Searching

Bagaimanakah Jual Beli Murabahah?

 
Dewasa ini berkembang dalam skala besar lembaga keuangan berlabel syariat dengan menawarkan produk-produknya menggunakan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat bingung dengan istilah-istilah tersebut dan ragu, apakah semua produk tersebut benar-benar jauh dari pelanggaran terhadap syariat, ataukah hanya rekayasa semata?

Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini, maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut ditinjau dari fikih Islam.

Istilah jual beli Murabahah (Ba`i al-Murabahah) banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan cukup menjanjikan. Sehingga hampir semua lembaga keuangan syari'at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modalnya.[1]

NAMA LAIN JUAL BELI MURABAHAH
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syariat ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:

1. Al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`.
2. Al-Murabahah lil-Wa'id bi asy-Syira`.
3. Ba`i al-Muwâ'adah.
4. Al-Murabahah al-Mashrafiyah.
5. Al-Muwâ'adah 'ala al-Murabahah.[2]

Di Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).[3]

DEFINISI JUAL-BELI MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ), yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan)[4]. Sedangkan menurut definisi para ulama terdahulu, ialah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui[5]. Hakikatnya, ialah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui oleh dua belah pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga –misalnya- penjual mengatakan, modalnya adalah seratus ribu rupiah, dan saya jual kepada anda dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan:
Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka, "saya menjual barang ini dengan sistem Murabahah", … Rukun akad ini ialah sepengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya; karena hal itu diketahui oleh kedua belah pihak, maka jual belinya shahîh, dan (sebaliknya) bila tidak diketahui maka (jual beli itu) batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini dibolehkan, tidak ada khilaf (perbedaan) di antara ulama; sebagaimana hal ini disampaikan Ibnu Qudaamah. Bahkan Ibnu Hubairah, dalam masalah ini menyampaikan adanya ijma'. Demikian juga al-Kaasaani).[6]

Demikian, jual beli Murabahah yang terdapat dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Adapun jual beli Murabahah yang kini telah marak digulirkan, tidak berbentuk demikian. Jual beli Murabahah yang sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari'at lebih komplek dari pada yang berlaku dimasa lalu [7]. Oleh karena itu, para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi Islam memberikan definisi berbeda; sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda? Di antaranya ialah sebagai berikut.

1. Bank merealisasikan permintaan orang yang bertransaksi dengannya, dengan dasar, pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah), yakni dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut, dengan keuntungan yang disepakati di awal transaksi.[8]

2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah, agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang, baik yang barak bergerak ataupun tidak. Kemudian, setelah itu nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut, dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjual barang dimaksud kepadanya dengan harga di depan atau di belakang, dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembelian di muka.[9]

3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana cukup untuk membayar kontan nilai barang yang ingin dibeli, sedangkan si penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian, lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.[10]

4. Jual beli ini berkaitan dengan tiga pihak, yaitu penjual, pembeli, dan bank –yang berperan- sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Dalam hal ini, Bank tidak membeli barang tersebut, kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya, dan adanya janji memberi di muka.[11]

Berdasarkan keempat uraian di atas, cukup jelaslah untuk memberikan gambaran mengenai jual beli Murabahah KPP ini.

BENTUK GAMBARAN JUAL-BELI MURABAHAH
Berdasarkan empat uraian di atas dan prakteknya di tengah masyarakat, maka lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ke dalam tiga bentuk.

1. Pelaksanaan janji yang terikat oleh kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya di muka.[12]

Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan yang memohon dari lembaga keuangan tersebut untuk membeli barang tertentu dan sifat tertentu. Kemudian keduanya bersepakat, dengan ketentuan, lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan (itu) terikat, (yaitu) harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya, baik nilai, ukuran, tempo, maupun keuntungannya.[13]

2. Pelaksanaan janji (al-Muwâ'adah) yang tidak mengikat kedua belah pihak.
Yaitu, nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan. Kemudian, di antara kedua pihak itu terjadi perjanjian, dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan, sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:

a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.[14]

3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Demikian ini yang dipraktekkan oleh Bank Faishol al-Islami di Sudan.

Hal itu dengan ketentuan, akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah, sehingga nasabah memiliki hak khiyâr (memilih) dengan melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi, atau menggagalkannya.[15]

PERNYATAAN PARA ULAMA TERDAHULU TENTANG JENIS JUAL-BELI MURABAHAH
Permasalahan jual belia Murabahah KPP ini, sebenarnya bukan perkara kontemporer dan baru (nawâzil), namun telah dijelaskan para ulama terdahulu.

Imam asy-Syafi'i berkata:
Apabila seseorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata "belilah itu, dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian," lalu ia membelinya, maka jual belinya dibolehkan. Dan yang mengatakan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyâr)," apabila ia ingin, maka ia akan melakukan jual-beli; dan bila tidak, maka ia akan tinggalkan.

Demikian juga jika ia berkata "belilah untukku barang tersebut," lalu ia mensifatkan jenis barangnya, atau "barang" jenis apa saja yang kamu sukai, dan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu," semua ini sama, diperbolehkan pada yang pertama; dan pada semua yang diberikan ada hak pilih (khiyâr).

Sama juga, dalam hal ini yang disifatkan apabila mengatakan "belilah, dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo," maka jual beli pertama diperbolehkan, dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua.

Apabila keduanya memperbaharui (akadnya), maka boleh; dan bila berjual beli seperti itu, dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut), maka ia termasuk dalam dua hal: (1) berjual beli sebelum penjual memilikinya, (2) berada dalam spekulasi (mukhatharah).[16]

Imam ad-Dardiir dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir (3/129), ia mengatakan: "Al-'inah, ialah jual beli oleh orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli, tetapi (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada yang memintanya; setelah membelinya, ia boleh memberikan (menjualnya) kepada yang meminta barang, kecuali jika yang minta menyatakan "belilah dengan sepuluh secara kontan, dan saya akan mengambilnya darimu dengan dua belas secara tempo," maka jual beli ini dilarang, karena di dalamnya terdapat tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat); karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut dan akan membayarnya (sejumlah) dua belas setelah jatuh tempo".[17]

Jelaslah, dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu, bahwasanya mereka menyatakan, pemesan (pembeli) tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga ditegaskan oleh The Islamic Fiqih Academy (Majma' al-Fiqih al-Islami), bahwa jual beli Muwâda'ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli Murabahah dengan syarat al-Khiyâr untuk kedua pihak yang melakukan transaksi, seluruhnya maupun salah satunya. Apabila tidak ada hak al-Khiyâr, maka tidak boleh, karena al-Muwâ'adah yang mengikat (al-Mulzâmah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri; dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang menjual sesuatu yang tidak dimilikinya.[18]

Syaikh 'Abdul-'Aziz bin Bâz ketika ditanya tentang jual beli ini, beliau menjawab: "Apabila barang tidak berada dalam kepemilikan orang yang menghutangkannya, atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya, maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga, dan jual beli di antara keduanya tidak sempurna hingga barang tersebut merupakan kepemilikan si penjual".[19]

HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG TIDAK MENGIKAT (GHAIRU AL-MULZÂM)
Bentuk Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
Dalam hal ini, yang râjih adalah boleh, seperti disebutkan dalam pendapat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah. Karena dalam bentuk ini tidak ada ikatan kewajiban untuk menyempurnakannya dengan transaksi ataupun mengganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak, maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut berspekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu pihak berpaling dari keinginannya (menggagalkannya), maka tidak ada kewajiban yang mengikatnya, dan tidak ada satupun akibat yang harus ditanggungnya.[20]

2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang, karena termasuk dalam kategori al-'Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah, dan inilah yang dirâjihkan Syaikh Bakr Abu Zaid.[21]

HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG MENGIKAT
Untuk mengetahui hukum ini, maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.

