Searching

Bergaul Dengan Penghasut, Pemain Kartu Dan Sejenisnya

Bergaul dengan kelompok sempalan tersebut berarti memakan daging mayat saudara-saudara mereka. Sungguh mereka benar-benar dungu, karena Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an

“Artinya : Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” [Al-Hujarat : 12]

Maka mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia dalam pergaulan mereka, na’udzu billah. Mereka telah melakukan dosa besar. Yang wajib anda lakukan menasehati mereka, jika mereka mau menerima dan meninggalkan perbuatan itu, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, maka hendaknya anda menjauhi mereka, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang kafir), maka janganlah kamu duduk berserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam” [An-Nisa : 140]

Allah menyatakan bahwa orang-orang yang duduk-duduk bersama mereka yang apabila mendengar ayat-ayat Allah mereka mengingkarinya dan mengolok-ngoloknya, Allah menganggap orang-orang tersebut sama dengan mereka. Ini merupakan perkara serius, karena berarti mereka keluar dari agama.

Maka orang yang bergaul dengan orang-orang durhaka yang kufur terhadap ayat-ayat Allah dan mengolok-ngoloknya. Jadi orang yang duduk di tempat gunjingan adalah seperti penggunjing dalam hal dosa. Karena itu hendaknya anda menjauhi pergaulan dengan mereka dan tidak duduk-duduk bersama mereka.

Adapun hubungan kuat yang menyatukan anda dengan mereka, sama sekali tidak berguna kelak di hari kiamat, dan tidak ada gunanya saat anda sendirian di dalam kubur. Orang yang dekat, suatu saat pasti akan anda tinggalkan atau meninggalkan anda, lalu masing-masing akan menyendiri dengan amal perbuatannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman di dalam Al-Qur’an

“Artinya : Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa” [Az-Zukhruf : 67]

Gunjingan Termasuk Faktor Kebencian Dan Permusuhan

Menggunjing hukumnya haram dan termasuk berdosa besar, baik aib yang digunjingkan itu benar-benar ada pada diri seseorang maupun tidak ada, hal ini berdasarkan ketetapan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ketika beliau ditanya tentang menggunjing beliau bersabda.

“Artinya : Engkau membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak suka (bila itu dibicarakan)”

Ada yang bertanya, “Bagaimana bila yang aku katakan itu memang benar ada pada saudaranya ?” Beliau menjawab.

“Artinya : Jika memang benar bahwa yang kau katakan itu ada padanya, berarti engkau telah menggunjingnya, jika itu tidak ada padanya, berarti engkau telah berdusta tentangnnya” [1]

Didirwayatkan pula dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa pada malam Isra beliau melihat suatu kaum dengan kuku-kuku yang terbuat dari kuningan, mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka dengan kuku-kuku tersebut, lalu beliau menanyakan tentang mereka, kemudian dijawab bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan merusak kehormatan sesama manusia [2]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Hujurat : 12]

Maka setiap muslim dan muslimah hendaknya waspada terhadap gunjingan dan saling menasehati untuk meninggalkannya, hal ini sebagai bentuk ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lain dari itu hendaknya pula berambisi untuk menutupi aib saudaranya sesama muslim dan tidak menyingkapkan aib mereka, karena gunjingan itu termasuk faktor kebencian, permusuhan dan perpecahan masyarakat. Semoga Allah menunjukkan kaum muslimin kepada kebaikan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Hadits Riwayat Muslim.
[2]. Hadits Riwayat Abu Daud, Ahmad

Penyimpangan Dan Larinya Para Pemuda Dari Nilai Agama

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah penyebab penyimpangan dan larinya kebanyakan generasi muda dari nilai-nilai agama ?

