Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Akhir-akhir ini telah
merebak perayaan valentin's day -terutama di kalangan para pelajar
putri-, padahal ini merupakan hari raya kaum Nashrani. Mereka mengenakan
pakaian berwarna merah dan saling bertukar bunga berwarna merah.. Kami
mohon perkenan Syaikh untuk menerangkan hukum perayaan semacam ini, dan
apa saran Syaikh untuk kaum muslimin sehubungan dengan masalah-masalah
seperti ini. Semoga Allah menjaga dan memelihara Syaikh.
Jawaban
Tidak boleh merayakan valentin's day karena sebab-sebab berikut:
Pertama: Bahwa itu adalah hari raya bid'ah, tidak ada dasarnya dalam syari'at.
Kedua: Bahwa itu akan menimbulkan kecengengen dan kecemburuan.
Ketiga: Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf.
Karena itu, pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan,
baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah, ataupun
lainnya.
Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamanya dan tidak
merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata
maupun yang tersembunyi, dan semoga Allah senantiasa membimbing kita
dengan bimbingan dan petunjukNya.
HUKUM MERAYAKAN VELAENTINE'S DAY
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta' ditanya : Setiap
tahunnya, pada tanggal 14 Februari, sebagian orang merayakan valentin's
day. Mereka saling betukar hadiah berupa bunga merah, mengenakan pakaian
berwarna merah, saling mengucapkan selamat dan sebagian toko atau
produsen permen membuat atau menyediakan permen-permen yang berwarna
merah lengkap dengan gambar hati, bahkan sebagian toko mengiklankan
produk-produknya yang dibuat khusus untuk hari tersebut. Bagaimana
pendapat Syaikh tentang:
Pertama: Merayakan hari tersebut?
Kedua: Membeli produk-produk khusus tersebut pada hari itu?
Ketiga: Transaksi jual beli di toko (yang tidak ikut merayakan) yang
menjual barang yang bisa dihadiahkan pada hari tersebut, kepada orang
yang hendak merayakannya?
Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.
Jawaban.
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, para pendahulu umat
sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu
Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu, semua hari raya yang berkaitan
dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid'ah, kaum
muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan
karenanya dan membantu terselenggaranya, karena perbuatan ini merupakan
perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu
pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika
hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan
dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah bertasyabbuh
(menyerupai) mereka di samping merupakan keloyalan terhadap mereka,
padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kaum mukminin
ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam KitabNya
yang mulia, dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
"Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka" [1]
Valentin's day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan
hari raya Nashrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan
Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan
selamat, bahkan seharusnya me-ninggalkannya dan menjauhinya sebagai
sikap taat terhadap Allah dan RasulNya serta untuk menjauhi sebab-sebab
yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah dan siksaNya. Lain dari itu,
diharamkan atas setiap muslim untuk membantu penyelenggaraan hari raya
tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan, baik itu berupa makanan,
minuman, penjualan, pembelian, produk, hadiah, surat, iklan dan
sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan
dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan RasulNya, sementara
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
"Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksaNya" [Al-Ma'idah : 2]
Dari itu, hendaknya setiap muslim berpegang teguh dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah dalam semua kondisi, lebih-lebih pada saat-saat terjadinya
fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada
agar tidak terjerumus ke dalam kese-satan orang-orang yang dimurkai,
orang-orang yang sesat dan orang-orang fasik yang tidak mengharapkan
kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Dan hendaknya seorang
muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjukNya dan keteguhan
didalam petunjukNya. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat memberi petunjuk
selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjukNya
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah lah yang kuasa memberi
petunjuk.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Hukum Merayakan Hari Ibu
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kebiasaan kami, pada setiap tahun merayakan hari khusus yang disebut dengan istilah hari ibu, yaitu pada tanggal 21 Maret. Pada hari itu banyak orang yang merayakannya. Apakah ini halal atau haram. Dan apakah kita harus pula merayakannya dan memberikan hadiah-hadiah?
