Allah telah mengatur manusia melalui lisan RasulNya dengan syari'at
sebagaimana tertuang dalam ajaran din (agama) ini. Demikian pula perihal
perkara halal dan haram dalam bermu'amalah. Dalam salah satu hadits
shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, ada disebutkan bahwa yang halal
maupun yang haram sudah sangat jelas. Namun, di antara halal dan haram
tersebut terdapat perkara syubhat (samar), yang belum jelas hukumnya
bagi kebanyakan orang. Yang belum jelas ini harus diwaspadai dan dijauhi
oleh seorang muslim, demi keselamatan diri dan din-nya, bukan
sebaliknya.
Ironisnya, banyak juga dijumpai di antara kaum Muslimin yang tidak
mengindahkan masalah tersebut. Bahkan lebih tragis lagi, ada di
antaranya yang sengaja mencari celah-celah untuk merekayasa,
membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas haram dengan
upaya menyamarkan keadaan, sehingga akan nampak menjadi halal aatu
boleh. Dalam istilah syari'at, perbuatan seperti ini disebut melakukan
al hilah الحيلة.
Berbagai cara dilakukan untuk mengelabui kebanyakan orang, atau untuk
memperdaya orang-orang yang kurang wara` dalam agamanya, sehingga
mendapatkan label halal atau label boleh dalam bermu'amalah atau
jual-beli mereka. Padahal, jika diamati, pada hakikatnya cara yang
mereka tempuh tidak jauh berbeda dengan hukum aslinya. Sekedar memutar
cara atau jalan untuk melampiaskan keserakahan hawa nafsu, agar bisa
menikmati yang haram maupun yang syubhat.
MENENTUKAN HALAL DAN HARAM MERUPAKAN HAK ALLAH
Di dalam al Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan, bahwa
menentukan yang halal dan haram bukan menjadi kewenangan manusia, tetapi
merupakan hak Allah. Di antaranya Allah Subhanahu w Ta'ala berfirman:
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" [asy
Syura/42:21]
"Mereka menjadikan orang-orang 'alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera
Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan". [at Taubah/9:31]
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung". [an Nahl/16:116].
Dari ayat-ayat di atas sangat jelas, bahwa menyematkan halal dan haram
sesuatu merupakan hak Allah dan RasulNya. Adapun para ulama, ketika
mengatakan sesuatu ini halal, sesuatu itu haram, tentunya mereka tidak
keluar dari apa yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karenanya, setiap muslim harus
menerima tuntunan syari'at manakala bermu'amalah, tidak melakukan khilah
dengan mencari-cari celah untuk menghalalkan yang diharamkan, ataupun
mengharamkan yang telah dihalalkan Allah dan RasulNya.
SETIAP YANG HARAM ADALAH BURUK
Kita harus meyakini, tatkala Allah atau RasulNya mengharamkan sesuatu,
pasti dalam perkara yang diharamkan tersebut dapat berakibat jelek bagi
pelakunya. Sebaliknya, setiap yang dihalalkan ataupun diperintahkan
Allah, pasti mengandung banyak kemaslahatan bagi kehidupan manusia, baik
dalam kehidupan di dunia ataupun akhirat.
Telah dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitabNya: "(Yaitu)
orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi, yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk". [al A'raf/7:157].
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". [al Baqarah/2:219]
MEMBUAT HILAH (REKAYASA) SESUATU YANG HARAM, ADALAH HARAM
Al hilah, atau melakukan rekayasa, tipu daya dalam perkara yang haram,
atau yang mengarah kepada sesuatu yang haram, adalah haram. Kaidah fiqih
yang berlaku adalah, "setiap wasilah dihukumi dengan maksud atau tujuan
yang terkandung di dalamnya". Oleh karena itu, seseorang yang berniat
menghalalkan yang telah Allah haramkan, maka hokum sesuatu tersebut
tetap haram, walaupun ia memolesnya dengan banyak tipu daya, membuat
rekayasa.
DEFINISI AL HILAH
Secara bahasa, kata al hilah الحيلة) ), sebagaimana dijelaskan Ibnu
Hajar di dalam Fat-hul Bari, mempunyai arti, segala cara yang
mengantarkan kepada tujuan dengan cara yang tersembunyi (lembut) [1].
