♥♡DIBALIK KEKURANGAN YANG KITA MILIKI...♡♥
Sebagian dari kita kadang suka mengeluh,bahkan sampai åd̲̮̲̅͡å
ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ berprasangka buruk kpda اَللّهُ Subhanahu Wata'ala atas
ªpa̲̮̅ ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ menjadi kekurangan kita..
Akan tetapi,Tahukah kita apa hikmah ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ bisa dipetik dibalik kekurangan kita.?
Dn tahukah kita knpa ALLAH Subhanahu Wata'ala memberikan kita dgn segala kekurangan dan keterbatasan ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ ada pda kita.?
Tak lain karena pda saatnya nanti ALLAH Subhanahu Wata'ala akan
menyempurnakan kekurangan kita trsbt dgn hadirnya seseorang ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥
akan mendampingi perjalanan hidup kita..
Ia akan hadir untuk memberi ªpa̲̮̅ ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ tidak kita miliki..
Ia akan hadir untk mengisi ªpa̲̮̅ ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ menjadi kekurangan kita..
Hingga pda akhirnya kita hidup bersamanya untuk saling berbagi dan saling melengkapi..
Ia adalah seseorang ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ dgn tulusnya mampu menerima sgla
kekurangan ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ kita miliki..Dan dgn ikhlasnya ia mampu
menutupinya dgn kelebihan ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ ia miliki..
Maka tetaplah tersenyum dgn sgla kekurangan ЎΩ̶̣̣̥̇̊Ϟƍ̩̥ menurut kita,miliki, Dan SYUKURI Lah semua itu..
Menjual Barang Secara Kredit, Tetapi Barang Tersebut Belum Menjadi Milik Sipenjual Ketika Menjualnya

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawakalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat” [Ali-Imran : 130-132]
Seperti telah diketahui bawha pengelabuan (menyiasati secara licik) terhadap transaksi seperti ini sama artinya mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, berbuat makar dan berkhianat terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui pandangan mata yang khianat (pandangan yang terlarang seperti melihat kepada wanita bukan mahram, -pent) dan apa yang disembunyikan oleh hati.
Demikian pula, bahwa mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah tidak akan dapat menjadikannya halal hanya sekedar lahiriyahnya saja yang halal sementara tujuannya haram. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah ini hanya akan menjadikannya bertambah buruk, karena si pelakunya telah terjatuh kedalam dua larangan.
Pertama : Menipu, makar dan mempermainkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua : Kerusakan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang diharamkan dan didapat dengan cara pengelabuan tersebut, sebab akibat dari pengelabuan itu berarti kerusakan tersebut menjadi semakin terealisir. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah berarti keterjerumusan ke dalam hal yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Dengan begitu, si pelakunya berarti telah menyerupai mereka dalam hal itu. Oleh karenanya pula, dalam sebuah hadits disebutkan.
لاَ تَر تَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَتْ الْيَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْامَحَارِمَاللَّهِ بِأَدْنَى اْلحِيَلِ
“Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kamu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) siasat licik” [Ibnu Baththah dalam kitabnya Ibthalul Hiyal hal. 24, lihat juga Irwa’ul Ghalil 1535]
Sebagaimana dimaklumi oleh orang yang mau merenung dan dapat melepaskan dirinya dari kungkungan hawa nafsu, bahwa siapa yang mengatakan kepada seseorang yang ingin membeli mobil, “pergilah ke pameran mobil dan pilihlah mobil yang adan inginkan, saya akan membelinya dari pameran mobil itu kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”, atau mengatakan kepada seseorang yang ingin membeli tanah, “pergilah ke pemilik usaha property dan pilihlah tanah yang anda inginkan, saya akan membeli darinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”.
Atau dia mengatakan kepada orang yang ingin mendirikan bangunan dan membutuhkan besi, “pergilah ke toko alat-alat bangunan (material) si fulan dan pilihlah jenis besi yang anda sukai, saya akan membelinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”. Atau mengatakan kepada orang yang sama tetapi membutuhkan semen, “pergilah ke toko alat-alat bangunan si fulan dan pilihlah jenis semen yang anda inginkan, saya akan membelinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”.
Saya tegaskan, sebagaimana telah diketahui oleh orang yang mau merenung, bersikap adil (objektif) dan dapat melepaskan dirinya dari kungkungan hawa nafsu, bahwa transaksi seperti ini adalah termasuk pengelabuan terhadap riba. Hal ini, karena pedagang yang membeli barang tadi, dari semula tidak bermaksud untuk membelinya dan tidak pernah terpikirkan di otaknya untuk membelinya. Demikian pula, dia tidak pernah membelinya untuk si pencari barang tersebut karena ingin berbuat baik kepadanya, tetapi dia membelinya karena tergiur oleh nilai tambah yang didapatnya dari proses penangguhan (kredit) tersebut. Oleh karena itulah, setiap kali tempo diperpanjang, maka bertambah pula prosentase bunganya.
Sebenarnya hal ini sama seperti ucapan seseorang, “Saya pinjamkan kepadamu harga dari semua barang-barang ini plus ribanya sebagai imbalan dari penangguhan (kredit) akan tetapi saya juga akan memasukkan barang di sela kedua hal tersebut”. Dalam hal ini, telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bawhasanya dia pernah ditanyai tentang seorang yang menjual sutera dari orang lain seharga seratus kemudian menjulannya seharga lima puluh? Beliau menjawab, “itu sama saja dengan beberapa dirham plus beberapa dirham secara berlebih (riba) termasuk di sela-sela keduanya sutera tersebut”.
