Searching

Hukum Khitan

DEFINISI KHITAN
Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan khifadh. [1]

Adapun dalam istilah syariat, dimaksudkan dengan memotong kulit yang menutupi kepala zakar bagi laki-laki, atau memotong daging yang menonjol di atas vagina, disebut juga dengan klitoris bagi wanita.[2]

KHITAN, SYARIAT NABI IBRAHIM ALAIHISSALLAM
Khitan merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam untuk dilaksanakan, disebut sebagai “kalimat” (perintah dan larangan). Beliau Alaihissallam telah menjalankan perintah tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai panutan dan imam seluruh alam. Dalam surat al Baqarah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim". [al Baqarah : 124].

Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :

الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

"Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis".[3]

Di dalam Musnad Ahmad dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : ”Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sebagian dari fitrah adalah: berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air dari hidung), mencukur kumis, siwak, memotong kuku, membersihkan lipatan pada badan, mencabut bulu ketiak, istihdad, khitan dan bersuci".[4]

Maksud dari fitrah adalah, pelakunya disifati dengan fitrah yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala fitrahkan hambaNya atas hal tersebut, dan Dia telah menganjurkannya demi kesempurnaan sifat mereka. Pada dasarnya sifat-sifat tersebut tidak memerlukan perintah syariat dalam pelaksanaannya, karena hal-hal tersebut disukai dan sesuai oleh fitrah.

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, fitrah itu terbagi dua. Fitrah yang berhubungan dengan hati dan dia adalah makrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mencintai serta mendahulukanNya dari yang lain. Dan yang kedua, fitrah amaliah dan dia hal-hal yang disebut di atas. Yang pertama mensucikan ruh dan membersihkan kalbu, sedangkan yang kedua mensucikan badan, dan keduanya saling membantu serta saling menguatkan. Dan pokok fitrah badan adalah khitan.[6]

Khitan bermula dari ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada seorangpun yang berkhitan [7]. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Ibrahim berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.[8]

Setelah Nabi Ibrahim Shallallahu 'alaihi wa sallam, tradisi dan sunnah khitan berlanjut bagi semua rasul dan para pengikut mereka, sampai kepada al Masih, bahwa dia juga berkhitan. Orang Nashrani mengakui dan tidak mengingkari khitan tersebut, sebagaimana mereka mengakui haramnya daging babi, haramnya uang penghasilan hari Sabat, mereka mengakui shalat menghadap Shakhrah (sebuah batu sebagai kiblat Yahudi di Masdjid al Aqsha, Pen), dan mereka mengakui untuk tidak berpuasa lima puluh hari, yang puasa tersebut mereka namakan dengan "puasa besar".[9]

HIKMAH DAN FAIDAH KHITAN[10]
1. Khitan merupakan kemulian syariat yang Allah Subhanahu wa Ta'ala peruntukkan untuk hambaNya, memperbagus keindahan zhahir dan bathin, menyempurnakan agama Hanif bapak para nabi dan rasul, sebagai nenek moyang bagi keturunan Ismail dan Ishaq; dialah Nabi Ibrahim. Khitan merupakan celupan dan tanda Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةًَ

"Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?" [al Baqarah : 138].

2. Sebagai tanda 'ubudiah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dahulu, bahwa memberi tanda pada telinga atau badan pada budak sahaya sebagai pertanda penghambaan diri mereka kepada majikannya. Jika budak tersebut lari dari majikannya, ia dikembalikan kepadanya melalui perantara tanda tersebut. Maka tidak ada yang mengingkari, barangsiapa yang telah berkhitan dengan memotong kulit tersebut, berarti dia telah menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga semua orang mengetahui, barangsiapa yang melakukan khitan, berarti dia adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.
3. Khitan merupakan kesucian, kebersihan dan hiasan bagi hambaNya yang hanif.
4. Dengan berkhitan -terutama seorang wanita- dapat menetralkan nafsu syahwat. Jika dibiarkan tidak berkhitan, maka akan sejajar dengan perilaku hewan. Dan jika dipotong habis, maka membuat dia akan sama dengan benda mati, tidak mempunyai rasa. Oleh karenanya, kita mendapatkan, orang yang tidak berkhitan, baik dia laki-laki maupun perempuan, tidak puas dengan jima` (hiperseks). Dan sebaliknya, kesalahan ketika mengkhitan bagi wanita, dapat membuatnya menjadi dingin terhadap laki-laki.
5. Bagi wanita yang berkhitan dapat mencerahkan wajah dan memuaskan pasangan.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ

"Dalam hadits Ummu `Athiah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi sebagai pengkhitan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "Janganlah dihabiskan. Sesungguhnya, itu akan menguntungkan wanita dan lebih dicintai suami" [11]
6. Setan berdiam pada tempat-tempat yang kotor, termasuk pada kulit yang tidak berkhitan. Setan meniupkan pada kemaluannya, yang tidak dia tiup pada orang yang berkhitan.

HUKUM KHITAN
Para ulama berselisih dalam permasalahan ini, terbagi kepada tiga pendapat.

Pendapat Pertama : Khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat ini merupakan mazhab Syafi`iyah [12], Hanabilah [13] dan sebagian Malikiyah [14] rahimahullah, dan dari ulama terkemuka dewasa ini, seperti pendapat Syaikh al Albani.[15]

Pendapat Kedua : Khitan itu sunnah (mustahab). Pendapat ini merupakan mazhab Hanafiyah [16], pendapat Imam Malik [17] dan Ahmad, dalam satu riwayat [18] rahimahullah.

Pendapat Ketiga : Khitan wajib bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita. Pendapat ini merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad [19], sebagian Malikiyah[20] dan Zhahiriyah [21] rahimahullah.

DALIL-DALIL
Dalil pendapat Pertama, yang mengatakan khitan wajib. Mereka berdalil dengan Kitab, Sunnah, atsar dan akal.
a. Dalil dari Kitab.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ... الأية

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)".[al Baqarah : 124].

Catatan: Sesungguhnya, khitan termasuk kalimat yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai bentuk ujian kepada Ibrahim Alaihissallam, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas; dan ujian, secara umum berlaku dalam hal yang wajib.[22]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif". Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan".

Catatan: Khitan termasuk ajaran Ibrahim Alaihissallam, sehingga hal itu termasuk dalam keumuman perintah untuk diikuti. Dan asal dari perintah adalah wajib, sampai ada dalil lain yang memalingkannya [23].

b. Dalil dari Sunnah.
Hadits `Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Aku telah masuk Islam,” Nabi bersabda,”Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah [24]".

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "berkhitanlah", adalah 'amr (perintah); dan 'amr, hukum asalnya wajib, ia menunjukkan wajibnya berkhitan. Perkataan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada satu orang, juga mencakup yang lainnya, hingga ada dalil pengkhususan.[25]

Dan juga mereka berdalil sebagaimana yang diriwayatkan dari Zuhri, bahwa ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah, sekalipun sudah dewasa'[26]."

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "maka hendaklah berkhitan", adalah 'amr; dan asal hukum 'amr, wajib dengan sighat (bentuk syarat) pada sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam "Barangsiapa yang masuk Islam", lafadznya umum, mencakup laki-laki dan perempuan.

c. Atsar Salaf.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Al aqlaf (yaitu orang yang belum berkhitan), tidak diterima shalatnya dan tidak dimakan sembelihannya"[27].

d. Dalil Aqli.
Mereka berdalil dengan teori dan qiyas. Secara teori, dapat dilihat dari beberapa aspek.

Pertama : Diperbolehkan membuka aurat saat dikhitan. Jika khitan bukan merupakan hal yang wajib, niscaya tidak diperbolehkan; karena hal itu bukan hal yang bersifat darurat dan bukan pula untuk berobat.[28]

Kedua : Kulit zakar dapat menahan najis, padahal membuang najis merupakan kewajiban ketika beribadah. Dan tidak ada cara menghilangkan kulit itu, kecuali dengan khitan. sehingga jadilah hukum hokum itu wajib, karena apa yang tidak bisa sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka jatuh hukumnya wajib [29].

Ketiga : Orang tua sebagai penyebab si anak merasakan sakit ketika dikhitan, dapat menyebabkan kematian jika sampai tetanus, serta sang ayah mengeluarkan hartanya untuk biaya tabib dan pengobatan. Jika hal itu tidak wajib, maka hal-hal tersebut tidak diperbolehkan [30].

Keempat : Sesungguhnya dengan berkhitan mendatangkan sakit yang luar biasa, tidak disyariatkan kecuali tiga keadaan: untuk mashlahat, atau hukuman, atau untuk melaksanakan sebuah kewajiban. Dalam khitan tidak mungkin karena dua yang pertama, sehingga jadi tersisa yang ketiga, yaitu untuk sebuah kewajiban.[31]

Sedangkan istidlal (dalil) dengan qiyas.
Pertama. Khitan adalah pemotongan yang disyariatkan rawan tetanus, jadilah wajib seperti memotong tangan pencuri [32]
Kedua. Sesungguhnya khitan merupakan syiar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib sebagaimana hukum syiar Islam yang lain [33].

Dalil pendapat kedua, yang menyatakan khitan sebagai sunnah dan bukan hal yang wajib. Mereka berdalil dengan Sunnah.

