Dewasa ini berkembang dalam skala besar lembaga keuangan berlabel
syariat dengan menawarkan produk-produknya menggunakan istilah-istilah
berbahasa Arab. Banyak masyarakat bingung dengan istilah-istilah
tersebut dan ragu, apakah semua produk tersebut benar-benar jauh dari
pelanggaran terhadap syariat, ataukah hanya rekayasa semata?
Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini, maka dalam rubrik fikih kali
ini kami angkat salah satu produk tersebut ditinjau dari fikih Islam.
Istilah jual beli Murabahah (Ba`i al-Murabahah) banyak diusung lembaga
keuangan tersebut sebagai bentuk dari financing (pembiayaan) yang
memiliki prospek keuntungan cukup menjanjikan. Sehingga hampir semua
lembaga keuangan syari'at menjadikannya sebagai produk financing dalam
pengembangan modalnya.[1]
NAMA LAIN JUAL BELI MURABAHAH
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syariat ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
1. Al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`.
2. Al-Murabahah lil-Wa'id bi asy-Syira`.
3. Ba`i al-Muwâ'adah.
4. Al-Murabahah al-Mashrafiyah.
5. Al-Muwâ'adah 'ala al-Murabahah.[2]
Di Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).[3]
DEFINISI JUAL-BELI MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu
(الرِبْحُ), yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan)[4].
Sedangkan menurut definisi para ulama terdahulu, ialah jual beli dengan
modal ditambah keuntungan yang diketahui[5]. Hakikatnya, ialah menjual
barang dengan harga (modal) nya yang diketahui oleh dua belah pihak yang
bertransaksi (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui
keduanya. Sehingga –misalnya- penjual mengatakan, modalnya adalah
seratus ribu rupiah, dan saya jual kepada anda dengan keuntungan sepuluh
ribu rupiah.
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan:
Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka, "saya menjual barang
ini dengan sistem Murabahah", … Rukun akad ini ialah sepengetahuan
kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya;
karena hal itu diketahui oleh kedua belah pihak, maka jual belinya
shahîh, dan (sebaliknya) bila tidak diketahui maka (jual beli itu)
batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini dibolehkan, tidak ada
khilaf (perbedaan) di antara ulama; sebagaimana hal ini disampaikan Ibnu
Qudaamah. Bahkan Ibnu Hubairah, dalam masalah ini menyampaikan adanya
ijma'. Demikian juga al-Kaasaani).[6]
Demikian, jual beli Murabahah yang terdapat dalam kitab-kitab ulama
fikih terdahulu. Adapun jual beli Murabahah yang kini telah marak
digulirkan, tidak berbentuk demikian. Jual beli Murabahah yang sekarang
berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari'at lebih komplek dari pada
yang berlaku dimasa lalu [7]. Oleh karena itu, para ulama kontemporer
dan para peneliti ekonomi Islam memberikan definisi berbeda; sehingga
apakah hukumnya sama ataukah berbeda? Di antaranya ialah sebagai
berikut.
1. Bank merealisasikan permintaan orang yang bertransaksi dengannya,
dengan dasar, pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua
(nasabah), yakni dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau
sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli
yang ia pesan tersebut, dengan keuntungan yang disepakati di awal
transaksi.[8]
2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah, agar lembaga keuangan
melakukan pembelian barang, baik yang barak bergerak ataupun tidak.
Kemudian, setelah itu nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga
keuangan tersebut, dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjual
barang dimaksud kepadanya dengan harga di depan atau di belakang, dan
ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembelian di
muka.[9]
3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga
keuangan, karena ia tidak memiliki dana cukup untuk membayar kontan
nilai barang yang ingin dibeli, sedangkan si penjual (pemilik barang)
tidak menjualnya secara tempo. Kemudian, lembaga keuangan membelinya
dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang
lebih tinggi.[10]
4. Jual beli ini berkaitan dengan tiga pihak, yaitu penjual, pembeli,
dan bank –yang berperan- sebagai pedagang perantara antara penjual
pertama (pemilik barang) dan pembeli. Dalam hal ini, Bank tidak membeli
barang tersebut, kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya, dan
adanya janji memberi di muka.[11]
Berdasarkan keempat uraian di atas, cukup jelaslah untuk memberikan gambaran mengenai jual beli Murabahah KPP ini.
