Searching

Hukum Meremehkan Syari'at Allah Dan Keengganan Untuk Menerapkannya

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Banyak di antara kaum muslimin yang meremeh-remehkan dalam hal berhukum kepada selain syari'at Allah; sebagian berkeyakinan bahwa sikap meremeh-remehkan tersebut tidak berpengaruh terhadap komitmen keislamannya. Sebagian yang lain malah menganggap boleh-boleh saja berhukum kepada selain syari'at Allah dan tidak peduli dengan implikasinya. Bagaimana pendapat yang haq dalam masalah ini?

Jawaban:
Masalah ini harus dirinci, yaitu barangsiapa yang berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah sementara dia mengetahui bahwa wajib baginya berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dan dengan perbuatannya itu, dia telah melanggar syari'at akan tetapi dia menganggap boleh hal itu dan memandangnya tidak apa-apa melakukannya dan juga boleh saja hukumnya berhukum kepada selain syari'at Allah; maka orang seperti ini hukumnya adalah kafir dengan kekufuran Akbar menurut seluruh ulama, seperti berhukum kepada undang-undang buatan manusia, baik oleh kaum Nashrani, Yahudi ataupun orang-orang selain mereka yang mengklaim bahwasanya boleh berhukum dengannya, bahwa ia adalah lebih utama ketimbang hukum Allah, bahwa ia sejajar dengan hukum Allah atau mengklaim bahwa manusia

diberi pilihan; bila menginginkan, dia boleh berhukum kepada al-Qur'an dan As-Sunnah dan bila dia menginginkan, boleh berhukum kepada undang-undang buatan manusia tersebut. Jadi, barangsiapa berkeyakinan demikian, maka dia telah berbuat kekufuran menurut ijma’ para ulama sebagaimana yang telah dikemukakan tadi.

Adapun orang yang berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah karena dorongan hawa nafsu atau keuntungan sesaat sementara dia mengetahui bahwa dengan perbuatan itu telah berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya, bahwa dia telah melakukan kemungkaran yang besar dan yang wajib atasnya adalah berhukum kepada syari'at Allah; maka dia tidak berbuat kekufuran yang besar tersebut akan tetapi dia telah melakukan suatu kemungkaran dan maksiat yang besar serta kekufuran kecil sebagaimana pendapat Ibn Abbas, Mujahid dan ulama selain keduanya. Dia telah melakukan kekufuran di bawah kekufuran (Kufr duna Kufr) dan kezhaliman di bawah kezhaliman dan kefasikan di bawah kefasikan, bukan kekufuran akbar. Inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam beberapa ayat berikut:

"Artinya : Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. " [Al-Ma’idah : 49]


"Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." [Al-Ma’idah : 44]

"Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim "[Al-Ma’idah : 45]

"Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik."[Al-Ma’idah : 47]

"Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya"[An-Nisa : 65]

"Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?" [Al-Ma’idah : 50]

Jadi, hukum Allah lah yang merupakan hukum paling baik, yang wajib diikuti dan dengannya tercipta keshalihan umat dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat serta keshalihan alam semesta ini akan tetapi kebanyakan makhluk lalai dari realitas ini.

Kepada Allah lah kita tempat memohon pertolongan, tiada daya dan kekuatan kecuali kepada Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.

[Majmu' Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah, dari fatwa Syaikh Ibn Baz]

HUKUM TERLALU BERSEMANGAT YANG MENGARAH KEPADA SIKAP EKSTREM

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada sebagian para pemuda yang terlalu bersemangat melebihi yang sepatutnya dan mengarah kepada sikap ekstrem, apa nasehat anda terhadapnya?

Jawaban:
Para pemuda dan selain mereka wajib berhati-hati sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan, ekstremisme dan ghuluw. Hal ini berdasarkan firman Allah,

"Artinya : Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu'." [Al-Ma’idah : 77]

Demikian juga firmanNya,

"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu "[Ali Imran : 159]

Dan firmanNya kepada Musa, dan Harun, ketika Dia mengutus keduanya menghadap Fir'aun,

"Artinya : Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." [Thaha : 44]

Di dalam hadits Nabi, Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

"Artinya : Sungguh telah binasalah orang-orang yang melampaui batas."

Beliau mengucapkan hal ini hingga tiga kali.[1]

Dalam sabdanya yang lain,

"Artinya : Berhati-hatilah kamu terhadap tindakan ghuluw (melampaui batas)
di dalam agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah tindakan ghuluw di dalam agama."[2]

Oleh karena itu, saya berwasiat kepada seluruh da'i agar tidak terjerumus ke dalam sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas (ghuluw). Hendaknya mereka bersikap pertengahan, yaitu berjalan di atas manhaj Allah dan hukum KitabNya dan Sunnah RasulNya.