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda: “Fitrah ada lima, di antaranya berkhitan …". [34]

Catatan : Maksud dari fitrah adalah sunnah. Oleh karenanya, hukum khitan sunnah dan tidak wajib. Oleh karena khitan disejajarkan dengan yang bukan wajib seperti istihdad (mencukur bulu kemaluan).[35]

Sebagaimana yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita" [36].

Catatan : Hadits ini menjadi nash dalam permasalahan bahwa khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita.

Dalil pendapat ketiga, mereka lebih memerinci sebagian dalil yang dikatakan oleh pendapat pertama, yaitu yang mengatakan wajib berkhitan bagi laki-laki dan wanita.

Mereka berkata,"Khitan bagi laki-laki lebih tegas, karena kalau dia tidak berkhitan, maka kulit yang menjulur pada ujung zakar dapat menghalanginya dari bersuci, sedangkan wanita lebih ringan. Maka jatuhnya wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi wanita."[37]

KESIMPULANNYA.
Pertama. Secara umum, setiap dalil tidak lepas dari kritikan, sebagaimana yang telah disebutkan bantahan, setiap pendapat terhadap pendapat lainnya oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahn[38].

Kedua. Pendapat pertama dan ketiga mempunyai persamaan dalam hukum khitan laki-laki, sedangkan hukum khitan perempuan sama-sama memiliki dalil yang sama-sama kuat.

Ketiga. Laki-laki diwajibkan berkhitan. Yang demikian ini merupakan pendapat jumhur, sebagaimana terdapat pada pendapat pertama dan ketiga. Dan pendapat ini yang lebih menenangkan hati, dari pendapat yang mengatakan khitan wanita itu sunnah, wallahu a`lam.

Sedangkan apa yang disebutkan oleh pendapat kedua pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, maka dapat kita jawab, jika kita menerima alasan mereka bahwa makna fitrah adalah sunnah, bukan berarti khitan tidak diwajibkan. Karena lafadz sunnah ada yang hukumnya wajib dan ada yang bukan wajib. Ia mencakup semua maknanya yang terkandung dalam syariat. Sedangkan membedakan antara sunnah dengan wajib, ini merupakan istilah baru.[39]

Keempat. Sedangkan khitan perempuan -yang menenangkan hati saya- hukumnya wajib, karena wanita adalah syaqa-iq (saudara sederajat) dengan laki-laki dalam hukum.

Alasan yang membuat penulis menyatakan hukum tersebut wajib, karena dengan berkhitan, seorang wanita dapat menetralkan syahwat. Hal itu dapat membantu untuk iffah (menjaga kehormatan). Dan menjaga kehormatan sangat dituntut secara syariat. Sebagaimana kesucian zhahir menjadikan khitan itu wajib atas laki-laki, begitu juga kesucian jiwa, menjadikan khitan itu wajib atas wanita.[40]

WAKTU KHITAN
Pelaksanaan khitan terbagi dalam tiga waktu.[41]
Pertama : Waktu yang diwajibkan. Yaitu ketika seseorang sudah masuk usia baligh, tatkala dia telah diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak diwajibkan sebelum itu [42].

Di dalam hadits, Said bin Jubair berkata: "Abdullah bin Abbas ditanya 'Berapa usia engkau ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal?', ia menjawab,'Aku waktu itu baru berkhitan, dan mereka tidaklah berkhitan kecuali sudah dekat baligh'.[43]

Kedua : Waktu yang dianjurkan untuk berkhitan. Yaitu waktu itsghar [44], yakni masa ketika seorang anak sudah dianjurkan untuk shalat.

Ketiga : Waktu yang diperbolehkan. Yaitu semua waktu selain yang diterangkan di atas.

Para ulama berselisih berkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran, apakah dianjurkan atau dimakruhkan? Sebagian memakruhkan khitan pada hari ketujuh. Demikian pendapat Hasan Basri, Ahmad dan Malik rahimahullah. Dalil mereka sebagai berikut.

Pertama : Tidak adanya nash. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau ditanya tentang khitan bayi? Beliau menjawab,”Tidak tahu. Aku tidak mendapatkan satupun khabar (dalil)".

Kedua : Tasyabbuh (meniru) dengan Yahudi. Aku bertanya kepada Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad): "Seseorang dikhitan pada hari ketujuh?" Beliau memakruhkannya sambil berkata: "Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan ini juga alasan Hasan dan Malik rahimahullah" [47].

Sebagian membawanya kepada istihbab (dianjurkan), dan ini pendapat Wahab bin Munabbih, dengan alasan lebih mudah dan tidak menyakitkan bagi bayi. Sedangkan sebagian lagi membawanya kepada hukum asal, yaitu boleh. Di antaranya pendapat Ibnul Munzir.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Syaikh kami (Ibnu Taymiah) berkata,'Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan Isma'il ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah (tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi anak cucunya.Wallahu a'lam'."

ORANG YANG TIDAK PERLU DIKHITAN
Ada empat keadaan seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap dirinya.

Pertama : Seseorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang seperti ini tidak perlu dikhitan kembali. Demikian kesepakatan ulama. Hanya sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) berkata: "Dianjurkan pisau melewati tempat khitan, karena itu yang dapat dia lakukan, dan Nabi telah bersabda,'Jika aku perintahkan, maka lakukan semampu kalian". [48]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Yang benar, perbuatan ini makruh. Tidak perlu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengannya. Dan tidak perlu beribadah dengan semisalnya. Dan syariah berlindung dari hal itu, karena merupakan perbuatan sia-sia yang tidak ada faidahnya. Melewati pisau bukanlah tujuan. Akan tetapi sebagai sarana untuk sebuah tujuan. Jika tujuan telah tercapai, maka tidak ada artinya bagi sarana."[49]

Kedua : Jika seseorang tidak tahan menahan rasa sakit ketika berkhitan, sebab sakit atau sudah tua, dan lain sebagainya. Ditakutkan terhadap dirinya kebinasaan dan kelemahan tersebut berlanjut, maka dalam keadaan seperti ini, ia diperkenankan untuk tidak berkhitan.

Ketiga : Seseorang masuk Islam ketika sudah dewasa, dan dia takut binasa karenanya; maka hukum khitan jatuh darinya menurut jumhur.

Keempat : Seseorang yang meninggal, sedangkan ia belum berkhitan, maka tidak perlu dikhitankan, karena khitan disyariatkan ketika seseorang masih hidup, dan itu telah hilang dengan kematian, maka tidak ada mashlahat untuk mengkhitannya.[50]

BEBERAPA KESALAHAN DAN KEMUNKARAN SEPUTAR PERMASALAHAN KHITAN
1. Mengadakan acara kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada asalnya dari syariat, sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid'ah.
2. Menguliti sebagian seluruh kulit zakar ketika berkhitan, sebagaimana terjadi di sebagian negara atau wilayah.
3. Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
4. Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
5. Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lisanul Arab, Tartibul Qamus
[2]. Tharhut Tatsrib, Iraqi , Fathul Bari, Ibnu Hajar
[3]. HR Muslim dalam Minhaj  dan Bukhari dalam Fathul Bari
[4]. HR Ahmad , Ibnu Majah. Hadits hasan. Lihat Shahih Jami`, al Albani
[5]. Fathul Bari, Ibnu Hajar
[6]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[7]. Ahkamul Qur`an, Ibnul Arabi
[8]. HR Bukhari dalam Fathul Bari dan Muslim
[9]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayim.
[10]. Lihat Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayim.
[11]. HR Abu Dawud, haditsnya hasan, karena jalannya yang banyak. Lihat Silsilah Shahihah
[12]. Al Majmu`, Nawawi
[13]. Al Inshaf, al Mardawi, al Mubdi`, Ibnu Muflih.
[14]. Al Qawanin al Fiqhiyah, Ibnu Jizzi, Tharhut Tastrib, al Iraqi
 [15]. Lihat Tamamul Minnah, al Albani
[16]. Al Mabsuth, Sarkhasi
[17]. Al Qawanin al Fiqhiyah, Ibnu Jizzi
[18]. Al Inshaf, al Mardawi , al Mubdi`, Ibnu Muflih
[19]. Al Inshaf, al Mardawi, al Mubdi`, Ibnu Muflih dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Qudamah t .
[20]. Al Fawakih ad Dawani, Nafrawi .
[21]. Al Muhalla, Ibnu Hazm dan dinisbatkan oleh al Iraqi kepada mazhab Syafi`iyah.
[22]. Fathul Bari, Ibnu Hajar
[23]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[24]. Hadits hasan. HR Ahmad , Abu Dawud. Lihat Irwa`ul Ghalil, al Albani.
[25]. Fathul Bari, Ibnu Hajar .
[26]. Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim t dan beliau berkata: "Hadits ini, sekalipun mursal, tetapi layak digunakan untuk penguat”. Lihat Tuhfatul Maudud,.
[27]. Disebutkan riwayatnya oleh Ibnul Qayyim di dalam Tuhfah,.
[28]. Al Majmu`, Nawawi , Fathul Bari, Ibnu Hajar .
[29]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim dan Fathul Bari, Ibnu Hajar
[30]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, dan Fathul Bari, Ibnu Hajar
[31]. Istidlal ini dinukilkan oleh al Hafidz Ibnu Hajar t dari Imam Mawardi. Lihat Fathul Bari
[32]. Al Mughni, Ibnu Qudamah. Juga disebutkan qiyas ini oleh Ibnul Qayyim di Tuhfatul Maudud,
[33]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim dengan sedikit perubahan, dan Fathul Bari, Ibnu Hajar
[34]. Telah berlalu takhrijnya.
[35]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim,dan Nailul Authar, Syaukani.
[36]. HR Ahmad dan Baihaqi.
[37]. Al Mughni, Ibnu Qudamah.
[38]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[39]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[40]. Ahkamul Jirahah at Tibbiyah, Muhammad Mukhtar asy Syinqithi.
[41]. Syaukani berpendapat, bahwa tidak ada waktu tertentu untuk berkhitan. Beliau menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur. Nailul Authar.
[42]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim.
[43]. HR Bukhari dalam Fathul Bari.
[44]. Waktu itsghar, yaitu ketika gigi susu seorang anak berganti dengan gigi dewasa.
[45]. Al Fawakih ad Dawani. Beliau menisbatkannya kepada Malik rahimahullah, Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim,
[46]. Tuhfatul Maudud.
[47]. Ibid.
[48]. HR Bukhari,dan Muslim.
[49]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, Tharhut Tatsrib, al Iraqi
[50]. Lihat Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim,.