Adapun secara istilah, al hilah adalah, melakukan suatu amalan yang
zhahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar'i serta memalingkannya
kepada hukum yang lainnya.[2]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,"Sesungguhnya kata umum
al hilah, bila diarahkan menurut pemahaman ulama fiqih mengandung arti
tipu daya atau cara yang dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang haram,
sebagaimana tipu dayanya orang-orang Yahudi." [3]
Ibnu Qudamah berkata,"Yaitu dengan menampakkan transaksi yang mubah,
sebagai tipu daya dalam melakukan hal yang diharamkan atau jalan yang
mengantarkan kepada sesuatu yang telah Allah haramkan…". [4]
Sehingga, dapat dikatakan, trik atau tipu daya yang diharamkan adalah,
tipu daya dalam perkara-perkara yang haram, dengan menggunakan cara
tidak langsung atau terselubung.
JENIS AL HILAH SECARA UMUM
Menurut Ibnul Qayyim, terdapat dua jenis al hilah.
Pertama : Jenis yang mengantarkan kepada amalan yang diperintahkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan meninggalkan apa yang dilarangNya,
menghentikan dari sesuatu yang haram, memenangkan yang haq dari
kezhaliman yang menghalang, membebaskan orang yang dizhalimi dari
penindasan orang-orang yang zhalim. Jenis ini termasuk baik, dan pelaku
atau penyeru (yang mengajaknya) akan mendapatkan pahala.
Kedua : Yang bertujuan untuk menggugurkan kewajiban, menghalalkan
perkara yang haram, membolak-balikkan keadaan dari orang yang teraniaya
menjadi pelaku aniaya dan orang yang zhalim seakan menjadi orang yang
terzhalimi, merubah kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi
kebenaran. Jenis hilah seperti ini, para salaf telah bersepakat tentang
kenistaannya…).[5]
Imam asy Syatibi memberikan catatan kepada jenis hilah yang tercela
(yaitu jenis yang kedua) di atas, bahwa yang dimaksudkan dengan al
hilah, (yang seperti itu) adalah, sesuatu yang akan menghancurkan sumber
syari'i yang sebenarnya, serta meniadakan maslahat syar'i yang terdapat
di dalamnya. sesuatu yang akan menghancurkan sumber asli yang syar'i
serta meniadakan maslahat yang syar'i.[6]
MACAM-MACAM HILAH YANG TERLARANG
Menurut Ibnu Qayyim, hilah yang terlarang, atau semisalnya (yang
terlarang, Pen), semua kaum Muslimin, seorang pun tidak ada yang
meragukan, bahwa hal ini termasuk bagian dari dosa-dosa besar, dan
merupakan perbuatan paling jelek dari perkara-perkara yang diharamkan.
Perbuatan seperti ini termasuk dalam kategori mempermainkan agama Allah
dan memperolok ayat-ayatNya. Dari sisi perbuatannya saja adalah haram,
karena adanya kedustaan dan tipu daya di dalamnya. Ditinjau dari maksud
dan tujuannya pun, hilah juga haram, karena untuk meniadakan kebenaran
dan ingin menghidupkan melanggengkan kebatilan.[7]
Ibnu Qayyim rahimahullah membagi hilah (tipu daya terlarang) di atas menjadi 3 macam.
Pertama : Hilah haram ditujukan kepada sesuatu yang haram pula. Semisal,
melakukan rekayasa untuk menghalalkan amalan yang mengandung unsur
riba. Misalnya, seperti dalam masalah mud 'ajwa, yaitu seseorang yang
menjual jenis barang yang masuk dalam masalah riba` dengan sejenisnya,
dengan disertakan (disyaratkan) bersama keduanya atau salah satunya
sesuatu yang lain jenisnya.[8]
Kedua : Cara atau perbuatan asalnya boleh, akan tetapi dipergunakan
untuk sesuatu yang haram. Seperti melakukan safar yang digunakan untuk
merampok, membunuh orang, dan lain-lain.
Ketiga : Cara yang dipakai pada asalnya tidak dipergunakan untuk sesuatu
yang haram, bahkan dimaksudkan untuk sesuatu yang disyari'atkan,
seperti menikah, melakukan jual-beli, memberikan hadiah, dan sebagainya;
namun kemudian dipakai sebagai tangga untuk menuju sesuatu yang
diharamkan.
