Searching

Aku Bertaubat Kemudian Kembali Kepada Kemaksiatan

“Artinya : Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Az-Zumar : 53]

Para ulama bersepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat dari dosa-dosanya dengan taubat yang semurni-murninya, maka Allah mengampuni dosa-dosanya semuanya, berdasarkan ayat ini dan berdasarkan firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahan dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” [At-Tahrim : 8]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertalikan penghapusan kesalahan-kesalahan dan masuk surga pada ayat ini dengan taubat yang semurni-murninya, yaitu perbuatan yang mencakup meninggalkan dosa, waspada terhadapnya, menyesali apa yang pernah dilakukannya, bertekad bulat untuk tidak kembali kepadanya,karena mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menginginkan pahalanya, dan takut terhadap siksanya. Dan diantara syarat taubat ialah mengembalikan hak-hak yang dizhalimi kepada yang berhak menerimanya atau mereka yang memaafkannya, jika kemaksiatan tersebut berupa kezhaliman yang menyangkut darah, harta dan kehormatannya, maka ia banyak berdo’a untuknya, dan menyebut kebaikan-kebaikan amal yang dilakukan olehnya di tempat-tempat di mana ia pernah mengunjingkannya ; karena kebaikan-kebaikan akan menghapuskan keburukan-keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” [An-Nur : 31]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan dalam ayat ini keberuntungan dengan taubat. Ini menunjukkan bahwa orang yang bertaubat itu orang yang beruntung lagi berbahagia. Jika orang yang bertaubat mengiringi taubatnya dengan iman dan amal shalih, maka Allah menghapuskan keburukan-keburukannya dan menggantinya dengan kebajikan-kebajikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Furqan, ketika menyebutkan kesyirikan, membunuh dengan tanpa hak dan zina.

“Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Furqn ; 68-70]

Di antara sebab taubat ialah ketundukan kepada Allah, memohon hidayah dan taufik kepadaNya, serta agar Dia memberi karunia berupa taubat kepadamu. Dialah yang berfirman.

“Artinya : Berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” [Al-Mukmin : 60]

Dialah yang berfirman.

“Artinya : Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan pemohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepadaKu” [Al-Baqarah : 186]

Diantara sebab-sebab taubat juga dan istiqomah di atasnya ialah berteman dengan orang-orang yang baik dan meneladani amalan-malan mereka, serta menjauhi berteman dengan orang-orang yang jahat. Shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan kepada siapa berteman” [Hadits Riwayat Abu Daud dalam Al-Adab, 4833,At-Tirmidzi dalam Az-Zuhud 2378, Ahmad 8212]

Beliau bersabda.

“Artinya : Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang buruk ialah seperti pembawa minyak wangi dan pandan besi.Pembawa minyak wangi mungkin akan memberi minyak kepadamu, kamu membeli darinya, atau kamu mencium baunya yang harum. Sedangkan pandan besi, mungkin akan membakar pakaiannmu atau kamu mencium bau yang tidak sedap” [Hadits Riwayat Al-Bukhari alam Al-Buyu 2102, Muslim dalam Al-Birr wa Ash-Shilah 2628]

[Kitab Ad-Da’wah, Al-Fatawa, hal.251, Syaikh Ibnu Baz]

Kapan Waktu Berdo'a?

Ada yang mengatakan bahwa pada saat shalat itulah kita sedekat-dekatnya dengan Allah, maka saat itulah kita dapat berdoa.

Memang yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai amalan setelah selesai shalat adalah dzikir dan wirid. Belum diketahui bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setiap selesai shalat berdoa dengan doa tertentu. Akan tetapi, dengan rahmat Allah yang maha luas, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan kemudahan kepada kita untuk meminta kapan saja dan akan dikabulkan, tentu dengan syarat-syarat tertentu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabb-mu berfirman: "Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". [al Mu`min : 60]

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. [al Baqarah : 186]

Allah juga memberikan keterangan waktu-waktu yang mustajabah, keadaan dan kondisi yang baik serta tempat-tempat mulia, yang apabila digunakan untuk berdoa akan menjadi sebab dikabulkan doa kita.
Waktu-waktu mustajabah itu di antaranya :

1. Untuk pertahunnya, yaitu do’a di hari Arafah, waktu-waktu di al Masy’aril Haram bagi haji, malam lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

2. Untuk perbulannya, yaitu bulan Ramadhan, terlebih pada sepuluh hari terakhir.

3. Untuk perpekannya, yaitu hari Jum’at antara duduk imam di atas mimbar sampai selesai shalat, satu waktu pada hari Jum’at dan ada yang menyatakan pada akhir waktu Ashar hari Jum’at.

4. Untuk perharinya, yaitu pada waktu menjelang fajar, sepertiga akhir malam.

Adapun keadaan dan kondisi yang dianjurkan untuk berdoa, di antaranya ialah : doa ketika para mujahidin bertempur di jalan Allah, ketika turun hujan, setelah wudhu, ketika adzan, antara adzan dan iqamah, ketika iqamah shalat wajib, keadaan sujud, ujung (akhir setiap shalat wajib), saat sedang berpuasa, ketika berbuka, doa orang yang berhaji sampai pulang, doa orang terzhalimi, doa imam yang adil, setelah membaca al Qur`an, dalam majlis ilmu, dan lainnya.[1]

Ini semua dapat digunakan untuk mendoakan kedua orang tua, mendoakan anak dan doa apa saja sesuai dengan kebutuhannya.

Sedangkan keadaan seorang hamba yang terdekat dengan Allah, yaitu waktu sujud. Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah, beliau berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah dalam keadaan dia sujud, maka perbanyaklah doa.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, keadaan tersebut termasuk sarana dikabukan doa kita, seperti diriwayatkan Imam Muslim dan an Nasa-i, dari hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:

كَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السِّتَارَةَ وَالنَّاسُ صُفُوفٌ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ مُبَشِّرَاتِ النُّبُوَّةِ إِلَّا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ ثُمَّ قَالَ أَلَا إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ قَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuka sitar dan orang-orang berbaris di belakang Abu bakar. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Wahai manusia, sungguh tidak sisa dari berita kenabian kecuali mimpi yang bagus yang dilihat seorang muslim atau terlihat,” kemudian (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata,”Ketahuilah, aku dilarang membaca al Qur`an dalam keadaan ruku’ dan sujud. Adapun ruku’, maka agungkanlah Rabb kalian; sedangkan sujud, maka bersungguh-sungguhlah memperbanyak doa, karena pantas untuk dikabulkan.”

[1]. Diringkas dari kitab Tashhih ad Do’a, karya Bakar bin Abdillah Abu Zaid.


WAKTU ANTARA ADZAN DAN IQAMAT

Di antara waktu yang sering kita sia-siakan adalah waktu antara adzan dan iqamat. Siapa pun yang menggunakan waktu antara adzan dan iqamat untuk membaca Al-Qur-an, baik mengulang hafalannya maupun menghafalkannya, niscaya ia akan banyak menghafalkan Al-Qur-an. Gunakan juga waktu antara adzan dan iqamat untuk berdo’a, sebab do’a pada waktu ini tidak ditolak. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ.

“Tidak ditolak do’a antara adzan dan iqamat.” [1]

Seandainya kita menggunakan waktu antara keduanya, bukan saja karena berharganya waktu ini, tetapi juga ingin mendapatkan pahala bersegera menuju shalat, maka kita akan mendapatkan banyak manfaat berupa ketenangan jiwa dan raga, selain manfaat mendapatkan ilmu.

Berusahalah dengan sungguh-sungguh, setelah mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala, untuk menggunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membaca, menulis, muraja’ah, mudzakarah, dan lainnya.[2]
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. At-Tirmidzi, Ahmad, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, Ibnu Khuzaimah. Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah tentang hal ini dalam Shahiih al-Waabilish Shayyib  dan Zaadul Ma’aad.
[2]. Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi, secara ringkas dan sedikit tambahan.

Definisi Tasbih, Nama-Nama Tasbih


1. DEFINISI TASBIH [1]
“As-Subhah”, ejaannya adalah huruf (Syin) berharakat dhammah, (ba) berharakat sukun, berasal dari kata “at-Tasbiih” yang maksudnya adalah perkataan “Subhaanallaah”, atau kata ini wazannya adalah taf’iil dari kata as-sabh yang maknanya adalah bergerak serta bolak balik, datang dan pergi, sebagaimana yang tertera di dalam firman Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” [2]

Bentuk jamaknya adalah subah seperti kata ghurfah bentuk jamaknya ghuraf. Ini adalah sebuah benda yang terdiri dari butiran-butiran yang dirangkai dengan seutas benang dan digunakan untuk menghitung dzikir.

