
Munculnya banyak lembaga peminjaman (atau perseorangan) dengan jaminan,
baik yang dikelola pemerintah atau swasta, menjadi bukti adanya
transaksi gadai di tengah masyarakat. Perkara ini bukanlah perkara baru
dalam kehidupan manusia, tetapi sudah lama berlangsung. Yang kadang tak
bisa dihindari, yaitu akibat yang ditimbulkan dari transaksi gadai ini,
yakni adanya perbuatan zhalim dan saling memakan harta dengan cara
batil.
Bagaimana syari’at Islam memandang transaksi gadai ini? Berikut adalah
pembahasan mengenai hal tersebut, atau yang disebut Ar-Rahn? Semoga
menambah pengertian kita, sehingga dapat menghindarkan diri dari
praktek-praktek yang merugikan, baik terhadap diri sendiri ataupun orang
lain.
DEFINISA AR-RAHN
Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu.[1]
Dikatakan dalam bahasa Arab, المَاءُ الرَّاهِنُ (apabila airnya tidak
mengalir) dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ (nikmat yang tidak putus). Ada
yang mengatakan, makna Rahn tertahan, dengan dasar firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah
diperbuatnya". [Al-Muddatstsir : 38] yakni kata Rahinah bermakna
tertahan.
Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya.[2]
Ibnu Faris berkata : Huruf Raa, Haa' dan Nun adalah asal kata yang
menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak ataupun tidak. Dari
kata ini adalah kata Ar-Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan.[3]
Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari'at, para ulama telah
menjelaskan, yaitu menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk
dilunasi dengan jaminan tersebut, apabila (si peminjam) tidak mampu
melunasinya[4] .Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk
dilunasi (hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila
yang berhutang tidak mampu melunasinya [5]. Atau memberikan harta
sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan hutang dengan
harta atau nilai harta tersebut bila yang berhutang tidak mampu
melunasinya [6] .
Sedangkan menurut Syeikh Al Basaam, defenisi, Ar-Rahn adalah jaminan
hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang
tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang
tidak mampu melunasinya.[7]
HUKUM AR-RAHN.
Berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin, sistem hutang–piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan.
Dalil di dalamAl-Qur’an, yaitu firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا
الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui
apa yang kamu kerjakan". [Al-Baqarah : 283].
Dalam ayat ini walaupun disebutkan "dalam perjalanan” namun tetap
menunjukkan keumumannya. Yakni baik dalam perjalanan maupun dalam
keadaan mukim. Karena kata “dalam perjalanan” pada ayat ini, hanya
menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.
Dibolehkannya Ar-Rahn, juga dapat ditunjukkan dengan amalan Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah melakukan sistem
gadai ini, sebagaimana dikisahkan Umul Mukminin A’isyah Radhiyallahu
‘anha.
أَنَّ النَّبِيَّ n اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari seorang
yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya”
[HR Al Bukhari dan Muslim ]
Demikian juga para ulama telah bersepakat bolehnya Ar-Rahn dalam keadaan
safar (perjalanan), akan tetapi masih berselisih tentang bolehnya jika
dalam keadaan tidak safar.
Imam Al Qurthubi mengatakan : “Tidak ada seorangpun yang melarang Ar-
Rahn pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Al Dhahak dan Dawud (Ad
Dzohiri).[8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan : Diperbolehkan Ar-rahn dalam
keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan
safar (bepergian).
Sedangkan Ibnul Mundzir mengatakan : Kami tidak mengetahui seorangpun
yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Menurutnya, Ar-Rahn tidak ada
kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Namun yang benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan
adanya perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sabda
beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan.
Dan susu hewan menyusui diminum, dengan sebab nafkah apabila
digadaikan. Dan wajib bagi yang menungganginya dan meminumnya (memberi)
nafkah” [HR Al Bukhori] Wallahu A'lam[9].
Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajar[10] dan Muhammad Al Amien Al Singqithi[11]
Setelah jelas pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan safar (perjalanan),
apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, atau tidak wajib pada
keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja?
Dalam keadaan demikian, para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat Pertama : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah
pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan
Hambaliyah).
Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui
orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-Rahn) adalah jaminan atas
hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung
jawaban)” [12] .