Jawaban
Penyimpangan dan larinya kebanyakan generasi muda dari segala yang berkaitan dengan nilai-nilai agama seperti yang anda sebutkan disebabkan banyak hal : Yang paling prinsip adalah kurangnya ilmu dan bodohnya mereka terhadap hakekat Islam dan keindahannya, tidak ada perhatian terhadap Al-Qur’an Al-Karim, kurangnya pendidik yang memiliki ilmu dan kemampuan untuk menjelaskan hakekat Islam kepada generasi muda, menjelaskan segala tujuan dan kebaikannya secara terperinci yang bakal didapatkan di dunia dan akhirat.

Ada beberapa penyebab yang lain, seperti lingkungan, radio dan telepon, rekreasi keluar negeri, dan bergabung dengan kaum pendatang yang memiliki aqidah yang batil, akhlak yang menyimpang, dan kebodohan yang berlipat ganda, hingga faktor-faktor lainnya yang menyebabkan mereka lari dari Islam dan mendorong mereka dalam pengingkaran dan ibahiyah (permisivisme). Pada posisi ini, banyak generasi muda yang bergabung, hati mereka kosong dari ilmu-ilmu yang bermanfaat dan aqidah-aqidah yang benar, datangnya keraguan, syubhat, propaganda-propaganda menyesatkan dan syahwat-syahwat yang menggiurkan. Akibat dari semua ini adalah yang telah kamu sebutkan dalam pertanyaan berupa penyimpangan dan larinya kebanyakan pemuda dari segala hal yang mengandung nilai-nilai Islam. Alangkah indahnya ungkapan dalam pengertian ini.

“Hawa nafsu datang kepadaku, sebelum aku mengenalnya. Maka ia mendapatkan hati yang kosong, lalu menetap (di dalamnya)”

Dan yang lebih mantap’ lebih benar dan lebih indah dari ungkapan itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Terangkan kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” [Al-Furqan : 43-44]

Menurut keyakinan saya, pengobatannya bervariasi menurut jenis penyakitnya, yang terpenting adalah memberikan perhatian terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyah, ditambah lagi adanya guru, direktur, pengawas dan metode yang shalih, melakukan reformasi terhadap berbagai sarana informasi di Negara-negara Islam, dan membersihkan dari ajakan kepada ibahiyah, akhlak yang tidak Islami, berbagai macam pengingkaran dan kerusakan yang ada padanya, apabila para pelaksananya adalah orang-orang yang jujur dalam dakwah Islam, dan memiliki keinginan dalam mengarahkan rakyat dan generasi muda kepadanya. Di antaranya adalah memprioritaskan perbaikan lingkungan dan membersihkannya dari berbagai wabah yang ada padanya.

Termasuk pengobatan juga adalah larangan melancong ke luar negeri kecuali karena terpaksa. Dan perhatian terhadap organisasi-organisai Islam yang bersih, serta terarah lewat perantara berbagai sarana informasi, para guru, da’i dan para khatib. Aku memohon kepada Allah agar memberikan nikmat atas hal itu, membimbing para pemimpin umat Islam, memberikan taufiq kepada mereka untuk memahami dan berpegang dengan agama, dan melawan sesuatu yang menyalahi dengan jujur, ikhlas, usaha yang berkesinambungan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar serta Dekat.

Berbuat Zina Di Luar Negeri Apakah Menjadi Penyebab Istri Dicerai

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sering kita mendengar banyak diantara pemuda yang telah menikah pergi ke luar negeri dan melakukan perbuatan zina di sana. Apakah istri-istri mereka tereceraikan ?

