SIAPAKAH YANG DISEBUT PAILIT ITU?
Pailit, dalam bahasa Arabnya disebut muflis) المفلس) berasal dari kata
iflas (الإفلاس) yang menurut bahasa bermakna perubahan kondisi seseorang
menjadi tidak memiliki uang sepeser pun (atau disebut dengan istilah
pailit). Dan muflis, menurut istilah syari’at digunakan untuk dua makna.
Pertama, untuk yang bersifat ukhrawi. Kedua, bersifat duniawi.
Makna yang pertama telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا
دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ
يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي
قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ
هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ
أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
"Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?” Para sahabat
menjawab,”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai
dirham maupun harta benda.” Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata : “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang
datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun
(ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain,
makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka
orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah
habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan
kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka".[1]
Adapun makna muflis yang kedua -banyak bicarakan oleh para ahli fikih-
yaitu orang yang jumlah hutangnya melebihi jumlah harta yang ada (di
tangannya). Dinamakan demikian, karena dia menjadi orang yang hanya
memiliki fulus (uang pecahan atau recehan) setelah sebelumnya memiliki
dirham dan dinar. Ini mengisyaratkan bahwa ia tidak lagi memiliki harta
selain yang paling rendah nilainya. Atau karena dia terhalang dari
membelanjakan hartanya, kecuali uang pecahan (receh) yang disebut fulus
untuk membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Karena orang-orang dahulu
tidaklah menggunakannya, kecuali untuk membelanjakan sesuatu yang tak
berharga. Atau orang yang kondisinya berubah menjadi tidak memiliki uang
sepeser pun [2]. Dan makna inilah yang dimaksudkan oleh para sahabat
dalam hadits di atas ketika mereka ditanya tentang hakikat muflis, maka
mereka mengabarkan tentang kenyataan di dunia. Sedangkan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengabarkan, bahwa muflis di akhirat
itu lebih parah keadaannya.[3]
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa iflas (pailit) dalam syari’at digunakan
untuk dua makna. Pertama. Bila jumlah hutang seseorang melebihi jumlah
harta yang ada padanya, sehingga hartanya tidak bisa untuk menutup
hutang-hutangnya tersebut. Kedua. Bila seseorang tidak memiliki harta
sama sekali.[4]
Berikut ini kami sampaikan beberapa hukum seputar muflis. Wallahul Muwaffiq.
HAJR TERHADAP MUFLIS
Jika seorang menjadi muflis (pailit) karena banyaknya hutang, sementara
harta yang ada di tangannya tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya
yang sudah jatuh tempo, maka apakah boleh menetapkan hajr الْحَجْرُ) )
kepadanya? Yakni menghentikan atau mempersempit pengeluaran harta muflis
yang masih ada di tangannya.
Dalam hal ini terdapat beberapa hukum yang berkaitan dengan hajr terhadap muflis.
1. Tidak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali bila jumlah
hutangnya betul-betul telah melebihi jumlah harta yang ia miliki.
Adapun jika harta milik muflis itu setara dengan jumlah hutangnya, atau
lebih banyak dari hutang-hutangnya, maka tidak boleh melakukan hajr
terhadapnya, sama saja apakah yang ia belanjakan dari harta hutangnya
maupun dari hasil jerih payahnya sendiri. Karena dalil-dalil yang
menunjukkan disyariatkannya hajr kepada muflis adalah bila
hutang-hutangnya lebih besar dari harta yang ia miliki, yang dengannya
para pemilik harta (pemberi hutang) boleh mengambil dari harta muflis
yang ada sesuai prosentase masing-masing. Yakni mereka bersekutu dalam
pembagian harta muflis yang masih ada.
Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan :
أُصِيبَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا
فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقَالَ: ((تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ))، فَتَصَدَّقَ
النَّاسُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ لِغُرَمَائِهِ: ((خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ
إِلاَّ ذَلِكَ .
"Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada seseorang
tertimpa musibah (kerusakan) pada hasil tanaman yang ia beli, sehingga
ia banyak berhutang. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata,”Bersedekahlah untuknya,” maka orang-orang pun bersedekah
untuknya, namun belum bisa melunasi semua hutangnya. Akhirnya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada para penagih hutang:
“Ambillah apa yang kalian dapati (dari hartanya), dan tidak ada lagi
selain itu". [5]
Demikian pula dalam kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu ketika
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hajr tehadap hartanya [6].