Hukum Bangkai

PENGERTIAN BANGKAI.
Bangkai dalam bahasa Arab disebut Al Mayyitah. Pengertiannya, yaitu yang mati tanpa disembelih [1] Sedangkan menurut pengertian para ulama syari'at, Al Mayyitah (bangkai) adalah hewan yang mati tanpa sembelihan syar'i, dengan cara mati sendiri tanpa sebab campur tangan manusia. Dan terkadang dengan sebab perbuatan manusia, jika dilakukan tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang diperbolehkan [2].

Dengan demikian definisi bangkai mencakup:
[a]. Yang mati tanpa disembelih, seperti kambing yang mati sendiri.
[b]. Yang disembelih dengan sembelihan tidak syar'i, seperti kambing yang disembelih orang musyrik
[c]. Yang tidak menjadi halal dengan disembelih, seperti babi disembelih seorang muslim sesuai syarat penyembelihan syar'i. [3]

Para ulama berpendapat, anggota tubuh (daging) yang dipotong dari hewan yang masih hidup, masuk dalam kategori bangkai, dengan dasar sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Semua yang dipotong dari hewan dalam keadaan masih hidup adalah bangkai”[4] Dengan demikian hukumnya sama dengan hukum bangkai.

NAJISNYA BANGKAI.
Menilik keadaan hewan bangkai, maka dibagi menjadi tiga bagian:

[1]. Yang ada diluar kulit, seperti bulu dan rambutnya serta sejenisnya.
Hukumnya suci tidak najis [5] , didasarkan pada firman Allah :

“Artinya : Dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)” [Al Nahl : 80]

Ayat ini bersifat umum, yakni meliputi hewan yang disembelih dan tidak disembelih. Allah juga menyampaikan ayat ini untuk menjelaskan karuniaNya terhadap hambaNya yang menunjukkan kehalalannya.[6]

[2]. Bagian bawah kulitnya seperti daging dan lemak.
Hukumnya najis secara ijma' [7] dan tidak dapat disucikan dengan disamak [8]. Berdasarkan firman Allah Ta'ala.

“Artinya : Katakanlah:"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah".[Al An'am :145]

Dikecualikan dalam hal ini, yaitu.

[a]. Bangkai ikan dan belalang, didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa. [HR Ibnu Majah dan dishohihkan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shohihah]

[b]. Bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat, lebah, semut dan sejenisnya, didasarkan kepada sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Apabila seekor lalat hinggap di minuman salah seorang kalian, maka hendaknya ia menenggelamkannya kemudian membuangnya, Karena, pada salah satu dari kedua sayapnya terdapat penyakit dan pada (sayap) yang lainnya (terdapat) obatnya (penawar)” [HR Al Bukhori no. 3320]

[c]. Tulang, tanduk dan kuku bangkai. Ini semuanya suci sebagaimana dijelaskan Imam Al Bukhori dari Al Zuhri tentang tulang bangkai, seperti gajah dan lainnya, dengan sanad mu'allaq dalam shohih Al Bukhori .

Imam Al Zuhri menyatakan : “Aku telah menemui sejumlah orang dari ulama salaf menggunakannya sebagai sisir dan berminyak dengannya, Mereka memperbolehkannya” [9]

[d]. Bangkai manusia dengan dasar sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Maha suci Allah Sesungguhnya seorang muslim itu tidak najis” [HR Al-Bukhori]

Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyah berkata : “(Pengertian) ini umum mencakup yang hidup dan yang mati.”. Imam Al-Bukhori berkata, Ibnu Abas berkata : ”Seorang muslim itu tidak najis, baik masih hidup atau setelah mati” Imam Al-Bukhari juga membuat bab dalam kitab Shahih Bukhari, yaitu bab yang menerangkan bahwa muslim itu tidak najis. [10]

Adapun tubuh orang kafir terjadi perselisihan tentang kesuciannya. Yang rojih, yaitu pendapat mayoritas ulama yang menyatakan kesuciannya, berdasarkan dibolehkannya menikahi wanita Ahlu Kitab ; padahal jelas akan bersentuhan dan tida dapat dielakkan, khususnya ketika berhubungan badan. Adapun firman Allah :

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” [At-taubah : 28]. Maka, najis di sini karena keyakinan dan jorok mereka. Wallahu A'lam.

[3]. Kulitnya.
Hukum najisnya mengikuti hukum bangkainya. Apabila bangkai hewan tersebut suci maka kulitnyapun suci dan bila tersebut najis, maka kulitnyapun najis. Diantara contoh yang suci adalah ikan dengan dasar firman Allah.

“Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” [Al-Maidah : 96]

Ibnu Abas menyatakan: ‘shoydul bahri” adalah yang diambil hidup-hidup dan “wa tho’amuhu” adalah yang diambil sudah mati. Sehingga kulitnya pun suci[11]

HUKUM MEMAKAN BANGKAI.
Syariat islam telah mengharamkan memakan bangkai. Dasar pengharaman bangkai ini, terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah.

Pengharaman bangkai dalam Al Qur'an ada dalam beberapa ayat, diantaranya.

Firman Allah:

“Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah” [Al Baqarah :173]

“Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” [Al Maidah : 3]

“Artinya : Katakanlah:"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah". [Al An'am :145]

Adapun di dalam Sunnah Rasululloh, adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata.

“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati seekor bangkai kambing yang diberikan dari shodaqah untuk Maula (bekas budak) milik Maimunah lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mengapa tidak kalian manfaatkan kulitnya?”. Mereka menjawab. “ Ini adalah bangkai”. Beliau bersabda : “Yang diharamkan hanyalah memakannya” [Muttafaqun 'Alaihi]

Oleh karena itu kaum muslimin sepakat tentang larangan memakan bangkai dalam keadaan tidak darurat. [12]

YANG DIHALALKAN DARI BAGKAI
Semua hukum memakan bangkai diatas berlaku pada semua bangkai kecuali dua jenis.

[1]. Bangkai hewan laut.
Berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” [Al-Maidah : 96]

Dan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi.

“Artinya : Seseorang bertanya kepada Rasulullah searaya berkata : “Wahai Rasululloh! Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Apabila kami berwudhu dengannya (air itu), maka kami kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi was allam menjawab : “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” [HR Sunan Al Arba'ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan dishohihkan Al Albani dalam Al Irwa' no.9 dan Silsilah Al Ahadits Al Shohihah no. 480]

Juga sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

ÃõÍöáøóÊú áóßõãú ãóíúÊóÊóÇäö æóÏóãóÇäö ÝóÃóãøóÇ ÇáúãóíúÊóÊóÇäö ÝóÇáúÍõæÊõ æóÇáúÌóÑóÇÏõ æóÃóãøóÇ ÇáÏøóãóÇäö ÝóÇáúßóÈöÏõ æóÇáØøöÍóÇáõ

“Artinya : Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa”

Hal ini dikuatkan dengan perbuatan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang memakan bangkai ikan yang ditemukan dipantai, sebagaimana dijelaskan Jabir dalam pernyataan beliau.

ÛóÒóæúäóÇ ÌóíúÔó ÇáúÎóÈóØö æóÃõãøöÑó ÃóÈõæ ÚõÈóíúÏóÉó ÝóÌõÚúäóÇ ÌõæÚðÇ ÔóÏöíÏðÇ ÝóÃóáúÞóì ÇáúÈóÍúÑõ ÍõæÊðÇ ãóíøöÊðÇ áóãú äóÑó ãöËúáóåõ íõÞóÇáõ áóåõ ÇáúÚóäúÈóÑõ ÝóÃóßóáúäóÇ ãöäúåõ äöÕúÝó ÔóåúÑò ÝóÃóÎóÐó ÃóÈõæ ÚõÈóíúÏóÉó ÚóÙúãðÇ ãöäú ÚöÙóÇãöåö ÝóãóÑøó ÇáÑøóÇßöÈõ ÊóÍúÊóåõ ÝóáóãøóÇ ÞóÏöãúäóÇ ÇáúãóÏöíäóÉó ÐóßóÑúäóÇ Ðóáößó áöáäøóÈöíøö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÝóÞóÇáó ßõáõæÇ ÑöÒúÞðÇ ÃóÎúÑóÌóåõ Çááøóåõ ÃóØúÚöãõæäóÇ Åöäú ßóÇäó ãóÚóßõãú ÝóÃóÊóÇåõ ÈóÚúÖõåõãú ÝóÃóßóáóåõ

“Artinya : Kami berperang pada pasukan Al Khobath [13] Dan yang menjadi amir (panglima) adalah Abu Ubaidah, lalu kami merasa sangat lapar. Tiba-tiba lautan melempar bangkai ikan yang tidak pernah kami lihat sebesar itu, dinamakan ikan Al-Anbar (paus). Kamipun memakan ikan tersebut selama setengah bulan. Lalu Abu Ubaidah memasang salah satu tulangnya, lalu orang berkendaraan dapat lewat dibawahnya. Ketika sampai di Madinah, kami sampaikan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: Makanlah! Itu rizki yang dikaruniakan Allah. Berilah untuk kami makan bila (sekarang) masih ada bersama kalian”. Lalu sebagian mereka menyerahkannya dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya” [HR Al-Bukhori dan Muslim]

[2]. Belalang.
Berdasarkan pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi.