Ibn Al-Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Tahdzibus Sunan (V : 103), “Pengharaman terhadap riba seperti ini adalah berdasarkan makan (esensi) dan hakikat (substansi)nya, sehingga ia tidak akan surut berlaku dikarenakan perubahan nama dalam teknis penjualannya” –selesai ucapan beliau-
Bila membandingkan antara masalah jual-beli Inah dengan masalah tersebut, anda akan mendapatkan hukum masalah tersebut lebih dekat kepada pengelabuan terhadap riba ada sebagian gambaran yang ada dalam masalah Inah, sebab Inah tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli fikih bahwa (gambarannya) ; seorang menjual barang kepada seseorang dengan harga tangguh (kredit) kemudian membeli lagi darinya secara cash (kontan) dengan harga yang kurang dari itu padahal ketika menjualnya,si penjual terkadang tidak berniat untuk membelinya. Sekalipun demikian, hal itu tetap haram baginya. Ucapan si penjual yang suka mengelabui, “saya tidak memaksanya untuk mengambil barang yang telah saya belikan untuknya”, tidaklah dapat mentolerir (kebolehan) transaksi seperti ini.
Hal tersebut, karena sebagaimana telah diketahui bahwa seorang pembeli tidak mencari barang tersebut kecuali karena dia memang membutuhkannya dan dia tidak akan membatalkan niat untuk membelinya. Tentunya, kita tidak pernah mendengar ada seseorang yang membeli barang-barang dengan cara seperti itu (secara kredit) membatalkan niatnya untuk membelinya sebab seorang pedagang yang suka mengelabui seperti itu sudah mempertimbangkan untung ruginya bagi dirinya dengan mengetahui pasti bahwa si pembeli tersebut tidak akan membatalkan niatnya, kecuali bila dia mendapatkan cacat pada barang tersebut atau criteria yang disebutkan kepadanya ternyata kurang.
Jika ada yang mengatakan, “Bilamana tindakan seperti ini termasuk pengelabuan untuk melakukan riba, apakah ada jalan lain yang dapat ditempuh sehingga tindakan seperti ini dapat bermanfaat tanpa harus melakukan pengelabuan terhadap riba?”
Jawabannya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berkat hikmah dan rahmatNya tidak pernah mengunci pintu-pintu maslahat bagi para hambaNya. Jadi, bila dia mengharamkan sesuatu atas mereka karena terdapat kemudharatannya, maka Dia akan membukakan pintu-pintu bagi mereka yang mencakup semua maslahat tanpa menimbulkan kemudharatan.
Jalan yang terbebas dari tindakan seperti itu adalah dengan adanya barang-barang tersebut pada si pedagang, lalu dia menjualnya kepada para pembeli dengan harga tangguh (kredit), sekalipun dengan tambahan harga atas harga kontan (cash).
Saya kira, tidak ada pedagang besar (konglomerat) yang tidak mampu membeli barang-barang yang dia lihat prosfektif untuk diserbu para konsumen untuk kemudian menjualnya dengan harga yang dia tentukan sendiri. Dengan demikian, dia akan mendapatkan keuntungan yang dia inginkan plus terbebas dari tindakan pengelabuan untuk melakukan riba. Bahkan barangkali dia malah mendapatkan pahala di akhirat kelak bila diniatkan untuk memberikan kemudahan kepada orang-orang yang tidak mampu membelinya dengan harga kontan (cash). Bukankah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda.
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang tergantung kepada apa yang dia niatkan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, Muslim]
Terkait dengan apa yang disinggung oleh si penanya bahwa perusahaan tersebut membebankan kepada pembeli agar membeli barang yang diinginkan ; jika melalui hak itu, ia (perusahaan tersebut) ingin agar si pembeli tersebut menjadi perantaranya, maka inilah masalah yang telah kita bicarakan di atas. Dan jika yang diinginkan oleh perusahaan tersebut adalah membeli barang tersebut untuk kepentingan sendiri, maka ini namanya Qardlun Jarra Naf’an (pinjaman yang diembel-embeli tambahan). Dan ini tidak ada masalah lagi bahwa ia adalah jelas-jelas riba.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini]
Memanfaatkan Barang Gadai

Munculnya banyak lembaga peminjaman (atau perseorangan) dengan jaminan,
baik yang dikelola pemerintah atau swasta, menjadi bukti adanya
transaksi gadai di tengah masyarakat. Perkara ini bukanlah perkara baru
dalam kehidupan manusia, tetapi sudah lama berlangsung. Yang kadang tak
bisa dihindari, yaitu akibat yang ditimbulkan dari transaksi gadai ini,
yakni adanya perbuatan zhalim dan saling memakan harta dengan cara
batil.
Bagaimana syari’at Islam memandang transaksi gadai ini? Berikut adalah
pembahasan mengenai hal tersebut, atau yang disebut Ar-Rahn? Semoga
menambah pengertian kita, sehingga dapat menghindarkan diri dari
praktek-praktek yang merugikan, baik terhadap diri sendiri ataupun orang
lain.
DEFINISA AR-RAHN
Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu.[1]
Dikatakan dalam bahasa Arab, المَاءُ الرَّاهِنُ (apabila airnya tidak
mengalir) dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ (nikmat yang tidak putus). Ada
yang mengatakan, makna Rahn tertahan, dengan dasar firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah
diperbuatnya". [Al-Muddatstsir : 38] yakni kata Rahinah bermakna
tertahan.
Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya.[2]
Ibnu Faris berkata : Huruf Raa, Haa' dan Nun adalah asal kata yang
menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak ataupun tidak. Dari
kata ini adalah kata Ar-Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan.[3]
Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari'at, para ulama telah
menjelaskan, yaitu menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk
dilunasi dengan jaminan tersebut, apabila (si peminjam) tidak mampu
melunasinya[4] .Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk
dilunasi (hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila
yang berhutang tidak mampu melunasinya [5]. Atau memberikan harta
sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan hutang dengan
harta atau nilai harta tersebut bila yang berhutang tidak mampu
melunasinya [6] .
Sedangkan menurut Syeikh Al Basaam, defenisi, Ar-Rahn adalah jaminan
hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang
tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang
tidak mampu melunasinya.[7]
HUKUM AR-RAHN.
Berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin, sistem hutang–piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan.
Dalil di dalamAl-Qur’an, yaitu firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا
الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui
apa yang kamu kerjakan". [Al-Baqarah : 283].
Dalam ayat ini walaupun disebutkan "dalam perjalanan” namun tetap
menunjukkan keumumannya. Yakni baik dalam perjalanan maupun dalam
keadaan mukim. Karena kata “dalam perjalanan” pada ayat ini, hanya
menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.
Dibolehkannya Ar-Rahn, juga dapat ditunjukkan dengan amalan Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah melakukan sistem
gadai ini, sebagaimana dikisahkan Umul Mukminin A’isyah Radhiyallahu
‘anha.
أَنَّ النَّبِيَّ n اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari seorang
yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya”
[HR Al Bukhari dan Muslim ]
Demikian juga para ulama telah bersepakat bolehnya Ar-Rahn dalam keadaan
safar (perjalanan), akan tetapi masih berselisih tentang bolehnya jika
dalam keadaan tidak safar.
Imam Al Qurthubi mengatakan : “Tidak ada seorangpun yang melarang Ar-
Rahn pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Al Dhahak dan Dawud (Ad
Dzohiri).[8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan : Diperbolehkan Ar-rahn dalam
keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan
safar (bepergian).
Sedangkan Ibnul Mundzir mengatakan : Kami tidak mengetahui seorangpun
yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Menurutnya, Ar-Rahn tidak ada
kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Namun yang benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan
adanya perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sabda
beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan.
Dan susu hewan menyusui diminum, dengan sebab nafkah apabila
digadaikan. Dan wajib bagi yang menungganginya dan meminumnya (memberi)
nafkah” [HR Al Bukhori] Wallahu A'lam[9].
Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajar[10] dan Muhammad Al Amien Al Singqithi[11]
Setelah jelas pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan safar (perjalanan),
apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, atau tidak wajib pada
keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja?
Dalam keadaan demikian, para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat Pertama : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah
pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan
Hambaliyah).
Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui
orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-Rahn) adalah jaminan atas
hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung
jawaban)” [12] .
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan
Ar-Rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan diatas yang tidak
menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajiba. Demikian
juga karena Ar-Rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti
halnya Adh-Dhimaan (Jaminan oertanggung jawaban) dan Al Kitabah
(penulisan perjanjian hutang). Disamping itu, juga karena ini adanya
kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila
Al-Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
Pendapat Kedua : Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm
dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”
Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang rmaknanya perintah.
Juga dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]
Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-Rahn dalam keadaan safar ada dalam
Al-Qur'an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada
pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak.
Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud
bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah
setelahnya:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”
[Al-Baqarah ; 283].
Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu'amalah adalah boleh
(mubah) hingga ada larangan, dan disini tidak terdapat adanya
larangannya.[13]
Yang rajih adalah pendapat pertama, Wallahu A'lam.
HIKMAH PENYSYARIATAN AR-RAHN
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin,
sedangkan harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang pada waktu
tertentu seserang sangat membutuhkan uang untuk menutupi
kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Dan pada saat itu tidak
mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang
kapadanya. Begitu juga tidak ada penjamin yang menjaminnya, sehingga ia
mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara
berhutang, atau meminjam dengan kesepakatan tertentu, yaitu memberikan
jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi
hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Ar-Rahn (gadai) untuk kemaslahatan
orang yang menggadaikan (Rahin), pemberi hutang (Murtahin) dan
masyarakat.
Untuk yang menggadaikan (Rahin), ia mendapatkan keuntungan sehingga
dapat menutupi kebutuhannya. Sehingga dia bisa menyelamatkan dirinya
dari krisis yang menimpanya, dan menghilangkan kegundahan di hatinya.
Bahkan kadang ia bisa berdagang bermodal hutang tersebut, lalu menjadi
sebab ia menjadi kaya.
