Searching

Bagaimana Mencintai Buah Hati Anda..?


SIKAP SEIMBANG DALAM MENCINTAI ANAK
Cinta kepada buah hati adalah fitrah manusia yang dibenarkan syari’at. Orang tua sewajibnya menempatkan cinta dan kasih sayangnya kepada anak secara benar. Sebab anak adalah amanah bagi orang tua. Mengekspresikan cinta kepada anak melalui didikan dan arahan yang benar, sebagai tindakan bijaksana dari orang tua yang betul-betul memahami hakikat cinta kepada anak. Membimbingnya agar tumbuh menjadi generasi yang lurus dan tangguh, mampu mengemban tugas-tugasnya sebagai hamba Allah dan sebagai bagian dari masyarakat. Sehingga mustahil dapat membimbing mereka dengan arahan dan didikan yang benar, jika kita tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang. Di sisi lain, tidak sedikit orang tua yang keliru mengejewantahkan rasa cinta dan kasih sayangnya sehingga justru melahirkan sikap manja, pengecut dan sederet sikap tercela lainnya pada anak. Hingga membuahkan petaka dan penyesalan di penghujungnya. Lalu bagaimanakah wujud cinta kita yang benar kepada anak?

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan agung yang telah memberikan contoh kepada kita. Beliau adalah orang yang begitu besar rasa kasih sayangnya terhadap anak-anak. Sejarah hidup Beliau telah menorehkan kumpulan petunjuk, bagaimana mewujudkan rasa cinta kepada anak, bagaimana mencurahkan cinta kepada anak secara seimbang dan proporsional. Hingga kita dan sang buah hati kesayangan menuai kebahagiaan di dunia dan akhirat, biidznillah. Itulah wujud cinta yang hakiki, sehingga akan membuahkan kesuksesan sejati.

Untuk itu, agar kecintaan dan perasaan kasih-sayang kita kepada anak seimbang dan benar sesuai dengan kaidah dan pedoman yang Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan, maka kita harus membangunnya, sebagaimana kaidah-kaidah berikut.

ALLAH DAN RASULNYA HARUS DIDAHULUKAN
Orang tua mencintai anak ada batasannya. Begitu juga anak mencintai bapak-ibunya ada batasannya. Yakni, seorang mukmin wajib mendahulukan cinta kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala macam kecintaan. Sehingga, cinta anak tidak boleh mengalahkan cinta Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang muslim harus mengutamakan perintah Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, tunduk terhadap ajaran agama serta menjauhi segala larangan syari’at.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى أكُوْنَ أحَبَّ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أجْمَعِيْنَ.

Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya. Tidaklah salah seorang diantara kalian beriman, hingga aku lebih dicintai daripada bapaknya, anaknya dan semua umat manusia. [Muttafaqun’alaih].

Imam Tirmidzi meriwayatkan kisah Salman bin Amr bin Al Ahwas Radhiyallahu 'anhu. Salman menuturkan,”Bapakku telah bercerita kepadaku, bahwa ia ikut hadir pada haji Wada’ bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah memuji dan menyanjung Allah Azza wa Jalla serta memberi peringatan dan nasihat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Janganlah orang tua melakukan kejahatan kepada anak, dan begitu juga anak jangan berbuat kejahatan kepada orang tua’.”

Pernah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla.

وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ عَظِيمُُ

Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan. (Al Anfal:28), ketika melihat Hasan bin Ali terpeleset sementara ia seorang bocah kecil, dan ketika itu Rasulullah sedang berkhutbah lalu turun untuk menggendongnya.[1]

JANGAN BAKHIL, BODOH DAN MENJADI ORANG PENGECUT KARENA ANAK
Dari Khaulah binti Hukaim, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar dari rumah sedang menggendong salah seorang cucunya, maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

والله إنَّكُمْ لَتُبَخِّلُوْنَ وَتُجَبِّنُوْنَ وَتُجَهِّلُوْنَ وَ إنَّكُمْ لَمِنْ رَيْحَانِ الله.

