Searching

Seorang Penyanyi Yang Bertaubat Ditangan Ibnu Mas'ud

Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah tugas para nabi (semoga kesejahteraan dilimpahkan atas mereka), dan jalan para ulama rabbaniyyin, oleh karena itu berdakwah kepada Allah adalah sebuah amal pendekatan diri kepada Allah yang paling utama, dan paling agung kedudukannya.

Allah berfirman.

“Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”[Fushilat : 33]

Dan berdakwah kepada Allah itu, harus benar tujuannya, bersih manhajnya (caranya), inilah jalan dakwah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan siapa saja yang mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Katakanlah : Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik” [Yusuf : 108]

Sungguh para Salafush Shalih kita (semoga Allah merahmati mereka) menempuh jalan ini, mereka menyuruh kebaikan, mencegah kemungkaran dan mengajarkan manusia kebaikan, menyampaikan sejelas-jelasnya melalui berbagai cara, seperti pengajaran, harta, nasehat, fatwa, hukum dan selainnya.

Dan sungguh Salafus Shalih telah menegakkan dakwah ini untuk mengharapkan wajah Allah, mereka tidak menginginkan dari manusia balasan dan tidak pula ucapan terima kasih, dan disaat itu juga mereka menetapi keselamatan manhaj dengan mengikuti dan meninggalkan perbuatan bid’ah.

Kebangkitan Islam saat ini membutuhkan pengetahuan pada contoh-contoh perbuatan dan fenomena yang nyata dari dakwah Salafus Shalih : agar keadaan-keadaan mereka itu menjadi pendorong serta pemberi semangat untuk mencontoh mereka, dan berjalan diatas uslub (metode) mereka.

Salah seorang ulama berkata : “Barangsiapa melihat sejarah Salafush Shalih pasti ia mengetahui kekurangannya, dan ketertinggalannya dari derajat seorang manusia”.

Dan makalah ini berisikan fenomena-fenomena dakwah dari kehidupan Salafush Shalih, kami akan memaparkannya sebagaimana yang berikut ini.

“Adalah seorang pemuda yang bernama Dzaadzan seorang peminum khamr (minuman keras), dan ia penabuh gendang, lalu Allah memberinya rezki berupa taubat ditangan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu maka menjadilah Dzaadzan termasuk orang-orang yang terbaik dari kalangan tabi’in, dan salah seorang ulama yang terkemuka, dan termasuk orang-orang yang masyhur dari kalangan hamba Allah ahli zuhud” [Lihat biografinya dalam Hilyatul Aulia 4/199, dan Bidayah wan Nihayah 9/74 dan Siyar ‘Alamun Nubala 4/280]

Inilah kisah taubatnya, sebagaimana Dzaadzan meriwayatkannya sendiri, ia berkata :

“Saya adalah seorang pemuda yang bersuara merdu, pandai memukul gendang, ketika saya bersama teman-teman sedang minum minuman keras, lewatlah Ibnu Mas’ud, maka ia pun memasuki (tempat kami), kemudian ia pukul tempat (yang berisikan minuman keras) dan membuangnya, dan ia pecahkan gendang (kami), lalu ia (Ibnu Mas’ud0 berkata : “Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an maka engkau adalah engaku… engkau”.

Setelah itu pergilah Ibnu Mas’ud. Maka aku bertanya kepada temanku : “Siapa orang ini ?” mereka berkata : “Ini adalah Abdullah bin Mas’ud (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.

Maka dengan kejadian itu (dimasukkan) dalam jiwaku perasaan taubat. Setelah itu aku berusaha mengejar Abdullah bin Mas’ud sambil menangis, (setelah mendapatinya) aku tarik baju Abdullah bin Mas’ud.

Maka Ibnu Mas’ud pun menghadap kearahku dan memelukku menangis. Dan ia berkata : “Marhaban (selamat datang) orang yang Allah mencintainya”. Duduklah! lalu Ibnu Mas’ud pun masuk dan menghidangkan kurma untukku [Siyar ‘Alamun Nubala 4/28]

Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah diatas, bahwa kita mengetahui kejujuran Abdullah bin Mas’ud dan niatnya yang baik, serta tujuannya yang benar dalam berdakwah kepada Dzaadzan yang menyebabkannya mendapat petunjuk dan bertaubat, sebagaimana dikatakan Abdul Qadir Jailani (561H) semoga Allah merahmati beliau, mengomentari kisah tersebut :

“Lihatlah berkahnya kejujuran (kebenaran), ketaatan dan niat baik, bagaimana Allah memberi petunjuk Dzaadzan melalui Abdullah bin Mas’ud dikarenakan kejujuran dan tujuan baiknya, maka seorang yang rusak (perangai dan ahlaknya) tidak akan dapat engkau perbaiki hingga engkau sendiri menjadi seorang shalih (baik) dalam dirimu, takut kepada Rabbmu jika engkau bersendirian, ikhlas kepadaNya jika engkau bergaul dengan mahluk dengan tanpa berbuat riya’ dalam tindakan dan tingkahmu, meng-Esakan Allah dalam seluruh hal ini, dan ketika engkau ditambah petunjuk dan bimbingan oleh Allah, engkau menjaga dirimu dari hawa nafsu dan dari penyelewangannya oleh syaitan dari kalangan jin dan manusia, dan (engkau jaga dirimu) dari seluruh kemungkaran, kefasikan, bid’ah dan seluruh kesesatan, maka akan dihilangkan darimu kemungkaran dengan tanpa terbebani, sebagaimana hal ini terjadi pada zaman kita ini, seseorang mengingkari satu kemungkaran namun terjerumus dalam banyak kemungkaran, dan kerusakan yang besar ….” [Al-Ghunyah 1/139-140]

Dan perkara lain yang kita ambil faedah dari kisah diatas bahwasanya Ibnu Mas’ud telah menempuh cara yang “syar’iyyah” (cara yang sesuai dengan agama) yang paling utama dalam merubah kemungkaran, tatkala ia mampu merubah kemungkaran dengan tangannya, maka iapun merubah kemungkaran dengan tangannya, ia pecahkan kendang dan ia hancurkan bejana minuman keras.