Ghibah

Betapa banyak kaum muslimin yang mampu menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla dengan baik, menjalankan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mampu menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis. Namun…..mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar, namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala benar-benar telah mencela penyakit ghibah ini dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di berkata: “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan suatu gambaran yang membuat (seseorang) lari dari ghibah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلاَ يَغْتِبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

"Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih". [Al Hujurat :12]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyamakan mengghibahi saudara kita dengan memakan daging saudara (yang dighibahi tadi) yang telah menjadi bangkai, yang (hal ini) amat sangat dibenci oleh jiwa manusia. Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam keadaan hidup" [1].

Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu.

عَنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَالَ : وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلأَ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِمِ)

"Dari Qais, dia berkata: ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu 'anh melewati bangkai seekor bighol (hewan hasil persilangan kuda dengan keledai), lalu beliau berkata: "Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)". [2]

Syaikh Salim Al-Hilaly berkata : "..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikkan secara tabi’at untuk bani Adam, walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan. Bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudaramu seagama?, sesungguhnya rasa benci dan jijik semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…" [3]

"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Semua muslim terhadap muslim yang lain adalah harom, yaitu darahnya, kehormatannya, dan hartanya". [HR. Muslim]

Orang yang mengghibah berati dia telah mengganggu kehormatan saudaranya, karena yang dimaksud dengan kehormatan adalah sesuatu yang ada pada manusia yang bisa dipuji dan dicela.

DEFINISI GHIBAH

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwsanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya". [4]

Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.

عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ : الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ

"Dari Hammad dari Ibrahim, dia berkata : Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan".[5]

Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah “Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu, yang seandainya dia tahu maka dia akan membencinya”. Sama saja, apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya di hadapan manusia dalam keadaan dia ghoib (tidak hadir). Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan ghaib (tidak hadir di hadapn-mu). Oleh karena itu (saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat, karena orang yang ghoib tidak mampu untuk membela dirinya. Demikian pula mayat tidak mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan, sebagaimana orang yang ghoib juga tidak mengetahui ghibah yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya". [6]

Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya (yang termasuk ghibah itu), misalnya engkau berkata pada saudaramu itu: “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.

عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ :إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ : اِغْتَبْتِها

"Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut" [7].

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَا وَ قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ : تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ : لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ

"Dari ‘Aisyah beliau berkata: Aku pernah berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Cukup bagimu dari Shofiyah ini dan itu”. Sebagian rawi berkata :”’Aisyah mengatakan Shofiyah pendek”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat, yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya" [8].

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً فَقَالَ : ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ

"Dari Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki, kemudian dia berkata: “Dia lelaki yang hitam itu”. Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu" [9].

Adapun ghibah pada nasab, misalnya engkau berkata: ”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain. Adapun ghibah pada akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu suka marah”.

Adapun ghibah pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim, tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain.

Adapun ghibah pada perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak menghormati orang lain”, “Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.

Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid, dia berkata: Thouf bin Wahb telah menyampaikan kepada kami, dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata: ”Aku melihatmu sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata: “Pergilah ke tabib fulan, mitalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian dia berkata: “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)".[10]

Termasuk ghibah adalah seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :

قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

"‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang seseorang pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian dan sekian". [11]

Termasuk ghibah juga, jika seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata: ”Si fulan telah berkata demikian dan demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah haram. Tetapi jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang ‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.

Demikian pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata: “Suatu kaum -atau suatu jama’ah- telah berkata demikian-demikian” atau “Pendapat ini merupakan kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran” dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika disebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah tertentu. [12]

Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya, seperti isyarat dengan perkataan, atau isyarat dengan mata, atau bibir dan lainnya, yang bisa dipahami bahwasanya hal itu untuk merendahkan saudaranya yang lain. Di antara ghibah adalah jika nama seseorang disebutkan di sisi-mu lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah menjaga kita dari sifat pelit”, atau “Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melindungi kita dari memakan harta manusia dengan cara yang batil”, atau yang lainnya. Sebab orang yang mendengar perkataan-mu itu memahami bahwa berarti orang yang namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yang jelek. [13] Bahkan lebih parah lagi, perkataanmu tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkanmu ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.

BAGAIMANA JIKA YANG DIGHIBAHI ADALAH ORANG KAFIR?
Imam As-Shan’ani berkata: “Perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits Abu Hurairah di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama, merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh dighibah”. Ibnul Mundzir berkata: ”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti Yahudi, Nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya" [14]

Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?

Imam As-Shan’ani berkata: "Dan pada perkataan Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam بِمَا يَكْرَهُ (dengan apa yang dia benci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita ghibahi tersebut) tidak membenci aib yang ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah". [15]

Syaikh Salim Al-Hilali berkata: ”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:

ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ

"Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk". [Al-Hujurat : 11]-pent)

Yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu). [16]

HUKUM GHIBAH


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَال : قَالَ رَسُوْلُ الله : مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُِ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

"Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Pada malam isra’ aku melewati sekelompok orang yang melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku bertanya: ”Siapakah mereka ya Jibril?”. Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mencela kehormatan-kehormatan mereka".

Dalam riwayat yang lain :

قَالَ رَسُوْلُ الله : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati sekelompok orang yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya: ”Siapakah mereka ya Jibril?”. Jibril menjawab: ”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka". [17]

Hukum ghibah adalah haram berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Namun terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar atau termasuk dosa kecil?.

Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya ghibah termsuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis Al-‘Umdah dari madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwasanya ghibah termasuk dosa kecil.

Al-Auza’i berkata: “Aku tidak mengetahui ada orang yang jelas menyatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua”.

Az-Zarkasyi berkata: “Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai daging (manusia) sebagai dosa besar, (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah juga sebagai dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia. Dan hadits-hadits yang memperingatkan ghibah sangat banyak sekali yang menunjukan kerasnya pengharaman ghibah. [18]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: "Dalam ayat ini (Al-Hujurat :12) ada peringatan keras terhadap ghibah dan bahwasanya ghibah termasuk dosa-dosa besar, karena diserupakan dengan memakan daging bangkai (manusia) dan hal itu (memakan daging bangkai) termasuk dosa besar". [19]

Alasan orang yang menyatakan bahwa ghibah adalah dosa kecil, diantaranya perkataan mereka: ”Kalau seandainya ghibah itu bukan dosa kecil maka sebagian besar manusia tentu menjadi fasik, atau seluruh manusia menjadi fasik, kecuali hanya sedikit sekali yang bisa lolos dari penyakit ini. Dan hal ini adalah kesulitan yang sangat besar”. Namun alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya suatu kemaksiatan dan banyak manusia yang melakukannya tidaklah menunjukan bahwa kemaksiatan tersebut adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak sebab tersebarnya kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang. Adapun pada zaman dahulu (zaman para Salaf) kemaksiatan-kemaksiatan (termasuk ghibah) tidak tersebar sebagaimana sekarang. Di zaman mereka yang tersebar adalah kebaikan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Taisir Karimir Rahman tafsir surat Al-Hujurat :12
[2]. Riwayat Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, lihat Kitab As-Shamt, Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: "Isnadnya shahih", sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud
[3]. Bahjatun Nadzirin
[4]. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi
[5]. Lihat Kitab As-Somt , berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini : “Rijalnya (para perawinya) tsiqoh (terpercaya)”
[6]. Bahjatun Nadzirin
[7]. Riwayat Abu Dawud dan Ahmad, berkata Syaikh Abu Ishaq : “Isnadnya shohih”
[8]. Yaitu merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin , dan hadits ini shahih, riwayat Abu Dawud , At-Thirmidzi  dan Ahmad
[9]. Kitab As-Shamt , berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwwaini: “Rijalnya tsiqoh”
[10]. Kitabuz Zuhud
[11]. Maksudnya walaupun saya mendapatkan kedunaiaan yang banyak
(Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ahmad)
[12]. Bahjatun Nadzirin
[13]. Bahjatun Nadzirin
[14]. Subulus salam  dan Taudhilhul Ahkam
[15]. Subulus salam
[16]. Bahjatun Nadzirin
[17]. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, berkata Syaikh Abu ishaq Al-Huwaini : Isnadnya shahih, lihat kitab As-Somt hadits
[18]. Subulus Salam

Hukum Mendengarkan Ghibah, Bertaubat Dari Ghibah Dan Ghibah Yang Dibolehkan

HUKUM MENDENGARKAN GHIBAH
Imam Nawawi berkata di dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan.

Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.

Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).

Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak dosa baginya mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu, jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis” [1]20) . Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَإذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ

"Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk bersama kaum yang dzolim setelah kalian ingat". [Al-An’am : 68]

Benarlah perkataan seorang penyair…

وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ
فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ

Dan pendengaranmu, jagalah ia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana engkau menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah.

Dan meninggalkan majelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ

"Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya". [Al-Qashash : 55]

وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ

"Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna". [Al-Mu’minun :3]

Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut, tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجْهَهُ النَّارَ

"Dari Abu Darda’ Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat" [2]

Demikian juga pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang dighibahi, mereka akan membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:

عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَلِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ : لاَ تَقُلْ ذَلِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ

"Dari ‘Itban bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata: “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab: ”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Maka Nabi r berkata: “Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah?, dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah". [Bukhari dan Muslim]

حَتَّى بَلَغَ (رَسُولُ الهِر ) تَبُوكَ فَقَالَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي الْقَوْمِ بِتَبُوكَ مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ

"Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah sampai di Tabuk, dan sambil duduk beliau bertanya: “Apa yang dilakukan Ka’ab?”, (Yakni mengapa dia tidak keluar berjihad ke Tabuk ini-Red.) maka ada seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab: ”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal t berkata: “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun diam". [Bukhori dan Muslim]

BERTAUBAT DARI GHIBAH
Berkata Syaikh Utsaimin : “…Ghibah yaitu engkau membicarakannya dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkannya di hadapan manusia sedangkan dia tidak ada. Untuk masalah (bertaubat dari ghibah) ini para ulama berselisih. Di antara ulama ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang menggibah) harus datang kepadanya (yang dighibahi) lalu berkata kepadanya: “Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan-mu di hadapan orang lain, maka aku mengharapkan-mu memaafkan-ku dan merelakan (perbuatan)ku”.

Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang kepadanya, tetapi ada perincian: Jika yang dighibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Pendapat kedua ini lebih benar, yaitu bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang kamu mengghibahinya dan engkau memohon ampun untuknya. Engkau bisa berkata: “Ya Allah ampunilah dia”, sebagaimana yang terdapat dalam hadits:

كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ

"Kafarah (penebus dosa) untuk orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya" [3].

Ibnu Katsir berkata: "…para ulama lain berkata: “Tidaklah disyaratkan baginya (yang mengghibah) meminta penghalalan (perelaan dosa ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah orang yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat yang dia telah mencela orang itu…" [4]

CARA MENGHINDARKAN DIRI DARI GHIBAH
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir". [Qaf : 18]

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً

"Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban)" [Al-Isra’: 36]

Jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga berbicara seenaknya tanpa ditimbang-timbang dahulu, yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sarana yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟

"Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka ?".

Demikian juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ

"Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan". [5]
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah, yang dia tidak menganggap penting kalimat itu, akibatnya dia terjerumus ke dalam neraka Jahannam gara-gara kalimat itu". [Bukhari]

Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ : مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

"Dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada di antara dua bibirnya (yaitu lisannya), dan apa yang ada di antara kedua kakinya (yaitu kemaluannya), maka aku jamin surga baginya". [Bukhari dan Muslim]

Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia, sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia" [6]

Imam Syafi’i berkata:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

"Jagalah lisanmu wahai manusia
Janganlah lisanmu sampai menyengat-mu, sesungguhnya dia seperti ular
Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya
Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya"

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN
Syaikh Salim Al-Hilali berkata: "Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar, yang sesuai syari’at, yang tujuan tersebut tidak mungkin bisa dicapai kecuali dengan ghibah itu". [7]

Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair :

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

"Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran"

Pertama : Pengaduan
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”. Dalilnya firman Allah:

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

"Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya". [An-Nisa’ : 148].

Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukkan bolehnya orang yang didzholimi mengghibahi orang yang mendzoliminya, dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[8]

Kedua : Minta Bantuan Untuk Mengubah Kemungkaran Dan Mengembalikan Pelaku Kemaksiatan Kepada Kebenaran.
Maka seseorang (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram.

Ketiga : Meminta Fatwa.
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzolim padaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدٌ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ : إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ

"Dari ‘Aisyah berkata: Hindun, istri Abu Sofyan, berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak memberi belanja yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil tanpa pengetahuannya”. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)" [9]

Keempat : Memperingatkan Kaum Muslimin Dari Kejelekan.
Hal ini diantaranya: Jarh wa ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits. Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya. [10]

Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasehat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله : أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)

"Fatimah binti Qois berkata: “Saya datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya". (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)". [11]

Kelima : Ghibah Dibolehkan Kepada Seseorang Yang Terang-Terangan Menampakkan Kefasikannya Atau Kebid’ahannya.
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ

"‘Aisyah berkata: “Seseorang datang minta idzin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya". [12]

Namun diharomkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya. [13]

Keenam : Untuk Pengenalan.
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’roj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.


Syaikh Salim Al-Hilali berkata:
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah hukum yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illatnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal, yaitu haramnya ghibah.

2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja –pent). Maka tidak boleh memperluas terhadap bentuk-bentuk di atas (ghibah yang dibolehkan). Bahkan orang yang mendapatkan keadaan darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) hendaknya bertaqwa kepada Allah, dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [14]
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Bahjatun Nadzirin
[2]. Riwayat At-Tirmidzi dan Ahmad, berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Shohih atau hasan”
[3]. Syarah Riyadlus Sholihin  (Sedangkan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Ash-Shomt, Syaikh Abu Ishaq berkata: “Maudlu’”, As-Subki berkata: “Dalam sanad hadits ini ada perowi yang tidak bisa dijadikan hujjah, dan kaidah-kaidah fiqh telah menolak (isi) hadits ini, karena ghibah itu (menyangkut) hak manusia, maka tidak bisa gugur kecuali dengan melepaskan diri, oleh karena itu dia (si pengghibah) harus meminta penghalalan/perelaan dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi telah mati dan tidak bisa dilaksanakan (permohonan penghalalan tersebut), maka sebagian ulama berkata: “Dia (si pengghibah) memohon ampunan untuk yang dighibahi”
[4]. Tafsir Ibnu Katsir
[5]. Riwayat Tirmidzi , Ahmad, dan lain-lain. Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Isnadnya hasan”
[6]. Tuhfatul Ahwadzi hal
[7]. Bahjatun Nadzirin
[8]. Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin
[9]. Riwayat Bukhori dalam Al-Fath, dan Muslim)
[10]. Sebagaimana yang dilakukan oelh para salaf ketika memperingatkan umat dari bahaya para ahlul bid’ah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang penjelasan wajibnya nasihat untuk memperbaiki Islam dan kaum muslimin: “Seperti para imam kebid’ahan yaitu orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah atau yang telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya) mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin. Hingga Imam Ahmad pernah ditanya:.”Seorang laki-laki puasa dan sholat dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul bid’ah (yang lebih engkau sukai)?”. Maka beliau menjawab: “Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu (kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan (kejelekan) ahlul bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini (membicarkan kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah menjelaskan bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi kaum muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk menghilangkan kemudhorotan para ahlul bid’ah ini, maka akan rusak agama ini, yang kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari ahlul
harbi (orang kafir yang menyerang-pent). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati dan agama yang (telah tertanam) dalam hati kecuali hanya belakangan. Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak hati sejak semula. (Al-Fatawa, lihat Hajrul Mubtadi’)
[11]. Dan ini merupakan tafsir dari riwayat :(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya
[12]. Riwayat Bukhori dan Muslim), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi r, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi r telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi r tersebut ternyata hanya melakukan Islam secara dzohir, sedangkan keadaannya goncang dan masih ada bekas jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin
[13]. Bahjatun Nadzirin. As-Syaukani menjelaskan :Jika tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin
[14]. Bahjatun Nadzirin 

Al Hilah, Melakukan Rekayasa Terhadap Hukum Allah

Allah telah mengatur manusia melalui lisan RasulNya dengan syari'at sebagaimana tertuang dalam ajaran din (agama) ini. Demikian pula perihal perkara halal dan haram dalam bermu'amalah. Dalam salah satu hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, ada disebutkan bahwa yang halal maupun yang haram sudah sangat jelas. Namun, di antara halal dan haram tersebut terdapat perkara syubhat (samar), yang belum jelas hukumnya bagi kebanyakan orang. Yang belum jelas ini harus diwaspadai dan dijauhi oleh seorang muslim, demi keselamatan diri dan din-nya, bukan sebaliknya.

Ironisnya, banyak juga dijumpai di antara kaum Muslimin yang tidak mengindahkan masalah tersebut. Bahkan lebih tragis lagi, ada di antaranya yang sengaja mencari celah-celah untuk merekayasa, membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas haram dengan upaya menyamarkan keadaan, sehingga akan nampak menjadi halal aatu boleh. Dalam istilah syari'at, perbuatan seperti ini disebut melakukan al hilah الحيلة.

Berbagai cara dilakukan untuk mengelabui kebanyakan orang, atau untuk memperdaya orang-orang yang kurang wara` dalam agamanya, sehingga mendapatkan label halal atau label boleh dalam bermu'amalah atau jual-beli mereka. Padahal, jika diamati, pada hakikatnya cara yang mereka tempuh tidak jauh berbeda dengan hukum aslinya. Sekedar memutar cara atau jalan untuk melampiaskan keserakahan hawa nafsu, agar bisa menikmati yang haram maupun yang syubhat.