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan
Ar-Rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan diatas yang tidak
menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajiba. Demikian
juga karena Ar-Rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti
halnya Adh-Dhimaan (Jaminan oertanggung jawaban) dan Al Kitabah
(penulisan perjanjian hutang). Disamping itu, juga karena ini adanya
kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila
Al-Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
Pendapat Kedua : Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm
dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”
Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang rmaknanya perintah.
Juga dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]
Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-Rahn dalam keadaan safar ada dalam
Al-Qur'an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada
pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak.
Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud
bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah
setelahnya:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”
[Al-Baqarah ; 283].
Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu'amalah adalah boleh
(mubah) hingga ada larangan, dan disini tidak terdapat adanya
larangannya.[13]
Yang rajih adalah pendapat pertama, Wallahu A'lam.
HIKMAH PENYSYARIATAN AR-RAHN
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin,
sedangkan harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang pada waktu
tertentu seserang sangat membutuhkan uang untuk menutupi
kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Dan pada saat itu tidak
mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang
kapadanya. Begitu juga tidak ada penjamin yang menjaminnya, sehingga ia
mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara
berhutang, atau meminjam dengan kesepakatan tertentu, yaitu memberikan
jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi
hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Ar-Rahn (gadai) untuk kemaslahatan
orang yang menggadaikan (Rahin), pemberi hutang (Murtahin) dan
masyarakat.
Untuk yang menggadaikan (Rahin), ia mendapatkan keuntungan sehingga
dapat menutupi kebutuhannya. Sehingga dia bisa menyelamatkan dirinya
dari krisis yang menimpanya, dan menghilangkan kegundahan di hatinya.
Bahkan kadang ia bisa berdagang bermodal hutang tersebut, lalu menjadi
sebab ia menjadi kaya.
Sedangkan pihak pemberi hutang (Murtahin), ia menjadi tenang dan merasa
aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar'I dan bila ia berniat
baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas
interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan dam kasih
sayang diantara manusia, karena peminjaman dengan Ar-Rahn ini termasuk
kategori tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana terdapat
manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan
melapangkan penguasa.[14]
RUKUN DAN SYARAT AR-RAHN
Mayoritas ulama memandang rukun Ar-Rahn (gadai) ada empat, yaitu :
a. Ar-Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
b. Al Marhun bihi (hutang)
c. Shighah [15]
d. Dua pihak yang bertransaksi yaitu Rahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)
Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Ar-Rahn (gadai) hanya memiliki
satu rukun yaitu shighah, karena ia pada hakekatnya adalah
transaksi.[16]
Sedangkan syarat dalam Ar-Rahn adalah sebagai berikut:
1. Syarat yang berhubungan dengan yang melakukan transaksi, yaitu orang
yang menggadaikan barangnya adalah baligh, berakal dan rusyd (kemampuan
mengatur).[17]
2. Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun (barang gadai) ada dua:, yaitu
a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya
baik dalam bentuk barang atau nilainya, apabila yang berhutang tersebut
tidak mampu melunasinya[18]
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau
yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.[19]
c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya,
karena Ar-Rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal
ini.[20]
3. Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.[21]
KAPAN AR-RAHN (GADAI) MENJADI KEHARUSAN?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah
langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang
gadainya
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
1. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn.
Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi'iyah dan riwayat dalam
madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ
Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan dipegang (serah terima). Dan
Ar-Rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan,
sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga
karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka
tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya
meninggal dunia.[22]
2 . Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian
bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia
pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah
dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ
Dalam ayat ini, Allah menetapkannya sebagai Ar-Rahn sebelum dipegang
(serah terimakan). Juga Ar-Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan
adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal
jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah
menjadi penyempurna Ar-Rahn dan bukan syarat sahnya.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan menyatakan: Adapun firman Allah
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ itu adalah sifat keumumannya namun hajat
menuntut (keharusannya) tidak dengan serah terima (Al-Qabdh).[23]
Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang rajih, bahwasanya Ar-Rahn
menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat
merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang dengannya
atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi. Dan ayat
ini hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan menuntut adanya
jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan
mendapatkannya.[24]
KAPAN SERAH TERIMA AR-RAHN DIANGGAP SAH?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan
seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan
mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang
yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada
takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan
ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya
dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta
dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang
dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara
serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari
tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak
yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.
HUKUM-HUKUM SETELAH SERAH TERIMA.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang
berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai
dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau
hilang.