Jawaban
Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyari'atkan adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non muslim, jika demikian, maka di samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari raya-hari raya yang disyari'atkan telah diketahui oleh kaurn muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha serta hari raya mingguan (hari Jum'at). Selain yang tiga ini tidak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan bathil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
"Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."[1]
Yakni ditolak dan tidak diterima di sisi Allah. Dalam lafazh lainnya disebutkan,
"Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."[2]
Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari yang disebutkan oleh penanya, yaitu yang disebutkan sebagai hari ibu, dan tidak boleh juga mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya, seperti; menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah dan sebagainya.
Hendaknya setiap muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya serta merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dalam agama yang lurus ini dan telah diridhai Allah untuk para hambahNya. Maka hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi. Kemudian dari itu, hendaknya setiap muslim tidak menjadi pengekor yang menirukan setiap ajakan, bahkan seharusnya, dengan menjalankan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukan yang meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak, karena alhamdulillah, syari'at Allah itu sungguh sempurna dari segala sisinya, sebagaimana firmanNya,
"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. " [Al-Ma'idah: 3]
Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari itu saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta dita'ati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, di setiap waktu dan tempat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh . Muslim dalam Al-Aqdhiyah.
[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah .
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kebiasaan kami, pada setiap tahun merayakan hari khusus yang disebut dengan istilah hari ibu, yaitu pada tanggal 21 Maret. Pada hari itu banyak orang yang merayakannya. Apakah ini halal atau haram. Dan apakah kita harus pula merayakannya dan memberikan hadiah-hadiah?
Jawaban
Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyari'atkan adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non muslim, jika demikian, maka di samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari raya-hari raya yang disyari'atkan telah diketahui oleh kaurn muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha serta hari raya mingguan (hari Jum'at). Selain yang tiga ini tidak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan bathil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
"Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."[1]
Yakni ditolak dan tidak diterima di sisi Allah. Dalam lafazh lainnya disebutkan,
"Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."[2]
Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari yang disebutkan oleh penanya, yaitu yang disebutkan sebagai hari ibu, dan tidak boleh juga mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya, seperti; menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah dan sebagainya.
Hendaknya setiap muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya serta merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dalam agama yang lurus ini dan telah diridhai Allah untuk para hambahNya. Maka hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi. Kemudian dari itu, hendaknya setiap muslim tidak menjadi pengekor yang menirukan setiap ajakan, bahkan seharusnya, dengan menjalankan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukan yang meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak, karena alhamdulillah, syari'at Allah itu sungguh sempurna dari segala sisinya, sebagaimana firmanNya,
"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. " [Al-Ma'idah: 3]
Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari itu saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta dita'ati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, di setiap waktu dan tempat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh . Muslim dalam Al-Aqdhiyah.
[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah .
Hukum Taat Kepada Penguasa Yang Tidak Berhukum Kepada Kitabullah Dan Sunnah RasulNya
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang apakah hukum taat kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban
Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin.
Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat:
Pertama, mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya.
Kedua, Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya.
Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya,
"Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." [Al-Ma'idah : 44]
.
Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya.
Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa (kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang apakah hukum taat kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban
Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin.
Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat:
Pertama, mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya.
Kedua, Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya.
Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya,
"Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." [Al-Ma'idah : 44]
.
Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya.
Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa (kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala
Hukum Menentang Syari'at Allah, Hukum Terlalu Bersemangat yang Mengarah Kepada Sikap Ekstrem
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada sebagian para pemuda yang terlalu bersemangat melebihi yang sepatutnya dan mengarah kepada sikap ekstrem, apa nasehat anda terhadapnya?
Jawaban:
Para pemuda dan selain mereka wajib berhati-hati sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan, ekstremisme dan ghuluw. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Artinya : Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu'." [Al-Ma’idah :77]
Demikian juga firmanNya,
"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. " [Ali Imran :159]
Dan firmanNya kepada Musa, dan Harun, ketika Dia mengutus keduanya menghadap Fir'aun,
"Artinya : Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." [Thaha : 44]
Di dalam hadits Nabi, beliau bersabda,
"Artinya : Sungguh telah binasalah orang-orang yang melampaui batas."