Sungguh pada diri Abdullah bin Mas’ud terdapat permisalan yang mengagumkan dalam keberanian dan maju membela kebenaran, serta dalam merubah kemungkaran. Ia tidak takut celaan orang yang suka mencela, padahal ia sendirian dan orang yang dilarang dari kemungkaran lebih dari satu, sebagaimana nampak dalam konteks cerita. Ditambah lagi padahal Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang pendek dan kurus (semoga Allah meridhai beliau).

Akan tetapi karena Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang mengagungkan hukum-hukum dan syiar-syiar Allah, maka hal ini mewariskan sikap penghormatan dan pengagungan, dan sungguh benarlah Amr bin Abdul Qais ketika ia berkata : “Barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah akan menjadikannya takut terhadap segala sesuatu” [Sifatus Sofwah 3/208]

Dan dengan perbuatan Abdullah bin Mas’ud yang merubah kemungkaran dengan tangannya, kita akan mendapati seberapa besar belas kasih darinya dan seberapa besar kesempurnaan kelembutan dan nasehatnya kepada Dzaadzan. Karena tatkala Dzaadzan mendatanginya dalam keadaan bertaubat, iapun menghadapi dan memeluk Dzaadzan, lalu menangis lantaran gembira dengan taubat Dzaadzan. Dan Abdullah bin Mas’ud menghormatinya dengan ungkapan yang paling indah : “Selamat datang orang yang dicintai Allah”.

Sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al-Baqarah : 222]

Bukan itu saja, bahkan Ibnu Mas’ud mempersilahkannya duduk dan mendekatkannya, dan menghidangkan kurma untuknya.

Demikianlah, ahli sunnah mengetahui kebenaran dan berdakwah kepada kebenaran, ahli sunnah sayang terhadap mahluk dan menasehati mereka.

Sebagaimana kita lihat dari kisah tadi bagaimana cerdas dan pintarnya Abdullah bin Mas’ud [Berkata Imam Dzahabi : Sesungguhnya Ibnu Mas’ud dianggap ulama yang cerdas, Lihat Siyar ‘Alamun Nubala 1/462] Lihatlah bagaimana Dzaadzan bertaubat. Karena sesungguhnya Dzaadzan adalah seorang penyanyi yang bagus suaranya, maka berkatalah Ibnu Mas’ud kepadanya : “Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an maka engkau adalah engkau…engkau”. Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud berkata : “Alangkah bagusnya suara ini ! kalau seandainya ia membaca Al-Qur’an tentullah lebih baik”.

Sesungguhnya pengarahan yang lurus terdapat pada persiapan-persiapan dan kemampuan-kemampuan, dan meletakkannya pada tempatnya sesuai dengan syari’at ditambah lagi dengan memperhatikan tabiat jiwa manusia. Dan pengetahuan terhadap perasaannnya adalah penopang yang penting untuk kesuksesan dakwah, karena sesungguhnya jiwa itu tidak akan meninggalkan sesuatu melainkan diganti dengan sesuatu yang lain, maka haruslah memperhatikan pengganti yang sesuai dan inilah yang dipahami oleh Abdullah bin Mas’ud dan terlewatkan pemahaman ini oleh banyak manusia lainnya.

Ibnu Taimiyah berkata : “Agama Islam menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran, tidak akan tegak salah satunya melainkan dengan lainnya, maka janganlah seseorang melarang kemungkaran kecuali hendaknya ia juga menyuruh kebaikan dan menyingkirkan kemungakaran, sebagaimana ia menyuruh beribadah kepada Allah dan juga melarang dari beribadah kepada Allah dan juga melarang beribadah kepada selainNya, dimana perkara tertinggi adalah bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan jiwa itu diciptakan untuk beramal, bukan untuk meningalkan, dan hanyalah meninggalkan itu tujuan lainnya” [Iqtidho Sirotol Mustaqim 2/617]

Inilah fenomena yang mulia dari dakwah Salafush Shalih, dan dalam kitab-kitab yang menjelaskan biografi salafush shalih banyak dijumpai kisah-kisah yang indah (dalam kehidupan mereka), barangsiapa ingin mengambil contoh maka hendaklah mengambil contoh orang yang sudah meninggal dunia (para sahabat nabi), karena orang yang masih hidup tidak aman darinya fitnah.

Aku Bertaubat Kemudian Kembali Kepada Kemaksiatan

“Artinya : Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Az-Zumar : 53]

Para ulama bersepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat dari dosa-dosanya dengan taubat yang semurni-murninya, maka Allah mengampuni dosa-dosanya semuanya, berdasarkan ayat ini dan berdasarkan firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahan dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” [At-Tahrim : 8]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertalikan penghapusan kesalahan-kesalahan dan masuk surga pada ayat ini dengan taubat yang semurni-murninya, yaitu perbuatan yang mencakup meninggalkan dosa, waspada terhadapnya, menyesali apa yang pernah dilakukannya, bertekad bulat untuk tidak kembali kepadanya,karena mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menginginkan pahalanya, dan takut terhadap siksanya. Dan diantara syarat taubat ialah mengembalikan hak-hak yang dizhalimi kepada yang berhak menerimanya atau mereka yang memaafkannya, jika kemaksiatan tersebut berupa kezhaliman yang menyangkut darah, harta dan kehormatannya, maka ia banyak berdo’a untuknya, dan menyebut kebaikan-kebaikan amal yang dilakukan olehnya di tempat-tempat di mana ia pernah mengunjingkannya ; karena kebaikan-kebaikan akan menghapuskan keburukan-keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” [An-Nur : 31]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan dalam ayat ini keberuntungan dengan taubat. Ini menunjukkan bahwa orang yang bertaubat itu orang yang beruntung lagi berbahagia. Jika orang yang bertaubat mengiringi taubatnya dengan iman dan amal shalih, maka Allah menghapuskan keburukan-keburukannya dan menggantinya dengan kebajikan-kebajikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Furqan, ketika menyebutkan kesyirikan, membunuh dengan tanpa hak dan zina.

“Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Furqn ; 68-70]

Di antara sebab taubat ialah ketundukan kepada Allah, memohon hidayah dan taufik kepadaNya, serta agar Dia memberi karunia berupa taubat kepadamu. Dialah yang berfirman.

“Artinya : Berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” [Al-Mukmin : 60]

Dialah yang berfirman.

“Artinya : Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan pemohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepadaKu” [Al-Baqarah : 186]

Diantara sebab-sebab taubat juga dan istiqomah di atasnya ialah berteman dengan orang-orang yang baik dan meneladani amalan-malan mereka, serta menjauhi berteman dengan orang-orang yang jahat. Shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan kepada siapa berteman” [Hadits Riwayat Abu Daud dalam Al-Adab, 4833,At-Tirmidzi dalam Az-Zuhud 2378, Ahmad 8212]

Beliau bersabda.

“Artinya : Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang buruk ialah seperti pembawa minyak wangi dan pandan besi.Pembawa minyak wangi mungkin akan memberi minyak kepadamu, kamu membeli darinya, atau kamu mencium baunya yang harum. Sedangkan pandan besi, mungkin akan membakar pakaiannmu atau kamu mencium bau yang tidak sedap” [Hadits Riwayat Al-Bukhari alam Al-Buyu 2102, Muslim dalam Al-Birr wa Ash-Shilah 2628]

[Kitab Ad-Da’wah, Al-Fatawa, hal.251, Syaikh Ibnu Baz]

Kapan Waktu Berdo'a?

Ada yang mengatakan bahwa pada saat shalat itulah kita sedekat-dekatnya dengan Allah, maka saat itulah kita dapat berdoa.

Memang yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai amalan setelah selesai shalat adalah dzikir dan wirid. Belum diketahui bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setiap selesai shalat berdoa dengan doa tertentu. Akan tetapi, dengan rahmat Allah yang maha luas, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan kemudahan kepada kita untuk meminta kapan saja dan akan dikabulkan, tentu dengan syarat-syarat tertentu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabb-mu berfirman: "Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". [al Mu`min : 60]

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. [al Baqarah : 186]

Allah juga memberikan keterangan waktu-waktu yang mustajabah, keadaan dan kondisi yang baik serta tempat-tempat mulia, yang apabila digunakan untuk berdoa akan menjadi sebab dikabulkan doa kita.
Waktu-waktu mustajabah itu di antaranya :

1. Untuk pertahunnya, yaitu do’a di hari Arafah, waktu-waktu di al Masy’aril Haram bagi haji, malam lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

2. Untuk perbulannya, yaitu bulan Ramadhan, terlebih pada sepuluh hari terakhir.

3. Untuk perpekannya, yaitu hari Jum’at antara duduk imam di atas mimbar sampai selesai shalat, satu waktu pada hari Jum’at dan ada yang menyatakan pada akhir waktu Ashar hari Jum’at.

4. Untuk perharinya, yaitu pada waktu menjelang fajar, sepertiga akhir malam.

Adapun keadaan dan kondisi yang dianjurkan untuk berdoa, di antaranya ialah : doa ketika para mujahidin bertempur di jalan Allah, ketika turun hujan, setelah wudhu, ketika adzan, antara adzan dan iqamah, ketika iqamah shalat wajib, keadaan sujud, ujung (akhir setiap shalat wajib), saat sedang berpuasa, ketika berbuka, doa orang yang berhaji sampai pulang, doa orang terzhalimi, doa imam yang adil, setelah membaca al Qur`an, dalam majlis ilmu, dan lainnya.[1]

Ini semua dapat digunakan untuk mendoakan kedua orang tua, mendoakan anak dan doa apa saja sesuai dengan kebutuhannya.

Sedangkan keadaan seorang hamba yang terdekat dengan Allah, yaitu waktu sujud. Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah, beliau berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah dalam keadaan dia sujud, maka perbanyaklah doa.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, keadaan tersebut termasuk sarana dikabukan doa kita, seperti diriwayatkan Imam Muslim dan an Nasa-i, dari hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:

كَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السِّتَارَةَ وَالنَّاسُ صُفُوفٌ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ مُبَشِّرَاتِ النُّبُوَّةِ إِلَّا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ ثُمَّ قَالَ أَلَا إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ قَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuka sitar dan orang-orang berbaris di belakang Abu bakar. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Wahai manusia, sungguh tidak sisa dari berita kenabian kecuali mimpi yang bagus yang dilihat seorang muslim atau terlihat,” kemudian (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata,”Ketahuilah, aku dilarang membaca al Qur`an dalam keadaan ruku’ dan sujud. Adapun ruku’, maka agungkanlah Rabb kalian; sedangkan sujud, maka bersungguh-sungguhlah memperbanyak doa, karena pantas untuk dikabulkan.”

[1]. Diringkas dari kitab Tashhih ad Do’a, karya Bakar bin Abdillah Abu Zaid.


WAKTU ANTARA ADZAN DAN IQAMAT

Di antara waktu yang sering kita sia-siakan adalah waktu antara adzan dan iqamat. Siapa pun yang menggunakan waktu antara adzan dan iqamat untuk membaca Al-Qur-an, baik mengulang hafalannya maupun menghafalkannya, niscaya ia akan banyak menghafalkan Al-Qur-an. Gunakan juga waktu antara adzan dan iqamat untuk berdo’a, sebab do’a pada waktu ini tidak ditolak. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ.

