Searching

Asuransi Dan Hukumnya

 
MAKNA ASURANSI
Yang dimaksud dengan asuransi, ialah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin, atau memberi ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau terjadinya bahaya, dan dijelaskan dengan perjanjian. Pemberian itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan nasabah kepada perusahaan asuransi.

Dari penjelasan ini, dapat diketahui secara jelas bahwa dalam perjanjian asuransi itu terdapat tiga unsur yang melingkupinya, yaitu: (1) bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan perusahaan asuransi, (2) bahaya atau musibah yang terjadi, (3) angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.

SEJARAH ASURANSI
Asuransi yang pertama kali muncul ialah dalam bentuk asuransi perjalanan laut, yaitu pada abad 14 Masehi. Namun sebenarnya, asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi. Praktek asuransi waktu itu, seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar. Jika kapal itu hancur, maka pinjaman tersebut hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.

Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi. Di dalamnya merupakan perjanjian yang bersifat riba, mengandung unsur perjudian dan bahaya. Dan hingga pada saat ini, asuransi tetap memiliki unsur-unsur sebagaimana saat muncul pertama kali.

Kemudian, pada abad 17 Masehi muncul asuransi di daratan, yaitu di kalangan bangsa Inggris. Pertama kali, muncul dalam bentuk asuransi kebakaran. Kemunculannya setelah terjadi kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Kerugian yang diderita pada waktu itu, tidak kurang dari 13 ribu rumah, dan sekitar 100 gereja terbakar. Dari sini, asuransi kebakaran kemudian menyebar ke banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat, serta semakin bertambah jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.

JENIS-JENIS ASURANSI
Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi dapat dikategorikan dalam dua jenis.
Yaitu at-Ta'mîn at-Tijâri dan at-Ta'mîn at-Ta'âwuni.

Asuransi at-Ta'mîn at-Tijâri. Yaitu asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini, otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah, atau sesuai dengan yang disepakati.

Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun dan ini merupakan keuntungan bagi perusahaan asuransi.

Inilah asuransi yang hendak dibicarakan di sini. Dan ini terlarang, karena bersifat spekulasi yang merugikan salah satu pihak.

Asuransi at-Ta'mîn at-Ta'âwuni, dan disebut juga dengan at-Ta'mîn at-Tabâduli, atau at-Ta'mîn al-Islami. Yaitu asuransi gotong-royong, atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Asuransi ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanya bersifat tolong-menolong dalam menanggung kesusahan.

Contohnya, sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang. Dengan uang ini, mereka membantu orang yang terkena musibah.

Perusahaan asuransi Islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.

Selain dua jenis asuransi di atas, masih ada jenis asuransi lainnya, yaitu at-Ta'mîn al-Ijtima'i (jaminan keamanan sosial).

Asuransi at-Ta'mîn al-Ijtima'i ini, juga tidak mencari keuntungan dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir terjadinya musibah tertentu. Asuransi at-Ta'mîn al-Ijtima'i ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara atau suatu pemerintahan untuk para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun (di Indonesia dikenal dengan istilah Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau Taspen, Red.).

Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dalam prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, maka uang (pemotongan gaji) tersebut diberikan kembali dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Dan jenis ini, sebenarnya tidak termasuk dalam kategori asuransi. Namun hal ini tidak mengapa, asalkan tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.

MACAM-MACAM ASURANSI TIJÂRI
At-Ta'mîn at-Tijâri, sebagai asuransi yang bertujuan mencari keuntungan ini sangat banyak macamnya. Antara lain sebagaimana berikut.

Pertama. Asuransi Kecelakaan.
Asuransi jenis ini berkenaan dengan harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian, asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga diberlakukan untuk pertanggungan terhadap nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.

Kedua. Asuransi Pribadi.
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, berkaitan dengan kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Asuransi ini meliputi asuransi jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan (jasmani).

Asuransi jiwa, yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ketiga, ketika nasabah (atau orang ketiga) itu meninggal dunia, ataupun pemberiaan dalam keadaan nasabah (atau orang ketiga) itu masih hidup sampai umur tertentu. Pemberian perusahaan asuransi ini sebagai ganti dari angsuran-angsuran yang telah disetorkan oleh nasabah terdahulu.

Asuransi jiwa ini dapat digolongkan dalam beberapa macam.

1. Asuransi Kematian.
Yaitu pemberian sejumlah uang pada saat kematian nasabah, dan meliputi tiga macam.

a. Asuransi Selama Hidup.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah).
Jika asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu meninggal sebelum masa 20 tahun, maka angsurannya (setorannya) gugur, dan orang yang diasuransikan tersebut berhak mendapatkan sejumlah uang asuransi secara penuh. Ini berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah masih hidup melewati masa 20 tahun, maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidak diberikan kepada orang yang diasuransikan, kecuali setelah kematian nasabah.

b. Asuransi Berjangka Waktu Tertentu.
Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan perusahaan akan membayar sejumlah uang asuransi untuk orang yang diansuransikan jika nasabah meninggal dalam jangka waktu (masa) asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jangka waktu asuransi, maka angsuran yang telah ia bayarkan hilang, dan perusahaan asuransi mengambil uang tersebut dengan tanpa imbalan apapun. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.

c. Asuransi Selama Hidupnya Orang Yang Diasuransikan.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diasuransikan, jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika orang yang diasuransikan meninggal sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah), maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

2. Asuransi Untuk Keadaan Tetap Hidup.
Yaitu tetap hidupnya nasabah. Asuransi ini kebalikan dari bentuk (1.a). Dalam asuransi ini, nasabah membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan akan membayarkan sejumlah uang tertentu juga –yang lebih banyak- pada waktu yang ditentukan, jika nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah meninggal sebelum waktu yang ditetapkan dalam perjanjian asuransi, maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Begitu pula ahli waris nasabah tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.

3. Asuransi Yang Memiliki Unsur Kombinasi.
Yaitu penggabungan dua jenis asuransi di atas. Perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah meninggal pada selang waktu tertentu, atau membayarkan kepada nasabah jika ia masih hidup setelah selesainya waktu asuransi. Oleh karena itu, angsuran asuransi jenis ini lebih besar (nominalnya) dari dua jenis asuransi yang disebutkan sebelumnya (1 dan 2).

Adapun asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan, yaitu perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang (klaim) kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah tertimpa musibah yang berkaitan dengan badannya selama masa asuransi. Atau diberikan kepada orang tertentu, jika nasabah yang mengikuti asuransi itu meninggal.

Termasuk dalam jenis ini, yaitu asuransi kesehatan. Dan terkadang asuransi kesehatan mencakup seluruh jenis penyakit, atau penyakit tertentu, atau tindakan operasi penyakit, atau sebagian penyakit. Dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang diasuransikan, dan yang tercatat itulah yang mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan.

HUKUM ASURANSI TIJÂRI
Asuransi tijâri (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya, hukumnya haram, karena beberapa sebab:

1. Perjanjian Asuransi Tijâri Merupakan Perjanjian Penggantian Harta Yang Mengandung Ketidakpastian, Dan Mengandung Bahaya Yang Sangat Besar.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar" [HR. Muslim, no. 1513]

Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan ''aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan''. Atau ''aku menjual tanah ini mulai sini, sampai jarak kerikil yang aku lemparkan''. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.

Sedangkan jual beli gharar, yaitu jual beli yang mengandung ketidakjelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim, karya Imam an-Nawâwi).

2. Asuransi Tijâri Termasuk Dalam Kategori Jenis Perjudian.
Karena pada asuransi itu terdapat bahaya kerugian dalam pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan, atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi, terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan (musibah), sehingga perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan sama sekali, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan dari angsuran-angsuran nasabah asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian, asuransi termasuk dalam larangan perjudian, sebagaimana disebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" [Al-Maidah/5: 90]

3. Perjanjian Asuransi Tijâri Mengandung Riba.
Karena keuntungan yang didapatkan perusahaan asuransi itu tanpa imbalan. Sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan riba di dalam Islam sangat keras larangannya.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" [al-Baqarah/2:278-279]

4. Asuransi Tijâri Merupakan Perlombaan Yang Hukumnya Haram, Karena Mengandung Ketidakjelasan, Bahaya Kerugian, Dan Perjudian.
Demikianlah, bahwa syariat Islam tidak memperbolehkan perlombaan yang pemenangnya mengambil harta, kecuali yang padanya terdapat pembelaan dan kemenangan terhadap Islam, untuk meninggikan Islam dengan hujjah, atau dengan senjata. Dan Nabi n telah membatasi dengan tiga macam perlombaan, yang pemenangnya dibolehkan mengambil upah (hadiah).

