walaupun dengan harga mahal, sedangkan pembayarannya setelah panen.
- Huruf d, sama dengan c, atau bagi hasil (mudharabah).
- Boleh meminjamkan mobil, kembali mobil dengan tambahan uang. Hal ini dinamakan menyewakan barang, dan mobil bukan barang ribawi.
- Boleh menerima pemberian dari orang yang meminjam peralatan rumah umpamanya, sekalipun tidak ada niat untuk menyewakan. Karena barang tersebut bukan benda ribawi.

12. Termasuk riba, bila menukar uang sejenis, salah satunya dilebihkan, diambil langsung atau belakangan.
Misalnya: Menukarkan uang ribuan baru sejumlah seratus lembar, kembali seratus lima ribu rupiah. Ini termasuk riba fadhel, sekalipun sama-sama suka.

Dalilnya, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas hendaknya sama nilai (timbangannya), perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

13. Termasuk riba, bila menitipkan uang, lalu diambil dengan mendapat tambahan atau dikurangi.
Misalnya, menitipkan uang di bank. Ketika mengambilnya, dia mengambil bunganya juga. Atau sekolah memerintahkan siswanya agar menabung. Tetapi ketika diambil, tabungan itu dipotong untuk keperluan penitipan. Yang benar, diserahkan semua titipannya, lalu menyampaikan kepentingan kebutuhan sekolah.

Dalilnya, firman Allah.

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya (dengan memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al Baqarah:279].

Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli, karena titipan. Maka, harus dikembalikan sebagaimana asalnya; lain dengan akad jual beli.

14. Termasuk riba, bila menjual dan membeli saham di bank. Karena pada hakikat penjualan saham ini, ialah menjual uang dengan uang yang tidak sama nilainya dan tidak langsung diterima. Dan karena usahanya membungakan uang. [17]

Dalilnya, firman Allah:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [Al Maidah:2].

15. Termasuk jual beli yang sah, bila saham tersebut telah berada di tangannya, dan bukan bekerja sama dengan bank ribawi. Dan sebaiknya diberitahukan kepada pemilik saham yang lain. Karena kawannya lebih berhak, daripada yang lain. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits.

Demikianlah sebagian contoh perbedaan antara riba dan perniagaan yang dihalalkan menurut pandangan Dinul Islam yang mulia. Tentunya tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi mcam jual-beli sistim riba. Utamanya penjualan kertas berharga yang dikeluarkan oleh bank. Hal ini tentunya dapat diketahui oleh pengusaha besar, yang selalu berhubungan dengan bank. Seperti penjualan cek dengan harga lebih murah daripada yang tercamtum di dalamnya, karena pencairannya menunggu setelah satu bulan –umpamanya- dan seterusnya.

والحمد لله رب ا لعالمين
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat kamus Mu’jmul Wasith 1/326, Mufradat Al Fadhil Quran Lil, oleh Al Asfahani, hlm. 340.
[2]. Definisi ini dituturkan oleh Imam Ahmad. Lihat kitab Raddul Muhtar, hlm. 183, kitab Mufradat Al Fadzil Qur’an, oleh Al Asfahan, hlm. 340.
[3]. Lihat kitab Mufradat Al Fadzil Qur’an, oleh Al Asfahani, hlm. 154
[4]. Untuk lebih jelasnya keterangan di atas, silakan membaca kitab Fatawa Allajnatud Daimah 13/36
[5]. Lihat kitab Al Miskah 1/228 no. 273
[6]. Lihat kitab Al Fiqhul Islami Wadillatuhu 4/675. Lihat kitab Taudhihul Ahkam, oleh Ali Bassam 4/21-23.
[7]. Lihat Fatwa Lajnah Ad Daimah 13/500-501
[8]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/500-501
[9]. Fatawa Lajnah Daimah 13/500-501; Fatawa Manarul Islam, Ibnu Utsaimin 2/448.
[10]. 10. Fatawa Lajnah Daimah 13/500
[11]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/500, Fatawa Manarul Islam, Ibnu ‘Utsaimin 2/449
[12]. Lihat Fatawa Manarul Islam, Ibnu ‘Utsaimin 2/448.
[13]. Fatawa Lajnah Daimah 13/ 501
[14]. Fatawa Lajnah Daimah 13/ 501
[15]. Lihat kitab Taudhihul Ahkam, oleh Ali Bassam 4/30
[16]. Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 501
[17]. Lihat kitab Fatawa Islamiyah 2/399-340

Berhaji Dari Talangan Bank

Kiblat yang bermuara di Baitullah atau Ka’bah adalah arah-arah Anda setiap kali mendirikan shalat. Tentu arah ini memiliki arti tersendiri dalam hidup Anda. Dan sudah barang tentu hati Anda selalu merindukan untuk memiliki kesempatan beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah. Wajar bila pertama kali Anda berkesempatan untuk beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah, Anda tak kuasa menahan luapan rasa bahagia. Hati Anda berbunga-bunga, dan pikiran Anda terharu dan air matapun mengalir bercucuran. Betapa tidak, arah yang selama ini Anda agungkan ternyata bermuara pada bangunan sederhana, yaitu Ka’bah. Bangunan yang tersusun dari bebatuan hitam, yang sudah barang tentu tidak kuasa memberi Anda apapun.

Kesederhanaan Ka’bah menjadikan Anda menyadari bahwa selama ini ternyata Anda tidaklah menyembah bangunan Ka’bah. Selama ini sejatinya Anda sedang mengagungkan Tuhan Ka’bah, Pencipta dan Penguasa dunia beserta isinya.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِالَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” [Al-Quraisy : 34]

Walau demikian, mata Anda tak akan pernah puas memandang Ka’bah, dan kerinduan akan selalu melekat dalam hati Anda untuk terus berkunjung dan beribadah di dekatnya.

