Searching

Hukum Asal Ibadah Adalah Terlarang


Banyak orang yang mencampuradukkan antara ibadah dengan yang lainnya, dimana mereka berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan memnggunakan dalil kaidah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh !

Kaidah tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tapi penempatannya bukan dalam masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-bentuk manfaat yang diciptakan Allah padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya.

Yusuf Al-Qaradhawi berkata dalam bukunya Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21) setelah menjelaskan sisi yang benar dalam memahami kaidah tersebut. “Demikian itu tidak berlaku dalam ibadah. Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang tidak diambil kecuali dengan cara wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits, “Barangsiapa yang mebuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan darinya, maka dia di tolak”.

Demikian itu karena sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada ibadah kecuali kepada Allah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan syari’at yang ditentukanNya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari idenya sendiri, siapa pun orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak.. Sebab hanya Allah yang berhak menentukan ibadah untuk taqarrub kepadaNya.

Oleh karena itu cara menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan, I’lam al-Muwaqqi’in (I/344) : “Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang dinyatakan dosa oleh Allah dan RasulNya bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Allah, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga tidak ada agama kecuali yang telah disyari’atkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih [1] hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya melalui lisan para rasulNya. Sebab ibadah adalah hak Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah (hal 112) berkata, “Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya, maka penempatannya hanya melalui syari’at”

Dalam Majmu Al-Fatawa, beliau berkata, “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Allah dan RasulNya, dan tidak boleh seorang pun yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Allah kecuai dengan dalil syar’i”.

Demikian yang menjadi pedoman generasi Salafus Shalih, baik sahabat maupun tabi’in, semoga Allah meridhai mereka.

Diriwayatkan oleh Nafi’ Radhiyallahu ‘anhu, “Seseorang bersin di samping Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Alhamdulillah wassalamu ‘ala Rasulih (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan kepada RasulNya)’. Maka Ibnu Umar berkata, “Dan saya mengatakan, Alhamdulillah wassalamu ‘ala Rasulillah. Tetapi tidak demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kami. Beliau mengajarkan agar kami mengatakan, “Alhamdulillah ‘ala kulli hal” (segala puji bagi Allah dalam segala hal) [2]

Dari Sa’id bin Musayyab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad (nama panggilan Sa’id bin Musayyab), apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?” Ia menjawab : “Tidak, tetapi Allah akan menyiksa kamu karena menyalahi Sunnah” [3]

Al-Alamah Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghalil (II/236) berkata setelah menyebutkan riwayat tersebut, “Ini adalah jawaban yang kuat untuk mematahkan argument ahlu bid’ah yang menganggap baik tumbuh suburnya bid’ah dengan alasan demi menghidupkan dzikir dan shalat. Mereka tidak senang kepada Ahlus Sunnah yang mengkritik perbuatan mereka dengan menganggap bahwa Ahlus Sunnah anti dzikir dan shalat!. Padahal hakikatnya Ahlus Sunnah mengingkari mereka itu adalah karena mereka menyalahi Sunnah dalam dzikir, shalat dan yang lainnya”

Sufyan bin Uyainah berkata, “Saya mendengar bahwa seseorang datang kepada Malik bin Anas Radhiyallahu ‘anhu lalu berkata, “Wahai Abu Abdullah (nama panggilan Malik), dari mana saya ihram?” Ia berkata, “Dari Dzulhulaifah, tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram” Ia berkata, “Saya ingin ihram dari masjid dari samping makam (nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Ia berkata, “Jangan kamu lakukan. Sebab saya mengkhawatirkan engkau tertimpa fitnah”, Ia berkata, “Fitnah apakah dalam hal ini? Karena aku hanya menambahkan beberapa mil saja!” Ia berkata, “Fitnah manakah yang lebih besar daripada kamu melihat bahwa kamu mendahului keutamaan yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sesungguhnya Allah berfirman, “Maka hendaklah orang –orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih [4], [5]

Dan betapa indahnya apa yang ditulis Imam Umar bin Abdul Aziz rahimahullah kepada sebagian gubernurnya ketika mewasiatkan mereka untuk menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Saya mewasiatkan kepdamu agar bertakwa kepada Allah, sederhana dalam melaksanakan perintahNya serta mengikuti sunnah RasulNya dan meninggalkan hal-hal baru yang dibuat orang-orang yang setelahnya dalam sesuatu yang telah berlaku sunnahnya dan cukupkanlah dengannya.

Ketahuilah, bahwa tidaklah seorang melakukan bid’ah melainkan telah datang sebelumnya dalil yang menyalahkannya dan telah datang pula pelajaran yang menunjukkan kebid’ahan perbuatan tersebut. Maka hendaklah kamu memegang teguh sunnah. Sebab sesungguhnya sunnah itu akan melindungimu dengan izin Allah.

Ketahuilah, bahwa orang yang melakukan sunnah akan mengetahui bahwa melanggarnya akan mengakibatkan kesalahan, tergelincir dan kedunguan. Sebab orang-orang yang dahulu menyikapinya dengan ilmu, dan dengan pandangan yang tajam, mereka menganggap cukup. Mereka adalah orang yang paling kuat dalam mengkaji, namun mereka tidak mencari-cari. [6]

Kesimpulannya, dalam pemahaman syari’at adalah bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah harus semata-mata berdasarkan perintah (tauqifiyah), dan tidak disyariatkan kecuali dengan nash yang ditentukan Allah sebagai hukumnya. Karena terjaminnya ittiba dari membuat bid’ah dan menolak kekeliruan dan hal yang baru diadakan. [7]

Diantara contoh amaliah yang menguatkan kaidah ini adalah pendapat Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi rahimahullah dalam tafsirnya (IV/401) ketika mendiskusikan tentang menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang yang telah meninggal. Beliau meyakini bahwa pahalanya tidak sampai, kemudian beliau berkata dalam menjelaskan alasan larangan tersebut, “Sebab demikian itu bukan amal mereka dan juga bukan usaha mereka. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kepada umatnya, tidak menganjurkannya dan tidak membimbing kepadanya dengan dalil maupun dengan isyarat. Dan tidak terdapat dalil tentang hal itu dari seorang sahabatpun, semoga Allah meridhai mereka. Jika hal itu baik niscaya mereka mendahului kita dengan amalan itu. Sesungguhnya masalah ibadah hanya terbatas pada nash dan tidak berlaku qiyas maupun pendapat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama fiqih dengan istilah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah mubah.
[2]. HR Tirmidzi, Hakim, Harits bin Usamah Al-Baghdadi dalam Musnadnya 200 (Bughiyyah Al-Bahits dan Al-Mazzi dalam Tahdzib Al-Kamal dengan sanad Hasan.
[3]. HR Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, Abdurrazzaq, Ad-Darimi dan Ibnu Nashr : 84 dengan sanad Shahih.
[4]. Qur’an surat An-Nuur : 63
[5]. HR Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqih, Abu Nu’aim dalam Al-hilyah, Al-Baihaqi dalam Al-Madhal, Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah dan Abu Syamah dalam Al-Ba’its yang disandarkan kepada Khallal
[6]. Al-Ibanah dan Syarah Ushul As-Sunnah
[7]. Marwiyyat Du’a Khatmil Qur’an Syaikh Bakr Abu Zaid