Jawaban
Istri-istri tidak terceraikan akibat suami mereka berbuat zina, tetapi para suami harus berhati-hati dalam bepergian dan hendaknya menghindar dari segala macam perbuatan yang mengarah kepada perzinaan serta selalu bertakwa kepada Allah dalam menjaga kemaluannya dari segala yang diharamkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [Al-Isra : 32]

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Furqan : 68-70]

Dua ayat diatas menunjukkan haramnya mendekati zina dan mendekati apa saja yang menjadi penyebab zina. Ayat kedua menunjukkan bahwa akan dilipatgandakan siksaan bagi orang yang menyekutukan Allah, membunuh secara tidak benar dan berzina. Dan ayat ini menunjukan bahwa zina adalah dosa besar yang pelakunya kekal di dalam Neraka. Akan tetapi menurut akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah jika penzina dan pembunuh tidak meyakini halalnya perbuatan tersebut, maka kekelannya ada batasnya. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Tidaklah penzina berbuat zina sementara ia beriman, dan tidaklah pencuri mencuri sementara ia beriman dan tidaklah peminum meminum khamr sementara ia beriman” [Muttafaq ‘Alaih]

Hadits diatas meniadakan iman pencuri dan penzina serta pemabuk pada saat mereka melakkan perbuatannya, artinya adalah peniadaan kesempurnaan iman mereka.

Menyampaikan Kebaikan Dan Melaksanakan Amanat

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian karyawan dan pekerja tidak memberikan porsi yang cukup pada pekerjaan mereka. Di antara mereka ada yang sudah setahun bahkan lebih, tidak pernah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta sering terlambat bekerja dengan mengatakan, "Saya telah diizinkan oleh atasan, jadi tidak apa-apa." Untuk orang yang semacam itu, apakah ia berdosa selama ia masih tetap begitu? Kami mohon fatwanya. Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.

Jawaban
Pertama, yang disyari'atkan atas setiap muslim dan muslimah adalah menyampaikan apa-apa yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala mendengar kebaikan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

"Artinya : Allah mengelokkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu disampaikannya sebagaimana yang ia dengar."[1]

Dalam sabdanya yang lain disebutkan,

"Artinya : Sampaikanlah apa yang berasal dariku ivalaupun hanya satu ayat."[2]

Apabila beliau menasehati dan mengingatkan manusia, beliau selalu berpesan,

"Artinya : Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Sebab, banyak yang menyampaikan lebih sadar daripada yang hanya mendengar."[3]

Karena itu, saya wasiatkan kepada anda semua untuk menyampaikan kebaikan yang anda dengar berdasarkan ilmu dan kemantapan. Sebab, setiap yang mendengar suatu ilmu dan menguasainya, hendaknya menyampaikannya kepada keluarganya, saudara-saudaranya dan teman-temannya selama ia melihat adanya kebaikan dengan tetap memelihara kemurnian materinya dan tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak dikuasainya, sehingga dengan begitu ia termasuk orang-orang yang saling berwasiat dengan kebenaran dan termasuk orang-orang yang mengajak kepada kebaikan.

Kemudian tentang para karyawan yang tidak melaksanakan tugas mereka atau tidak saling menasehati dalam hal tersebut, anda semua telah mendengar, bahwa di antara karakter keimanan adalah melaksanakan amanat dan memeliharanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya " [An-Nisa': 58]

Amanat merupakan karakter keimanan yang paling utama, sementara khianat merupakan karakter kemunafikan, hal ini sebagaimana dinyatakan Allah saat menyebutkan sifat-sifat kaum mukminin,

"Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya." [Al-Mu'minun: 8, Al-Ma'arij: 32]

Kemudian dalam ayat lainnya disebutkan,

"Artinya : Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." [Al-Anfal : 27]

Karena itu, seorang karyawan wajib melaksanakan amanat dengan jujur dan ikhlas serta memelihara waktu dengan baik sehingga terbebas dari beban tanggung jawab, dan dengan begitu pencahariannya menjadi baik dan diridhai Allah. Di samping itu, berarti ia loyal terhadap negaranya dalam hal ini, atau terhadap perusahaan atau lembaga tempatnya bekerja. Itulah yang wajib atas seorang karyawan, yaitu hendaknya ia bertakwa kepada Allah dan melaksanakan amanat dengan sungguh-sungguh dan loyal, yang dengan begitu ia mengharapkan pahala dari Allah dan takut terhadap siksaNya. Hal ini sebagai pengamalan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yangberhak menerimanya." [An-Nisa' : 58]