“Artinya : Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa”

Hal inipun didukung oleh perbuatan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang memakan belalang seperti dikisahkan Abdullah bin Abi 'Aufa.

“Artinya : Kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh atau enam peperangan. Kami memakan belalang bersama beliau” [HR Al Jamaah kecuali Ibnu Majah]

Demikian juga para ulama sepakat membolehkan memakan belalang.

HUKUM MENJUAL BANGKAI
Syari'at Islam melarang menjual bangkai, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

“Artinya : Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan jual beli khomr (minuman keras), bangkai, babi dan patung berhala. Lalu ada yang berkata : “Wahai Rasululloh! Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat (mendempul) perahu, meminyaki kulit dan untuk bahan bakar lampu”. Maka beliau menjawab : Tidak boleh! Itu haram”. Kemudian Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika itu : Semoga Alah mencelakakan orang Yahudi, Sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya, lalu mereka meleburnya (menjadi minyak) kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya” [HR Al Jama'ah]

Larangan ini bersifat umum pada semua bangkai, termasuk manusia, kecuali hewan laut dan belalang. Larangan menjual bangkai manusia mencakup muslim dan kafir. Oleh karena itu Imam Al-Bukhari menulis sebuah bab dalam kitab shohihnya dengan judul: Bab Thorhu Jaif Al-Musyrikin Wala Yu'khodz Lahum Tsaman. Yaitu bab yang menjelaskan membuang bangkai orang-orang musyrikin dan tidak mengambil untuknya tebusan harta.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap bab ini, bahwa pernyataan Imam Al-Bukhori : “Tidak mengambil untuknya tebusan harta”, (ini) mengisyaratkan kepada hadits Ibnu Abas yang berbunyi:


“Artinya : Sungguh kaum musyrikin ingin membeli jasad seorang musyrik, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam enggan menjualnya kepada mereka” [HR Al Tirmidzi dan selainnya] [14] .

Adapun Ibnu Ishaaq dalam kitab Al Maghazi menyebutkan

“Artinya : Sungguh kaum musyrikin meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjual kepada mereka jasad Naufal bin Abdillah bin Al Mughiroh. Ia dulu ikut menyerang Khondak.’, Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak butuh dengan nilai harganya dan tidak juga jasadnya”

Ibnu Hisyam berkata, “ Telah sampai kepada kami dari Az-Zuhri, bahwa mereka telah mengeluarkan sepuluh ribu untuk itu”

Imam Bukhori mengambil sisi pendalilan atas hadits bab dari sisi adat menguatkan, bahwa menjadikan hadits diatas sebagai dalil dalam bab ini lantaram berdasarkan kebiasaan bahwa kelurda orang Kafir terbunuh dalam perang Badr, seandainya mengetahui uang tebusan mereka akan diterima untuk mendapatkan jasad-jasad mereka (yang terbunuh), tentu mereka akan mengeluarkan sebanyak mungkin untuk itu. Ini sebagai penguat atas hadits Ibnu Abas walaupun sanadnya tidak kuat.[15]

HIKMAH PENGHARAMAN BANGKAI [16].
Sebagian ulama menyampaikan beberapa hikmah pengharaman bangkai, diantaranya:
[1]. Pada umumnya, bangkai itu berbahaya karena mati,sakit, lemah atau karena mikroba, bakteri dan virus serta sejenisnya yang mengeluarkan racun. Terkadang mikroba penyakit bertahan hidup dalam bangkai tersebut cukup lama.

[2]. Tabiat manusia menolaknya dan menganggapnya jijik dan kotor

[3]. Adanya darah jelek yang tertahan tidak keluar yang tidak keluar dan tidak hilang kecuali dengan sembelihan syar'i.