BENTUK GAMBARAN JUAL-BELI MURABAHAH
Berdasarkan empat uraian di atas dan prakteknya di tengah masyarakat,
maka lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ke dalam tiga
bentuk.
1. Pelaksanaan janji yang terikat oleh kesepakatan antara dua pihak
sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan
menyebutkan nilai keuntungannya di muka.[12]
Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan yang memohon
dari lembaga keuangan tersebut untuk membeli barang tertentu dan sifat
tertentu. Kemudian keduanya bersepakat, dengan ketentuan, lembaga
keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk
membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan (itu)
terikat, (yaitu) harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang
telah disepakati keduanya, baik nilai, ukuran, tempo, maupun
keuntungannya.[13]
2. Pelaksanaan janji (al-Muwâ'adah) yang tidak mengikat kedua belah pihak.
Yaitu, nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga
keuangan. Kemudian, di antara kedua pihak itu terjadi perjanjian, dari
nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji
ini tidak dianggap kesepakatan, sebagaimana juga janji tersebut tidak
mengikat kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua
keadaan:
a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.[14]
3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Demikian
ini yang dipraktekkan oleh Bank Faishol al-Islami di Sudan.
Hal itu dengan ketentuan, akad transaksi mengikat bank dan tidak
mengikat nasabah, sehingga nasabah memiliki hak khiyâr (memilih) dengan
melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi, atau
menggagalkannya.[15]
PERNYATAAN PARA ULAMA TERDAHULU TENTANG JENIS JUAL-BELI MURABAHAH
Permasalahan jual belia Murabahah KPP ini, sebenarnya bukan perkara
kontemporer dan baru (nawâzil), namun telah dijelaskan para ulama
terdahulu.
Imam asy-Syafi'i berkata:
Apabila seseorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya
berkata "belilah itu, dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian,"
lalu ia membelinya, maka jual belinya dibolehkan. Dan yang mengatakan
"saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyâr),"
apabila ia ingin, maka ia akan melakukan jual-beli; dan bila tidak, maka
ia akan tinggalkan.
Demikian juga jika ia berkata "belilah untukku barang tersebut," lalu ia
mensifatkan jenis barangnya, atau "barang" jenis apa saja yang kamu
sukai, dan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu," semua ini sama,
diperbolehkan pada yang pertama; dan pada semua yang diberikan ada hak
pilih (khiyâr).
Sama juga, dalam hal ini yang disifatkan apabila mengatakan "belilah,
dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo," maka jual beli
pertama diperbolehkan, dan harus ada hak memilih pada jual beli yang
kedua.
Apabila keduanya memperbaharui (akadnya), maka boleh; dan bila berjual
beli seperti itu, dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam
jual beli tersebut), maka ia termasuk dalam dua hal: (1) berjual beli
sebelum penjual memilikinya, (2) berada dalam spekulasi
(mukhatharah).[16]
Imam ad-Dardiir dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir (3/129), ia
mengatakan: "Al-'inah, ialah jual beli oleh orang yang diminta darinya
satu barang untuk dibeli, tetapi (barang tersebut) tidak ada padanya
untuk (dijual) kepada yang memintanya; setelah membelinya, ia boleh
memberikan (menjualnya) kepada yang meminta barang, kecuali jika yang
minta menyatakan "belilah dengan sepuluh secara kontan, dan saya akan
mengambilnya darimu dengan dua belas secara tempo," maka jual beli ini
dilarang, karena di dalamnya terdapat tuduhan (hutang yang menghasilkan
manfaat); karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang
tersebut dan akan membayarnya (sejumlah) dua belas setelah jatuh
tempo".[17]
Jelaslah, dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu, bahwasanya
mereka menyatakan, pemesan (pembeli) tidak boleh diikat untuk memenuhi
kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga ditegaskan
oleh The Islamic Fiqih Academy (Majma' al-Fiqih al-Islami), bahwa jual
beli Muwâda'ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli
Murabahah dengan syarat al-Khiyâr untuk kedua pihak yang melakukan
transaksi, seluruhnya maupun salah satunya. Apabila tidak ada hak
al-Khiyâr, maka tidak boleh, karena al-Muwâ'adah yang mengikat
(al-Mulzâmah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu
sendiri; dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang
tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang menjual sesuatu yang
tidak dimilikinya.[18]
Syaikh 'Abdul-'Aziz bin Bâz ketika ditanya tentang jual beli ini, beliau
menjawab: "Apabila barang tidak berada dalam kepemilikan orang yang
menghutangkannya, atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu
menyerahkannya, maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual
belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga, dan
jual beli di antara keduanya tidak sempurna hingga barang tersebut
merupakan kepemilikan si penjual".[19]
HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG TIDAK MENGIKAT (GHAIRU AL-MULZÂM)
Bentuk Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:
1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
Dalam hal ini, yang râjih adalah boleh, seperti disebutkan dalam
pendapat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah. Karena dalam
bentuk ini tidak ada ikatan kewajiban untuk menyempurnakannya dengan
transaksi ataupun mengganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang
atau rusak, maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan
tersebut berspekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah
akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah
satu pihak berpaling dari keinginannya (menggagalkannya), maka tidak
ada kewajiban yang mengikatnya, dan tidak ada satupun akibat yang harus
ditanggungnya.[20]
2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai
keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang, karena termasuk
dalam kategori al-'Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam
kitabnya al-Muqaddimah, dan inilah yang dirâjihkan Syaikh Bakr Abu
Zaid.[21]
HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG MENGIKAT
Untuk mengetahui hukum ini, maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.