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

"Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak panah" [HR Abu Dawud, no. 2574; at-Tirmidzi, no. 1700]

Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan, kecuali pada salah satu dari tiga perkara di atas. Karena ketiganya –dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan dorongan kepada jihad. [Lihat Tuhfatul-Ahawadzi].

5. Perjanjian Asuransi Tijâri, Mengandung Unsur Mengambil Harta Orang Lain Dengan Tanpa Imbalan.
Perbuatan seperti ini merupakan kebatilan. Sebab Allah Ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu". [an-Nisa'/4: 29]

6. Perjanjian Asuransi Tijâri Mewajibkan Sesuatu Yang Tidak Diwajibkan Oleh Syariat.
Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan nasabah untuk memberi jaminan pertangungan atas bahaya yang menimpa nasabah dengan imbalan setoran angsuran nasabah.

Berdasarkan keterangan ini, maka banyak fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi tijâri dengan segala jenisnya. Begitu pula dari penjelasan ini nampak, bahwa asuransi yang saat ini banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan, termasuk perkara yang dilarang syariat. Adapun asuransi yang dibolehkan, yaitu asuransi at-Ta'mîn at-Ta'âwuni. Asuransi yang bertujuan untuk gotong royong, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Wallahu a'lam.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Makalah ini ditulis oleh Ustadz Muslim al-Atsari bersumber dari kitab Mausûah al-Qadhâyâ al-Fiqhiyyah al-Mu'âshirah wal-Iqtishâd al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad as-Sâlûs, Penerbit Dar ats-Tsaqafah Qathar, halaman 363-395. Beliau merupakan pengajar bidang fiqh dan ushûl di Kuliyah Syari'at Universitas Qathar. Penulisan makalah ini, juga dengan mengambil beberapa tambahan dari rujukan lain.

Perbedaan Antara Asuransi Ta'awun Dan Asuransi Konvensional

 
ASURANSI SECARA UMUM
Kata asuransi, dalam bahasa Inggris disebut insurance, dan dalam bahasa Perancis disebut assurance. Adapun dalam bahasa Arab, disebut at-Ta'min.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata asuransi dijelaskan dengan pertanggungan. Yaitu perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang milikinya, sesuai dengan perjanjian yang dibuat.[1]

Penjelasan ini, sepadan juga dengan yang telah didefinisikan dalam Perundang-Undangan Negara Indonesia, sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[2]

Sedangkan sebagian ulama syariat dan ahli fikih memberikan definisi beragam. di antaranya sebagai berikut.

1. Asuransi, ialah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi) pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan. [3]

2. Asuransi, ialah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal itu diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (perusahaan asuransi).[4]

3. Asuransi, ialah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya.[5]

Dari ragam definisi di atas, maka dalam asuransi dapat disimpulkan adanya kata sepakat beberapa hal berikut ini:
1. Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu`ammin) dan tertanggung (al-Mu`ammin lahu).
2. Obyek yang dituju oleh asuransi.
3. Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (perusahaan asuransi) sejumlah uang, baik secara cash maupun dengan angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
4. Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya.

Demikian asuransi yang umumnya berlaku, dan dikenal dengan asuransi konvensional (at-Ta'min at-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Larangan ini juga menjadi ketetapan Majlis Hai`ah Kibar 'Ulama (Majlis Ulama Besar, Saudi Arabia) no. 55, tanggal 4/4/1397 H, dan ketetapan no. 9 Majlis Majma' al-Fiqh dibawah Munazhamah al-Mu'tamar al-Islami (OKI) [6]. Juga diharamkan dalam keputusan al-Mu'tamar al-'Alami al-Awal lil-Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396 H [7]. Kemudian, para ulama memberikan solusi dalam masalah asuransi ini. Yaitu dengan merumuskan satu jenis asuransi syariat yang didasarkan kepada akad tabarru'at [8], yang dinamakan at-Ta'min at-Ta'awuni (asuransi ta'awun) atau at-Ta'mien at-Tabaaduli.

PENGERTIAN ASURANSI TA'AWUN ATAU AT-TA'MIEN AT-TA'AWUNI
Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta'mien at-Ta'awuni sebagai berikut.

1. Asuransi ta'awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian di antara mereka.

Apabila premi yang terkumpul tidak mencukupi untuk biaya pertanggungan, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Sebaliknya, apabila terdapat kelebihan dari yang dikeluarkan untuk pertanggungan, maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap anggota asuransi ini sebagai penanggung dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya.

Gambaran secara jelas jenis asuransi ini, yaitu seperti halnya bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan, akan tetapi hanya untuk mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya di antara mereka. Mereka membaginya sesuai tata cara yang telah dijelaskan dan disepakati.[9]

2. Asuransi ta'awun, ialah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari anggotanya dengan cara mengumpulkan sejumlah uang, untuk kemudian menunaikan ganti rugi (pertanggungan) ketika terjadi resiko bahaya, sebagaimana yang sudah ditetapkan.[10]

3. Asuransi ta'awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana), yang mereka danai dengan angsuran tertentu yang dibayarkan dari setiap anggotanya. Masing-masing anggota mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu (sebagai gantinya, pertanggungan) apabila tertimpa kerugian (bahaya, resiko) tertentu.

4. Asuransi ta'awun, ialah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung resiko bahaya serupa, dan masing-masing memiliki bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena bahaya (resiko).

Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi (pertanggungan), maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Dan apabila terjadi kekurangan, maka para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau ganti rugi yang seharusnya dikurangi sesuai ketidakmampuan tersebut.

Anggota asuransi ta'awun ini tidak bertujuan untuk menggali keuntungan, namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian anggotanya.[11]

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi ta'awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu, dan itu diambil dari iuran, yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru' yang bertujuan saling membantu, dan bukan bertujuan untuk perniagaan ataupun mencari keuntungan. Sebagaimana juga bahwa akad ini tidak mengandung riba, tidak bersifat spekulasi, gharar dan perjudian.

Gambaran secara mudah, misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq, lalu mereka menyerahkan sejumlah uang, yang nantinya, dari sejumlah uang yang terkumpul itu digunakan untuk ganti rugi (sebagai pertanggungan) kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya, resiko).

Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka menambahkan iuran menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah ditunaikan ganti rugi (pertanggungan) tersebut, maka dikembalikan lagi kepada masing-masing anggotanya, atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang.

Hal ini, mungkin dapat diperluas menjadi sebuah lembaga atau yayasan dengan memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut, serta mengeluarkannya. Lembaga ini, juga boleh memiliki pengelola yang membuat rencana kerja dan pengaturannya. Semua pekerja, petugas, dan berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu, atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus berdasarkan bukan untuk mencari keuntungan (bisnis), dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta'awun (saling tolong-menolong).[12]

Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta'awun sebagai berikut:

1. Tujuan asuransi ta'awun, ialah murni takaful dan ta'awun (saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
2. Akad asuransi ta'awun adalah akad tabarru'. Sebagaimana nampak dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), jika dana yang tersedia kurang, maka mereka menambah. Dan bila lebih, mereka pun memiliki hak untuk meminta kembali sisanya.
3. Landasan pemikiran asuransi ta'awun, ialah berdasarkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang. Setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut di antara mereka. Sehingga seseorang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya di antara mereka.
4. Pada umumnya, asuransi ta'awun berkembang pada kelompok yang mempunyai ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
5. Pemberian ganti rugi (pertanggungan) atas resiko bahaya yang diambil dari shunduq (simpanan) asuransi yang ada, jika tidak mencukupi maka adakalanya meminta tambahan dari anggota, atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.[13]

PERBEDAAN ANTARA ASURANSI TA'AWUN DAN ASURANSI KONVENSIONAL[14]
Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta'awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:

1. Asuransi ta'awun termasuk akad tabarru yang tujuannya murni takaful dan ta'awun (saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru).
Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang memiliki maksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-mu'awwadhah al-ihtimaliyah (bisnis oriented dan bersifat spekulatif).

2. Pemberian ganti rugi atas (pertanggungan) resiko bahaya dalam asuransi ta'awun, diambil dari jumlah premi yang ada di dalam shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi, maka adakalanya meminta tambahan dari anggotanya, atau mencukupkan hanya dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya.

Adapun dalam asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu, tujuan akadnya ialah mencari keuntungan, namun keuntungannya tidak bisa untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut memperoleh keuntungan, maka nasabah (tertanggung) merugi. Begitu pula sebaliknya, bila nasabah (tertanggung) memperoleh keuntungan, maka perusahaan (pihak penanggung) itulah yang merugi. Yang demikian ini termasuk dalam kategori memakan harta dengan cara batil, karena keuntungan yang diperoleh oleh salah satu pihak berada di atas kerugian pihak lainnya.