Dan demi Allah, sesungguhnya kalian membuat bakhil, membuat pengecut dan membuat bodoh (orang tua). Dan kalian laksana bunga raihan karunia dari Allah.[2]

Dari Hakim dari Al Aswad bin Khalaf dan Thabrani dari Khaulah binti Hukaim berkata, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memegang tangan Al Hasan, lalu Beliau menciumnya seraya Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ مَجْهَلَةٌ مَخْزَنَةٌ.

Sesungguhnya anak itu membuat bakhil, pengecut, bodoh dan menyusahkan (orang tua).[3]

Ada beberapa komentar ulama tentang makna hadits di atas. Zamakhsyary berkata,”Anak menjatuhkan orang tua kepada sifat bakhil dalam masalah harta benda dengan alasan masa depan anak. Orang tua menjadi bodoh karena sibuk mengurus anak hingga lalai mencari ilmu. Orang tua menjadi pengecut hingga takut terbunuh, khawatir nanti anaknya terlantar. Dan orang tua dibuat sedih karena berbagai masalah dan problem yang timbul dari anak. Adapun sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Kalian laksana bunga raihan karunia dari Allah”, karena orang tua mencium dan memeluk anak, bagaikan mencium bunga raihan yang ditumbuhkan Allah.” [4]

Dan obat dari semua sifat tercela tersebut, baik bakhil, pengecut dan bodoh, adalah dengan berpegang teguh kepada manhaj Islam, yaitu manhaj yang telah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada para sahabatnya, pendidikan yang dibangun di atas kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ketaatan secara total.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa ada seseorang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, ”Sesungguhnya saya dalam keadaan susah”. (Kemudian) Beliau menyuruh untuk menemui salah seorang isterinya, ia berkata,”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, tidak ada sesuatu dalam rumahku, kecuali air”. Lalu Beliau menyuruh untuk menemui isteri yang lain, dan ia mengatakan hal yang sama. Tetapi semua juga mengatakan seperti itu. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa bisa menyambut tamu, Allah Azza wa Jalla akan merahmatinya.” Kemudian ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang bernama Abu Thalhah berkata, ”Saya, wahai Rasulullah,” Maka ia mengajak tamu ke rumahnya, dan Abu Thalhah berkata kepada isterinya,”Apakah engkau punya makanan?” Isterinya menjawab,”Tidak, kecuali makanan untuk anak-anak.” Ia berkata, ”Hiburlah dan tidurkan mereka. Dan bila tamu kita datang, maka tampakkan bahwa kita punya makanan. Dan bila tamu kita sedang makan, maka bangkitlah ke arah lampu pura-pura ingin membenahi, lalu matikanlah lampu itu.” Isterinya pun mengerjakan perintah itu. Setelah tamu tersebut makan, maka Abu Thalhah semalam bersama isterinya tidur menahan lapar. Lalu pada pagi hari ia datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau bersabda, ”Sungguh, Allah kagum atau tertawa terhadap tindakan fulan dan fulanah, maka turunlah firman Allah.” [5]

وَيُوْسِرُو نَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَا صَةٌ

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)

Dalam riwayat lain Nabi bersabda.

قَدْ عَجِب الله مِنْ صَنِيْعِكُمَابِضَيْفِكُمَا

Allah sangat kagum terhadap sikap kalian berdua terhadap tamu kalian.

Inilah obat penyakit bakhil yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat. Maka semestinya kita meniru dan mengikuti jejak mereka, karena mereka adalah sebaik-baik panutan dalam pendidikan yang benar.

Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata, ”Suatu hari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami agar bersedekah. Dan ketika itu, aku sedang memiliki harta yang sangat banyak. Maka aku berkata,’Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar’. Lalu aku membawa separuh hartaku untuk disedekahkan. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,”Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Aku menjawab,”Aku tinggalkan untuk keluargaku semisalnya”. Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,”Wahai, Abu Bakar. Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Ia menjawab,”Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.” Maka aku (Umar) berkata,”Aku tidak akan bisa mengunggulimu selamanya.” [6]

Inilah perlombaan dalam kedermawanan, cinta sedekah dan lebih mengutamakan orang lain. Maka ajarilah anak-anak kita di atas ajaran kebaikan, dan janganlah menjadikan cinta kepada anak membuat kita mengalahkan cinta Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

SABAR TERHADAP COBAAN DARI ANAK
1. Sabar atas cobaan ketika anak sakit.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ يَنْزِلُ بِالْمُؤْمِنِ وَ الْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّي يَلْقَي الله وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيْئَةٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِمَالِكٍ: وَمَا يَزَالُ الْمُؤْمِنُ يُضَارُّ فِي وَلَدِهِ وَحَامَتِهِ حَتَّي يَلْقَي الله وَلَيْسَتْ لَهُ خَطِيْئَةٌ.