Di antara karakter kaum munafikin adalah mengkhianati amanat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

"Artinya : Tanda orang-orang munafik ada tiga; Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila diberi amanat (dipercaya) ia berkhianat."[4]

Seorang muslim tidak boleh menyerupai orang munafik, bahkan harus menjauhi sifat-sifatnya, tetap memelihara amanat dan melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh serta memelihara waktu dengan baik sekalipun ada toleransi dari atasannya, dan walaupun tidak diperintahkan oleh atasannya. Hendaknya ia tidak mengabaikan tugas atau menyepelekannya, bahkan sebaliknya, ia bersungguh-sungguh sehingga lebih baik daripada atasannya dalam melaksanakan tugas dan loyalitasnya terhadap amanat, lalu menjadi teladan yang baik bagi karyawan lainnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Hadits Riwayat. At-Tirmidzi dalam Al-Ilm, Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah.
[2]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ahadits Al-Anbiya.
[3]. Hadits Riwayat AI-Bukhari dalam Al-'Ilm, Muslim dalam Al-Qasamah.
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam al-Iman, Muslim dalam al-Iman.

Menjauhi, Mengajak Ajaran Salah

Sepintas, prinsip pertama ajaran Jama’ah Tabligh –atau dikenal juga Jama’ah Khuruj atau Jama’ah Jaulah- tampak seperti ajaran tauhid. Betapa tidak, sebab mereka mencantumkan judul prinsip tersebut dengan bunyi kalimat thayyibah. Tidak ada lain makna kalimat thayyibah tersebut, kecuali kalimat tauhid. Yaitu kalimat laa ilaaha illallah.

Dan memang benar, yang mereka memaksudkannya sebagai kalimah tauhid, kalimat laa ilaaha illallah. Namun benarkah ajaran tauhid Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mereka maksudkan?

Terlebih jika melihat lima prinsip berikutnya, maka seolah-olah akan terasa betapa bagus prinsip ajaran jama’ah Tabligh ini. Di sana ada prinsip shalat lima waktu, ada prinsip ilmu dan dzikir, ada prinsip memuliakan tamu, ada prinsip ikhlas dalam berniat dan ada prinsip bertabligh (menyampaikan dakwah) secara bersama-sama dengan cara khuruj (keluar untuk berdakwah).

Syubhat penyimpangan yang terbungkus dalam kalimat-kalimat yang indah ini sebenarnya juga terlihat pada semua prinsip ajaran ahli bid’ah.

Bukankah lima prinsip ajaran Mu’tazilah –misalnya- juga terlihat seperti benar dan indah?

Lima prinsip ajaran mu’tazilah terdiri dari:
1. Tauhid. (Ternyata maksudnya adalah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala )
2. Adil (ternyata maksudnya adalah mengingkari takdir Allah)
3. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (satu keadaan di antara dua keadaan, maksudnya, pelaku dosa besar tidak mukmin, tetapi tidak kafir)
4. Berlangsungnya ancaman Allah. (Maksudnya pelaku dosa besar pasti disiksa di dalam neraka dan kekal di dalamnya)
5. Amar ma’ruf nahi mungkar. (Ternyata maksudnya, bolehnya melakukan pembangkangan/pemberontakan kepada penguasa muslim yang sah, hanya karena penguasa tersebut dianggap telah melakukan kezaliman).

Tanpa memahami maksud-maksud yang dikandung dalam prinsip-prinsip tersebut, orang akan tertipu dengan keindahan bahasanya.

Begitulah umumnya prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh setiap ahli bid’ah, termasuk jama’ah Jaulah. Bahasa luarnya indah dan seakan menawarkan kebenaran. Namun disebaliknya menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan.

Bagaimana dengan prinsip Kalimat Thayyibah dalam jama’ah Jaulah?