1. Pemegang Barang Gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).[Al-Baqarah : 283]
Dan sabda beliau.
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shohih riwayat Al
Tirmidzi]
2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun
Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut,
kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil
air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia
memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah
yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat
At-Tirmidzi]
Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang
gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan
keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal,
yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang
menerima gadai. [25]
Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan
barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu meupakan
miliknya. Ornang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia
mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang
gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman
maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan
manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan
yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras
susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda
Rasulullah.
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan
dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan.
Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberinafkah” [HR
Al Bukhori]
Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh
mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai
dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]
Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah
sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena
hadits shohih tersebut. [26]
Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits
pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul
syari'at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya
memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang)
memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut
ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu
kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan,
analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai
(Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat
mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi
(hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan
menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua
kemaslahatan dan dua hak.[27]
3. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya
bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah)
gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama.
Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya
memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah
barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang,
pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi
milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan
Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan
menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang
menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [28]
4. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila
telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang
menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang
dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang
berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut
secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam
membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai
tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak
boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam
keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu
melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk
membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka
sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang
menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut
belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut
masih menanggung sisa hutangnya.[29]
Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya.
Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin
untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang
sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin
dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian)
barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun
bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib
bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya
atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran
hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila
penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual
barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar
ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka
pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut
dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi'iyah dan
Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual
barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut
dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh
menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk
memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya.
Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun
memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak
kedzoliman.[30]
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya
dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai
tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu
terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah
adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan
penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya,
maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya,
maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang
gadai denan hutangnya dan ia wajib melunasinya.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan
pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di
tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang
dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau
nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat.
Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan
perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari
perbuiatan ini.
Wallahul Muwaffiq.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah
Al Bassaam cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA
4/460
[2]. Lisan Al Arab karya Ibnu Mandzur pada kata Rahana, dinukil dari
kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Mu'amalah, Prof. DR Abdullah bin
Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR.
Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al
Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
[3]. Mu'jam Maqaayis Al Lughoh 2/452 dinukiil dari Abhaats Hai'at Kibaar
Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su'udiyah, disusun oleh Al Amaanah
Al 'Amah Lihai'at Kibar Al Ulama. Cetakan pertama tahun 1422H 6/102
[4]. Lihat Al Majmu' Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan
Muhamma Najieb Al Muthi'I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al TUrats Al
'Arabi, Beirut. 12/299-300
[5]. Lihat Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin
Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, cetakan kedua tahun 1412H,
penerbit hajar, Kairo, Mesir. 6/443
[6]. Lihat Al Wajiz Fi Fiqhi sunnah wal Kitab Al Aziz
[7]. Taudhih Al Ahkam Syarah Bulugh Al Maram 4/460
[8]. AbhatsHai'at Kibar Ulama 6/107
[9]. Lhat Al Mughni 6/444 dan taudhih Al Ahkam 4/460
[10]. Fathul Bari 5/140
[11]. Adhwa' Al Bayaan 1/228
[12]. Al Mughni 6/444
[13]. Abhats Hai'at Kibar Ulama 6/112-112
[14]. Abhats Hai'ah Kibar Ulama 6/112.
[15]. Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat
mengungkapkan keridhoannya dalam transaksi baik berupa perkataan yaitu
ijab qabul atau berupa perbuatan.
[16]. Al Fiqh Al Muyassarah, hal. 116
[17]. Lihat Al Majmu' Syarhul Muhadzab 12/302, Al Fiqh Al Muyassar hal 116 dan Taudhih Al Ahkam 4/460
[18]. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
[19]. Taudhil Al Ahkam 4/460 dan Al Fiqh Al Muyassarah hal. 116
[20]. Taudhih Al Ahkam 4/460
[21]. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
[22]. Al Mughni 6/446
[23]. Taudhih Al Ahkam 4/464
[24]. Al Fiqh Al Muyassarah hal 117
[25]. Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam 4/462-477.
[26]. Al Fiqh Al Muyassar hal 117.
[27]. Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462
[28]. Abhats Hai'at Kibar Ulama 6/134-135
[29]. Taudhih Al Ahkaam 4/467
[30]. Al Fiqh Al Muyassar hal 119.
No comments:
Post a Comment