Tidaklah musibah terus menimpa terhadap seorang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan pada dirinya, anaknya dan harta bendanya hingga nanti bertemu Allah tidak tersisa kesalahan sama sekali. Dalam sebagian riwayat imam Malik: Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah pada anaknya dan sanak kerabatnya hingga nanti bertemu Allah tidak tersisa kesalahan sama sekali. [7]

Abu Dawud meriwayatkan dari Muhammad bin Khalid As Sulami dari bapaknya dari kakeknya, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الْعَبْدَ إذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنَ الله منزلة فَلَمْ يَبْلُغْهَا ابْتَللاَهُ الله تَعَالَى فِي جَسَدِهِ أوْ فِي مَالِهِ أوْ فِي وَلَدِهِ.

Sesungguhnya, apabila seorang hamba ingin mendapatkan kedudukan tinggi dari sisi Allah sementara tidak sampai, maka Allah akan menimpakan musibah pada jasadnya atau harta bendanya atau anaknya”.

Dalam riwayat lain disebutkan: Kemudian Allah memberi kesabaran hingga sampai kepada derajat yang diinginkan oleh Allah.

2. Sabar menghadapi kematian anak.
Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا {80} فَأَرَدْنَآ أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا

Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). [Al Kahfi: 80, 81].

Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata,”Kecintaan kedua orang tua kepada anaknya akan membuat mereka mengikuti anak dalam kekufuran.”

Abu Qatadah berkata,”Ketika anak terlahir, kedua orang tua bergembira. Dan ketika anak terbunuh, mereka sedih. Sehingga bila anak tersebut tetap hidup, maka akan menjadi sumber kehancuran bagi orang tua. Hendaknya kedua orang tua bersabar dan menerima ketentuan takdir Allah Azza wa Jalla, karena putusan Allah Azza wa Jalla atas seorang mukmin dalam hal yang tidak menyenangkan, mungkin lebih baik daripada dalam hal yang menyenangkan hati.”

Dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ الله لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي؟ فَيَقُوُلُوْنَ: نَعَمْ فَيَقُوْلُ: قَبَضْتُمْ ثَمْرَةَ فُؤَادِهِ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ. فَيَقُوْلُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَكَ. فَيَقُوْلُ: اُبْنُوْا لِعَبْدِي بَيْتاً فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوْهُ بَيْتَ الْحَمْدِ.

Jika putera seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada Malaikat,”Kalian telah mengambil putera hambaku?” Mereka berkata,” Ya.” Allah berfirman,”Kalian telah mengambil buah hati hambaku?” Mereka berkata,”Ya.” Allah berfirman,”Apa yang diucapkan oleh hambaku?” Mereka berkata,”Ia memujiMu dan mengembalikan kepadaMu.” Maka Allah berfirman,”Bangunkanlah rumah di surga, dan berilah nama dengan Baitul Hamd.” [8]

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk rumah dan bertemu dengan anak Beliau, Ibrahim, maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menaruh kasihan kepadanya sementara kedua matanya berlinang air mata. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, ”Wahai, Rasulullah. Mengapa engkau menangis?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Wahai, Ibnu Auf. Ini adalah rahmat, kemudian diikuti dengan yang lainnya.” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إلَّا مَا يَرْضَي رَبُّنَا إنَّا بَفِرَاقِكَ يَا إبْرَاهِيْمُ لَمَحْزُوْنُوْنَ.

Mata melelehkan air mata, hati bersedih, namun kita tidaklah berucap kecuali dengan sesuatu yang membuat ridha Rabb kami dan sesungguhnya kami sangat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.