Berhukum Berdasarkan Apa Yang Diturunkan Allah Adalah Fardhu 'Ain


Kebanyakan harakah dan kelompok yang diberi label “ Islamiyah” pada dewasa ini telah menjadikan kalimat “Berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah” sebagai syi’ar (semboyan)nya. Betapa indahnya jika syi’ar (semboyan) tersebut sejalan dengan kenyataan (prkatek)nya. Sebab secara umum, syi’ar tersebut merupakan pokok agama yang paling mendasar dan merupakan pokok agama yang paling mendasar dan merupakan tujuan mengapa Allah menciptakan jin dan manusia. Dan hal terbesar (dari isi syi’ar di atas) adalah : Meyakini ke-Esaan Allah dalam hal peribadatan (artinya : Hanya Allah satu-satunya yang memiliki hak diibadahi,-pent) sesuai dengan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada rasul-rasulNya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melalui lisan Ya’qub ‘Alaihis salam.

“Artinya : Tidak lain hukum itu hanyalah hal (kepunyaan) Allah ; kepadaNya lah aku bertawakal, dan hanya kepadaNya saja orang-orang yang berserah diri bertawakal” [Yusuf : 67]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman melalui lisan Yusuf ‘Alaihis salam

“Artinya : Hukum itu tidak lain hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah (beribadah) kecuali hanya kepadaNya. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Yusuf : 40]

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman kepada penutup para nabiNya.

“Artinya : Maka putuskanlah hukum di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka” [Al-Maidah : 48]

Ibnu Katsir dalam tafsirnya  mengatakan:

“Maka manusia, baik arab maupun asing, baik buta huruf maupun pandai baca tulis, berdasarkan apa yang Allah turunkan kepadamu dalam Kitab yang agung ini –dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka- (artinya : jangan kamu ikuti) pendapat-pendapat mereka yang mereka istilahkan sendiri, sehingga dengan sebab itu mereka meninggalkan apa yang diturunkan Allah kepada para rasulNya”

Namun para harakiyun dan hizbiyun dengan ittiba-nya pada pendapat serta pemikiran mereka yang diberi label (pemikiran/pola fikir) Islami, telah mempersempit makna luas yang mecakup seluruh (makna) “berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah”. Mereka telah membatasinya hanya dalam fiqih mu’amalat, dan lebih khusus lagi berkaitan dengan mua’malah (sikap pergaulan) terhadap para penguasa. (Hal ini) karena mengekor kepada pemikiran ustadz Sayyid Quthub rahimahullah yang meyakini bahwa : “Keistimewaan sifat Uluhiyah Allah yang paling khusus ialah ke-RububiyahanNya ke-MahapemimpinNya, ke-SultananNya dank ke-Mahakuasaan hukumNya” [Fi Dzilal Al-Qur’an]

Keyakinan sang pemikir dan pengekor ini, datangnya dari kebodohan mereka terhadap makna kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illa Allah baik makna secara bahasa maupun makna secara syar’i. Akibatnya mereka mencampur adukkan antara makna Uluhiyyah dengan makna Rububiyah ke dalam keyakinan dan pengamalan. Semoga Allah mengampuni kita dan mengampuni mereka.

Ketika mereka keluar dari pola (jalur) berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah dalam masalah tauhid, merekapun keluar dari pola di atas dalam masalah syirik. Maka (dalam masalah syirik,-pen) mereka memperluas (radius)nya, karena mengekor kepada Sayyid Qutub rahimahullah, sehingga memasukkan ke dalam cakupan syirik, persoalan-persoalan yang sebenarnya sama sekali tidak syirik : (seperti persoalan) politik, kebiasaan, adat dan mode yang menurut persangkaan Sayyid Qutub rahimahullah bahwa mengikuti manusia dalam hal itu berarti : “Terjebak menjalankan hakikat kemusyrikan dalam maknanya yang paling khusus dan menyimpang dari hakikat syahadat Laa ilaha Ilaa Allah Muhammad Rasul Allah dalam maknanya yang paling khusus… sekalipun seorang hamba betul-betul tertuju kepada Allah semata dalam hal Uluhiyah, dan betul-betul beragama sejalan dengan syariat Allah dalam masalah wudhu’, shalat, puasa dan seluruh syi’ar Islam” [Rinciannya terdapat dalam Fii Dzilal Al-Qur’an]

Sebagaimana umumnya bid’ah, maka “tauhid dan syirik modern” ini telah membikin lupa para pemuda akan tauhid yang justru dibawa oleh setiap Rasul Allah, yaitu : meng-Esakan Allah dengan peribadatan (beribadah hanya kepada Allah saja, -pen), dan membikin lupa akan syirik yang dilarang oleh setiap Rasul Allah, yaitu mengagungkan petilasan-petilasan (tempat keramat), tempat-tempat ziarah dan kuburan-kuburan yang dijadikan masjid-masjid, baik dizaman dulu maupun di zaman sekarang.

Yang benar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah, bahwa berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah merupakan fardhu ain bagi setiap muslim, baik penguasa maupun rakyat biasa.

“Artinya : Dan setiap kamu adalah penanggung jawab, dan (masing-masing) akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya” [Muttafaq ‘Alaihi]

Masing-masing sesuai dengan tanggung jawab syar’iyahnya.

Yang benar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah : Berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah bersifat universal meliputi segala hal yang telah diwahyukan Allah kepada hamba dan utusan-Nya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ; untuk beliau jelaskan kepada manusia dan agar dengannya beliau putuskan hukum di antara mereka. Yang pertama, sebelum segala sesuatunya dimulai, adalah dalam hal aqidah (tauhid). Menyusul kemudian dalam hal ibadah. Selanjutnya (baru) dalam hal mu’amalah. Tidak sebaliknya, seperti dikhayalkan oleh para produser pola fikir “Islami” dan sekaligus penghancurnya.