Kata ini merupakan sebuah kata yang baru lahir di dalam bahasa Arab. Hal ini dikemukakan oleh al-Azhari dan juga oleh al-Farabi, kemudian diikuti oleh al-Jauhari yang mengatakan bahwa as-Subhah artinya adalah sesuatu yang digunakan untuk berdzikir. Berkata guru kami [3], Kata ini sama sekali bukan termasuk di dalam bahasa Arab, orang-orang Arab pun belum pernah mengenalnya, akan tetapi mulai muncul pada generasi pertama umat ini sebagai sarana untuk membantu orang dalam berdzikir, mengingat Allah, serta untuk menambah semangat.

Adapun as-Subhah menurut syari’at, maknanya adalah: Do’a dan shalat sunnah. Ibnu ‘Abbas menamakan jari telunjuk dengan sebutan al-Mas-bahah, sebagaimana yang ada di dalam “al-Faraj ba’dasy Syiddah” (I/185), maka kata ini menurut syari’at merupakan jenis kata musytarak [4] secara lafazh yang memiliki dua makna menurut syari’at, yaitu do’a dan shalat sunnah, karena keduanya merupakan sarana untuk berdzikir, misalnya: Subhatudh Dhuha (shalat sunnah Dhuha), adapun makna lain (selain syar’i) dari kata ini, adalah susunan butiran-butiran yang dipergunakan untuk menghitung dzikir.

2. NAMA-NAMA TASBIH
Dinamakan “subhah” [5] dengan bentuk jamaknya “subah”, disebut juga “misbahah” dengan wazan “mif‘alah” yang dapat diambil darinya bentuk kata kerja sabaha, bentuk masdarnya adalah “as-sabh” dan jamaknya adalah “masaabih” dan “masaabiih”. [6]

Dinamakan juga “at-Tasaabiih” sebagaimana yang tercantum di dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah pada bab “Man Karihat Tasbiih” (II/391), seraya menyebutkan sanadnya dari Ibrahim an-Nakha’i, bahwa beliau melarang puterinya mem-bantu para wanita memintal benang tasbih untuk berdzikir.

Nama lainnya adalah “an-Nizhaam”, seba-gaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam bukunya “al-Bida’ wan Nahyu ‘anha” hal. 12, dengan sanadnya dari Aban bin Abi ‘Ay-yasy berkata: “Saya bertanya kepada al-Hasan tentang hukum “an-Nizhaam” (untaian mutiara, biji-bijian dan semisalnya yang dirangkai dengan seutas benang) baik berupa biji-bijian maupun yang lainnya untuk berdzikir?” Beliau menjawab: “Tidak satu pun di antara para isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para wanita dari kaum Muhajirin pernah melakukannya.”

Pada sanad atsar ini, ada perawi yang derajat-nya matruk (ditinggalkan-pent.), dia adalah Aban bin Abi ‘Ayyasy al-Bashri, sehingga atsar ini tidak bisa dijadikan dalil, lebih-lebih riwayat Aban akan menjadi semakin lemah jika dia meriwayatkan dari al-Hasan, dan begitulah yang terjadi pada sanad atsar ini. Hal ini seperti penjelasan adz-Dzahabi di dalam al-Miizaan (I/11).

Dikenal juga dengan “al-Aalah”, di dalam al-Minhah ketika as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan sebagian atsar-atsar yang menceritakan betapa banyak ibadah mereka, di antaranya membaca subhaanallah sebanyak seratus ribu kali dan seterusnya, beliau berkata: “Termasuk sesuatu yang telah diketahui dengan yakin adalah bahwa bi-langan seratus ribu, empat puluh ribu, dan yang lebih kecil dari itu tidak bisa dihitung dengan jari-jemari tangan, maka dari itu telah benar dan tetap bahwa dua bilangan tadi dihitung dengan menggunakan suatu alat.”

Orang-orang Shufi telah membuat-buat berbagai julukan untuk tasbih, di antaranya: Peng-ingat Allah, pengikat hati, tali penghubung, cambuk syaitan.

3. BAHAN DASAR PEMBUATANNYA [7]
Tasbih dibuat dari berbagai bahan yang berbeda sesuai dengan keadaan, kemampuan, tingkat kemudahan dalam mendapatkannya, sedikit banyaknya harta, demikian juga sesuai dengan masa dan tempat. Setiap daerah memilih bahan-bahan khusus untuk pembuatannya seperti di Mesir, India, Cina, dan Eropa. Ini akan saya sebutkan beberapa bahan dasar pembuatan tasbih yang sempat saya (penulis) amati, antara lain tanah liat, kerikil, biji-bijian, bahan tambang, gading, kaca, emas, perak, keramik, ambar serta jenis wewangian lainnya, batu-batu mulia, berlian, atau sesuatu yang dilapisi dengan emas, perak, atau yang terbuat dari tulang sebagian hewan, seperti gigi gajah, dan juga berbagai jenis kayu seperti al-arz [8] di Libanon, juga dibuat dari sebagian biji buah-buahan, seperti misymisy dan khukh .[9]

Kemudian tasbih juga memiliki berbagai war-na, seperti hitam, merah, putih dan seterusnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Ash-Shihaah karangan al-Jauhari (I/372), Tahdziibul Asmaa wal Lughaat karangan an-Nawawi (III/143-144), Taajul ‘Aruus (II/157), al-Qaamuus (285), al-Mishbaahul Muniir karangan al-Fayumi (263), Haasyiyah Ibnu ‘Aabidiin bab Maa Yufsidush Shalaah wamaa Yukrahu fiiha, Mathlab al-Kalaam ‘alat Ti-khaadzis Subhah.
[2]. QS. Al-Muzzammil ayat 7.-pent.
[3]. Yang berkata adalah az-Zubaidi di dalam “Taajul ‘Aruus” dari gurunya yang bernama Ibnuth Thayyib asy-Syarqi.
[4]. Suatu kata di dalam bahasa Arab yang memiliki beberapa makna.-pent.
[5]. Al-Qaamuus hal. 185 dan Syarhnya (II/157). Nisywaarul Muhaadharah (V/29). Zhafrul Amaani, hal. 292-293.
[6]. Daa-iratul Ma’aarif al-Islaamiyyah (XI/233).
[7]. Al-Mausuu’ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah (I/958), Nisywaarul Muhaadharah (V/29).
[8]. Nama pohon yang menjadi lambang pada bendera Libanon.-pent.
[9]. Nama buah di negara Arab yang bijinya kira-kira sebesar biji salak.-pent.

Pagi Hari : Antara Tidur Dan Dzikir

Pagi hari, tatkala udara masih terasa dingin, menggoda seseorang untuk tetap berdiam di atas ranjang, meski adzan Subuh sudah berkumandang. Atau usai mengerjakan shalat Subuh, seolah betapa nikmat melanjutkan tidur atau bermalas-malasan. Padahal ada satu aktifitas yang semestinya dilakukan seorang muslim pada pagi hari. Yaitu Rasulullah n mengajarkan, agar kita berdzikir pada waktu pagi hari, bukan justru melanjutkan tidur.

Tidur pagi (setelah subuh) bukanlah kebiasaan yang baik. Orang-orang yang dikenal “menyukai” kasur hanyalah para bayi dan orang-orang sakit, serta para pengangguran. Untuk kelompok pertama dan kedua, tidur mereka lantaran karena kondisi. Sementara untuk golongan ketiga, karena tuntutan “profesi” yang dampaknya memupuk kemalasan.

Namun adakalanya, orang yang tidak termasuk dalam golongan di atas, menggandrungi ranjang sehabis shalat Subuh. Bahkan seolah-olah menjadi kurikulum tetap yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh karenanya, tulisan ini ingin menggugah semangat kita untuk memulai aktifitas sedini mungkin, di pagi hari yang berudara segar.

TIDUR PAGI BUKAN KEBIASAAN PARA SALAF
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Abu Wa’il Syafiq bin Salamah al Asadi, ia berkata:

Suatu hari, usai kami shalat Shubuh, kami pergi menemui 'Abdullah bin Mas'ud. Kami mengucapkan salam di sisi pintu. Kami diizinkan masuk. Namun kami putuskan untuk menunggu sejenak (di luar).