2. Tidak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali atas permintaan
para pemilik harta (pemberi hutang). Dan jika di antara mereka terjadi
perselisihan dalam hal tuntutan hajr [7], maka boleh dilakukan hajr
terhadap muflis atas dasar keinginan orang-orang yang menuntutnya dengan
syarat jumlah harta yang mereka hutangkan kepada muflis lebih banyak
dari jumlah harta muflis.
Sebagaimana dalam kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu di atas.
Karena hajr itu ditetapkan demi kemaslahatan para pemilik harta (pemberi
hutang). Jika mereka tidak menuntut hajr, maka hal itu menunjukkan
bahwa kemaslahatan hajr belum jelas bagi mereka.
3. Apabila hakim menjatuhkan hajr kepada muflis, maka hak para pemilik
harta (pemberi hutang) berubah dari keterikatannya dengan dzimmah
(tanggungan) muflis, menjadi keterikatan langsung dengan hartanya.
Seperti sesuatu yang dijadikan jaminan, maka ia menjadi hak orang yang
menerima jaminan. Oleh karena itu syariat memberi hak penguasaan bagi
pemilik harta (pemberi hutang) terhadap harta muflis, demi ditunaikannya
hak mereka.
4. Dianjurkan bagi hakim untuk menyiarkan keputusan hajr-nya terhadap
muflis agar khalayak tidak bermuamalah (harta) secara bebas dengannya.
5. Hakim harus menjual harta benda muflis yang ada, kemudian hasilnya
dibagikan kepada para pemilik harta (pemberi hutang) menurut prosentase
yang mereka pinjamkan kepada muflis.
Dalam hal ini dianjurkan untuk bersegera melakukannya, dan sebisa
mungkin dengan tetap memperhatikan kemaslahatan muflis yang di-hajr
dalam cara menjual harta bendanya. Seperti mendahulukan penjualan
sesuatu yang cepat rusak, semisal makanan atau yang serupa. Kemudian
barang-barang yang bisa diangkut atau harta bergerak, misalnya
kendaraan, kemudian harta tak bergerak seperti tanah atau semisalnya.
Dalam penjualan ini dianjurkan agar muflis yang dihajr dan para pemilik
hak (pemberi hutang) ikut menyaksikan penjualan harta benda tersebut.
Namun, hakim hendaknya menyisakan dari harta benda tersebut untuk
memenuhi hajat kebutuhan pokok si muflis, seperti pakaian, makanan pokok
dan tempat tinggal dengan standar yang layak, tidak terlalu kurang tapi
juga tidak berlebihan.
6. Jika harta benda muflis telah dibagikan kepada para pemilik hak
(pemberi hutang) sesuai prosentase haknya masing-masing, maka para
pemilik hak hendaknya memberi tangguh kepada muflis, jika masih tersisa
hak mereka padanya sampai ia terbebas dari belitan kesusahannya.
Hal itu demi mengamalkan firman Allah Subhanhu wa Ta'ala :
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". [al Baqarah : 280].
Seperti juga ditunjukkan dalam hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu di atas dalam Shahih Muslim dan lainnya.[8]
BILA SESEORANG MENDAPATI DENGAN JELAS BARANG YANG IA HUTANGKAN PADA SI MUFLIS MASIH UTUH, MAKA BAGAIMANA HUKUMNYA?
Bila kondisinya demikian, maka ia paling berhak terhadap barangnya dari
para pemilik hak yang lain, karena barang tersebut pada asalnya adalah
miliknya sebelum ia jual kepada si muflis dengan hutang. Dan pada
asalnya, ia tidak ridha barang tersebut keluar dari tangannya, kecuali
dengan dibayar harganya. Dan jual beli itu dianggap sah bila dipenuhi
syarat pembayaran harganya. Sehingga ketika si muflis tidak bisa
membayarnya, maka si pemilik barang itu berhak menggagalkan jual-belinya
selama barangnya masih ada. Tetapi, jika barangnya sudah lenyap, maka
ia tidak bisa lagi membatalkan jual-belinya, sehingga hukumnya menjadi
seperti hutang-hutang yang lain.