Langkah Proses Murabahah KPP Bentuk Ini
Muamalah jual beli Murabahah KPP melalui beberapa tahapan, di antara yang terpenting ialah sebagai berikut :
1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas,
b. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu (yang terkait) dalam pembelian barang tersebut.
2. Lembaga keuangan mempelajari proposal yang diajukan nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang:
a. mengadakan perjanjian yang mengika,
b. membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji,
c. penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji,
d. lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a. penentuan harga barang,
b. penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam harga,
c. penentuan nisbat keuntungan (profit),
d. penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Demikian, secara umum tahapan dalam proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, halaman 261-162. Sedangkan di dalam buku Bank Syari'at dari Teori ke Praktek (hlm. 107) memberikan skema Ba`i Murabahah sebagai berikut: [Ma'af Gambar skema Ba'i Murabahah tidak ditampilkan]

Adanya Aqad Ganda (Murakkab) Dalam Murabahah KPP[22]
Dari keterangan di atas maka jual beli Murabahah KPP dapat disimpulkan sebagai berikut di bawah ini.
1. Ada tiga pihak yang terkait, yaitu:
a. pemohon atau pemesan barang, dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan,
b. penjual barang kepada lembaga keuangan,
c. lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi, yaitu:
a. akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan,
b. akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3. Ada tiga janji, yaitu:
a. janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang,
b. janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membeli barang untuk pemohon,
c. janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

Dari sini, jelaslah, bahwa jual beli Murabahah KPP ini merupakan jenis akad berganda (al-'Uqûd al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji, dan ada tiga pihak.

Setelah meneliti muamalah dan tahapan prosesnya, akan nampak jelas adanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan, bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab, yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak, yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.

Berdasarkan hal ini, maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat, sehingga dapat dikatakan dengan ungkapan "belikan untuk saya barang, dan saya akan memberikan keuntungan kepada anda dengan jumlah sekian". Hal ini, karena pada akad pertama, barang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar, janji mengikat untuk membelinya.

Dengan melihat muamalah ini dari seluruh tahapan dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya, maka jelaslah, bahwa ia merupakan Mu'amalah Murakkabah secara umum, dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat padanya janji mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad dan tidak saling terikat, sehingga jelas, hukumnya pun berbeda.

HUKUMNYA
Yang râjih dalam masalah ini, ialah tidak dibolehkan, dengan beberapa argumen, di antaranya :

1. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum adanya kepemilikan penjual atas barang dimaksud, maka itu termasuk dalam larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dilarang menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut, pada hakikatnya adalah akad. Dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan, maka ini merupakan akad batil yang dilarang; karena lembaga keuangan, ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

2. Muamalah seperti ini termasuk al-Hîlah (rekayasa) atas hutang dengan bunga; karena hakikat transaksinya ialah menjual uang dengan uang yang lebih besar darinya secara tempo dengan perantaraan adanya barang penghalal di antara keduanya.

3. Murabahah jenis ini termasuk dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam hadits:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ n عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli" [HR at-Tirmidzi, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa' al-Ghalil, 5/149]

Al-Muwâ'adah, apabila mengikat kedua belah pihak, maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga dalam muamalah itu terdapat dua akad dalam satu jual beli.[23]

KETENTUAN DIBOLEHKANNYA MURABAHAH
Syaikh Bakar bin 'Abdillah Abu Zaid memberikan penjelasan tentang ketentuan dibolehkannya jual beli Murabahah KPP ini dengan menyebutkan tiga hal.

1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi, baik secara tertulis maupun lisan sebelum adanya barang kepemilikan dan sebelum serah terima.

2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang oleh salah satu pihak, baik nasabah maupun lembaga keuangan, namun tanggung jawab barang kembali kepada lembaga keuangan.

3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi milik lembaga keuangan.[24]

Demikianlah, hukum jual beli ini menurut pendapat para ulama. Mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan jual beli Murabahah.
Wabillahit-taufiq.

Maraji`:
1. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at -Tathbîq, Prof. Dr. 'Abdullah ath-Thayâr, Dar al-Wathan, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H.
2. Fiqhu al-Muyassar Qismu al-Mu'amalât, Prof. Dr. Abdullah ath-Thayâr, Prof. Dr. 'Abdulah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Musa, Dar al-Wathan, Cetakan Pertama, Tahun 1425 H.
3. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasah Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyah, Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-'Imrâni, Kunuz Isybiliya`, Cetakan Pertama, Tahun 1427 H.
4. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Gema Insani Press, Cetakan Kesembilan, Tahun 2005 M.
5. Fiqhu an-Nawâzil, Qadhaya Fiqhiyah al-Mu'asharah, Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Muassasah ar-Risalah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H.
6. Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional MUI, Edisi Revisi, Tahun 2006 M, Cetakan Ketiga, Tahun 1427 H, dan lain-lain.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, Prof. Dr. Abdullah Ath-Thayâr, hlm. 307.
[2]. Lihat al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 260-261.
[3]. Bank Syari'ah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 103.
[4]. Al-Qâmus al-Muhith, hlm. 279.
[5]. Al-'Uqûd al-Murakkabah, hlm. 257.
[6]. Dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin 'Abdillah Abu Zaid, 2/64. Lihat juga al-Mughni (4/259), al-Ifashah (2/350), Bada`i ash-Shanâ`i (7/92).
[7]. Dialog di rumah penulis dengan pegawai salah satu lembaga keuangan syari'at, Kamis, 3 April 2008 M, ba'da 'Ashar.
[8]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 257. Lihat Ba`i al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`, karya Sâmi Hamud dalam kumpulan Majalah Majma' al-Fiqh al-Islami, Edisi kelima (2/1092).
[9]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakabah, hlm. 257. Lihat Ba`i al-Murabahah Kamâ Tajriha al-Bunûk al-Islamiyah, Muhammad al-Asyqar, hlm. 6-7.
[10]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 258.
[11]. Ibid.
[12]. Fiqih Nawazil, 2/90.
[13]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[14]. Lihat Fiqih Nawazil (2/90) dan al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[15]. Lihat al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, hlm. 308.
[16]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88-89.
[17]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88.
[18]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 267.
[19]. Dinukil dari al-Bunûk al-Islamiyah, hlm. 308. Lihat Majalah al-Jami'ah al-Islamiyah, Edisi I, Tahun Kelima, Rajab 1392, hlm. 118.
[20]. Lihat Fiqih Nawazil, 2/90.
[21]. Ibid
[22]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 265-266.
[23]. Silahkan merujuk kepada kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah (hlm. 267-284) dan Fiqih Nawazil (2/ 83-96).
[24]. Fiqih Nawazil, 2/97, dengan sedikit perubahan.

Apa Dan Bagaimanakah Al-Wadi`ah?

 
Al-Wadi`ah (atau penitipan), kata ini diambilkan dari barang yang ditinggalkan pada orang yang diminta untuk menjaganya, dengan tanpa ganti/biaya beban.[1] Wadi`ah, pada dasarnya merupakan akad yang bersifat sosial, dan bukan bersifat komersil. Akad al-Wadi`ah ini berdiri berdasarkan kasih sayang dan tolong menolong, sehingga tidak mengharuskan adanya imbalan dalam menjaga titipan tersebut.

