
HUKUM WADI`AH[2]
Dalam hukum Islam, transaksi wadi`ah (penitipan) ini asalnya dibolehkan,
yakni semua orang bebas memilih apa yang akan ia lakukan untuk menjaga
yang ia miliki untuk dirinya sendiri. Namun terkadang, hukum menitipkan
harta miliknya menjadi wajib, bila pemilik barang tersebut takut tidak
bisa menjaganya, atau menghilangkan, atau khawatir menjadi rusak,
sehingga ia menjumpai (mencari) orang (pihak) yang dapat menjaganya. Dan
bagi seseorang yang merasa mampu menjaga barang yang dititipkan, maka
disunnahkan untuk menerima titipan itu. Pahala yang besar telah menanti
bagi si pelaku penerima titipan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa" [al-Maa`idah/5 : 2]
"dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" [al-Baqarah/2 : 195].
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ نفََّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُربةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ
عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقَيَامَةِ، … وَاللهُ فِي عَوْنِ
اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ )
"Barang siapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan
dunia yang ada pada seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan
kesusahannya dari kesusahan-kesusahan dirinya pada hari Kiamat … dan
Allah ada dalam pertolongan seorang hamba, selama hamba tersebut dalam
pertolongan saudaranya".
Adapun bagi seorang yang merasa tidak mampu dalam penjagaan, maka
dilarang untuk menerimanya, terlebih bila ia akan merusak atau
menghilangkannya. Dan bisa menjadi wajib untuk menerima titipan dari
saudaranya, bila memang tidak ada orang yang akan menjaganya, sedangkan
ia merasa mampu untuk menjaganya. Hal ini berdasarkan konteks dan
pemahaman dari ayat-ayat atau hadits-hadits yang melarang seseorang
untuk menyia-nyiakan harta yang ia miliki
.
Transaksi wadi`ah ini merupakan akad yang bersifat jaiz (boleh) dari dua
belah pihak. Masing-masing di antara keduanya berhak untuk membatalkan
akad yang berlangsung, kapanpun juga. Ridha tidaknya pihak yang
dibatalkan tidak ada pengaruhnya. Dan akad ini, secara otomatis
terputus, bila salah satu dari keduanya meninggal atau hilang akalnya
karena gila atau sakit.[3]
Bagi seseorang yang menerima titipan atau amanah ini, wajib untuk
menjaganya seperti miliknya sendiri. Karenanya, bila barang titipan itu
hilang atau rusak, maka pihak yang dititipi tidak wajib dimintakan ganti
atau pertanggungjawabannya, karena ia sebagai orang yang dipercaya oleh
si penitip, selama pihak yang dititipi tidak berbuat lalai dan aniaya
dalam penjagaan. Bila terjadi kelalaian dan perbuatan aniaya, maka wajib
bagi yang dititipi untuk menggantinya dan bertanggung jawab dengan
barang tersebut, karena ia telah merusak harta dan barang orang lain.
Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang dititipi untuk menjaga barang
titipan tersebut di tempat aman atau yang semestinya, sebagaimana
layaknya ia menjaga hartanya sendiri.
Beberapa contoh berkaitan dengan keadaan si penyimpan yang harus
bertanggung jawab dengan barang yang dihilangkan atau dirusakkannya.
Antara lain sebagai berikut:[4]
- Disebabkan oleh kelalaian dalam menjaga barang dengan tidak menyimpannya di tempat yang sewajarnya.
- Menggunakan barang titipan untuk kepentingan pribadinya.
- Membawanya ketika safar, padahal tidak diizinkan atau tidak dalam keadaan terpaksa.
- Merusak penutup dari kantung (tempat) barang yang ada.
- Menolak untuk menyerahkan simpanan ketika diminta oleh pemiliknya.
SYARAT PENITIP DAN YANG DITITIPI
Pihak yang melakukan transaksi ini adalah orang yang baligh, berakal dan
rasyid (berpikiran matang)[5]. Artinya, bila ada anak atau orang gila
menitipkan sesuatu, maka tidak boleh untuk diterima, terkecuali dalam
keadaan terpaksa yang apabila barang atau harta itu tidak diterima, ia
akan rusak atau hilang. Disamping itu, keharusan adanya penunjukan untuk
menentukan siapa yang dititipi, dan bukan ditujukan kepada umum.