Dalil dalam perihal ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ؛ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ
"Barangsiapa mendapati barangnya dengan jelas pada seseorang yang
pailit, maka ia lebih berhak (dengan barang itu) daripada (penagih
hutang) yang lainnya". [9]
Diriwayatkan pula oleh Muslim dengan lafadz berikut :
إِذَا وَجَدَ عِنْدَهُ الْمَتَاعَ وَلَمْ يُفَرِّقْهُ؛ أَنَّهُ لِصَاحِبِهِ الَّذِي بَاعَهُ
"Bila seseorang mendapati barang (jualan)nya pada orang (yang pailit)
itu dalam keadaan belum dia (yang pailit) pisah-pisahkan, bahwa barang
tersebut adalah untuk pemiliknya yang menjualnya".
Demikian menurut pendapat jumhur dalam masalah ini. Jumhur ulama juga
berpendapat, bila pembeli telah membayar sebagian harga barang milik
penjual, maka penjual tidaklah lebih berhak terhadap sisa harga yang
belum dibayar oleh pembeli (saat pailit), dan si penjual sama kedudukan
haknya dengan para penagih hutang yang lain. Demikian pula jika si
pembeli tersebut meninggal dunia sebelum membayar harga barang si
penjual, meskipun barang tersebut masih ada [10]. Hal itu berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَيُّمَا رَجُلٍ بَاعَ مَتَاعاً فَأَفْلَسَ الَّذِي ابْتَاعَهُ وَ لَمْ
يَقْبِضِ الَّذِي بَاعَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئاً فَوَجَدَ مَتَاعَهُ
بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ وَإِنْ مَاتَ الْمُشْتَرِي فَصَاحِبُ
الْمَتَاعِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ
"Siapa saja menjual barang (kepada seseorang), lalu orang yang
membelinya jatuh pailit, sementara dia belum menerima harga barangnya
sedikitpun, kemudian dia mendapati barang tersebut masih utuh, maka dia
lebih berhak dengan barang itu. Tetapi jika si pembeli meninggal dunia,
maka pemilik barang bersekutu (menjadi sama haknya) dengan para penagih
hutang yang lain (terhadap barang tersebut)".[11]
Dalam salah satu riwayat Abu Daud terdapat lafadz :
فَإِنْ كَانَ قَبَضَ مِنْ ثَمَنِهَا شَيْئاً فَهُوَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ
"Tetapi jika dia (penjual) telah mengambil sebagian harganya, maka dia
bersekutu (menjadi sama haknya) dengan para penagih hutang lainnya".
[12]
APAKAH BOLEH MEMENJARAKAN SESEORANG JIKA TELAH JELAS IA MENJADI MUFLIS?
Jika telah jelas seseorang menjadi muflis (jatuh pailit), maka tidak
boleh memenjarakannya. Karena hal itu menyelisihi ketetapan hukum Allah
Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firmanNya :
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". [al Baqarah : 280].
Juga menyelisihi apa yang tersirat (mafhum mukhalafah) dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَيُّ الْوَاجِدِ ظُلْمٌ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
"Menunda-nunda pembayaran (hutang) oleh orang yang mampu adalah suatu
kezhaliman, yang menghalalkan harga dirinya dan menghukumnya".[13]
Maksud menghalalkan harga dirinya, yakni menyiarkannya dengan
mengucapkan kepadanya “kamu telah menunda-nunda hutangmu kepadaku
(padahal kamu mampu membayar)”, atau bersikap keras kepadanya dan
menghukumnya, yakni memenjarakannya sampai dia mau membayar
hutang-hutangnya yang telah berlalu masa tangguhnya.[14]
Ini berbeda dengan muflis (orang pailit), yaitu orang yang mengalami
kesukaran karena hartanya yang ada tidak cukup untuk membayar seluruh
hutangnya. Dengan kata lain, dia tidak disebut sebagai ‘orang yang
mampu’. Sedangkan dalam hadits hukum tersebut, ialah bagi orang yang
mampu membayar, tetapi dia menunda-nunda.
Adapun jika belum jelas, apakah dia muflis (pailit) ataukah mampu
membayar? Maka sebisa mungkin wajib meneliti keadaannya. Jika telah
jelas bahwa dia mampu, maka harus dipenjara sampai dia mau membayar
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Namun jika ternyata
betul-betul muflis (pailit) dan tidak sanggup melunasi seluruh
hutangnya, maka tidak boleh memenjarakannya. Dan harta muflis yang
tersisa menjadi hak bersama bagi para pemberi hutang dan dibagikan
sesuai prosentase kepemilikan mereka dalam harta si muflis. Selebihnya
hendaknya mereka memberi tangguh sampai si muflis memperoleh kelapangan
untuk melunasinya. [15]
Demikian beberapa hukum mengenai orang muflis (pailit) yang bisa kami sampaikan. Wallahu a’lam bi ash Shawab.