Yang benar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah bahwa perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala berbeda-beda peringkatnya antara fardhu ain, fardhu kifayah dan sunnat. Dan bahwa larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala (juga) berbeda-beda peringkatnya antara dosa besar yang membinasakan dan dosa kecil yang ringan. (Dosa terbesar adalah syirik kepada Allah dalam hal ibadah, misalnya ; dengan cara menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang yang shalih sebagai masjid-masjid/tempat-tempat ibadah agar orang-orang memohon kepada kuburan-kuburan itu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah dan meminta syafa’at kepada Allah melalui kuburan-kuburan tersebut. Maha Tinggi Allah dari kemusyrikan yang demikian. Maha Tinggi Dia lagi Maha Besar).

Adalah termasuk tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah jika menyamakan antara yang fardhu dengan yang sunnat dalam (mengejawantahkan) perintah, dan jika menyamakan antara dosa besar dengan dosa kecil dalam (masalah) larangan.

Bahkan sesungguhnya termasuk berhukum dengan selain hukum Allah, memecah belah ummat dalam agama menjadi berpartai-partai dan berjama’ah-jama’ah berdasarkan manhaj dakwah masing-masing. Hal yang menyalahi jalan kenabian yang telah disyari’atlkan oleh Allah kepada semua rasulNya dan kepada semua umat para Rasul [1].

Kenyataan inilah yang (justeru) dialami oleh para harakiyun dan hihzbiyun (padahal semboyan mereka adalah berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah, tetapi kenyataannya tanpa disadari mereka adalah manusia-manusia yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah,-pen). Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan kepada mereka menuju jalan yang paling mendekati kebenaran. Shalawat serta Salam Allah semoga tercurah untuk hamba dan utusan Allah, dan untuk orang yang mengikuti Sunnahnya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabnya terhadap mereka” [Al-An’am : 159]

Hukum Razam Bagi Pezina

Pertanyaan
Seorang gadis –yang karena kekhilafannya- berzina dengan seorang laki-laki. Tetapi kemudian menyatakan sungguh-sungguh bertaubat dan memahami konsekwensi hukum dari perzinahan, yaitu dirajam. Sementara itu, dua tahun kemudian ada seorang laki-laki lain yang ingin menikahinya. Yang menjadi pertanyaan :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum rajam bagi pezina?
2. Siapakah yang berhak melakukan hukum rajam?
3. Bila sudah bertaubat dengan sebenar-benarnya, haruskah tetap menjalani hukum rajam?
4. Jika melangsungkan pernikahan dengan laki-laki lain, haruskah menceritakan tentang masa lalunya kepada calon suaminya?
5. Apakah gadis ini, masih dibolehkan berdakwah?
6. Bagaimana jika masyarakat mengetahui perihal masa lalunya yang telah ditutupinya itu?
7. Amalan apakah yang bisa menghapuskan dosa masa lalu (seperti zina ini)?
Yang masih menjadi kebingungan, apakah gadis itu tetap melangsungkan pernikahan dengan calon suaminya, atau bagaimana?

Jawaban
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Saudari, perlu kami tegaskan, hendaklah setiap muslimah selalu menjaga kehormatannya. Memperhatikan batasan pergaulan yang telah ditetapkan syariat, baik di dalam maupun di luar rumah. Jangan sampai terlalu percaya diri, lalu bergaul bebas dan bercampur baur dengan lawan jenisnya, baik ikhtilat atau ber-khalwat. Karena hal ini merupakan jalan-jalan menuju perzinahan. Allah telah melarang hal tersebut dalam firmanNya,

وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. [Al Isra’:32].

Larangan ini seharusnya membuat kita selalu berhati-hati terhadap perzinaan dan hal-hal yang mengantar kepadanya. Sehingga kita terhindar dari perkara yang menimpa saudari kita tersebut.

Sedangkan kepada gadis tersebut, hendaklah ia tetap melanjutkan pernikahan yang telah direncanakannya, dan jangan menceritakan keburukan masa lalunya kepada suami (calon suami) atau orang lain. Adapun perincian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat Saudari ikuti penjelasan di bawah ini.

Pertama . Maksud Hukum Rajam Dan Cambuk Bagi Pezina.
Zina merupakan dosa besar. Barangsiapa berbuat zina, maka hukumannya menurut agama Islam ialah sebagai berikut:

1. Jika pelakunya muhshan (pernah berjima’ dengan nikah yang sah), mukallaf (sudah baligh dan berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka dia dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, berdasarkan keumuman ayat 2 surat An Nur, dan perbuatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Atau cukup dirajam, tanpa didera, dan ini lebih baik, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu dan Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

2. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun. [1]

Dirajam yaitu dilempari batu sampai mati. Caranya, orangnya ditanam berdiri di dalam tanah sampai dadanya, lalu dilempari batu sampai mati.

Berikut ini diantara dalil tentang hukum dera (cambuk) dan rajam ini:

Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. [An Nur : 2]

Hal ini juga disebutkan dalam banyak hadits. Antara lain :

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ

Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, [2] yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam. [3]

Juga hadits di bawah ini:

عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ

Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata, Umar bin Al Khaththab berkata, -sedangkan beliau duduk di atas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam-, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa al haq, dan menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadanya. Kemudian diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan (hukum) rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat). Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada seseorang yang berkata, ‘Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam kitab Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang yang berzina, padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi, red.), atau terbukti hamil, atau pengakuan.” [4]

Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Duraril Bahiyyah,“Dan digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai dada.”

Kemudian Imam Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengomentari perkataan di atas,“Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai dadanya. Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim. Dan lainnya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat lubang untuk Ma’iz, kemudian beliau memerintahkan sehingga dia dirajam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah dalam kisah Ma’iz.” [5]

Kedua : Yang Melaksanakan Rajam.
Adapun yang berhak melaksanakan hukum di atas (cambuk dan rajam bagi pezina) ialah penguasa kaum muslimin, penguasa yang mampu menegakkan syari’at Allah. Karena hukum tersebut termasuk hudud [6], yang merupakan kewajiban penguasa. Jadi bukan hak sembarang orang.

Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhawayyan rahimahullah berkata,“Tidak (berhak) menegakkan had, kecuali imam (penguasa kaum muslimin) atau wakilnya; sama saja, apakah had itu karena hak Allah, seperti had zina. Atau karena hak manusia, seperti had tuduhan. Karena hal itu membutuhkan ijtihad dan tidak aman dari penyimpangan, maka wajib diserahkan kepadanya. Pada masa hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm, beliaulah yang menegakkan hudud. Demikian juga para khalifah setelahnya. Dan wakil imam (haknya) seperti imam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,’… Hai Unais, pergilah kepada wanita itu. Jika dia mengaku (berzina), rajamlah!’. Kemudian wanita itu mengaku (berzina), maka dia merajamnya. Beliau juga memerintahkan merajam Ma’iz, tetapi beliau tidak menghadirinya.” [7].