Ibnu Hajar Al Asqalani membawakan komentar tentang hadits di atas: Ibnu Baththal dan ulama selain dia berkata: ”Hadits di atas menjelaskan tangisan yang mubah. Juga kesedihan yang diperbolehkan, yaitu dengan linangan air mata dan kesedihan hati tanpa harus dibarengi dengan perasaan tidak terima dan benci terhadap keputusan Allah Azza wa Jalla. Demikian itu makna yang paling jelas dalam hadits tersebut. Dalam hadits di atas, juga terdapat anjuran untuk mencium, memeluk anak, menyusui bayi, menjenguk anak kecil yang sedang sakit, menghadiri orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, menyayangi anak kecil dan keluarga, dan boleh mengabarkan kesedihan, walaupun bila bisa menyembunyikannya itu lebih baik. Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang lain, karena ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan anaknya, anak tersebut belum faham pembicaraan karena dua hal: yang pertama, karena dia masih sangat kecil, dan yang kedua, karena ia sedang menghadapi sakaratul maut. Apabila yang diinginkan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini adalah semua orang, maka tangisan tersebut tidak termasuk dalam jenis tangisan yang dilarang”.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda.

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ لَمْ يَبْلُغُوْا الحنث إلاَّ أدْخَلَهُ الله اْلْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إيَّاهُمْ.

Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga anakanya yang belum mencapai umur baligh, melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam surga karena karunia dan rahmatNya kepada mereka.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

لاَ يَمُوْتُ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَا تَمَسُّهُ النَّارُ إلَّا تِحْلَةُ الْقَسَمِ.

Tidaklah seorang muslim tiga anaknya meninggal dunia tidak akan terkena neraka, kecuali hanya sekedar penebus ketentuan. [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَمُوْتُ لإحْدَاكُنَّ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبُهُمْ إلَّا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ. وَاثْنَانِ

Tidaklah salah seorang di antara kalian tiga anaknya meninggal dunia lalu bersabar, kecuali ia masuk surga. Dan dua anak juga. [HR Bukhari dan Muslim].

Allah Azza wa Jalla juga akan memberi penghargaan kepada seorang mukmin, berupa pertemuan di surga dengan anak cucunya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآأَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [Ath Thur:21].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa anak kecil lalu berkata, ”Wahai, Rasulullah. Berdo’alah untuknya, karena aku menguburkan tiga anak.” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, ”Engkau telah memasang tirai yang kuat dari api neraka. Ia memanggil di pintu surga, lalu diantara mereka yang bertemu dengan bapaknya lalu memegang baju orang tuanya dan tidak dilepaskan hingga memasukkan ke dalam surga.” [HR Muslim].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami tidak mampu bertemu denganmu di suatu majlis, maka berilah janji waktu pada suatu hari agar kami bertanya tentang agama?” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda,”Kita akan bertemu di rumah fulan.” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam datang pada hari yang telah dijanjikan dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَا مِنْكُمْ امْرَأةٌ يَمُوْتَ لَهَا ثَلَاثٌ مِنَ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبُهُمْ إلَّا دَخَلَتْ الْجَنَّةَ. قاَلَتِ امْرَأةٌ وَاثْناَنِ قَالَ: وَاثْناَنِ.

Tidaklah salah seorang wanita di antara kalian tiga anaknya meninggal dunia lalu bersabar berharap pahala, kecuali ia masuk surga. Seorang wanita bertanya,”Bila yang meninggal dunia dua anak?” Beliau bersabda,”Dan dua anak juga.” [HR Muslim].