3. Dalam asuransi ta'awun, seluruh nasabah tolong-menolong menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan, dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan dana yang tersedia, dan juga dari peran para anggotanya.

Adapun menurut asuransi konvensional, bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti rugi (pertanggungan) kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran (jumlah) yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya.

4. Asuransi ta'awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim, maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan dalam perusahaan asuransi konvensional, sisa tersebut menjadi milik perusahaan asuransi (penanggung).

5. Penanggung (al-Mu`ammin) dalam asuransi ta'awun adalah tertanggung (al-Mu`ammin lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu`ammin) adalah pihak luar.

6. Dalam asuransi ta'awun, premi yang dibayarkan tertanggung digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuan asuransi ta'awun bukan untuk mencari keuntungan, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinol perusahaan asuransi saja.

Sedangkan dalam asuransi konvensional, premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan mendapatkan keuntungan. Karena tujuan dari usaha asuransi ini untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.

7. Asuransi ta'awun terbebas dari riba, spekulasi, dan perjudian serta gharar yang terlarang.

Adapun asuransi konvensional, usaha yang dilakukannya tidak lepas dari hal-hal tersebut.

8. Dalam asuransi ta'awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta'awun memiliki asas-asas berikut.
(a). Pengelola perusahaan asuransi ta'awun melaksanakan managemen operasional asuransi, berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya. Dari pengelolaannya itu, ia mendapatkan gaji tertentu secara jelas. Karena, mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah gajinya tersebut.

(b). Pengelola perusahaan diijinkan untuk membentuk perusahaan, dan juga memiliki kewenangan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan, mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi itu sebagai mudhârib (pengelola pengembangan modal dengan mudhârabah).

(c). Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama, dalam hal pengembangan modal perusahaan asuransi. Kedua, perhitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi yang murni menjadi milik nasabah (pembayar premi).

(d). Pengelola perusahaan bertanggung jawab sebagai mudhârib dalam pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudharabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan gaji pengelolaan yang menjadi haknya.[15]

Adapun menurut asuransi konvesional, hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam hal pengelolaan harta nasabah, bahwa semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.

9. Nasabah dalam perusahaan asuransi ta'awun dianggap sebagai anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan dari usaha pengembangan modal mereka.

Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap sebagai syarikat, sehingga sama sekali tidak berhak memperoleh keuntungan pengembangan modal mereka, dan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.

10. Perusahaan asuransi ta'awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan.

Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.

Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan asuransi ta'awun ini.
Wabillahit-taufiq.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Cetakan Balai Pustaka, 2005, hlm. 73. Lihat juga Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S. Purwodarminto, Balai Pustaka, Cetakan ke-8, Tahun 1984, hlm. 63.
[2]. Lihat Undang-Undang No. 2, Tahun 1992, tentang usaha perasuransian.
[3]. Lihat tulisan Ustadz Muslim, dalam Rubrik Mabhats, XXX, edisi ini, halaman …
[4]. Abhats Hai'at Kibar Ulama, al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ` (4/36).
[5]. At-Ta'mîn wa Ahkamuhu, oleh al-Tsanayân (hlm. 40). Dinukil dari kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat, Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdillah al-'Imrâni, hlm. 288.
[6]. Al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu'amalat, hlm. 255.
[7]. Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta'shiliyah Tathbiqiyat (3/267).
[8]. Akad tabarru`, adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan (profit). Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9]. Abhats Hai'at Kibar Ulama, oleh al-Lajnatid-Dâimati lil-Buhûtsil-‘Ilmiyati wal-Iftâ`. Saudi Arabiya, 4/38.
[10]. Nidzam at-Ta'mîn, Musthafa al-Zarqa`, hlm. 42. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 289.
[11]. Al-Gharar wa Atsaruhu fil-'Uqûd, Dr. Adh-Dharîr, Mathbu'ât Majmu'ah Dalah al-Barakah, Cetakan Kedua, hlm. 638. Dinukil dari makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du'aijî berjudul Ru'yat Syar'iyah fî Syarikat at-Ta'mîn at-Ta'âwuniyah, hlm. 2. Lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net
[12]. Lihat pembahasannya dalam al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 291-311.
[13]. Kelima karekteristik ini dapat dilihat dalam kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat, hlm. 290-291
[14]. Lihat makalah Dr. Khalid bin Ibrahim ad-Du'aijî berjudul Ru'yat Syar'iyah fî Syarikat at-Ta'mîn at-Ta'âwuniyah (hlm 2-3), al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyat (hlm. 290-291), dan al-Fiqhul-Muyassarah, Qismul-Mu'amalat (hlm. 255-256).
[15]. Keputusan Nadwah al-Barkah ke-12 dalam sebuah forum simposium untuk ekonomi Islam. Lihat Qararat wa Taushiyat Nadwah al-Barkah lil-Iqtishad al-Islami, Tahun 1422H, hlm. 212.

Jika Seseorang Tertimpa Pailit

 
SIAPAKAH YANG DISEBUT PAILIT ITU?
Pailit, dalam bahasa Arabnya disebut muflis) المفلس) berasal dari kata iflas (الإفلاس) yang menurut bahasa bermakna perubahan kondisi seseorang menjadi tidak memiliki uang sepeser pun (atau disebut dengan istilah pailit). Dan muflis, menurut istilah syari’at digunakan untuk dua makna. Pertama, untuk yang bersifat ukhrawi. Kedua, bersifat duniawi.

Makna yang pertama telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

"Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka".[1]

Adapun makna muflis yang kedua -banyak bicarakan oleh para ahli fikih- yaitu orang yang jumlah hutangnya melebihi jumlah harta yang ada (di tangannya). Dinamakan demikian, karena dia menjadi orang yang hanya memiliki fulus (uang pecahan atau recehan) setelah sebelumnya memiliki dirham dan dinar. Ini mengisyaratkan bahwa ia tidak lagi memiliki harta selain yang paling rendah nilainya. Atau karena dia terhalang dari membelanjakan hartanya, kecuali uang pecahan (receh) yang disebut fulus untuk membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Karena orang-orang dahulu tidaklah menggunakannya, kecuali untuk membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Atau orang yang kondisinya berubah menjadi tidak memiliki uang sepeser pun [2]. Dan makna inilah yang dimaksudkan oleh para sahabat dalam hadits di atas ketika mereka ditanya tentang hakikat muflis, maka mereka mengabarkan tentang kenyataan di dunia. Sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengabarkan, bahwa muflis di akhirat itu lebih parah keadaannya.[3]

Ibnu Rusyd menyatakan bahwa iflas (pailit) dalam syari’at digunakan untuk dua makna. Pertama. Bila jumlah hutang seseorang melebihi jumlah harta yang ada padanya, sehingga hartanya tidak bisa untuk menutup hutang-hutangnya tersebut. Kedua. Bila seseorang tidak memiliki harta sama sekali.[4]

Berikut ini kami sampaikan beberapa hukum seputar muflis. Wallahul Muwaffiq.

HAJR TERHADAP MUFLIS
Jika seorang menjadi muflis (pailit) karena banyaknya hutang, sementara harta yang ada di tangannya tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya yang sudah jatuh tempo, maka apakah boleh menetapkan hajr الْحَجْرُ) ) kepadanya? Yakni menghentikan atau mempersempit pengeluaran harta muflis yang masih ada di tangannya.

Dalam hal ini terdapat beberapa hukum yang berkaitan dengan hajr terhadap muflis.
1. Tidak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali bila jumlah hutangnya betul-betul telah melebihi jumlah harta yang ia miliki.

Adapun jika harta milik muflis itu setara dengan jumlah hutangnya, atau lebih banyak dari hutang-hutangnya, maka tidak boleh melakukan hajr terhadapnya, sama saja apakah yang ia belanjakan dari harta hutangnya maupun dari hasil jerih payahnya sendiri. Karena dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hajr kepada muflis adalah bila hutang-hutangnya lebih besar dari harta yang ia miliki, yang dengannya para pemilik harta (pemberi hutang) boleh mengambil dari harta muflis yang ada sesuai prosentase masing-masing. Yakni mereka bersekutu dalam pembagian harta muflis yang masih ada.

Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan :

أُصِيبَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقَالَ: ((تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ))، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ لِغُرَمَائِهِ: ((خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلاَّ ذَلِكَ .

"Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada seseorang tertimpa musibah (kerusakan) pada hasil tanaman yang ia beli, sehingga ia banyak berhutang. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Bersedekahlah untuknya,” maka orang-orang pun bersedekah untuknya, namun belum bisa melunasi semua hutangnya. Akhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada para penagih hutang: “Ambillah apa yang kalian dapati (dari hartanya), dan tidak ada lagi selain itu". [5]

Demikian pula dalam kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hajr tehadap hartanya [6].