Menegakkan hudud merupakan hak imam. Ini merupakan ijma’ para ulama kaum muslimin. Akan tetapi terdapat pengecualian, yaitu bagi seorang tuan yang menegakkan had terhadap budaknya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا وَلَا يُثَرِّبْ ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَلْيَجْلِدْهَا وَلَا يُثَرِّبْ ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَلْيَبِعْهَا وَلَوْ بِحَبْلٍ مِنْ شَعَرٍ

Jika seorang budak wanita telah berzina, dan telah nyata zinanya, maka hendaknya (tuannya) mendera (mencambuknya), dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina lagi, maka hendaknya (tuannya) menderanya, dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina yang ketiga kali, hendaklah (tuannya) menjualnya, walaupun dengan seutas tali terbuat dari rambut. [8]

Namun bagaimanakah jika penguasa tidak menegakkan hudud?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimauhllah menyatakan,“Perkataan orang yang berkata,’Tidak berhak menegakkan hudud kecuali sulthan (penguasa) dan wakil-wakilnya’, adalah jika mereka berkuasa, melaksanakan keadilan… Demikian juga jika amir (penguasa) menyia-nyiakan hudud, atau tidak mampu menegakkannya. Maka tidak wajib menyerahkan hudud kepadanya, jika memungkinkan menegakkannya tanpa penguasa.

Yang pokok, sesungguhnya kewajiban-kewajiban ini ditegakkan sebaik-baiknya. Jika memungkinkan ditegakkan oleh satu amir (penguasa), maka tidak membutuhkan kepada dua amir. Dan apabila tidak dapat ditegakkan, kecuali dengan banyak orang dan dengan tanpa sulthan (penguasa), maka hal itu (dapat) ditegakkan, jika menegakkannya itu tidak menimbulkan kerusakkan yang lebih besar daripada tidak menegakkannya. Karena hal itu termasuk amar ma’ruf nahi mungkar. Maka, jika menegakkannya itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada penguasa maupun rakyat daripada tidak ditegakkan, maka kerusakan itu tidak dilawan dengan kerusakan yang lebih besar.” [9]

Dari perkataan Syaikhul Islam tersebut, beliau membolehkan ditegakkannya hudud oleh selain penguasa dengan tiga syarat. Pertama, penguasa tidak melaksanakan, atau tidak mampu. Kedua, orang yang menegakkannya mampu melakukan. Jika cukup satu orang, maka tidak membutuhkan dua orang. Jika membutuhkan lebih, maka ditegakkan oleh secara bersama. Ketiga, dalam menegakkan hudud, tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada tidak ditegakkannya.

Perkataan Syaikhul Islam ini dapat difahami sebagai berikut:
1. Hal itu jika dalam keadaan imam atau amir itu banyak. Maka, setiap imam (amir) itu wajib menegakkan hudud atas para pengikutnya (rakyatnya), tanpa melihat siapa yang paling berkuasa. Inilah yang dapat diterima, insya Allah.

2. Bahwa setiap orang berhak menegakkan hudud dan melakukan qishash.
Tetapi, kemungkinan ini tidak dapat diterima. Karena bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa hudud diserahkan kepada penguasa. Dan hal itu akan menimbulkan kekacauan serta kerusakan yang lebih besar. Sehingga syarat ketiga sebagaimana tersebut di atas tidak terpenuhi.

Oleh karena itu, mengomentari perkataan yang diriwayatkan Al Qaffal yang berbunyi: Tiap-tiap orang boleh melakukan hudud, maka Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,“Ini tidak ada apa-apanya.” [10]

Ketiga :Bila sudah bertaubat dari zina, apakah tetap harus dirajam?
Jika seseorang sudah bertaubat dari zina (atau pencurian, minum khamr, dan lainnya), dan urusannya belum sampai kepada penguasa Islam yang menegakkan syari’at, maka had zina (cambuk atau rajam) gugur dari orang yang bertaubat tersebut. Hal ini dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Firman Allah.

وَالَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَئَاذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَآ إِنَّ اللهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [An Nisa’:16].

فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Maidah:39]

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

Orang yang bertaubat dari semua dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa. [11]

Hadits dari Nu’aim bin Hazzal,

كَانَ مَاعِزُ بْنُ مَالِكٍ يَتِيمًا فِي حِجْرِ أَبِي فَأَصَابَ جَارِيَةً مِنَ الْحَيِّ فَقَالَ لَهُ أَبِي ائْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ بِمَا صَنَعْتَ لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ لَكَ وَإِنَّمَا يُرِيدُ بِذَلِكَ رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَخْرَجًا فَأَتَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ حَتَّى قَالَهَا أَرْبَعَ مِرَارٍ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ قَدْ قُلْتَهَا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَبِمَنْ قَالَ بِفُلَانَةٍ فَقَالَ هَلْ ضَاجَعْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ هَلْ بَاشَرْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ هَلْ جَامَعْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُرْجَمَ فَأُخْرِجَ بِهِ إِلَى الْحَرَّةِ فَلَمَّا رُجِمَ فَوَجَدَ مَسَّ الْحِجَارَةِ جَزِعَ فَخَرَجَ يَشْتَدُّ فَلَقِيَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ وَقَدْ عَجَزَ أَصْحَابُهُ فَنَزَعَ لَهُ بِوَظِيفِ بَعِيرٍ فَرَمَاهُ بِهِ فَقَتَلَهُ ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ هَلَّا تَرَكْتُمُوهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوبَ فَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَيْهِ

Dahulu Ma’iz bin Malik adalah seorang yatim di bawah asuhan bapakku. Lalu dia menzinahi seorang budak dari suku itu. Maka, bapakku berkata kepadanya,“Pergilah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beritahukan kepada beliau apa yang telah engkau lakukan. Semoga beliau memohonkan ampun untukmu.” Bapakku menghendaki hal itu karena berharap agar Ma’iz memperoleh solusi.
Maka Ma’iz mendatangi beliau dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.” Lalu beliau berpaling darinya.
Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka, tegakkanlah kitab Allah atasku.” Maka beliau berpaling darinya.
Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.” Sampai dia mengulanginya empat kali.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Engkau telah mengatakannya empat kali. Lalu, dengan siapa?”
Dia menjawab,“Dengan Si Fulanah.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau berbaring dengannya?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau menyentuh kulitnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau bersetubuh dengannya?” Dia menjawab,“Ya.”
Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya. Kemudian dia dibawa keluar ke Harrah. [12] Tatkala dia dirajam, lalu merasakan lemparan batu. Dia berkeluh-kesah, lalu dia keluar dan berlari. Maka Abdullah bin Unais menyusulnya. Sedangkan sahabat-sahabatnya yang lain telah lelah. Kemudian Abdullah mengambil tulang betis onta, lalu melemparkannya, sehingga dia membunuhnya. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakannya kepada beliau. Maka beliau bersabda,“Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya!?” [13]

Dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya?”, menunjukkan gugurnya had dari orang yang bertaubat.