Seorang budak berkata: "Tidakkah kalian masuk saja?"
Kami masuk, dan ia (Ibnu Mas'ud) sedang duduk bertasbih.
Dia bertanya: "Apa yang menghalangi kalian masuk, padahal sudah dipersilahkan?"

“Tidak apa-apa. Hanya saja kami mengira masih ada anggota keluarga yang masih tidur (sehingga kami tidak langsung masuk ke dalam)," jawab kami.

Ibnu Mas'ud berkata: "Kalian mengira keluarga Ibnu Ummu Abd (maksudnya ia sendiri) adalah orang-orang yang lalai?"

Ia meneruskan untuk bertasbih, sampai tatkala mengira matahari telah terbit, ia memanggil budaknya dengan bertanya: "Lihatlah, apakah sudah terbit?"

Budak itu melihatnya, tetapi belum terbit. Maka ia (Ibnu Mas’ud) meneruskan tasbihnya. Sampai ketika mengira matahari telah terbit, maka ia memerintahkan budak perempuannya: "Wahai, budak. Tolong lihat, apakah sudah terbit?"

Ia (budak itu) melihat, dan ternyata matahari sudah terbit. Maka Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhun berkata:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا وَلَمْ يُهْلِكْنَا بِذُنُوبِنَا

“Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan hari kami ini, tidak membinasakan kami dengan dosa-dosa kami".[1]

Syaikh ‘Abdur Razzaq Al Badr berkata,”Dialog dalam atsar di atas mencerminkan gambaran secara jelas tentang kehidupan yang penuh dengan vitalitas dan tekad tinggi untuk mengoptimalkan waktu pagi hari di kalangan para salafush shalih rahimahullah , terutama para sahabat lantaran kedalaman ilmu din, sehingga mereka memberikan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing.”[2]

Ketika Abu Wa’il dan kawan-kawannya datang kepada Ibnu Mas’ud, saat itu adalah waktu-waktu yang penuh berkah lagi berharga. Yaitu waktu untuk tekun dan melakukan dzikir kepada Allah, dan meningkatkan semangat menambah kebaikan. Hanya saja, tidak sedikit orang yang kurang memperhatikan. Waktu yang sangat berharga itu menjadi sia-sia, dilewatkan dengan tidur, bermalas-malasan dan patah semangat, atau disibukkan dengan perkara-perkara yang kurang bermanfaat. Apalagi jika mengawalinya dengan kegiatan yang diharamkan. Wal iyadzu billah!

Pagi hari laksana masa muda yang penuh dengan vitalitas, dan sore hari ibarat masa tua yang hanya menyisakan tubuh tanpa daya. Barangsiapa yang terbiasa dengan sesuatu kebiasaan pada masa mudanya, niscaya ia terbiasa mengerjakannya pada masa tuanya. Demikianlah, aktifitas seseorang pada pagi harinya akan mempengaruhi semangat kerja sepanjang harinya. Jika ia memulai dengan tekun, maka akan menyelesaikan harinya dengan penuh ketekunan. Jika mengawalinya dengan kemalasan, maka itulah yang akan dominan. Barangsiapa mampu mengendalikan hari, yaitu awalnya, niscaya seluruh harinya akan selamat dengan izin Allah. Dia akan ditolong untuk dapat mengerjakan kebaikan dan keberkahan. Ini seperti pepatah “harimu bagaikan ontamu, apabila yang pertama dapat engkau taklukkan, niscaya onta-onta di belakangnya akan mengikutimu”. Makna pepatah ini sejalan dengan pernyataan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu a'nhu : "Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan hari kami ini, tidak membinasakan kami dengan dosa-dosa kami".

TIDUR PAGI, BERBAHAYA!
Ibnul Qayyim berkata: "Di antara perkara yang dibenci di kalangan para salaf, yaitu tidur antara usai shalat Shubuh dan terbitnya matahari. Sebab, waktu-waktu itu adalah saat keberuntungan. Aktifitas yang dikerjakan pada waktu-waktu tersebut memiliki nilai istimewa. Bahkan kalau orang-orang telah berjalan semalam suntuk, mereka tidak diperbolehkan untuk beristirahat pada waktu tersebut sampai matahari terbit. Saat itu adalah permulaan hari dan kuncinya, waktu turunnya rejeki dan terjadinya pembagian rejeki dan barokah. Selain itu, (terhitung) saat itulah pergerakan hari bermula. Keadaan seluruhnya tergantung pada bagiannya. Maka seharusnya (kalau harus tidur), maka itu adalah tidur yang sifatnya darurat".[3]

Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia melihat seorang anaknya tidur pada waktu pagi. Maka ia berkata,”Bangun, engkau tidur saat rejeki dibagi-bagikan".[4]

Ibnul Qayyim mengingatkan kita: "Tidur pada pagi hari menghalangi datangnya rejeki. Sebab waktu pagi adalah saat pencarian rejeki oleh para makhluk. Pagi adalah waktu pembagian rejeki. Maka tidur pada waktu tersebut, akan menjadi penghambat menerima rejeki, kecuali karena alasan tertentu, atau kondisi darurat. (Tidur pagi hari) sangat berbahaya bagi jasmani, karena membuat malas badan dan merusak metabolisme yang diolah oleh tubuh. Akibatnya, (dapat) menyebabkan kegoncangan, kegelapan dan kelemahan fisik. Kalau itu terjadi sebelum buang air besar, bergerak dan olah raga serta menyibukkan lambung dengan sesuatu, maka itu merupakan penyakit berbahaya yang akan melahirkan berbagai penyakit”.[5]

KEKUATAN DZIKIR PAGI HARI
Shalat Subuh menjadi kegiatan fardhu pertama bagi seorang muslim setiap harinya. Hikmahnya pun banyak. Hal ini bisa dirasakan oleh setiap muslimin yang tidak melewatkan ibadah pembuka ini secara berjamaah di masjid.

Ditambah lagi dengan ibadah sunnah yang mengiringinya, seperti dzikir pagi yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mengingatkan seseorang untuk senantiasa duduk tepekur mengingat Yang Maha Kuasa. Wirid-wirid dalam dzikir pagi tersebut mencakup berbagai makna agung. Di antaranya, pengakuan hamba sebagai makhluk yang lemah, pengakuan keesaan Allah ketika kita beribadah, penyerahan diri secara total kepada Allah, permohonan perlindungan kepada Allah dari segala bahaya. Ungkapan-ungkapan yang apabila diketahui dan dihayati, akan melahirkan keyakinan, optimisme dan meningkatkan semangat mengais kebaikan pada pagi itu. Ringkasnya, menekuni dzikir pada pagi hari akan melahirkan kekuatan dan semangat dalam menjalani aktifitas harian.

Ibnul Qayyim menceritakan,”Suatu kali, aku pernah menjumpai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah usai melaksanakan shalat Shubuh. Dia duduk sambil terus melantunkan dzikir kepada Allah Ta'ala sampai separo siang. Kemudian ia menoleh kepadaku, seraya berkata,’Inilah aktifitas pagiku. Jika aku tidak mengamalkannya, kekuatanku jatuh, atau pernyataan yang hampir serupa dengan itu’."[6]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa memohon keberkahan bagi umatnya pada waktu pagi.

عَنْ صَخْرٍ الْغَامِدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا قَالَ وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْ جَيْشًا بَعَثَهُمْ أَوَّلَ النَّهَارِ وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلًا تَاجِرًا وَكَانَ إِذَا بَعَثَ تِجَارَةً بَعَثَهُمْ أَوَّلَ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ

"Dari Shakhr bin Wada'ah al Ghamidi, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa: "Ya, Allah! Berkahilah umatku pada pagi harinya". Jika mengirim pasukan ekspedisi atau pasukan perangnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus mereka di pagi hari. Dan Shakhr adalah seorang pedagang. Maka ia mengirim dagangannya pada pagi hari. Dia menjadi kaya dan hartanya melimpah".