Saudaraku! Fenomena yang Anda rasakan bersama Ka’bah ini sejatinya adalah efek langsung dari kobaran iman Anda kepada Allah Ta’ala. Anda menyadari bahwa Allah-lah yang memerintahkan Anda untuk meghadapkan wajah ke arahnya, karenanya Anda selalu rindu kepadanya.

Begitu kuat kerinduan Anda kepada Ka’bah hingga menjadikan Anda berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengobati kerinduan Anda walau hanya sesaat atau minimal sekali seumur hidup Anda. Sedikit demi sedikit Anda menyisihkan dari hasil kucuran keringat Anda, agar dikemudian hari Anda berkesempatan menikmati kesejukan beribadah di sisi Baitullah Ka’bah. Bahkan mungkin Anda rela menjual berbagai aset Anda, atau bahkan berhutang agar dapat mewujudkan impian Anda ini.

BERHAJI DARI HASIL BERHUTANG
Kerinduan Anda kepada Ka’bah’ menjadikan banyak orang memutar otak dan mencari berbagai terobosan guna mewujudkannya. Dan diantara terobosan yang sekarang banyak ditawarkan ialah dengan mengikuti program arisan atau menggunakan dana talangan haji. Bagi banyak kalangan, program ini terasa bak hembusan angin surga yang mengobati kerinduan hatinya. Akibatnya, banyak dari mereka terbuai dan langsung menerimanya tanpa berpikir lebih dalam tentang hukum dan resikonya.

Andai mereka sedikit meluangkan waktu dan pikiranya guna menimbang-nimbang program ini, nisacaya mereka mewaspadainya, program-program semacam ini, walau pada awalnya terasa empuk, namun pada akhirnya terasa berat dan menyusahkan. Terlebih-lebih bila program dana talangan haji ditinjau dari hukum syar’inya.

Dana talangan haji yang sekarang sedang marak diterapkan di berbagai lembaga keuangan, adalah salah satu bentuk rekayasa melanggar hukum Allah Ta’ala. Praktek yang sekarang sedang menjamur di masyarakat ini sekilas berupa akad qardh (piutang) dan ijarah (sewa menyewa jasa). Dan tidak diragukan bahwa kedua akad ini bila dilakukan secara terpisah adalah halal.

Walau demikian, ketika kedua akad ini dilakukan secara bersamaan dan saling terkait, muncullah masalah besar. Yang demikian itu karena beberapa alasan :

1. Larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli” [HR Abu Dawud hadits no. 3506 dan At-Tirmidzy hadits no. 1234]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :”Pada hadits ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang penggabungan antara piutang dengan jual beli. Dengan demikian bila Anda menggabungkan antara akad piutang dengan akad sewa-menyewa berarti Anda telah menggabungkan antara akad piutang dengan akad jual-beli atau akad yang serupa dengannya. Dengan demikian, setiap akad sosial semisal hibah pinjam-meminjam, hibah buah-buahan yang masih di atas pohonnya, diskon pada akan penggarapan ladang atau sawah, dan lainnya semakna dengan akad hutang piutang, yaitu tidak boleh digabungkan dengan akad jual-beli dan sewa-menyewa” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/62]

2. Riba Terselubung
Secara lahir kreditur tidak memungut tambahan atau riba atau bunga dari piutangnya, namun secara tidak langsung ia telah mendapatkannya, yaitu dari uang sewa yang ia pungut. Anda pasti menyadari bahwa sewa menyewa (jual jasa pengurusan administrasi haji) yang dilakukan oleh lembaga keuangan terkait langsung dengan akad hutang piutang. Biasanya, yang telah memiliki dana sendiri untuk biaya hajinya, tidak akan menggunakan layanan “dana talangan haji” ini. Dengan demikian, adanya talangan dana haji ini, menjadikan lembaga keuangan terkait dapat memasarkan jasanya dan pasti mendapatkan keuntungan dari jual-beli jasa tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dengan berkata : “Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara akad komersial dengan akad sosial. Yang demikian itu karena keduanya menjalin akad sosial disebabkan adanya akad komersial antara mereka. Dengan demikian akad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. Namun akad sosial secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi dalam akad komersial.

Dengan demikian orang yang menghutangkan uang sebesar seribu dirham kepada orang lain, dan pada waktu yang sama kreditur tidak rela memberi piutang kecuali bila debitur membeli barangnya dengan harga mahal. Sebagaimana pembeli tidaklah rela membeli dengan harga mahal melainkan karena ia mendapatkan piutang dari penjual” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/63]

3. Memberatkan Masyarakat
Sistem setoran haji yang diterapkan oleh Departemen Agama dengan online, sehingga dapat dilakukan kapan saja, telah mendatangkan masalah besar. Masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan pembayaran secepat mungkin, guna mendapatkan kepastian jadwal keberangkatan. Akibatnya , banyak dari mereka yang sejatinya belum mampu menempuh segala macam cara, karena khawatir kelak harus menanti lama. Banyak dari mereka yang memaksakan diri dengan cara menggunakan sistem dana talangan haji atau arisan.

Adanya praktek memaksakan diri ini tidak diragukan membebani masyarakat. Terlebih-lebih menjadikan agama Islam yang pada awalnya terasa mudah, sekarang menjadi terasa sulit nan berat. Untuk dapat berhaji harus menanti sekian lama, dan selama penantian banyak dari mereka yang harus tersiksa dengan cicilan piutang. Bahkan sepulang menunaikan ibadah hajipun, sering kali masih menanggung beban cicilan biaya perjalan hajinya.

Sudah barang tentu melaksanakan ibadah dengan cara memaksakan diri semacam ini tentu tidak selaras dengan syariat Islam.


يَاأَيُّهَاالنَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَالأَعْمَالِ مَاتُطِيْقُوْنَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَيَمُلُّ حَتَّى تَمُلُّواوَإِنَّ أَحَبَّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَادُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

“Wahai umat manusia, hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kuasa kalian kerjakan, karena sejatinya Allah tidak pernah merasa bosan (diibadahi) walaupun kalian sudah merasakannya. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah amalan yang dilakukan secara terus menerus, walaupun hanya sedikit” [HR Bukhari hadits dan Muslim]

Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini ketika mendengar cerita bahwa Khaula’ binti Tuwait senantiasa shalat malam dan tidak pernah tidur.

Dan dalam urusan haji Allah Ta’ala berfirman.

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” [Ali-Imran : 97]

Calo Tiket

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, calo berarti orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah. Calo bisa disamakan dengan makelar atau perantara. Dalam hal ini calo tiket dapat diartikan dengan perantara perusahaan pemberi jasa transportasi dan pengguna jasa.

Keberadaan calo sangat dibutuhkan oleh pihak produsen, pemilik barang atau jasa untuk memasarkan barang/jasa yang mereka miliki. Dan juga sangat dibutuhkan oleh para pembeli/pengguna jasa untuk memberikan informasi yang akurat sehingga pihak konsumen dapat menentukan pilihan mereka terhadap barang/jasa sesuai dengan keinginan dan anggaran mereka.

Karena kebutuhan pemilik barang/jasa dan konsumen akan jasa calo maka keberadaan calo sudah dikenal sejak lama dari masa Rasulullah dan qurun mufaddhalah, profesi calo dikenal dengan sebutan dallal atau simsaar.[1]

Pekerjaan mereka di saat itu adalah meneriakkan nama barang serta sepesifikasinya sehingga para pembeli berdatangan ke tempat tersebut untuk membeli barang yang mereka inginkan. Setelah selesai meneriakkan barang, mereka mendapatkan imbalan dari pemilik barang atas pekerjaan mereka. [2]

Atas dasar kebutuhan akan jasa calo dan karena hukum asal muamalat adalah mubah selama tidak terdapat larangan, maka profesi calo dibenarkan dalam Islam serta upah yang mereka dapatkan hukumnya halal. [3]

Kebolehan hukum calo telah dijelaskan oleh para ulama : Imam Bukhari (wafat 256H) berkata : “Bab : Upah calo. Ibnu Sirrin, Atha, Ibrahim An-Nakha’i, Hasan Al-Bashri membolehkan upa calo … dan Ibnu Abas. “[4]

An-Nawawi (ulama mazhab Syafi’i wafat : 676H) berkata : “Upah calo dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya. [5]

An-Najdy (ulama mazhab Hanbali wafat : 1392H) berkata : Upah calo dibayar oleh pemilk barang, ini adalah kebiasaan yang berlaku di pasar. [6]

Namun realita di zaman modern di mana para calo tersebut jauh dari mengenal tuntutan syariat dalam menjalankan profesinya, sering kali mereka melakukan pelanggaran. Hal ini berdampak terhadap rusaknya citra para calo dan terciptalah citra bahwa calo identik dengan sikap pemaksaan serta penipuan, termasuk calo tiket di terminal, pelabuhan dan bandara.

Berikut ini beberapa pelanggaran yang kerap dipraktekkan oleh para calo tiket.

1.Pemaksaan terhadap calon penumpang agar membeli tiket
Sudah menjadi pemandangan umum di beberapa terminal bis antar kota pada musim liburan para calo perusahaan bis berkerumun mendekati orang yang membawa tas koper yang diperkirakan akan menggunakan salah satu jasa angkutan.

Mulai dari menanyakan tujuan perjalanan hingga terkadang menarik-narik barang bawaan calon penumpang dan memaksanya untuk menggunakan jasa angkutan mereka.

Bila ini yang terjadi, calon penumpang membeli tiket perusahaan angkutan tersebut dalam keadaan setengah terpaksa maka sesungguhnya akad jual-beli tiket tidak sah, karena ada unsur pemaksaan [7], serta upah yang didapatkan calo dari usahanya tersebut tidak halal.

Berdasarkan firman Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu” [An-Nisaa : 29]

Maksud suka sama suka dalam ayat diatas tidak ada unsur pemaksaan dari salah satu pihak. Dan bila terdapat unsur pemaksaan, uang hasil imbalan barang dan jasa termasuk memakan harta orang lain dengan jalan yag batil.

2.Tidak jujur dalam memberikan informasi fasilitas jasa angkutan.
Selain setengah memaksa calon penumpang secara fisik, seringkali calo tidak jujur memberikan informasi kepada calon penumpang, seperti ; calo saat ditanya tentang jam keberangkatan ia menginformasikan bis akan berangkat sekarang, padahal ia tahu bahwa bis baru berangkat setelah dua jam kemudian.

Tindakan calo ini merupakan ghissy (penipuan) dalam akad dan hukumnya haram, bahkan sebagian ahli fiqh menempatkan ghissy dalam deretan dosa besar, dengan alasan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [8]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. : “Siapa yang melakukan ghissy (penipuan) dalam akad, tidaklah ia termasuk umatku” [HR Muslim]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. :

فَإِنْ صَدَقَاوَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَافِي بَيْعِهِمَا وَإِ نْ كَذَبَا وَكَتَمَا فَعَسَى أَنْ يَرْبَحَا رِبْحًا وَيُمْحَقَا بَرَ كَةَ بَيْعِهِمَا

“Jika penjual dan pembeli jujur serta menjelaskan cacat barang/jasa niscaya akad jual-beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta serta menyembunyikan cacat barang/jasa dihapus keberkahan dari akad jual-beli mereka” [HR Bukhari dan Muslim]

Ada juga calo tiket jenis lain, yaitu calo tiket kereta api dan pesawat terbang. Mereka membeli ticket sebanyak mungkin sebelum musim liburan. Pada saat jatuh temponya mereka berkeliaran di setasiun dan bandara untuk menjual ticket.