HILAH MERUPAKAN AKHLAK DAN KEBIASAAN YAHUDI
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam beberapa ayat, yang
menerangkan akhlak orang-orang Yahudi dalam masalah tipu daya ini.
Mereka berusaha merubah hukum-hukum yang telah diajarkan oleh para nabi
mereka. Semisal laknat dan kemurkaan Allah Ta'ala tatkala orang-orang
Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu. Pada hari tersebut banyak
didapatkan ikan, yang tidak didapatkan pada hari lainnya. Kemudian,
untuk melakukan rekayas, mereka pun menempatkan perangkap (jaring) pada
hari sebelumnya dan mengambil hasilnya pada hari Ahad. Perbuatan ini
merupakan tipu daya mereka, yaitu dengan mengabaikan perintah Rabb.
Sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam firmanNya:
"Hai orang-orang yang telah diberi al Kitab, berimanlah kamu kepada apa
yang telah Kami turunkan (al Qur`an) yang membenarkan kitab yang ada
pada kamu sebelum Kami merobah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang
atau Kami kutuk mereka, sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang
(yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti
berlaku". [an Nisaa`/4:47].
"Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di
dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu
datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka
terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan
itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka
disebabkan mereka berlaku fasik" [al A'raf/7:163].
CONTOH MU'AMALAH YANG MENGGUNAKAN HILAH
Bila kita perhatikan, banyak dijumpai praktek-praktek mu'amalah yang
menggunakan tipu daya atau rekayasa. Baik yang telah jelas keharamannya
berdasarkan dalil-dalil dari nash, maupun dari masalah-masalah baru yang
belum pernah terjadi. Namun jika diperhatikan, masalah-masalah yang
berkembang atau baru tersebut, akan didapatkan masalah yang baru
tersebut tidak jauh dari permasalahan lama yang bersumber dari nash-nash
ataupun kaidah yang telah ada. Para ulama, seperti Ibnul Qayyim [9],
atau sebagian ulama lainnya telah memberikan contoh mengenai mu'amalah
yang menggunakan praktek hilah atau tipu daya ini.
Sebagai contoh, dapat disebutkan beberapa amalan yang sekiranya
berhubungan erat dengan masalah hilah ini, yang dimaksudkan sebagai
usaha merubah ketentuan syar'i yang telah ditetapkan syari'at Islam.
Contoh-contoh hilah tersebut antara lain ialah :
- Hilah seorang suami yang ingin berbuat jahat kepada isterinya, dengan
berusaha menggugurkan hak dia untuk mendapatkan warisan dari hartanya,
tatkala sedang sakit keras ia segera mentalaknya sebanyak tiga kali.
- Hilah seorang yang ingin menghindari hukuman bersetubuh pada bulan
Ramadhan dengan berpura-pura sakit atau meminum khamr terlebih dahulu,
baru kemudian ia bersetubuh dengan isterinya.
- Hilah orang yang tidak mau berpuasa Ramadhan, dengan cara merencanakan safar setiap bulan Ramadhan datang.
- Hilah seseorang yang ingin menggugurkan kewajiban zakat hartanya yang
akan mencapai satu tahun (masa haul), dengan menukarkannya dengan barang
semisal, atau dengan menjualnya karena takut zakat, yang kemudian
uangnya dibelikan barang sejenis atau yang lainnya. Sehingga ia akan
memulai hitungan awal tahun dari barang baru tersebut. Bagitu seterusnya
dan seterusnya, setiap akan mencapai waktu satu tahun umur hartanya
tersebit. Dengan berbuat seperti itu, menurutnya, selamanya ia akan
terbebas dari kewajiban zakat.
- Dua orang mempunyai barang yang berkategori riba, tetapi masing-masing
memiliki keadaan berbeda. Yang satu bagus dan yang kedua jelek. Mereka
menaksir harga setiap barang di ingatan tanpa ada wujud uang yang nyata.
Sehingga yang ditaksir dengan harga rendah harus menambah sesuatu
(uang) kepada yang mempunyai barang bagus.
Semacam ini termasuk cara (tipu daya) untuk menghalalkan transaksi riba.
Riba yang dimaksud disini adalah jual beli emas dengan emas, atau
rupiah dengan rupiah, atau yang lainnya dengan perbedaan jumlah. Padahal
syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi seperti ini ada dua. Yaitu
jumlah (timbangannya sama), dan diberikan langsung di tempat pada waktu
terjadi transksi (yadan bi yadin).