Kepada saudaraku kaum muslimin, para orang tua sekaligus murabbi (pendidik) generasi umat......, janganlah meremehkan kebaikan yang bisa kita lakukan, meskipun hanya kecil sekalipun. Marilah kita mencurahkan perhatian untuk berbuat yang sebaik-baiknya bagi anak-anak kita. Semoga Allah memudahkan dan meringankan langkah kita untuk menggapai keridhaanNya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Tirmidzi.An Nasa’i dari hadits Buraidah tentang Hasan dan Husain. Tirmidzi berkata,”Ini hadits hasan gharib.”
[2]. Riwayat Imam Ahmad..
[3]. Riwayat Ibnu Majah Shahihul Jami’.
[4]. Manhaj Tarbawiyyah Nubuwah Lithafal.
[5]. HR Bukhari Muslim
[6]. Riwayat Tirmidzi Hakim dalam Mustadrak dan dia berkata: Shahih.
[7]. Dikeluarkan Tirmidzi Ahmad Shahihul Jami’ dan di dalam Ash Shahihah
[8]. Riwayat Tirmidzi dan dia berkata: “Hadits hasan shahih.”; Jami’ush Shaghir Ash Shahihah.
[9]. Yaitu ketentuan Allah dalam firmannya. Lihat Fathul Bari.

Buah Hati, Antara Perhiasan Dan Ujian Keimanan


ANAK SEBAGAI PERHIASAN DUNIA
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada manusia pilihan Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat keluarga dan para pengikutnya dengan baik hingga hari akhir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi sebagai perhiasan bagi kehidupan dunia, termasuk di dalamnya adalah harta dan anak-anak. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). [Ali Imran:14].

Anak merupakan karunia dan hibah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai penyejuk pandangan mata, kebanggaan orang tua dan sekaligus perhiasan dunia, serta belahan jiwa yang berjalan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalah adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik menjadi harapan. [Al Kahfi:46].

Dan diantara bentuk perhiasan dunia adalah bangga dengan banyaknya anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبُُ وَلَهْوُُ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرُُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُُ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ

Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. [Al Hadid:20].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ

Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penyayang. Karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak. [HR Nasa’i].

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ, وَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Nikah adalah sunnahku dan barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukan termasuk golonganku. Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penuh kasih sayang. Karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak pada hari kiamat. [HR. Nasa’i]

Seorang yang bijak, jika sudah mengetahui bahwa anak merupakan perhiasan, tentunya ia akan menjaga perhiasan tersebut sebaik-baiknya. Yakni dengan membekali mereka dengan pendidikan yang baik. Hingga mereka betul-betul menjadi penyejuk pandangan mata, memiliki keluhuran budi pekerti, akhlak mulia dan sikap ksatria.

Hal ini adalah perkara yang wajib atas setiap orang tua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. [At Tahrim:6].

Cukuplah sebagai tanda jasa dan pujian bagi pendidik, bahwa seorang hamba akan meraih balasan pahala yang besar setelah wafatnya dan masa umurnya habis serta habis masa hidupnya.

Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا مَاتَ اْلإنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أوْ عِلْمٌ يَنْتَفِعُ بِهِ أوْ وَلَدٌ صَالحٌِ يَدْعُوْ لَهُ.

Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendo’akannya. [1]

Jadi, seorang pendidik akan meraih derajat yang tinggi, pahala berlipat ganda dan meninggalkan pusaka yang mulia di dunia bagi anak cucunya.

Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي اْلجَنَّةِ, فَيَقُوْلُ: أَنَّي لِي هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ.

Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, maka ia berkata,”Dari manakah balasan ini?” Dikatakan,” Dari sebab istighfar anakmu kepadamu”.[2]

Begitu pula dia akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan kerabatnya sebagai karunia dan balasan yang baik dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآأَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [Ath Thur:21].

ANAK SEBAGAI FITNAH DUNIA
Anak, selain sebagai perhiasan dan penyejuk mata, juga bisa menjadi fitnah (ujian dan cobaan) bagi orang tuanya. Ia merupakan amanah yang akan menguji setiap orang tua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتُصْفِحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ {14} إِنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَاللهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. [At Taghabun:14,15].

Firman Allah di atas dengan sangat tegas menandaskan, anak bisa menjadi fitnah dunia bagi kita. Ibarat permata zamrud yang wajib kita pelihara. Maka berhati-hatilah, janganlah kita terlena dan tertipu sehingga kita melanggar perintah Allah Azza wa Jalla dan menodai laranganNya. Jangan sampai anak kita menjadi penyebab turunnya murka dan bencana Allah Azza wa Jalla pada diri kita. Allah Azza wa Jalla befirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ , وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ عَظِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan RasulNya, dan juga janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu padahal kamu mengetahui. Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. [Al Anfal:27, 28].