Pelanggaran kaidah muamalat yang sering dilanggar oleh calo jenis ini, diantaranya ;

a.Tindakan calo dengan memborong tiket angkutan umum termasuk bagian dari ihtikar.
Ihtikar adalah membeli sesuatu dengan tujuan menimbunnya, tindakan ini tentu menyebabkan harga menjadi naik dan pada saat itu penimbun menjualnya dengan harga sesukanya, karena pembeli dalam keadaan sangat membutuhkan barang tersebut ia terdesak untuk membelinya.

Ini yang dilakukan oleh calo tiket, ia membeli tiket sebanyak mungkin dengan berbagai cara, kemudian menjualnya lebih tinggi dari harga resmi yang dijual oleh perusahaan pemberi jasa. Karena pada puncak musim liburan tiket biasanya langka dan orang-orang sangat butuh untuk bepergian, kesempatan ini dimanfaatkan oleh calo.

Ihtikar diharamkan Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ احتَكَرَ فَهُوَخَا طِىءٌ

“Orang yang membeli barang dengan tujuan menimbunnya adalah orang yang berdosa” [HR Muslim]

b.Harga tiket yang ditawarkan sangat tinggi
Biasanya calo ini menawarkan harga tiket jauh di atas harga resmi yang dijual oleh perusahaan. Karena pada saat itu tiket sudah habis, maka calon penummpang bersedia membelinya, sekalipun mereka tahu bahwa mereka tertipu.

Sebetulnya, Islam membolehkan seorang penjual mengambil laba sekalipun mencapai 100% atau bahkan lebih.

Seperti dalam kasus yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu wa sallam memberikan uang 1 dinar kepada Urwah agar ia membelikan seekor kambing untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Maka ia mendatangi para pedagang yang membawa kambing untuk dijual di pasar. Ia menawarnya dan mendapatkan 2 ekor kambing. Dalam perjalanan menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seseorang yang menawar seekor kambing seharga 1 dinar maka iapun menjualnnya, lalu memberikan kepada Nabi 1 dinar ditambah 1 ekor kambing

Akan tetapi bila laba yang tinggi disebabkan karena ihtikar yag diakukan oleh pedagang maka laba yang didapatkannya tidak halal. [9]

Oleh karena itu berbeda kasusnya jika seseorang membeli tiket kereta api, kemudian ia berhalangan untuk berangkat dan menjual tiketnya dengan harga melebihi harga resmi, halalnya baginya mendapatkan laba tersebut, karena kenaikan harga bukan hasil ihtikar.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya calo hukumnya halal bila ia tidak melakukan larangan-larangan, seperti ; memaksa pembeli, tidak jujur memberikan informasi, ihtikar dan menarik laba yang tinggi.

Karena jasa calo berkaitan dengan hajat orang banyak sudah selayaknya pihak berwenang dalam hal ini dinas perhubungan untuk menertibkan mereka, sebagaimana dahulu dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa secara langsung onggokan gandum seorang pedagang di pasar Madinah yang ternyata bagian bawahnya tidak layak jual.

Dan bila menemukan kasus ihtkar calo tiket, hendaklah pihak berwenang memaksa mereka menjualnya dengan harga normal agar tidak mendatangkan mudharat bagi khalayak ramai. [10]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “ Terkadang kenaikan harga barang disebabkan oleh tindakan penimbunan barang oleh para pedagang …. Pada saat itu pihak berwenang wajib mematok harga dan memaksa para penimbun menjual barangnya dengan harga normal ditambah laba yang masuk akal …. Agar mereka tidak dianiaya dan orang banyakpun tidak teraniaya” [11]
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid X, hal.151-152
[2]. DR Abdurrahman Al Athram, Al Wisathah At Tijariyah, hal.51
[3]. DR Mubarak Al Sulaiman, Ahkamutta’amul fil Aswaq Al Maliyyah Al Mu’ashirah, jilid 1, hal.38
[4]. Shahih Bukhari
[5]. Raudha At Thalibin, jild IX, hal.69
[6]. Hasyiyah Ar Raudhul Murbi, jilid IV, hal.484
[7]. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid IX, hal.101
[8]. DR Abdullah As Sulamy, Al Ghissy wa Atsaruhu fil uqud, jilif I, hal.484
[9]. DR Abdullah Al Muslih, Malayasa’u at Tajir jahluh, hl.67
[10]. Dr. Fahd Al Hamud, Rtaj al Muamalat, hal. 171
[11]. Hasyiyah Ar Raudhul Murbi. Hal. 318

Praktek Riba Merajalela

Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup umat manusia dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bermaksiat. Karena itu, sudah sepantasnya bila anda mengenali kondisi dan fenomena yang terjadi disekitar anda. Dengan demikian, anda dapat mengambil yang positif dan menghidari yang buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk rayu para penjajanya.

Di antara bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan aplikasinya ialah praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah dimodifikasi sedemikian rupa, sampai-sampai diyakini sebgai “pilar utama” perekonomian umat manusia. System riba yang bertumpu pada pertumbuhan mata uang tanpa dibarengi dengan perputaran barang dan jasa, di zaman sekarang diimani dan ditetapkan di seluruh penjuru dunia. Sebab itu, wajar bila ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam. Yang kuat memakan yang lemah sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.

Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini kami berupaya utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi. Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak terperdaya dengan sebutan dan berbagai propaganda manisnya.

PRAKTEK PERTAMA : KREDIT SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak : pemilik barang, pembeli dan pihak pembiayaan.

Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama.
Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :

• Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
• Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
• Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
• Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama

Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan.

Jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang praktik semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari dan Muslim]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.

قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأ

Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya kedok belaka)”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]

PRAKTEK KEDUA : PERGADAIAN
Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba pegadaian. Telah menjadi budaya di berbagai daerah, pihak kreditur memanfaatkan barang gadai yang diserahkan kepadanya. Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola ladang tersebut dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka kreditur sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik semacam ini tidak diragukan sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” [1]

Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin Musayyib rahimahullah bahwa :

لاَ يَغلِقُ الرَّهْنُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِى رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

Barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang berhutang), miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula kerugiannya” [Riwayat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm : 3/170]

PRAKTEK KETIGA : MENGAITKAN NILAI PIUTANG DENGAN HARGA BARANG

Di antara bentuk riba yang kini telah merajalela di masyarakat ialah mengaitkan nilai piutang dengan nilai emas atau barang lainnya. Bila anda berhutang uang sebesar Rp. 1000.000 lima tahun silam, dan kala itu dengan satu juta anda dapat membeli 5 gram emas, maka ketika melunasi anda diminta membayar sejumlah uang yang dapat digunakan membeli emas seberat 5gram pula. Akibatnya, ketika pelunasan anda harus mengembalikan piutang anda dalam nomnal yang lebih besar. Misalnya bila nilai emas saat pembayaran adalah Rp. 300.000/gram maka anda harus membayar piutang anda sebesar Rp. 1.500.000.

Praktik semacam ini tidak diragukan keharamannya, karena ini nyata-nyata riba, berhutang satu juta kembali satu juta lima ratus ribu rupiah. Hutang piutang adalah salah satu bentuk akad tolong menolong sehingga tidak boleh ada pemikiran untung atau rugi. Yang ada hanyalah itikad baik menolong saudara yang kesusahan atau membutuhkan kepada uluran tangan. Adapun balasan atas uluran tangan ini hanyalah diminta dari Allah Ta’ala semata.

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤ مِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الذُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِىعَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Barangsiapa melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Baragsiapa menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong sudaranya” [Riwayat Muslim hadits no. 7028]

Praktik semacam ini muncul karena doktrin riba telah merasuki jiwa masyarakat. Praktik riba senantiasa memandang suram masa depan, sehinga doktrin inflasi dianggap sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin berubah. Padahal faktanya tidak selalu demikian, karena anda pasti mengetahui bahwa betapa banyak barang yang dahulu memiliki nilai jual dan kini tidak lagi laku dijual.

PRAKTEK KEEMPAT : TUKAR TAMBAH EMAS
Di antara bentuk riba yang banyak ditemukan di masyarakat ialah tukar tambah emas. Emas lama ditukar dengan emas baru, tanpa ada eksekusi fisik terhadap uang hasil penjualan emas lama. Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini terlarang karena ini termasuk riba fadhal yang diharamkan pada hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

Bila anda tidak rela emas baru anda ditukar sama dengan emas lama, maka solusinya ialah belilah dahulu emas lama dengan uang tunai. Dan setelah pembayaran dilakukan dan banar-benar terjadi eksekusi pembayaran, maka dengan uang hasil penjualan itu, penjual bisa membeli emas baru anda. Demikianlah solusi yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari riba pada praktik barter barang sejenis.

اسْتَعْمَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ، فَجَاءَهُ بِتَمْرِجُنَيْبٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ )) فَقَالَ :لاَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ، وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلاَثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((فَلاَ تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جُنَيْبًا))

وَفِي رِوَايَةٍ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((أَوَّهْ عَيْنَ الرِّبَا، لاَ تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ

اشْتَرِ بِهِ


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai tersebut datang menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik. Spontan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh kurma daerah Khaibar demikian ini?” Ia menjawab, “Tidak, Ya Rasulullah, sungguh demi Allah, kami membeli satu takar dari kurma ini dengan dua takar (kurma lainnya), dan dua takar dengan tiga takar”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan, juallah kurma yang biasa dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham tersebut belilah kurma dengan mutu terbaik tersebut”

“Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aduh (itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan. Akan tetapi, bila engkau hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil penjualannya belilah kurma yang bagus” [Riwayat Bukhari hadits dan Muslim hadits]

PRAKTEK KELIMA : JUAL BELI EMAS ONLINE
Kemajuan dunia iformatika telah merambah ke segala lini kehidupan manusia, tanpa terkecuali sektor perniagaan. Dengan bantuan teknologi informasi yang begitu canggih, perniagaan semakin mudah dan berkembang pesat. Akibatnya, anda sebagai pengusaha tidak lagi perlu bepergian jauh untuk menemui kolega anda atau lainnya. Semuanya bisa anda lakukan melalui jaringan internet, baik berjumpa dengan kolega, atau meninjau barang atau kegiatan lainnya. Kemajuan ini tentu merupakan kenikmatan yang sepantasnya anda syukuri dan manfaatkan sebaik mungkin, demi terwujudnya kemaslahatan sebesar mungkin untuk anda

Walau demikian halnya, anda tetap saja harus mengindahkan batas-batas syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan haram. Diantara batasan syari’at yang harus anda indahkan dalam perniagaan ialah ketentuan tunai dalam jual beli emas dan perak. Bila anda membeli atau menjual emas, maka harus terjadi serah terima barang dan uang langsung. Eksekusi serah terima barang dan uang ini benar-benar harus dilakukan pada fisik barang, dan bukan hanya surat-menyuratnya. Penjual menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan pembeli menyerahkan uang tunai, tanpa ada yang tertunda atau terhutang sedikitpun dari keduanya.

Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat ini nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

PRAKTIK KEENAM : KARTU KREDIT
Yaitu suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian transaksi ritel[2] dengan system kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman uang yang dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak penerbit kartu kredit. Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu kredit harus membayar tagihan dalam tempo waktu yang ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.

Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena penggunaan kartu kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap keterlambatan adalah riba.

Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila terjadi keterlambatan? Dengan demikian, bila saya tidak telat maka saya tidak berdosa karena tidak membayar riba atau bunga”.