Demikian, berkaitan dengan hukum bangkai, mudah-mudahan membuat kita semakin berhati-hati dalam memilih makanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Al-Mu’minun : 51]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu …”.
-----------------------------------------------------------------------------
[1]. Lihat, Al Qamus Al Muhieth, Al Fairuzzabadi, tahqiq Muhammad Na'im AL 'Urqususi,, Muassasah Al Risalah, Bairut.
[2]. Al Ath'imah Wa Ahkaam Al Shoid Wal DZabaa'ih, DR. Sholeh bin Abdillah Al Fauzan, cetakan kedua tahun 1419H, Maktabah Al Ma'arif, Riyadh
[3]. Catatan penulis dari keterangan Syeikhuna Abdulqayyum bin Muhammad Al Syahibani dalam pelajaran Hadits diFakultas hadits, universitas islam Madinah tanggal 13 Jumadal Ula.
[4]. HR Abu Daud dan Ibnu Majah dan dishohihkan Al Albani dalam shohih sunan Abu Daud
[5]. Syarhul Mumti' 'Ala Zaad Al Mustaqni', Syeikh Ibnu Utsaimin, tahqiq DR. Kholid Al Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khoil,Muassasatu Aasaam.
[6]. Catatan penulis dari keterangan SyeikhUNA Abdul Qayyum. Bin Muhammad Syahibani
[7]. Shohih Fiqhus Sunnah, Abu Malik Kamal bin Al Sayyid Saalim, tanpa tahun, Al maktabah Al Taufiqiyah, Kairo, Mesir.
[8]. Syarhul Mumti'
[9]. Shohih fiqhus Sunnah .
[10]. Lihat Nailul Author bi Syarhil Muntaqa lil Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut.
[11]. Syarhul Mumtu'
[12]. Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiqi Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, Dar Hajar.
[13]. Dinamakan demikian karena mereka memakan dedaunan yang gugur dari pohonnya
[14]. Didhoifkan Syeikh Al Albani dalam Dho'if sunan Al tirmidzi
[15]. Fathul Baari Syarah Shohih Al Bokhori, Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Maktabah Al Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun
[16]. Lihat Al Ath'imah karya Syeikh Sholeh Al-Fauzan

Luqathah, Harta Yang Hilang Dari Tangan Pemiliknya

Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain.

Barang yang tercecer ada tiga jenis.

1. Jenis pertama barang yang tidak terlalu menarik minat manusia, seperti cambuk dan serpihan roti atau sejenisnya. Jenis temuan ini dapat langsung dipungut dan dimiliki tanpa harus mengumumkannya.

2. Barang yang tercecer yang tidak boleh dipungut, karena dapat menjaga dirinya, seperti anak binatang buas semacam biawak, atau yang kuat seperti unta dan lembu. Barang temuan jenis ini tidak boleh dipungut dan dimiliki.

3. Selain jenis di atas, yaitu yang disyaratkan dipungut yang tujuannya untuk menjaganya untuk kepentingan pemiliknya. Dalam hal ini ada beberapa hukum seperti yang disebutkan dalam hadits berikut.

“Artinya : Dari Zaid bin Khalid Al-Juhanny Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang menemukan emas atau perak yang tercecer. Maka beliau menjawab, ‘Umumkanlah beserta wadah dan talinya, kemudian umumkanlah selama setahun. Jika tidak ada yang mengambilnya, maka gunakanlah ia dan hendaklah dianggap sebagai barang titipan. Jika pada saat tertentu orang yang mencarinya datang, maka serahkanlah ia kepadanya’. Beliau juga ditanya tentang unta yang tersesat. Maka beliau bertanya, ‘Apa urusanmu dengan unta itu? Biarkan ia, karena ia mempunyai sepatu dan kantong air, ia dapat menghampiri sumber air dan memakan pepohonan, hingga pemiliknya menemukannya’. Beliau juga ditanya tentang kambing. Maka beliau menjawab, ‘Ambillah ia, karena ia menjadi milikmu atau milik saudaramu atau milik srigala”.

MAKNA GLOBAL
Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum harta yang tercecer dari pemiliknya, berupa emas, perak, unta dan kambing. Maka beliau menjelaskan hukum untuk masing-masing barang ini, agar dapat menjadi contoh bagi barang-barang lain yang semisal dan yang hilang atau tercecer, sehingga dapat diambil hukumnya.

Beliau bersabda tentang emas dan perak.”Umumkan tali yang digunakan untuk mengikatnya dan juga wadah yang menjadi tempat emas atau perak itu, sehingga dapat di cek antara orang yang datang sebagai pemilik dan orang yang datang hanya mengaku-ngaku, karena toh engkau sudah mengetahui isinya. Jika dia menyebutkan ciri-cirinya secara tepat maka engkau dapat memberikannya kepadanya. Jika ciri-ciri yang disebutkannya tidak tepat, berarti dia hanya mengaku-ngaku”.

Beliau juga memerintahkan orang yang menemukan emas atau perak yang tercecer itu untuk mengumumkannya selama setahun penuh semenjak ia ditemukan. Pengumuman ini disampaikan di tempat-tempat umum, seperti di masjid, di pintu masjid dan tempat-tempat pertemuan umum dan juga di tempat barang ditemukan.

Setelah diumumkan selama setahun namun pemiliknya tidak menampakkan diri, maka emas atau perak itu boleh digunakan. Jika pada saat tertentu pemiliknya datang, maka ia harus diberikan kepadanya.