Berkenaan dengan firman Allah Azza wa Jalla di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,”Allah Ta’ala memerintahkan para hambaNya yang beriman, agar mereka menunaikan amanah yang diembankan kepada mereka, baik berupa perintah-perintahNya maupun larangan-laranganNya. Sesungguhnya amanah adalah hal yang pernah Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian dipikullah amanat tersebut oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh. Maka barangsiapa yang menunaikan amanah tersebut, ia berhak meraih pahala dan ganjaran dari Allah. Adapun orang yang menyia-nyiakan amanah tersebut, ia berhak mendapat siksa yang pedih, dan ia menjadi orang yang berkhianat terhadap Allah dan RasulNya serta amanahNya. Dia telah menurunkan derajat dirinya sendiri dengan sifat tercela, yakni khianat. Dan telah telah melenyapkan dari dirinya kesempurnaan sifat, yaitu sifat amanah.” [3]

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

يَآأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لاَيَجْزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلاَمَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُورُ

Hai manusia, bertawaqalah kepada Rabb-mu, dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaithan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah. [Luqman:33].

Dalam realita, mungkin kerap kita saksikan, para orang tua bekerja membanting tulang tak kenal lelah demi sang anak. Mencurahkan segenap upayanya, semata demi kebahagiaan anak. Dari sini dapat kita fahami, betapa anak mampu menggelincirkan orang tua dari jalan kebenaran, melalaikan mereka dari akhirat, jika mereka tidak mendasari segala upaya tersebut untuk meraih ridha Allah.

Sebagian orang mungkin berasumsi, orang tua yang beruntung adalah yang berhasil menyekolahkan anaknya sampai meraih gelar doktor, insinyur dan seabrek titel dan gelar lainnya. Mungkin asumsi ini benar, jika ditilik dari satu sisi saja. Namun ada satu hal penting yang harus diperhatikan oleh orang tua, bahwa keberhasilan mendidik anak serta kebahagiaan hidup tidak hanya terletak pada gelar sarjana dan segala fasilitas dunia lainnya. Anak juga membutuhkan pendidikan rohani dan bimbingan religi, agar mereka kelak tumbuh menjadi pribadi yang seimbang, mengerti tugasnya sebagai hamba Allah Azza wa Jalla, juga memahami kedudukannya sebagai anak dan fungsinya sebagai bagian dari umat. Alangkah baiknya jika kita memiliki anak bergelar doktor sekaligus muwahhid. Betapa bahagianya orang tua yang memiliki anak bergelar arsitek yang mu’min dan shalih. Sehingga ilmu mereka bisa bermanfaat untuk kemashlahatan umat.

Oleh karena itu, setiap orang tua wajib mengetahui perkara-perkara yang telah Allah wajibkan kepada mereka berkaitan dengan anak-anak. Sehingga dapat menjaga amanah yang berharga ini.

Diantara yang bisa menebus dosa akibat fitnah yang ditimbulkan dari anak adalah puasa, shalat dan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim serta Tirmidzi dari Hudzaifah dalam hadits yang panjang, beliau berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أهْلِهِ وَمَالِهِ وَ وَلَدِهِ وَنَفْسِهِ وِجَارِهِ يُكَفَّرُهَا: الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلأمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ.

Fitnah seseorang dari keluarganya, hartanya, anaknya, dirinya dan tetangganya ditebus dengan puasa, shalat, sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar. [Muttafaqun’alaih]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan karunia anak yang shalih, yang membantu dalam ketaatan dan menjadi pengingat dari kelalaian, serta memberi nasihat ketika lupa dan luput dari ajaran Islam. Wallahu waliyyut taufiq.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
[2]. Shahih Sunan Ibnu Majah, dan dikeluarkan Ahmad di dalam Musnad.
[3]. Taisir Karimir Rahman
Music Comments Pictures
House Mp3 Islami

Bimbo_Rindu Kami PadaMu

Bimbo_Sajadah Panjang

Maher Zain_Thank You Allah

Maher Zain_Thank You Allah

Maher Zain Feat Fadly Padi _Insya Allah

Mazikana Sami Yusuf _ Free

Mesut Curtis_No One but Allah

Sami Yusuf _Allah Ho

Sami Yusuf _Allahu Allah

Sami Yusuf _ Mother

Sami Yusuf _Who Is The Loved One

Sami Yusuf_Ya Mustafa

Sami Yusuf _You Came To Me

Sami Yusuf_My Ummah

Samy Yusuf _Ya Ommi

Samy Yusuf - Ya Ommi_2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Music Comments Pictures
House Musik Islami

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

Hukum Dalam Islam

Religious Comments Pictures

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hukum Ziarahnya Wanita Ke Kubur ?