Saudaraku ! Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat –sehingga tidak pernah tekena penalty- anda telah menyetujui persyaratan haram ini. Persetujuan atas persyaratan haram ini sudah termasuk perbuatan dosa yang tidak sepantasnya anda meremehkan.

Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga anda tidak behutang kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada penggunaan kartu debet sejatinya adalah sewa menyewa jasa transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda menggunakan kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah tagihan dari tabungan anda.

PRKATIK KETUJUH : SUKUK
Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi –sehingga banyak umat Islam yang terperdaya- ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud dalam bentuk jual beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten[3] kepada pemegang obligasi syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.

Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, berikut alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual suatu asset (misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT B yang berperan sebagai emiten. Dan pada akad penjualan disepakati pula :

• Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut setelah jangka waktu tertentu (10 tahun –misalnya)
• Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut selawam waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama. Tentunya dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan bagi-hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.

Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa :

Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah, sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan lancar.

Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset yang bersangkutan[4]

Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian sewa-menyewa yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas karena penjualan kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh tempo seharga waktu jual pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai jual sebenarnya yang berlaku di pasar.

Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik ‘inah sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan harga terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya dengan pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Jual beli ‘inah ini dicela pada hadits berikut.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi (peternakan), merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, nisacaya Allah menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian kembali kepada agama kalian” [5]

PENUTUP
Apa yang dipaparkan di sini hanyalah sebagian dari praktek riba yang banyak beredar di masyarakat. Masih banyak lagi praktek riba yang belum di kemukakan di sini. Semoga apa yang dikemukakan disini dapat menjadi contoh bagi kita sehingga kitasemakin waspada terhadap berbagai perangkap riba, semoga Allah Ta’ala senantiasa menambahkan ilmu yang bermanfaat dan memudahkan amal shalih bagi kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam bish-shawab.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi : 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah : 4/211 dan 213, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah : 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumti : 108-109, dan lain-lain
[2]. Ritel atau retail/retail ialah usaha bersama dalam bidang perniagaan dalam jumlah kecil kepada pengguna akhir (lihat Kamus Bahasa Indonesia – BSE http://bse.kemdiknas.go.id/)
[3]. Emiten badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga untuk diperjualbelikan (lihat KBBI Daring – http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ di akses pada 12 Juli 2011)
[4]. Disarikan dari http://www.managementfile.com/coulum.php?sub=bondsmutual&id=1278&page=bondsmutual&awal=20
[5]. Riwayat Ahmad, Abu Dawud,dan dinyatakan shahih oleh al-Albani, dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah

Risalah Do'a Dan Taubat

Religious Comments Pictures

Keutamaan Dan Kemuliaan Do'a

 
[1]. Do'a adalah ibadah berdasarkan firman Allah :
"Artinya : Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". [Ghafir : 60].

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Syaikh Taqiyuddin Subki berkata : Yang dimaksud doa dalam ayat di atas adalah doa yang bersifat permohonan, dan ayat berikutnya 'an 'ibaadatiy menunjukkan bahwa berdoa lebih khusus daripada beribadah, artinya barangsiapa sombong tidak mau beribadah, maka pasti sombong tidak mau berdoa.

Dengan demikian ancaman ditujukan kepada orang yang meninggalkan doa karena sombong dan barangsiapa melakukan perbuatan itu, maka dia telah kafir. Adapun orang yang tidak berdoa karena sesuatu alasan, maka tidak terkena ancaman tersebut. Walaupun demikian memperbanyak doa tetap lebih baik daripada meninggalkannya sebab dalil-dalil yang menganjurkan berdoa cukup banyak. [Fathul Bari 11/98].

Dari Nu'man bin Basyir bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Doa adalah ibadah", kemudian beliau membaca ayat : "Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu". [Ghafir : 60].

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Imam At-Thaibi berkata : Sebaiknya hadits Nu'man di atas difahami secara arti bahasa, artinya berdoa adalah memperlihatkan sikap berserah diri dan membutuhkan Allah, karena tidak dianjurkan ibadah melainkan untuk berserah diri dan tunduk kepada Pencipta serta merasa butuh kepada Allah. Oleh karena itu Allah mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya : "Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu". Dalam ayat ini orang yang tidak mau tunduk dan berserah diri kepada Allah disebut orang-orang yang sombong, sehingga berdoa mempunyai keutamaan di dalam ibadah, dan ancaman bagi mereka yang tidak mau berdoa adalah hina dina. [Fathul Bari 11/98].

Catatan :
Hadits yang berbunyi :

"Artinya : Doa adalah initi ibadah" [Hadits Dhaif]
[Didhaifkan Al-Albani, Ta'liq 'ala Misykatul Masabiih 2/693 No. 2231]

[2]. Doa adalah ibadah yang paling mulia di sisi Allah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah daripada doa". [At-Timidzi, Sunan Ibnu Majah,
Musnad Ahmad].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa makna hadits tersebut adalah tidak ada sesuatu ibadah qauliyah (ucapan) yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa, sebab membandingkan sesuatu harus sesuai dengan substansinya. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa shalat adalah ibadah badaniyah yang paling utama sehingga hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah.

"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu". [Al-Hujurat : 13].

[3]. Allah murka terhadap orang-orang yang meninggalkan doa, berdasarkan hadits bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan memurkainya". [ At-Tirmidzi].

Imam Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Imam At-Thaibi berkata : "Makna hadits di atas yaitu barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Dia akan murka begitu pula sebaliknya Dia sangat senang apabila diminta hamba-Nya". [Fathul Bari ]

Imam Al-Mubarak Furi berkata bahwa orang yang meninggalkan doa berarti sombong dan merasa tidak membutuhkan Allah.

Imam At-Thaibi berkata bahwa Allah sangat senang tatkala dimintai karunia-Nya, maka barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka berhak mendapat murka-Nya.