MENENTUKAN HALAL DAN HARAM MERUPAKAN HAK ALLAH
Di dalam al Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan, bahwa menentukan yang halal dan haram bukan menjadi kewenangan manusia, tetapi merupakan hak Allah. Di antaranya Allah Subhanahu w Ta'ala berfirman:
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" [asy Syura/42:21]

"Mereka menjadikan orang-orang 'alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan". [at Taubah/9:31]

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung". [an Nahl/16:116].

Dari ayat-ayat di atas sangat jelas, bahwa menyematkan halal dan haram sesuatu merupakan hak Allah dan RasulNya. Adapun para ulama, ketika mengatakan sesuatu ini halal, sesuatu itu haram, tentunya mereka tidak keluar dari apa yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karenanya, setiap muslim harus menerima tuntunan syari'at manakala bermu'amalah, tidak melakukan khilah dengan mencari-cari celah untuk menghalalkan yang diharamkan, ataupun mengharamkan yang telah dihalalkan Allah dan RasulNya.

SETIAP YANG HARAM ADALAH BURUK
Kita harus meyakini, tatkala Allah atau RasulNya mengharamkan sesuatu, pasti dalam perkara yang diharamkan tersebut dapat berakibat jelek bagi pelakunya. Sebaliknya, setiap yang dihalalkan ataupun diperintahkan Allah, pasti mengandung banyak kemaslahatan bagi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan di dunia ataupun akhirat.

Telah dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitabNya: "(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi, yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk". [al A'raf/7:157].

"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". [al Baqarah/2:219]

MEMBUAT HILAH (REKAYASA) SESUATU YANG HARAM, ADALAH HARAM
Al hilah, atau melakukan rekayasa, tipu daya dalam perkara yang haram, atau yang mengarah kepada sesuatu yang haram, adalah haram. Kaidah fiqih yang berlaku adalah, "setiap wasilah dihukumi dengan maksud atau tujuan yang terkandung di dalamnya". Oleh karena itu, seseorang yang berniat menghalalkan yang telah Allah haramkan, maka hokum sesuatu tersebut tetap haram, walaupun ia memolesnya dengan banyak tipu daya, membuat rekayasa.

DEFINISI AL HILAH
Secara bahasa, kata al hilah الحيلة) ), sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari, mempunyai arti, segala cara yang mengantarkan kepada tujuan dengan cara yang tersembunyi (lembut) [1]. Adapun secara istilah, al hilah adalah, melakukan suatu amalan yang zhahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar'i serta memalingkannya kepada hukum yang lainnya.[2]

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,"Sesungguhnya kata umum al hilah, bila diarahkan menurut pemahaman ulama fiqih mengandung arti tipu daya atau cara yang dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang haram, sebagaimana tipu dayanya orang-orang Yahudi." [3]

Ibnu Qudamah berkata,"Yaitu dengan menampakkan transaksi yang mubah, sebagai tipu daya dalam melakukan hal yang diharamkan atau jalan yang mengantarkan kepada sesuatu yang telah Allah haramkan…". [4]

Sehingga, dapat dikatakan, trik atau tipu daya yang diharamkan adalah, tipu daya dalam perkara-perkara yang haram, dengan menggunakan cara tidak langsung atau terselubung.

JENIS AL HILAH SECARA UMUM
Menurut Ibnul Qayyim, terdapat dua jenis al hilah.
Pertama : Jenis yang mengantarkan kepada amalan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan meninggalkan apa yang dilarangNya, menghentikan dari sesuatu yang haram, memenangkan yang haq dari kezhaliman yang menghalang, membebaskan orang yang dizhalimi dari penindasan orang-orang yang zhalim. Jenis ini termasuk baik, dan pelaku atau penyeru (yang mengajaknya) akan mendapatkan pahala.

Kedua : Yang bertujuan untuk menggugurkan kewajiban, menghalalkan perkara yang haram, membolak-balikkan keadaan dari orang yang teraniaya menjadi pelaku aniaya dan orang yang zhalim seakan menjadi orang yang terzhalimi, merubah kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Jenis hilah seperti ini, para salaf telah bersepakat tentang kenistaannya…).[5]

Imam asy Syatibi memberikan catatan kepada jenis hilah yang tercela (yaitu jenis yang kedua) di atas, bahwa yang dimaksudkan dengan al hilah, (yang seperti itu) adalah, sesuatu yang akan menghancurkan sumber syari'i yang sebenarnya, serta meniadakan maslahat syar'i yang terdapat di dalamnya. sesuatu yang akan menghancurkan sumber asli yang syar'i serta meniadakan maslahat yang syar'i.[6]

MACAM-MACAM HILAH YANG TERLARANG
Menurut Ibnu Qayyim, hilah yang terlarang, atau semisalnya (yang terlarang, Pen), semua kaum Muslimin, seorang pun tidak ada yang meragukan, bahwa hal ini termasuk bagian dari dosa-dosa besar, dan merupakan perbuatan paling jelek dari perkara-perkara yang diharamkan. Perbuatan seperti ini termasuk dalam kategori mempermainkan agama Allah dan memperolok ayat-ayatNya. Dari sisi perbuatannya saja adalah haram, karena adanya kedustaan dan tipu daya di dalamnya. Ditinjau dari maksud dan tujuannya pun, hilah juga haram, karena untuk meniadakan kebenaran dan ingin menghidupkan melanggengkan kebatilan.[7]

Ibnu Qayyim rahimahullah membagi hilah (tipu daya terlarang) di atas menjadi 3 macam.
Pertama : Hilah haram ditujukan kepada sesuatu yang haram pula. Semisal, melakukan rekayasa untuk menghalalkan amalan yang mengandung unsur riba. Misalnya, seperti dalam masalah mud 'ajwa, yaitu seseorang yang menjual jenis barang yang masuk dalam masalah riba` dengan sejenisnya, dengan disertakan (disyaratkan) bersama keduanya atau salah satunya sesuatu yang lain jenisnya.[8]

Kedua : Cara atau perbuatan asalnya boleh, akan tetapi dipergunakan untuk sesuatu yang haram. Seperti melakukan safar yang digunakan untuk merampok, membunuh orang, dan lain-lain.

Ketiga : Cara yang dipakai pada asalnya tidak dipergunakan untuk sesuatu yang haram, bahkan dimaksudkan untuk sesuatu yang disyari'atkan, seperti menikah, melakukan jual-beli, memberikan hadiah, dan sebagainya; namun kemudian dipakai sebagai tangga untuk menuju sesuatu yang diharamkan.

HILAH MERUPAKAN AKHLAK DAN KEBIASAAN YAHUDI
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam beberapa ayat, yang menerangkan akhlak orang-orang Yahudi dalam masalah tipu daya ini. Mereka berusaha merubah hukum-hukum yang telah diajarkan oleh para nabi mereka. Semisal laknat dan kemurkaan Allah Ta'ala tatkala orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu. Pada hari tersebut banyak didapatkan ikan, yang tidak didapatkan pada hari lainnya. Kemudian, untuk melakukan rekayas, mereka pun menempatkan perangkap (jaring) pada hari sebelumnya dan mengambil hasilnya pada hari Ahad. Perbuatan ini merupakan tipu daya mereka, yaitu dengan mengabaikan perintah Rabb. Sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam firmanNya:

"Hai orang-orang yang telah diberi al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (al Qur`an) yang membenarkan kitab yang ada pada kamu sebelum Kami merobah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuk mereka, sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku". [an Nisaa`/4:47].

"Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik" [al A'raf/7:163].

CONTOH MU'AMALAH YANG MENGGUNAKAN HILAH

Bila kita perhatikan, banyak dijumpai praktek-praktek mu'amalah yang menggunakan tipu daya atau rekayasa. Baik yang telah jelas keharamannya berdasarkan dalil-dalil dari nash, maupun dari masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi. Namun jika diperhatikan, masalah-masalah yang berkembang atau baru tersebut, akan didapatkan masalah yang baru tersebut tidak jauh dari permasalahan lama yang bersumber dari nash-nash ataupun kaidah yang telah ada. Para ulama, seperti Ibnul Qayyim [9], atau sebagian ulama lainnya telah memberikan contoh mengenai mu'amalah yang menggunakan praktek hilah atau tipu daya ini.

Sebagai contoh, dapat disebutkan beberapa amalan yang sekiranya berhubungan erat dengan masalah hilah ini, yang dimaksudkan sebagai usaha merubah ketentuan syar'i yang telah ditetapkan syari'at Islam. Contoh-contoh hilah tersebut antara lain ialah :

- Hilah seorang suami yang ingin berbuat jahat kepada isterinya, dengan berusaha menggugurkan hak dia untuk mendapatkan warisan dari hartanya, tatkala sedang sakit keras ia segera mentalaknya sebanyak tiga kali.

- Hilah seorang yang ingin menghindari hukuman bersetubuh pada bulan Ramadhan dengan berpura-pura sakit atau meminum khamr terlebih dahulu, baru kemudian ia bersetubuh dengan isterinya.

- Hilah orang yang tidak mau berpuasa Ramadhan, dengan cara merencanakan safar setiap bulan Ramadhan datang.