Adapun jika seseorang telah bertaubat, lalu mendatangi penguasa Islam yang menegakkan had dan mengaku berbuat zina, serta memilih ditegakkan had padanya, maka had boleh ditegakkan (walaupun tidak wajib). Jika tidak, maka tidak ditegakkan. [14]

Keempat. : Wajibkah menceritakan tentang masa lalu kepada suami?
Tidak wajib. Bahkan jangan diceritakan keburukan masa lalu tersebut. Karena hal itu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang melakukan dosa secara terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk (hukum) melakukan dosa secara terang-terangan, yaitu seseoran yang melakukan perbuatan (dosa) pada waktu malam, dan Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi dia mengatakan,“Hai Fulan, tadi malam aku telah melakukan ini dan itu,” padahal Rabb-nya telah menutupinya pada waktu malam, tetapi pada waktu pagi dia membuka tabir Allah terhadapnya. [15]

Kelima : Berdakwah setelah berzina.
Tidak mengapa. Karena setelah bertaubat, maka seseorang itu seperti tidak memiliki dosa. Dan untuk berdakwah tidak disyaratkan bersih dari dosa.

Keenam : Bagaimana jika mereka mengetahui masa lalu tersebut?
Hendaklah bersabar, karena itu termasuk musibah.

Ketujuh : Amalan yang dapat menghapus dosa zina tanpa rajam.
Taubat, sebagaimana kami jelaskan di atas.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat kitab At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘Ala Ar Raudhah An Nadiyyah, karya Syaikh Al Albani, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan. Juga kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz.
[2]. Isyarat terhadap firman Allah surat An Nisa’ ayat 15, yaitu : Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepada mereka
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit
[4]. HR Bukhari, Muslim, dan lainnya
[5]. Lihat kitab At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘Ala Ar Raudhah An Nadiyyah.
[6]. Hudud, jama’ dari had. Yaitu : hukuman-hukuman yang telah ditetapkan syari’at dalam perkara kemaksiatan-kemaksiatan, untuk mencegah terulangnya kemaksitan-kemaksiatan tersebut. Seperti had zina, mabok, tuduhan, pencurian, dan lainnya
[7]. Manarus Sabil Fi Syarhid Dalil, Jum’iyyah Ihyaut Turats Al Islami.
[8]. HR Bukhari; Muslim; dari Abu Hurairah
[9]. Majmu’ Fatawa.
[10]. Lihat Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah.
[11]. HR Ibnu Majah no. 4250; dan lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud
[12]. Nama tempat di luar kota Madinah.
[13]. HR Muslim, dan lainnya.
[14]. Lihat Majmu’ Fatawa [15]. HR Bukhari dan Muslim

Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil

Sungguh sangat mengerikan kalau kita melihat pergaulan anak muda pada zaman sekarang. Norma dan aturan Islam hampir semuanya dilanggar. Dan para orang tuapun ikut andil. Karena tidak mau melarang anak-anaknya dari hal demikian. Bahkan ada diantara orang tua yang kurang paham agama, menganjurkan kepada anak-anak mereka agar meniru gaya bergaul orang barat yang hina. Para orang tua banyak yang tidak mendidik anak-anak dengan pendidikan Islam.

Akibat dari pergaulan gaya barat tersebut adalah tersebarnya perzinahan di mana-mana dan bukan lagi menjadi masalah tabu. Kita sering mendengar ada anak yang terlahir dari hasil hubungan di luar nikah. Bahkan untuk menutupi aib maksiat (baca: hamil di luar nikah) yang dilakukan justeru mereka menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Yaitu menikahkan kedua pelaku maksiat. Setelah si laki-laki menghamilinya, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil. Atau meminjam seseorang untuk menikahinya dengan dalih menutupi aibnya.

Apakah pernikahan seperti itu sah? Bagaimana keabsahan perwalian anak yang lahir ataukah sang anak tidak memiliki ayah ?
____________________________________________________________________________________

STATUS NIKAHNYA
Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat. [1]

Pertama : Dia dan si laki-lakinya taubat dari perbuatan zinanya. [2]
Ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

اَلزَّانِيْ لاَ يَنْكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلى الْمُؤْمِنِيْنَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. [3]

Syeikh Al-Utsaimin rahimahulah berkata, “Kita dapat mengambil satu hukum dari ayat ini. Yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahi laki-laki yang berzina. Artinya, seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh (bagi seseorang) menikahkannya kepada puterinya.” [4]

Apabila seseorang telah mengetahui bahwa pernikahan ini haram dilakukan, namun tetap memaksakannya dan melanggarnya, maka pernikahannya itu tidak sah. Dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. [5] Dan bila terjadi kehamilan maka anak itu tidak dinasabkan kepada laki-laki itu (dalam kata lain si anak tidak memiliki bapak). [6] Ini tentunya bila mereka mengetahui, bahwa hal itu tidak boleh. Apabila seseorang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal mengetahui telah diharamkan Allah k, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Karena menghalalkan perkara yang diharamkan Allah, telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bersama Allah Azza wa Jalla dalam membuat syari’at. Allah Azza wa Jalla berfirman.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?[7]

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan orang-orang yang membuat syari’at bagi hamba-hambanya sebagai sekutu. Berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum bertaubat adalah orang musyrik. [8] Namun bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, bila syarat yang kedua terpenuhi. [9]

Kedua : Harus beristibra’ (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl bila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan kandungannya. [10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَسْتَبْرِأَ بِحَيْضَةٍ

Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia melahirkan, dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra’ dengan satu kali haidl. [11]

Dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan. Dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.