2. Tidak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali atas permintaan para pemilik harta (pemberi hutang). Dan jika di antara mereka terjadi perselisihan dalam hal tuntutan hajr [7], maka boleh dilakukan hajr terhadap muflis atas dasar keinginan orang-orang yang menuntutnya dengan syarat jumlah harta yang mereka hutangkan kepada muflis lebih banyak dari jumlah harta muflis.

Sebagaimana dalam kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu di atas. Karena hajr itu ditetapkan demi kemaslahatan para pemilik harta (pemberi hutang). Jika mereka tidak menuntut hajr, maka hal itu menunjukkan bahwa kemaslahatan hajr belum jelas bagi mereka.

3. Apabila hakim menjatuhkan hajr kepada muflis, maka hak para pemilik harta (pemberi hutang) berubah dari keterikatannya dengan dzimmah (tanggungan) muflis, menjadi keterikatan langsung dengan hartanya.

Seperti sesuatu yang dijadikan jaminan, maka ia menjadi hak orang yang menerima jaminan. Oleh karena itu syariat memberi hak penguasaan bagi pemilik harta (pemberi hutang) terhadap harta muflis, demi ditunaikannya hak mereka.

4. Dianjurkan bagi hakim untuk menyiarkan keputusan hajr-nya terhadap muflis agar khalayak tidak bermuamalah (harta) secara bebas dengannya.

5. Hakim harus menjual harta benda muflis yang ada, kemudian hasilnya dibagikan kepada para pemilik harta (pemberi hutang) menurut prosentase yang mereka pinjamkan kepada muflis.

Dalam hal ini dianjurkan untuk bersegera melakukannya, dan sebisa mungkin dengan tetap memperhatikan kemaslahatan muflis yang di-hajr dalam cara menjual harta bendanya. Seperti mendahulukan penjualan sesuatu yang cepat rusak, semisal makanan atau yang serupa. Kemudian barang-barang yang bisa diangkut atau harta bergerak, misalnya kendaraan, kemudian harta tak bergerak seperti tanah atau semisalnya. Dalam penjualan ini dianjurkan agar muflis yang dihajr dan para pemilik hak (pemberi hutang) ikut menyaksikan penjualan harta benda tersebut. Namun, hakim hendaknya menyisakan dari harta benda tersebut untuk memenuhi hajat kebutuhan pokok si muflis, seperti pakaian, makanan pokok dan tempat tinggal dengan standar yang layak, tidak terlalu kurang tapi juga tidak berlebihan.

6. Jika harta benda muflis telah dibagikan kepada para pemilik hak (pemberi hutang) sesuai prosentase haknya masing-masing, maka para pemilik hak hendaknya memberi tangguh kepada muflis, jika masih tersisa hak mereka padanya sampai ia terbebas dari belitan kesusahannya.

Hal itu demi mengamalkan firman Allah Subhanhu wa Ta'ala :

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". [al Baqarah : 280].

Seperti juga ditunjukkan dalam hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu di atas dalam Shahih Muslim dan lainnya.[8]


BILA SESEORANG MENDAPATI DENGAN JELAS BARANG YANG IA HUTANGKAN PADA SI MUFLIS MASIH UTUH, MAKA BAGAIMANA HUKUMNYA?
Bila kondisinya demikian, maka ia paling berhak terhadap barangnya dari para pemilik hak yang lain, karena barang tersebut pada asalnya adalah miliknya sebelum ia jual kepada si muflis dengan hutang. Dan pada asalnya, ia tidak ridha barang tersebut keluar dari tangannya, kecuali dengan dibayar harganya. Dan jual beli itu dianggap sah bila dipenuhi syarat pembayaran harganya. Sehingga ketika si muflis tidak bisa membayarnya, maka si pemilik barang itu berhak menggagalkan jual-belinya selama barangnya masih ada. Tetapi, jika barangnya sudah lenyap, maka ia tidak bisa lagi membatalkan jual-belinya, sehingga hukumnya menjadi seperti hutang-hutang yang lain.

Dalil dalam perihal ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ؛ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

"Barangsiapa mendapati barangnya dengan jelas pada seseorang yang pailit, maka ia lebih berhak (dengan barang itu) daripada (penagih hutang) yang lainnya". [9]

Diriwayatkan pula oleh Muslim dengan lafadz berikut :

إِذَا وَجَدَ عِنْدَهُ الْمَتَاعَ وَلَمْ يُفَرِّقْهُ؛ أَنَّهُ لِصَاحِبِهِ الَّذِي بَاعَهُ

"Bila seseorang mendapati barang (jualan)nya pada orang (yang pailit) itu dalam keadaan belum dia (yang pailit) pisah-pisahkan, bahwa barang tersebut adalah untuk pemiliknya yang menjualnya".

Demikian menurut pendapat jumhur dalam masalah ini. Jumhur ulama juga berpendapat, bila pembeli telah membayar sebagian harga barang milik penjual, maka penjual tidaklah lebih berhak terhadap sisa harga yang belum dibayar oleh pembeli (saat pailit), dan si penjual sama kedudukan haknya dengan para penagih hutang yang lain. Demikian pula jika si pembeli tersebut meninggal dunia sebelum membayar harga barang si penjual, meskipun barang tersebut masih ada [10]. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَيُّمَا رَجُلٍ بَاعَ مَتَاعاً فَأَفْلَسَ الَّذِي ابْتَاعَهُ وَ لَمْ يَقْبِضِ الَّذِي بَاعَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئاً فَوَجَدَ مَتَاعَهُ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ وَإِنْ مَاتَ الْمُشْتَرِي فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ

"Siapa saja menjual barang (kepada seseorang), lalu orang yang membelinya jatuh pailit, sementara dia belum menerima harga barangnya sedikitpun, kemudian dia mendapati barang tersebut masih utuh, maka dia lebih berhak dengan barang itu. Tetapi jika si pembeli meninggal dunia, maka pemilik barang bersekutu (menjadi sama haknya) dengan para penagih hutang yang lain (terhadap barang tersebut)".[11]

Dalam salah satu riwayat Abu Daud terdapat lafadz :

فَإِنْ كَانَ قَبَضَ مِنْ ثَمَنِهَا شَيْئاً فَهُوَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ

"Tetapi jika dia (penjual) telah mengambil sebagian harganya, maka dia bersekutu (menjadi sama haknya) dengan para penagih hutang lainnya". [12]

APAKAH BOLEH MEMENJARAKAN SESEORANG JIKA TELAH JELAS IA MENJADI MUFLIS?
Jika telah jelas seseorang menjadi muflis (jatuh pailit), maka tidak boleh memenjarakannya. Karena hal itu menyelisihi ketetapan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firmanNya :

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". [al Baqarah : 280].

Juga menyelisihi apa yang tersirat (mafhum mukhalafah) dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَيُّ الْوَاجِدِ ظُلْمٌ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

"Menunda-nunda pembayaran (hutang) oleh orang yang mampu adalah suatu kezhaliman, yang menghalalkan harga dirinya dan menghukumnya".[13]

Maksud menghalalkan harga dirinya, yakni menyiarkannya dengan mengucapkan kepadanya “kamu telah menunda-nunda hutangmu kepadaku (padahal kamu mampu membayar)”, atau bersikap keras kepadanya dan menghukumnya, yakni memenjarakannya sampai dia mau membayar hutang-hutangnya yang telah berlalu masa tangguhnya.[14]

Ini berbeda dengan muflis (orang pailit), yaitu orang yang mengalami kesukaran karena hartanya yang ada tidak cukup untuk membayar seluruh hutangnya. Dengan kata lain, dia tidak disebut sebagai ‘orang yang mampu’. Sedangkan dalam hadits hukum tersebut, ialah bagi orang yang mampu membayar, tetapi dia menunda-nunda.

Adapun jika belum jelas, apakah dia muflis (pailit) ataukah mampu membayar? Maka sebisa mungkin wajib meneliti keadaannya. Jika telah jelas bahwa dia mampu, maka harus dipenjara sampai dia mau membayar sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Namun jika ternyata betul-betul muflis (pailit) dan tidak sanggup melunasi seluruh hutangnya, maka tidak boleh memenjarakannya. Dan harta muflis yang tersisa menjadi hak bersama bagi para pemberi hutang dan dibagikan sesuai prosentase kepemilikan mereka dalam harta si muflis. Selebihnya hendaknya mereka memberi tangguh sampai si muflis memperoleh kelapangan untuk melunasinya. [15]

Demikian beberapa hukum mengenai orang muflis (pailit) yang bisa kami sampaikan. Wallahu a’lam bi ash Shawab.