- Hilah seseorang yang ingin menggugurkan kewajiban zakat hartanya yang akan mencapai satu tahun (masa haul), dengan menukarkannya dengan barang semisal, atau dengan menjualnya karena takut zakat, yang kemudian uangnya dibelikan barang sejenis atau yang lainnya. Sehingga ia akan memulai hitungan awal tahun dari barang baru tersebut. Bagitu seterusnya dan seterusnya, setiap akan mencapai waktu satu tahun umur hartanya tersebit. Dengan berbuat seperti itu, menurutnya, selamanya ia akan terbebas dari kewajiban zakat.

- Dua orang mempunyai barang yang berkategori riba, tetapi masing-masing memiliki keadaan berbeda. Yang satu bagus dan yang kedua jelek. Mereka menaksir harga setiap barang di ingatan tanpa ada wujud uang yang nyata. Sehingga yang ditaksir dengan harga rendah harus menambah sesuatu (uang) kepada yang mempunyai barang bagus.

Semacam ini termasuk cara (tipu daya) untuk menghalalkan transaksi riba. Riba yang dimaksud disini adalah jual beli emas dengan emas, atau rupiah dengan rupiah, atau yang lainnya dengan perbedaan jumlah. Padahal syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi seperti ini ada dua. Yaitu jumlah (timbangannya sama), dan diberikan langsung di tempat pada waktu terjadi transksi (yadan bi yadin).

- Penjual yang ingin berlepas diri dari barang yang dipenuhi cacat, ia takut nantinya pembeli akan mengembalikannya. Maka iapun memberikan syarat, barang yang telah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi bagaimanapun keadaannya. Alasannya, karena barng tersebut sudah keluar dari toko. Praktek semacam ini banyak dilakukan. Maka seharusnya kita menghindarinya.

- Mengambil pendapat yang lemah, serta berpendirian dengan apa yang sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada dalil shahih dan jelas sebagai landasan amalannya.

Hilah yang diambil ialah dengan cara pengamalan kaidah ushul fiqih لا إنكار في مسائل الخلاف (tidak boleh mengingkari dalam permasalahan khilaf). Pengambilan kaidah yang tidak benar ini sebagai tidu daya (merekayasa) untuk melampiaskan apa yang diinginkannya, tatkala ia menemukan adanya perkataan yang berselisih (berbeda), dan cocok dengan yang ia inginkan. Yang benar dalam penggunaan kaidah tersebut adalah, apabila dalam suatu permasalahan memang tidak didapatkan dalil sharih (jelas) dari Kitab, Sunnah maupun Ijma`, sehingga dibutuhkan ijtihad seorang mujtahid, maka berlakulah kaidah di atas, dengan tidak mengingkari adanya perbedaan yang muncul dari ijtihad para ulama tersebut.

- Hilah seseorang yang ingin mengugurkan kewajiban berhaji atau zakat dengan memberikan hartanya kepada anak atau isterinya, sehingga ia menganggap dirinya orang yang tidak berharta.

- Hilah orang yang ingin memiliki barang dengan tanpa hak dengan merusak atau merubah bentuk barang tersebut.

- Hilah orang yang berusaha membatalkan hukuman potong tangan karena mencuri, dengan mengklaim bahwa barang yang diambilnya adalah barang miliknya sendiri, atau barang serikat antara dirinya dengan pemilik barang yang diambilnya.

- Hilah orang yang sedang berihram untuk haji ataupun umrah. Karena terkait dengan larangan berburu, maka ia menaruh parangkap sebelum memakai ihram, supaya dikatakan yang ia dapatkan tersebut merupakan hasil buruan sebelum ihram.

- Hilah seseorang yang senang melakukan ghibah, dengan mengatakan bahwa ia sedang melakukan amar ma`ruf nahi mungkar. Padahal maslahatnya tidak ada. Atau dalam mentahdzir seseorang, ia sama sekali tidak menggunakan kaidah yang benar.

- Hilah sebagian muslimin yang mengumbar hawa nafsu dan kemaksiatannya, serta tidak ingin dianggap hina.
Misalnya dengan mengatakan:
"Saya berada di atas sunnah, pembela sunnah, walaupun fasiq termasuk sebagai wali Allah. Sedangkan pelaku bid'ah, ia adalah musuh Allah, walaupun akhlaknya bagus".
"Kubur seorang pembela sunnah, walau bagaimanapun kefasikannya, adalah termasuk salah satu taman dari taman-taman surga. Sedangkan kubur ahli bid'ah adalah lubang neraka".
"Berpegang teguh dengan sunnah dan aqidah yang benar, pasti akan dapat menghapuskan kamaksiatan yang saya lakukan".
"Akhlak tidak baik, no problem. Yang penting aqidah saya benar".
Ungkapan-ungkapan seperti tersebut di atas merupakan hilah atau tipu daya, untuk tetap mengumbar apa yang menjadi keinginan hawa nafsunya.

- Hilah seorang yang ingin menghalalkan zina dengan mengatakan, dirinya telah melaksanakan kawin kontrak atau mut'ah. Padahal syarat-syarat nikah tidak dapat terpenuhi.

- Hilah seorang wanita yang ingin melepaskan diri dari suaminya, dengan cara berzina dengan anak suaminya. Dia beranggapan, setelah digauli oleh anak suaminya, maka ia harus dipisahkan dari suaminya. Atau sebaliknya seorang suami yang berhilah seperti ini.

- Hilah orang yang tidak mau shalat, ngaji dan sebagainya dengan anggapan, bahwa percuma shalat atau ngaji, kalau nantinya masih melakukakan kemaksiatan.

- Hilah seseorang yang ingin menghalalkan jual beli 'inah [10] dengan mengatakan:
"Sangat wajar, bila si penjual membeli kembali barang yang telah dijualnya dari si pembeli dengan harga yang lebih murah. Karena, bisa jadi barang tersebut telah lama dipakai, atau ada aib yang bisa menurunkan harganya".[11]

- Hilah untuk menyembunyikan cacat yang ia ketahui kepada calon pembelinya, dengan mengatakan:
"Lihat dan coba sendiri barangnya," dan tatkala ia ditanya keadaan barang yang dijualnya, si penjual ini tidak mau menjelaskan cacat yang terdapat pada barang tersebut.[12]

- Hilah untuk menghalalkan riba, dengan mengatakan kepada orang yang sedang membutuhkan mobil atau barang lainnya:
"Cari mobil yang kamu inginkan. Nanti saya membereskan pembayarannya dari toko tersebut. Baru kemudian, kamu bayar kepada saya secara kredit dengan nominal yang kita sepakati".
Perbuatan seperti ini sama bentuknya dengan melakukan hilah (tipu daya, rekayasa) untuk menghalalkan riba. Yang nampak seakan ingin membantu, tetapi kenyataannya ingin meraih keuntungan dengan memanfaatkan kesusahan orang lain. Seakan-akan ia mengatakan "aku pinjamkan uang kepada kamu, tetapi nanti kamu kembalikan uang tersebut (untuk membeli barang itu) dengan tambahan bunga yang kita sepakati".

TAKWA DAN IMAN KUNCI UTAMA DALAM BERMU'AMALAH
Seorang hamba hendaklah menyadari, bahwa kehidupan yang dijalaninya tidak lepas dari kewajiban untuk selalu beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, kewajiban manusia adalah mengikuti ketentuan yang telah disyari'atkan Allah. Sehingga kita akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman, disebabkan ketakwaan dan keimanan yang selalu terjaga.

Masih adanya kesusahan dan perasaan berat menjalankan syari'at Allah, seorang hamba tidak seharusnya melampiaskannya dengan melakukan tipu daya, melakukan rekayasa untuk merubah hukum Allah. Yang haram tetaplah haram, meskipun diupayakan dengan berbagai cara, ia tetap tidak berubah hukumnya. Bahkan, jika seorang hamba sengaja memperindah dosa dengan sedikit polesan ketaatan dalam menghalalkan yang diharamkanNya dan mengharamkan yang dilarangNya, niscaya kemurkaan Allah semakin besar. Maka, dengan bersabar dan selalu bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan kemudahan. Allah berfirman:

"Itulah perintah Allah yang diturunkanNya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya". [ath Thalaq/65:5].

"Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". [Yusuf/12:90].

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar". [ath Thalaq/65:2].

Semoga uraian ini bisa menjadi peringatakan bagi kita, untuk terus membenahi segala amal baik. Yaitu dengan senantiasa jujur dalam perilaku dan ibadah, serta menjauhi dari segala dosa dan kenistaan. Wallahu a'lam bish-Shawab.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Fat-hul Bari. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[2]. Al Muwafaqat, asy Syatibi. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[3]. Al Fatawa al Kubra.
[4]. Al Mughni. Lihat Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[5]. Ighatsatul Lahfan. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[6]. Al Muwafaqat. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[7]. I'lamul Muwaqi'in, Ibnu Qayyim.
[8]. Al Mughni. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.
[9]. I'lamul Muwaqi'in, Ibnul Qayyim.
[10]. Contoh jual beli 'inah. Misalnya seseorang yang menjual sesuatu kepada pembeli dengan harga tempo. Kemudian sebelum lunas pembayarannya, orang itu (si penjual) membeli kembali barang yang telah dijualnya tersebut secara cash dengan harga lebih rendah dari pembelian tempo yang sebelumnya. (Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu`, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin,.
[11]. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu`, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin.
[12]. Ibid., hlm. 413.
[13]. Ibid., hlm. 409-410.