Juga sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لاَ يَحِلُّ ِلامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيْ مَاءَه ُزَرْعَ غَيْرِهِ

Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dia menuangkan air (maninya) pada persemaian orang lain. [12]

Mungkin sebagian orang mengatakan anak yang dirahim itu terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainy dan hendak menikahinya. Maka jawabnya ialah sebagaimana dikatakan Al-Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh rahimahullah, “Tidak boleh menikahinya hingga dia bertaubat dan selesai dari ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya. Karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk, dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.” [13]

Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, "Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah bertaubat) ingin menikahinya, maka wajib baginya menunggu wanita itu beristibra’ dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah. Bila ternyata si wanita dalam keadaan hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya kecuali setelah melahirkan kandungannya. Sebagai pengamalan hadits Nabi n yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.” [14]

Bila seseorang tetap menikahkan puterinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu dengan satu kali haidl. Atau sedang hamil tanpa menunggu melahirkan terlebih dahulu, sedangkan dirinya mengetahu bahwa pernikahan seperti itu tidak diperboleh. Dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa hal itu diharamkan sehingga pernikahannya tidak diperbolehkan, maka pernikahannya itu tidak sah. Apabila keduanya melakukan hubungan badan maka itu termasuk zina, dan harus bertaubat kemudian pernikahannya harus diulangi bila telah selesai istibra’ dengan satu kali haidl terhitung dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.

STATUS ANAK HASIL HUBUNGAN DI LUAR NIKAH.
Bagaimana status anak hasil perzinaan tersebut? Padahal biasanya si wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang berzina dengannya. Kemudian si laki-laki itu merasa bahwa si anak itu sebagai anaknya. Sedangkan dia mengetahui kandungan itu hasil perzinaan dengan dia. Menurut syari’at benarkah yang seperti itu ?

Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) telah sepakat. Anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinahinya, menaburkan benih itu mengaku yang dikandung itu anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah,. Karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini sama saja, baik si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami. [15] Jadi anak itu tidak berbapak. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر

Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan) [16]

Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si isteri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy. Karena si suami atau si tuan menggaulinya (tidur bersamanya). Sedangkan makna hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan. [17]

Dikatakan di dalam kitab Al Mabsuth. Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka. Dia mengakui, bahwa anak ini merupakan hasil zina. Si wanita pun membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر

Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan) [18]

Tidak ada firasy bagi si pezina itu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina Maksudnya ialah tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu merupakan hak Allah Azza wa Jalla semata. [19]

Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam. [20]

Satu masalah lain. Yaitu bila wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra’ dengan satu kali haidl. Kemudian digauli, hamil dan melahirkan anak. Atau dinikahi sewaktu hamil. Kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah kita jelaskan dimuka (bahwa pernikahan itu tidak sah). Bagaimanakah status anak yang baru terlahir itu ?

Bila orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, (baik) karena taqlid kepada seseorang (ulama) yang membolehkannya, atau tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka anak yang terlahir karena pernikahan seperti itu tidak dinasabkan kepadanya. Sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita dimasa ‘iddahnya. Apabila mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah, atau karena tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ‘iddahnya. Maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya, padahal pernikahan pada masa ‘iddah itu batal (tidak sah) dengan ijma para ulama. Yang berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. [21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa. Beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahannya (sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya Dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui. Meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram, padahal sebenarnya haram (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).” [22]

Kita sudah mengetahui bahwa anak yang dilahirkan wanita dari hasil hubungan perzinaan itu bukan dinisbatkan sebagai anak si laki-laki yang berzina dengannya. Maka berarti.

1. Anak itu tidak berbapak.
2. Anak itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
3. Bila anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi walinya. Karena dalam pandangan Islam bukan bapaknya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا

Maka sulthan (Pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali. [23]

Kita berdo’a, semoga seseorang yang keliru menyadari kesalahannya dan bertaubat kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya. (Abu Sulaiman).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Minhajul Muslim
[2]. Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii, Fatawa Islamiyyah, Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’ah Al Muslimah.
[3]. An Nur : 3.
[4]. Fatawa Islamiyyah.
[5]. Ibid.
[6]. Ibid.
[7]. Asy-Syuuraa : 21.
[8]. Syaikh Al-Utsaimin di dalam Fatawa Islamiyyah.
[9]. Ibid.
[10]. Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii, Majmu Al Fatawa.
[11]. Lihat Mukhtashar Ma’alimis Sunan, Kitab Nikah, Bab Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al-Mundziriy berkata, “Di dalam isnadnya ada Syuraik Al-Qadliy, dan Al-Arnauth menukil dari Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish, bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al-Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.”( Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya.)
[12]. Abu Dawud, lihat ,Artinya:’alimus Sunan.
[13]. Fatawa Wa Rasail Asy-Syeikh Muhammad Ibnu Ibrahim.
[14]. Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah.
[15]. Al-Mabsuth, Asy-Syarhul Kabir, Al-Kharsyi 6/101, Al-Qawanin, dan Ar- Raudlah. dikutip dari Taisiril Fiqh.
[16]. Al-Bukhari dan Muslim.
[17]. Taudlihul Ahkam.
[18]. Al-Bukhari dan Muslim.
[19]. Al-Mabsuth.
[20]. At-Tamhid  dari At Taisir.
[21]. Al-Mughniy .
[22]. Dinukil dari nukilan Al-Bassam dalam Taudlihul Ahkam.
[23]. Hadits hasan Riwayat Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah

Yang Membatalkan Dan Mengurangi Kesempurnaan Islam

Hal-Hal Yang Membatalkan Islam
Dalam agama Islam ada hal-hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang apabila ia mengerjakannya. Ia juga berarti melakukan perbuatan syirik yang menghilangkan pahala amal dan akan kekal di Neraka. Allah tidak akan mengampuni dosanya kecuali ia bertaubat. Hal-hal tersebut adalah.

[1]. Berdo’a dan meminta kepada selain Allah, seperti kepada para nabi dan wali-wali yang sudah wafat, atau kepada mahluk hidup yang ghaib. Firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu berdo’a kepada selain Allah yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak (pula) dapat memberi madharat kepadamu, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik)” [Yunus : 106]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa mati dalam keadaan menyembah seorang sekutu, selain Allah, niscaya masuk neraka” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

[2]. Merasa kesal hatinya dengan tauhid dan enggan berdo’a kepada Allah serta meminta pertolongan kepada para rasul atau wali-wali yang sudah wafat, atau kepada makhluk hidup yang ghaib. Firman Allah tentang kaum Musyrikin.

“Artinya : Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut,kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati” [Az-Zumar : 45]

[3]. Menyembelih binatang untuk atau karena seorang rasul atau wali. Berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan sembelihlah (binatang)” [Al-Kautsar : 2]

[4]. Bernadzar untuk makhluk sebagai pendekatan dan penghambaan kepadanya. Padahal semestinya hanya untuk Allah saja. Firman Allah.