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Apa hukumnya wanita berziarah kubur?".

Jawaban.
Wanita adalah saudara kandung lelaki. Maka apa yang dibolehkan bagi lelaki maka dibolehkan pula bagi wanita. Dan apa yang disunnahkan bagi lelaki maka disunnahkan pula bagi wanita, kecuali hal-hal yang dikecualikan oleh dalil yang bersifat khusus.

Dalam masalah wanita ziarah ke kubur tidak ada dalil khusus yang mengharamkan wanita berziarah kubur dengan pengharaman secara umum. Bahkan diriwayatkan dalam 'Shahih Muslim' bahwa Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha tidur bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diam-diam dari tempat tidurnya menuju pekuburan Baqi' untuk memberikan salam kepada mereka (jenazah-jenazah kaum muslimin -pent-). Dan Aisyah pun ikut membuntuti di belakang beliau secara diam-diam.

Ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berjalan pelan, iapun pelan, ketika beliau cepat, iapun cepat, hingga sampai kembali ke tempat tidurnya. Kemudian beliau masuk ke kamarnya dan melihat Aisyah dalam keadaan terengah-engah. Beliau berkata kepada Aisyah : "Ada apa denganmu wahai Aisyah ? Apakah engkau curiga bahwa Allah dan Rasul-Nya akan curang terhadapmu ? Sesungguhnya tadi Jibril mendatangiku dan berkata :

"Sesungguhnya Rabbmu menyampaikan salam kepadamu dan memerintahkanmu untuk mendatangi Baqi' dan memintakan ampunan untuk mereka (ahli kubur)".

Dalam suatu riwayat lain di luar As-Shahih, Aisyah berkata : Apalah aku bila dibandingkan denganmu wahai Rasulullah ! Kemudian lanjut Aisyah :
-sebagaimana dalam As-Shahih- "Wahai Rasulullah! Jika aku berziarah kubur maka apa yang harus aku ucapkan ? Beliau bersabda : "Ucapkanlah .... (beliau mengucapkan doa salam kepada ahli kubur sebagaimana yang telah kita kenal).

Adapun hadits.

"Artinya : Allah melaknat para wanita yang sering mendatangi kubur".
Hanyalah berlaku saat di Makkah. Kita berpegang dengan hadits yang sudah terkenal.

"Artinya : Dahulu aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian".

Dan tidak 'syak' lagi bahwa larangan tersebut bukan di Madinah akan tetapi di Makkah, karena mereka baru saja keluar dari kesyirikan. Tidak mungkin larangan ini terjadi di Madinah.

Adapun perkataan beliau : "Sekarang berziarahlah kalian", besar kemungkinan ini terjadi di Makkah. Akan tetapi sama saja apakah di Makkah atau di Madinah, yang jelas izin menziarahi kubur terjadi setelah larangan ziarah di Makkah. Dan hal ini memberikan suatu konsekuensi penting bagi hadits Aisyah di atas. Karena jika sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :

"Dahulu aku pernah melarang kalian ...." terjadi setelah Aisyah, maka mungkin hadits Aisyah di 'nasakh" (hapus), tetapi ini terlalu jauh sekali.

Pendapat yang kuat adalah beliau melarang mereka berziarah kubur ketika di Makkah, kemudian pada akhir masa Makkah atau awal masa Madinah, beliau membolehkan ziarah kubur.

Yang jelas dan yang harus kita ketahui bahwa larangan tersebut ditujukan untuk lelaki dan wanita. Maka izin (untuk kembali berziarah kubur) juga untuk laki-laki dan wanita. Kalau begitu kapan berlakunya hadits.