Dari hadits di atas menunjukkan bahwa permohonan hamba kepada Allah merupakan kewajiban yang paling agung dan paling utama, karena menghindar dari murka Allah adalah suatu yang menjadi keharusan. [Mura'atul Mashabih 7/358]

[4]. Doa mampu menolak takdir Allah, berdasarkan hadits dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa". [At-Tirmidzi]

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud adalah, takdir yang tergantung pada doa dan berdoa bisa menjadi sebab tertolaknya takdir karena takdir tidak bertolak belakang dengan masalah sebab akibat, boleh jadi terjadinya sesuatu menjadi penyebab terjadi atau tidaknya sesuatu yang lain termasuk takdir. Suatu contoh berdoa agar terhindar dari musibah, keduanya adalah takdir Allah. Boleh jadi seseorang ditakdirkan tidak berdoa sehingga terkena musibah dan seandainya dia berdoa, mungkin tidak terkena musibah, sehingga doa ibarat tameng dan musibah laksana panah. [Mura'atul Mafatih 7/354-355].

Syaikh Utsaimin ditanya : "Kita sering mendengar orang berdoa : Ya Allah kami tidak memohon agar takdir kami dirubah akan tetapi kami meminta kelembutan dalam takdir tersebut. Apakah doa tersebut dibolehkan .?"

Jawaban :
Berdoa seperti itu dilarang dan haram sebab doa bisa merubah takdir seperti yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Bahkan orang yang berdoa seperti itu menantang Allah dan seakan mengatakan : "Ya Allah takdirkanlah kepadaku apa saja yang Engkau kehendaki tetapi berilah kelembutan dalam takdir tersebut".

Seharusnya orang yang berdoa berketetapan hati dalam doanya, seperti berdoa : Ya Allah kami memohon rahmat-Mu dan kami berlindung dari siksaan-Mu, dan doa semisalnya. Apabila seorang berdoa kepada Allah agar tidak dirubah takdirnya, maka apa manfaatnya sementara doa bisa merubah takdir, dan bisa jadi takdir tersebut hanya bisa berubah lantaran doa. Yang penting doa tersebut di atas tidak boleh dan hendaknya dihindarkan serta barangsiapa yang mendengar doa seperti itu sebaiknya menasehatinya. [Liqa' Babul Maftuh 5/45-46]

5]. Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak mampu berdoa berdasarkan hadits Nabi bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Orang yang lemah adalah orang yang meninggalkan berdoa dan orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil terhadap salam". [Al-Haitsami, kitab Majma' Az-Zawaid. Thabrani, Al-Ausath. Al-Mundziri, kitab At-Targhib berkata : Sanadnya Jayyid (bagus) dan dishahihkan Al-Albani,As-Silsilah Ash-Shahihah 2/152-153 No. 601].

Imam Manawi berkata bahwa yang dimaksud dengan 'Ajazu an-naasi adalah orang yang paling lemah akalnya dan paling buta penglihatan hatinya, dan yang dimaksud dengan Min 'ajzin 'an ad-dua'i adalah lemah memohon kepada Allah terlebih pada saat kesusahan dan demikian itu bisa mendatangkan murka Allah karena dia meninggalkan perintah-Nya padahal berdoa adalah perkerjaan yang sangat ringan.[Faidhul Qadir 1/556].

Ahli syair berkata.
Janganlah kamu meminta kepada manusia, memintalah
kepada Dzat yang pintu-Nya tidak pernah tertutup.

Allah akan murka jika engkau tidak meminta-Nya,
sementara manusia marah jika sering diminta.
Syair di atas menjadi bantahan terhadap anggapan bahwa yang lebih baik tidak berdoa.

[6]. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan berdoa, barangsiapa yang meninggalkan doa berarti menentang perintah Allah dan barangsiapa yang melaksanakan berarti telah memenuhi perintah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". [Al-Baqarah : 186].

Syaikh Sa'di mengatakan bahwa ayat di atas sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mereka bertanya : Wahai Rasulullah, apakah Allah dekat sehingga kami memohon dengan berbisik-bisik ataukah Dia jauh sehingga kami memanggil-Nya dengan berteriak ? Maka turunlah ayat Allah. [Tafsir At-Thabari dan didhaifkan oleh Imam Ahmad ].

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat". Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Melihat, Maha Mengetahui dan Maha Menyaksikan terhadap sesuatu yang tersembunyi, rahasia dan mengetahui perubahan pandangan mata serta isi hati. Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang meminta dan selalu sanggup mengabulkan permintaan. Maka Allah berfirman : "Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku".

Doa adalah dua macam yaitu doa ibadah dan doa permohonan. Kedekatan Allah dengan hamba-Nya terbagi dua macam yaitu ; kedekatan ilmu-Nya dengan setiap mahluk-Nya dan kedekatan dengan hamba-Nya dalam memberikan setiap permohonan, pertolongan dan taufik kepada mereka.

Barangsiapa yang berdoa kepada Allah dengan hati yang khusyu' dan berdoa sesuai dengan aturan syariat serta tidak ada penghalang diterima doa tersebut seperti makan makanan yang haram atau semisalnya, maka Allah berjanji akan mengabulkan permohonan tersebut. Apalagi bila disertai hal-hal yang menyebabkan terkabulnya doa seperti memenuhi perintah Allah, meninggalkan larangan-Nya baik secara ucapan maupun perbuatan dan yakin bahwa doa tersebut akan dikabulkan. Maka Allah berfirman : "Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hedaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran".

Artinya orang yang berdoa akan berada dalam kebenaran yaitu mendapatkan hidayah untuk beriman dan berbuat amal shalih serta terhindar dari kejahatan dan kekejian. [Tafsir As-Sa'di 1/224-225].

[7]. Imam Zarkasi berkata bahwa konsentrasi dalam berdoa serta menunjukkan sikap rendah, tunduk, penghambaan dan merasa membutuhkan Allah adalah merupakan ibadah yang paling agung bahkan demikian itu menjadi syarat sahnya ibadah.