HUKUM WADI`AH[2]
Dalam hukum Islam, transaksi wadi`ah (penitipan) ini asalnya dibolehkan, yakni semua orang bebas memilih apa yang akan ia lakukan untuk menjaga yang ia miliki untuk dirinya sendiri. Namun terkadang, hukum menitipkan harta miliknya menjadi wajib, bila pemilik barang tersebut takut tidak bisa menjaganya, atau menghilangkan, atau khawatir menjadi rusak, sehingga ia menjumpai (mencari) orang (pihak) yang dapat menjaganya. Dan bagi seseorang yang merasa mampu menjaga barang yang dititipkan, maka disunnahkan untuk menerima titipan itu. Pahala yang besar telah menanti bagi si pelaku penerima titipan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa" [al-Maa`idah/5 : 2]

"dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" [al-Baqarah/2 : 195].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ نفََّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُربةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقَيَامَةِ، … وَاللهُ فِي عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ )

"Barang siapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia yang ada pada seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dari kesusahan-kesusahan dirinya pada hari Kiamat … dan Allah ada dalam pertolongan seorang hamba, selama hamba tersebut dalam pertolongan saudaranya".

Adapun bagi seorang yang merasa tidak mampu dalam penjagaan, maka dilarang untuk menerimanya, terlebih bila ia akan merusak atau menghilangkannya. Dan bisa menjadi wajib untuk menerima titipan dari saudaranya, bila memang tidak ada orang yang akan menjaganya, sedangkan ia merasa mampu untuk menjaganya. Hal ini berdasarkan konteks dan pemahaman dari ayat-ayat atau hadits-hadits yang melarang seseorang untuk menyia-nyiakan harta yang ia miliki
.
Transaksi wadi`ah ini merupakan akad yang bersifat jaiz (boleh) dari dua belah pihak. Masing-masing di antara keduanya berhak untuk membatalkan akad yang berlangsung, kapanpun juga. Ridha tidaknya pihak yang dibatalkan tidak ada pengaruhnya. Dan akad ini, secara otomatis terputus, bila salah satu dari keduanya meninggal atau hilang akalnya karena gila atau sakit.[3]

Bagi seseorang yang menerima titipan atau amanah ini, wajib untuk menjaganya seperti miliknya sendiri. Karenanya, bila barang titipan itu hilang atau rusak, maka pihak yang dititipi tidak wajib dimintakan ganti atau pertanggungjawabannya, karena ia sebagai orang yang dipercaya oleh si penitip, selama pihak yang dititipi tidak berbuat lalai dan aniaya dalam penjagaan. Bila terjadi kelalaian dan perbuatan aniaya, maka wajib bagi yang dititipi untuk menggantinya dan bertanggung jawab dengan barang tersebut, karena ia telah merusak harta dan barang orang lain. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang dititipi untuk menjaga barang titipan tersebut di tempat aman atau yang semestinya, sebagaimana layaknya ia menjaga hartanya sendiri.

Beberapa contoh berkaitan dengan keadaan si penyimpan yang harus bertanggung jawab dengan barang yang dihilangkan atau dirusakkannya. Antara lain sebagai berikut:[4]

- Disebabkan oleh kelalaian dalam menjaga barang dengan tidak menyimpannya di tempat yang sewajarnya.
- Menggunakan barang titipan untuk kepentingan pribadinya.
- Membawanya ketika safar, padahal tidak diizinkan atau tidak dalam keadaan terpaksa.
- Merusak penutup dari kantung (tempat) barang yang ada.
- Menolak untuk menyerahkan simpanan ketika diminta oleh pemiliknya.

SYARAT PENITIP DAN YANG DITITIPI
Pihak yang melakukan transaksi ini adalah orang yang baligh, berakal dan rasyid (berpikiran matang)[5]. Artinya, bila ada anak atau orang gila menitipkan sesuatu, maka tidak boleh untuk diterima, terkecuali dalam keadaan terpaksa yang apabila barang atau harta itu tidak diterima, ia akan rusak atau hilang. Disamping itu, keharusan adanya penunjukan untuk menentukan siapa yang dititipi, dan bukan ditujukan kepada umum.

KONSEKWENSI DARI AKAD WADI`AH
Bila akad transaksi wadi`ah ini dianggap sah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan, maka ada tiga keharusan darinya, yaitu: ia merupakan amanah yang harus dijaga, kewajiban untuk menjaganya, dan kewajiban untuk mengembalikan saat barang itu diminta oleh pemilihnya.

HUKUM DAN PERMASALAHAN SEKITAR WADI`AH[6]
1). Bila muncul ketakutan atau orang yang dititipi itu akan safar, maka wajib baginya untuk mengembalikan barang titipan yang ia bawa, baik kepada pemiliknya atau yang menjadi wakil pemiliknya. Bila memang tidak didapatkan, maka boleh ia membawa bersamanya dalam safar, karena itulah yang terbaik. Bila tidak, maka ia dapat menitipkannya kepada hakim, karena hakim dapat menjadi wakil pemiliknya selama ia tinggal. Bila tidak mendapatkan hakim, maka dibolehkan ia dititipkan kepada orang yang ia anggap dipercaya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika akan melakukan hijrah kepada Ummu Aiman Radhiyallah 'anha, dan ia perintahkan Ali Radhiyallahu 'anhu untuk mengembalikan kepada pemiliknya.

2). Orang yang dititipi, karena ia dianggap sebagai orang yang dipercaya, maka apa yang ia katakan hendaklah diterima, terkecuali bila nampak kedustaan dari ucapannya.

3). Bila pemilik barang tersebut minta untuk dikembalikan barangnya, kemudian ia menundanya sampai akhirnya barang itu rusak atau hilang, maka ia harus menanggungnya.

3). Dibolehkan bagi orang yang dititipi untuk memasrahkan titipan tersebut kepada orang yang biasa ia titipi, semisal istri, pembantu dan yang lainnya. Sehingga, bila barang itu rusak di tangan orang yang dititipi itu, maka ia tidak wajib menggantinya selama tidak lalai dan aniaya dalam menjaga titipannya.

KAPAN BATAS WAKTU PENITIPAN?
Bila penitip tidak kunjung datang untuk mengambil barangnya dan ia tidak diketahui keberadaan dan keadaannya, atau tidak diketahui ahli warisnya, maka pihak yang dititipi dibolehkan untuk menginfakkan barang tersebut walau tanpa seizin hakim. Atau mungkin, bisa ia berikan kepada hakim dan tidak diperkenankan untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi.[7]

SYARAT GANTI RUGI?
Ketika pemilik barang yang menitipkan mensyaratkan kepada orang yang dititipi untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan, kemudian ia ridha dan menerimanya, atau si penyimpan (yang dititipi) itu mengatakan bahwa ia akan menanggung kerusakan atau kehilangan tersebut, maka bila ternyata dicuri atau rusak tanpa kelalaian dalam menjaganya, maka ia tidak wajib menggantinya, karena persyaratan untuk bertanggung jawab dari orang yang dipercaya/amanah adalah batil. Demikian ini pendapat mayoritas ulama dari empat mazhab yang ada.[8]

BAGAIMANA DENGAN BIAYA DARI JASA PENITIPAN?
Secara asal, bentuk muamalah ini tidak ada ganti pembayaran dari apa yang telah ia lakukan untuk membantu dan meringankan beban saudaranya, karena muamalah ini merupakan salah bentuk dari saling membantu di antara saudara muslim. Namun keadaan berkembang, sehingga banyak orang yang menawarkan jasa penitipan dengan memasang tarif terhadap yang telah ia lakukan.