- Penjual yang ingin berlepas diri dari barang yang dipenuhi cacat, ia
takut nantinya pembeli akan mengembalikannya. Maka iapun memberikan
syarat, barang yang telah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi
bagaimanapun keadaannya. Alasannya, karena barng tersebut sudah keluar
dari toko. Praktek semacam ini banyak dilakukan. Maka seharusnya kita
menghindarinya.
- Mengambil pendapat yang lemah, serta berpendirian dengan apa yang
sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada dalil shahih dan jelas
sebagai landasan amalannya.
Hilah yang diambil ialah dengan cara pengamalan kaidah ushul fiqih لا
إنكار في مسائل الخلاف (tidak boleh mengingkari dalam permasalahan
khilaf). Pengambilan kaidah yang tidak benar ini sebagai tidu daya
(merekayasa) untuk melampiaskan apa yang diinginkannya, tatkala ia
menemukan adanya perkataan yang berselisih (berbeda), dan cocok dengan
yang ia inginkan. Yang benar dalam penggunaan kaidah tersebut adalah,
apabila dalam suatu permasalahan memang tidak didapatkan dalil sharih
(jelas) dari Kitab, Sunnah maupun Ijma`, sehingga dibutuhkan ijtihad
seorang mujtahid, maka berlakulah kaidah di atas, dengan tidak
mengingkari adanya perbedaan yang muncul dari ijtihad para ulama
tersebut.
- Hilah seseorang yang ingin mengugurkan kewajiban berhaji atau zakat
dengan memberikan hartanya kepada anak atau isterinya, sehingga ia
menganggap dirinya orang yang tidak berharta.
- Hilah orang yang ingin memiliki barang dengan tanpa hak dengan merusak atau merubah bentuk barang tersebut.
- Hilah orang yang berusaha membatalkan hukuman potong tangan karena
mencuri, dengan mengklaim bahwa barang yang diambilnya adalah barang
miliknya sendiri, atau barang serikat antara dirinya dengan pemilik
barang yang diambilnya.
- Hilah orang yang sedang berihram untuk haji ataupun umrah. Karena
terkait dengan larangan berburu, maka ia menaruh parangkap sebelum
memakai ihram, supaya dikatakan yang ia dapatkan tersebut merupakan
hasil buruan sebelum ihram.
- Hilah seseorang yang senang melakukan ghibah, dengan mengatakan bahwa
ia sedang melakukan amar ma`ruf nahi mungkar. Padahal maslahatnya tidak
ada. Atau dalam mentahdzir seseorang, ia sama sekali tidak menggunakan
kaidah yang benar.
- Hilah sebagian muslimin yang mengumbar hawa nafsu dan kemaksiatannya, serta tidak ingin dianggap hina.
Misalnya dengan mengatakan:
"Saya berada di atas sunnah, pembela sunnah, walaupun fasiq termasuk
sebagai wali Allah. Sedangkan pelaku bid'ah, ia adalah musuh Allah,
walaupun akhlaknya bagus".
"Kubur seorang pembela sunnah, walau bagaimanapun kefasikannya, adalah
termasuk salah satu taman dari taman-taman surga. Sedangkan kubur ahli
bid'ah adalah lubang neraka".
"Berpegang teguh dengan sunnah dan aqidah yang benar, pasti akan dapat menghapuskan kamaksiatan yang saya lakukan".
"Akhlak tidak baik, no problem. Yang penting aqidah saya benar".
Ungkapan-ungkapan seperti tersebut di atas merupakan hilah atau tipu
daya, untuk tetap mengumbar apa yang menjadi keinginan hawa nafsunya.
- Hilah seorang yang ingin menghalalkan zina dengan mengatakan, dirinya
telah melaksanakan kawin kontrak atau mut'ah. Padahal syarat-syarat
nikah tidak dapat terpenuhi.
- Hilah seorang wanita yang ingin melepaskan diri dari suaminya, dengan
cara berzina dengan anak suaminya. Dia beranggapan, setelah digauli oleh
anak suaminya, maka ia harus dipisahkan dari suaminya. Atau sebaliknya
seorang suami yang berhilah seperti ini.
- Hilah orang yang tidak mau shalat, ngaji dan sebagainya dengan
anggapan, bahwa percuma shalat atau ngaji, kalau nantinya masih
melakukakan kemaksiatan.