Dalam salah satu buku pegangan utama mereka, Fadha’il al-A’mal karya Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi yang di Indonesiakan menjadi ‘Himpunan Fadhilah Amal’, Bab II tentang ‘Kalimat Thayyibah’, dapat dibongkar rahasianya.

Ternyata uraian Kalimat Thayyibah yang dikemukakan secara panjang lebar hingga tiga pasal, hanya menerangkan tentang kalimat Laa Ilaaha Illallah menurut versi ajaran sufi. Tidak ditemukan sedikitpun ungkapan yang menjelaskan hakikat sebenarnya dari makna kalimat Thayyibah tersebut.
Yang ditemukan adalah prinsip ajaran kesufian mereka, yaitu ajakan dan dorongan untuk berdzikir secara lisan saja, mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah.

Tidak ditemukan uraian sedikitpun tentang bagaimana pengamalan sesungguhnya terhadap kalimat Laa ilaaha Illallah melainkan ajakan untuk tidak mencuri, berzina dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.

Tanpa menyentuh sedikitpun persoalan yang justeru sangat pokok. Yaitu keharusan menyingkiri thaghut dan mengingkari serta menjauhi penyembahan terhadap kuburan-kuburan, yang di India, Pakistan dan Indonesia banyak sekali dilakukan oleh sebagian besar kaum Muslimin. Kalaupun di sana disebutkan keharusan untuk bertauhid dan meningalkan syirik serta harus ikhlas beramal, penyebutan itu sangat global.

Padahal kalimat tauhid tersebut mengandung dua konsekuensi besar, pertama menghamba hanya kepada Allah saja. Kedua, menolak dan mengingkari segala bentuk peribadatan kepada thaghut, termasuk di dalamnya penyembahan terhadap kuburan para wali. Dua konsekuensi tauhid ini mewujud secara nyata dalam kata-kata, sikap dan perbuatan sehari-hari. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-Baqarah: 256]

Pada kenyataannya memang mereka tidak peduli dengan prinsip tauhid yang benar ini.

Syaikh Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri, dengan menukil perkataan Ustadz Saifur Rahman ad-Dahlawi, bahkan menegaskan bahwa jama’ah Tabligh menyelewengkan semua nash al-Qur’an dan Sunnah yang memerintahkan supaya mengingkari thaghut….Disebutkan bahwa di antara prinsip mereka adalah sangat menjauhi bahkan melarang secara kasar orang yang menyatakan pengingkaran terhadap thaghut dan pengingkaran terhadap kemungkaran. Alasan mereka, karena hal itu akan melahirkan penentangan dan tidak membawa kebaikan. [Lihat al-Qaul al-Baligh fi at-Tahdzir min Jama’ati at-Tabligh, Daar ash-Shumai’i. Hal. 154]

Dalam Kitab Fadhail al-A’mal justeru disebutkan tafsir sufi ketika mengetengahkan faidah dari hadits Abu Hurairah tentang orang yang paling berbahagia mendapat syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas dari dalam hatinya.

Penulis kitab Fadhail al-A’mal menjelaskan faidahnya, yaitu (hanya ditekankan pada) ¬pertama, orang yang dengan penuh keikhlasan telah masuk Islam dan sama sekali tidak memiliki amalan lain kecuali membaca kalimat thayyibah. Telah jelas bahwa ia akan beruntung karena memperoleh syafa’at di akhirat nanti…Kedua, orang-orang yang menjaga wirid mereka dengan penuh keikhlasan dan mereka beramal shalih. [Lihat Himpunan Fadhilah Al-Amal, hal. 457-458]

Bukankah itu adalah ajaran tarekat sesat?. Sama sekali tidak menyinggung bagaimana realisasi sebenarnya dari kalimat tauhid, yaitu memberikan segala macam peribadatan kepada Allah saja dan mengingkari penyembahan kepada selain Allah dengan cara apapun. Itulah sebabnya, di dalam tubuh jama’ah mereka terdapat kebebasan untuk memilih aqidah. Bisa Quburiyah, bisa Asy’ariyah, bisa mu’tazilah dan bisa yang lain-lainnya. Yang penting masing-masing anggauta bersedia melakukakan khuruj rutin dan memiliki loyalitas terhadap jama’ah. Tak peduli apa aqidahnya.