Dalam masalah ini, para ulama berbeda yang terbagi dalam tiga pendapat.
1. Ulama Hanafi dan ulama Syafi'i berbendapat bolehnya orang yang dititipi untuk mensyaratkan adanya imbalan dalam amal ini; bila ada, maka syarat itu harus dilaksanakan.

2. Para ulama Maliki membedakan antara syarat untuk memberikan imbalan, lantaran bea dari tempat yang digunakan untuk menyimpan titipan tersebut bukan karena pekerjaan dalam penjagaan.

3. Sedangkan para ulama Hanabilah berpendapat dengan larangan untuk mensyaratkan bea penyimpanan. Mereka berpendapat, bila ada imbalannya, maka tidak dikatakan sebagai akad wadi`ah; namun masuk dalam akad sewa-menyewa, yakni menyewa dalam menjaga barang tersebut.[9]

Intinya, dari pendapat-pendapat diatas, bahwa uang yang dihasilkan dari biaya yang telah dilakukan dari menjaga barang tersebut adalah halal. Hanya saja, ketika ia mengambil biaya tersebut, maka perbedaan ulama di atas berpengaruh, baik antara yang mengatakan ia adalah sewa, atau masih menganggap ia adalah wadi`ah yang hukum-hukum yang terjadi diatur dalam masalah wadi`ah.

BAGAIMANA BERDAGANG DENGAN HARTA TITIPAN?
Bila seseorang yang dititipi menggunakan uang titipan itu untuk mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut halal dan menjadi milik orang yang dititipi [10]. Namun begitu, bila terjadi kerusakan atau kehilangan dari barang tersebut, maka ia wajib menggantinya karena ia telah menggunakannya untuk kepentingan pribadi, disamping itu, ia telah menyalahkan amanah yang dipercayakan kepadanya.

BAGAIMANA DENGAN SIMPANAN BANK?[11]
Simpanan yang dimaksudkan, adalah seseorang yang menyimpan yang ia inginkan pada pihak bank, baik berupa uang, barang maupun surat-surat berharga lainnya. Walaupun dasar tujuan dari penyimpanan ini untuk menjaga apa yang ia miliki, namun kenyataannya, didapatkan keinginan lain di luar itu, baik untuk mendapatkan keuntungan maupun sekedar menjaga kerahasian yang ia miliki dengan menyimpannya di brankas yang ia sewa dari pihak bank.

Simpanan yang dilakukan di bank adalah transaksi yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak bank dengan menyerahkan sejumlah uang. Kemudian, uang ini disimpan oleh pihak bank. Namun begitu, pihak bank berhak untuk menggunakan dan mengelola uang tersebut untuk keperluan lain. Dan pihak nasabah dapat mengamil kapanpun dan sebesar apapun yang ia suka dari uang yang ia simpan di bank tersebut.

Simpanan ini mempunyai keunggulan. Disamping menyimpan, ternyata si nasabah juga bisa mendapatkan keuntungan dari bunga yang ia peroleh setiap waktunya. Kentungan seperti ini, tentunya masuk dari riba yang telah diharamkan oleh syariat. Simpanan yang dititipkan di bank, bila dilihat dari proses dan penggunaan simpanannya, maka ia dapat dikatakan masuk ke dalam transaksi utang-piutang dan tidak termasuk dalam hukum wadi`ah (penitipan).

Antara penitipan ini dengan piutang, ada kesamaan dari hasil kepemilikan barang dan keterkaitannya dengan penggunaannya. Dalam hal ini, pihak yang dititipi berhak menggunakan barang tersebut. Sedangkan dalam wadi`ah, secara hukum asal, pihak yang dititipi tidak diperkenankan untuk menggunakannya, karena transaksi yang dimaksudkan dalam wadi`ah ialah untuk menjaga dan bukan untuk menggunakannya, serta adanya kesamaan dalam kewajiban untuk mengembalikan bila diminta oleh pemiliknya; seperti halnya dalam hutang-piutang.[12]

Disebutkan dalam kitab Raudhul-Murbi`: "Pengertian qard (piutang), ialah memberikan harta kepada (orang yang berhutang) untuk dimanfaatkan (faidahnya). Yang nantinya ia mengembalikan ganti (semisal) dari apa yang telah ia pergunakan".

Karenanya dapat dikatakan, tambahan kembalian yang disyaratkan dari salah satu pihak adalah bunga riba yang diharamkan sebagaimana dalam hukum piutang. Bahkan ia mencakup dua riba sekaligus yang dilarang dalam Islam, baik riba fadl maupun riba nasi`ah, dimana si nasabah atau pihak bank, ketika mengambil titipan/hutangnya itu dengan tambahan yang disertai dengan tempo waktu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْناً بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ والْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَزْناً بِوَزْنٍ فَمَنْ زَادَ أو استزاد فَهُوَ رِباً

"Dan emas dengan emas satu timbangan dan serupa, perak dengan perak semisal dan sama timbangannya, siapa yang menambah atau minta tambahan, maka ia (tambahan itu) adalah riba" [Lihat Shahih Muslim, 3/1211]

BAGAIMANAKAH SIMPANAN DALAM BENTUK SURAT-SURAT PENTING/BERHARGA?[13]
Transaksi dengan model ini, adalah termasuk model simpanan yang sebenarnya bagian dari hukum wadi`ah dilihat dari peraturannya yang tidak jauh berbeda dengan hukum penyimpanan yang berlaku dalam hukum fiqih, dimana harta berharga yang ia miliki dititipkan kepada pihak bank, untuk dijaga di tempat yang aman, yang nantinya akan dikembalikan. Disamping tidak adanya pertanggungjawaban bila ternyata rusak karena sebab yang tidak bisa terelakkan, selama tidak ada faktor kelalaian atau kesengajaan. Namun begitu, disana terdapat perbedaan antara keduanya; dimana pihak bank meminta biaya penitipan berbeda dengan pengertian titipan, karena asal dari titipan adalah transaksi yang bersifat membantu tanpa ada beaya di dalamnya.

BAGAIMANA PENITIPAN DENGAN SEWA BRANGKAS?[14]
Model penitipan ini merupakan transaksi, yang pihak bank berkewajiban menaruh barang titipan di tempat yang aman dalam kotak besi. Namun begitu, pihak penitip mempunyai kebebasan secara pribadi dalam pengelolaan dengan membayar beban biaya tertentu.

Penitipan seperti ini dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak dapat dikategorikan kepada hukum sewa, bila ditinjau dari tempat yang disewa oleh nasabah dengan membayar sejumlah uang tertentu.

Ada dua akad sewa dalam penitipan seperti ini. Yang pertama, menyewa lemari untuk menyimpan. Dan yang kedua, beban sewa dalam penjagaan terhadap apa yang ada dalam brankas. Sehingga bisa dapat dikatakan, bahwa penyimpanan seperti ini, walau dengan membayar biaya, hukumnya dibolehkan, karena ia termasuk dalam hukum sewa-menyewa.
Wallahu a`lam bish-Shawab.

Sumber:
1. Al-Fiqh 'ala Mazahib Arba'ah, Abdurrahman al-Jaziri.
2. Al-Fiqh Islami wa Adilatuhu, Wahbah Zuhaili, Dar al-Fikr.
3. Al-Mulakhas Fiqh, Syaikh Shalih Fauzan, Dar Ibn Fauzi.
4. Majallah Buhuts al-Islamiyah, Maktabah Syamilah.
5. Mausu`ah Fiqh al-Kuwaitiyyah, Multaqa Ahli Hadits, Maktabah Syamilah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137.
[2]. Lihat al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah (3/110), al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (1/93).
[3]. Lihat al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4023.
[4]. Lihat al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4024-4030.
[5]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137.
[6]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137-139.
[7]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 10/144.
[8]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 7/93.
[9]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 3/93.
[10]. Lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhhu, 5/ 4033.
[11]. Lihat Majallah Buhuts al-Islamiyah, dan al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Bab: al-Wadi`ah, Majallah Buhuts al-Islamiyah; 8/247, 8/3001.
[12]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/280.
[13]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/247.
[14]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/297.