KONSEKWENSI DARI AKAD WADI`AH
Bila akad transaksi wadi`ah ini dianggap sah dengan syarat-syarat yang
telah disebutkan, maka ada tiga keharusan darinya, yaitu: ia merupakan
amanah yang harus dijaga, kewajiban untuk menjaganya, dan kewajiban
untuk mengembalikan saat barang itu diminta oleh pemilihnya.
HUKUM DAN PERMASALAHAN SEKITAR WADI`AH[6]
1). Bila muncul ketakutan atau orang yang dititipi itu akan safar, maka
wajib baginya untuk mengembalikan barang titipan yang ia bawa, baik
kepada pemiliknya atau yang menjadi wakil pemiliknya. Bila memang tidak
didapatkan, maka boleh ia membawa bersamanya dalam safar, karena itulah
yang terbaik. Bila tidak, maka ia dapat menitipkannya kepada hakim,
karena hakim dapat menjadi wakil pemiliknya selama ia tinggal. Bila
tidak mendapatkan hakim, maka dibolehkan ia dititipkan kepada orang yang
ia anggap dipercaya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika akan melakukan hijrah kepada Ummu
Aiman Radhiyallah 'anha, dan ia perintahkan Ali Radhiyallahu 'anhu untuk
mengembalikan kepada pemiliknya.
2). Orang yang dititipi, karena ia dianggap sebagai orang yang
dipercaya, maka apa yang ia katakan hendaklah diterima, terkecuali bila
nampak kedustaan dari ucapannya.
3). Bila pemilik barang tersebut minta untuk dikembalikan barangnya,
kemudian ia menundanya sampai akhirnya barang itu rusak atau hilang,
maka ia harus menanggungnya.
3). Dibolehkan bagi orang yang dititipi untuk memasrahkan titipan
tersebut kepada orang yang biasa ia titipi, semisal istri, pembantu dan
yang lainnya. Sehingga, bila barang itu rusak di tangan orang yang
dititipi itu, maka ia tidak wajib menggantinya selama tidak lalai dan
aniaya dalam menjaga titipannya.
KAPAN BATAS WAKTU PENITIPAN?
Bila penitip tidak kunjung datang untuk mengambil barangnya dan ia tidak
diketahui keberadaan dan keadaannya, atau tidak diketahui ahli
warisnya, maka pihak yang dititipi dibolehkan untuk menginfakkan barang
tersebut walau tanpa seizin hakim. Atau mungkin, bisa ia berikan kepada
hakim dan tidak diperkenankan untuk menggunakannya untuk kepentingan
pribadi.[7]
SYARAT GANTI RUGI?
Ketika pemilik barang yang menitipkan mensyaratkan kepada orang yang
dititipi untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan,
kemudian ia ridha dan menerimanya, atau si penyimpan (yang dititipi) itu
mengatakan bahwa ia akan menanggung kerusakan atau kehilangan tersebut,
maka bila ternyata dicuri atau rusak tanpa kelalaian dalam menjaganya,
maka ia tidak wajib menggantinya, karena persyaratan untuk bertanggung
jawab dari orang yang dipercaya/amanah adalah batil. Demikian ini
pendapat mayoritas ulama dari empat mazhab yang ada.[8]
BAGAIMANA DENGAN BIAYA DARI JASA PENITIPAN?
Secara asal, bentuk muamalah ini tidak ada ganti pembayaran dari apa
yang telah ia lakukan untuk membantu dan meringankan beban saudaranya,
karena muamalah ini merupakan salah bentuk dari saling membantu di
antara saudara muslim. Namun keadaan berkembang, sehingga banyak orang
yang menawarkan jasa penitipan dengan memasang tarif terhadap yang telah
ia lakukan.
Dalam masalah ini, para ulama berbeda yang terbagi dalam tiga pendapat.
1. Ulama Hanafi dan ulama Syafi'i berbendapat bolehnya orang yang
dititipi untuk mensyaratkan adanya imbalan dalam amal ini; bila ada,
maka syarat itu harus dilaksanakan.