Dari uraian tersebut di atas, maka pantaslah bagi kita untuk memperhatikan, agar kita bisa memanfaatkan waktu pagi hari dengan dzikir, sehingga mampu meningkatkan produktifas. Tidak terbuai dengan tidur yang melalaikan dan menjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Amr bin al 'Ash Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Tidur ada tiga macam. Tidur orang rusak, tidur orang berakhlak, dan tidur orang dungu. Adapun tidur orang yang rusak kepribadiannya adalah tidur pada waktu dhuha, saat orang-orang menyelesaikan urusan-urusan mereka, sementara ia terlelap dalam tidurnya. Tidur orang yang bermoral, adalah tidur qailulah ketika pertengahan hari. Dan tidur orang yang pandir adalah tidur ketika waktu shalat datang".[7]

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita, sehingga mampu merengkuh setiap kebajikan dan mengikuti manhaj Salafus Shalih dan pengamalan mereka. Wabilahit Taufiq. (mas)

[Diangkat dari kitab Fiqhul Ad'iyah wal Adzkar, Dr. Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al Badr, Cetakan I, Tahun 1423, Kuwait]
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Shahih Muslim.
[2]. Fiqhul Ad'iyah wal Adzkar.
[3]. Madariju as Salikin.
[4]. Atsar ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam Zadul Ma'ad.
[5]. Zadul Ma'ad (4/242).
[6]. Al Wabil Ash Shayyib hlm. 85-86.
[7]. Diriwayatkan oleh Al Baihagi dalam Asy Syu'ab (4/182). Ibnu Al Muflih membawakannya dalam Al Adab Asy Syar'iyyah (3/162).

Salah Faham Terhadap Do'a Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Diantara sekian banyak do'a-do'a yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada umatnya adalah do'a dibawah ini :

"Allahumma ahyinii miskiinan, wa amitnii miskiinan, wahsyurnii fii jumratil masaakiin".

"Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin".

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah  dan lain-lain. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya : hasan. [Lihat pembahasannya di kitab beliau : Irwaul Ghalil dan Silsilah Shahihah .

Setelah kita mengetahui bahwa hadits ini sah datangnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sekarang perlu kita mengetahui apa maksud sebutan miskin dalam lafadz do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Yang sangat saya sesalkan diantara saudara-saudara kita (tanpa memeriksa lagi keterangan Ulama-ulama kita tentang syarah hadits ini khususnya tentang gharibul hadits) telah memahami bahwa miskin di sini dalam arti yang biasa kita kenal yaitu : Orang-orang yang tidak berkecukupan di dalam hidupnya atau orang-orang yang kekurangan harta. Dengan arti yang demikian maka timbulah kesalah pahaman di kalangan umat terhadap do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, akibatnya :

[1]. Do'a ini tidak ada seorang muslimin pun yang berani mengamalkannya, atau paling tidak sangat jarang sekali, lantaran menurut tabi'atnya manusia itu tidak mau dengan sengaja menjadi miskin.

[2]. Akan timbul pertanyaan : Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya menjadi miskin ? Bukankah di dalam Islam ada hukum zakat yang justru salah satu faedahnya ialah untuk memerangi kemiskinan ? Dapatkah hukum zakat itu terlaksana kalau kita semua menjadi miskin ? Dapatkah kita berjuang dengan harta-harta kita sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan kalau kita hidup dalam kemiskinan ?.

Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari berburuk sangka kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[3]. Ada jalan bagi musuh-musuh Islam untuk mengatakan : “Bahwa Islam adalah musuh kekayaan !?”

Padahal yang betul maksud miskin di dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini ialah : "Orang yang khusyu dan mutawaadli (orang yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala)". Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Ulama-ulama kita :

[1]. Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits  mengatakan :

"Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ..... Yang dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah : tawadlu' dan khusyu', dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur".

[2]. Di kitab kamus Lisanul Arab oleh Ibnu Mandzur diterangkan, asal arti miskin di dalam lughah/bahasa ialah = al-khaadi' (orang yang tunduk), dan asal arti faqir ialah : Orang yang butuh. Lantaran itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin .....

Yang dikehendaki ialah : tawadlu' dan khusyu'. dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur. Artinya : Aku merendahkan diriku kepada Mu wahai Rabb dalam keadaan berhina diri, tidak dengan sombong.

Dan bukanlah yang dikehendaki dengan miskin di sini adalah faqir yang butuh (harta).

[3]. Imam Baihaqi mengatakan :"Menurutku bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (khusyu' dan tawadlu'). [Lihat kitab : Sunatul Kubra al-Baihaqi dan Taklhisul-Habir  oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar]

[4]. Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh al-Imam Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya' . [Baca juga syarah Ihya' oleh Imam Az-Zubaidy]

[5]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :"Hidupkanlah aku" dalam keadaan khusyu' dan tawadlu'. [Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah bagian kitab hadits]

Beliau juga mengatakan  : ".... bukanlah yang dikehendaki dengan miskin (di hadits ini) tidak mempunyai harta ..."

[6]. Imam Qutaibi juga mengatakan khusyu' dan tawadlu' [Ta'liq Sunan Ibnu Majah  oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi]

Kemudian periksalah kitab-kitab dibawah ini :

[7]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi oleh Imam Al-Mubaarakfuri.
[8]. Faidhul Qadir Syarah Jami'us Shaghir  oleh Imam Manawi.
[9]. Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab oleh Imam Nawawi.
[10]. Shahih Jami'us Shaghir oleh Al-Albani.
[11]. Maqaashidul Hasanahs oleh Imam As-Sakhawi.

Setelah kita mengetahui keterangan ulama-ulama kita tentang maksud miskin dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas baik secara lughah/bahasa meupun maknanya, maka hadits tersebut artinya menjadi :

"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan matikanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang yang khusyu' dan tawadlu".

Rasanya kurang lengkap kalau di dalam risalah ini (sebagai penguat keterangan di atas) saya tidak menerangkan dua masalah yang perlu diketahui oleh saudara-saudara kaum muslimin.

Pertama : Bahwa Islam adalah agama yang memerangi atau memberantas kefakiran dan kemsikinan di kalangan masyarakat. Hal ini dengan jelas dapat kita ketahui.

[1]. Di dalam Islam tedapat hukum zakat (satu pengaturan ekonomi yang tidak terdapat pada agama-agama yang lain kecuali Islam). Sedangkan yang berhak menerima bagian zakat di antaranya orang-orang yang fakir dan miskin (At-Taubah : 60). Kalau saja zakat ini dijalankan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan dan menurut sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya tidak sedikit mereka yang tadinya hidup dalam kemiskinan -setelah menerima bagian zakatnya- akan berubah kehidupannya bahkan tidak mustahil kalau di kemudian hari merekalah yang akan mengeluarkan zakat. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :

"Artinya : Agar supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang yang kaya saja dari kamu". [Al-Hasyr : 7]

[2]. Islam memerintahkan memperhatikan keluarga (ahli waris) yang akan ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang menadahkan tangan kepada manusia. Kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia (meminta-minta)". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim  dan lain-lain]

[3]. Bahkan Islam mencela kalau ada seorang mukmin yang hidup dalam keadaan cukup sedangkan tetangganya kelaparan dan dia tidak membantunya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Bukanlah orang yang mukmin itu yang (hidup) kenyang, sedangkan tetangganya (hidup) lapar di sebelahnya". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari di kitabnya Adabul Mufrad, dan lain-lain]

Maksudnya : Tidaklah sempurna keimanan sorang muslim itu apabila ia makan dengan kenyang sedangkan tetangganya di sebelahnya kelaparan (kalau hal ini ia ketahui dan ia tidak membantunya dengan memberi makan kepada tetangganya).

[4]. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari hidup dalam kefakiran dan kelaparan.

"Artinya : Dari Aisyah (ia berkata) : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berdo'a dengan do'a-doa ini : Allahumma dan seterusnya..(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka, dan dari fitnah kubur dan azab kubur, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kekayaan, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kefakiran ...." [Shahih Riwayat Bukhari . Muslim dan ini lafadznya), Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Hakim dan Baihaqi.
Kemudian Hadits Abi Hurairah :

"Artinya : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya". [Shahih Riwayat Abu Dawud, Ahmad. Nasa'i, Ibnu Hibban. Baihaqi.

"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelaparan, karena sesungguhnya keleparan itu seburuk-buruk teman berbaring, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari khianat, karena sesungguhnya khianat itu seburuk-buruk teman". [Shahih Riwayat Abu Dawud. Nasa'i dan Ibnu Majah.
Hadits Abi Bakrah Nufai' bin Haarits : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan do'a ini di akhir salat:

"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran dan azab kubur". [Hadits Shahih atas syarat Muslim di keluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan dan Nasa'i]

Hadits Anas bin Malik : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dalam do'anya :

"Artinya : ....Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran/miskin dan kekafiran ......". [Hadits Shahih atas syarat Bukhari, dikeluarkan oleh Imam Hakim. dan Imam Ibnu Hibban

Kedua : Islam tidak menjadi musuh kekayaan asalkan si kaya seorang yang taqwa.