Beliau mengucapkan hal ini hingga tiga kali. [1]
Dalam sabdanya yang lain,
"Artinya : Berhati-hatilah kamu terhadap tindakan ghuluw (melampaui batas)
di dalam agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah tindakan ghuluw di dalam agama. "[2]
Oleh karena itu, saya berwasiat kepada seluruh da'i agar tidak terjerumus ke dalam sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas (ghuluw). Hendaknya mereka bersikap pertengahan, yaitu berjalan di atas manhaj Allah dan hukum KitabNya dan Sunnah RasulNya.
[Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, edisi 32, h. 120, dari fatwa Syaikh ibn Baz]
HUKUM MENENTANG SYARI'AT ALLAH
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bun Baz ditanya : Seorang laki-laki berkata, sesungguhnya sebagian hukum-hukum syari'at perlu ditinjau kembali dan direvisi karena sudah tidak sesuai (relevan) lagi dengan perkembangan zaman ini. Contohnya adalah hal yang berkaitan dengan warisan di mana lelaki mendapatkan dua kali lipat dari bagian yang diperoleh wanita. Bagaimana hukum syari'at terhadap orang yang mengucapkan statement seperti ini?
Jawaban
Tidak seorangpun yang boleh menentang atau merubah hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah kepada para hamba-Nya dan yang telah dijelaskan di dalam kitabNya yang mulia atau berdasarkan ucapan RasulNya yang terpercaya seperti hukum-hukum tentang warisan, shalat lima waktu, zakat, puasa dan semisalnya yang juga telah diterangkan Allah kepada para hambaNya serta telah disepakati umat. Sebab, ia adalah tasyri’ (produk hukum) yang sudah valid untuk umat ini pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sepeninggal beliau hingga Hari Kiamat. Di antaranya, adanya prioritas bagi kaum lelaki atas kaum wanita mulai dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, saudara laki-laki sekandung dan sebapak. Wajib mengamalkan hal itu atas dasar keyakinan dan keimanan, sebab Allah telah menjelaskannya dalam kitabNya yang mulia.
Barangsiapa mengklaim bahwa hukum selainnyalah yang lebih sesuai (relevan) maka dia telah menjadi Kafir. Demikian pula orang yang membolehkan untuk menyelisihinya; dia dianggap kafir juga karena sudah menjadi penentang Allah dan RasulNya serta ijma' umat.
Oleh karena itu, wajib bagi pihak yang berwenang (penguasa/pemerintah) untuk memaksanya bertaubat jika dia seorang muslim; jika mau, maka tidak dikenai sanksi dan bila tidak mau, maka wajib dibunuh sebagai orang kafir dan keluar dari Islam (murtad). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Artinya : Barangsiapa yang telah merubah (mengganti) diennya, maka bunuhlah dia. "[3]
Kita bermohon kepada Allah bagi kita dan semua kaum muslimin agar diselamatkan dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan dari penyimpangan terhadap syari'at yang disucikan ini
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al-'Ilm.
[2]. Imam Ahmad, dan juga diriwayatkan oleh sebagian pengarang kitab As-Sunan dengan sanad Hasan; an-Nasa'i, kitab AI-Hajj, Ibn Majah, kitab Al-Manasik.
[3]. HR. Al-Bukhari, kitab Al-Jihad dan kitab Istitbab Al-Murtaddin .
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada sebagian para pemuda yang terlalu bersemangat melebihi yang sepatutnya dan mengarah kepada sikap ekstrem, apa nasehat anda terhadapnya?
Jawaban:
Para pemuda dan selain mereka wajib berhati-hati sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan, ekstremisme dan ghuluw. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Artinya : Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu'." [Al-Ma’idah :77]
Demikian juga firmanNya,
"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. " [Ali Imran :159]
Dan firmanNya kepada Musa, dan Harun, ketika Dia mengutus keduanya menghadap Fir'aun,
"Artinya : Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." [Thaha : 44]
Di dalam hadits Nabi, beliau bersabda,
"Artinya : Sungguh telah binasalah orang-orang yang melampaui batas."