“Tidak ditolak do’a antara adzan dan iqamat.” [1]

Seandainya kita menggunakan waktu antara keduanya, bukan saja karena berharganya waktu ini, tetapi juga ingin mendapatkan pahala bersegera menuju shalat, maka kita akan mendapatkan banyak manfaat berupa ketenangan jiwa dan raga, selain manfaat mendapatkan ilmu.

Berusahalah dengan sungguh-sungguh, setelah mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala, untuk menggunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membaca, menulis, muraja’ah, mudzakarah, dan lainnya.[2]
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. At-Tirmidzi, Ahmad, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, Ibnu Khuzaimah. Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah tentang hal ini dalam Shahiih al-Waabilish Shayyib  dan Zaadul Ma’aad.
[2]. Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi, secara ringkas dan sedikit tambahan.

Definisi Tasbih, Nama-Nama Tasbih


1. DEFINISI TASBIH [1]
“As-Subhah”, ejaannya adalah huruf (Syin) berharakat dhammah, (ba) berharakat sukun, berasal dari kata “at-Tasbiih” yang maksudnya adalah perkataan “Subhaanallaah”, atau kata ini wazannya adalah taf’iil dari kata as-sabh yang maknanya adalah bergerak serta bolak balik, datang dan pergi, sebagaimana yang tertera di dalam firman Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” [2]

Bentuk jamaknya adalah subah seperti kata ghurfah bentuk jamaknya ghuraf. Ini adalah sebuah benda yang terdiri dari butiran-butiran yang dirangkai dengan seutas benang dan digunakan untuk menghitung dzikir.

Kata ini merupakan sebuah kata yang baru lahir di dalam bahasa Arab. Hal ini dikemukakan oleh al-Azhari dan juga oleh al-Farabi, kemudian diikuti oleh al-Jauhari yang mengatakan bahwa as-Subhah artinya adalah sesuatu yang digunakan untuk berdzikir. Berkata guru kami [3], Kata ini sama sekali bukan termasuk di dalam bahasa Arab, orang-orang Arab pun belum pernah mengenalnya, akan tetapi mulai muncul pada generasi pertama umat ini sebagai sarana untuk membantu orang dalam berdzikir, mengingat Allah, serta untuk menambah semangat.

Adapun as-Subhah menurut syari’at, maknanya adalah: Do’a dan shalat sunnah. Ibnu ‘Abbas menamakan jari telunjuk dengan sebutan al-Mas-bahah, sebagaimana yang ada di dalam “al-Faraj ba’dasy Syiddah” (I/185), maka kata ini menurut syari’at merupakan jenis kata musytarak [4] secara lafazh yang memiliki dua makna menurut syari’at, yaitu do’a dan shalat sunnah, karena keduanya merupakan sarana untuk berdzikir, misalnya: Subhatudh Dhuha (shalat sunnah Dhuha), adapun makna lain (selain syar’i) dari kata ini, adalah susunan butiran-butiran yang dipergunakan untuk menghitung dzikir.

2. NAMA-NAMA TASBIH
Dinamakan “subhah” [5] dengan bentuk jamaknya “subah”, disebut juga “misbahah” dengan wazan “mif‘alah” yang dapat diambil darinya bentuk kata kerja sabaha, bentuk masdarnya adalah “as-sabh” dan jamaknya adalah “masaabih” dan “masaabiih”. [6]

Dinamakan juga “at-Tasaabiih” sebagaimana yang tercantum di dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah pada bab “Man Karihat Tasbiih” (II/391), seraya menyebutkan sanadnya dari Ibrahim an-Nakha’i, bahwa beliau melarang puterinya mem-bantu para wanita memintal benang tasbih untuk berdzikir.

Nama lainnya adalah “an-Nizhaam”, seba-gaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam bukunya “al-Bida’ wan Nahyu ‘anha” hal. 12, dengan sanadnya dari Aban bin Abi ‘Ay-yasy berkata: “Saya bertanya kepada al-Hasan tentang hukum “an-Nizhaam” (untaian mutiara, biji-bijian dan semisalnya yang dirangkai dengan seutas benang) baik berupa biji-bijian maupun yang lainnya untuk berdzikir?” Beliau menjawab: “Tidak satu pun di antara para isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para wanita dari kaum Muhajirin pernah melakukannya.”

Pada sanad atsar ini, ada perawi yang derajat-nya matruk (ditinggalkan-pent.), dia adalah Aban bin Abi ‘Ayyasy al-Bashri, sehingga atsar ini tidak bisa dijadikan dalil, lebih-lebih riwayat Aban akan menjadi semakin lemah jika dia meriwayatkan dari al-Hasan, dan begitulah yang terjadi pada sanad atsar ini. Hal ini seperti penjelasan adz-Dzahabi di dalam al-Miizaan (I/11).

Dikenal juga dengan “al-Aalah”, di dalam al-Minhah ketika as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan sebagian atsar-atsar yang menceritakan betapa banyak ibadah mereka, di antaranya membaca subhaanallah sebanyak seratus ribu kali dan seterusnya, beliau berkata: “Termasuk sesuatu yang telah diketahui dengan yakin adalah bahwa bi-langan seratus ribu, empat puluh ribu, dan yang lebih kecil dari itu tidak bisa dihitung dengan jari-jemari tangan, maka dari itu telah benar dan tetap bahwa dua bilangan tadi dihitung dengan menggunakan suatu alat.”

Orang-orang Shufi telah membuat-buat berbagai julukan untuk tasbih, di antaranya: Peng-ingat Allah, pengikat hati, tali penghubung, cambuk syaitan.