Bahkan dengan kekayaan itu seorang dapat memperoleh ganjaran yang besar dan derajat yang tinggi seperti berjihad dengan harta sebagaimana yang Allah perintahkan, menunaikan zakat harta, infaq dan shadaqah, ibadah haji, mendirikan masjid-masjid, pesantren dan sekolah-sekolah Islam, membantu anak yatim dan perempuan-perempuan janda dan lain-lain yang membutuhkan harta dan kekayaan.

Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam pernah mendo'akan Anas bin Malik :

"Artinya : Ya Allah ! Banyakkanlah hartanya dan anak-anaknya serta berikanlah keberkahan apa yang Engkau telah berikan kepadanya". [Hadits Riwayat Bukhari. dan lain-lain]

Hadits ini mengandung beberapa faedah.
[1]. Bahwa harta itu adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala.

[2]. Bahwa banyak harta itu tidak tercela atau mengurangi ibadahnya, asalkan dia memang seorang yang taqwa. Bahkan hadits ini kita dapat mengetahui bahwa banyak harta itu merupakan suatu kebaikan dan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Karena tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan kecelakaan kepada salah seorang shahabat dan pembantunya seperti Anas bin Malik kalau tidak menjadi kebaikan baginya !.

[3]. Boleh mendo'akan seseorang supaya banyak hartanya dengan penuh keberkahan.

[4]. Dari hadits ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mempunyai anak banyak.

[5]. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan Anas bin Malik yang telah terbukti dalam tarikh -berkat do'a Nabi- tidak seorangpun dari shahabat Anshar yang paling banyak harta dan anak selain dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada shahabatnya Hakim bin Hizaam : "Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini indah (dan) manis, maka barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang baik, niscaya mendapat keberkahan, dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang tamak, niscaya tidak mendapat keberkahan, dan ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang, dan tangan yang diatas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta)". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.

Baik Dan Halal, Adalah Syarat Diterimanya Doa


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam besabda:

"Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ –Qs al-Mu'minûn/23 ayat 51- dan Allah Ta’ala berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ –Qs al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”

TAKHRÎJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim, no. 1015.
2. Ahmad, II/328.
3. At-Tirmidzi, no. 2989.
4. Ad-Dârimi, II/300.
5. Al-Baihaqi, III/346.
6. Al-Bukhâri dalam kitab Raf’ul Yadaini fish-Shalâh, no. 158.

SYARAH HADITS
Pertama : Mensucikan Allah Ta’ala Dari Segala Kekurangan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensucikan diri-Nya dari segala kekurangan dan aib. Allah Ta’âla telah mensucikan dirinya dari memiliki isteri dan anak, Allah Ta’âla berfirman:

"Dan mereka berkata, "(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak". Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak". [Maryam/19:88-92]

Allah Ta’âla juga mensucikan diri-Nya sendiri dari sifat zhalim. Allah Ta’âla berfirman:

"Sungguh, Allah tidak menzhalimi seseorang walaupun sebesar dzarrah… . [an-Nisâ`/4:40]

Dan selainnya dari ayat-ayat Al-Qur`ân yang Allah Ta’ala mensucikan diri-Nya dengannya dari segala hal yang tidak sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ (sesungguhnya Allah itu baik), adalah bentuk pensucian beliau terhadap Allah Ta’ala dari segala kekurangan dan aib. Sebab, makna thayyib (baik) ialah suci dan bersih dari segala aib dan kekurangan.[1]

Kedua : Makna “Hal-Hal Yang Baik”.
Ada hadits tentang sedekah yang semakna dengan hadits ini, yaitu Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik ….” [2]

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal.

Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits, “Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Itu lebih luas, maksudnya ialah bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal. Jadi, kata ‘baik atau suci’ itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Ketiga hal tersebut (yakni keyakinan, perbuatan, dan perkataan) terbagi dalam dua bagian: baik dan buruk.

Ada yang mengatakan, sifat baik (dalam hadits ini) masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu…” [al-Mâidah/5:100]

Allah Ta’âla membagi perkataan menjadi dua jenis, baik dan buruk, seperti firman-Nya:

"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya (menjulang) ke langit." [Ibrâhîm/14:24]

Juga firman-Nya:

"Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk".[Ibrâhîm/14:26]

Dan firman-Nya:

"… Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya …" [Fâthir/35:10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disifati sebagai orang yang menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang buruk. Allah Ta’ala berfirman:

"… Yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka…"[al-A’râf/7:157]

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyifati kaum mukminin sebagai orang-orang yang baik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"(Yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik… "[an-Nahl/16:32].

Jadi, hati, lidah, dan tubuh orang mukmin itu baik karena iman yang bersemayam di hatinya. Dzikir pun terlihat di lidahnya dan amal-amal shalih -yang merupakan buah iman dan masuk dalam namanya- juga terlihat pada tubuhnya. Semua hal-hal yang baik tersebut diterima Allah Azza wa Jalla.[3]

Ketiga : Memakan Yang Halal.
Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi seorang mukmin ialah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal. Dengan makanan yang baik amalnya jadi berkembang.

Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal, dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda “sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik”, beliau bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta’âla berfirman:
"Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan…" [al-Mu`minûn/23: 51]

Maksudnya, bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan memakan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?

Setelah itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang doa. Bagaimana doa tersebut diterima dengan sesuatu yang haram? Itu sebuah perumpamaan tentang tidak diterimanya amal jika makanan pelakunya adalah haram.

Keempat : Tidak Diterima Mempunyai Dua Makna.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik). Terdapat banyak hadits yang serupa dengan hadits ini, yang di dalamnya terdapat pernyataan tidak diterimanya sebagian dari amal perbuatan dan perkataan. Hal itu karena pelakunya terjatuh dalam larangan atau menyepelekan syarat atau rukun dari amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya Azza wa Jalla . Maka, harus dipahami makna tidak diterimanya suatu amalan seperti yang dipahami oleh para ulama.

Tidak diterimanya suatu amalan memiliki dua makna:
1. Tidak diterima dalam artian tidak mendapat pahala dan ganjaran, namun amalan yang wajib telah gugur darinya, contohnya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.

"Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), kemudian bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam". [4]

2. Tidak diterima dalam artian tidak sah dan batal, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

"Allah tidak menerima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats sampai dia berwudhu" [5]

Makna tidak diterima dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik), ialah tidak diperolehnya pahala dan ganjaran, keridhaan, pujian, dan sanjungan dari Allah di sisi para malaikat. Adapun dari segi diterimanya shadaqah dari harta yang haram maka itu tidak bisa diterima, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)."[6]

Maksud yang sesungguhnya, wallahu a’lam, ialah tidak diterima dengan makna pertama atau kedua. Itulah, wallahu a’lam, yang dimaksud firman Allah Ta’ala:

"… Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa". [al-Mâ`idah/5:27).

Oleh karena itu, ayat itu di atas sangat ditakuti generasi Salaf. Mereka khawatir tidak termasuk orang-orang yang bertakwa dan takut jika amal mereka tidak diterima.

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang makna al-muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) pada ayat di atas kemudian ia menjawab: “Yaitu orang yang menjaga dirinya dari hal-hal (yang syubhat) kemudian tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak halal baginya”. [7]

Abu Abdullah as-Saji rahimahullah berkata, “Ada lima hal, yang dengannya amal menjadi sempurna: (1) beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jalla , (2) mengenal kebenaran, (3) mengikhlaskan amal karena Allah, (4) beramal sesuai dengan Sunnah, dan (5) memakan yang halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jalla, namun tidak mengenal kebenaran, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah dengan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal, namun tidak sesuai dengan Sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi keempat syarat tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna”.[8]

Adapun sedekah dengan uang haram, maka tidak diterima seperti disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)." [9]

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik (halal) –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik- melainkan sedekah tersebut diambil oleh (Allah) Yang Maha Pengasih dengan tangan kanan-Nya …”. [10]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا، ثُمَّ يَتَصَدَّقَ بِهِ، لَمْ يَكُنْ فِيْهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ.