Beliau mengucapkan hal ini hingga tiga kali. [1]
Dalam sabdanya yang lain,
"Artinya : Berhati-hatilah kamu terhadap tindakan ghuluw (melampaui batas)
di dalam agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah tindakan ghuluw di dalam agama. "[2]
Oleh karena itu, saya berwasiat kepada seluruh da'i agar tidak terjerumus ke dalam sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas (ghuluw). Hendaknya mereka bersikap pertengahan, yaitu berjalan di atas manhaj Allah dan hukum KitabNya dan Sunnah RasulNya.
[Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, edisi 32, h. 120, dari fatwa Syaikh ibn Baz]
HUKUM MENENTANG SYARI'AT ALLAH
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bun Baz ditanya : Seorang laki-laki berkata, sesungguhnya sebagian hukum-hukum syari'at perlu ditinjau kembali dan direvisi karena sudah tidak sesuai (relevan) lagi dengan perkembangan zaman ini. Contohnya adalah hal yang berkaitan dengan warisan di mana lelaki mendapatkan dua kali lipat dari bagian yang diperoleh wanita. Bagaimana hukum syari'at terhadap orang yang mengucapkan statement seperti ini?
Jawaban
Tidak seorangpun yang boleh menentang atau merubah hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah kepada para hamba-Nya dan yang telah dijelaskan di dalam kitabNya yang mulia atau berdasarkan ucapan RasulNya yang terpercaya seperti hukum-hukum tentang warisan, shalat lima waktu, zakat, puasa dan semisalnya yang juga telah diterangkan Allah kepada para hambaNya serta telah disepakati umat. Sebab, ia adalah tasyri’ (produk hukum) yang sudah valid untuk umat ini pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sepeninggal beliau hingga Hari Kiamat. Di antaranya, adanya prioritas bagi kaum lelaki atas kaum wanita mulai dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, saudara laki-laki sekandung dan sebapak. Wajib mengamalkan hal itu atas dasar keyakinan dan keimanan, sebab Allah telah menjelaskannya dalam kitabNya yang mulia.
Barangsiapa mengklaim bahwa hukum selainnyalah yang lebih sesuai (relevan) maka dia telah menjadi Kafir. Demikian pula orang yang membolehkan untuk menyelisihinya; dia dianggap kafir juga karena sudah menjadi penentang Allah dan RasulNya serta ijma' umat.
Oleh karena itu, wajib bagi pihak yang berwenang (penguasa/pemerintah) untuk memaksanya bertaubat jika dia seorang muslim; jika mau, maka tidak dikenai sanksi dan bila tidak mau, maka wajib dibunuh sebagai orang kafir dan keluar dari Islam (murtad). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Artinya : Barangsiapa yang telah merubah (mengganti) diennya, maka bunuhlah dia. "[3]
Kita bermohon kepada Allah bagi kita dan semua kaum muslimin agar diselamatkan dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan dari penyimpangan terhadap syari'at yang disucikan ini
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al-'Ilm.
[2]. Imam Ahmad, dan juga diriwayatkan oleh sebagian pengarang kitab As-Sunan dengan sanad Hasan; an-Nasa'i, kitab AI-Hajj, Ibn Majah, kitab Al-Manasik.
[3]. HR. Al-Bukhari, kitab Al-Jihad dan kitab Istitbab Al-Murtaddin .
Hukum Menyusukan Diri Sendiri, Memeras Air Susunya Kedalam Gelas Untuk Diminumkan Kepada Seseorang
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Apa hukum wanita yang menyusukan diri sendiri kemudian memuntahkannya ?"
Jawaban.
Penyusuan yang menyebabkan timbulnya hubungan kemahraman secara syara' adalah lima kali susuan atau lebih ketika umurnya tidak lebih dari dua tahun. Adapun penyusuan orang dewasa (baik dirinya ataupun orang lain) tidak termasuk dalam pengertian ini.
[Fatawa wa Rasailusy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 11 hal. 172]
HUKUM WANITA YANG MEMERAS AIR SUSUNYA KEDALAM GELAS UNTUK DIMINUMKAN KEPADA SESEORANG AGAR MENJADI MAHRAMNYA.
