Semarak penggunaan kata syariat di kalangan muslimin dewasa ini pantas
untuk disyukuri karena secara tidak langsung, berarti menunjukkan
keseriusan dan semangat kaum muslimin untuk kembali merujuk kepada
agamanya. Namun demikian, perlu untuk diperhatikan dan disadari, jangan
sampai semangat ini hanya sekedar mengusung nama dan jorgan semata. Oleh
karena itu, maka perlu adanya upaya meluruskan istilah dan nama
syariat, agar benar-benar sesuai dengan syariat Islam.
Salah satu di antara nama dan istilah ini, yaitu dalam masalah perbankan
syariah atau bank syariat, yang didefinisikan dengan insitusi atau
lembaga yang melakukan aktivitas langsung perbankan berdasarkan Islam
dan kaidah-kaidah fikihnya[1]. Institusi ini mulai merata dan
menampakkan jati dirinya di tengah banyaknya bank konvensional.
REALITA PAHIT PRAKTEK RIBAWI
Dalam syariat Islam bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan.
Ironisnya, jaringan ribawi ini telah menyebar dalam kehidupan kaum
muslimin dan masyarakat secara umum seperti pembuluh darah dalam tubuh
manusia, sehingga merusak tatanan masyarakat dan merusak keindahan
Islam. Bahkan yang lebih ironis lagi, ada di antara kaum muslimin yang
berkeyakinan dan memandang praktek ribawi merupakan satu-satunya cara
menumbuhkan perekonomian negara dan masyarakatnya. Demikianlah pengaruh
buruk penjajahan yang telah menanamkan ke tubuh negara jajahannya
muamalah ribawi ini, sebab sistem ini masuk ke dalam negara-negara kaum
muslimin melalui tangan dan jerih payah mereka. Sehingga, kaum muslimin
pun akhirnya mengambil sistem ini dari negara kafir yang menjajahnya.
Maka hendaklah kita menyadari, bahwa negara-negara kafir tidak pernah
peduli dengan pertumbuhan keagamaan, dan mereka memisah agama dari
kehidupan ekonomi. Mereka tidak memiliki timbangan akhlak. Bahkan yang
kuat dan memiliki kapital besarlah yang akan berkuasa walaupun mereka
mendapatkannya dengan bantuan orang-orang fakir dan miskin.
Ini berbeda dengan Islam yang menginginkan suatu sistem ekonomi yang
adil, sehingga yang kuat tidak menindas yang lemah, dan yang kaya
menjajah yang miskin. Juga agar harta tidak hanya berputar di kalangan
orang-orang kaya saja. Sehingga Islam menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" [al-Baqarah/2 : 275]
Syariat Islam memiliki sistem ekonomi bebas dari riba. Dalam
meningkatkan perekonomian, pemberdayaan masyarakat dan kemanusiaan tidak
memiliki ketergantungan kepadanya. Kita yakini dengan pasti sistem
ekonomi Islam yang bebas dari riba ini, baik dalam bidang perbankan
maupun bidang lainnya. Karenanya, menjadi kewajiban kaum muslimin untuk
mempelajari tatanan sistem yang tidak bertentangan dan menyimpang dari
syariat Islam yang sempurna nan suci ini.
Banyak orang yang kemudian sadar dengan praktek ribawi yang pahit ini.
Krisis dan keguncangan ekonomi dunia tidak dapat dielakkan, sehingga
masyarakat dunia kembali berfikir mencari solusi tentang hal ini.
Beberapa penelitian membuktikan, bahwa seseorang yang berhutang dengan
bunga riba, ia akan sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk melunasi
hutang dan bunganya tersebut. Dan pada kenyataannya, banyak yang tidak
mampu melunasinya secara baik. Akhirnya memaksanya untuk melepas atau
menjual harta miliknya yang menjadi agunan (jaminan) peminjaman hutang
tersebut. Ini dilakukan untuk menjaga kemaslahatan (peningkatan)
produksi. Disamping itu, pengaruh bunga hutang tersebut telah
meninggikan biaya produksi yang berlanjut pada kenaikan harga. Sebab,
perusahaan yang mengambil hutang ribawi akan memasukkan nilai bunga
hutang itu yang telah membuat naik biaya produksinya, sehingga secara
otomatis juga akan menaikkan harga produknya menjadi lebih tinggi.[2]
Terbukti, krisis-krisis yang menimpa perekonomian dunia umumnya muncul
lantaran hutang-hutang perusahaan-perusahaan yang menumpuk. Ini
diketahui negara-negara besar, sehingga mereka terpaksa mengambil
langkah pembatasan prosentase ribanya. Namun hal ini belum bisa
mengurangi bahaya riba[3]
KEMUNCULAN PERBANKAN SYARI’AT
Krisis demi krisis melanda perekonomian dunia hingga banyak bank-bank
konvensional yang gulung tikar. Di negara Indonesia saja dalam tahun
2001 M –versi buku Bank Syariat dari Teori ke Praktek- telah ada 63
bank yang sudah tutup, 14 bank telah di take over, dan 9 bank lagi harus
direkapitulasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah. Ditambah lagi
dengan harapan kaum muslimin yang ingin kembali menerapkan ajaran Islam
dalam seluruh aspek kehidupannya khususnya dalam masalah ekonomi dan
perbankan, dan munculnya kebangkitan Islam di era tahun tujuh puluhan.
Semua ini mendorong tekad para peneliti untuk menerapkan sistem ekonomi
Islam (Islamic Economic System) dengan mengkonsep perbankan syariat
sebagai alternatif pengganti perbankan konvensional. Namun waktu itu
keadaan dan situasi yang menyelimuti negara-negara Islam belum mendukung
harapan, pemikiran dan tekad tersebut.