"Artinya : Allah melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kubur"
Jika hadits tersebut keluar setelah izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para wanita untuk berziarah kubur, berarti terjadi penghapusan hukum dua kali (dilarang, lalu dibolehkan, dan akhirnya dilarang lagi). Hal seperti ini tidak pernah kita jumpai dalam hukum-hukum syari'at yang di 'mansukh'.

Baiklah ! kita anggap saja sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Allah melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kubur" keluar setelah beliau menginzinkan pria dan wanita berziarah kubur. Tapi bagaimana dengan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan izin kepada Aisyah untuk berziarah kubur ? Apakah izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini terjadi setelah hadits laknat di atas ? Atau sebelumnya ?

Pendapat yang kuat menurut kami adalah bahwa izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar sebelum hadits "laknat terhadap perempuan-perempuan tukang berziarah".

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa yang dilarang adalah perempuan yang berlebih-lebihan dan terlalu sering berziarah. Sangat tidak mungkin ziarah ini haram bagi wanita, sementara Sayyidah Aisyah kerap kali berziarah kubur, sampai sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Al-Bani. hal 157-160, Pustaka At-Tauhid]

HUKUM ZIARAHNYA WANITA KE KUBUR


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Hukum ziarahnya wanita ke kubur ?

Jawaban.
Sesungguhnya para wanita dilarang berziarah kubur, karena ziarah kubur mereka cenderung kepada sikap meratap dan histeris serta hal tidak baik lainnya, karena pada dasarnya wanita itu lemah, kurang tenang dan kurang sabar. Mengenai hal ini para ulama berdalih dengan hadits Ibnu Abbas :

"Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para wanita peziarah kuburan dan orang-orang yang menjadikan masjid di atasnya serta mereka yang menempatkan lampu-lampu diatasnya" [Diriwayatkan oleh Ahlus Sunan].

Mengenai hal ini ada juga dalil dari hadits Abu Hurairah dan hadits Hassan bin Tsabit yang khusus mengenai wanita.

Kenapa hanya para wanita ?

Pendapat yang lebih kuat, bahwa dalil ini menunjuk haram, karena dalam hadits tersebut terdapat laknat, dan laknat tersebut bukan ditujukan kepada sesuatu yang dibenci, akan tetapi karena para wanita itu memiliki sifat meratap, lemah dan tidak sabar. Jika anda mengatakan bahwa terkadang lebih kuat hatinya dari pada laki-laki, dan bahkan sebaliknya dari sebagian laki-laki, jika hukum dikaitkan dengan sumber dugaannya, maka sama saja keberadaan dan tidak keberadaannya.

Dan telah diklaim pula bahwa hadits (maka ziarahilah) mencakup para wanita. Ini adalah pendapat yang bodoh dan keliru. Sebenarnya larangan itu mengandung dua segi, masing-masing mempunyai alasan : Larangan pertama berlaku untuk semua, yaitu larangan berziarah secara mutlak, kemudian diizinkan bagi kaum pria karena hilangnya alasan tersebut di samping didalam pembolehannya terkandung kebaikan bagi yang meninggal serta do'a untuknya dan teringat akan akhirat, namun tidak diizinkan bagi para wanita karena alasannya tidak hilang.

Alasan pertama hilang dengan kemantapan iman dan terputusnya ketergantungan kepada kuburan yang pernah menyebabkan timbulnya 'watsaniah' (dalam hal ini adalah pengagungan terhadap kuburan), hal ini pernah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (Aku melarang kalian), dan di sini ada larangan lain yang khusus berlaku untuk para wanita, juga terkandung alas an lain, yaitu karena wanita bersifat peka, lemah dan kurang sabar, karena itu disebutkan dalam hadits.

"Artinya : Kembalilah kalian karena akan berdosa dan tidak mendapat pahala, sebab kalian dapat menimbulkan fitnah bagi yang hidup dan menyakiti yang telah mati".

Fitnah terhadap yang hidup sangat jelas, lebih-lebih terhadap para pemuda, sedangkan sikap yang menyakiti dari mereka adalah tangisan dan teriakan histeris mereka.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...