Sebenarnya bantahan terhadap prinsip-prinsip ajaran mereka sangat banyak. Namun kiranya cukuplah sekelumit bantahan terhadap prinsip pertama mereka saja. Sebab yang sekelumit itu sudah cukup membuka tabir rahasia kesalahan mereka yang mendasar. Jika dalam hal yang mendasar saja sudah salah, maka runtuhlah keseluruhan bangunan ajaran mereka. Termasuk ajaran khuruj yang merupakan manipulasi terhadap makna nash-nash al-Qur’an dan Sunnah serta amalan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Khuruj merupakan kegiatan pokok yang sebenarnya hanya di dasarkan pada mimpi khayali dari imam mereka saja. Lihat pada tulisan pada bagian lain.

Adapun yang berkaitan dengan syubhat yang mereka lancarkan berkenaan dengan fatwa Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang katanya merekomendasi gerakan mereka, maka Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali telah menjelaskan duduk perkaranya secara jelas dalam rangka membantah dan menghilangkan syubhat mereka. Ini bisa dilihat dalam kumpulan fatwa para Ulama yang beliau kumpulkan seputar jama’ah tabligh.

Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali menjelaskan, ketika Syaikh Bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memuji gerakan jama’ah tabligh, adalah lantaran ada seorang anggauta jama’ah tabligh yang bertanya kepada beliau sambil menceritakan hal-hal yang kelihatannya baik-baik saja tentang jama’ah ini, sehingga tentu beliau memujinya. Tetapi pada fatwa paling akhir dari beliau menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Intinya, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali orang yang berilmu dengan tujuan mengingkari kemungkaran mereka dan mengajari mereka jalan yang lurus. Jika untuk maksud mengikuti saja ajakan mereka maka tidak boleh. Sebab Jama’ah Tabligh yang berasal dari India ini memiliki beberapa khurafat, bid’ah dan kesyirikan.

Risalah Syaikh Rabi’ ini sudah di Indonesiakan dengan judul Fatwa Ulama seputar jama’ah tabligh. Diterbitkan oleh pustaka Al Haura’, Jogyakarta. Sayangnya risalah terjemahan ini ditutup dengan surat menyurat yang dilakukan antara Syaikh Sa’d al-Hushain dengan imam jama’ah Tabligh In’am al- Hasan, yang di akhiri dengan jawaban surat dari In’am al-Hasan, tanpa adanya kesimpulan yang jelas. Sehinga mengesankan seakan jawaban In’am al-Hasan tidak terbantahkan. Padahal yang dikemukakannya adalah gaya bahasa dengan jurus mengelak, supaya kebatilan jama’ah tabligh tertutupi. Karena itu harus waspada. Yang perlu dilihat adalah dalil serta kebenaran, dan bukan hawa nafsu pembelaan membabi buta.

Demikian secara ringkas, kaum Muslimin hendaknya jangan sampai terbawa pada segala gerakan yang tampak pada lahirnya membawa rahmat, namun yang pada sebaliknya menyimpan laknat, termasuk di antaranya adalah jama’ah Tabligh ini. Hidup ini hanyalah untuk menghamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengikuti jejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kaitannya dengan hidup bersama, kaum Muslimin harus menjaga keutuhan persatuan umat Islam berdasarkan prinsip ajaran yang yang haq, prinsip ajaran yang dijalankan oleh Ahlu Sunnah wal jama’ah. Hidup ini bukan untuk bertualang mengikuti jama’ah-jama’ah yang ujung-ujungnya menyimpang dari jalan kebenaran. Jama’ah-jama’ah yang justeru memecah belah umat. Wallahu Waloyyu at-Taufiq.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...