Sedangkan pihak pemberi hutang (Murtahin), ia menjadi tenang dan merasa
aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar'I dan bila ia berniat
baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas
interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan dam kasih
sayang diantara manusia, karena peminjaman dengan Ar-Rahn ini termasuk
kategori tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana terdapat
manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan
melapangkan penguasa.[14]
RUKUN DAN SYARAT AR-RAHN
Mayoritas ulama memandang rukun Ar-Rahn (gadai) ada empat, yaitu :
a. Ar-Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
b. Al Marhun bihi (hutang)
c. Shighah [15]
d. Dua pihak yang bertransaksi yaitu Rahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)
Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Ar-Rahn (gadai) hanya memiliki
satu rukun yaitu shighah, karena ia pada hakekatnya adalah
transaksi.[16]
Sedangkan syarat dalam Ar-Rahn adalah sebagai berikut:
1. Syarat yang berhubungan dengan yang melakukan transaksi, yaitu orang
yang menggadaikan barangnya adalah baligh, berakal dan rusyd (kemampuan
mengatur).[17]
2. Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun (barang gadai) ada dua:, yaitu
a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya
baik dalam bentuk barang atau nilainya, apabila yang berhutang tersebut
tidak mampu melunasinya[18]
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau
yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.[19]
c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya,
karena Ar-Rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal
ini.[20]
3. Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.[21]
KAPAN AR-RAHN (GADAI) MENJADI KEHARUSAN?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah
langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang
gadainya
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
1. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn.
Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi'iyah dan riwayat dalam
madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ
Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan dipegang (serah terima). Dan
Ar-Rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan,
sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga
karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka
tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya
meninggal dunia.[22]
2 . Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian
bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia
pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah
dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ
Dalam ayat ini, Allah menetapkannya sebagai Ar-Rahn sebelum dipegang
(serah terimakan). Juga Ar-Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan
adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal
jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah
menjadi penyempurna Ar-Rahn dan bukan syarat sahnya.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan menyatakan: Adapun firman Allah
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ itu adalah sifat keumumannya namun hajat
menuntut (keharusannya) tidak dengan serah terima (Al-Qabdh).[23]
Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang rajih, bahwasanya Ar-Rahn
menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat
merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang dengannya
atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi. Dan ayat
ini hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan menuntut adanya
jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan
mendapatkannya.[24]
KAPAN SERAH TERIMA AR-RAHN DIANGGAP SAH?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan
seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan
mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang
yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada
takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan
ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya
dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta
dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang
dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara
serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari
tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak
yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.
HUKUM-HUKUM SETELAH SERAH TERIMA.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang
berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai
dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau
hilang.
1. Pemegang Barang Gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).[Al-Baqarah : 283]
Dan sabda beliau.
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shohih riwayat Al
Tirmidzi]
2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun
Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut,
kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil
air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia
memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah
yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan
yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat
At-Tirmidzi]
Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang
gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan
keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal,
yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang
menerima gadai. [25]
Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan
barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu meupakan
miliknya. Ornang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia
mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang
gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman
maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan
manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan
yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras
susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda
Rasulullah.
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan
dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan.
Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberinafkah” [HR
Al Bukhori]
Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh
mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai
dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]
Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah
sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena
hadits shohih tersebut. [26]
Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits
pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul
syari'at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya
memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang)
memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut
ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu
kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan,
analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai
(Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat
mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi
(hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan
menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua
kemaslahatan dan dua hak.[27]
3. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya
bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah)
gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama.
Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya
memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah
barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang,
pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi
milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan
Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan
menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang
menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [28]
4. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila
telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang
menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang
dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang
berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut
secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam
membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai
tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak
boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam
keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu
melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk
membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka
sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang
menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut
belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut
masih menanggung sisa hutangnya.[29]
Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya.
Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin
untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang
sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin
dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian)
barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun
bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib
bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya
atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran
hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila
penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual
barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar
ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka
pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut
dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi'iyah dan
Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual
barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut
dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh
menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk
memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya.
Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun
memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak
kedzoliman.[30]
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya
dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai
tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu
terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah
adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan
penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya,
maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya,
maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang
gadai denan hutangnya dan ia wajib melunasinya.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan
pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di
tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang
dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau
nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat.
Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan
perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari
perbuiatan ini.
Wallahul Muwaffiq.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah
Al Bassaam cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA
4/460
[2]. Lisan Al Arab karya Ibnu Mandzur pada kata Rahana, dinukil dari
kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Mu'amalah, Prof. DR Abdullah bin
Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR.
Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al
Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
[3]. Mu'jam Maqaayis Al Lughoh 2/452 dinukiil dari Abhaats Hai'at Kibaar
Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su'udiyah, disusun oleh Al Amaanah
Al 'Amah Lihai'at Kibar Al Ulama. Cetakan pertama tahun 1422H 6/102
[4]. Lihat Al Majmu' Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan
Muhamma Najieb Al Muthi'I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al TUrats Al
'Arabi, Beirut. 12/299-300
[5]. Lihat Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin
Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, cetakan kedua tahun 1412H,
penerbit hajar, Kairo, Mesir. 6/443
[6]. Lihat Al Wajiz Fi Fiqhi sunnah wal Kitab Al Aziz
[7]. Taudhih Al Ahkam Syarah Bulugh Al Maram 4/460
[8]. AbhatsHai'at Kibar Ulama 6/107
[9]. Lhat Al Mughni 6/444 dan taudhih Al Ahkam 4/460
[10]. Fathul Bari 5/140
[11]. Adhwa' Al Bayaan 1/228
[12]. Al Mughni 6/444
[13]. Abhats Hai'at Kibar Ulama 6/112-112
[14]. Abhats Hai'ah Kibar Ulama 6/112.