Langkah Proses Murabahah KPP Bentuk Ini
Muamalah jual beli Murabahah KPP melalui beberapa tahapan, di antara yang terpenting ialah sebagai berikut :
1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas,
b. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu (yang terkait) dalam pembelian barang tersebut.
2. Lembaga keuangan mempelajari proposal yang diajukan nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang:
a. mengadakan perjanjian yang mengika,
b. membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji,
c. penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji,
d. lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a. penentuan harga barang,
b. penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam harga,
c. penentuan nisbat keuntungan (profit),
d. penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Demikian, secara umum tahapan dalam proses jual beli Murabahah KPP yang
kami ambil secara bebas dari kitab al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah,
halaman 261-162. Sedangkan di dalam buku Bank Syari'at dari Teori ke
Praktek (hlm. 107) memberikan skema Ba`i Murabahah sebagai berikut:
[Ma'af Gambar skema Ba'i Murabahah tidak ditampilkan]
Adanya Aqad Ganda (Murakkab) Dalam Murabahah KPP[22]
Dari keterangan di atas maka jual beli Murabahah KPP dapat disimpulkan sebagai berikut di bawah ini.
1. Ada tiga pihak yang terkait, yaitu:
a. pemohon atau pemesan barang, dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan,
b. penjual barang kepada lembaga keuangan,
c. lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
2. Ada dua akad transaksi, yaitu:
a. akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan,
b. akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
3. Ada tiga janji, yaitu:
a. janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang,
b. janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membeli barang untuk pemohon,
c. janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
Dari sini, jelaslah, bahwa jual beli Murabahah KPP ini merupakan jenis
akad berganda (al-'Uqûd al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga
janji, dan ada tiga pihak.
Setelah meneliti muamalah dan tahapan prosesnya, akan nampak jelas
adanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad
transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi
kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat
oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan, bahwa dua akad tersebut saling
terkait dengan satu sebab, yaitu janji yang mengikat dari kedua belah
pihak, yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.
Berdasarkan hal ini, maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad
dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat, sehingga dapat dikatakan
dengan ungkapan "belikan untuk saya barang, dan saya akan memberikan
keuntungan kepada anda dengan jumlah sekian". Hal ini, karena pada akad
pertama, barang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli
dengan dasar, janji mengikat untuk membelinya.
Dengan melihat muamalah ini dari seluruh tahapan dan kewajiban-kewajiban
yang ada padanya, maka jelaslah, bahwa ia merupakan Mu'amalah
Murakkabah secara umum, dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban
yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak
terdapat padanya janji mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad
dan tidak saling terikat, sehingga jelas, hukumnya pun berbeda.
HUKUMNYA
Yang râjih dalam masalah ini, ialah tidak dibolehkan, dengan beberapa argumen, di antaranya :
1. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum adanya kepemilikan
penjual atas barang dimaksud, maka itu termasuk dalam larangan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dilarang menjual barang
yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut, pada hakikatnya adalah akad.
Dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan, maka ini merupakan akad
batil yang dilarang; karena lembaga keuangan, ketika itu menjual kepada
nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.