2. Para ulama Maliki membedakan antara syarat untuk memberikan imbalan,
lantaran bea dari tempat yang digunakan untuk menyimpan titipan tersebut
bukan karena pekerjaan dalam penjagaan.
3. Sedangkan para ulama Hanabilah berpendapat dengan larangan untuk
mensyaratkan bea penyimpanan. Mereka berpendapat, bila ada imbalannya,
maka tidak dikatakan sebagai akad wadi`ah; namun masuk dalam akad
sewa-menyewa, yakni menyewa dalam menjaga barang tersebut.[9]
Intinya, dari pendapat-pendapat diatas, bahwa uang yang dihasilkan dari
biaya yang telah dilakukan dari menjaga barang tersebut adalah halal.
Hanya saja, ketika ia mengambil biaya tersebut, maka perbedaan ulama di
atas berpengaruh, baik antara yang mengatakan ia adalah sewa, atau masih
menganggap ia adalah wadi`ah yang hukum-hukum yang terjadi diatur dalam
masalah wadi`ah.
BAGAIMANA BERDAGANG DENGAN HARTA TITIPAN?
Bila seseorang yang dititipi menggunakan uang titipan itu untuk
mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut halal dan menjadi milik
orang yang dititipi [10]. Namun begitu, bila terjadi kerusakan atau
kehilangan dari barang tersebut, maka ia wajib menggantinya karena ia
telah menggunakannya untuk kepentingan pribadi, disamping itu, ia telah
menyalahkan amanah yang dipercayakan kepadanya.
BAGAIMANA DENGAN SIMPANAN BANK?[11]
Simpanan yang dimaksudkan, adalah seseorang yang menyimpan yang ia
inginkan pada pihak bank, baik berupa uang, barang maupun surat-surat
berharga lainnya. Walaupun dasar tujuan dari penyimpanan ini untuk
menjaga apa yang ia miliki, namun kenyataannya, didapatkan keinginan
lain di luar itu, baik untuk mendapatkan keuntungan maupun sekedar
menjaga kerahasian yang ia miliki dengan menyimpannya di brankas yang ia
sewa dari pihak bank.
Simpanan yang dilakukan di bank adalah transaksi yang dilakukan oleh
seseorang kepada pihak bank dengan menyerahkan sejumlah uang. Kemudian,
uang ini disimpan oleh pihak bank. Namun begitu, pihak bank berhak untuk
menggunakan dan mengelola uang tersebut untuk keperluan lain. Dan pihak
nasabah dapat mengamil kapanpun dan sebesar apapun yang ia suka dari
uang yang ia simpan di bank tersebut.
Simpanan ini mempunyai keunggulan. Disamping menyimpan, ternyata si
nasabah juga bisa mendapatkan keuntungan dari bunga yang ia peroleh
setiap waktunya. Kentungan seperti ini, tentunya masuk dari riba yang
telah diharamkan oleh syariat. Simpanan yang dititipkan di bank, bila
dilihat dari proses dan penggunaan simpanannya, maka ia dapat dikatakan
masuk ke dalam transaksi utang-piutang dan tidak termasuk dalam hukum
wadi`ah (penitipan).
Antara penitipan ini dengan piutang, ada kesamaan dari hasil kepemilikan
barang dan keterkaitannya dengan penggunaannya. Dalam hal ini, pihak
yang dititipi berhak menggunakan barang tersebut. Sedangkan dalam
wadi`ah, secara hukum asal, pihak yang dititipi tidak diperkenankan
untuk menggunakannya, karena transaksi yang dimaksudkan dalam wadi`ah
ialah untuk menjaga dan bukan untuk menggunakannya, serta adanya
kesamaan dalam kewajiban untuk mengembalikan bila diminta oleh
pemiliknya; seperti halnya dalam hutang-piutang.[12]
Disebutkan dalam kitab Raudhul-Murbi`: "Pengertian qard (piutang), ialah
memberikan harta kepada (orang yang berhutang) untuk dimanfaatkan
(faidahnya). Yang nantinya ia mengembalikan ganti (semisal) dari apa
yang telah ia pergunakan".