"Barang siapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi miliknya. " [11]

Disebutkan dalam hadits-hadits mursal al-Qâsim bin Mukhaimirah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa memperoleh harta dari perbuatan dosa, lalu menyambung kekerabatan dengannya, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan Alah, maka Allah mengumpulkan semua itu lalu melemparnya ke neraka Jahannam dengannya”.[12]

Diriwayatkan dari Abu Darda` dan Yazîd bin Maisarah bahwa keduanya mengumpamakan orang yang mendapatkan harta tidak halal kemudian bersedekah dengannya seperti orang yang mengambil harta anak yatim kemudian membeli pakaian dan memakaikannya kepada janda-janda.[13]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhu ditanya tentang orang yang beramal. Namun, sebelumnya ia berbuat zhalim dan mendapatkan harta haram lalu bertaubat. Ia melaksanakan ibadah haji, memerdekakan budak, dan bersedekah dengan harta tersebut? Ibnu 'Abbâs menjawab: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan”.[14]

Ibnu Mas’ûd juga berkata: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan dan hanya kebaikan yang bisa menghapus keburukan”. [15]

Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang haram itu terjadi dalam dua bentuk:

Pertama : Pencuri, pengkhianat, perampas, perampok, koruptor, dan selainnya bersedekah dengan harta yang haram atas namanya sendiri. Inilah yang dimaksudkan hadits di atas bahwa sedekah tidak diterima darinya dalam arti ia tidak diberi pahala karenanya, justru ia berdosa karena ia menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya. Pemilik harta (orang yang hartanya dicuri) tersebut juga tidak mendapatkan pahala, karena sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya. Itulah pendapat sejumlah ulama, di antaranya Ibnu 'Aqîl – dari Hanabilah-.

Dari Zaid bin al-Akhnas al-Khuzâ’i rahimahullah bahwa ia bertanya kepada Sa’îd bin al-Musayyib rahimahullah : “Aku menemukan barang tercecer, apakah aku boleh bersedekah dengannya?” Sa’îd bin al-Musayyib menjawab: “Engkau dan pemiliknya tidak diberi pahala”. Bisa jadi, yang dimaksud Sa’îd bin al-Musayyib ialah orang tersebut bersedekah dengan barang tersebut sebelum mengumumkannya.

Jika penguasa atau salah seorang pejabatnya mengambil uang dari Baitul-Mâl yang bukan haknya kemudian bersedekah, atau memerdekakan budak dengannya, atau membangun masjid atau lain-lain yang manfaatnya dirasakan manusia, maka yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma ialah bahwa ia seperti perampas jika ia bersedekah dengan uang hasil rampasannya. Itu pula yang dikatakan Ibnu ‘Umar kepada ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur Basrah. Menjelang kematiannya, orang-orang berkumpul di tempat ‘Abdullah bin ‘Amir dan menyanjungnya atas kebaikannya. Di sisi lain, Ibnu ‘Umar diam. ‘Abdullah bin ‘Amir meminta Ibnu ‘Umar bicara, kemudian Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits untuk ‘Abdullah bin ‘Amir: “Allah tidak menerima harta sedekah dari ghulûl (pencurian harta rampasan perang sebelum dibagikan)”. Setelah itu, Ibnu ‘Umar berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Amir: “Dan engkau adalah Gubernur Basrah”. [17]

Sejumlah orang yang sangat wara’, seperti Thâwus rahimaullah dan Wahib bin al-Ward rahimahullah, tidak mau memanfaatkan apa saja yang dibuat oleh para raja. Sedang Imam Ahmad, ia memberi rukhshah (dispensasi) terhadap fasilitas-fasilitas umum yang dibuat para raja. Misalnya, masjid, jembatan, dan pabrik, karena hal-hal tersebut dibangun dari harta fa’i, terkecuali jika seseorang yakin betul bahwa mereka membangunnya dengan uang haram, misalnya uang dari pajak, bea cukai, harta rampasan, dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh memanfaatkan sesuatu yang dibangun dengan harta haram. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengecam para gubernur yang mengambil uang dari Baitul-Mâl untuk kepentingan pribadi dan klaim mereka bahwa apa yang mereka kerjakan setelah itu dengan uang tersebut adalah sedekah dari mereka. Itu mirip dengan harta rampasan. Kecaman sejumlah ulama terhadap pembangunan masjid-masjid oleh para raja tidak lain karena sebab ini.

Jika uang tersebut haram atau hasil rampasan, maka semua penggunaan uang tersebut haram. Uang tersebut seterusnya dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya. Jika pemilik uang tersebut atau ahli warisnya tidak diketahui, uang tersebut dikembalikan ke Baitul-Mâl dan digunakan untuk kemashlahatan umum atau sedekah.

Kedua : Penggunaan perampas terhadap harta yang dirampasnya. Jika ia menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia tidak bisa mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu diperbolehkan menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Maalik, Abu Hanîfah, Ahmad dan selain mereka.

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata bahwa Imam az-Zuhri, Mâlik, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan al-Laits berpendapat bahwa jika para tentara telah berangkat, sedang pencuri rampasan perang tidak bisa menyusul mereka, ia harus menyerahkan seperlima hasil curiannya dari rampasan perang dan bersedekah dengan sisanya.[18]

Pendapat yang sama diriwayatkan dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit, Mu’âwiyah, dan al-Hasan al-Bashri. Pendapat tersebut mirip dengan pendapat Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs. Mereka berdua berpendapat bahwa seseorang harus bersedekah dengan uang yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Para ulama juga sepakat tentang dibolehkan sedekah dengan luqathah (barang temuan) setelah diumumkan kepada khalayak dan pemiliknya tidak bisa diketahui. Jika pemilik luqathah datang, para ulama memberinya hak pilih antara pahala atau pengganti. Harta rampasan juga begitu.

Diriwayatkan dari Mâlik bin Dinâr rahimahullah, dia berkata bahwa aku pernah bertanya kepada ‘Atha` bin Abi Rabâh rahimahullah tentang orang yang memegang harta haram, tidak mengetahui siapa pemiliknya, dan ingin terbebas darinya. ‘Atha' bin Abi Rabâh berkata: “Ia menyedekahkannya namun aku tidak berkata itu sah baginya”.

Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Perkataan ‘Atha' bin Abi Rabâh tersebut lebih aku sukai daripada emas seberat perkataan tersebut”.

Sufyan rahimahullah juga berkata seperti itu tentang orang yang mendapat warisan dari ayahnya dan dulu ayahnya menjual barang kepada orang yang bermuamalah dengannya dimakruhkan. Sufyan rahimahullah berkata: “Ia bersedekah sebesar keuntungan dan mengambil sisanya.” Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu dan ‘Abdullah bin Yaziid al-Anshâri.

Pendapat yang masyhur dari Imam asy-Syâfi’i rahimahullah tentang harta haram ialah harta tersebut dijaga dan tidak disedekahkan hingga pemiliknya diketahui.

Tentang orang yang memegang harta haram dan tidak mengetahui pemiliknya, al-Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berpendapat bahwa ia harus merusaknya, membuangnya ke laut, dan tidak bersedekah dengannya. Al-Fudhail bin Iyâdh berkata: “Orang tersebut tidak bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan harta yang halal”.

Pendapat yang benar ialah harta tersebut disedekahkan. Karena, merusak dan manghambur-hamburkan harta dilarang agama, menyimpannya selama-lamanya juga membuatnya rusak, dan menimbulkan kegelapan pada orang yang bersangkutan. Sedekah dengan harta tersebut bukan atas nama orang yang mendapatkannya. Sebab, jika itu terjadi berarti ia bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan harta haram, namun sedekah tersebut atas nama pemiliknya agar manfaatnya di akhirat bisa ia rasakan karena ia tidak merasakannya di dunia.[19]

Kelima : Sebab-Sebab Dikabulkannya Doa.
Ucapan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu “kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian, rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, 'Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,' padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan yang haram, bagaimana doanya dikabulkan?”

Dengan hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menunjukkan etika berdoa, sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan, dan sebab-sebab yang menjadikan doa seseorang itu tidak dikabulkan. Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan empat hal yang membuat doa dikabulkan, yaitu:

a). Lama bepergian.
Bepergian itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti terlihat pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.