Allah berjanji akan memberikan pahala orang yang berdoa, meskipun tidak dikabulkan doanya.

[8]. Berdoa adalah menyibukkan diri untuk mengingat Allah sehingga timbul dalam hati rasa pengagungan terhadap kebesaran Allah dan ingin kembali kepada-Nya berhenti dari maksiat. Sering mengetuk pintu mempunyai kesempatan besar untuk masuk, sehingga ada pepatah bahwa barangsiapa yang sering mengetuk pintu, maka suatu saat akan diberi izin masuk sehingga dikatakan :"Diberi kesempatan berdoa lebih baik daripada diberi sesuatu".

[9]. Banyak berdoa bisa menghindarkan bencana dan musibah, sebagaimana firman Allah yang mengkisahkan tentang Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam :

"Artinya : Dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku". [Maryam : 48]

Dan firman Allah tentang Nabi Zakaria 'Alaihis Salam.

"Artinya : Ia berkata :'Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku". [(Maryam : 4) Al-Azhiyah fi Ahkamil Ad'iyah hal. 38-42].

[10]. Sebagian orang hanya berdoa sekali atau dua kali dan setelah merasa tidak dikabulkan, lalu berhenti berdoa. Jelas tindakan seperti itu adalah tindakan yang keliru bahkan dia harus terus menerus mengulangi doanya hingga Allah mengabulkannya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Do'a seorang hamba akan selalu dikabulkan selagi tidak memohon sesuatu yang berdosa atau pemutusan kerabat, atau tidak tergesa-gesa. Mereka bertanya : Apa yang dimaksud tergesa-gesa ? Beliau menjawab : " Dia berkata ; Saya berdoa berkali-kali tidak dikabulkan, lalu dia merasa menyesal kemudian meninggalkan doa". [Shahih Muslim].

Menurut Imam An-Nawawi yang dimaksud menyesal adalah meninggalkan doa. [Shahih Muslim].

Maka seharusnya seorang hamba harus terus berdoa dan tidak boleh bosan serta merasa tidak dikabulkan doanya. Dalam ucapan : "Saya berdoa berkali-kali tetapi tidak dikabulkan".

Syaikh Al-Mubarak Furi mengatakan bahwa Syaikh Al-Qari berkata : "Yang dimaksud dengan kalimat tersebut adalah tidak melihat hasil doa saya. Terkadang merasa doanya lambat dikabulkan atau putus asa dari berdoa dan keduanya tercela. Perlu diketahui, ada waktu tertentu untuk terkabulnya doa, sebagaimana yang diriwayatkan bahwa doa Musa dan Harun agar Fir'aun dihancurkan oleh Allah baru terkabul setelah empat puluh tahun. Adapun berputus asa dari rahmat Allah tidak akan terjadi kecuali atas orang-orang kafir". [Mura'atul Mafatih 7/348].

Imam Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa di dalam hadits di atas terdapat etika berdoa yaitu terus mengajukan permohonan dan tidak berputus asa dalam berdoa sebab demikian itu merupakan bagian dari sikap ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah serta merasa membutuhkan Allah, oleh karena itu sebagian ulama salaf berkata : "Kami lebih takut dihalangi untuk berdoa daripada dihalangi terkabulnya doa".

Imam Ad-Dawudi berkata : "Dikhawatirkan orang yang mengatakan bahwa dia selalu berdoa tetapi tidak dikabulkan maka doanya benar-benar tidak dikabulkan, atau benar-benar tidak dikabulkan penangguhan siksa akhirat atau pengampunan dosa-dosanya".

Imam Ibnul Jauzi berkata : "Ketahuilah bahwa doa orang mukmin tidak mungkin ditolak, boleh jadi ditunda pengkabulannya lebih baik atau digantikan sesuatu yang lebih maslahat dari pada yang diminta baik di dunia atau di akhirat. Sebaiknya seorang hamba tidak meninggalkan berdoa kepada Rabbnya sebab doa adalah ibadah yaitu ibadah penyerahan dan ketundukan kepada Allah". [Fathul Bari 7/348 ]

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa beliau berkata : "Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkena sihir orang Yahudi bernama Lubaid bin A'sham, beliau berkata sehingga seakan-akan Rasulullah melakukan sesuatu padahal tidak melakukannya hingga pada suatu malam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kemudian berdoa dan terus berdoa". [Shahih Muslim]

Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menekankan kepada setiap hamba tatkala tertimpa bencana atau musibah untuk memperbanyak doa dan terus berserah diri kepada Allah. [Shahih Muslim].

Dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa tatkala saya mulai bertempur saat perang Badr saya kembali dengan cepat untuk melihat apa yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang bersujud dan membaca : Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Kekal, Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Kekal, kemudian saya kembali bertempur, lalu saya kembali lagi ke tempat Rasulullah, saya temui beliau dalam keadaan sujud, kemudian saya kembali bertempur lalu saya kembali ke tempat beliau dan saya temui masih membaca doa tersebut sehingga Allah memberikan kemenangan". [ At-Tirmidzi,Dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/98]

Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada seorang muslim berdoa kepada Allah di dunia dengan suatu permohonan kecuali Allah akan mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya, selagi tidak berdoa sesuatu dosa atau pemutusan kerabat. Ada seorang laki-laki dari suatu kaum berkata : Jikalau begitu saya akan memperbanyak (doa). Beliau bersabda : '"Allah mengabulkan doa lebih banyak daripada yang kalian minta". [ At-Tirmidzi,Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul bari 11/98].

[11]. Hadits yang berbunyi.

"Artinya : Allah mencintai orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berdoa". [Hadits Dhaif, Al-Albani berkata dalam Silsilah Dhaifah bahwa hadits ini bathil 2/96-97].

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...