2. Muamalah seperti ini termasuk al-Hîlah (rekayasa) atas hutang dengan
bunga; karena hakikat transaksinya ialah menjual uang dengan uang yang
lebih besar darinya secara tempo dengan perantaraan adanya barang
penghalal di antara keduanya.
3. Murabahah jenis ini termasuk dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam hadits:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ n عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi
jual beli dalam satu jual beli" [HR at-Tirmidzi, dan dishahîhkan Syaikh
al-Albâni dalam Irwa' al-Ghalil, 5/149]
Al-Muwâ'adah, apabila mengikat kedua belah pihak, maka menjadi aqad
(transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga dalam muamalah itu
terdapat dua akad dalam satu jual beli.[23]
KETENTUAN DIBOLEHKANNYA MURABAHAH
Syaikh Bakar bin 'Abdillah Abu Zaid memberikan penjelasan tentang
ketentuan dibolehkannya jual beli Murabahah KPP ini dengan menyebutkan
tiga hal.
1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi,
baik secara tertulis maupun lisan sebelum adanya barang kepemilikan dan
sebelum serah terima.
2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang oleh
salah satu pihak, baik nasabah maupun lembaga keuangan, namun tanggung
jawab barang kembali kepada lembaga keuangan.
3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah
terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi milik lembaga
keuangan.[24]
Demikianlah, hukum jual beli ini menurut pendapat para ulama. Mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan jual beli Murabahah.
Wabillahit-taufiq.
Maraji`:
1. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at -Tathbîq, Prof. Dr.
'Abdullah ath-Thayâr, Dar al-Wathan, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H.
2. Fiqhu al-Muyassar Qismu al-Mu'amalât, Prof. Dr. Abdullah ath-Thayâr,
Prof. Dr. 'Abdulah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim
al-Musa, Dar al-Wathan, Cetakan Pertama, Tahun 1425 H.
3. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasah Fiqhiyah Ta'shiliyah wa
Tathbiqiyah, Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-'Imrâni, Kunuz
Isybiliya`, Cetakan Pertama, Tahun 1427 H.
4. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Gema Insani Press, Cetakan Kesembilan, Tahun 2005 M.
5. Fiqhu an-Nawâzil, Qadhaya Fiqhiyah al-Mu'asharah, Dr. Bakr bin
Abdillah Abu Zaid, Muassasah ar-Risalah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H.
6. Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional MUI, Edisi Revisi, Tahun 2006 M, Cetakan Ketiga, Tahun 1427 H, dan lain-lain.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, Prof. Dr. Abdullah Ath-Thayâr, hlm. 307.
[2]. Lihat al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 260-261.
[3]. Bank Syari'ah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 103.
[4]. Al-Qâmus al-Muhith, hlm. 279.
[5]. Al-'Uqûd al-Murakkabah, hlm. 257.
[6]. Dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin 'Abdillah Abu Zaid, 2/64.
Lihat juga al-Mughni (4/259), al-Ifashah (2/350), Bada`i ash-Shanâ`i
(7/92).
[7]. Dialog di rumah penulis dengan pegawai salah satu lembaga keuangan syari'at, Kamis, 3 April 2008 M, ba'da 'Ashar.
[8]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 257. Lihat
Ba`i al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`, karya Sâmi Hamud dalam
kumpulan Majalah Majma' al-Fiqh al-Islami, Edisi kelima (2/1092).
[9]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakabah, hlm. 257. Lihat Ba`i
al-Murabahah Kamâ Tajriha al-Bunûk al-Islamiyah, Muhammad al-Asyqar,
hlm. 6-7.
[10]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 258.
[11]. Ibid.
[12]. Fiqih Nawazil, 2/90.
[13]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[14]. Lihat Fiqih Nawazil (2/90) dan al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[15]. Lihat al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, hlm. 308.
[16]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88-89.
[17]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88.
[18]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 267.
[19]. Dinukil dari al-Bunûk al-Islamiyah, hlm. 308. Lihat Majalah
al-Jami'ah al-Islamiyah, Edisi I, Tahun Kelima, Rajab 1392, hlm. 118.
[20]. Lihat Fiqih Nawazil, 2/90.
[21]. Ibid
[22]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 265-266.
[23]. Silahkan merujuk kepada kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah (hlm. 267-284) dan Fiqih Nawazil (2/ 83-96).
[24]. Fiqih Nawazil, 2/97, dengan sedikit perubahan.