Kemudian mulailah adanya usaha-usaha riil untuk menerapkannya dan
mencari trik dan cara yang beragam untuk mengeluarkan profit keuntungan
dan sejenisnya dari lingkaran riba. Kemudian setelah itu muncul di dunia
Islam usaha-usaha yang lebih riil, yaitu berupa penolakan terhadap
pemikiran yang diimport dari barat saat penjajahan dulu. Usaha-usaha ini
mengarah kepada pengganti perbankan ribawi dengan perbankan syariat.
Usaha ini kian berkembang cepat dengan banyaknya kaum muslimin yang
enggan menyimpan hartanya di bank-bank konvensional dan enggan
bermuamalah dengan riba.
Dr. Gharib al-Gamal menjelaskan seputar kemunculan perbankan syariat.
Dia mengatakan, banyak dari masyarakat Islam yang enggan bermuamalah
dengan riba. Mereka tidak bermuamalah dengan lembaga perbankan yang ada
sekarang ini. Dengan dasar ini, maka harta-harta milik masyarakat muslim
di dunia Islam yang cukup besar ini akan menganggur (tidak dapat
dikembangkan). Oleh karenanya, termasuk faktor yang mendorong untuk
membangun lembaga perbankan syariat adalah merealisasikan solusi bagi
masyarakat ini. Semua itu sebagai usaha untuk memberikan faedah dari
harta-harta yang dimiliki masyarakat demi kemaslahatan dunia Islam
seluruhnya. Ditambah lagi, untuk pencerahan kepada para penguasa
(pemerintah) masyarakat tersebut agar berlapang dada membangun sistem
yang menjamin terwujudnya pertumbuhan masyarakat di negara-negara Islam
dengan cara (uslub) syariat.[4]
Banyaknya kaum muslimin yang enggan bermuamalah riba dan menyimpan
hartanya di bank-bank konvensional -yang nota bene menerapkan sistem
riba- akan menyebabkan banyaknya harta kaum muslimin yang membutuhkan
lembaga atau institusi yang memudahkan untuk mengelolanya. Tidak dapat
dipungkiri, harta yang sedemikian besar nominalnya tersebut membutuhkan
satu institusi yang dapat menyimpan dan mengelolanya sesuai syariat.
Hal ini mendorong pembentukan lembaga keuangan syariat sebagai sebuah
solusi permasalahan ini.
Dari usaha-usaha untuk meninggalkan praktek ribawi tersebut, sehingga
berdirilah berbagai lembaga keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya
berasaskan syariat. Di antara lembaga perbankan bebas riba yang menjadi
pelopor pembentukan bank syari’at ini adalah:
1. Mit Ghamr Bank, merupakan lembaga keuangan yang beroperasi sebagai
rural-sosial bank (Bunuk al-Id-dikhâr) di Mesir pada tahun 1963 M. Namun
bank ini masih berskala kecil.
2. Bank Nâshir al-Ijtima’i, berdiri di Mesir tahun 1971 M.
3. Al-Bank al-Islami lit-Tanmiyah, berdiri di Kerajaan Saudi Arabia tahun 1973 M.
4. Bank Dubai al-Islami (Dubai Islamic Bank), berdiri di Uni Emirat Arab tahun 1975 M.
5. Bank Faishal al-Islami (Faishal Islamic Bank), berdiri di Sudan tahun 1977 M.
6. Bait at-Tamwîl al-Kuwaiti (Kuwait Finance House), berdiri di Kuwait tahun 1977 M.
7. Bank Faishal al-Islami al-Mishri (Faisal Islamic Bank) di Mesir, tahun 1977 M.
8. Al-Bank al-Islami al-Urduni lit-Tamwîl wa al-Istitsmâr (Jordan
Islamic Bank for Finance and Investment), berdiri di Yordania tahun 1978
M
Setelah itu bermunculan banyak bank syariat, sehingga menurut analisa
Prof. Khursyid Ahmad dan laporan International Association of Islamic
Bank, bahwa pada akhir tahun 1999 M tercatat lebih dari dua ratus
lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia. Fenomena ini
patut mendapat perhatian, partisipasi dan dukungan semua pihak, agar
laju perkembangan dan arahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan
syariat Islam, dan dapat menjadi pengganti yang benar dan tepat dari
lembaga keuangan ribawi dan konvensional.
Dewasa ini, lembaga-lembaga keuangan syariat ini terus berkembang dan
bertambah banyak bertebaran di pelosok-pelosok daerah dengan
produk-produknya yang klaim sebagai lembaga keuangan syariat. Oleh sebab
itu, kita perlu melihat kembali hal ini secara kritis, dan semua
lembaga keuangan itu kembali menilai produk-produk dan usahanya dengan
pandangan syariat yang mulia ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat definisi ini dalam kitab al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Thath-biq, Abdullah ath-Thayâr, hlm. 88.
[2]. Lihat al-Mu’amalah al-Mashrafiyah al-Mu’asharah wa Ra’yu al-Islam
fihâ, Dr. Muhammad 'Abdullah al-‘Arabi, hlm 13. Dinukil dari ar-Ribâ wa
al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, Dr. Umar 'Abdul-'Aziz al-Mutrik, hlm. 171.
[3]. Ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, hlm. 171.
[4]. Al-Masharif wa al-A’maal al-Mashrafiyah, Dr. Gharib al-Gamal, hlm. 391.
[5]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyat wa at-Thath-biq, hlm. 89.
[6]. Lihat buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek, Muhammad Antonio Syafi’i, hlm. 18.
No comments:
Post a Comment