"Tiga doa yang dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya: (1) doa orang yang terzhalimi, (2) doa musafir (orang yang sedang bepergian jauh), dan (3) doa seorang ayah untuk anaknya." [20]

Dalam riwayat lain disebutkan, “doa keburukan seorang ayah untuk anaknya”.

Jika seseorang telah lama bepergian, doanya sangat mungkin dikabulkan karena dugaan kuat orang tersebut sedih karena lama terasing dari negerinya dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang membuat doa dikabulkan.

b). Terjadinya keusangan pada pakaian dan penampilan dalam bentuk rambut kusut dan berdebu.
Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits yang masyhur, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:

رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، مَدْفُوْعٌ بِاْلأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.

"Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika ia berdoa kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya" [21]

Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar rumah untuk mengerjakan shalat Istisqa’, beliau keluar dengan pakaian lusuh, tawadhu`, dan merendahkan diri.[22]

Keponakan Mutharrif bin ‘Abdullah dipenjara, kemudian Mutharrif bin ‘Abdullah rahimahullah mengenakan pakaian usang miliknya dan mengambil tongkat dengan tangannya. Dikatakan kepadanya, “Kenapa engkau berbuat seperti itu?” Mutharrif bin ‘Abdullah menjawab, “Aku merendahkan diri kepada Rabb-ku, mudah-mudahan Dia memberi syafa’at kepadaku untuk keponakanku”.[23]

c). Menengadahkan kedua tangan ke langit.
Ini termasuk adab berdoa, dan dengan cara seperti itu, diharapkan doa tersebut dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salmân Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia malu bila seseorang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, namun Dia mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong tidak mendapatkan apa-apa." [24]

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Mâlik[25], Jâbir[26], dan selain keduanya.

Cara Menengadahkan Tangan Dalam Berdoa.
• Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak dengan menghadapkan kedua telapak tangan ke langit dan menghadapkan bagian luarnya ke tanah. Menengadahkan kedua tangan seperti itu diperintahkan dalam banyak hadits ketika seseorang berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan Ibnu Sirîn bahwa itulah doa dan permintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

• Menengadahkan kedua tangan sejajar dengan pundak dan menghadapkan bagian luar tangan ke arah kiblat ketika menghadap ke sana dan menghadapkan bagian dalam tangan ke wajah [27]. Salah seorang generasi salaf berkata,“Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah sikap merendahkan diri.”

• Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menengadahkan kedua tangan beliau dengan tinggi ketika shalat Istisqa` hingga ketiak beliau yang putih bersih terlihat. Yaitu, dengan menghadapkan bagian luar telapak tangan ke langit dan bagian dalamnya menghadap ke tanah.[28]

• Menengadahkan kedua tangan dengan posisi tangan bagian dalam menghadap ke langit dan bagian luarnya menghadap ke tanah. Salah seorang dari generasi Salaf berkata, “Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah meminta perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung diri kepada-Nya.” Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa jika beliau berlindung diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau menengadahkan kedua tangan seperti itu.[29]

• Beristighfar dengan berisyarat satu jari. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berbuat seperti itu ketika beliau berada di atas mimbar.[30]

• Adapun ibtihâl (yaitu istighatsah) dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi.[31] Beliau menengadahkan kedua tangan beliau pada Perang Badar guna meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas kaum musyrikin hingga pakaian beliau jatuh dari kedua pundak beliau.[32]

d). Terus-menerus berdoa kepada Allah Ta’ala dengan mengulang-ulang kerububiyyahan-Nya.
Cara seperti ini termasuk aspek penting yang membuat doa terkabul.

Ath-Thabrâni dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Sa’ad bin Khârijah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Salah satu kaum mengeluhkan ketiadaan hujan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, ‘Kumpulkan rombongan kepadaku dan katakan, ‘Rabbi… Rabbi...’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuk ke langit kemudian mereka diberi hujan hingga mereka ingin air hujan tersebut diberhentikan dari mereka”. [33]

Yazid ar-Raqqâsyi rahimahullah berkata, dari Anas bin Mâlik, “Tidaklah seorang hamba berkata ‘Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku),’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepadanya, ‘Aku penuhi panggilanmu, Aku penuhi panggilanmu’.”

Diriwayatkan dari Abu ad-Darda` dan Ibnu ‘Abbas bahwa keduanya berkata: “Nama Allah terbesar ialah Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku)”.

Disebutkan dari ‘Athaa` rahimahullah, ia berkata: “Tidaklah seorang hamba berkata ‘Rabbî, Rabbî’ hingga tiga kali melainkan Allah melihatnya”.[34].

Perkataan tersebut disebutkan kepada al-Hasan rahimahullah kemudian al-Hasan berkata: “Tidakkah kalian membaca Al-Qur`ân?” Setelah itu al-Hasan membaca firman Allah Ta’ala Surat Ali ‘Imrân ayat 191-195.

Barang siapa mencermati doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur`ân, ia menemukan pada umumnya doa-doa tersebut dimulai dengan kata "Rabb", misalnya firman Allah Ta’ala: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa Neraka”. [Al-Baqarah/2:201].

Atau firman Allah Ta’ala: “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” [Al-Baqarah/2:286]

Juga firman-Nya:“Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi”. [Ali ‘Imrân/3:8]

Dan ayat-ayat lainnya yang banyak sekali di dalam Al-Qur`ân.

Sedang penyebab doa tidak dikabulkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan di antaranya ialah karena mengkonsumsi barang haram, baik dalam makanan, minuman, pakaian, dan memberi makanan kepada orang lain. Tentang hal ini, telah disebutkan hadits Ibnu 'Abbaas, dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqaash: “Wahai Sa’ad, (Kondisikan agar makananmu baik, Athib Math'amak, ashim) hendaklah makananmu baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan”. Dari sisi ini, bisa disimpulkan bahwa makan sesuatu yang halal, meminumnya, mengenakannya, dan memberikannya kepada orang lain merupakan penyebab doa seseorang dikabulkan.

'Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah meriwayatkan bahwa al-Ashfar berkata kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqâsh: “Engkau orang yang doanya dikabulkan di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.

Sa’ad bin Abi Waqqaash berkata: “Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, melainkan aku tahu asal usulnya dan ke mana makanan tersebut hendak keluar”.

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: “Barang siapa ingin doanya dikabulkan Allah, hendaklah ia makan makanan yang baik (halal)”.

Diriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdillah rahimahullah, dia berkata: “Barangsiapa makan makanan halal selama empat puluh pagi (hari), doanya dikabulkan”.
Diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath rahimahullah, dia berkata: “Diberitahukan kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan dari langit, karena makanannya haram”.[35]

Keenam : Sebab-Sebab Doa Tidak Dikabulkan
Sabda Nabi فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ (bagaimana doanya dikabulkan?), maksudnya, bagaimana doa orang tersebut bisa dikabulkan. Sabda tersebut merupakan pertanyaan dengan konotasi keheranan dan kecil kemungkinannya, dan bukan penegasan tentang kemustahilan terkabulnya doa secara umum.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram dan memberikannya kepada orang lain termasuk sebab-sebab tidak terkabulnya doa. Bisa jadi, ada sebab-sebab lain yang membuat doa tidak terkabul, misalnya mengerjakan hal-hal yang haram dilakukan. Begitu juga tidak mengerjakan perintah-perintah seperti dijelaskan dalam hadits bahwa tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar menyebabkan doa tidak terkabul, serta mengerjakan perintah-perintah membuat doa terkabul.[36]

Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke dalam gua kemudian gua tersebut tertutup oleh batu, mereka bertawassul dengan amal shalih yang mereka niatkan karena Allah, dan mereka berdoa kepada Allah dengannya kemudian doa mereka dikabulkan.[37]

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Perumpamaan orang yang berdoa tanpa amal ialah seperti orang yang memanah tanpa anak panah”.[38]

Juga diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, dia berkata: “Amal shalih membuat doa sampai (kepada Allah)”, kemudian Wahb bin Munabbih membaca firman Allah Ta’ala: “… Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya...” [Fâthir/35:10].[39]

‘Umar bin al-Khaththaab Radhiyallahu 'anhu berkata: “Dengan sikap wara` (meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah), Allah Subhanahu wa Ta'ala menerima doa dan tasbih”.[40]