Maraji` :
1. Fathul Bari, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
2. Syarh az Zarqani ‘ala Muwaththa al Imam Malik.
3. Nailul Authar, oleh al Imam asy Syaukani.
4. Al Mughni, oleh al ‘Allamah Ibnu Qudamah al Maqdisi.
5. Bidayatul Mujtahid, oleh al Qadhi Ibnu Rusyd al Qurthubi.
6. Al Fiqh al Manhaji ‘ala Madzhab al Imam asy Syafi’i, oleh Dr. Musthafa al Khin, Dr. Mushthafa al Bugha dan Ali asy Syaraihi.
7. Irwa’ al Ghalil, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani; At Ta’liqat ar Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyyah li al ‘Alamah Shiddiq Hasan Khan, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Muslim-, at Tirmizi dan Ahmad, dari Abu Hurairah z .
[2]. Fathul Bari  dan Nailul Authar . Lihat juga Syarh az Zarqani ‘ala Muwaththa’ al Imam Malik.
[3]. Al Mughni (4/265)
[4]. Bidayatul Mujtahid (4/1451).
[5]. HR Muslim, Abu Dawud, at Tirmidzi, an Nasa-i dan Ibnu Majah .
[6]. Diriwayatkan oleh al Baihaqi di dalam as Sunan al Kubra, Kitab at Taflis, Bab al Hajr ‘ala al Muflis (6/48), al Hakim dalam al Mustadrak, Kitab al Ahkam (4/101) dan ad Daruquthni dalam as Sunan, Kitab al Aqdhiyah dan al Ahkam, Bab al Hajr ‘ala al Muflis (4/231) dari hadits az Zuhri dari (Abdurrahman) bin Ka’ab bin Malik dari ayahnya Ka’ab bin Malik z secara muttashil; dan diriwayatkan secara mursal (tanpa disebutkan Ka’ab bin Malik) oleh al Baihaqi, Abdur Razzaq dalam al Mushannaf, Kitab al Buyu’, Bab al Muflis wa al Mahjur ‘alaihi (8/268), serta al Hakim dalam al Mustadrak, Kitab Ma’rifat ash Shahbah (3/272). Namun yang paling benar bahwa hadits ini diriwayatkan dari az Zuhri dari (Abdurrahman) bin Ka’ab secara mursal (tanpa menyebutkan ayahnya). Lihat Irwa’ al Ghalil dan Nailul Authar (5/244-245).
[7]. Yakni sebagian menuntut hajr dan sebagian lagi tidak.
[8]. Lihat keenam poin tersebut dalam al Fiqh al Manhaji ‘ala Madzhab al Imam asy Syafi’i (3/599-600), dan lihat kelanjutan pembahasannya tentang hak pembelanjaan harta si muflis setelah dikenai hajr.
[9]. HR al Bukhari Fathul Bari- dan Muslim
[10]. Lihat at Ta’liqat ar Radhiyyah ‘ala ar Raudhatun Nadiyyah li al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan (3/194), oleh Syaikh al Albani. Dan lihat kembali pembahasan “Bila Warisan Tidak Mencukupi Untuk Membayar Hutang” As Sunnah Edisi Khusus
[11]. HR Malik dan Abu Dawud , dari hadits Abu Bakar bin Abdurrahman bin al Harits bin Hisyam secara mursal. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dengan beberapa jalur periwayatan pendukungnya. Lihat Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1442 dan 1443.
[12]. Abu Dawud 
[13]. HR Ahmad, Abu Dawud, an Nasa-i, Ibnu Majah dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh al Albani di dalam Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1434.
[14]. Tasfir kalimat-kalimat ini, diantaranya disebutkan oleh Sufyan ats Tsauri seperti dinukil oleh al Bukhari dalam judul Bab “Li Shahibil Haqqi Maqal” (5/75). Disebutkan pula oleh Ibnul Mubarak (Sunan al Baihaqi, 6/51) dan yang lainnya. Wallahu A’lam.
[15]. Lihat at Ta’liqat ar Radhiyyah (3/195-196)

Bagaimanakah Jual Beli Murabahah?

 
Dewasa ini berkembang dalam skala besar lembaga keuangan berlabel syariat dengan menawarkan produk-produknya menggunakan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat bingung dengan istilah-istilah tersebut dan ragu, apakah semua produk tersebut benar-benar jauh dari pelanggaran terhadap syariat, ataukah hanya rekayasa semata?

Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini, maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut ditinjau dari fikih Islam.

Istilah jual beli Murabahah (Ba`i al-Murabahah) banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan cukup menjanjikan. Sehingga hampir semua lembaga keuangan syari'at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modalnya.[1]

NAMA LAIN JUAL BELI MURABAHAH
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syariat ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:

1. Al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`.
2. Al-Murabahah lil-Wa'id bi asy-Syira`.
3. Ba`i al-Muwâ'adah.
4. Al-Murabahah al-Mashrafiyah.
5. Al-Muwâ'adah 'ala al-Murabahah.[2]

Di Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).[3]

DEFINISI JUAL-BELI MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ), yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan)[4]. Sedangkan menurut definisi para ulama terdahulu, ialah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui[5]. Hakikatnya, ialah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui oleh dua belah pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga –misalnya- penjual mengatakan, modalnya adalah seratus ribu rupiah, dan saya jual kepada anda dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan:
Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka, "saya menjual barang ini dengan sistem Murabahah", … Rukun akad ini ialah sepengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya; karena hal itu diketahui oleh kedua belah pihak, maka jual belinya shahîh, dan (sebaliknya) bila tidak diketahui maka (jual beli itu) batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini dibolehkan, tidak ada khilaf (perbedaan) di antara ulama; sebagaimana hal ini disampaikan Ibnu Qudaamah. Bahkan Ibnu Hubairah, dalam masalah ini menyampaikan adanya ijma'. Demikian juga al-Kaasaani).[6]

Demikian, jual beli Murabahah yang terdapat dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Adapun jual beli Murabahah yang kini telah marak digulirkan, tidak berbentuk demikian. Jual beli Murabahah yang sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari'at lebih komplek dari pada yang berlaku dimasa lalu [7]. Oleh karena itu, para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi Islam memberikan definisi berbeda; sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda? Di antaranya ialah sebagai berikut.

1. Bank merealisasikan permintaan orang yang bertransaksi dengannya, dengan dasar, pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah), yakni dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut, dengan keuntungan yang disepakati di awal transaksi.[8]

2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah, agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang, baik yang barak bergerak ataupun tidak. Kemudian, setelah itu nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut, dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjual barang dimaksud kepadanya dengan harga di depan atau di belakang, dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembelian di muka.[9]

3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana cukup untuk membayar kontan nilai barang yang ingin dibeli, sedangkan si penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian, lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.[10]

4. Jual beli ini berkaitan dengan tiga pihak, yaitu penjual, pembeli, dan bank –yang berperan- sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Dalam hal ini, Bank tidak membeli barang tersebut, kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya, dan adanya janji memberi di muka.[11]

Berdasarkan keempat uraian di atas, cukup jelaslah untuk memberikan gambaran mengenai jual beli Murabahah KPP ini.

BENTUK GAMBARAN JUAL-BELI MURABAHAH
Berdasarkan empat uraian di atas dan prakteknya di tengah masyarakat, maka lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ke dalam tiga bentuk.

1. Pelaksanaan janji yang terikat oleh kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya di muka.[12]

Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan yang memohon dari lembaga keuangan tersebut untuk membeli barang tertentu dan sifat tertentu. Kemudian keduanya bersepakat, dengan ketentuan, lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan (itu) terikat, (yaitu) harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya, baik nilai, ukuran, tempo, maupun keuntungannya.[13]

2. Pelaksanaan janji (al-Muwâ'adah) yang tidak mengikat kedua belah pihak.
Yaitu, nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan. Kemudian, di antara kedua pihak itu terjadi perjanjian, dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan, sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:

a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.[14]

3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Demikian ini yang dipraktekkan oleh Bank Faishol al-Islami di Sudan.

Hal itu dengan ketentuan, akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah, sehingga nasabah memiliki hak khiyâr (memilih) dengan melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi, atau menggagalkannya.[15]

PERNYATAAN PARA ULAMA TERDAHULU TENTANG JENIS JUAL-BELI MURABAHAH
Permasalahan jual belia Murabahah KPP ini, sebenarnya bukan perkara kontemporer dan baru (nawâzil), namun telah dijelaskan para ulama terdahulu.

Imam asy-Syafi'i berkata:
Apabila seseorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata "belilah itu, dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian," lalu ia membelinya, maka jual belinya dibolehkan. Dan yang mengatakan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyâr)," apabila ia ingin, maka ia akan melakukan jual-beli; dan bila tidak, maka ia akan tinggalkan.

