Searching

Salah Faham Terhadap Do'a Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Diantara sekian banyak do'a-do'a yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada umatnya adalah do'a dibawah ini :

"Allahumma ahyinii miskiinan, wa amitnii miskiinan, wahsyurnii fii jumratil masaakiin".

"Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin".

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah  dan lain-lain. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya : hasan. [Lihat pembahasannya di kitab beliau : Irwaul Ghalil dan Silsilah Shahihah .

Setelah kita mengetahui bahwa hadits ini sah datangnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sekarang perlu kita mengetahui apa maksud sebutan miskin dalam lafadz do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Yang sangat saya sesalkan diantara saudara-saudara kita (tanpa memeriksa lagi keterangan Ulama-ulama kita tentang syarah hadits ini khususnya tentang gharibul hadits) telah memahami bahwa miskin di sini dalam arti yang biasa kita kenal yaitu : Orang-orang yang tidak berkecukupan di dalam hidupnya atau orang-orang yang kekurangan harta. Dengan arti yang demikian maka timbulah kesalah pahaman di kalangan umat terhadap do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, akibatnya :

[1]. Do'a ini tidak ada seorang muslimin pun yang berani mengamalkannya, atau paling tidak sangat jarang sekali, lantaran menurut tabi'atnya manusia itu tidak mau dengan sengaja menjadi miskin.

[2]. Akan timbul pertanyaan : Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya menjadi miskin ? Bukankah di dalam Islam ada hukum zakat yang justru salah satu faedahnya ialah untuk memerangi kemiskinan ? Dapatkah hukum zakat itu terlaksana kalau kita semua menjadi miskin ? Dapatkah kita berjuang dengan harta-harta kita sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan kalau kita hidup dalam kemiskinan ?.

Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari berburuk sangka kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[3]. Ada jalan bagi musuh-musuh Islam untuk mengatakan : “Bahwa Islam adalah musuh kekayaan !?”

Padahal yang betul maksud miskin di dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini ialah : "Orang yang khusyu dan mutawaadli (orang yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala)". Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Ulama-ulama kita :

[1]. Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits  mengatakan :

"Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ..... Yang dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah : tawadlu' dan khusyu', dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur".

[2]. Di kitab kamus Lisanul Arab oleh Ibnu Mandzur diterangkan, asal arti miskin di dalam lughah/bahasa ialah = al-khaadi' (orang yang tunduk), dan asal arti faqir ialah : Orang yang butuh. Lantaran itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin .....

Yang dikehendaki ialah : tawadlu' dan khusyu'. dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur. Artinya : Aku merendahkan diriku kepada Mu wahai Rabb dalam keadaan berhina diri, tidak dengan sombong.

Dan bukanlah yang dikehendaki dengan miskin di sini adalah faqir yang butuh (harta).

[3]. Imam Baihaqi mengatakan :"Menurutku bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (khusyu' dan tawadlu'). [Lihat kitab : Sunatul Kubra al-Baihaqi dan Taklhisul-Habir  oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar]

[4]. Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh al-Imam Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya' . [Baca juga syarah Ihya' oleh Imam Az-Zubaidy]

[5]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :"Hidupkanlah aku" dalam keadaan khusyu' dan tawadlu'. [Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah bagian kitab hadits]

Beliau juga mengatakan  : ".... bukanlah yang dikehendaki dengan miskin (di hadits ini) tidak mempunyai harta ..."

[6]. Imam Qutaibi juga mengatakan khusyu' dan tawadlu' [Ta'liq Sunan Ibnu Majah  oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi]

Kemudian periksalah kitab-kitab dibawah ini :

[7]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi oleh Imam Al-Mubaarakfuri.
[8]. Faidhul Qadir Syarah Jami'us Shaghir  oleh Imam Manawi.
[9]. Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab oleh Imam Nawawi.
[10]. Shahih Jami'us Shaghir oleh Al-Albani.
[11]. Maqaashidul Hasanahs oleh Imam As-Sakhawi.

Setelah kita mengetahui keterangan ulama-ulama kita tentang maksud miskin dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas baik secara lughah/bahasa meupun maknanya, maka hadits tersebut artinya menjadi :

"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan matikanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang yang khusyu' dan tawadlu".

Rasanya kurang lengkap kalau di dalam risalah ini (sebagai penguat keterangan di atas) saya tidak menerangkan dua masalah yang perlu diketahui oleh saudara-saudara kaum muslimin.

Pertama : Bahwa Islam adalah agama yang memerangi atau memberantas kefakiran dan kemsikinan di kalangan masyarakat. Hal ini dengan jelas dapat kita ketahui.

[1]. Di dalam Islam tedapat hukum zakat (satu pengaturan ekonomi yang tidak terdapat pada agama-agama yang lain kecuali Islam). Sedangkan yang berhak menerima bagian zakat di antaranya orang-orang yang fakir dan miskin (At-Taubah : 60). Kalau saja zakat ini dijalankan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan dan menurut sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya tidak sedikit mereka yang tadinya hidup dalam kemiskinan -setelah menerima bagian zakatnya- akan berubah kehidupannya bahkan tidak mustahil kalau di kemudian hari merekalah yang akan mengeluarkan zakat. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :

"Artinya : Agar supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang yang kaya saja dari kamu". [Al-Hasyr : 7]

[2]. Islam memerintahkan memperhatikan keluarga (ahli waris) yang akan ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang menadahkan tangan kepada manusia. Kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia (meminta-minta)". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim  dan lain-lain]

[3]. Bahkan Islam mencela kalau ada seorang mukmin yang hidup dalam keadaan cukup sedangkan tetangganya kelaparan dan dia tidak membantunya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Bukanlah orang yang mukmin itu yang (hidup) kenyang, sedangkan tetangganya (hidup) lapar di sebelahnya". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari di kitabnya Adabul Mufrad, dan lain-lain]

Maksudnya : Tidaklah sempurna keimanan sorang muslim itu apabila ia makan dengan kenyang sedangkan tetangganya di sebelahnya kelaparan (kalau hal ini ia ketahui dan ia tidak membantunya dengan memberi makan kepada tetangganya).

[4]. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari hidup dalam kefakiran dan kelaparan.