3. BAHAN DASAR PEMBUATANNYA [7]
Tasbih dibuat dari berbagai bahan yang berbeda sesuai dengan keadaan, kemampuan, tingkat kemudahan dalam mendapatkannya, sedikit banyaknya harta, demikian juga sesuai dengan masa dan tempat. Setiap daerah memilih bahan-bahan khusus untuk pembuatannya seperti di Mesir, India, Cina, dan Eropa. Ini akan saya sebutkan beberapa bahan dasar pembuatan tasbih yang sempat saya (penulis) amati, antara lain tanah liat, kerikil, biji-bijian, bahan tambang, gading, kaca, emas, perak, keramik, ambar serta jenis wewangian lainnya, batu-batu mulia, berlian, atau sesuatu yang dilapisi dengan emas, perak, atau yang terbuat dari tulang sebagian hewan, seperti gigi gajah, dan juga berbagai jenis kayu seperti al-arz [8] di Libanon, juga dibuat dari sebagian biji buah-buahan, seperti misymisy dan khukh .[9]

Kemudian tasbih juga memiliki berbagai war-na, seperti hitam, merah, putih dan seterusnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Ash-Shihaah karangan al-Jauhari (I/372), Tahdziibul Asmaa wal Lughaat karangan an-Nawawi (III/143-144), Taajul ‘Aruus (II/157), al-Qaamuus (285), al-Mishbaahul Muniir karangan al-Fayumi (263), Haasyiyah Ibnu ‘Aabidiin bab Maa Yufsidush Shalaah wamaa Yukrahu fiiha, Mathlab al-Kalaam ‘alat Ti-khaadzis Subhah.
[2]. QS. Al-Muzzammil ayat 7.-pent.
[3]. Yang berkata adalah az-Zubaidi di dalam “Taajul ‘Aruus” dari gurunya yang bernama Ibnuth Thayyib asy-Syarqi.
[4]. Suatu kata di dalam bahasa Arab yang memiliki beberapa makna.-pent.
[5]. Al-Qaamuus hal. 185 dan Syarhnya (II/157). Nisywaarul Muhaadharah (V/29). Zhafrul Amaani, hal. 292-293.
[6]. Daa-iratul Ma’aarif al-Islaamiyyah (XI/233).
[7]. Al-Mausuu’ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah (I/958), Nisywaarul Muhaadharah (V/29).
[8]. Nama pohon yang menjadi lambang pada bendera Libanon.-pent.
[9]. Nama buah di negara Arab yang bijinya kira-kira sebesar biji salak.-pent.

Pagi Hari : Antara Tidur Dan Dzikir

Pagi hari, tatkala udara masih terasa dingin, menggoda seseorang untuk tetap berdiam di atas ranjang, meski adzan Subuh sudah berkumandang. Atau usai mengerjakan shalat Subuh, seolah betapa nikmat melanjutkan tidur atau bermalas-malasan. Padahal ada satu aktifitas yang semestinya dilakukan seorang muslim pada pagi hari. Yaitu Rasulullah n mengajarkan, agar kita berdzikir pada waktu pagi hari, bukan justru melanjutkan tidur.

Tidur pagi (setelah subuh) bukanlah kebiasaan yang baik. Orang-orang yang dikenal “menyukai” kasur hanyalah para bayi dan orang-orang sakit, serta para pengangguran. Untuk kelompok pertama dan kedua, tidur mereka lantaran karena kondisi. Sementara untuk golongan ketiga, karena tuntutan “profesi” yang dampaknya memupuk kemalasan.

Namun adakalanya, orang yang tidak termasuk dalam golongan di atas, menggandrungi ranjang sehabis shalat Subuh. Bahkan seolah-olah menjadi kurikulum tetap yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh karenanya, tulisan ini ingin menggugah semangat kita untuk memulai aktifitas sedini mungkin, di pagi hari yang berudara segar.

TIDUR PAGI BUKAN KEBIASAAN PARA SALAF
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Abu Wa’il Syafiq bin Salamah al Asadi, ia berkata:

Suatu hari, usai kami shalat Shubuh, kami pergi menemui 'Abdullah bin Mas'ud. Kami mengucapkan salam di sisi pintu. Kami diizinkan masuk. Namun kami putuskan untuk menunggu sejenak (di luar).

Seorang budak berkata: "Tidakkah kalian masuk saja?"
Kami masuk, dan ia (Ibnu Mas'ud) sedang duduk bertasbih.
Dia bertanya: "Apa yang menghalangi kalian masuk, padahal sudah dipersilahkan?"

“Tidak apa-apa. Hanya saja kami mengira masih ada anggota keluarga yang masih tidur (sehingga kami tidak langsung masuk ke dalam)," jawab kami.

Ibnu Mas'ud berkata: "Kalian mengira keluarga Ibnu Ummu Abd (maksudnya ia sendiri) adalah orang-orang yang lalai?"

Ia meneruskan untuk bertasbih, sampai tatkala mengira matahari telah terbit, ia memanggil budaknya dengan bertanya: "Lihatlah, apakah sudah terbit?"

Budak itu melihatnya, tetapi belum terbit. Maka ia (Ibnu Mas’ud) meneruskan tasbihnya. Sampai ketika mengira matahari telah terbit, maka ia memerintahkan budak perempuannya: "Wahai, budak. Tolong lihat, apakah sudah terbit?"