FAWÂ`ID HADITS
1). Ath-Thayyib (baik) termasuk dari nama-nama Allah, berdasarkan sabda beliau: “Sesungguhnya Allah itu baik”, dan ini mencakup baik dalam Dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
2). Kesempurnaan Allah Ta’ala dalam Dzat, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
3). Sesungguhnya Allah Mahakaya terhadap hamba-Nya, dan tidak menerima kecuali yang baik. Maka, amal yang terdapat perbuatan syirik di dalamnya tidak akan diterima Allah karena amal itu tidak baik. Demikian pula bersedekah dengan harta curian tidak akan diterima Allah karena sedekah itu tidak baik, begitu pula bersedekah dengan harta yang haram pada dzatnya tidak akan diterima Allah karena harta itu tidak baik.
4). Amal terbagi menjadi dua, yaitu yang diterima dan yang tidak diterima.
5). Sesungguhnya para nabi dan rasul diberikan perintah dan larangan oleh Allah Ta’ala. Demikian pula kaum mukminin, mereka diberikan perintah dan larangan.
6). Perintah bagi para rasul dan kaum mukminin untuk memakan makanan yang halal dan baik.
7). Wajib mensyukuri nikmat Allah Ta’ala dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya.
8). Diharamkannya berbagai hal yang najis (buruk) yang dianggap buruk oleh syari’at.
9). Orang yang memakan harta yang haram doanya sangat kecil kemungkinannya untuk dikabulkan meskipun dia melakukan sebab-sebab yang membuat doa dikabulkan. Artinya, makan yang halal termasuk sebab dikabulkannya doa.
10). Safar (bepergian jauh) merupakan sebab dikabulkannya doa.
11). Rambut yang kusut berdebu termasuk sebab terkabulnya doa.
12). Mengangkat tangan ketika berdoa termasuk sebab dikabulkannya doa.
13). Termasuk sebab dikabulkannya doa, yaitu bertawassul dengan sifat Rububiyyah Allah Ta’ala.
14). Peringatan keras dari memakan makanan yang haram karena itu sebagai sebab tertolaknya doa meskipun syarat terkabulnya doa telah terpenuhi.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat al-Qawâ’id wa Fawâ`id minal-Arba’în an-Nawâwiyyah, karya Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan.
[2]. Shahîh. HR al-Bukhâri. Muslim. Ahmad. At-Tirmidzi. An-Nasâ`i. Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbân,  dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân.
[3]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/259).
[4]. Shahîh. HR Muslim. Ahmad. Lafazh ini milik Muslim, dari Shafiyyah Radhiyallahu 'anha.
[5]. Shahîh. HR al-Bukhâri dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[6]. Shahîh. HR Muslim. Ahmad dan at-Tirmidzi.
[7]. Jâmi’ul Ulûm wal-Hikam, I/262.
[8]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 9/323, no. 14016. Nama Abu ‘Abdillah as-Saji ialah Sa’îd bin Yazîd.
[9]. Shahîh. HR Muslim. Ahmad, dan at-Tirmidzi.
[10]. Shahîh. HR Ahmad. Al-Bukhâri. Muslim. At-Tirmidzi. An-Nasâ`i. Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbaan dalam at-Ta’lîqâtul Hisân.
[11]. Hasan. HR Ibnu Hibbaan. Lihat at-Ta’lîqâtul Hisân.
[12]. Lihat Tahdzîbul-Kamal (XXIII/446), karya al-Mizzi dan Siyar A’lâmin Nubalâ` (V/203) dari al-Qasim bin Mukhaimirah dan tidak meneruskannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[13]. Lihat az-Zuhd oleh Imam Ahmad. Dinukil dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264.
[14]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/2640.
[15]. Ibid.
[16]. Mushannaf ‘Abdur-Razzâq, no. 18622.
[17]. Shahîh. HR Ahmad, dan Muslim.
[18]. Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Ibnul Mundzir berkata,'Para ulama sepakat bahwa pencuri harta rampasan perang harus mengembalikan apa yang ia ambil sebelum rampasan perang dibagikan'. Sedangkan setelah pembagian, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan Imam Mâlik berkata,‘Ia harus mengembalikan seperlimanya kepada imam (penguasa kaum muslimin) dan bersedekah dengan sisanya’.” Lihat Fat-hul Bâri, VI/186.
[19]. Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264-268.
[20]. Hasan. HR Abu Dawud. At-Tirmidzi. Ibnu Maajah. Ahmad, dan al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad, no. 32, 481. Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2688 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân. Hadits ini mempunyai hadits penguat, dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir dalam riwayat Ahmad.
[21]. Shahîh. HR Muslim,dan Ibnu Hibbân, dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân. Lafazh ini milik Ibnu Hibbân.
[22]. Hasan. HR Ahmad. Abu Dawud. At-Tirmidzi. An-Nasâ`i, dan Ibnu Mâjah,. Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbâs, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dengan pakaian lusuh, menampakkan kemiskinan, merendahkan diri, dan tawadhu`.” Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2851 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân, dan redaksi tersebut miliknya..
[23]. Diriwayatkan Ibnu Asakir dalam kitab Târîkh-nya, XVI/290, dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ`, IV/195. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/270.
[24]. Shahîh. HR Ahmad. Abu Dâwud, no. 1488. At-Tirmidzi, dan Ibnu Mâjah, dan Ibnu Hibbân, . Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, no. 1385, dan al-Hakim (I/497) beliau menshahîhkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[25]. HR ‘Abdur-Razzaq,. Ath-Thabraani dalam ad-Du’a,. Al-Hakim, dan al-Baghawi (no. 1386) dengan sanad-sanad lemah.
[26].HR Abu Ya’la, no. 1862. Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawâ`id, X/149, dan ia juga menisbatkan hadits tersebut kepada ath-Thabraani dalam al-Ausath. Ia berkata, “Di sanadnya terdapat Yûsuf bin Muhammad bin al-Munkadir ia menganggapnya tsiqah (terpercaya), padahal ia perawi dha’if, namun para perawi lainnya adalah para perawi ash-Shahîh”.
[27]. Lihat hadits Anas bin Maalik dalam Shahîh al-Bukhâri, no. 1031, dan Shahîh Muslim, no. 895. Juga hadits ‘Umair, mantan budak Abu Lahm, yang diriwayatkan Abu Daawud (no. 1168), Ahmad , dan al-Hakim beliau menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga atsar Ibnu ‘Umar dalam Fat-hul Bâri, XI/143.
[28]. Shahîh. HR al-Bukhâri, Muslim, Ahmad, Abu Dâwud, dan Ibnu Hibbân, dari Anas bin Mâlik.
[29]. HR Ahmad  dari Khalad bin as-Sâ`ib secara mursal. Di sanadnya terdapat Ibnu Lahî’ah yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga disebutkan al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâ`id (X/168) dan berkata bahwa sanad hadits tersebut hasan.
[30]. Shahîh. HR Ahmad, an-Nasâ`i, Abu Dâwud, dan Ibnu Hibbân (879-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari ‘Imârah bin Ruwaibah. Dishahîhkan.
[31]. Shahîh. HR Abu Dâwud, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud,.
[32]. Shahîh. HR Muslim dan Ibnu Hibbân dari ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu.
[33]. Hadits tersebut tidak shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bazzâr (no. 665) dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, VI/457. Di sanadnya terdapat Amir bin Kharijah. Al-Bukhâri berkata, “Di sanadnya terdapat catatan. Abu Hatim berkata seperti dinukil darinya oleh anaknya (III/188), ‘sanad hadits tersebut munkar’.”
[34]. HR Ibnu Abi Syaibah, X/272. Atsar tersebut dishahîhkan al-Hâkim, I/505. Atsar tersebut juga disebutkan as-Suyûthi di ad-Durrul Mantsûr (II/410) dan menambahkan bahwa atsar tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abi Hâtim.
[35]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/275.
[36]. Hasan. HR Ahmad dan al-Bazzâr dari 'Aisyah d bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah berfirman kepada kalian, ‘Perintahkan yang baik dan laranglah yang munkar sebelum kalian berdoa kepada-Ku kemudian doa kalian tidak Aku kabulkan, kalian meminta kepada-Ku kemudian tidak Aku berikan, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku kemudian Aku tidak menolong kalian’.”
[37]. Lihat Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Shahîh Ibni Hibbân.
[38]. Diriwayatkan Ibnul Mubâarak di az-Zuhdu, no. 307, dan Abu Nu’aim di al-Hilyah, IV/56, no. 4730.
[39]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/276.
[40]. Ibid.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...