“Artinya : Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat. Karena itu terimalah (nadzar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Ali-Imran : 35]

[5]. Melakukan thawaf di sekeliling kuburan dengan niat ibadah. Karena thawaf hanya dilakukan di sekliling Ka’bah, berdasarkan firman Allah.

“Artinya : …. Dan hendaklah mereka berthawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)” [Al-Hajj : 29]

[6]. Tawakal dan berserah diri kepada selain Allah. Firman-Nya.

“Artinya : …. Maka bertawakkallah kepadaNya saja jika kamu benar-benar orang yang berserah diri” [Yubus : 84]

[7]. Ruku atau sujud dengan niat mengagungkan raja atau para pemimpin, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, kecuali yang melakukan hal itu bodoh (tidak tahu). Karena ruku dan sujud adalah ibadah untuk Allah saja.

[8]. Mengingkari salah satu rukun Islam, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Atau mengingkari salah satu rukun iman, yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir dan iman kepada taqdir yang baik dan yang buruk. Atau mengingkari hal-hal lain yang sudah jelas dalam agama.

[9]. Membenci Islam atau sebagian dari ajaran Islam yang sudah merupakan ijma’ para ulama,baik yang menyangkut masalah ibadah, muamalah, ekonomi atau akhlak. Firman Allah.

“Artinya : Yang demikian itu adalah karena sebenarnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an), lalu Allah menghapuskan pahala amal-amal mereka” [Muhammad : 9]

[10]. Berolok-olok dengan ayat Al-Qur’an, hadits shahih atau salah satu hukum Islam yang telah disepakati. Firman Allah.

“Artinya : Katakanlah: apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan rasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta ma’af, karena kamu telah kafir sesudah beriman …” [At-Taubah : 65-66]

[11]. Mengingkari Al-Qur’an, meskipun sedikit saja, atau hadits shahih. Ini dapat menyebabkan riddah (keluar) dari Islam apabila dilakukan dengan sadar dan sengaja.

[12]. Mencela Allah, menghujat Islam, menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau memeperolok keadaan beliau, atau mengkritik ajaran yang dibawanya. Itu semua menyebabkan kafir.

[13]. Mengingkari salah satu asma’, sifat atau af’al (perbuatan) Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, apabila dilakukan bukan karena tidak tahu atau karena ta’wil.

[14]. Tidak mengimani seluruh rasul yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan petunjuk kepada manusia, atau mengurangi jumlah mereka. Firman Allah.

“Artinya : Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya..” [Al-Baqarah : 285]

[15]. Memutuskan perkara dengan selain hukum Allah, dengan meyakini bahwa hukum Islam tidak sesuai untuk diterapkan, atau membolehkan berhukum dengan selain hukum Islam. Firman Allah.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]

[16]. Menjadikan selain Islam sebagai hakim (pemutus perkara), tidak rela atau menolak hukum Islam, atau merasa keberatan dengan hukum Islam. Firman Allah.

“Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuh hati” [An-Nisa : 65]

[17]. Memberikan hak membuat undang-undang dan hukum kepada selain Allah. Seperti system kediktatoran atau system lain yang membolehkan untuk menentukan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah. Firman Allah.

“Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan agama yang tidak diizinkan Allah untuk mereka..?” [Asy-Syuura : 21]

[18]. Mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah atau menghalalkan sesuatu yang diharamkanNya. Seperti menghalalkan zina atau riba bukan karena ta’wil. Firman Allah.

“Artinya : …. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” [Al-Baqarah : 275]

[19]. Percaya kepada ajaran-ajaran yang merusak Islam. Seperti : Komunisme, Atheisme, Freemasonry Yahudi, Sosialisme, Marxisme, Sekularisme, Nasionalisme yang lebih mengutamakan orang Arab non-Muslim daripada orang non-Arab yang muslim. Firman Allah.

“Artinya : Barangsiapa mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima sama sekali agamanya itu dan dia di akhirat termasuk orang yang rugi” [Ali-Imran : 85]

[20]. Mengubah agama dan pindah dari Islam ke agama lain. Firman Allah.

“Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya dan mati dalam keadaan kafir, mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat…” [Al-Baqarah : 217]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang mengubah agamanya maka ia harus dibunuh” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

[21]. Membantu orang Yahudi, Nasrani atau Kpmunis serta bahu membahu dengan mereka dalam melawan orang Islam. Firman Allah.

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi walimu. Mereka itu satu sama lain saling menjadi wali. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi walinya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” [Al-Maidah : 51]

[22]. Tidak mau mengkafirkan orang Komunis yang tidak percaya kepada Tuhan, atau orang Yahudi dan Nasrani yang tidak percaya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Allah sendiri telah mengkafirkan mereka. FirmanNya.

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli Kitab dan orang musyrik akan masuk Neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” [Al-Bayyinah : 6]

[23]. Pendapat sekelompok orang sufi tentang wihdatul wujud, yaitu bahwa apa yang ada di bumi ini adalah Allah. Sampai ada pemimpin mereka yang mengatakan ;

“anjing dan babi itu tiada lain
kecuali tuhan kita
dan Allah itu tiada lain
kecuali pendeta dalam gereja”

[24]. Berpendapat bahwa agama terpisah dari negara atau Islam tidak mempunyai teori politik. Sebab pendapat ini adalah pendustaan terhadap Al-Qur’an, Al-Hadits dan sirah (sejarah kehidupan) Nabi.

[25]. Berpendapat sebagaiaman yang dianut oleh sekelompok orang sufi bahwa Allah menyerahkan kunci-kunci semua urusan kepada tokoh-tokoh wali. Ini merupakan syirik dalam af’al (perbuatan) Allah dan bertentangan dengan firmanNya.

“Artinya “ Allahlah yang memiliki kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi…” [Az-Zumar : 63]

Hal-hal yang membatalkan keislaman ini serupa dengan hal-hal yang membatalkan wudhu’. Apabila seorang muslim melakukan salah satu hal tersebut, maka hendaklah ia memperbaharui keislamannya, meninggalkan hal yang membatalkannya dan bertaubat kepada Allah sebelum mati. Bila tidak demikian, maka akan sia-sia dan terhapuslah amalnya serta akan kekal di dalam Neraka Jahannam.

Allah berfirman.

“Artinya : Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” [Az-Zumar : 65]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengajarkan kepada kita agar berdo’a.

