Searching

Anjuran Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam

Di antara hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta'ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]

Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintahkan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).

Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam. Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang menghimpunnya dengan salam untuk beliau. Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah satunya saja. Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya mengucapkan: “‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan untuknya keselamatan).” Hal itu karena Allah memerintahkan untuk mengucapkan keduanya.

Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah muakkadah. Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkannya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka berselisih tentang hukum wajibnya. Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab muadzdzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.

“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”[2]

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah:

1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.
2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.
4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.
5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.
6. Shalawat merupakan sebab sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[3]

Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat dan memuji beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak meriwayatkan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Di antaranya adalah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Maha-mulia.” [4]

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.

LARANGAN GHULUW DAN BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MEMUJI NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:

لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ


“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [5]

Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.

Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, perbuatan ini adalah syirik.

Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[6]

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” [7]

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.” [8]

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” [9]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kasidah nuniyyah-nya berkata:

ِللهِ حَقٌّ لاَ يَكُوْنُ لِغَيْرِهِ
وَلِعَبْدِهِ حَقٌّ هُمَا حَقَّانِ
لاَ تَجْعَلُوا الْحَقَّيْنِ حَقًّا وَاحِدًا
مِنْ غَيْرِ تَمْيِيْزٍ وَلاَ فُرْقَانِ

“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selain-Nya,
bagi hamba pun ada hak, dan ia adalah dua hak yang berbeda.
Jangan kalian jadikan dua hak itu menjadi satu hak,
tanpa memisahkan dan tanpa membedakannya.” [10]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah]
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada kitab Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlish Shalaah was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam, karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dengan ta’liq dan takhrij Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
[2]. HR. Al-Baihaqi dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, sanad hadits ini hasan. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
[3]. ‘Aqiidatut Tauhiid.
[4]. HR. Al-Bukhari (Fat-hul Baari), Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Ahmad  dan lain-lain, dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu.
Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat dilihat dalam buku Do’a dan Wirid,Pustaka Imam asy-Syafi’i..
[5]. HR. Ahmad, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Khu-zaimah  dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[6]. HR. Al-Bukhari , at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Mu-hammadiyyah, Ahmad d-Darimi  dan yang lainnya, dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[7]. ‘Aqiidatut Tauhiid.
[8]. HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad ( Shahiihul Adabil Mufrad), an-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawi-nya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul Baari)
[9]. HR. Ahmad, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah. Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[10]. ‘Aqiidatut Tauhiid oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.

99. AZ ZALZALAH



Terjemahan Text Qur'an Ayat
Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat), إِذَا زُلْزِلَتِ الأرْضُ زِلْزَالَهَا 1
dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya, وَأَخْرَجَتِ الأرْضُ أَثْقَالَهَا 2
dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)?", وَقَالَ الإنْسَانُ مَا لَهَا 3
pada hari itu bumi menceritakan beritanya, يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا 4
karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا 5
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ 6
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ 7
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ 8

Al_Qur'an Dan Terjemahan

Religious Comments Pictures


    Risalah Anak

    New Baby Comments Pictures

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    Waktu Pemberian Nama Anak Dan Hukum Merayakan Pemberian Nama Anak

    Pertanyaan
    Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Hari apa yang paling utama untuk menamai anak, sesudah kelahirannya langsung atau pada hari ke tujuh? Apakah boleh dirayakan bersama dengan orang-orang yang tercinta, para sahabat dan tetangga ?

    Jwaban
    Waktu penamaan anak cukup longgar. Boleh menamainya pada hari kelahirannya atau pada hari ke tujuh, masing-masing memiliki dasar hukumnya. Imam Al-Bukhari dan Muslim membawakan suatu hadits dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi, dia berkata.

    “Al-Mundzir bin Usaid dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kelahirannya. Rasulullah memangkunya. Sedangkan ayahnya duduk. Rasulullah memainkan sesuatu di hadapan sang bayi. Abu Usaid meminta orang lain untuk mengambil Usaid dari pangkuan Rasulullah. Maka diambillah bayi itu dari pangkuan Rasulullah, Rasulullah bertanya : “Dimana bayinya”. Abu Usaid menjawab : “Kami pindahkan wahai Rasulullah”. Lalu beliau bertanya : “Siapa namanya?”. Ayahnya menjawab : “Fulan”. Rasulullah menyanggah : “Tidak, namanya (yang tepat) Al-Mundzir”.

    Dalam Shahih Muslim dari hadits Sulaiman bin Al-Mughirah dari Tsabit dari Anas, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Malam ini bayiku lahir, Aku beri nama mirip nama moyangku, Ibrahim”.

    Dari Samurah Radhiyallahu ‘anhu, Imam Ahmad dan Ahlus Sunnah meriwayatkan, ia berkata : “Rasulullah bersabda :

    “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ke tujuh (kelahirannya) sekaligus dinamai dan dicukur rambut kepalanya” [At-Tirmidzi menetapkan hadits ini Hasan Shahih]

    Wabillahit taufiq. Washallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.