[15]. Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat
mengungkapkan keridhoannya dalam transaksi baik berupa perkataan yaitu
ijab qabul atau berupa perbuatan.
[16]. Al Fiqh Al Muyassarah, hal. 116
[17]. Lihat Al Majmu' Syarhul Muhadzab 12/302, Al Fiqh Al Muyassar hal 116 dan Taudhih Al Ahkam 4/460
[18]. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
[19]. Taudhil Al Ahkam 4/460 dan Al Fiqh Al Muyassarah hal. 116
[20]. Taudhih Al Ahkam 4/460
[21]. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
[22]. Al Mughni 6/446
[23]. Taudhih Al Ahkam 4/464
[24]. Al Fiqh Al Muyassarah hal 117
[25]. Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam 4/462-477.
[26]. Al Fiqh Al Muyassar hal 117.
[27]. Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462
[28]. Abhats Hai'at Kibar Ulama 6/134-135
[29]. Taudhih Al Ahkaam 4/467
[30]. Al Fiqh Al Muyassar hal 119.
Penjelasan Majma' Al-Fiqh Al-Islami Seputar Hukum Syar'i Perusahaan-Perusahaan Multi Level Marketing
Alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tercurah selalu atas makhluk
Allah termulia, juga atas para sahabat dan orang-orang yang komitmen
kepadanya.
At takyiif al fiqhi (tinjauan fiqih) terhadap peraturan PT Biznas -dan perusahaan-perusahaan Multi Level Marketing lainnya- :
Setelah mempelajari peraturan (bisnis) PT Biznas -dan
perusahaan-perusahaan Multi Level Marketing semisalnya- dengan perantara
(bantuan) Badan Urusan Perekonomian dan Keuangan di Majma’ al Fiqh al
Islami, dapat disimpulkan bahwa :
PERTAMA
Mendapatkan produk yang terdapat pada perusahaan-perusahaan bersistem
Multi Level Marketing (selanjutnya disebut MLM, Red), bukanlah target
utama para anggotanya; akan tetapi yang menjadi target dan motivator
utama untuk bergabung menjadi anggotanya ialah, penghasilan yang akan
didapatkan oleh anggota tersebut melalui peraturan (bisnis perusahaan)
ini.
Sebagaimana tujuan perusahaan ini, yaitu membangun jaringan yang
(beranggotakan) beberapa orang (yang berturut-turut berbasis dua
orang); sehingga asasnya terus meluas sampai berbentuk piramid. Anggota
yang beruntung, (ia) berada di puncak piramid dan mengepalai tiga
lapisan (para anggota) di bawahnya. (Anggota-anggota) paling bawah
(selalu) membayar kepada (anggota-anggota terdahulu) yang berada di atas
mereka.
PRODUK (YANG MEREKA KLAIM) ADALAH ABSTRAK (DAN) TIDAK ADA (WUJUD) YANG SESUNGGUHNYA
Produk tersebut tidak lain hanyalah sebagai kedok bisnis (agar bisa)
diterima untuk dibangun di atasnya izin perundang-undangan; karena
sebagian besar undang-undang negara di dunia ini melarang bisnis
bersistem mata rantai piramid, yang setiap anggotanya membayar uang
hanya sebagai bukti keikutsertaannya saja pada sistem (bisnis ini),
tanpa perantara ataupun produk yang bisa digunakan.
Maka, ketika hukum-hukum syariat dibangun di atas tujuan-tujuan dan
makna-maknanya; tidak di atas lafazh-lafazh dan bentuk-bentuknya,
sesungguhnya produk tersebut jatuh (tidak ada wujudnya) tatkala ditinjau
secara hukum fiqih (at takyif al fiqh) terhadap PT Biznas dan
perusahaan-perusahaan lain yang mirip dengannya.
Dengan demikian, maka perkara sesungguhnya -ditinjau dari sisi fiqih-
tidak lain hanya menghimpun keikutsertaan -dari beberapa orang- yang
dioperasikan oleh perusahaan, dengan pembayaran yang (terus-menerus)
dilakukan oleh anggota-anggota yang berada di posisi bawah piramida, dan
dimanfaatkan oleh orang-orang yang berposisi di puncak piramida.
Ditambah lagi dengan uang komisi dari perusahaan; yang propagandanya
ialah “Anda akan rugi besar jika terlambat bergabung bersama kami walau
hanya sehari saja. Semakin lama Anda menunggu, semakin besar kerugian
Anda. Mulailah sekarang juga!”
KEDUA
Seorang anggota tidak mungkin memperoleh pendapatan -dengan yakin-
kecuali jika terkumpul di bawahnya tiga lapisan (anggota lainnya), dan
ketiga lapisan terakhir yang tersusun pada sistem piramida ini, (keadaan
mereka) selalu berada dalam spekulasi (pertaruhan) -selalu terancam
kerugian- karena mereka (tiga lapisan tersebut) selalu membayar komisi
kepada yang di atas mereka, dengan besar harapan (setiap orang dari
mereka) ingin berada di puncak piramida. Akan tetapi, hal itu tidak
mungkin terjadi, kecuali dengan merekrut para anggota baru lainnya agar
mereka berada di bawahnya lagi. Sehingga, dengan demikian, merekalah
(anggota yang terbaru tersebut, Red) terancam kerugian … dan begitulah
seterusnya.