Demikian juga jika ia berkata "belilah untukku barang tersebut," lalu ia mensifatkan jenis barangnya, atau "barang" jenis apa saja yang kamu sukai, dan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu," semua ini sama, diperbolehkan pada yang pertama; dan pada semua yang diberikan ada hak pilih (khiyâr).

Sama juga, dalam hal ini yang disifatkan apabila mengatakan "belilah, dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo," maka jual beli pertama diperbolehkan, dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua.

Apabila keduanya memperbaharui (akadnya), maka boleh; dan bila berjual beli seperti itu, dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut), maka ia termasuk dalam dua hal: (1) berjual beli sebelum penjual memilikinya, (2) berada dalam spekulasi (mukhatharah).[16]

Imam ad-Dardiir dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir (3/129), ia mengatakan: "Al-'inah, ialah jual beli oleh orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli, tetapi (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada yang memintanya; setelah membelinya, ia boleh memberikan (menjualnya) kepada yang meminta barang, kecuali jika yang minta menyatakan "belilah dengan sepuluh secara kontan, dan saya akan mengambilnya darimu dengan dua belas secara tempo," maka jual beli ini dilarang, karena di dalamnya terdapat tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat); karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut dan akan membayarnya (sejumlah) dua belas setelah jatuh tempo".[17]

Jelaslah, dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu, bahwasanya mereka menyatakan, pemesan (pembeli) tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga ditegaskan oleh The Islamic Fiqih Academy (Majma' al-Fiqih al-Islami), bahwa jual beli Muwâda'ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli Murabahah dengan syarat al-Khiyâr untuk kedua pihak yang melakukan transaksi, seluruhnya maupun salah satunya. Apabila tidak ada hak al-Khiyâr, maka tidak boleh, karena al-Muwâ'adah yang mengikat (al-Mulzâmah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri; dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang menjual sesuatu yang tidak dimilikinya.[18]

Syaikh 'Abdul-'Aziz bin Bâz ketika ditanya tentang jual beli ini, beliau menjawab: "Apabila barang tidak berada dalam kepemilikan orang yang menghutangkannya, atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya, maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga, dan jual beli di antara keduanya tidak sempurna hingga barang tersebut merupakan kepemilikan si penjual".[19]

HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG TIDAK MENGIKAT (GHAIRU AL-MULZÂM)
Bentuk Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
Dalam hal ini, yang râjih adalah boleh, seperti disebutkan dalam pendapat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah. Karena dalam bentuk ini tidak ada ikatan kewajiban untuk menyempurnakannya dengan transaksi ataupun mengganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak, maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut berspekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu pihak berpaling dari keinginannya (menggagalkannya), maka tidak ada kewajiban yang mengikatnya, dan tidak ada satupun akibat yang harus ditanggungnya.[20]

2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang, karena termasuk dalam kategori al-'Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah, dan inilah yang dirâjihkan Syaikh Bakr Abu Zaid.[21]

HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG MENGIKAT
Untuk mengetahui hukum ini, maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.

Langkah Proses Murabahah KPP Bentuk Ini
Muamalah jual beli Murabahah KPP melalui beberapa tahapan, di antara yang terpenting ialah sebagai berikut :
1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas,
b. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu (yang terkait) dalam pembelian barang tersebut.
2. Lembaga keuangan mempelajari proposal yang diajukan nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang:
a. mengadakan perjanjian yang mengika,
b. membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji,
c. penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji,
d. lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a. penentuan harga barang,
b. penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam harga,
c. penentuan nisbat keuntungan (profit),
d. penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Demikian, secara umum tahapan dalam proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, halaman 261-162. Sedangkan di dalam buku Bank Syari'at dari Teori ke Praktek (hlm. 107) memberikan skema Ba`i Murabahah sebagai berikut: [Ma'af Gambar skema Ba'i Murabahah tidak ditampilkan]

Adanya Aqad Ganda (Murakkab) Dalam Murabahah KPP[22]
Dari keterangan di atas maka jual beli Murabahah KPP dapat disimpulkan sebagai berikut di bawah ini.
1. Ada tiga pihak yang terkait, yaitu:
a. pemohon atau pemesan barang, dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan,
b. penjual barang kepada lembaga keuangan,
c. lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi, yaitu:
a. akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan,
b. akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3. Ada tiga janji, yaitu:
a. janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang,
b. janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membeli barang untuk pemohon,
c. janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

Dari sini, jelaslah, bahwa jual beli Murabahah KPP ini merupakan jenis akad berganda (al-'Uqûd al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji, dan ada tiga pihak.

Setelah meneliti muamalah dan tahapan prosesnya, akan nampak jelas adanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan, bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab, yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak, yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.

Berdasarkan hal ini, maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat, sehingga dapat dikatakan dengan ungkapan "belikan untuk saya barang, dan saya akan memberikan keuntungan kepada anda dengan jumlah sekian". Hal ini, karena pada akad pertama, barang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar, janji mengikat untuk membelinya.

Dengan melihat muamalah ini dari seluruh tahapan dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya, maka jelaslah, bahwa ia merupakan Mu'amalah Murakkabah secara umum, dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat padanya janji mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad dan tidak saling terikat, sehingga jelas, hukumnya pun berbeda.

HUKUMNYA
Yang râjih dalam masalah ini, ialah tidak dibolehkan, dengan beberapa argumen, di antaranya :

1. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum adanya kepemilikan penjual atas barang dimaksud, maka itu termasuk dalam larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dilarang menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut, pada hakikatnya adalah akad. Dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan, maka ini merupakan akad batil yang dilarang; karena lembaga keuangan, ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

2. Muamalah seperti ini termasuk al-Hîlah (rekayasa) atas hutang dengan bunga; karena hakikat transaksinya ialah menjual uang dengan uang yang lebih besar darinya secara tempo dengan perantaraan adanya barang penghalal di antara keduanya.

3. Murabahah jenis ini termasuk dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam hadits:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ n عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli" [HR at-Tirmidzi, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa' al-Ghalil, 5/149]

Al-Muwâ'adah, apabila mengikat kedua belah pihak, maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga dalam muamalah itu terdapat dua akad dalam satu jual beli.[23]

KETENTUAN DIBOLEHKANNYA MURABAHAH
Syaikh Bakar bin 'Abdillah Abu Zaid memberikan penjelasan tentang ketentuan dibolehkannya jual beli Murabahah KPP ini dengan menyebutkan tiga hal.

1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi, baik secara tertulis maupun lisan sebelum adanya barang kepemilikan dan sebelum serah terima.

2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang oleh salah satu pihak, baik nasabah maupun lembaga keuangan, namun tanggung jawab barang kembali kepada lembaga keuangan.

3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi milik lembaga keuangan.[24]

Demikianlah, hukum jual beli ini menurut pendapat para ulama. Mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan jual beli Murabahah.
Wabillahit-taufiq.

Maraji`:
1. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at -Tathbîq, Prof. Dr. 'Abdullah ath-Thayâr, Dar al-Wathan, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H.
2. Fiqhu al-Muyassar Qismu al-Mu'amalât, Prof. Dr. Abdullah ath-Thayâr, Prof. Dr. 'Abdulah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Musa, Dar al-Wathan, Cetakan Pertama, Tahun 1425 H.
3. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasah Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyah, Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-'Imrâni, Kunuz Isybiliya`, Cetakan Pertama, Tahun 1427 H.
4. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Gema Insani Press, Cetakan Kesembilan, Tahun 2005 M.
5. Fiqhu an-Nawâzil, Qadhaya Fiqhiyah al-Mu'asharah, Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Muassasah ar-Risalah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H.
6. Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional MUI, Edisi Revisi, Tahun 2006 M, Cetakan Ketiga, Tahun 1427 H, dan lain-lain.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, Prof. Dr. Abdullah Ath-Thayâr, hlm. 307.
[2]. Lihat al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 260-261.
[3]. Bank Syari'ah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 103.
[4]. Al-Qâmus al-Muhith, hlm. 279.
[5]. Al-'Uqûd al-Murakkabah, hlm. 257.
[6]. Dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin 'Abdillah Abu Zaid, 2/64. Lihat juga al-Mughni (4/259), al-Ifashah (2/350), Bada`i ash-Shanâ`i (7/92).
[7]. Dialog di rumah penulis dengan pegawai salah satu lembaga keuangan syari'at, Kamis, 3 April 2008 M, ba'da 'Ashar.
[8]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 257. Lihat Ba`i al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`, karya Sâmi Hamud dalam kumpulan Majalah Majma' al-Fiqh al-Islami, Edisi kelima (2/1092).
[9]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakabah, hlm. 257. Lihat Ba`i al-Murabahah Kamâ Tajriha al-Bunûk al-Islamiyah, Muhammad al-Asyqar, hlm. 6-7.
[10]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 258.
[11]. Ibid.
[12]. Fiqih Nawazil, 2/90.
[13]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[14]. Lihat Fiqih Nawazil (2/90) dan al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[15]. Lihat al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, hlm. 308.
[16]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88-89.
[17]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88.
[18]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 267.
[19]. Dinukil dari al-Bunûk al-Islamiyah, hlm. 308. Lihat Majalah al-Jami'ah al-Islamiyah, Edisi I, Tahun Kelima, Rajab 1392, hlm. 118.
[20]. Lihat Fiqih Nawazil, 2/90.
[21]. Ibid
[22]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 265-266.
[23]. Silahkan merujuk kepada kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah (hlm. 267-284) dan Fiqih Nawazil (2/ 83-96).
[24]. Fiqih Nawazil, 2/97, dengan sedikit perubahan.