Pertumbuhan Bank Syariat

 
Semarak penggunaan kata syariat di kalangan muslimin dewasa ini pantas untuk disyukuri karena secara tidak langsung, berarti menunjukkan keseriusan dan semangat kaum muslimin untuk kembali merujuk kepada agamanya. Namun demikian, perlu untuk diperhatikan dan disadari, jangan sampai semangat ini hanya sekedar mengusung nama dan jorgan semata. Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya meluruskan istilah dan nama syariat, agar benar-benar sesuai dengan syariat Islam.

Salah satu di antara nama dan istilah ini, yaitu dalam masalah perbankan syariah atau bank syariat, yang didefinisikan dengan insitusi atau lembaga yang melakukan aktivitas langsung perbankan berdasarkan Islam dan kaidah-kaidah fikihnya[1]. Institusi ini mulai merata dan menampakkan jati dirinya di tengah banyaknya bank konvensional.

REALITA PAHIT PRAKTEK RIBAWI
Dalam syariat Islam bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan. Ironisnya, jaringan ribawi ini telah menyebar dalam kehidupan kaum muslimin dan masyarakat secara umum seperti pembuluh darah dalam tubuh manusia, sehingga merusak tatanan masyarakat dan merusak keindahan Islam. Bahkan yang lebih ironis lagi, ada di antara kaum muslimin yang berkeyakinan dan memandang praktek ribawi merupakan satu-satunya cara menumbuhkan perekonomian negara dan masyarakatnya. Demikianlah pengaruh buruk penjajahan yang telah menanamkan ke tubuh negara jajahannya muamalah ribawi ini, sebab sistem ini masuk ke dalam negara-negara kaum muslimin melalui tangan dan jerih payah mereka. Sehingga, kaum muslimin pun akhirnya mengambil sistem ini dari negara kafir yang menjajahnya. Maka hendaklah kita menyadari, bahwa negara-negara kafir tidak pernah peduli dengan pertumbuhan keagamaan, dan mereka memisah agama dari kehidupan ekonomi. Mereka tidak memiliki timbangan akhlak. Bahkan yang kuat dan memiliki kapital besarlah yang akan berkuasa walaupun mereka mendapatkannya dengan bantuan orang-orang fakir dan miskin.

Ini berbeda dengan Islam yang menginginkan suatu sistem ekonomi yang adil, sehingga yang kuat tidak menindas yang lemah, dan yang kaya menjajah yang miskin. Juga agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Sehingga Islam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" [al-Baqarah/2 : 275]

Syariat Islam memiliki sistem ekonomi bebas dari riba. Dalam meningkatkan perekonomian, pemberdayaan masyarakat dan kemanusiaan tidak memiliki ketergantungan kepadanya. Kita yakini dengan pasti sistem ekonomi Islam yang bebas dari riba ini, baik dalam bidang perbankan maupun bidang lainnya. Karenanya, menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mempelajari tatanan sistem yang tidak bertentangan dan menyimpang dari syariat Islam yang sempurna nan suci ini.

Banyak orang yang kemudian sadar dengan praktek ribawi yang pahit ini. Krisis dan keguncangan ekonomi dunia tidak dapat dielakkan, sehingga masyarakat dunia kembali berfikir mencari solusi tentang hal ini.

Beberapa penelitian membuktikan, bahwa seseorang yang berhutang dengan bunga riba, ia akan sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk melunasi hutang dan bunganya tersebut. Dan pada kenyataannya, banyak yang tidak mampu melunasinya secara baik. Akhirnya memaksanya untuk melepas atau menjual harta miliknya yang menjadi agunan (jaminan) peminjaman hutang tersebut. Ini dilakukan untuk menjaga kemaslahatan (peningkatan) produksi. Disamping itu, pengaruh bunga hutang tersebut telah meninggikan biaya produksi yang berlanjut pada kenaikan harga. Sebab, perusahaan yang mengambil hutang ribawi akan memasukkan nilai bunga hutang itu yang telah membuat naik biaya produksinya, sehingga secara otomatis juga akan menaikkan harga produknya menjadi lebih tinggi.[2]

Terbukti, krisis-krisis yang menimpa perekonomian dunia umumnya muncul lantaran hutang-hutang perusahaan-perusahaan yang menumpuk. Ini diketahui negara-negara besar, sehingga mereka terpaksa mengambil langkah pembatasan prosentase ribanya. Namun hal ini belum bisa mengurangi bahaya riba[3]

KEMUNCULAN PERBANKAN SYARI’AT
Krisis demi krisis melanda perekonomian dunia hingga banyak bank-bank konvensional yang gulung tikar. Di negara Indonesia saja dalam tahun 2001 M –versi buku Bank Syariat dari Teori ke Praktek- telah ada 63 bank yang sudah tutup, 14 bank telah di take over, dan 9 bank lagi harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah. Ditambah lagi dengan harapan kaum muslimin yang ingin kembali menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya khususnya dalam masalah ekonomi dan perbankan, dan munculnya kebangkitan Islam di era tahun tujuh puluhan. Semua ini mendorong tekad para peneliti untuk menerapkan sistem ekonomi Islam (Islamic Economic System) dengan mengkonsep perbankan syariat sebagai alternatif pengganti perbankan konvensional. Namun waktu itu keadaan dan situasi yang menyelimuti negara-negara Islam belum mendukung harapan, pemikiran dan tekad tersebut.

Kemudian mulailah adanya usaha-usaha riil untuk menerapkannya dan mencari trik dan cara yang beragam untuk mengeluarkan profit keuntungan dan sejenisnya dari lingkaran riba. Kemudian setelah itu muncul di dunia Islam usaha-usaha yang lebih riil, yaitu berupa penolakan terhadap pemikiran yang diimport dari barat saat penjajahan dulu. Usaha-usaha ini mengarah kepada pengganti perbankan ribawi dengan perbankan syariat. Usaha ini kian berkembang cepat dengan banyaknya kaum muslimin yang enggan menyimpan hartanya di bank-bank konvensional dan enggan bermuamalah dengan riba.

Dr. Gharib al-Gamal menjelaskan seputar kemunculan perbankan syariat. Dia mengatakan, banyak dari masyarakat Islam yang enggan bermuamalah dengan riba. Mereka tidak bermuamalah dengan lembaga perbankan yang ada sekarang ini. Dengan dasar ini, maka harta-harta milik masyarakat muslim di dunia Islam yang cukup besar ini akan menganggur (tidak dapat dikembangkan). Oleh karenanya, termasuk faktor yang mendorong untuk membangun lembaga perbankan syariat adalah merealisasikan solusi bagi masyarakat ini. Semua itu sebagai usaha untuk memberikan faedah dari harta-harta yang dimiliki masyarakat demi kemaslahatan dunia Islam seluruhnya. Ditambah lagi, untuk pencerahan kepada para penguasa (pemerintah) masyarakat tersebut agar berlapang dada membangun sistem yang menjamin terwujudnya pertumbuhan masyarakat di negara-negara Islam dengan cara (uslub) syariat.[4]

Banyaknya kaum muslimin yang enggan bermuamalah riba dan menyimpan hartanya di bank-bank konvensional -yang nota bene menerapkan sistem riba- akan menyebabkan banyaknya harta kaum muslimin yang membutuhkan lembaga atau institusi yang memudahkan untuk mengelolanya. Tidak dapat dipungkiri, harta yang sedemikian besar nominalnya tersebut membutuhkan satu institusi yang dapat menyimpan dan mengelolanya sesuai syariat. Hal ini mendorong pembentukan lembaga keuangan syariat sebagai sebuah solusi permasalahan ini.