Dengan demikian, terjadinya kerugian adalah (hal) yang pasti terjadi
untuk berkembangnya piramida. Dan tidak (akan pernah) mungkin (terjadi)
-kapanpun waktunya- keuntungan bisa didapatkan oleh seluruh anggota
(perusahaan ini). Bahkan yang terjadi ialah, keuntungan yang didapatkan
oleh sebagian kecil dari mereka, (yakni) dengan mengorbankan sejumlah
besar anggota lainnya. Dan sesungguhnya perbandingan terendah terhadap
orang-orang yang terancam kerugian adalah (9:1) di setiap lapisan
piramida tersebut. Dari sini (menjadi) jelas, bahwa mayoritas yang
menanggung dampak spekulasi –selamanya- dari seluruh anggotanya ialah
yang berada di lapisan terbawah piramida tersebut, dengan (selalu)
membayar kepada yang di atasnya; sedangkan mereka tidak mengetahuinya.
Apakah di bawah mereka terbentuk tiga lapisan sehingga beruntung?
Ataukah tidak terbentuk sehingga merugi membayar kepada yang berada di
atas mereka? (Sehingga) tidak diragukan lagi, jenis taruhan inilah (yang
disebut dengan) judi. Asal qimar (judi) -sebagaimana dikatakan Ibnu
Taimiyah- ialah: “Diambilnya harta seseorang, sedangkan dia dalam
taruhan; apakah dia akan mendapatkan kembali gantinya ataukah tidak?!”
Dan hakikatnya, praktek bisnis semacam ini terbentuk dari beberapa mata
rantai perjudian; harta (yang dijadikan) taruhan tersebut dijamin
dengan produk, (lalu) diselinapkan dalam harganya.
(Bahkan sesungguhnya) mata rantai perjudian yang ada di
perusahaan-perusahaan bisnis berjaringan semacam ini bercampur dengan
mata rantai lainnya yang tiada batas. Orang yang beruntung adalah yang
terlebih dahulu masuk jaringan, yang kepadanyalah arus pemasukan (uang
keuntungan) mengalir dengan derasnya dan terus tampak tiada
habis-habisnya -sesuai luasnya jaringan yang ia miliki yang terdiri dari
orang-orang yang berada setelahnya-.
Adapun orang yang bertaruh ialah (yang berada) di lapisan bawah
(terakhir) yang (selalu) berangan-angan untuk terus naik dan terus
berkembang jaringannya, dengan bertambahnya orang-orang setelahnya, yang
mereka terus dipenuhi angan-angan untuk bisa mengeruk kentungan tanpa
perlu bekerja produktif. Selamanya, tiga lapisan yang paling akhir
selalu berspekulasi (dalam taruhan) secara terus-menerus dan dalam
setiap saat seiring berkembangnya piramida. Inilah makna qimar (judi
atau taruhan).
PERBEDAAN ANTARA BISNIS MLM DENGAN SAMSARAH (PERCALOAN)
As samsarah ( السَّمْسَرَةُ ) -dalam jual beli- adalah sebuah akad, yang
dengannya, si calo mendapatkan komisi atas usahanya sebagai perantara
dalam penjualan atau pembelian barang perniagaan. Sedangkan bisnis Multi
Level Marketing (MLM) -yang dipraktekkan PT Biznas dan yang semisalnya-
adalah sebuah cara dari pemasaran sebuah produk untuk membangun
jaringan yang terdiri dari para anggota -dalam bentuk dimensi (piramida)
yang berturut-turut- yang setiap anggotanya, di dalam jaringan tersebut
berperan sebagai puncak piramida. Dan dalam jaringan tersebut, setiap
anggota baru membayar uang-uang komisi kepada yang berada di atasnya.
Atas dasar ini, maka sesungguhnya sistem muamalah PT Biznas dan MLM
berbeda dengan percaloan yang sudah dikenal secara fikih, (ditinjau)
dari empat sisi, yaitu:
Pertama : Dalam percaloan, tidak disyaratkan pada si calo agar membeli
produk dagangan dari orang yang dia perantarakan, (akan tetapi) si calo
hanya sebagai perantara antara si pemilik barang (penjual) dan si
pembeli.
Adapun dalam sistem bisnis perusahaan-perusahaan MLM, pembelian produk
dan pemilikan markas kerja (bisnis) (oleh setiap anggotanya, Red) adalah
syarat diterimanya seseorang sebagai distributor (anggota). Maksudnya,
distributor (harus) membayar sejumlah uang supaya ia (bisa tetap)
menjadi distributor. Dan demikian ini (justru) berlawanan dengan
percaloan.
Kedua : Peraturan PT Biznas tidak membolehkan seseorang untuk
mendaftarkan langsung (anggota baru) yang berada di bawahnya lebih dari
dua anggota. Orang yang berada pada urutan lebih dari dua, didaftarkan
(dan diposisikan, Red) di bawah anggota terakhir di bawah jaringannya.
Ini berarti, ada beberapa kalangan dari bisnis jaringan ini yang
mengambil keuntungan dari usaha orang-orang yang berada di atas mereka,
dan (terus) menerima komisi dari perusahaan sebagai keuntungan hasil
distribusi produk, yang mereka (ini), sama sekali tidak berjerih payah
memasarkannya (mendistribusikannya).
Maka apabila item ini dihubungkan dengan (item, point pertama, Red) yang
sebelumnya, sangat jelas bahwa peraturan perusahaan ini melarang
distributor yang bukan anggota (untuk mendapatkan haknya, Red.) dan
memberikan (keuntungan kepada, Red.) anggota yang (sudah) bukan (lagi
sebagai) distributor.