Apa Dan Bagaimanakah Al-Wadi`ah?

 
Al-Wadi`ah (atau penitipan), kata ini diambilkan dari barang yang ditinggalkan pada orang yang diminta untuk menjaganya, dengan tanpa ganti/biaya beban.[1] Wadi`ah, pada dasarnya merupakan akad yang bersifat sosial, dan bukan bersifat komersil. Akad al-Wadi`ah ini berdiri berdasarkan kasih sayang dan tolong menolong, sehingga tidak mengharuskan adanya imbalan dalam menjaga titipan tersebut.

HUKUM WADI`AH[2]
Dalam hukum Islam, transaksi wadi`ah (penitipan) ini asalnya dibolehkan, yakni semua orang bebas memilih apa yang akan ia lakukan untuk menjaga yang ia miliki untuk dirinya sendiri. Namun terkadang, hukum menitipkan harta miliknya menjadi wajib, bila pemilik barang tersebut takut tidak bisa menjaganya, atau menghilangkan, atau khawatir menjadi rusak, sehingga ia menjumpai (mencari) orang (pihak) yang dapat menjaganya. Dan bagi seseorang yang merasa mampu menjaga barang yang dititipkan, maka disunnahkan untuk menerima titipan itu. Pahala yang besar telah menanti bagi si pelaku penerima titipan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa" [al-Maa`idah/5 : 2]

"dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" [al-Baqarah/2 : 195].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ نفََّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُربةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقَيَامَةِ، … وَاللهُ فِي عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ )

"Barang siapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia yang ada pada seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dari kesusahan-kesusahan dirinya pada hari Kiamat … dan Allah ada dalam pertolongan seorang hamba, selama hamba tersebut dalam pertolongan saudaranya".

Adapun bagi seorang yang merasa tidak mampu dalam penjagaan, maka dilarang untuk menerimanya, terlebih bila ia akan merusak atau menghilangkannya. Dan bisa menjadi wajib untuk menerima titipan dari saudaranya, bila memang tidak ada orang yang akan menjaganya, sedangkan ia merasa mampu untuk menjaganya. Hal ini berdasarkan konteks dan pemahaman dari ayat-ayat atau hadits-hadits yang melarang seseorang untuk menyia-nyiakan harta yang ia miliki
.
Transaksi wadi`ah ini merupakan akad yang bersifat jaiz (boleh) dari dua belah pihak. Masing-masing di antara keduanya berhak untuk membatalkan akad yang berlangsung, kapanpun juga. Ridha tidaknya pihak yang dibatalkan tidak ada pengaruhnya. Dan akad ini, secara otomatis terputus, bila salah satu dari keduanya meninggal atau hilang akalnya karena gila atau sakit.[3]

Bagi seseorang yang menerima titipan atau amanah ini, wajib untuk menjaganya seperti miliknya sendiri. Karenanya, bila barang titipan itu hilang atau rusak, maka pihak yang dititipi tidak wajib dimintakan ganti atau pertanggungjawabannya, karena ia sebagai orang yang dipercaya oleh si penitip, selama pihak yang dititipi tidak berbuat lalai dan aniaya dalam penjagaan. Bila terjadi kelalaian dan perbuatan aniaya, maka wajib bagi yang dititipi untuk menggantinya dan bertanggung jawab dengan barang tersebut, karena ia telah merusak harta dan barang orang lain. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang dititipi untuk menjaga barang titipan tersebut di tempat aman atau yang semestinya, sebagaimana layaknya ia menjaga hartanya sendiri.

Beberapa contoh berkaitan dengan keadaan si penyimpan yang harus bertanggung jawab dengan barang yang dihilangkan atau dirusakkannya. Antara lain sebagai berikut:[4]

- Disebabkan oleh kelalaian dalam menjaga barang dengan tidak menyimpannya di tempat yang sewajarnya.
- Menggunakan barang titipan untuk kepentingan pribadinya.
- Membawanya ketika safar, padahal tidak diizinkan atau tidak dalam keadaan terpaksa.
- Merusak penutup dari kantung (tempat) barang yang ada.
- Menolak untuk menyerahkan simpanan ketika diminta oleh pemiliknya.

SYARAT PENITIP DAN YANG DITITIPI
Pihak yang melakukan transaksi ini adalah orang yang baligh, berakal dan rasyid (berpikiran matang)[5]. Artinya, bila ada anak atau orang gila menitipkan sesuatu, maka tidak boleh untuk diterima, terkecuali dalam keadaan terpaksa yang apabila barang atau harta itu tidak diterima, ia akan rusak atau hilang. Disamping itu, keharusan adanya penunjukan untuk menentukan siapa yang dititipi, dan bukan ditujukan kepada umum.

KONSEKWENSI DARI AKAD WADI`AH
Bila akad transaksi wadi`ah ini dianggap sah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan, maka ada tiga keharusan darinya, yaitu: ia merupakan amanah yang harus dijaga, kewajiban untuk menjaganya, dan kewajiban untuk mengembalikan saat barang itu diminta oleh pemilihnya.

HUKUM DAN PERMASALAHAN SEKITAR WADI`AH[6]
1). Bila muncul ketakutan atau orang yang dititipi itu akan safar, maka wajib baginya untuk mengembalikan barang titipan yang ia bawa, baik kepada pemiliknya atau yang menjadi wakil pemiliknya. Bila memang tidak didapatkan, maka boleh ia membawa bersamanya dalam safar, karena itulah yang terbaik. Bila tidak, maka ia dapat menitipkannya kepada hakim, karena hakim dapat menjadi wakil pemiliknya selama ia tinggal. Bila tidak mendapatkan hakim, maka dibolehkan ia dititipkan kepada orang yang ia anggap dipercaya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika akan melakukan hijrah kepada Ummu Aiman Radhiyallah 'anha, dan ia perintahkan Ali Radhiyallahu 'anhu untuk mengembalikan kepada pemiliknya.

2). Orang yang dititipi, karena ia dianggap sebagai orang yang dipercaya, maka apa yang ia katakan hendaklah diterima, terkecuali bila nampak kedustaan dari ucapannya.

3). Bila pemilik barang tersebut minta untuk dikembalikan barangnya, kemudian ia menundanya sampai akhirnya barang itu rusak atau hilang, maka ia harus menanggungnya.

3). Dibolehkan bagi orang yang dititipi untuk memasrahkan titipan tersebut kepada orang yang biasa ia titipi, semisal istri, pembantu dan yang lainnya. Sehingga, bila barang itu rusak di tangan orang yang dititipi itu, maka ia tidak wajib menggantinya selama tidak lalai dan aniaya dalam menjaga titipannya.

KAPAN BATAS WAKTU PENITIPAN?
Bila penitip tidak kunjung datang untuk mengambil barangnya dan ia tidak diketahui keberadaan dan keadaannya, atau tidak diketahui ahli warisnya, maka pihak yang dititipi dibolehkan untuk menginfakkan barang tersebut walau tanpa seizin hakim. Atau mungkin, bisa ia berikan kepada hakim dan tidak diperkenankan untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi.[7]

SYARAT GANTI RUGI?
Ketika pemilik barang yang menitipkan mensyaratkan kepada orang yang dititipi untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan, kemudian ia ridha dan menerimanya, atau si penyimpan (yang dititipi) itu mengatakan bahwa ia akan menanggung kerusakan atau kehilangan tersebut, maka bila ternyata dicuri atau rusak tanpa kelalaian dalam menjaganya, maka ia tidak wajib menggantinya, karena persyaratan untuk bertanggung jawab dari orang yang dipercaya/amanah adalah batil. Demikian ini pendapat mayoritas ulama dari empat mazhab yang ada.[8]

BAGAIMANA DENGAN BIAYA DARI JASA PENITIPAN?
Secara asal, bentuk muamalah ini tidak ada ganti pembayaran dari apa yang telah ia lakukan untuk membantu dan meringankan beban saudaranya, karena muamalah ini merupakan salah bentuk dari saling membantu di antara saudara muslim. Namun keadaan berkembang, sehingga banyak orang yang menawarkan jasa penitipan dengan memasang tarif terhadap yang telah ia lakukan.