Ia (budak itu) melihat, dan ternyata matahari sudah terbit. Maka Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhun berkata:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا وَلَمْ يُهْلِكْنَا بِذُنُوبِنَا

“Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan hari kami ini, tidak membinasakan kami dengan dosa-dosa kami".[1]

Syaikh ‘Abdur Razzaq Al Badr berkata,”Dialog dalam atsar di atas mencerminkan gambaran secara jelas tentang kehidupan yang penuh dengan vitalitas dan tekad tinggi untuk mengoptimalkan waktu pagi hari di kalangan para salafush shalih rahimahullah , terutama para sahabat lantaran kedalaman ilmu din, sehingga mereka memberikan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing.”[2]

Ketika Abu Wa’il dan kawan-kawannya datang kepada Ibnu Mas’ud, saat itu adalah waktu-waktu yang penuh berkah lagi berharga. Yaitu waktu untuk tekun dan melakukan dzikir kepada Allah, dan meningkatkan semangat menambah kebaikan. Hanya saja, tidak sedikit orang yang kurang memperhatikan. Waktu yang sangat berharga itu menjadi sia-sia, dilewatkan dengan tidur, bermalas-malasan dan patah semangat, atau disibukkan dengan perkara-perkara yang kurang bermanfaat. Apalagi jika mengawalinya dengan kegiatan yang diharamkan. Wal iyadzu billah!

Pagi hari laksana masa muda yang penuh dengan vitalitas, dan sore hari ibarat masa tua yang hanya menyisakan tubuh tanpa daya. Barangsiapa yang terbiasa dengan sesuatu kebiasaan pada masa mudanya, niscaya ia terbiasa mengerjakannya pada masa tuanya. Demikianlah, aktifitas seseorang pada pagi harinya akan mempengaruhi semangat kerja sepanjang harinya. Jika ia memulai dengan tekun, maka akan menyelesaikan harinya dengan penuh ketekunan. Jika mengawalinya dengan kemalasan, maka itulah yang akan dominan. Barangsiapa mampu mengendalikan hari, yaitu awalnya, niscaya seluruh harinya akan selamat dengan izin Allah. Dia akan ditolong untuk dapat mengerjakan kebaikan dan keberkahan. Ini seperti pepatah “harimu bagaikan ontamu, apabila yang pertama dapat engkau taklukkan, niscaya onta-onta di belakangnya akan mengikutimu”. Makna pepatah ini sejalan dengan pernyataan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu a'nhu : "Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan hari kami ini, tidak membinasakan kami dengan dosa-dosa kami".

TIDUR PAGI, BERBAHAYA!
Ibnul Qayyim berkata: "Di antara perkara yang dibenci di kalangan para salaf, yaitu tidur antara usai shalat Shubuh dan terbitnya matahari. Sebab, waktu-waktu itu adalah saat keberuntungan. Aktifitas yang dikerjakan pada waktu-waktu tersebut memiliki nilai istimewa. Bahkan kalau orang-orang telah berjalan semalam suntuk, mereka tidak diperbolehkan untuk beristirahat pada waktu tersebut sampai matahari terbit. Saat itu adalah permulaan hari dan kuncinya, waktu turunnya rejeki dan terjadinya pembagian rejeki dan barokah. Selain itu, (terhitung) saat itulah pergerakan hari bermula. Keadaan seluruhnya tergantung pada bagiannya. Maka seharusnya (kalau harus tidur), maka itu adalah tidur yang sifatnya darurat".[3]

Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia melihat seorang anaknya tidur pada waktu pagi. Maka ia berkata,”Bangun, engkau tidur saat rejeki dibagi-bagikan".[4]

Ibnul Qayyim mengingatkan kita: "Tidur pada pagi hari menghalangi datangnya rejeki. Sebab waktu pagi adalah saat pencarian rejeki oleh para makhluk. Pagi adalah waktu pembagian rejeki. Maka tidur pada waktu tersebut, akan menjadi penghambat menerima rejeki, kecuali karena alasan tertentu, atau kondisi darurat. (Tidur pagi hari) sangat berbahaya bagi jasmani, karena membuat malas badan dan merusak metabolisme yang diolah oleh tubuh. Akibatnya, (dapat) menyebabkan kegoncangan, kegelapan dan kelemahan fisik. Kalau itu terjadi sebelum buang air besar, bergerak dan olah raga serta menyibukkan lambung dengan sesuatu, maka itu merupakan penyakit berbahaya yang akan melahirkan berbagai penyakit”.[5]

KEKUATAN DZIKIR PAGI HARI
Shalat Subuh menjadi kegiatan fardhu pertama bagi seorang muslim setiap harinya. Hikmahnya pun banyak. Hal ini bisa dirasakan oleh setiap muslimin yang tidak melewatkan ibadah pembuka ini secara berjamaah di masjid.

Ditambah lagi dengan ibadah sunnah yang mengiringinya, seperti dzikir pagi yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mengingatkan seseorang untuk senantiasa duduk tepekur mengingat Yang Maha Kuasa. Wirid-wirid dalam dzikir pagi tersebut mencakup berbagai makna agung. Di antaranya, pengakuan hamba sebagai makhluk yang lemah, pengakuan keesaan Allah ketika kita beribadah, penyerahan diri secara total kepada Allah, permohonan perlindungan kepada Allah dari segala bahaya. Ungkapan-ungkapan yang apabila diketahui dan dihayati, akan melahirkan keyakinan, optimisme dan meningkatkan semangat mengais kebaikan pada pagi itu. Ringkasnya, menekuni dzikir pada pagi hari akan melahirkan kekuatan dan semangat dalam menjalani aktifitas harian.

Ibnul Qayyim menceritakan,”Suatu kali, aku pernah menjumpai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah usai melaksanakan shalat Shubuh. Dia duduk sambil terus melantunkan dzikir kepada Allah Ta'ala sampai separo siang. Kemudian ia menoleh kepadaku, seraya berkata,’Inilah aktifitas pagiku. Jika aku tidak mengamalkannya, kekuatanku jatuh, atau pernyataan yang hampir serupa dengan itu’."[6]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa memohon keberkahan bagi umatnya pada waktu pagi.