"Artinya : Dari Aisyah (ia berkata) : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berdo'a dengan do'a-doa ini : Allahumma dan seterusnya..(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka, dan dari fitnah kubur dan azab kubur, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kekayaan, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kefakiran ...." [Shahih Riwayat Bukhari . Muslim dan ini lafadznya), Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Hakim dan Baihaqi.
Kemudian Hadits Abi Hurairah :

"Artinya : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya". [Shahih Riwayat Abu Dawud, Ahmad. Nasa'i, Ibnu Hibban. Baihaqi.

"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelaparan, karena sesungguhnya keleparan itu seburuk-buruk teman berbaring, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari khianat, karena sesungguhnya khianat itu seburuk-buruk teman". [Shahih Riwayat Abu Dawud. Nasa'i dan Ibnu Majah.
Hadits Abi Bakrah Nufai' bin Haarits : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan do'a ini di akhir salat:

"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran dan azab kubur". [Hadits Shahih atas syarat Muslim di keluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan dan Nasa'i]

Hadits Anas bin Malik : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dalam do'anya :

"Artinya : ....Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran/miskin dan kekafiran ......". [Hadits Shahih atas syarat Bukhari, dikeluarkan oleh Imam Hakim. dan Imam Ibnu Hibban

Kedua : Islam tidak menjadi musuh kekayaan asalkan si kaya seorang yang taqwa.

Bahkan dengan kekayaan itu seorang dapat memperoleh ganjaran yang besar dan derajat yang tinggi seperti berjihad dengan harta sebagaimana yang Allah perintahkan, menunaikan zakat harta, infaq dan shadaqah, ibadah haji, mendirikan masjid-masjid, pesantren dan sekolah-sekolah Islam, membantu anak yatim dan perempuan-perempuan janda dan lain-lain yang membutuhkan harta dan kekayaan.

Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam pernah mendo'akan Anas bin Malik :

"Artinya : Ya Allah ! Banyakkanlah hartanya dan anak-anaknya serta berikanlah keberkahan apa yang Engkau telah berikan kepadanya". [Hadits Riwayat Bukhari. dan lain-lain]

Hadits ini mengandung beberapa faedah.
[1]. Bahwa harta itu adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala.

[2]. Bahwa banyak harta itu tidak tercela atau mengurangi ibadahnya, asalkan dia memang seorang yang taqwa. Bahkan hadits ini kita dapat mengetahui bahwa banyak harta itu merupakan suatu kebaikan dan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Karena tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan kecelakaan kepada salah seorang shahabat dan pembantunya seperti Anas bin Malik kalau tidak menjadi kebaikan baginya !.

[3]. Boleh mendo'akan seseorang supaya banyak hartanya dengan penuh keberkahan.

[4]. Dari hadits ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mempunyai anak banyak.

[5]. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan Anas bin Malik yang telah terbukti dalam tarikh -berkat do'a Nabi- tidak seorangpun dari shahabat Anshar yang paling banyak harta dan anak selain dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada shahabatnya Hakim bin Hizaam : "Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini indah (dan) manis, maka barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang baik, niscaya mendapat keberkahan, dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang tamak, niscaya tidak mendapat keberkahan, dan ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang, dan tangan yang diatas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta)". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.

Baik Dan Halal, Adalah Syarat Diterimanya Doa


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam besabda:

"Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ –Qs al-Mu'minûn/23 ayat 51- dan Allah Ta’ala berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ –Qs al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”

TAKHRÎJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim, no. 1015.
2. Ahmad, II/328.
3. At-Tirmidzi, no. 2989.
4. Ad-Dârimi, II/300.
5. Al-Baihaqi, III/346.
6. Al-Bukhâri dalam kitab Raf’ul Yadaini fish-Shalâh, no. 158.

SYARAH HADITS
Pertama : Mensucikan Allah Ta’ala Dari Segala Kekurangan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensucikan diri-Nya dari segala kekurangan dan aib. Allah Ta’âla telah mensucikan dirinya dari memiliki isteri dan anak, Allah Ta’âla berfirman:

"Dan mereka berkata, "(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak". Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak". [Maryam/19:88-92]

Allah Ta’âla juga mensucikan diri-Nya sendiri dari sifat zhalim. Allah Ta’âla berfirman:

"Sungguh, Allah tidak menzhalimi seseorang walaupun sebesar dzarrah… . [an-Nisâ`/4:40]

Dan selainnya dari ayat-ayat Al-Qur`ân yang Allah Ta’ala mensucikan diri-Nya dengannya dari segala hal yang tidak sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ (sesungguhnya Allah itu baik), adalah bentuk pensucian beliau terhadap Allah Ta’ala dari segala kekurangan dan aib. Sebab, makna thayyib (baik) ialah suci dan bersih dari segala aib dan kekurangan.[1]

Kedua : Makna “Hal-Hal Yang Baik”.
Ada hadits tentang sedekah yang semakna dengan hadits ini, yaitu Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik ….” [2]

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal.

Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits, “Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Itu lebih luas, maksudnya ialah bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal. Jadi, kata ‘baik atau suci’ itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Ketiga hal tersebut (yakni keyakinan, perbuatan, dan perkataan) terbagi dalam dua bagian: baik dan buruk.

Ada yang mengatakan, sifat baik (dalam hadits ini) masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu…” [al-Mâidah/5:100]

Allah Ta’âla membagi perkataan menjadi dua jenis, baik dan buruk, seperti firman-Nya:

"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya (menjulang) ke langit." [Ibrâhîm/14:24]

Juga firman-Nya:

"Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk".[Ibrâhîm/14:26]

Dan firman-Nya:

"… Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya …" [Fâthir/35:10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disifati sebagai orang yang menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang buruk. Allah Ta’ala berfirman:

"… Yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka…"[al-A’râf/7:157]

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyifati kaum mukminin sebagai orang-orang yang baik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"(Yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik… "[an-Nahl/16:32].

Jadi, hati, lidah, dan tubuh orang mukmin itu baik karena iman yang bersemayam di hatinya. Dzikir pun terlihat di lidahnya dan amal-amal shalih -yang merupakan buah iman dan masuk dalam namanya- juga terlihat pada tubuhnya. Semua hal-hal yang baik tersebut diterima Allah Azza wa Jalla.[3]

Ketiga : Memakan Yang Halal.
Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi seorang mukmin ialah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal. Dengan makanan yang baik amalnya jadi berkembang.

Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal, dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda “sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik”, beliau bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta’âla berfirman:
"Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan…" [al-Mu`minûn/23: 51]

Maksudnya, bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan memakan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?

Setelah itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang doa. Bagaimana doa tersebut diterima dengan sesuatu yang haram? Itu sebuah perumpamaan tentang tidak diterimanya amal jika makanan pelakunya adalah haram.

Keempat : Tidak Diterima Mempunyai Dua Makna.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik). Terdapat banyak hadits yang serupa dengan hadits ini, yang di dalamnya terdapat pernyataan tidak diterimanya sebagian dari amal perbuatan dan perkataan. Hal itu karena pelakunya terjatuh dalam larangan atau menyepelekan syarat atau rukun dari amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya Azza wa Jalla . Maka, harus dipahami makna tidak diterimanya suatu amalan seperti yang dipahami oleh para ulama.

Tidak diterimanya suatu amalan memiliki dua makna:
1. Tidak diterima dalam artian tidak mendapat pahala dan ganjaran, namun amalan yang wajib telah gugur darinya, contohnya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.

"Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), kemudian bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam". [4]

2. Tidak diterima dalam artian tidak sah dan batal, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

"Allah tidak menerima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats sampai dia berwudhu" [5]

Makna tidak diterima dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik), ialah tidak diperolehnya pahala dan ganjaran, keridhaan, pujian, dan sanjungan dari Allah di sisi para malaikat. Adapun dari segi diterimanya shadaqah dari harta yang haram maka itu tidak bisa diterima, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)."[6]

Maksud yang sesungguhnya, wallahu a’lam, ialah tidak diterima dengan makna pertama atau kedua. Itulah, wallahu a’lam, yang dimaksud firman Allah Ta’ala:

"… Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa". [al-Mâ`idah/5:27).

Oleh karena itu, ayat itu di atas sangat ditakuti generasi Salaf. Mereka khawatir tidak termasuk orang-orang yang bertakwa dan takut jika amal mereka tidak diterima.

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang makna al-muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) pada ayat di atas kemudian ia menjawab: “Yaitu orang yang menjaga dirinya dari hal-hal (yang syubhat) kemudian tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak halal baginya”. [7]

Abu Abdullah as-Saji rahimahullah berkata, “Ada lima hal, yang dengannya amal menjadi sempurna: (1) beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jalla , (2) mengenal kebenaran, (3) mengikhlaskan amal karena Allah, (4) beramal sesuai dengan Sunnah, dan (5) memakan yang halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jalla, namun tidak mengenal kebenaran, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah dengan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal, namun tidak sesuai dengan Sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi keempat syarat tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna”.[8]

Adapun sedekah dengan uang haram, maka tidak diterima seperti disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)." [9]

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik (halal) –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik- melainkan sedekah tersebut diambil oleh (Allah) Yang Maha Pengasih dengan tangan kanan-Nya …”. [10]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا، ثُمَّ يَتَصَدَّقَ بِهِ، لَمْ يَكُنْ فِيْهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ.

"Barang siapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi miliknya. " [11]

Disebutkan dalam hadits-hadits mursal al-Qâsim bin Mukhaimirah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa memperoleh harta dari perbuatan dosa, lalu menyambung kekerabatan dengannya, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan Alah, maka Allah mengumpulkan semua itu lalu melemparnya ke neraka Jahannam dengannya”.[12]

Diriwayatkan dari Abu Darda` dan Yazîd bin Maisarah bahwa keduanya mengumpamakan orang yang mendapatkan harta tidak halal kemudian bersedekah dengannya seperti orang yang mengambil harta anak yatim kemudian membeli pakaian dan memakaikannya kepada janda-janda.[13]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhu ditanya tentang orang yang beramal. Namun, sebelumnya ia berbuat zhalim dan mendapatkan harta haram lalu bertaubat. Ia melaksanakan ibadah haji, memerdekakan budak, dan bersedekah dengan harta tersebut? Ibnu 'Abbâs menjawab: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan”.[14]

Ibnu Mas’ûd juga berkata: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan dan hanya kebaikan yang bisa menghapus keburukan”. [15]

Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang haram itu terjadi dalam dua bentuk:

Pertama : Pencuri, pengkhianat, perampas, perampok, koruptor, dan selainnya bersedekah dengan harta yang haram atas namanya sendiri. Inilah yang dimaksudkan hadits di atas bahwa sedekah tidak diterima darinya dalam arti ia tidak diberi pahala karenanya, justru ia berdosa karena ia menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya. Pemilik harta (orang yang hartanya dicuri) tersebut juga tidak mendapatkan pahala, karena sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya. Itulah pendapat sejumlah ulama, di antaranya Ibnu 'Aqîl – dari Hanabilah-.

Dari Zaid bin al-Akhnas al-Khuzâ’i rahimahullah bahwa ia bertanya kepada Sa’îd bin al-Musayyib rahimahullah : “Aku menemukan barang tercecer, apakah aku boleh bersedekah dengannya?” Sa’îd bin al-Musayyib menjawab: “Engkau dan pemiliknya tidak diberi pahala”. Bisa jadi, yang dimaksud Sa’îd bin al-Musayyib ialah orang tersebut bersedekah dengan barang tersebut sebelum mengumumkannya.