Orang Bodoh Dima'afkan?

Pertama : Menyikapi Manusia Menurut Zhahirnya.
Yaitu dengan berpedoman kepada lahiriyah orang tersebut. Jika secara lahiriyah seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, melaksanakan kewajiban shalat 5 kali sehari- semalam, berpuasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan lainnya, maka kita menyikapinya sebagai seorang muslim dan mukmin. Adapun isi hatinya kita serahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib.

Allah berfirman.

فَإِنْ تَابُوْا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ

Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. [At Taubah : 5].

Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali berkata, “Ayat ini menjelaskan, barangsiapa bertaubat, lalu beriman kepada Allah dan Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka darah dan hartanya terjaga, dan seseorang pun tidak pantas mengganggunya dengan membunuh atau mengepung. Hal itu meliputi orang yang melakukan dengan sebenarnya atau secara lahiriyah saja.” [1]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ

Aku diperintahkan (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan laa ilaaha illa Allah, jika telah mengatakan laa ilaaha illa Allah, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan haknya, sedangkan perhitungan mereka atas tanggungan Allah. Kemudian, beliau membaca (firman Allah yang artinya) : Sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. [Ghasyiyah : 21-22].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sedangkan perhitungan mereka atas tanggungan Allah," menunjukkan bahwa menghukumi seseorang di dunia ini ialah dengan apa yang ditunjukkan oleh lahiriyahnya. [2]

Demikian sebagian dalil tentang kaidah ini. Dalil-dalil lainnya dapat dilihat dalam kitab Riyadhus Shalihin, karya Imam Nawawi, bab Ijra’ Ahkamin Naas ‘Ala ADh Dhahir, Was Sara-iru Ilallah (Menghukumi manusia sesuai dengan dhahirnya, sedangkan isi hatinya diserahkan kepada Allah).

Oleh karena itulah Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah -di dalam aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah yang beliau riwayatkan dari imam Abu Hanifah dan lainnya- mengatakan,“Kami tidak menyatakan kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan, terhadap mereka (kaum muslimin) selama tidak nampak dari mereka sesuatupun tentang hal itu. Dan kami menyerahkan isi hati mereka kepada Allah Ta’ala.”

Lalu perkataan tersebut dikomentari oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi dengan perkataannya, “Karena sesungguhnya kita telah diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan lahiriyah (yang nampak), dan kita telah dilarang dari persangkaan dan mengikuti apa-apa yang tidak memiliki ilmunya.” [Minhah Al Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 173].

Kedua : Berdasarkan kaidah di atas, maka orang-orang yang tidak beragama Islam (baik mereka ahlul kitab : Yahudi, Nashrani, atau memeluk agama selain Islam : Hindu, Budha, dan lainnya, atau tidak memeluk agama sama sekali), maka di dunia ini dihukumi dan disikapi sebagai orang-orang kafir. Kita wajib meyakini kebatilan semua agama selain Islam. Meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan para pemeluknya, dan membenci mereka karena Allah, disebabkan kekafiran mereka. Hal itu termasuk mengingkari thaghut, yang merupakan salah satu rukun laa ilaaha illallah. Allah berfirman

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat. [Al Baqarah : 256].

Dia juga berfirman,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka,"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” [Al Mumtahanah : 4].

Dengan tegas Allah mengkafirkan ahlul kitab dan orang-orang musyrik di berbagai tempat dalam Al Qur’an. Antara lain Dia berfirman,

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهُُ وَاحِدُُ وَإِن لَّمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. [Al Maaidah : 73]

Barangsiapa tidak mengkafirkan orang-orang yang dikafirkan oleh Allah, maka hendaklah mengoreksi kembali aqidahnya. Ketika menyebutkan 10 perkara yang membatalkan Islam, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah antara lain menyatakan,“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat mereka.”

Ketiga : Sedangkan orang-orang yang dhahirnya Islam, jika pada mereka didapatkan unsur kemusyrikan atau kekafiran, maka tidak dikafirkan secara langsung. Dapat dikafirkan setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan tidak ada penghalang-penghalang kekafiran.

Syarat-syarat kekafiran yang dimaksud ialah : ilmu, qashd (sengaja, niat) dan ikhtiyar (sukarela, pilihan dan kemauan sendiri).

Adapun penghalang-penghalang kekafiran berupa hal-hal sebaliknya di atas, yaitu : kebodohan, tidak sengaja (keliru, lupa, salah memahami nash, dan semacamnya), dan terpaksa. [3]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak langsung mengkafirkan Mu’adz bin Jabal, ketika ia bersujud kepada beliau. Padahal bersujud kepada selain Allah merupakan kemusryikan. Hal itu karena Mu’adz tidak mengetahui, bahwa bersujud kepada beliau adalah kemusyrikan.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata, ketika Mu’adz datang dari Syam, dia bersujud kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Beliau bersabda,“Apa ini, wahai Mu’adz?!” Mu’adz menjawab,“Aku mendatangi kota Syam, aku mendapati mereka bersujud kepada uskup-uskup dan panglima-panglima perang mereka. Maka aku menginginkan dalam hatiku, agar kami melakukannya terhadap anda.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Janganlah kamu lakukan! Sesungguhnya jika aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku perintahkan isteri agar sujud kepada suaminya.” [HR Ibnu Majah no. 1853. Syeikh Al Albani mengumpulkan dan membicarakan jalan-jalan hadits ini dalam Irwa’ul Ghalil 7/55-58]

Demikian juga orang yang tertutup akalnya karena sangat gembira atau lainnya; tidak menjadi kafir ketika mengucapkan perkataan yang mengandung unsur kekafiran dengan tidak sengaja. Sebagaimana hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Sesungguhnya Allah lebih sangat gembira terhadap taubat hambaNya ketika dia bertaubat kepadaNya, daripada (gembiranya) salah seorang di antara kamu yang berada di atas kendaraannya (untanya) di sebuah tanah gersang yang tidak ada air. Lalu untanya itu kabur darinya. Padahal di atas unta itu terdapat makanan dan minumannya. Sehingga dia telah berputus-asa dari untanya tersebut. Lalu dia mendatangi sebuah pohon, kemudian berteduh di bawah naungannya, dia telah berputus-asa dari untanya tersebut. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba dia mendapatkan untanya berdiri di dekatnya, maka dia memegangi kendalinya, lalu berkata karena sangat gembiranya,“Wahai Allah, Engkau adalah hamba-ku, dan aku adalah Rabb-Mu.” Dia keliru (mengucapkan kalimat) karena sangat gembira. [4]

Dan dalil-dalil lainnya tentang masalah ini.

Dengan demikian kita mengetahui, bahwa "barangsiapa yang telah pasti keislamannya, maka keislaman tersebut tetap ada padanya, sehingga hilang dengan sesuatu yang meyakinkan".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Seseorang pun, tidaklah berhak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin, walaupun dia telah melakukan kekeliruan atau kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumen) atasnya dan jalan yang benar jelas baginya. Karena orang yang telah tetap keislamannya secara yakin, maka keislamannya itu tidak akan hilang darinya dengan keraguan. Bahkan keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat (kesamaran).” [Majmu’ Fatawa 12/465-466].

Beliau juga menyatakan,“Pengkafiran terhadap seseorang tertentu dan kebolehan membunuhnya, terhenti pada sampainya hujjah kenabian; yang barangsiapa menyelisihinya menjadi kafir. Karena tidaklah setiap orang yang bodoh terhadap sesuatu dari agamanya ini, lalu dia menjadi kafir.” [Ar Raddu ‘Alal Bakri, hal. 258].

Keempat : Bahwa siksaan Allah di dunia dan akhirat ditimpakan setelah kedatangan hujjah (argumen) Allah, berupa diutusnya rasul Allah. Dia berfirman,

وَمَاكُنَّا مُعَذَّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [Al Isra : 15]

Imam Ibnu Katsir berkata,“(Ayat ini) memberitakan keadilan Allah Ta’ala. Bahwa Dia tidak akan menyiksa seorangpun, kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dengan diutusnya para rasul kepadanya.”

Demikian juga firmanNya,

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [An Nisa : 165].

Ayat-ayat di atas dan yang semisalnya menunjukkan, bahwa Allah tidak akan menyiksa terhadap perbuatan kekafiran ataupun lainnya, sampai tegak hujjah kepada orang yang melakukan perbuatan itu. Tegaknya hujjah itu dengan terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan ketiadaan penghalang-penghalangnya.

Demikian pula dalil-dalil dari As Sunnah menunjukkan apa yang telah ditunjukkan oleh Al Qur’an.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi (Allah) yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun dari umat ini -baik Yahudi atau Nashrani- mendengar tentang aku, kemudian dia mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penduduk neraka. [5]

An Nawawi rahimahullah berkata,“Di dalam hadits ini terdapat dalil terhapusnya seluruh agama dengan risalah Nabi kita Muhammad n . Dan di dalam pemahaman hadits ini, bahwa orang yang tidak kesampaian dakwah Islam, maka dia ma’dzur (dima’afkan).” [6].

Maka jelaslah bahwa, di dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan udzur kepada orang-orang Yahudi dan Nashara yang tidak mendengar tentang beliau, sehingga mereka tidak wajib masuk neraka, sebagaimana orang-orang yang mendengar tentang beliau, tetapi tidak beriman kepada beliau, maka mereka wajib masuk neraka.” [7].