“Artinya : Ya Allah, kami memohon kepadaMu perlindungan dari perbuatan syirik apapun yang kami ketahui, dan kami memohon kepadaMu ampunan atas perbuatan (dosa) yang tidak kami ketahui” [Hadits Riwayat Ahmad, sanad hasan]

Hukum Merayakan Malam Isra' Mi'raj

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du,

Tidak diragukan lagi bahwa isra' mi'raj termasuk tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keagungan kedudukan beliau di sisiNya, juga menujukkan kekuasaan Allah yang Mahaagung dan ketinggianNya di atas semua makhlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. " [Al-Isra’: 1]

Telah diriwayatkan dari Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutawatir, bahwa beliau naik ke langit, lalu dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga mencapai langit yang ketujuh, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepadanya dan mewajibkan shalat yang lima waktu kepadanya. Pertama-tama Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkannya lima puluh kali shalat, namun Nabi kita tidak langsung turun ke bumi, tapi beliau kembali kepadaNya dan minta diringankan, sampai akhirnya hanya lima kali saja tapi pahalanya sama dengan lima puluh kali, karena suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Puji dan syukur bagi Allah atas semua nik'matNya.

Tentang kepastian terjadinya malam isra mi'raj ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits shahih, tidak ada yang menyebutkan bahwa itu pada bulan Rajab dan tidak pula pada bulan lainnya. Semua yang memastikannya tidak benar berasal dari Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian menurut para ahli ilmu. Allah mempunyai hikmah tertentu dengan menjadikan manusia lupa akan kepastian tanggal kejadiannya. Kendatipun kepastiannya diketahui, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan suatu ibadah dan tidak boleh merayakannya, karena Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya dan tidak pernah mengkhususkannya. Jika perayaannya disyari'atkan, tentu Rasulullah telah menerangkannya kepada umat ini, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, Dan jika itu syari’atkan, tentu sudah diketahui dan dikenal serta dinukilkan dari para sahabat beliau kepada kita, karena mereka senantiasa menyampaikan segala sesuatu dari Nabi mereka yang dibutuhkan umat ini, bahkan merekalah orang-orang yang lebih dulu melaksanakan setiap kebaikan jika perayaan malam tersebut disyari'’atkan, tentulah merekalah manusia pertama yang melakukannya.

Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling loyal terhadap sesama manusia, beliau telah menyampaikan risalah dengan sangat jelas dan telah menunaikan anamat dengan sempurna. Seandainya memuliakan malam tersebut dan merayakannya termasuk agama Allah, tentulah nabi tidak melengahkanya tidak menyembunyikan. Namun karena kenyataannya tidak demikian, maka diketahui bahwa merayakannya dan memuliakannya sama sekali bukan termasuk ajaran Islam, dan tanpa itu Allah telah menyatakan bahwa dia telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya dan telah menyempurnakan nimatnya serta mengingkari orang yang mensyariatkan sesuatu dalam agama ini yang tidak diizinkannya.

Allah telah berfirman.

“Pada Hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat Ku [Al-Ma’idah;3]

Kemudian dalam ayat ini disebutkan,

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah sekiranya ada ketetapan yang menentukan (dariAllah) tentulah mereka telah binasa. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih .” [Asy-Syura : 21]

Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits shahih peringatan terhadap bid’ah dan menjelaskan bahwa bid’ah-bid’ah itu sesat. Hal ini sebagai peringatan bagi umatnya tentang bahayanya yang besar dan agar mereka menjahukan diri dari melakukannya, diantaranya adalah yang disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ,dari Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,.

“Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."

Dalam riwayat Musliim disebutkan,

"Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."[1]

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir, ia mengatakan, bahwa dalam salah satu khutbah Jum'at Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.

Amma ba ‘du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat."[2]

An-Nasa'i menambahkan pada riwayat ini dengan ungkapan,

"Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka."[3]

Dalam As-Sunan disebutkan, dari Irbadh bin Sariyah , ia berkata, "Rasulullah mengimami kami shalat Shubuh, kemudian beliau berbalik menghadap kami, lalu beliau menasehati kami dengan nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata menetes dan hati bergetar. Kami mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tampaknya ini seperti nasehat perpisahan, maka berwasiatlah kepada kami. Beliau pun bersabda,

“Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, ta’at dan patuh, walaupun yang memimpin adalah seorang budak hitam. Sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup setelah aku tiada, akan melihat banyak perselisihan, maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perakara yang baru, karena setiap perkara baru itu adalah bid 'ah dan setiap bid'ah itu sesat'."[4]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini.

Telah disebutkan pula riwayat dari para sahabat beliau dan para salaf shalih setelah mereka, tentang peringatan terhadap bid'ah. Semua ini karena bid'ah itu merupakan penambahan dalam agama dan syari'at yang tidak diizinkan Allah serta merupakan tasyabbuh dengan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani dalam penambahan ritual mereka dan bid'ah mereka yang tidak diizinkan Allah, dan karena melaksanakannya merupakan pengurangan terhadap agama Islam serta tuduhan akan ketidaksempurnaannya. Tentunya dalam hal ini terkandung kerusakan yang besar, kemungkaran yang keji dan bantahan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." [Al-Ma'idah: 3]. Serta penentangan yang nyata terhadap hadits-hadits Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan perbuatan bid'ah dan peringatan untuk menjauhinya.

Mudah-mudahan dalil-dalil yang kami kemukakan tadi sudah cukup dan memuaskan bagi setiap pencari kebenaran untuk mengingkari bid'ah ini, yakni bid'ah perayaan malam isra' mi'raj, dan mewaspadainya, bahwa perayaan ini sama sekali tidak termasuk ajaran agama Islam. Kemudian dari itu, karena Allah telah mewajibkan untuk loyal terhadap kaum muslimin, menerangkan apa-apa yang disyari'atkan Allah kepada mereka dalam agama ini serta larangan menyembunyikan ilmu, maka saya merasa perlu untuk memperingatkan saudara-saudara saya kaum muslimin terhadap bid'ah ini yang sudah menyebar ke berbagai pelosok, sampai-sampai dikira oleh sebagian orang bahwa perayaan ini termasuk agama. Hanya Allah-lah tempat meminta, semoga Allah memperbaiki kondisi semua kaum muslimin dan menganugerahi mereka pemahaman dalam masalah agama. Dan semoga Allah menunjuki kita dan mereka semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan konsisten padanya serta meninggalkan segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas itu. Shalawat, salam dan berkah semoga dilimpahkan kepada hamba dan utusanNya, Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc Penerbit Darul Haq]
__________________________________________________________________________________

[1]. HR. Muslim dalam Al-Aqdhiyah.
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah.
[3]. HR. An-Nasa’I dalam Al-Idain.
[4]. HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah. Ibnu Majjah dalam Al-Muqaddimah .

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...