Dari sini, nampak jelas penyelisihan yang dilakukan perusahaan ini dan
jauhnya dari sistem percaloan yang sudah dikenal. Perusahaan ini
mewajibkan dirinya untuk memberikan keuntungan kepada anggotanya -tanpa
melihat jerih payah (masing-masing dari) mereka dalam memasarkan
produknya-. Berbeda halnya dengan percaloan. Komisi dihasilkan oleh
orang yang memasarkan dan menjual (langsung). Dan orang yang tidak
berusaha (menjual atau memasarkan barang) tidak dapat ikut serta
menikmati upah (atau keuntungan) tersebut.
Ketiga : Seorang calo mendapatkan komisi karena usahanya dalam
memasarkan dan menjual barang untuk satu orang atau sejumlah orang. Dan
dia, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan apa yang telah dilakukan
oleh pembeli barang tersebut (setelahnya). Hubungan terhenti dengan
terjadinya transaksi jual beli antara calo dan pembeli.
Adapun (dalam) MLM ini, maka si penjual tidak akan mendapatkan komisi
(atas penjualannya), kecuali apabila ia (berhasil) memasarkannya kepada
para distributor (baru) lainnya. Lalu mereka(pun) menjual (barang
tersebut) untuk dipasarkan lagi oleh para distributor (baru). Sehingga,
(sesungguhnya) ia memasarkan untuk orang yang memasarkan kepada orang
yang memasarkan kepada orang yang memasarkan…begitu seterusnya!! Dan ia
tidak akan mendapatkan komisi, kecuali dengan cara seperti ini. Maka
(dalam hal ini), orang yang berada di dalam jaringan piramida tersebut
tidak ada (yang bisa) merasakan maslahat dengan memanfaatkan atau
menggunakan produk tersebut, kecuali dengan cara memasarkannya lagi
kepada pemasar (baru) lainnya.
Keempat : Berdasarkan (kesimpulan di atas), bahwa pemasaran produk
bukanlah maksud utama dalam bisnis MLM, akan tetapi hanya sebagai kedok
peraturan-peraturan untuk menghimpun keikutsertaan (anggotanya) dan
merekrut anggota, agar terbangun jaringan piramida. (Sehingga), jika
sebuah produk tidak ada dalam maksud dari suatu pemasaran, maka
kuranglah satu rukun (dari rukun-rukun) sahnya akad percaloan yang
sesungguhnya, yaitu (adanya) barang.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa peraturan PT Biznas dan
perusahaan-perusahaan lain yang sejenis dengannya, sama sekali tidak ada
hubungannya dengan akad percaloan.
FATWA
Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, (Majma’ al Fiqh al Islami)
mengeluarkan fatwa pada sebuah musyawarah bernomor 3/24, tanggal 17
Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan 17 Juni 2003 M, sebagai berikut:
1. Bahwa menjadi anggota di PT Biznas -dan yang semisalnya dari
perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level
Marketing)- tidak dibolehkan secara syariat, karena hal itu sebagai
(bentuk) perjudian.
2. Bahwa peraturan PT Biznas -dan yang semisalnya dari
perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level
Marketing)- sama sekali tidak ada hubungannya dengan akad percaloan
-sebagaimana yang telah didengungkan perusahaan tersebut, juga
sebagaimana apa yang telah mereka usahakan dari perancuan kepada
sebagian ulama yang (akhirnya mereka) berfatwa dengan membolehkan hal
ini, karena ini adalah percaloan- dari seputar pertanyaan-pertanyaan
yang ditujukan kepada mereka, dan menggambarkan perkaranya kepada mereka
tidak sesuai dengan hakikatnya.
Atas dasar ini, (al Majma’) menyarankan kepada semua pihak (yang
memberikan) perizinan untuk mencabut segala bentuk surat perizinan
perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level
Marketing), dan tidak (lagi) memberikan surat perizinan (dalam bentuk)
apapun untuk praktek semacam ini, kecuali setelah mengembalikan
perkaranya kepada (Majma’ al Fiqh al Islami). Allah Maha Pemberi taufiq.
[Penjelasan Majma' Al-Fiqh Al-Islami di majalah As-Sunnah disertai
komentar Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi
Al-Atsari]
Jika Bank Menambahkan Keuntungan Pada Dana Tabungan, Apa Yang Harus Dilakukan ?
Dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
“Artinya : Emas dijual dengna emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
semisal dengan semisal, dalam jumlah yang sama dan tunai, tangan dengan
tangan. Dan jika bagian-bagian ini berbeda, maka juallah sekehendak hati
kalian, jika dilakukan serta diserahkan seketika”.
Dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahih
keduanya, dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dimana dia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
“Artinya : Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama
banyaknya, janganlah pula melebihkan sebagiannya atas sebagian lainnya,
dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali sama banyaknya, serta
janganlah kalian melebihkan sebagian atas sebagian lainnya. Dan
janganlah kalian menjualnya dengan cara sebagian tunai dan sebagian
lainnya ditangguhkan”.
Dalam lafazh lain disebutkan.