Ibnu Hazm rahimahullah berkata,“Maka benarlah, bahwasannya tidaklah seseorang menjadi kafir sehingga sampai kepadanya perkara (perintah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [8].

Oleh karena itulah orang-orang kafir yang tidak kesampaian dakwah yang dibawa oleh para Rasul, pada hari kiamat tidak langsung disiksa, tetapi mereka diuji. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Empat (jenis manusia) akan berhujjah (membela diri) pada hari kiamat : orang tuli yang tidak mendengar apa-apa, orang yang dungu, orang yang pikun, dan orang yang mati di zaman fatrah (tidak mendapati Rasul yang diutus).

Adapun orang yang tuli akan berkata,’Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak mendengar apa-apa.’

Orang yang dungu akan berkata,‘Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak paham sedikitpun, dan anak-anak kecil melempariku dengan kotoron hewan.’

Orang yang pikun akan berkata,’Wahai Rabb, sesungguhnya agama Islam telah datang, tetapi aku tidak paham sedikitpun.’

Dan orang yang mati di zaman fatrah akan berkata,’Wahai Rabb, tidak ada RasulMu yang mendatangiku.’

Maka mereka semua diambil perjanjian yang berisi, bahwa mereka semua benar-benar akan mentaatiNya. Kemudian mereka diperintahkan untuk memasuki neraka. Maka barangsiapa memasukinya, neraka itu menjadi dingin dan menyelamatkan. Dan barangsiapa yang tidak memasukinya, dia diseret ke dalamnya.” [9].

Kelima : Kita tidak boleh menyatakan, bahwa seseorang tertentu sebagai penduduk surga atau neraka, kecuali dengan nash (dalil wahyu) Al Qur’an dan As Sunnah.

Telah kami sampaikan, bahwa manusia itu disikapi dengan dhahirnya. Namun demikian kita tidak boleh menyatakan terhadap orang-orang tertentu –berdasarkan lahiriyah tersebut- sebagai penduduk neraka atau surga, kecuali berdasarkan wahyu. Karena hal itu termasuk perkara ghaib. Kita tidak mengetahuinya.

Kita dapat mengatakan, bahwa sepuluh sahabat yang ketika masih hidup mendapat berita gembira sebagai penduduk surga adalah sebagai penduduk surga. Karena hal itu disebutkan dalam hadits yang shahih. Tetapi kita tidak boleh menyatakan seseorang tertentu sebagai penduduk surga dengan tanpa dalil, walaupun secara lahiriyah padanya terdapat sifat-sifat keimanan. Termasuk perkataan sebagian kaum muslimin,“Syahid Fulan………….”

Demikian juga kita dapat mengatakan, bahwa Fir’aun dan Abu Lahab adalah penghuni neraka. Karena disebutkan dalam Al Qur’an. Juga ‘Amr bin Luhai Al Khuza’i sebagai penghuni neraka, karena disebutkan dalam hadits yang shahih. Tetapi kita tidak boleh mengatakan tentang seseorang tertentu sebagai penghuni neraka jika tanpa dalil, walaupun secara lahiriyah padanya terdapat sifat-sifat kekafiran.

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah berkata dalam aqidah Ahlis Sunnah yang beliau tuliskan, “Dan kami tidak menempatkan seorangpun di antara mereka (kaum muslimin) pada surga dan tidak menempatkan seorangpun di antara mereka (kaum muslimin) pada neraka.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah dengan menyatakan, “Yang beliau maksudkan, bahwa kita tidak mengatakan terhadap seseorang tertentu dari ahli kiblat (kaum muslimin), bahwa dia termasuk penduduk surga atau neraka, kecuali yang telah diberitakan oleh Ash Shadiq (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ).” [10].

Keenam : Telah kami sampaikan, bahwa kebodohan (ketiadaan ilmu) merupakan salah satu penghalang seseorang dikafirkan, sehingga pelakunya diampuni. Tetapi hal ini bukanlah berlaku secara mutlak. Ada perincian sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Ahlis Sunnah Wal Jama’ah.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Adapun pengkafiran, yang benar ialah :
1. Barangsiapa di antara umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (mencari) dan berniat terhadap al haq, lalu dia keliru, maka dia tidak dikafirkan. Bahkan kesalahannya diampuni.

2. Barangsiapa yang telah jelas terhadap apa yang dibawa oleh Rasul, lalu dia menentang Rasul setelah petunjuk jelas baginya, dan dia mengikuti selain jalan mukminin, maka dia kafir.

3. Dan barangsiapa yang mengikuti hawa-nafsunya, meremehkan dalam mencari al haq, dan berbicara dengan tanpa ilmu, maka dia bermaksiat lagi berdosa.” [11].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Terdapat perbedaan antara muqallid -orang tidak berilmu dan ikut-ikutan- yang mampu untuk mencari ilmu dan mengenal al haq, lalu dia berpaling dari al haq, dengan muqallid yang sama sekali tidak mampu melakukannya. Kedua golongan tersebut ada pada kenyataan.

Maka orang yang mampu tetapi berpaling, dia termasuk orang yang meremehkan dan meninggalkan kewajibannya, tidak ada ampunan baginya di sisi Allah.

Adapun orang yang tidak mampu bertanya dan mencari ilmu sama sekali, mereka ada dua kelompok.

Pertama : Orang yang menghendaki petunjuk, mementingkannya dan mencintainya, tetapi tidak mendapatkannya, dan tidak dapat mencarinya karena tidak ada yang membimbingnya. Hukum orang ini sama seperti orang-orang yang hidup di zaman fatrah, dan orang-orang yang tidak kesampaian dakwah.

Kedua : Orang yang berpaling, tidak ada kemauan terhadap al haq, dan tidak membicarakan dengan dirinya selain apa yang ada padanya sendiri.

Orang yang pertama akan berkata,“Wahai Rabb-ku, seandainya aku mengetahui Engkau memiliki agama yang lebih baik dari agama yang aku peluk, niscaya aku akan beragama dengan agamaMu itu, dan aku tinggalkan agama yang aku peluk. Tetapi aku tidak mengetahui kecuali agama yang aku peluk, dan aku tidak mampu (mendapatkan) agama yang lain. Itulah batas usahaku dan puncak pengetahuanku.”

Sedangkan orang kedua, dia ridha terhadap apa yang ada padanya. Tidak mengutamakan selain yang ada padanya, dan jiwanya tidak mencari yang lainnya. Maka tidak ada perbedaan, antara ketidak-mampuannya dengan keadaan mampunya (tersebut).

Kedua kelompok di atas sama-sama tidak mempunyai kemampuan. Tetapi kelompok yang kedua ini tidaklah harus diikutkan (hukumnya) dengan yang pertama. Karena terdapat perbedaan di antara keduanya.

Yang pertama, seperti orang yang mencari agama (yang haq) di zaman fatrah, tetapi dia tidak mendapatkannya, sehingga menyimpang darinya (agama yang haq) dalam keadaan lemah dan tidak berilmu setelah mengerahkan segenap usaha untuk mencarinya. Sedangkan yang kedua, seperti orang yang tidak mencarinya (agama yang haq). Bahkan dia mati di atas kemusyrikan. (Walaupun) seandainya dia mencarinya, niscaya tidak mendapatkannya.

Maka berbeda antara kelemahan orang yang sudah mencari, dengan orang yang berpaling. Hendaklah anda perhatikan masalah ini. Karena Allah akan menghukumi di antara hamba-hambaNya pada hari kiamat dengan hukumNya dan keadilanNya. Dia tidak akan menyiksa, kecuali setelah tegaknya hujjah terhadap orang itu dengan diutusnya para rasul. Tegaknya hujjah dengan diutusnya para rasul ini sudah terjadi terhadap seluruh manusia secara umum.

Tentang keadaan diri Si Zaid ataupun Si Amr; apakah telah tegak hujjah atau belum? Maka hal itu satu perkara antara Allah dengan hambaNya, yang tidak mungkin diketahui secara pasti. Tetapi yang wajib atas hamba adalah berkeyakinan, bahwa barangsiapa beragama selain agama Islam, maka dia kafir. Allah tidak akan menyiksa seorangpun, kecuali setelah tegaknya hujjah kepadanya dengan diutusnya para rasul. Ini secara umum. Adapun orang-orang tertentu diserahkan kepada ilmu Allah dan hukumNya, dalam hukum pahala dan siksa. Adapun hukum dunia, maka berlaku sesuai dengan perkara lahiriyah.” [12].
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin, karya Syeikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
[2]. Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin
[3]. Lihat Mujmal Masailil Iman Al ‘Ilmiyyah Fii Ushulil ‘Aqidah As Salafiyyah, karya bersama lima murid Syeikh Al Albani, Al Qawaidul Mutsla Fii Shifatillah Wa Asmaa-ihil Husna, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya
[4]. HR Bukhari, Muslim , dari Abu Sa’id Al Khudri
[5]. HR Muslim, dari Abu Hurairah
[6]. Syarh Nawawi
[7]. Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’, karya Syeikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili
[8]. Al Fashlu Fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal 3/302. Dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ Wal Bida’
[9]. HR Ahmad dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Syeikh Al Albani. Lihat Shahih Al Jami’ush Shaghir
[10]. Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyyah, hal. 426, Takhrij hadits Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
[11]. Majmu’ Fatawa
[12]. Thariqul Hijratain, karya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...