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Ada seorang wanita yang tidak mempunyai mahram di dalam perjalannya dan ia ingin pulang ke negerinya, kemudian ia memeras air susunya ke dalam gelas untuk diminumkan kepada seorang laki-laki. Apakah laki-laki tersebut menjadi mahramnya ?".
Jawaban.
Tidak. Yang demikian itu tidak bisa menjadikannya sebagai mahramnya karena susuan yang menyebabkan kemahraman itu berlaku pada seseorang yang berumur di bawah dua tahun dan tidak kurang dari lima kali susuan
[Fatawa wa Rasailusy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim]
HUKUM DUA ORANG WANITA YANG SALING MENYUSUKAN ANAK MEREKA.
Oleh
Syiakh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : "Ada dua orang wanita, yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki, yang kedua mempuanyi anak perempuan, mereka saling menyusukan anak yang lain. Siapa di antara saudara-saudara mereka yang boleh dinikahi oleh yang lain ?".
Jawaban.
Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak kecil di bawah umur dua tahun lima kali susuan atau lebih, maka anak tersebut menjadi anaknya dan anak suaminya yang memiliki susu itu. Dan seluruh anak dari wanita tersebut dengan suaminya itu atau dengan suami terdahulunya menjadi saudara bagi anak susuan itu. Seluruh anak suami wanita yang menyusui baik dari wanita itu ataupun dari istri yang lain adalah saudara bagi anak susuannya. Seluruh saudara wanita yang menyusui dan saudara suaminya adalah paman bagi anak susuannya. Demikian pula Bapak wanita yang menyusui dan Bapak suaminya adalah kakek dia dan Ibu wanita yang menyusui serta ibu suaminya adalah nenek.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara kalian yang sesusu" [An-Nisa' : 23]
Serta sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesuatu diharamkan dengan sebab penyusuan sebagaimana apa-apa yang diharamkan oleh sebab nasab"
"Artinya : Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali dalam masa dua tahun".
Dan berdasarkan hadits dalam Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : "Adalah yang disyariatkan dalam Al-Qur'an dahulu sepuluh kali susuan yang jelas, menyebabkan ikatan kekerabatan. Kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan masalah tersebut tetap dengan keputusannya (lima kali susuan)". [Hadits ini diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi dengan lafazh sedemikian, sedangkan asalnya terdapat dalam Shahih Musim]
[Fatawa Da'wah Syaikh Bin Baz Juz I hal,206]
SEORANG LAKI-LAKI MENYUSU BERSAMA DENGAN SAUDARA LAKI-LAKI DARI SEORANG PEREMPUAN, BOLEHKAH IA MENIKAHI PEREMPUAN TERSEBUT ?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : " Ada dua orang perempuan bersaudara, yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki sedangkan yang lainnya mempunyai empat anak, tiga laki-laki dan satu wanita yang paling kecil. Anak dari perempuan yang pertama menyusu bersama dengan tiga anak laki-laki dari perempuan yang kedua, kecuali seorang anak perempuannya yang paling kecil. Bagaimana hukum pernikahan anak laki-laki dari perempuan yang pertama dengan anak wanita dari perempuan yang kedua yang mana ia tidak disusukan bersamanya?".
Jawaban.
Apabila anak laki-laki dari perempuan yang pertama itu menyusu bersama anak pertama, anak kedua dan anak ketiga dari perempuan kedua, atau bersama ketiganya sekaligus, lima kali susuan atau lebih di satu majlis ataupun lebih, maka ia menjadi anak susuan dari wanita kedua serta menjadi saudara dari semua anak-anaknya, baik mereka menyusu sebelum anak kecil tersebut ataupun sesudahnya. Dan tidak boleh bagi anak itu untuk menikah dengan putrid dari wanita kedua, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ibu-ibu kamu yang telah menyusukanmu dan saudara-saudara perempuanmu yang sesusuan (adalah haram bagimu)" [An-Nisa : 23]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Diharamkan (bagimu sesuatu yang) disebabkan oleh penyusuan segala apa yang diharamkan oleh sebab nasab" [Muttafaq 'alaih]
Dan jika penyusuannya kurang dari lima kali maka tidak berlaku pengharaman susuan tersebut, demikian pula jika umur anak yang disusukan tersebut lebih dari dua tahun. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya" [Al-Baqarah : 233]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Tidak ada penyusuan yang mengharamkan kecuali penyusuan yang dapat mengaliri usus sedangkan masa tersebut sebelum masa penyapihan"
Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata.