عَنْ صَخْرٍ الْغَامِدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا قَالَ وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْ جَيْشًا بَعَثَهُمْ أَوَّلَ النَّهَارِ وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلًا تَاجِرًا وَكَانَ إِذَا بَعَثَ تِجَارَةً بَعَثَهُمْ أَوَّلَ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ

"Dari Shakhr bin Wada'ah al Ghamidi, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa: "Ya, Allah! Berkahilah umatku pada pagi harinya". Jika mengirim pasukan ekspedisi atau pasukan perangnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus mereka di pagi hari. Dan Shakhr adalah seorang pedagang. Maka ia mengirim dagangannya pada pagi hari. Dia menjadi kaya dan hartanya melimpah".

Dari uraian tersebut di atas, maka pantaslah bagi kita untuk memperhatikan, agar kita bisa memanfaatkan waktu pagi hari dengan dzikir, sehingga mampu meningkatkan produktifas. Tidak terbuai dengan tidur yang melalaikan dan menjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Amr bin al 'Ash Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Tidur ada tiga macam. Tidur orang rusak, tidur orang berakhlak, dan tidur orang dungu. Adapun tidur orang yang rusak kepribadiannya adalah tidur pada waktu dhuha, saat orang-orang menyelesaikan urusan-urusan mereka, sementara ia terlelap dalam tidurnya. Tidur orang yang bermoral, adalah tidur qailulah ketika pertengahan hari. Dan tidur orang yang pandir adalah tidur ketika waktu shalat datang".[7]

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita, sehingga mampu merengkuh setiap kebajikan dan mengikuti manhaj Salafus Shalih dan pengamalan mereka. Wabilahit Taufiq. (mas)

[Diangkat dari kitab Fiqhul Ad'iyah wal Adzkar, Dr. Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al Badr, Cetakan I, Tahun 1423, Kuwait]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Shahih Muslim.
[2]. Fiqhul Ad'iyah wal Adzkar.
[3]. Madariju as Salikin.
[4]. Atsar ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam Zadul Ma'ad.
[5]. Zadul Ma'ad (4/242).
[6]. Al Wabil Ash Shayyib hlm. 85-86.
[7]. Diriwayatkan oleh Al Baihagi dalam Asy Syu'ab (4/182). Ibnu Al Muflih membawakannya dalam Al Adab Asy Syar'iyyah (3/162).

Salah Faham Terhadap Do'a Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Diantara sekian banyak do'a-do'a yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada umatnya adalah do'a dibawah ini :

"Allahumma ahyinii miskiinan, wa amitnii miskiinan, wahsyurnii fii jumratil masaakiin".

"Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin".

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah  dan lain-lain. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya : hasan. [Lihat pembahasannya di kitab beliau : Irwaul Ghalil dan Silsilah Shahihah .

Setelah kita mengetahui bahwa hadits ini sah datangnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sekarang perlu kita mengetahui apa maksud sebutan miskin dalam lafadz do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Yang sangat saya sesalkan diantara saudara-saudara kita (tanpa memeriksa lagi keterangan Ulama-ulama kita tentang syarah hadits ini khususnya tentang gharibul hadits) telah memahami bahwa miskin di sini dalam arti yang biasa kita kenal yaitu : Orang-orang yang tidak berkecukupan di dalam hidupnya atau orang-orang yang kekurangan harta. Dengan arti yang demikian maka timbulah kesalah pahaman di kalangan umat terhadap do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, akibatnya :

[1]. Do'a ini tidak ada seorang muslimin pun yang berani mengamalkannya, atau paling tidak sangat jarang sekali, lantaran menurut tabi'atnya manusia itu tidak mau dengan sengaja menjadi miskin.

[2]. Akan timbul pertanyaan : Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya menjadi miskin ? Bukankah di dalam Islam ada hukum zakat yang justru salah satu faedahnya ialah untuk memerangi kemiskinan ? Dapatkah hukum zakat itu terlaksana kalau kita semua menjadi miskin ? Dapatkah kita berjuang dengan harta-harta kita sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan kalau kita hidup dalam kemiskinan ?.

Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari berburuk sangka kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[3]. Ada jalan bagi musuh-musuh Islam untuk mengatakan : “Bahwa Islam adalah musuh kekayaan !?”

Padahal yang betul maksud miskin di dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini ialah : "Orang yang khusyu dan mutawaadli (orang yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala)". Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Ulama-ulama kita :

[1]. Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits  mengatakan :

"Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ..... Yang dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah : tawadlu' dan khusyu', dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur".

[2]. Di kitab kamus Lisanul Arab oleh Ibnu Mandzur diterangkan, asal arti miskin di dalam lughah/bahasa ialah = al-khaadi' (orang yang tunduk), dan asal arti faqir ialah : Orang yang butuh. Lantaran itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin .....

Yang dikehendaki ialah : tawadlu' dan khusyu'. dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur. Artinya : Aku merendahkan diriku kepada Mu wahai Rabb dalam keadaan berhina diri, tidak dengan sombong.

Dan bukanlah yang dikehendaki dengan miskin di sini adalah faqir yang butuh (harta).

[3]. Imam Baihaqi mengatakan :"Menurutku bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (khusyu' dan tawadlu'). [Lihat kitab : Sunatul Kubra al-Baihaqi dan Taklhisul-Habir  oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar]

[4]. Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh al-Imam Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya' . [Baca juga syarah Ihya' oleh Imam Az-Zubaidy]

[5]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :"Hidupkanlah aku" dalam keadaan khusyu' dan tawadlu'. [Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah bagian kitab hadits]

Beliau juga mengatakan  : ".... bukanlah yang dikehendaki dengan miskin (di hadits ini) tidak mempunyai harta ..."