Jika penguasa atau salah seorang pejabatnya mengambil uang dari Baitul-Mâl yang bukan haknya kemudian bersedekah, atau memerdekakan budak dengannya, atau membangun masjid atau lain-lain yang manfaatnya dirasakan manusia, maka yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma ialah bahwa ia seperti perampas jika ia bersedekah dengan uang hasil rampasannya. Itu pula yang dikatakan Ibnu ‘Umar kepada ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur Basrah. Menjelang kematiannya, orang-orang berkumpul di tempat ‘Abdullah bin ‘Amir dan menyanjungnya atas kebaikannya. Di sisi lain, Ibnu ‘Umar diam. ‘Abdullah bin ‘Amir meminta Ibnu ‘Umar bicara, kemudian Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits untuk ‘Abdullah bin ‘Amir: “Allah tidak menerima harta sedekah dari ghulûl (pencurian harta rampasan perang sebelum dibagikan)”. Setelah itu, Ibnu ‘Umar berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Amir: “Dan engkau adalah Gubernur Basrah”. [17]

Sejumlah orang yang sangat wara’, seperti Thâwus rahimaullah dan Wahib bin al-Ward rahimahullah, tidak mau memanfaatkan apa saja yang dibuat oleh para raja. Sedang Imam Ahmad, ia memberi rukhshah (dispensasi) terhadap fasilitas-fasilitas umum yang dibuat para raja. Misalnya, masjid, jembatan, dan pabrik, karena hal-hal tersebut dibangun dari harta fa’i, terkecuali jika seseorang yakin betul bahwa mereka membangunnya dengan uang haram, misalnya uang dari pajak, bea cukai, harta rampasan, dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh memanfaatkan sesuatu yang dibangun dengan harta haram. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengecam para gubernur yang mengambil uang dari Baitul-Mâl untuk kepentingan pribadi dan klaim mereka bahwa apa yang mereka kerjakan setelah itu dengan uang tersebut adalah sedekah dari mereka. Itu mirip dengan harta rampasan. Kecaman sejumlah ulama terhadap pembangunan masjid-masjid oleh para raja tidak lain karena sebab ini.

Jika uang tersebut haram atau hasil rampasan, maka semua penggunaan uang tersebut haram. Uang tersebut seterusnya dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya. Jika pemilik uang tersebut atau ahli warisnya tidak diketahui, uang tersebut dikembalikan ke Baitul-Mâl dan digunakan untuk kemashlahatan umum atau sedekah.

Kedua : Penggunaan perampas terhadap harta yang dirampasnya. Jika ia menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia tidak bisa mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu diperbolehkan menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Maalik, Abu Hanîfah, Ahmad dan selain mereka.

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata bahwa Imam az-Zuhri, Mâlik, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan al-Laits berpendapat bahwa jika para tentara telah berangkat, sedang pencuri rampasan perang tidak bisa menyusul mereka, ia harus menyerahkan seperlima hasil curiannya dari rampasan perang dan bersedekah dengan sisanya.[18]

Pendapat yang sama diriwayatkan dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit, Mu’âwiyah, dan al-Hasan al-Bashri. Pendapat tersebut mirip dengan pendapat Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs. Mereka berdua berpendapat bahwa seseorang harus bersedekah dengan uang yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Para ulama juga sepakat tentang dibolehkan sedekah dengan luqathah (barang temuan) setelah diumumkan kepada khalayak dan pemiliknya tidak bisa diketahui. Jika pemilik luqathah datang, para ulama memberinya hak pilih antara pahala atau pengganti. Harta rampasan juga begitu.

Diriwayatkan dari Mâlik bin Dinâr rahimahullah, dia berkata bahwa aku pernah bertanya kepada ‘Atha` bin Abi Rabâh rahimahullah tentang orang yang memegang harta haram, tidak mengetahui siapa pemiliknya, dan ingin terbebas darinya. ‘Atha' bin Abi Rabâh berkata: “Ia menyedekahkannya namun aku tidak berkata itu sah baginya”.

Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Perkataan ‘Atha' bin Abi Rabâh tersebut lebih aku sukai daripada emas seberat perkataan tersebut”.

Sufyan rahimahullah juga berkata seperti itu tentang orang yang mendapat warisan dari ayahnya dan dulu ayahnya menjual barang kepada orang yang bermuamalah dengannya dimakruhkan. Sufyan rahimahullah berkata: “Ia bersedekah sebesar keuntungan dan mengambil sisanya.” Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu dan ‘Abdullah bin Yaziid al-Anshâri.

Pendapat yang masyhur dari Imam asy-Syâfi’i rahimahullah tentang harta haram ialah harta tersebut dijaga dan tidak disedekahkan hingga pemiliknya diketahui.

Tentang orang yang memegang harta haram dan tidak mengetahui pemiliknya, al-Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berpendapat bahwa ia harus merusaknya, membuangnya ke laut, dan tidak bersedekah dengannya. Al-Fudhail bin Iyâdh berkata: “Orang tersebut tidak bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan harta yang halal”.

Pendapat yang benar ialah harta tersebut disedekahkan. Karena, merusak dan manghambur-hamburkan harta dilarang agama, menyimpannya selama-lamanya juga membuatnya rusak, dan menimbulkan kegelapan pada orang yang bersangkutan. Sedekah dengan harta tersebut bukan atas nama orang yang mendapatkannya. Sebab, jika itu terjadi berarti ia bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan harta haram, namun sedekah tersebut atas nama pemiliknya agar manfaatnya di akhirat bisa ia rasakan karena ia tidak merasakannya di dunia.[19]

Kelima : Sebab-Sebab Dikabulkannya Doa.
Ucapan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu “kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian, rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, 'Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,' padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan yang haram, bagaimana doanya dikabulkan?”

Dengan hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menunjukkan etika berdoa, sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan, dan sebab-sebab yang menjadikan doa seseorang itu tidak dikabulkan. Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan empat hal yang membuat doa dikabulkan, yaitu:

a). Lama bepergian.
Bepergian itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti terlihat pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.

"Tiga doa yang dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya: (1) doa orang yang terzhalimi, (2) doa musafir (orang yang sedang bepergian jauh), dan (3) doa seorang ayah untuk anaknya." [20]

Dalam riwayat lain disebutkan, “doa keburukan seorang ayah untuk anaknya”.

Jika seseorang telah lama bepergian, doanya sangat mungkin dikabulkan karena dugaan kuat orang tersebut sedih karena lama terasing dari negerinya dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang membuat doa dikabulkan.

b). Terjadinya keusangan pada pakaian dan penampilan dalam bentuk rambut kusut dan berdebu.
Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits yang masyhur, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:

رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، مَدْفُوْعٌ بِاْلأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.

"Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika ia berdoa kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya" [21]

Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar rumah untuk mengerjakan shalat Istisqa’, beliau keluar dengan pakaian lusuh, tawadhu`, dan merendahkan diri.[22]

Keponakan Mutharrif bin ‘Abdullah dipenjara, kemudian Mutharrif bin ‘Abdullah rahimahullah mengenakan pakaian usang miliknya dan mengambil tongkat dengan tangannya. Dikatakan kepadanya, “Kenapa engkau berbuat seperti itu?” Mutharrif bin ‘Abdullah menjawab, “Aku merendahkan diri kepada Rabb-ku, mudah-mudahan Dia memberi syafa’at kepadaku untuk keponakanku”.[23]

c). Menengadahkan kedua tangan ke langit.
Ini termasuk adab berdoa, dan dengan cara seperti itu, diharapkan doa tersebut dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salmân Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia malu bila seseorang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, namun Dia mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong tidak mendapatkan apa-apa." [24]

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Mâlik[25], Jâbir[26], dan selain keduanya.

Cara Menengadahkan Tangan Dalam Berdoa.
• Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak dengan menghadapkan kedua telapak tangan ke langit dan menghadapkan bagian luarnya ke tanah. Menengadahkan kedua tangan seperti itu diperintahkan dalam banyak hadits ketika seseorang berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan Ibnu Sirîn bahwa itulah doa dan permintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

• Menengadahkan kedua tangan sejajar dengan pundak dan menghadapkan bagian luar tangan ke arah kiblat ketika menghadap ke sana dan menghadapkan bagian dalam tangan ke wajah [27]. Salah seorang generasi salaf berkata,“Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah sikap merendahkan diri.”

• Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menengadahkan kedua tangan beliau dengan tinggi ketika shalat Istisqa` hingga ketiak beliau yang putih bersih terlihat. Yaitu, dengan menghadapkan bagian luar telapak tangan ke langit dan bagian dalamnya menghadap ke tanah.[28]

• Menengadahkan kedua tangan dengan posisi tangan bagian dalam menghadap ke langit dan bagian luarnya menghadap ke tanah. Salah seorang dari generasi Salaf berkata, “Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah meminta perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung diri kepada-Nya.” Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa jika beliau berlindung diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau menengadahkan kedua tangan seperti itu.[29]

• Beristighfar dengan berisyarat satu jari. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berbuat seperti itu ketika beliau berada di atas mimbar.[30]

• Adapun ibtihâl (yaitu istighatsah) dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi.[31] Beliau menengadahkan kedua tangan beliau pada Perang Badar guna meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas kaum musyrikin hingga pakaian beliau jatuh dari kedua pundak beliau.[32]

d). Terus-menerus berdoa kepada Allah Ta’ala dengan mengulang-ulang kerububiyyahan-Nya.
Cara seperti ini termasuk aspek penting yang membuat doa terkabul.

Ath-Thabrâni dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Sa’ad bin Khârijah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Salah satu kaum mengeluhkan ketiadaan hujan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, ‘Kumpulkan rombongan kepadaku dan katakan, ‘Rabbi… Rabbi...’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuk ke langit kemudian mereka diberi hujan hingga mereka ingin air hujan tersebut diberhentikan dari mereka”. [33]

Yazid ar-Raqqâsyi rahimahullah berkata, dari Anas bin Mâlik, “Tidaklah seorang hamba berkata ‘Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku),’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepadanya, ‘Aku penuhi panggilanmu, Aku penuhi panggilanmu’.”

Diriwayatkan dari Abu ad-Darda` dan Ibnu ‘Abbas bahwa keduanya berkata: “Nama Allah terbesar ialah Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku)”.

Disebutkan dari ‘Athaa` rahimahullah, ia berkata: “Tidaklah seorang hamba berkata ‘Rabbî, Rabbî’ hingga tiga kali melainkan Allah melihatnya”.[34].

Perkataan tersebut disebutkan kepada al-Hasan rahimahullah kemudian al-Hasan berkata: “Tidakkah kalian membaca Al-Qur`ân?” Setelah itu al-Hasan membaca firman Allah Ta’ala Surat Ali ‘Imrân ayat 191-195.

Barang siapa mencermati doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur`ân, ia menemukan pada umumnya doa-doa tersebut dimulai dengan kata "Rabb", misalnya firman Allah Ta’ala: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa Neraka”. [Al-Baqarah/2:201].

Atau firman Allah Ta’ala: “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” [Al-Baqarah/2:286]

Juga firman-Nya:“Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi”. [Ali ‘Imrân/3:8]

Dan ayat-ayat lainnya yang banyak sekali di dalam Al-Qur`ân.

Sedang penyebab doa tidak dikabulkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan di antaranya ialah karena mengkonsumsi barang haram, baik dalam makanan, minuman, pakaian, dan memberi makanan kepada orang lain. Tentang hal ini, telah disebutkan hadits Ibnu 'Abbaas, dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqaash: “Wahai Sa’ad, (Kondisikan agar makananmu baik, Athib Math'amak, ashim) hendaklah makananmu baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan”. Dari sisi ini, bisa disimpulkan bahwa makan sesuatu yang halal, meminumnya, mengenakannya, dan memberikannya kepada orang lain merupakan penyebab doa seseorang dikabulkan.

'Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah meriwayatkan bahwa al-Ashfar berkata kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqâsh: “Engkau orang yang doanya dikabulkan di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.

Sa’ad bin Abi Waqqaash berkata: “Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, melainkan aku tahu asal usulnya dan ke mana makanan tersebut hendak keluar”.

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: “Barang siapa ingin doanya dikabulkan Allah, hendaklah ia makan makanan yang baik (halal)”.

Diriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdillah rahimahullah, dia berkata: “Barangsiapa makan makanan halal selama empat puluh pagi (hari), doanya dikabulkan”.
Diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath rahimahullah, dia berkata: “Diberitahukan kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan dari langit, karena makanannya haram”.[35]

Keenam : Sebab-Sebab Doa Tidak Dikabulkan
Sabda Nabi فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ (bagaimana doanya dikabulkan?), maksudnya, bagaimana doa orang tersebut bisa dikabulkan. Sabda tersebut merupakan pertanyaan dengan konotasi keheranan dan kecil kemungkinannya, dan bukan penegasan tentang kemustahilan terkabulnya doa secara umum.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram dan memberikannya kepada orang lain termasuk sebab-sebab tidak terkabulnya doa. Bisa jadi, ada sebab-sebab lain yang membuat doa tidak terkabul, misalnya mengerjakan hal-hal yang haram dilakukan. Begitu juga tidak mengerjakan perintah-perintah seperti dijelaskan dalam hadits bahwa tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar menyebabkan doa tidak terkabul, serta mengerjakan perintah-perintah membuat doa terkabul.[36]

Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke dalam gua kemudian gua tersebut tertutup oleh batu, mereka bertawassul dengan amal shalih yang mereka niatkan karena Allah, dan mereka berdoa kepada Allah dengannya kemudian doa mereka dikabulkan.[37]

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Perumpamaan orang yang berdoa tanpa amal ialah seperti orang yang memanah tanpa anak panah”.[38]

Juga diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, dia berkata: “Amal shalih membuat doa sampai (kepada Allah)”, kemudian Wahb bin Munabbih membaca firman Allah Ta’ala: “… Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya...” [Fâthir/35:10].[39]

‘Umar bin al-Khaththaab Radhiyallahu 'anhu berkata: “Dengan sikap wara` (meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah), Allah Subhanahu wa Ta'ala menerima doa dan tasbih”.[40]

FAWÂ`ID HADITS
1). Ath-Thayyib (baik) termasuk dari nama-nama Allah, berdasarkan sabda beliau: “Sesungguhnya Allah itu baik”, dan ini mencakup baik dalam Dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
2). Kesempurnaan Allah Ta’ala dalam Dzat, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
3). Sesungguhnya Allah Mahakaya terhadap hamba-Nya, dan tidak menerima kecuali yang baik. Maka, amal yang terdapat perbuatan syirik di dalamnya tidak akan diterima Allah karena amal itu tidak baik. Demikian pula bersedekah dengan harta curian tidak akan diterima Allah karena sedekah itu tidak baik, begitu pula bersedekah dengan harta yang haram pada dzatnya tidak akan diterima Allah karena harta itu tidak baik.
4). Amal terbagi menjadi dua, yaitu yang diterima dan yang tidak diterima.
5). Sesungguhnya para nabi dan rasul diberikan perintah dan larangan oleh Allah Ta’ala. Demikian pula kaum mukminin, mereka diberikan perintah dan larangan.
6). Perintah bagi para rasul dan kaum mukminin untuk memakan makanan yang halal dan baik.
7). Wajib mensyukuri nikmat Allah Ta’ala dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya.
8). Diharamkannya berbagai hal yang najis (buruk) yang dianggap buruk oleh syari’at.
9). Orang yang memakan harta yang haram doanya sangat kecil kemungkinannya untuk dikabulkan meskipun dia melakukan sebab-sebab yang membuat doa dikabulkan. Artinya, makan yang halal termasuk sebab dikabulkannya doa.
10). Safar (bepergian jauh) merupakan sebab dikabulkannya doa.
11). Rambut yang kusut berdebu termasuk sebab terkabulnya doa.
12). Mengangkat tangan ketika berdoa termasuk sebab dikabulkannya doa.
13). Termasuk sebab dikabulkannya doa, yaitu bertawassul dengan sifat Rububiyyah Allah Ta’ala.
14). Peringatan keras dari memakan makanan yang haram karena itu sebagai sebab tertolaknya doa meskipun syarat terkabulnya doa telah terpenuhi.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat al-Qawâ’id wa Fawâ`id minal-Arba’în an-Nawâwiyyah, karya Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan.
[2]. Shahîh. HR al-Bukhâri. Muslim. Ahmad. At-Tirmidzi. An-Nasâ`i. Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbân,  dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân.
[3]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/259).
[4]. Shahîh. HR Muslim. Ahmad. Lafazh ini milik Muslim, dari Shafiyyah Radhiyallahu 'anha.
[5]. Shahîh. HR al-Bukhâri dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[6]. Shahîh. HR Muslim. Ahmad dan at-Tirmidzi.
[7]. Jâmi’ul Ulûm wal-Hikam, I/262.
[8]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 9/323, no. 14016. Nama Abu ‘Abdillah as-Saji ialah Sa’îd bin Yazîd.
[9]. Shahîh. HR Muslim. Ahmad, dan at-Tirmidzi.
[10]. Shahîh. HR Ahmad. Al-Bukhâri. Muslim. At-Tirmidzi. An-Nasâ`i. Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbaan dalam at-Ta’lîqâtul Hisân.
[11]. Hasan. HR Ibnu Hibbaan. Lihat at-Ta’lîqâtul Hisân.
[12]. Lihat Tahdzîbul-Kamal (XXIII/446), karya al-Mizzi dan Siyar A’lâmin Nubalâ` (V/203) dari al-Qasim bin Mukhaimirah dan tidak meneruskannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[13]. Lihat az-Zuhd oleh Imam Ahmad. Dinukil dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264.
[14]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/2640.
[15]. Ibid.
[16]. Mushannaf ‘Abdur-Razzâq, no. 18622.
[17]. Shahîh. HR Ahmad, dan Muslim.
[18]. Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Ibnul Mundzir berkata,'Para ulama sepakat bahwa pencuri harta rampasan perang harus mengembalikan apa yang ia ambil sebelum rampasan perang dibagikan'. Sedangkan setelah pembagian, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan Imam Mâlik berkata,‘Ia harus mengembalikan seperlimanya kepada imam (penguasa kaum muslimin) dan bersedekah dengan sisanya’.” Lihat Fat-hul Bâri, VI/186.
[19]. Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264-268.
[20]. Hasan. HR Abu Dawud. At-Tirmidzi. Ibnu Maajah. Ahmad, dan al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad, no. 32, 481. Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2688 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân. Hadits ini mempunyai hadits penguat, dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir dalam riwayat Ahmad.
[21]. Shahîh. HR Muslim,dan Ibnu Hibbân, dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân. Lafazh ini milik Ibnu Hibbân.
[22]. Hasan. HR Ahmad. Abu Dawud. At-Tirmidzi. An-Nasâ`i, dan Ibnu Mâjah,. Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbâs, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dengan pakaian lusuh, menampakkan kemiskinan, merendahkan diri, dan tawadhu`.” Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2851 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân, dan redaksi tersebut miliknya..
[23]. Diriwayatkan Ibnu Asakir dalam kitab Târîkh-nya, XVI/290, dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ`, IV/195. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/270.
[24]. Shahîh. HR Ahmad. Abu Dâwud, no. 1488. At-Tirmidzi, dan Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbân, . Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, no. 1385, dan al-Hakim (I/497) beliau menshahîhkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[25]. HR ‘Abdur-Razzaq,. Ath-Thabraani dalam ad-Du’a,. Al-Hakim, dan al-Baghawi (no. 1386) dengan sanad-sanad lemah.
[26].HR Abu Ya’la, no. 1862. Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawâ`id, X/149, dan ia juga menisbatkan hadits tersebut kepada ath-Thabraani dalam al-Ausath. Ia berkata, “Di sanadnya terdapat Yûsuf bin Muhammad bin al-Munkadir ia menganggapnya tsiqah (terpercaya), padahal ia perawi dha’if, namun para perawi lainnya adalah para perawi ash-Shahîh”.
[27]. Lihat hadits Anas bin Maalik dalam Shahîh al-Bukhâri, no. 1031, dan Shahîh Muslim, no. 895. Juga hadits ‘Umair, mantan budak Abu Lahm, yang diriwayatkan Abu Daawud (no. 1168), Ahmad , dan al-Hakim beliau menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga atsar Ibnu ‘Umar dalam Fat-hul Bâri, XI/143.
[28]. Shahîh. HR al-Bukhâri, Muslim, Ahmad, Abu Dâwud, dan Ibnu Hibbân, dari Anas bin Mâlik.
[29]. HR Ahmad  dari Khalad bin as-Sâ`ib secara mursal. Di sanadnya terdapat Ibnu Lahî’ah yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga disebutkan al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâ`id (X/168) dan berkata bahwa sanad hadits tersebut hasan.
[30]. Shahîh. HR Ahmad, an-Nasâ`i, Abu Dâwud, dan Ibnu Hibbân (879-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari ‘Imârah bin Ruwaibah. Dishahîhkan.
[31]. Shahîh. HR Abu Dâwud, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud,.
[32]. Shahîh. HR Muslim dan Ibnu Hibbân dari ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu.
[33]. Hadits tersebut tidak shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bazzâr (no. 665) dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, VI/457. Di sanadnya terdapat Amir bin Kharijah. Al-Bukhâri berkata, “Di sanadnya terdapat catatan. Abu Hatim berkata seperti dinukil darinya oleh anaknya (III/188), ‘sanad hadits tersebut munkar’.”
[34]. HR Ibnu Abi Syaibah, X/272. Atsar tersebut dishahîhkan al-Hâkim, I/505. Atsar tersebut juga disebutkan as-Suyûthi di ad-Durrul Mantsûr (II/410) dan menambahkan bahwa atsar tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abi Hâtim.
[35]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/275.
[36]. Hasan. HR Ahmad dan al-Bazzâr dari 'Aisyah d bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah berfirman kepada kalian, ‘Perintahkan yang baik dan laranglah yang munkar sebelum kalian berdoa kepada-Ku kemudian doa kalian tidak Aku kabulkan, kalian meminta kepada-Ku kemudian tidak Aku berikan, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku kemudian Aku tidak menolong kalian’.”
[37]. Lihat Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Shahîh Ibni Hibbân.
[38]. Diriwayatkan Ibnul Mubâarak di az-Zuhdu, no. 307, dan Abu Nu’aim di al-Hilyah, IV/56, no. 4730.
[39]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/276.
[40]. Ibid.