Maraji` :
1. Fathul Bari, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
2. Syarh az Zarqani ‘ala Muwaththa al Imam Malik.
3. Nailul Authar, oleh al Imam asy Syaukani.
4. Al Mughni, oleh al ‘Allamah Ibnu Qudamah al Maqdisi.
5. Bidayatul Mujtahid, oleh al Qadhi Ibnu Rusyd al Qurthubi.
6. Al Fiqh al Manhaji ‘ala Madzhab al Imam asy Syafi’i, oleh Dr. Musthafa al Khin, Dr. Mushthafa al Bugha dan Ali asy Syaraihi.
7. Irwa’ al Ghalil, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani; At
Ta’liqat ar Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyyah li al ‘Alamah Shiddiq
Hasan Khan, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Muslim-, at Tirmizi dan Ahmad, dari Abu Hurairah z .
[2]. Fathul Bari dan Nailul Authar . Lihat juga Syarh az Zarqani ‘ala Muwaththa’ al Imam Malik.
[3]. Al Mughni (4/265)
[4]. Bidayatul Mujtahid (4/1451).
[5]. HR Muslim, Abu Dawud, at Tirmidzi, an Nasa-i dan Ibnu Majah .
[6]. Diriwayatkan oleh al Baihaqi di dalam as Sunan al Kubra, Kitab at
Taflis, Bab al Hajr ‘ala al Muflis (6/48), al Hakim dalam al Mustadrak,
Kitab al Ahkam (4/101) dan ad Daruquthni dalam as Sunan, Kitab al
Aqdhiyah dan al Ahkam, Bab al Hajr ‘ala al Muflis (4/231) dari hadits az
Zuhri dari (Abdurrahman) bin Ka’ab bin Malik dari ayahnya Ka’ab bin
Malik z secara muttashil; dan diriwayatkan secara mursal (tanpa
disebutkan Ka’ab bin Malik) oleh al Baihaqi, Abdur Razzaq dalam
al Mushannaf, Kitab al Buyu’, Bab al Muflis wa al Mahjur ‘alaihi
(8/268), serta al Hakim dalam al Mustadrak, Kitab Ma’rifat ash Shahbah
(3/272). Namun yang paling benar bahwa hadits ini diriwayatkan dari az
Zuhri dari (Abdurrahman) bin Ka’ab secara mursal (tanpa menyebutkan
ayahnya). Lihat Irwa’ al Ghalil dan Nailul
Authar (5/244-245).
[7]. Yakni sebagian menuntut hajr dan sebagian lagi tidak.
[8]. Lihat keenam poin tersebut dalam al Fiqh al Manhaji ‘ala Madzhab al
Imam asy Syafi’i (3/599-600), dan lihat kelanjutan pembahasannya
tentang hak pembelanjaan harta si muflis setelah dikenai hajr.
[9]. HR al Bukhari Fathul Bari- dan Muslim
[10]. Lihat at Ta’liqat ar Radhiyyah ‘ala ar Raudhatun Nadiyyah li al
‘Allamah Shiddiq Hasan Khan (3/194), oleh Syaikh al Albani. Dan lihat
kembali pembahasan “Bila Warisan Tidak Mencukupi Untuk Membayar Hutang”
As Sunnah Edisi Khusus
[11]. HR Malik dan Abu Dawud , dari hadits Abu Bakar bin
Abdurrahman bin al Harits bin Hisyam secara mursal. Dishahihkan oleh
Syaikh al Albani dengan beberapa jalur periwayatan pendukungnya. Lihat
Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1442 dan 1443.
[12]. Abu Dawud
[13]. HR Ahmad, Abu Dawud, an Nasa-i,
Ibnu Majah dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh al Albani di
dalam Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1434.
[14]. Tasfir kalimat-kalimat ini, diantaranya disebutkan oleh Sufyan ats
Tsauri seperti dinukil oleh al Bukhari dalam judul Bab “Li Shahibil
Haqqi Maqal” (5/75). Disebutkan pula oleh Ibnul Mubarak (Sunan al
Baihaqi, 6/51) dan yang lainnya. Wallahu A’lam.
[15]. Lihat at Ta’liqat ar Radhiyyah (3/195-196)