Karenanya dapat dikatakan, tambahan kembalian yang disyaratkan dari
salah satu pihak adalah bunga riba yang diharamkan sebagaimana dalam
hukum piutang. Bahkan ia mencakup dua riba sekaligus yang dilarang
dalam Islam, baik riba fadl maupun riba nasi`ah, dimana si nasabah atau
pihak bank, ketika mengambil titipan/hutangnya itu dengan tambahan yang
disertai dengan tempo waktu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
وَالذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْناً بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ والْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَزْناً بِوَزْنٍ فَمَنْ زَادَ أو استزاد
فَهُوَ رِباً
"Dan emas dengan emas satu timbangan dan serupa, perak dengan perak
semisal dan sama timbangannya, siapa yang menambah atau minta tambahan,
maka ia (tambahan itu) adalah riba" [Lihat Shahih Muslim, 3/1211]
BAGAIMANAKAH SIMPANAN DALAM BENTUK SURAT-SURAT PENTING/BERHARGA?[13]
Transaksi dengan model ini, adalah termasuk model simpanan yang
sebenarnya bagian dari hukum wadi`ah dilihat dari peraturannya yang
tidak jauh berbeda dengan hukum penyimpanan yang berlaku dalam hukum
fiqih, dimana harta berharga yang ia miliki dititipkan kepada pihak
bank, untuk dijaga di tempat yang aman, yang nantinya akan dikembalikan.
Disamping tidak adanya pertanggungjawaban bila ternyata rusak karena
sebab yang tidak bisa terelakkan, selama tidak ada faktor kelalaian atau
kesengajaan. Namun begitu, disana terdapat perbedaan antara keduanya;
dimana pihak bank meminta biaya penitipan berbeda dengan pengertian
titipan, karena asal dari titipan adalah transaksi yang bersifat
membantu tanpa ada beaya di dalamnya.
BAGAIMANA PENITIPAN DENGAN SEWA BRANGKAS?[14]
Model penitipan ini merupakan transaksi, yang pihak bank berkewajiban
menaruh barang titipan di tempat yang aman dalam kotak besi. Namun
begitu, pihak penitip mempunyai kebebasan secara pribadi dalam
pengelolaan dengan membayar beban biaya tertentu.
Penitipan seperti ini dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak
dapat dikategorikan kepada hukum sewa, bila ditinjau dari tempat yang
disewa oleh nasabah dengan membayar sejumlah uang tertentu.
Ada dua akad sewa dalam penitipan seperti ini. Yang pertama, menyewa
lemari untuk menyimpan. Dan yang kedua, beban sewa dalam penjagaan
terhadap apa yang ada dalam brankas. Sehingga bisa dapat dikatakan,
bahwa penyimpanan seperti ini, walau dengan membayar biaya, hukumnya
dibolehkan, karena ia termasuk dalam hukum sewa-menyewa.
Wallahu a`lam bish-Shawab.
Sumber:
1. Al-Fiqh 'ala Mazahib Arba'ah, Abdurrahman al-Jaziri.
2. Al-Fiqh Islami wa Adilatuhu, Wahbah Zuhaili, Dar al-Fikr.
3. Al-Mulakhas Fiqh, Syaikh Shalih Fauzan, Dar Ibn Fauzi.
4. Majallah Buhuts al-Islamiyah, Maktabah Syamilah.
5. Mausu`ah Fiqh al-Kuwaitiyyah, Multaqa Ahli Hadits, Maktabah Syamilah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137.
[2]. Lihat al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah (3/110), al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (1/93).
[3]. Lihat al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4023.
[4]. Lihat al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4024-4030.
[5]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137.
[6]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137-139.
[7]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 10/144.
[8]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 7/93.
[9]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 3/93.
[10]. Lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhhu, 5/ 4033.
[11]. Lihat Majallah Buhuts al-Islamiyah, dan al-Mausu'ah al-Fiqhiyah
al-Kuwaitiyah, Bab: al-Wadi`ah, Majallah Buhuts al-Islamiyah; 8/247,
8/3001.
[12]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/280.
[13]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/247.
[14]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/297.