- Hilah seseorang yang ingin menghalalkan jual beli 'inah [10] dengan mengatakan:
"Sangat wajar, bila si penjual membeli kembali barang yang telah
dijualnya dari si pembeli dengan harga yang lebih murah. Karena, bisa
jadi barang tersebut telah lama dipakai, atau ada aib yang bisa
menurunkan harganya".[11]
- Hilah untuk menyembunyikan cacat yang ia ketahui kepada calon pembelinya, dengan mengatakan:
"Lihat dan coba sendiri barangnya," dan tatkala ia ditanya keadaan
barang yang dijualnya, si penjual ini tidak mau menjelaskan cacat yang
terdapat pada barang tersebut.[12]
- Hilah untuk menghalalkan riba, dengan mengatakan kepada orang yang sedang membutuhkan mobil atau barang lainnya:
"Cari mobil yang kamu inginkan. Nanti saya membereskan pembayarannya
dari toko tersebut. Baru kemudian, kamu bayar kepada saya secara kredit
dengan nominal yang kita sepakati".
Perbuatan seperti ini sama bentuknya dengan melakukan hilah (tipu daya,
rekayasa) untuk menghalalkan riba. Yang nampak seakan ingin membantu,
tetapi kenyataannya ingin meraih keuntungan dengan memanfaatkan
kesusahan orang lain. Seakan-akan ia mengatakan "aku pinjamkan uang
kepada kamu, tetapi nanti kamu kembalikan uang tersebut (untuk membeli
barang itu) dengan tambahan bunga yang kita sepakati".
TAKWA DAN IMAN KUNCI UTAMA DALAM BERMU'AMALAH
Seorang hamba hendaklah menyadari, bahwa kehidupan yang dijalaninya
tidak lepas dari kewajiban untuk selalu beribadah kepada Allah. Oleh
karena itu, kewajiban manusia adalah mengikuti ketentuan yang telah
disyari'atkan Allah. Sehingga kita akan mendapatkan ketenangan dan
ketentraman, disebabkan ketakwaan dan keimanan yang selalu terjaga.
Masih adanya kesusahan dan perasaan berat menjalankan syari'at Allah,
seorang hamba tidak seharusnya melampiaskannya dengan melakukan tipu
daya, melakukan rekayasa untuk merubah hukum Allah. Yang haram tetaplah
haram, meskipun diupayakan dengan berbagai cara, ia tetap tidak berubah
hukumnya. Bahkan, jika seorang hamba sengaja memperindah dosa dengan
sedikit polesan ketaatan dalam menghalalkan yang diharamkanNya dan
mengharamkan yang dilarangNya, niscaya kemurkaan Allah semakin besar.
Maka, dengan bersabar dan selalu bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
akan memberikan kemudahan. Allah berfirman:
"Itulah perintah Allah yang diturunkanNya kepada kamu, dan barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya". [ath
Thalaq/65:5].
"Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya
Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik".
[Yusuf/12:90].
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar". [ath Thalaq/65:2].
Semoga uraian ini bisa menjadi peringatakan bagi kita, untuk terus
membenahi segala amal baik. Yaitu dengan senantiasa jujur dalam perilaku
dan ibadah, serta menjauhi dari segala dosa dan kenistaan. Wallahu
a'lam bish-Shawab.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Fat-hul Bari. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[2]. Al Muwafaqat, asy Syatibi. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[3]. Al Fatawa al Kubra.
[4]. Al Mughni. Lihat Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[5]. Ighatsatul Lahfan. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[6]. Al Muwafaqat. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[7]. I'lamul Muwaqi'in, Ibnu Qayyim.
[8]. Al Mughni. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[9]. I'lamul Muwaqi'in, Ibnul Qayyim.
[10]. Contoh jual beli 'inah. Misalnya seseorang yang menjual sesuatu
kepada pembeli dengan harga tempo. Kemudian sebelum lunas pembayarannya,
orang itu (si penjual) membeli kembali barang yang telah dijualnya
tersebut secara cash dengan harga lebih rendah dari pembelian tempo yang
sebelumnya. (Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu`, Syaikh Muhammad bin Shalih al
'Utsaimin,.
[11]. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu`, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin.
[12]. Ibid., hlm. 413.
[13]. Ibid., hlm. 409-410.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...
No comments:
Post a Comment