Dari usaha-usaha untuk meninggalkan praktek ribawi tersebut, sehingga berdirilah berbagai lembaga keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya berasaskan syariat. Di antara lembaga perbankan bebas riba yang menjadi pelopor pembentukan bank syari’at ini adalah:

1. Mit Ghamr Bank, merupakan lembaga keuangan yang beroperasi sebagai rural-sosial bank (Bunuk al-Id-dikhâr) di Mesir pada tahun 1963 M. Namun bank ini masih berskala kecil.
2. Bank Nâshir al-Ijtima’i, berdiri di Mesir tahun 1971 M.
3. Al-Bank al-Islami lit-Tanmiyah, berdiri di Kerajaan Saudi Arabia tahun 1973 M.
4. Bank Dubai al-Islami (Dubai Islamic Bank), berdiri di Uni Emirat Arab tahun 1975 M.
5. Bank Faishal al-Islami (Faishal Islamic Bank), berdiri di Sudan tahun 1977 M.
6. Bait at-Tamwîl al-Kuwaiti (Kuwait Finance House), berdiri di Kuwait tahun 1977 M.
7. Bank Faishal al-Islami al-Mishri (Faisal Islamic Bank) di Mesir, tahun 1977 M.
8. Al-Bank al-Islami al-Urduni lit-Tamwîl wa al-Istitsmâr (Jordan Islamic Bank for Finance and Investment), berdiri di Yordania tahun 1978 M

Setelah itu bermunculan banyak bank syariat, sehingga menurut analisa Prof. Khursyid Ahmad dan laporan International Association of Islamic Bank, bahwa pada akhir tahun 1999 M tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia. Fenomena ini patut mendapat perhatian, partisipasi dan dukungan semua pihak, agar laju perkembangan dan arahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam, dan dapat menjadi pengganti yang benar dan tepat dari lembaga keuangan ribawi dan konvensional.

Dewasa ini, lembaga-lembaga keuangan syariat ini terus berkembang dan bertambah banyak bertebaran di pelosok-pelosok daerah dengan produk-produknya yang klaim sebagai lembaga keuangan syariat. Oleh sebab itu, kita perlu melihat kembali hal ini secara kritis, dan semua lembaga keuangan itu kembali menilai produk-produk dan usahanya dengan pandangan syariat yang mulia ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat definisi ini dalam kitab al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Thath-biq, Abdullah ath-Thayâr, hlm. 88.
[2]. Lihat al-Mu’amalah al-Mashrafiyah al-Mu’asharah wa Ra’yu al-Islam fihâ, Dr. Muhammad 'Abdullah al-‘Arabi, hlm 13. Dinukil dari ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, Dr. Umar 'Abdul-'Aziz al-Mutrik, hlm. 171.
[3]. Ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, hlm. 171.
[4]. Al-Masharif wa al-A’maal al-Mashrafiyah, Dr. Gharib al-Gamal, hlm. 391.
[5]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyat wa at-Thath-biq, hlm. 89.
[6]. Lihat buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek, Muhammad Antonio Syafi’i, hlm. 18.

Karakteristik Lembaga Keuangan (Bank) Syari'at (Sebuah Wacana)

Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa berkembangnya bank konvensional ribawi di negeri-negeri Islam seiring dengan kedatangan bangsa kolonial (penjajah). Kesamaan masa pendudukan kolonial dengan berdirinya bank-bank ini di masyarakat Islam membenarkan pendapat jika bank-bank tersebut dibangun dengan sengaja untuk membantu penjajah dalam menguasai perekonomian. Sisi lainnya, juga menanamkan pada masyarakat, adanya ketidaksesuaian antara yang mereka yakini tentang haramnya riba dengan kenyataan aktifitas masyarakat yang tidak lepas dari riba. Demikian juga, bank-bank ribawi dibangun untuk menancapkan benih-benih keraguan tentang syariat Islam pada masa kini.

Namun Allah telah menjamin kebenaran syariat-Nya dan memudahkan manusia untuk berfikir ulang tentang bahaya riba yang telah menimpa umat manusia dewasa ini. Hingga akhirnya banyak orang yang berfikir untuk membangun bank-bank berdasarkan syariat Islam. Tentu saja tantangan mewujudkan bank dengan sistem syariat ini cukup berat, karena harus meyakinkan masyarakat bahwa bank yang sesuai syariat itu dapat menjadi solusi pengganti bank-bank ribawi. Oleh karena itu, perbankan syariat harus mampu menunaikan hal-hal berikut ini.

1. Bank syariat harus mampu menunaikan semua fungsi yang telah dilakukan bank-bank ribawi, seperti: pembiayaan (Financing), memperlancar dan mempermudah dalam urusan muamalat, menarik dana-dana tabungan masyarakat, kliring dan transfer, masalah moneter dan sejenisnya dari praktek-praktek perbankan lainnya.

2. Bank syariat harus komitmen dengan hukum-hukum syariat disertai kemampuan menjawab perkembangan perekonomian dalam semua aspeknya.

3. Bank syariat harus komitmen dengan asas dan prinsip dasar ekonomi yang benar yang sesuai dengan ideologi dan kaidah syariat Islam, dan jangan hanya menggunakan dasar-dasar teori ekonomi umum yang dibangun dengan dasar mu'amalah ribawiyah.

Tiga perkara ini harus ditunaikan oleh bank syariat agar menerapkannya seiring perkembangan perekonomian dengan semua fenomena dan problema kontemporernya. Dengan demikian, bank syariat harus memiliki karakteristik yang membedakannya dengan bank-bank ribawi.

Di antaranya sebagai berikut:

1. Lembaga keuangan (perbankan) syariat harus bersih dari semua bentuk riba dan bersih dari semua muamalah yang dilarang syariat. Inilah yang harus menjadi syiar utamanya. Jika tidak demikian, maka suatu lembaga keuangan tidak boleh dinamakan sebagai lembaga keuangan syariat.

DR. Gharib al-Gamal mengatakan, karekteristik bersih dari riba dalam muamalat perbankan syariat, adalah karekteristik utamanya dan menjadikan keberadaannya seiring dengan tatanan yang benar untuk masyarakat Islami. (Lembaga keuangan syariat) harus mewarnai seluruh aktifitasnya dengan ruh yang kokoh, dan motivasi akidah yang menjadikan para praktisinya selalu merasa bahwa aktifitas yang mereka geluti tidak sekedar bertujuan mendapatkan keuntungan semata, namun perlu ditambahkan bahwa itu merupakan salah satu cara berjihad dalam mengemban beban risalah, dan persiapan menyelamatkan umat dari praktek-praktek yang menyelisihi norma dasar-dasar Islam. Berlandaskan itu semua, hendaklah para praktisi merasa jika aktifitasnya itu merupakan ibadah dan ketakwaan yang akan mendapatkan pahala dari Allah bersama balasan materi duniawi yang didapatkannya.[1]

2. Mengarahkan seluruh kemampuan pada pertambahan (at-Tanmiyah) dengan jalan its-titsmâr (pengembangan modal), dan tidak dengan jalan hutang (al-Qardh) yang memberi keuntungan. Lembaga keuangan syariat harus dapat mengelola hartanya dengan salah satu dari dua hal berikut, yang telah diakui syariat.

a). Investasi pengembangan modal langsung (al-Its-titsmar al-Mubâsyir), yakni dalam pengertian pihak Bank melakukan sendiri pengelolaan harta perniagaan dalam proyek-proyek riil yang menguntungkan.
b). Investasi modal dengan musyarakah, dalam pengertian pihak Bank menanam saham dalam modal sektor riil yang menjadikan bank syariat tersebut sebagai Syarîk (sekutu) dalam kepemilikan proyek tersebut, dan bank berperan dalam administrasi, manajemen dan pengawasannya, serta menjadi syarîk juga terhadap semua yang dihasilkan proyek tersebut, baik berupa keuntungan atau kerugian dalam bentuk prosentase yang telah disepakati di antara para syarîk.