[6]. Imam Qutaibi juga mengatakan khusyu' dan tawadlu' [Ta'liq Sunan Ibnu Majah  oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi]

Kemudian periksalah kitab-kitab dibawah ini :

[7]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi oleh Imam Al-Mubaarakfuri.
[8]. Faidhul Qadir Syarah Jami'us Shaghir  oleh Imam Manawi.
[9]. Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab oleh Imam Nawawi.
[10]. Shahih Jami'us Shaghir oleh Al-Albani.
[11]. Maqaashidul Hasanahs oleh Imam As-Sakhawi.

Setelah kita mengetahui keterangan ulama-ulama kita tentang maksud miskin dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas baik secara lughah/bahasa meupun maknanya, maka hadits tersebut artinya menjadi :

"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan matikanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang yang khusyu' dan tawadlu".

Rasanya kurang lengkap kalau di dalam risalah ini (sebagai penguat keterangan di atas) saya tidak menerangkan dua masalah yang perlu diketahui oleh saudara-saudara kaum muslimin.

Pertama : Bahwa Islam adalah agama yang memerangi atau memberantas kefakiran dan kemsikinan di kalangan masyarakat. Hal ini dengan jelas dapat kita ketahui.

[1]. Di dalam Islam tedapat hukum zakat (satu pengaturan ekonomi yang tidak terdapat pada agama-agama yang lain kecuali Islam). Sedangkan yang berhak menerima bagian zakat di antaranya orang-orang yang fakir dan miskin (At-Taubah : 60). Kalau saja zakat ini dijalankan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan dan menurut sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya tidak sedikit mereka yang tadinya hidup dalam kemiskinan -setelah menerima bagian zakatnya- akan berubah kehidupannya bahkan tidak mustahil kalau di kemudian hari merekalah yang akan mengeluarkan zakat. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :

"Artinya : Agar supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang yang kaya saja dari kamu". [Al-Hasyr : 7]

[2]. Islam memerintahkan memperhatikan keluarga (ahli waris) yang akan ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang menadahkan tangan kepada manusia. Kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia (meminta-minta)". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim  dan lain-lain]

[3]. Bahkan Islam mencela kalau ada seorang mukmin yang hidup dalam keadaan cukup sedangkan tetangganya kelaparan dan dia tidak membantunya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Bukanlah orang yang mukmin itu yang (hidup) kenyang, sedangkan tetangganya (hidup) lapar di sebelahnya". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari di kitabnya Adabul Mufrad, dan lain-lain]

Maksudnya : Tidaklah sempurna keimanan sorang muslim itu apabila ia makan dengan kenyang sedangkan tetangganya di sebelahnya kelaparan (kalau hal ini ia ketahui dan ia tidak membantunya dengan memberi makan kepada tetangganya).

[4]. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari hidup dalam kefakiran dan kelaparan.

"Artinya : Dari Aisyah (ia berkata) : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berdo'a dengan do'a-doa ini : Allahumma dan seterusnya..(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka, dan dari fitnah kubur dan azab kubur, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kekayaan, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kefakiran ...." [Shahih Riwayat Bukhari . Muslim dan ini lafadznya), Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Hakim dan Baihaqi.
Kemudian Hadits Abi Hurairah :

"Artinya : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya". [Shahih Riwayat Abu Dawud, Ahmad. Nasa'i, Ibnu Hibban. Baihaqi.

"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelaparan, karena sesungguhnya keleparan itu seburuk-buruk teman berbaring, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari khianat, karena sesungguhnya khianat itu seburuk-buruk teman". [Shahih Riwayat Abu Dawud. Nasa'i dan Ibnu Majah.
Hadits Abi Bakrah Nufai' bin Haarits : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan do'a ini di akhir salat:

"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran dan azab kubur". [Hadits Shahih atas syarat Muslim di keluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan dan Nasa'i]

Hadits Anas bin Malik : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dalam do'anya :

"Artinya : ....Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran/miskin dan kekafiran ......". [Hadits Shahih atas syarat Bukhari, dikeluarkan oleh Imam Hakim. dan Imam Ibnu Hibban

Kedua : Islam tidak menjadi musuh kekayaan asalkan si kaya seorang yang taqwa.

Bahkan dengan kekayaan itu seorang dapat memperoleh ganjaran yang besar dan derajat yang tinggi seperti berjihad dengan harta sebagaimana yang Allah perintahkan, menunaikan zakat harta, infaq dan shadaqah, ibadah haji, mendirikan masjid-masjid, pesantren dan sekolah-sekolah Islam, membantu anak yatim dan perempuan-perempuan janda dan lain-lain yang membutuhkan harta dan kekayaan.

Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam pernah mendo'akan Anas bin Malik :

"Artinya : Ya Allah ! Banyakkanlah hartanya dan anak-anaknya serta berikanlah keberkahan apa yang Engkau telah berikan kepadanya". [Hadits Riwayat Bukhari. dan lain-lain]

Hadits ini mengandung beberapa faedah.
[1]. Bahwa harta itu adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala.

[2]. Bahwa banyak harta itu tidak tercela atau mengurangi ibadahnya, asalkan dia memang seorang yang taqwa. Bahkan hadits ini kita dapat mengetahui bahwa banyak harta itu merupakan suatu kebaikan dan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Karena tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan kecelakaan kepada salah seorang shahabat dan pembantunya seperti Anas bin Malik kalau tidak menjadi kebaikan baginya !.

[3]. Boleh mendo'akan seseorang supaya banyak hartanya dengan penuh keberkahan.

[4]. Dari hadits ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mempunyai anak banyak.

[5]. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan Anas bin Malik yang telah terbukti dalam tarikh -berkat do'a Nabi- tidak seorangpun dari shahabat Anshar yang paling banyak harta dan anak selain dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada shahabatnya Hakim bin Hizaam : "Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini indah (dan) manis, maka barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang baik, niscaya mendapat keberkahan, dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang tamak, niscaya tidak mendapat keberkahan, dan ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang, dan tangan yang diatas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta)". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...