    [Fatawa Islamiyah 4/489]

    HUKUM MERAYAKAN PEMBERIAN NAMA ANAK


    Pertanyaan
    Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah boleh orang-orang yang tercinta, tetangga dan kawan-kawan berkumpul pada hari penamaan bayi? Apakah ini bid’ah dan kekufuran?

    Jawaban
    Merayakan hari pemberian nama kepada bayi bukan sunnah Nabi, juga tidak pernah terjadi pada sahabat semasa Nabi masih hidup. Barangsiapa melakukannya dengan keyakinan sebagai bagian dari ajaran Islam, maka ia telah berbuat perkara baru dalam agama. Dan ini adalah suatu bid’ah yang tertolak darinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    “Artinya : Barangsiapa membuat perkara baru dalam agama kami yang bukan darinya maka akan tertolak”

    Tetapi ini bukan tindakan kufur.

    Jika perkumpulan itu hanya sekedar ekspresi kegembiraan dan kebahagian atau undangan makan daging aqiqah, tidak dilakukan sebagai sunnah, maka tidak masalah. Telah diriwayatkan dari Rasulullah secara shahih riwayat yang menunjukkan disyariatkannya penyembelihan hewan aqiqah dan penamaan bayi pada hari ke tujuh.

    [Fataw Islamiyah 4/490]

    Model Pakaian Anak Yang Terlarang Dan Hukum Memakaikan Pakaian Minim Pada Anak

    MODEL PAKAIAN ANAK YANG TERLARANG
    Pertanyaan.
    Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum memakaikan baju pada anak-anak yang ada gambar bernyawa ?

    Jawaban
    Ahlul Ilmi (para ulama) menetapkan hukumnya haram memakaikan pakaian pada anak kecil yang dikenakan orang dewasa. Pakaian yang bergambar hidup haram dipakai orang dewasa, demikian juga hukumnya tidak boleh dipakai anak-anak. Dan memang demikian hukumnya. Seyogyanya kaum muslimin memboikot model pakaian yang seperti ini agar orang-orang yang berniat jahat dan rusak tidak menyusup masuk kepada kita melalui sudut-sudut ini. Kalau benar-benar diboikot maka mereka tidak akan menemukan akses untuk memasoknya ke negeri kita.

    [Majmu Fatawa wa Rasa’il 3/158]

    TIDAK BOLEH BERPAKAIAN BERGAMBAR MAKHLUK BERNYAWA

    Pertanyaan.
    Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh. Begitu banyak pemajangan gambar-gambar orang dewasa maupun anak-anak di counter-counter perdagangan. Gambar-gambar tersebut merupakan potret artis internasional atau tokoh-tokoh terkenal sebagai sarana pengenalan satu jenis atau berbagai jenis produk, parfum misalnya. Ketika kami tegur, para pemilik toko menangkis bahwa gambar-gambar tersebut tidak mujassamah (membentuk tubuh) artinya tidak haram pemasangannya, dan ini juga bukan upaya meniru ciptaan Allah. Mereka mengklaim pernah membaca fatwa Syaikh di harian Al-Muslimun yang isinya bahwa gambar yang mujassamah saja yang haram, lainnya tidak. Kami ingin penjelasan lebih lanjut. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

    Jawaban
    Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Waalaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh

    Orang yang menisbatkan fatwa gambar yang terlarang, hanyalah yang mujassam lainnya tidak, kepada kami sungguh dia telah berbohong atas nama kami. Padahal kami adalah tidak boleh mengenakan pakaian yang ada gambar bernyawa baik pada pakaian orang dewasa atau anak-anak, juga tidak boleh menyimpan photo-photo (dengan gambar bernyawa) sebagai kenangan atau lainnya kecuali dalam kondisi darurat atau kebutuhan mendesak, seperti kartu tanda penduduk, atau surat-surat izin.

    [Fatawa Islamiyah 4/364]

    MEMAKAIKAN PAKAIAN MINIM PADA ANAK

    Pertanyaan.
    Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian ibu-ibu –semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka- memakaiakan putri-putri mereka pakaian-pakaian yang tidak menutupi betis. Jika kami menasehati, mereka berdalih, kami dulu juga memakai pakaian tersebut sebelumnya (waktu kecil) dan ternyata tidak membahayakan kami (tidak menghalangi kami untuk memakai hijab) saat kami dewasa. Bagaimana menurut pendapat Syaikh ?

    Jawaban
    Menurut saya, tidak sepantasnya seseorang memakaikan putrinya dengan pakaian model tersebut meski masih kecil. Sebab cara seperti itu akan menjadi kebiasaannya dan dia akan menganggap remeh. Tapi kalau dia terbiasa berpakaian sopan sejak dini, maka ia akan terbiasa juga dengan pakaian tersebut ketika dewasa. Wasiat saya bagi para muslimah, agar meninggalkan model pakaian luar negeri yang berasal dari musuh agama, dan sebaliknya hendaklah ia membiasakan putri-putri mereka mengenakan pakaian yang menutup badan dan mendidik rasa malu lantaran rasa malu termasuk bagian dari iman.

    [Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 2/845]

    NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

    Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...