Karena bank syariat dibangun berlandaskan asas dan prinsip Islam, maka seluruh aktifitasnya tunduk kepada standar halal dan haram yang telah ditentukan syariat Islam. Hal ini menuntut agar lembaga keuangan berbuat beberapa hal berikut.

a). Mengarahkan pengembangan modalnya (investasi) dan memusatkannya pada produk-produk barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan umum kaum muslimin.
b). Menjaga agar produksi jangan sampai terjerumus dalam lingkaran haram.
c). Menjaga setiap tahapan-tahapan produknya tetap berada dalam lingkaran halal.
d). Menjaga setiap sebab produknya (sistem operasi dan sejenisnya) bersesuaian dalam lingkaran halal.
e). Memutuskan dasar kebutuhan masyarakat dan maslahat umum sebelum melihat kepada profit yang akan diperoleh individunya. [2]

3. Mengikat pengembangan ekonomi dengan pertumbuhan sosial. Lembaga keuangan syariat tidak hanya sekedar mengikat pengembanagn ekonomi dan pertumbuhan sosial semata, namun harus menganggap pertumbuhan sosial masyarakat sebagai asas, sehingga pengembangan ekonomi tidak memberikan hasilnya tanpa memperhatikan hal ini. Dengan demikian bank syariat harus menutupi dua sisi ini dan komitmen terhadap perbaikan masyarakat dan keadilannya. Bank syariat juga tidak mengarah seperti halnya bank ribawi yang mengarahkan kepada proyek-proyek yang memiliki prospek dan menjanjikan keuntungan yang lebih banyak tanpa memperhatikan pertumbuhan sosial kemasyarakatan. Kekurangan itu menimbulkan bahaya di tengah masyarakat.

4. Mengumpulkan harta yang "menganggur" dan menyerahkannya kepada aktivitas its-titsmâr dan pengelolaan dengan target pembiayaan (tamwîl) proyek-proyek perdagangan, industri dan pertanian, karena kaum muslimin yang tidak ingin menyimpan hartanya di bank-bank ribawi berharap adanya bank syariat untuk menyimpan harta mereka disana.

5. Memudahkan sarana pembayaran dan memperlancar gerakan pertukaran perdagangan langsung (Harakah at-Tabâdul at-Tijâri al-Mubasyir) di seluruh dunia Islam, dan bekerja sama dalam bidang tersebut dengan seluruh lembaga keuangan syariat dunia agar dapat menunaikan tugasnya dengan sesempurna mungkin.

6. Menghidupkan tatanan zakat dengan membuat lembaga zakat dalam bank tersendiri yang mengumpulkan hasil zakat bank tersebut. Lalu membuat lembaga keuangan sendiri yang mengelola lembaga zakat tersebut. Karena lembaga keuangan syariat tunduk kepada pengelolaan harta untuk muamalat Islami dan hak-hak wajib pada harta-harta tersebut.

7. Membangun baitul mal kaum muslimin dan mendirikan lembaga untuk itu yang dikelola langsung oleh lembaga keuangan tersebut.

8. Menanamkan kaidah adil dan kesamaan dalam keberuntungan dan kerugian, dan menjauhkan unsur ihtikâr (penimbunan barang agar menaikkan harga) dan meratakan kemaslahatan pada sebanyak mungkin jumlah kaum muslimin, setelah sebelumnya kemaslahatan tersebut hanya menjadi milik para pemilik harta yang besar yang tidak peduli dari mana mendapatkannya

Demikianlah, beberapa karekteristik lembaga keuangan syariat, yang diharapkan menjadi solusi pengganti bank-bank ribawi. Semoga harapan ini dapat diwujudkan dalam kenyataa

*) Makalah ini diadaptasi dari kitab al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Thath-biq, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayâr, Dar al-Wathan, Riyadh, KSA, cetakan kedua, 1414 H, halaman 91-95.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al-Masharif wa Buyut at-Tamwîl al-Islamiyah, Dr. Gharib al-Jamal, hlm. 47.
[2]. Kitab Mi’at Su`al wa Mi’at Jawâb Haula al-Bunuk al-Islamiyah, hlm. 45-46.

Mencari Solusi Bank Syariah

Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amin.

Syariat Islam –segala puji hanya milik Allah- bersifat universal, mencakup segala urusan, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah, sehingga syariat Islam benar-benar seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

"Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu".[al-Mâ`idah/5:3]

Al-hamdulillah, fakta ilahi ini mulai disadari kembali oleh umat Islam, sehingga kini, kita mulai mendengar berbagai seruan untuk menerapkan syariat ilahi ini dalam segala aspek kehidupan. Termasuk wujud dari kesadaran ini, yakni berdirinya berbagai badan keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya berazaskan syariat. Fenomena ini patut mendapatkan perhatian, partisipasi dan dukungan dari kita, agar laju perkembangan dan langkahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam. Dan pada kesempatan ini, saya ingin sedikit berpartisipasi, yaitu dengan menyebutkan beberapa hal, yang menurut hemat saya perlu dikritisi.

Semoga yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari saudara-saudara kita yang berkepentingan dalam masalah ini.

TINJAUAN PERTAMA : PERANAN GANDA PERBANKAN SYARIAT
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling bertentangan.

Untuk menjelaskan permasalahan ini, cermatilah skema berikut. [Ma'af Skema Peran Perbankan Syariah belum bisa ditampilkan]

Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.

Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil"[1].

Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, ia berkata, "Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. . . . Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan aku tidak mengetahui ada ulama' lain yang menyelisihinya".[2]

Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama' menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[3]

TINJAUAN KEDUA : BANK TIDAK MEMILIKI USAHA RIIL
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta'ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak berisiko.

Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah.[4]

Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas.

TINJAUAN KETIGA : BANK TIDAK SIAP MENANGGGUNG KERUGIAN.
Andai kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.

Para ulama' dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari'ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil [5]. Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada adalah satu dari dua hal berikut:

1. Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing-masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.
2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.

Sebagai contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp. 20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp. 100.000.000,-.

Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan: Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha: dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu: Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.

Contoh lain dari produk perbankan syariat ialah bai' al-Murabahah. Bentuknya kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar Bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati.[6]

Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama, maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup segala risiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual-beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan itu adalah terlarang.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ.

"Dari sahabat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya" Ibnu 'Abbas berkata: Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan" [Muttafaqun 'alaih].

Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لَا تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ رواه أبو داود والحاكم
"Dari sahabat Ibnu 'Umar, ia mengisahkan: "Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut). Tiba-tiba, ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: 'Janganlah engkau menjual minyak itu di tempat engkau membelinya, hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing'." [HR Abu Dawud dan al-Hakim] [7]

Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.

Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu ketika muridnya, yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ كَيْفَ ذَاكَ قَالَ ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ


"Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab: "Itu, karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda".[8]

Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut: "Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja".[9]

TINJAUAN KEEMPAT : SEMUA NASABAH MENDAPATKAN BAGI HASIL.
Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.

Hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.

Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil mereka gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.[10]

TINJAUAN KELIMA : METODE BAGI HASIL YANG BERBELIT-BELIT
Bila kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan rumah kita, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya rendah.

Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:

Bagi hasil nasabah = dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah
................................ 1000 ................................... 100

E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.

Dapat dilihat dengan jelas,bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada skema di atas adalah total modal (dana) nasabah. Adapun dalam akad mudharabah, maka yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, oleh karenanya akad ini dinamakan bagi hasil.

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, "Rukun mudharabah kelima adalah keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, di antaranya, keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya, dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam prosentase."[11]

Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar syar'i sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad mudharabah:

Bagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank.

Perbedaan antara dua metode di atas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh berikut.

Pak Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian 50 % untuk pemodal dan 50 % untuk pelaku usaha (bank), dan total uang yang dikelola oleh bank sejumlah 10.000.000.000,- (10 miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1 % dari keseluruhan dana yang dikelola oleh bank.

Pada akhir bulan, bank berhasil membukukan laba bersih sebesar 1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank -setelah melalui perhitungan yang berbelit-belit pula- menentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp. 1.000,- adalah Rp 11,61.

Bila kita menggunakan metode perbankan syariat, maka hasilnya adalah sebagai berikut:

100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp. 580.500,-
...... 1000 ................ 100

Dengan metode ini, Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 580.500,- saja.

Sedangkan bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya sebagai berikut:

1.000.000.000 x 1 x 50 = 5.000.000,-
..................... 100 100

Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak Ahmad berhak mendapatkan bagi hasil sebesar Rp: 5.000.000,-. Metode pembagian yang diterapkan oleh bank berbelit-belit dan merugikan nasabah.

Yang lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah. Berikut salah satu contoh dari metode yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariat di Indonesia:

E = (total dana nasabah – Giro Wajib Minimum) x Total pendapatan x 1000
...................... Total Investasi .......................... Total dana nasabah

Metode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini, membuktikan bahwa perbankan syariat yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya. Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariat yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syari'ah.

SOLUSI PERBANKAN
Untuk menyiasati beberapa kritik di atas, maka berikut beberapa usulan yang mungkin dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar ingin menerapkan sistem perbankan yang Islami.

1. Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan Masing-Masing.
Secara global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata bertujuan untuk mengamankan hartanya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang ada.

Masing-masing kelompok nasabah ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan, dan sepenuhnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana oprasionalnya.

Di antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari over likuidasi, karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan kepada nasabah, kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip mudharabah benar-benar akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan metode yang simpel dan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing nasabah.

2. Perbankan Terjun Langsung ke Sektor Riil.
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa untuk menjalankan operasional, suatu bank pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, agar bank terkait dapat memenuhi kebutuhannya ini, ia harus memiliki berbagai unit usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan hanya mencukupkan diri dengan menjadi pihak penyalur dana semata, tanpa terjun langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian, keuntungan yang didapatkan oleh bank benar-benar keuntungan yang halal dan bukan hasil menghutangkan dana kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung dalam dunia usaha nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai penyalur dana nasabah, maka riba tidak akan pernah dapat dihindarkan.

Dengan cara ini, keberadaan perbankan syariah akan benar-benar menghidupkan perekonomian umat Islam. Karena dengan cara ini, perbankan pasti membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Sebagaimana perbankan Islami akan menjadi produsen sekaligus konsumen bagi produk-produk yang beredar di masyarakat.

Sebagai konsekuensi dari hal ini, tentu kedua belah pihak yaitu nasabah yang menginvestasikan dananya ke proyek-proyek perbankan dan juga pihak operator bank siap untuk menanggung segala risiko dunia usaha. Pemodal menanggung kerugian dalam bentuk materi, dan pelaku usaha menanggung kerugian skiil.

3. Perbankan Menerapkan Mudharabah Sepihak.
Pada saat sekarang ini, amanah dan kepercayaan susah untuk didapatkan, bahkan yang sering terjadi di masyarakat kita ialah sebaliknya; pengkhianatan dan kedustaan. Oleh karena itu, sangat sulit bagi kita, terlebih lagi bagi suatu badan usaha untuk menerapkan sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Untuk mensiasati keadaan yang memilukan ini, saya mengusulkan agar perbankan syari'at yang ada menerapkan mudharabah sepihak.

Yang saya maksud dengan mudharabah sepihak ialah, perbankan menerima modal dari masyarakat untuk menjalankan berbagai unit usaha yang ia kelola, akan tetapi perbankan tidak menyalurkan modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. Dengan cara ini, dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syari'ah dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas, dan perbankan terhindar dari berbagai kejahatan pihak-pihak yang tidak memiliki amanah dan rasa takut kepada Allah Ta'ala.

Pada akhirnya, apa yang kami paparkan di atas adalah semata-mata sebatas ilmu yang kami miliki. Sehingga bila didapatkan kebenaran, maka itu adalah murni berasal dari taufik dan 'inayah Allah Ta'ala. Sebaliknya, bila terdapat kesalahan, maka itu bersumber dari setan dan kebodohan saya.

Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga dapat meninggalkan riba beserta seluruh piranti dan perangkapnya, dan dimudahkan untuk mendapatkan rizki yang halal.
Wallahu a'lam bish-shawab.

[Penulis adalah Kandidat Doktor Fiqih, Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah - Saudi Arabia]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132). Silakan baca juga at-Tahzib, Imam al-Baghawi (4/392), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Sa'ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu (hlm. 202).
[2]. Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156.
[3]. Lihat al-'Aziz, ar-Rafi'i (6/27-28), Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132), al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/158), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil- Islâmi, Dr. Saad bin Gharir as-Silmy (hlm. 202).
[4]. Metode ini membuat kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba mendirikan perbankan syariah. Bahkan beberapa negara kafir tersebut –misalnya Singapura- telah memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah (perbankan syariah). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Majalah Modal melansir pernyataan bapak Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR RI): "Tidak ada istilah ekonomi syariah dan ekonomi non syari'ah, karena itu hanya soal penamaan saja". Lihat Majalah Modal, Edisi 18/II April 2004, hlm. 19.
[5]. Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/145), al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (38/64).
[6]. Bank Syariah, dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 171.
[7]. Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqîq. Lihat Nasbu ar-Rayah (4/43) dan at-Tahqîq (2/181).
[8]. Riwayat Bukhari dan Muslim.
[9]. Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/348-349.
[10]. Majalah Modal, Edisi 19/II-MEI 2004, hlm. 25.
[11]. Nihayatu az-Zain, Muhammad Nawawi al-Jawi, hlm. 254.

Adab Berhutang


“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”

Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [Al-Baqarah : 208]

Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.

Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

HUTANG HARUS DISAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]

Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi" [3]

“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]

BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”

Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?

Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]

Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.

Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.

ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya” [8]

3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً

" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [An-Nisa : 58]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :

أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم

“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :

لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه

"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]

c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]

d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]

Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]

Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.

6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.

Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

"Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]

9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ

“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]

10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]

BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.

Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.

1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.

2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.

Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :

كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ

"Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)". [20]

3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.

Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]

Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.

Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari.
[8]. Shahih Bukhari.
[9]. Shahih Bukhari.
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari.
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud,dan Ibnu Majah.
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari.
[19]. HR Bukhari.
[20]. HR Bukhari.
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...