“Artinya : Emas dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
semisal dengan semisal, dalam jumlah yang sama dan tunai, tangan dengan
tangan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan berarti dia telah
melakukan praktek riba. Yang mengambil dan yang memberi sama
(kedudukannya)” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bukhari]
Dan tidak diragukan lagi bahwa nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
menunjukkan pengharaman kedua macam riba, riba fadhl dan riba nasi’ah,
tidak ada perbedaan, baik yang terjadi antara orang muslim dengan muslim
maupun orang muslim dengan orang kafir yang menjadi musuh Allah. Islam
dan kaum muslimin. Semua nash-nash tersebut secara tegas mengharamkan
seluruh akad yang berbau riba, meskipun para pelaku akan tersebut
mempunyai agama yang berbeda,
Mengenai banyaknya kaum muslimin yang miskin di Amerika dan tingginya
kebutuhan mereka akan bantuan dan belas kasihan tidak berarti
membolehkan pengambilan riba dari bank atau orang lain untuk membantu
fakir miskin serta menghilangkan kesusahan dari mereka, baik mereka itu
berada di Amerika maupun negara lainnya. Yang demikian itu bukan suatu
hal darurat yang membolehkan mereka melakukan apa yang diharamkan oleh
Allah melalui nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karena masih adanya
sarana lain untuk berbuat baik dan mengasihi mereka sebagai upaya
menutupi kebutuhan mereka dan menghilangkan kesusahan mereka.
Selain itu, apa yang disebutkan bahwa bank itu milik musuh-musuh Islam
tidak bisa dijadikan alasan membolehkan pengambilan riba dari bank
selama mu’amalah damai dalam bentuk dagang dan budaya masih berdiri
antara kita dan mereka serta saling menguntungkan kedua belah pihak.
Barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kebencian terhadap
musuh-musuh Islam, serta tidak ingin orang-orang kafir mencari rizki
melalui perantaraan dirinya yang menolong mereka dalam urusan dunia
mereka, atau mungkin menolong mereka untuk melakukan tipu daya terhadap
kaum muslimin, maka hendaklah dia tidak menabung di bank-bank mereka,
dimana mereka hanya akan mengambil manfaat dan bersenang-senang dalam
kehidupannya. Dan hendaklah dia memberikan uangnya itu kepada orang yang
bisa mengelolanya, baik secara bersama-sama dengan bagi keuntungan,
atau bisa juga dikelola tanpa mitra.
Jika hal itu tidak mudah untuk dilakukan, maka hendaklah dia
menitipkannya kepada selain mereka, itupun kalau terpaksa menabung dan
tanpa mengambil bunga kepadanya. Sampai kaum muslimin sudah mulai
mendirikan bank-bank Islami sehingga orang muslim akan lebih mudah untuk
menitipkan uangnya disana. Dengan demikian, dia akan lebih aman
menyimpan uangnya, insya Allah, sekaligus akan menjadi penopang bagi
mereka untuk melangkah maju dengan pelayanan secara Islami sehingga kita
tidak lagi membutuhkan bank-bank yang menjalankan praktek riba.
Wallahul Muwaffiq.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor
1803. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts
Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul
dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam
Asy-Syafi’i]
Hukum Menanam Saham Pada Perusahaan-Perusahaan
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu” [Al-Baqarah :
278-279]

Kedua
Menanam saham pada perusahaan-perusahaan yang semula memang tidak
didirikan atas dasar riba akan tetapi barangkali riba masuk pada
sebagian transaksinya, seperti Safula Company dan semisalnya dari
perusahaan yang terdapat di dalam pertanyaan di atas. Perusahaan seperti
ini, hukum asalnya adalah dibolehkan menanam modal disana, akan tetapi
bila yang lebih dominan adalah perkiraan bahwa sebagian transaksinya
mengandung riba, maka sikap yang wara’ (selamat) adalah meninggalkannya
dan tidak menanam saham padanya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam
“Artinya : Barangsiapa yang menjauhi hal-hal yang syubhat (samar-samar)
berarti dia telah membebaskan tanggungan dirinya untuk (kepentingan)
agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang
syubhat berarti telah terjerumus ke dalam hal yang diharamkanm” [HR
Al-Bukhari, kitab Al-Iman (52) Muslim, ibaid, hal. 1599]
Jika dia telah terlanjur melakukannya atau enggan untuk menempuh jalan
yang wara’, lalu dia menanam saham, maka bila dia mengambil
keuntungan-keuntungannya dan mengetahui jumlah riba tersebut, wajib
baginya untuk melepaskan diri (menghindari) darinya, dengan cara
mengalokasikannya kepada proyek-proyek amal dan kebajikan, seperti
memberikan hajat orang fakir atau selain itu selain itu. Jadi, dia tidak
boleh berniat menyedekahkan hal itu untuk niat taqarrub (ibadah) kepada
Allah sebab Allah adalah Mahasuci (baik) dan tidak menerima kecuali
yang baik-baik (suci). Juga karena hal itu tidak dapat membebaskan
tanggungan diri dari dosanya.
Akan tetapi hendaknya yang dia niatkan adalah melepaskan diri
(menghindar) darinya agar selamat dari dosanya sebab tidak ada jalan
keselamatan darinya kecuali dengannya.
Dan jika dia tidak mengetahui jumlah (prosentase) riba tersebut, maka
dia dapat melepaskan diri (menghindar) darinya dengan cara
mengalokasikannya sebanyak separuh keuntungan sebagai yang telah kami
singgung sebelumnya.
[Ditulis oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, pada tanggal 21-4-1412]
“Artinya : Dan betolong-tolonglah kamu diatas berbuat kebajikan dan
taqwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan di atas perbuatan dosa dan
pelanggaran” [Al-Madidh : 2]
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...