"Artinya : Adalah yang disyariatkan dalam Al-Qur'an dahulu sepuluh kali susuan yang jelas, menyebabkan ikatan kekerabatan. Kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan masalah tersebut tetap dengan keputusannya (lima kali susuan)" [Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dan At-Tirmidzi dalam kitab Jami'-nya dan ini lafazhnya]
Fatawa Da'wah Syaikh Bin Baz ]
Hukum Menyusukan Anak Dewasa Agar Menjadi Mahram
Pertanyaan
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Dalam kasus Salim maula Abi Huzaifah yang disusukan oleh istri Abu Huzaifah (agar menjadi mahram hingga dapat keluar masuk rumahnya dengan bebas, sementara dia telah menginjak dewasa,-pent) apakah kasus ini berlaku untuk Salim secara khusus atau dapat berlaku untuk seluruh orang ?.Jika seseorang memiliki anak angkat yang berumur sepuluh tahun memperlakukan anak tersebut sebagaimana kasus Salim, apakah hubungan kemahraman antara mereka merlaku juga? Bolehkah melaksanakan penyembelihan korban dengan niat dihadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal?
Jawaban
Sebelum menjawab yang pertama aku akan menjawab yang kedua. Seseorang yang telah meninggal tidak boleh disembelih untuknya Qurban (dengan niat agar disampaikan pahala untuknya). Sebab tidak ada dalil kuat yang mensyariatkannya. Intinya Sembelihan Qurban boleh di atasnamakan untuk keluarga yang masih hidup maupun yang telah meninggal secara umum, bukan dikhususkan hanya untuk seseorang yang telah meninggal.
Adapun kasus Salim Maula Abi Huzaifah, pendapat yang paling rajih/benar adalah qadiyah 'ain (kasus yang berlaku khusus untuknya). Perkara qodiyah 'a'yaan --yaitu kasus yang terjadi dengan orang-orang tertentu apakah juga dapat diberlakukan untuk umum atau tidak? Merupkan perkara khilafiyyah yang sengit dikalangan ulama.Perkataan Ulama Usul almuhaqqiqin dalam hal ini bahwa kasus yang berlaku terhadap orang tertentu diberlakukan juga untuk umum jika memiliki kondisi yang sama. Maka jika terdapat seseorang anak berumur sepuluh tahun yang terlantar dan disia-siakan?alangkah banyaknya kondisi anak-anak kaum muslimin yang seperti ini-- boleh bagi seorang wanita menyusuinya agar menjadi mahram baginya .
HUKUM JUAL BELI BARANG YANG TERDAPAT DIDALAMNYA GAMBAR
Pertanyaan.
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apakah hukum jual beli barang-barang yang terdapat di dalamnya gambar-gambar wanita ataupun binatang seperti sabun contohnya, jika gambar-gambarnya dicabut orang tidak akan membelinya ? Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?
Jawaban
Pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-persusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka. Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini yaitu dengan menolak-hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya..jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mengaramkan mengakui keberadan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sbagaimana dalam kaedah " Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah".
Adapun hukum menjual barang-barang yang bergambar, kita memiliki dua hal: pertama al-aslu( hukum asal jual beli) kedua az-zahir(yang nampak). Masalah yang wajib diketahui orang-orang sekarang adalah masalah al-aslu dan az-zahir, mana yang diutamakan jika keduanya bertentangan?. Jual beli sabun contohnya, hukum asalnya adalah halal, secara zahirnya dia haram karena ada gambarnya.Sebenarnya gambar independen/ terpisah dari sabun, sebab ketika anda membeli sebenarnya yang anda ingin beli adalah sabunnya bukan gambarnya, dan gambarnya akan dibuang dan dikoyak, oleh karena itu tidak ada masalah untuk membelinya dikembalikan kepada hukum asalnya.