Dalam masalah ini, para ulama berbeda yang terbagi dalam tiga pendapat.
1. Ulama Hanafi dan ulama Syafi'i berbendapat bolehnya orang yang dititipi untuk mensyaratkan adanya imbalan dalam amal ini; bila ada, maka syarat itu harus dilaksanakan.

2. Para ulama Maliki membedakan antara syarat untuk memberikan imbalan, lantaran bea dari tempat yang digunakan untuk menyimpan titipan tersebut bukan karena pekerjaan dalam penjagaan.

3. Sedangkan para ulama Hanabilah berpendapat dengan larangan untuk mensyaratkan bea penyimpanan. Mereka berpendapat, bila ada imbalannya, maka tidak dikatakan sebagai akad wadi`ah; namun masuk dalam akad sewa-menyewa, yakni menyewa dalam menjaga barang tersebut.[9]

Intinya, dari pendapat-pendapat diatas, bahwa uang yang dihasilkan dari biaya yang telah dilakukan dari menjaga barang tersebut adalah halal. Hanya saja, ketika ia mengambil biaya tersebut, maka perbedaan ulama di atas berpengaruh, baik antara yang mengatakan ia adalah sewa, atau masih menganggap ia adalah wadi`ah yang hukum-hukum yang terjadi diatur dalam masalah wadi`ah.

BAGAIMANA BERDAGANG DENGAN HARTA TITIPAN?
Bila seseorang yang dititipi menggunakan uang titipan itu untuk mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut halal dan menjadi milik orang yang dititipi [10]. Namun begitu, bila terjadi kerusakan atau kehilangan dari barang tersebut, maka ia wajib menggantinya karena ia telah menggunakannya untuk kepentingan pribadi, disamping itu, ia telah menyalahkan amanah yang dipercayakan kepadanya.

BAGAIMANA DENGAN SIMPANAN BANK?[11]
Simpanan yang dimaksudkan, adalah seseorang yang menyimpan yang ia inginkan pada pihak bank, baik berupa uang, barang maupun surat-surat berharga lainnya. Walaupun dasar tujuan dari penyimpanan ini untuk menjaga apa yang ia miliki, namun kenyataannya, didapatkan keinginan lain di luar itu, baik untuk mendapatkan keuntungan maupun sekedar menjaga kerahasian yang ia miliki dengan menyimpannya di brankas yang ia sewa dari pihak bank.

Simpanan yang dilakukan di bank adalah transaksi yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak bank dengan menyerahkan sejumlah uang. Kemudian, uang ini disimpan oleh pihak bank. Namun begitu, pihak bank berhak untuk menggunakan dan mengelola uang tersebut untuk keperluan lain. Dan pihak nasabah dapat mengamil kapanpun dan sebesar apapun yang ia suka dari uang yang ia simpan di bank tersebut.

Simpanan ini mempunyai keunggulan. Disamping menyimpan, ternyata si nasabah juga bisa mendapatkan keuntungan dari bunga yang ia peroleh setiap waktunya. Kentungan seperti ini, tentunya masuk dari riba yang telah diharamkan oleh syariat. Simpanan yang dititipkan di bank, bila dilihat dari proses dan penggunaan simpanannya, maka ia dapat dikatakan masuk ke dalam transaksi utang-piutang dan tidak termasuk dalam hukum wadi`ah (penitipan).

Antara penitipan ini dengan piutang, ada kesamaan dari hasil kepemilikan barang dan keterkaitannya dengan penggunaannya. Dalam hal ini, pihak yang dititipi berhak menggunakan barang tersebut. Sedangkan dalam wadi`ah, secara hukum asal, pihak yang dititipi tidak diperkenankan untuk menggunakannya, karena transaksi yang dimaksudkan dalam wadi`ah ialah untuk menjaga dan bukan untuk menggunakannya, serta adanya kesamaan dalam kewajiban untuk mengembalikan bila diminta oleh pemiliknya; seperti halnya dalam hutang-piutang.[12]

Disebutkan dalam kitab Raudhul-Murbi`: "Pengertian qard (piutang), ialah memberikan harta kepada (orang yang berhutang) untuk dimanfaatkan (faidahnya). Yang nantinya ia mengembalikan ganti (semisal) dari apa yang telah ia pergunakan".

Karenanya dapat dikatakan, tambahan kembalian yang disyaratkan dari salah satu pihak adalah bunga riba yang diharamkan sebagaimana dalam hukum piutang. Bahkan ia mencakup dua riba sekaligus yang dilarang dalam Islam, baik riba fadl maupun riba nasi`ah, dimana si nasabah atau pihak bank, ketika mengambil titipan/hutangnya itu dengan tambahan yang disertai dengan tempo waktu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْناً بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ والْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَزْناً بِوَزْنٍ فَمَنْ زَادَ أو استزاد فَهُوَ رِباً

"Dan emas dengan emas satu timbangan dan serupa, perak dengan perak semisal dan sama timbangannya, siapa yang menambah atau minta tambahan, maka ia (tambahan itu) adalah riba" [Lihat Shahih Muslim, 3/1211]

BAGAIMANAKAH SIMPANAN DALAM BENTUK SURAT-SURAT PENTING/BERHARGA?[13]
Transaksi dengan model ini, adalah termasuk model simpanan yang sebenarnya bagian dari hukum wadi`ah dilihat dari peraturannya yang tidak jauh berbeda dengan hukum penyimpanan yang berlaku dalam hukum fiqih, dimana harta berharga yang ia miliki dititipkan kepada pihak bank, untuk dijaga di tempat yang aman, yang nantinya akan dikembalikan. Disamping tidak adanya pertanggungjawaban bila ternyata rusak karena sebab yang tidak bisa terelakkan, selama tidak ada faktor kelalaian atau kesengajaan. Namun begitu, disana terdapat perbedaan antara keduanya; dimana pihak bank meminta biaya penitipan berbeda dengan pengertian titipan, karena asal dari titipan adalah transaksi yang bersifat membantu tanpa ada beaya di dalamnya.

BAGAIMANA PENITIPAN DENGAN SEWA BRANGKAS?[14]
Model penitipan ini merupakan transaksi, yang pihak bank berkewajiban menaruh barang titipan di tempat yang aman dalam kotak besi. Namun begitu, pihak penitip mempunyai kebebasan secara pribadi dalam pengelolaan dengan membayar beban biaya tertentu.

Penitipan seperti ini dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak dapat dikategorikan kepada hukum sewa, bila ditinjau dari tempat yang disewa oleh nasabah dengan membayar sejumlah uang tertentu.

Ada dua akad sewa dalam penitipan seperti ini. Yang pertama, menyewa lemari untuk menyimpan. Dan yang kedua, beban sewa dalam penjagaan terhadap apa yang ada dalam brankas. Sehingga bisa dapat dikatakan, bahwa penyimpanan seperti ini, walau dengan membayar biaya, hukumnya dibolehkan, karena ia termasuk dalam hukum sewa-menyewa.
Wallahu a`lam bish-Shawab.

Sumber:
1. Al-Fiqh 'ala Mazahib Arba'ah, Abdurrahman al-Jaziri.
2. Al-Fiqh Islami wa Adilatuhu, Wahbah Zuhaili, Dar al-Fikr.
3. Al-Mulakhas Fiqh, Syaikh Shalih Fauzan, Dar Ibn Fauzi.
4. Majallah Buhuts al-Islamiyah, Maktabah Syamilah.
5. Mausu`ah Fiqh al-Kuwaitiyyah, Multaqa Ahli Hadits, Maktabah Syamilah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137.
[2]. Lihat al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah (3/110), al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (1/93).
[3]. Lihat al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4023.
[4]. Lihat al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4024-4030.
[5]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137.
[6]. Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137-139.
[7]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 10/144.
[8]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 7/93.
[9]. Lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 3/93.
[10]. Lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhhu, 5/ 4033.
[11]. Lihat Majallah Buhuts al-Islamiyah, dan al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Bab: al-Wadi`ah, Majallah Buhuts al-Islamiyah; 8/247, 8/3001.
[12]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/280.
[13]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/247.
[14]. Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/297.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...