Adapun untuk unta dan sejenisnya, yang dapat menjaga hidupnya sendiri, maka tidak boleh dipungut, karena ia tidak perlu dipelihara. Dengan tabiatnya ia dapat menjaga diri, karena di dalam tubuhnya terdapat kekuatan untuk mejaga dirinya sendiri, termasuk pula anak binatang buas. Kaki unta memungkinkannya menempuh padang, dengan lehernya yang panjang ia dapat memakan pepohonan dan mengambil air. Di dalam tubuhnya terdapat cadangan makanan, sehingga dia dapat menjaga dirinya hingga pemiliknya menemukannya, yang dapat dia cari di sekitar tempat hilangnya.

Adapun kambing yang tersesat atau sejenisnya dari binatang-binatang yang kecil tubuhnya, maka beliau memerintahkan untuk mengambilnya, agar tidak mati dan tidak dimangsa binatang buas. Setelah memungutnya dia dapat mengantarnya ke pemiliknya atau dia dapat membawanya di tempat-tempat pengumuman, sehingga dapat diketahui pemiliknya.

KESIMPULAN HADITS
1. Siapa yang mendapatkan harta yang hilang atau tercecer dari pemiliknya, dianjurkan untuk mengambilnya dengan tujuan untuk menjaganya dari kerusakan dan kematian, apalagi untuk barang yang tidak mampu memelihara dirinya. Anjuran ini merupakan pendapat yang paling kuat.

2. Orang yang menemukan harus mengumumkan tali, wadah atau jenisnya, untuk membedakan pemilik yang sesungguhnya dengan orang yang mengaku-ngaku. Caranya ialah dengan mengecek ciri-ciri yang harus disebutkan oleh pemiliknya. Hal ini dimaksudkan agar barang yang tercecer itu benar-benar kembali kepada pemilik sesungguhnya.

3. Mengumumkannya selama setahun penuh di tempat-tempat ramai, di pintu-pintu masjid, di pasar di tempat-tempat pertemuan atau di tempat ditemukan, karena itu merupakan tempat pertama yang akan dukunjungi pemiliknya, atau menyampaikannya kepada instansi-instansi terkait, seperti kantor polisi. Untuk zaman sekarang, dapat diumumkan di surat kabar, radio dan televisi, jika merupakan barang temuan yang sangat penting.

4. Jika tetap tidak dikenali pemiliknya selama setahun, barang dapat dipergunakan tapi tetap harus siap diberikan kepada pemiliknya, dengan ganti rugi yang serupa atau senilai, kalau memang dapat dinilai.

5. Jika setahun sudah berlalu namun tidak dikenali siapa pemiliknya, maka orang yang menemukannya dapat memilikinya dengan suatu kepemilikan karena tidak ada pilihan lain dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hatinya seperti diwariskan. Jika pemiliknya datang, maka harus diberikan ganti ruginya, atau diserahkan apa adanya kalau memang barangnya masih ada dan masih utuh.

6. Jika pemiliknya datang meskipun setelah berlalu sekian lama dan dia dapat menyebutkan ciri-cirinya secara cermat, maka barang yang tercecer itu tetap harus dikembalikan kepadanya. Untuk pengembaliannya, pemilik dapat menyebutkan ciri-cirinya dan tidak perlu saksi, karena ciri-ciri yang disebutkannya sudah cukup sebagai bukti keterangan, dan bukti keterangan inilah yang paling menjelaskan kebenaran dan yang paling nyata. Penyebutan ciri-cirinya sudah cukup untuk hal ini. Ini merupakan kaidah yang bersifat umum dalam segala keadaan. Tak seorangpun ulama yang menentang hal ini.

7. Unta yang tersesat dan lepas, yang dengan kekuatannya ia dapat menjaga kelangsungan hidupnya, atau binatang apapun yang dapat berjalan, berlari atau terbang, maka tidak boleh dipungut, karena dengan tabiat yang dijadikan Allah pada dirinya, dapat menjaga dirinya dan kelangsungan hidupnya. Tapi jika unta berada di tempat yang sekiranya membahayakan dirinya, maka ia dapat diselamatkan dan tidak dimaksudkan untuk memungutnya.

8. Adapun untuk kambing, yang lebih baik setelah mengambilnya ialah memberinya makanan yang dibutuhkannya, atau menjualnnya dan menyimpan hasil penjualannya, atau tetap menahannya selama masa pengumumannya. Meninggalkannya tanpa memungutnya, sama dengan membiarkannya binasa. Jika pemiliknya datang, maka kambing itu dapat diserahkan kepadanya atau nilai penjualannya kalau memang sudah dijual. Jika pemiliknya tidak datang, maka ia mejadi milik orang yang menemukannya.