HUKUM TRANSFUSI DARAH (DONOR DARAH) KEPADA ORANG KAFIR
Pertanyaan
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apa hukum tranfusi darah/donor darah kepada orang kafir atau menerima donor darah dari orang kafir?
Jawaban
Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata:" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan) . Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanta pelacur pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua ;maramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af'al bukan dengan zawat.Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru).
wallahu a'lam.
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Dalam kasus Salim maula Abi Huzaifah yang disusukan oleh istri Abu Huzaifah (agar menjadi mahram hingga dapat keluar masuk rumahnya dengan bebas, sementara dia telah menginjak dewasa,-pent) apakah kasus ini berlaku untuk Salim secara khusus atau dapat berlaku untuk seluruh orang ?.Jika seseorang memiliki anak angkat yang berumur sepuluh tahun memperlakukan anak tersebut sebagaimana kasus Salim, apakah hubungan kemahraman antara mereka merlaku juga? Bolehkah melaksanakan penyembelihan korban dengan niat dihadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal?
Jawaban
Sebelum menjawab yang pertama aku akan menjawab yang kedua. Seseorang yang telah meninggal tidak boleh disembelih untuknya Qurban (dengan niat agar disampaikan pahala untuknya). Sebab tidak ada dalil kuat yang mensyariatkannya. Intinya Sembelihan Qurban boleh di atasnamakan untuk keluarga yang masih hidup maupun yang telah meninggal secara umum, bukan dikhususkan hanya untuk seseorang yang telah meninggal.
Adapun kasus Salim Maula Abi Huzaifah, pendapat yang paling rajih/benar adalah qadiyah 'ain (kasus yang berlaku khusus untuknya). Perkara qodiyah 'a'yaan --yaitu kasus yang terjadi dengan orang-orang tertentu apakah juga dapat diberlakukan untuk umum atau tidak? Merupkan perkara khilafiyyah yang sengit dikalangan ulama.Perkataan Ulama Usul almuhaqqiqin dalam hal ini bahwa kasus yang berlaku terhadap orang tertentu diberlakukan juga untuk umum jika memiliki kondisi yang sama. Maka jika terdapat seseorang anak berumur sepuluh tahun yang terlantar dan disia-siakan?alangkah banyaknya kondisi anak-anak kaum muslimin yang seperti ini-- boleh bagi seorang wanita menyusuinya agar menjadi mahram baginya .
HUKUM JUAL BELI BARANG YANG TERDAPAT DIDALAMNYA GAMBAR
Pertanyaan.
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apakah hukum jual beli barang-barang yang terdapat di dalamnya gambar-gambar wanita ataupun binatang seperti sabun contohnya, jika gambar-gambarnya dicabut orang tidak akan membelinya ? Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?
Jawaban
Pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-persusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka. Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini yaitu dengan menolak-hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya..jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mengaramkan mengakui keberadan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sbagaimana dalam kaedah " Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah".
Adapun hukum menjual barang-barang yang bergambar, kita memiliki dua hal: pertama al-aslu( hukum asal jual beli) kedua az-zahir(yang nampak). Masalah yang wajib diketahui orang-orang sekarang adalah masalah al-aslu dan az-zahir, mana yang diutamakan jika keduanya bertentangan?. Jual beli sabun contohnya, hukum asalnya adalah halal, secara zahirnya dia haram karena ada gambarnya.Sebenarnya gambar independen/ terpisah dari sabun, sebab ketika anda membeli sebenarnya yang anda ingin beli adalah sabunnya bukan gambarnya, dan gambarnya akan dibuang dan dikoyak, oleh karena itu tidak ada masalah untuk membelinya dikembalikan kepada hukum asalnya.
HUKUM TRANSFUSI DARAH (DONOR DARAH) KEPADA ORANG KAFIR
Pertanyaan
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apa hukum tranfusi darah/donor darah kepada orang kafir atau menerima donor darah dari orang kafir?
Jawaban
Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata:" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan) . Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanta pelacur pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua ;maramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af'al bukan dengan zawat.Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru).
wallahu a'lam.
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...