Segeralah Bertaubat Kepada Allah !


عَنِ اْلأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَآايُّهَا النَّاسُ 
تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.

Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,”Hai sekalian manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali”[1]

MAKNA TAUBAT
Asal makna taubat ialah:

الرُّجُوْعُ مِنَ الذَّنْبِ.

(kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan). Berasal dari kata:

تَابَ إِلَى اللهِ يَتُوْبُ تَوْباً وَتَوْبَةً وَمَتَاباً بِمَعْنَى أَنَابَ وَرَجَعَ عَنِ المَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ.

(orang yang bertaubat kepada Allah ialah, orang yang kembali dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat).

التَّوْبَةُ :َاْلإِعْتِرَافُ وَالنَّدَمُ وَاْلإِقْلاَعُ وَالْعَزْمُ عَلَى أَلاَّ يُعَاوِدَ اْلإِنْسَانُ مَا اقْتَرَفَهُ.

(seseorang dikatakan bertaubat, kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu).[2]

SYARAH HADITS
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata,”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.”[3]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk bertaubat, dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus segera dilaksanakan sebelum ajal tiba. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ": …Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. [An Nur : 31]. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas) … [At Tahrim : 8]. Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat. [QS Hud : 3].

Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”[4]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.”[5]

Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah.

Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Setiap hari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu majelisnya.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ، رَبِّ اغْفِرْلِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ تَوَّابُ الرَّحِيْمُ.

"Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,”Kami pernah menghitung di satu majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa seratus kali beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan aku bertaubat kepadaMu, sesungguhnya Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang’.”[6]

Jika seorang muslim dan muslimah pernah berbuat dosa-dosa besar atau dosa yang paling besar, maka segeralah bertaubat. Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat.
Dalam sebuah hadits dari Abu Musa ‘Abdullah bin Qais Al Asy’ari Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat" [7]

Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukkan, bahwasanya Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi ampunan di setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia selalu mendengar suara istighfar dan mengetahui taubat hambaNya, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika manusia mengabaikan perkara taubat ini dan lengah dalam menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan, padahal di hadapannya ada air bersih, namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga datanglah maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.

Dan apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyadzubillah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, " Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu, maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”. [Al An’am:158]

Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih". [An Nisa` : 18].

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

"Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan".[8]

SYARAT-SYARAT TAUBAT

Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai berikut:
1. ِالإِقْلاَعُ(al iqla’u), orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia pernah lakukan.
2. النَّدَمُ (an nadamu), dia harus menyesali perbuatan dosanya itu.
3. اَلْعَزْمُ (al ‘azmu), dia harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
4. Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.[9]

Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang dinamakan Shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذَهِ الآيَةَ (وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسَتَغَفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ.

"Jika seorang hamba berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun kepada Allah (dari dosa tersebut), niscaya Allah akan ampunkan dosanya".

Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat ini: "Dan orang-orang yang apabila mengejakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui". [Ali ‘Imran : 135].”[10]

TINGKATAN MANUSIA YANG BERTAUBAT KEPADA ALLAH
[11]
Tingkatan Pertama : Yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya hingga akhir hayatnya. Ia tidak berkeinginan untuk mengulangi lagi dosanya dan ia berusaha membereskan semua urusannya yang ia pernah keliru (salah). Tetapi ada sedikit dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa kecil ini, namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sabiqun bil khairat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ …

"Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah .." [Fathir : 32)]

Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Nafsu yang demikian dinamakan nafsu muthmainnah.

Tingkatan Kedua : Yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua perkara ketaatan dan menjauhkan semua dosa-dosa besar, tetapi ia terkena musibah, yaitu sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja. Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya sendiri dan menyesali perbuatannya. Orang-orang ini akan mendapakan janji kebaikan dari Allah Subhanahu w Ta'ala. Allah Azza wa Jalla berfirman :

"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunanNya…" [An Najm : 32].

Dan nafsu yang demikian dinamakan nafsu lawwamah.

وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

"Dan aku bersumpah dengan nafsu lawwamah (jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri)". [Al Qiyamah : 2].

Tingkatan Ketiga : Orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia mengerjakan lagi sebagian dari dosa-dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allah. Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat dan berkeinginan agar Allah mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allah firmankan:

"Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [At Taubah : 102].

Nafsu inilah yang disebut nafsu mas-ulah

Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya dan mengakhirkannya. Bahkan ada kemungkinan, sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat Maut telah diperintah Allah k untuk mencabut ruhnya, sedangkan amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.

Tingkatan Keempat : Yaitu orang yang bertaubat, tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi melakukan dosa-dosa dan maksiat, tidak peduli terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, serta tidak ada rasa menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa. Bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Nafsu yang demikian ini dinamakan nafsul ammarah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Yusuf : 53].

Tingkatan keempat ini sangat berbahaya, dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).

JANJI ALLAH KEPADA ORANG YANG BERTAUBAT DAN ISTIQAMAH DALAM TAUBATNYA

1. Taubat menghapuskan dosa-dosa, seolah-olah ia tidak berdosa.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ.

"Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa".[12]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allah akan ganti kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [Al Furqan : 70].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَيَتَمَنَّيَنَّ أَقْوَامٌ لَوْ أَكْثَرُوْا مِنَ السَّيْئَاتِ الَّذِيْنَ بَدَّلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ.

"Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Allah Azza wa Jalla mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan".[13]

2. Allah berjanji menerima taubat mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang" [At Taubah: 104]

Juga firmanNya:

"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap (istiqamah) di jalan yang benar".[Thaha : 82].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ.

"Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya".[14]

3. Orang yang istiqamah dalam taubatnya adalah sebaik-baik manusia.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

"Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat" [15].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا، لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُوْنَ، ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

"Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[16]

TERAPI MUJARAB AGAR BISA ISTIQAMAH DALAM TAUBAT DAN TIDAK TERUS-MENERUS BERBUAT DOSA DAN MAKSIAT Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit-penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan kembali kepada agama yang benar.

Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan. Dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat tampak di dunia. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:

1. Mengingat ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah juz ‘Amma beserta artinya, dan sebaiknya hafalkanlah.
2. Bacalah hikayat para nabi ‘alaihimush shalatu was salam bersama ummatnya dan para salafush shalih, dan musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya disebabkan dosa yang mereka lakukan.
3. Ingatlah, bahwa setiap dosa dan maksiat berakibat buruk di dunia maupun akhirat.
4. Ingat dan perhatikanlah satu per satu ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
5. Bacalah istighfar dan sayyidul istighfar setiap hari.
Sayyidul istighfar, do’a memohon ampun kepada Allah

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

"Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan (apa) yang telah kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu (yang diberikan) kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau".[17]

Do’a memohon ampunan dan rahmat Allah

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

"Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tin-dakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".[Ali ‘Imran : 147].

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi".[Al A’raf : 23].

FIQHUL HADITS

Pelajaran yang dapat diambil dari hadits dalam pembahasan ini ialah:
1. Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan.
2. Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua sifat yang tercela.
3. Bertaubat wajib dengan segera, tidak boleh ditunda.
4. Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah (perbaikan).
5. Pintu taubat masih tetap terbuka siang dan malam.
6. Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat, apabila ruh sudah berada di tenggorokan, dan apabila matahari telah terbit dari barat (hari Kiamat).
7. Nabi Muhammad n setiap hari beristighfar dan bertaubat.
8. Allah Subhanahu wa Ta'ala cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allah Azza wa Jalla berfirman.

"... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri" [Al Baqarah : 222].


[Disalin dari majalah As-Sunnah]
_________
[1]. Hadits shahih riwayat Muslim, Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, Abu Dawud, Al Baghawi dan Ath Thabrani dan Al Mu’jamul Kabir.
[2]. Lihat Fat-hul Bari, Al Mu’jamul Wasith, Bab Taa-ba.
[3]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 322, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan.
[4]. Madarijus Salikin (I/297), Cet. Darul Hadits, Kairo.
[5]. Syarah Shahih Muslim.
[6]. HR At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi, lafazh ini milik Abu Dawud.
[7]. HR Muslim.
[8]. Hadits shahih riwayat At Tirmidzi, Al Hakim, Ibnu Majah. Lafazh hadits ini menurut Imam At Tirmidzi.
[9]. Lihat Riyadhush Shalihin, Bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahih Al Wabilush Shayyib (hlm. 272-273).
[10]. Hadits hasan riwayat At Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Abu Dawud Ath Thayalisi (no. 1 dan 2) dan Abu Ya’la (no. 12 dan 15). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/438), Cet. Darus Salam.
[11]. Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin (hlm. 335-336), oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12]. HR Ibnu Majah, dari Ibnu Mas’ud z . Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 3008).
[13]. Hadits hasan riwayat Al Hakim (IV/252), dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir , dari sahabat Abu Hurairah.
[14]. Hadits shahih riwayat Muslim, dari sahabat Abu Hurairah.
[15]. Hadits hasan riwayat Ahma, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir , dari sahabat Anas.
[16]. Hadits shahih riwayat Al Hakim, dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah.
[17]. HR Al Bukhar, Ahmad dan An Nasa-i

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...