Hukum Ucapan Sesungguhnya Allah Berada Di Setiap Tempat (Di Mana-Mana)

Sesuai dengan manhaj Ahlus Sunah wal Jama’ah adalah bahwa Allah Ta’ala berada di langit, di Arasy, di atas seluruh makhluk-Nya dan ilmu-Nya meliputi semua tempat sebagaimana yang di dukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dan ijma ulama Salaf. Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman

“Artinya : Sesungguhnya Rabb, kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa , lalu Dia bersemayam di atas Arsy” [Al-A’raf : 54]

Hal ini ditegaskan oleh Allah dengan mengulang-ulangnya dalam enam ayat yang lain dalam kitab-Nya.

Makna istiwa menurut Ahlus Sunnah adalah tinggi dan naik di atas Arasy sesuai dengan keagungan Allah Ta’ala, tidak ada yang mengetahui caranya selan-Nya. Hal ini sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini.

“(Yang namanya) Istiwa itu sudah dimaklumi sedangkan caranya tidak diketahui, beriman dengannya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”.

Yang dimaksud oleh beliau adalah bertanya tentang bagaimana caranya. Ucapan semakna berasal pula dari syaikh beliau, Rabi’ah bin Abdurrahman. Demikian juga sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha. Ucapan semacam ini adalah pendapat seluruh Ahlus Sunnah, para sahabat dan para tokoh ulama Islam setelah mereka.

Allah telah menginformasikan dalam ayat-ayat yang lain bahwa Dia berada di langit dan di ketinggian, seperti dalam firman-firman-Nya.

“Artinya : Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Ghafir : 12]

“Artinya : Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih di naikkan-Nya” [Fathir : 10]

“Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Al-Baqarah : 255]

“Artinya : Apakah kamu merasa terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan megirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku” [Al-Mulk : 16-17]

Allah telah menjelaskan secara gamblang dalam banyak ayat di dalam kitab-Nya yang mulia bahwa Dia berada di langit, di ketinggian dan hal ini selaras dengan inidikasi ayat-ayat seputar istiwa.

Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan ahli bid’ah bahwa Allah Ta’ala berada di setiap tempat (di mana-mana) tidak lain adalah sebatil-batil perkataan. Ini pada hakikatnya adalah madzhab Al-Hulul (semacam re-inkarnasi,-penj) yang diada-adakan dan sesat bahkan merupakan kekufuran dan pendustaan terhadap Allah Ta’ala serta pendustaan terhadap Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana secara shahih bersumber dari beliau menyatakan bahwa Rabb-nya berada di langit, seperti sabda beliau.

“Artinya : Tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku ini adalah amin (orang kepercayaan) Dzat Yang berada di langit?” [1]

Demikian pula yang terdapat di dalam hadits-hadits tentang Isra dan Mi’raj serta selainnya.


HUKUM ORANG YANG MENGATAKAN : SESUNGGUHNYA ALLAH BERADA DI SETIAP TEMPAT (DI MANA-MANA)

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang ucapan sebagian orang bila dtanya, Di mana Allah? Lalu mereka menjawab : Allah berada di setiap tempat ( di mana-mana) atau –hanya menyebutkan- Allah itu ada. Apakah jawaban seperti ini dinyatakan benar secara mutlaq (tanpa embel-embel)?

Jawaban
Jawaban semacam itu adalah jawaban yang batil baik secara mutlaq ataupun dengan embel-embel. Bila anda ditanya, Di mana Allah?, maka jawablah : Allah berada di langit, sebagaimana jawaban yang diberikan oleh seorang wanita ketika ditanya oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu, lantas dia menjawab, Dia berada di langit.

Sedangkan orang yang hanya mengatakan, Allah itu ada, ini jawaban menghindar dan mengelak (berkelit lidah) semata.

Adapun terhadap orang yang mengatakan, Sesungguhnya Allah berada di setiap tempat (di mana-mana), bila yang di maksud dzat-Nya, maka ini adalah kekufuran sebab merupakan bentuk pendustaan terhadap nash-nash yang menekankan hal itu. Justru dalil-dalil sam’iy (Al-Qur’an dan hadits), logika serta fitrah menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi di atas segala sesuatu dan di atas lelangit, beristiwa di atas Arasy-Nya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Maghazy, Shahih Muslim, kitab Az-Zakah

Zina : Dosanya, Hukumannya Di Dunia Dan Di Akhirat


Zina adalah dosa yang sangat besar dan sangat keji serta seburuk-buruk jalan yang ditempuh oleh seseorang berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)” [Al-Israa : 32]

Para ulama menjelaskan bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Janganlah kamu mendekati zina”, maknanya lebih dalam dari perkataan : “Janganlah kamu berzina” yang artinya : Dan janganlah kamu mendekati sedikit pun juga dari pada zina [1]. Yakni : Janganlah kamu mendekati yang berhubungan dengan zina dan membawa kepada zina apalagi sampai berzina. [2]

Faahisah فَاحِشَةً = maksiat yang sangat buruk dan jelek
Wa saa’a sabiila وَسَاءَ سَبِيلًا = karena akan membawa orang yang melakukannya ke dalam neraka.

Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa zina termasuk Al-Kabaa’ir (dosa-dosa besar) berdasarkan ayat di atas dan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


“Artinya : Apabila seorang hamba berzina keluarlah iman [3] darinya. Lalu iman itu berada di atas kepalanya seperti naungan, maka apabila dia telah bertaubat, kembali lagi iman itu kepadanya” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud no. 4690 dari jalan Abu Hurairah]

Berkata Ibnu Abbas. : “Dicabut cahaya (nur) keimanan di dalam zina” [Riwayat Bukhari di awal kitab Hudud, Fathul Bari 12:58-59]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak akan berzina seorang yang berzina ketika dia berzina padahal dia seorang mukmin. Dan tidak akan meminum khamr ketika dia meminumnya padahal dia seorang mukmin. Dan tidak akan mencuri ketika dia mencuri padahal dia seorang mukmin. Dan tidak akan merampas barang yang manusia (orang banyak) melihat kepadanya dengan mata-mata mereka ketika dia merampas barang tersebut pada dia seorang mukmin” [Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim]

Maksud dari hadits yang mulia ini ialah :
Pertama : Bahwa sifat seorang mukmin tidak berzina dan seterusnya.
Kedua : Apabila seorang mukmin itu berzina dan seterusnya maka hilanglah kesempurnaan iman dari dirinya”[4]

Di antara sifat “ibaadur Rahman” [5] ialah : ‘tidak berzina’. Maka apabila seorang itu melakukan zina, niscaya hilanglah sifat-sifat mulia dari dirinya bersama hilangnya kesempurnaan iman dan nur keimannya. [6]

Setelah kita mengetahui berdasarkan nur Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa zina termasuk ke dalam Al-Kabaair (dosa-dosa besar) maka akan lebih besar lagi dosanya apabila kita melihat siapa yang melakukannya dan kepada siapa?

Kalau zina itu dilakukan oleh orang yang telah tua, maka dosanya akan lebih besar lagi berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Ada tiga golongan (manusia) yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih, yaitu ; Orang tua yang berzina, raja yang pendusta (pembohong) dan orang miskin yang sombong” [Hadits shahih riwayat Muslim dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diatas]

Demikian juga apabila dilakukan oleh orang yang telah nikah atau pernah merasakan nikah yang shahih baik sekarang ini sebagai suami atau istri atau duda atau janda, sama saja, dosanya sangat besar dan hukumannya sangat berat yang setimpal dengan perbuatan mereka, yaitu didera sebanyak seratus kali kemudian di rajam sampai mati atau cukup di rajam saja. Adapun bagi laki-laki yang masih bujang atau dan anak gadis hukumnya didera seratus kali kemudian diasingkan (dibuang) selama satu tahun. Dengan melihat kepada perbedaan hukuman dunia maka para ulama memutuskan berbeda juga besarnya dosa zina itu dari dosa besar kepada yang lebih besar dan sebesar-besar dosa besar. Mereka melihat siapa yang melakukannya dan kepada siapa dilakukannya.

Kemudian, kalau kita melihat kepada siapa dilakukannya, maka apabila seorang itu berzina dengan isteri tetangganya, masuklah dia kedalam sebesar-besar dosa besar (baca kembali haditsnya di fasal kedua dari jalan Ibnu Mas’ud). Dan lebih membinasakan lagi apabila zina itu dilakukan kepada mahramnya seperti kepada ibu kandung, ibu tiri, anak, saudara kandung, keponakan, bibinya dan lain-lain yang ada hubungan mahram, maka hukumannya adalah bunuh. [7]

Setelah kita mengetahui serba sedikit tentang zina [8], dan dosanya, hukumannya di dunia di dalam syari’at Allah dan adzabnya di akhirat yang akan membawa para penzina terpanggang di dalam neraka, sekarang tibalah bagi kami untuk mejelaskan pokok permasalahan di dalam fasal ini yaitu hamil di luar nikah dan masalah nasab anak. Dalam fasal ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya, maka kami berkata:
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Tafsir Al-Qurthubiy.
[2]. Tafsir Ruhul Ma’aaniy Al-Imam Al-Aluwsiy Al-Baghdadi. Tafsir Bahrul Muhith.
[3]. Yang dimaksud “kesempurnaan iman dan cahayanya” baca syarah hadits ini di Faidlul Qadir Syarah Jami’ush Shagir
[4]. Lihat syarah hadits ini di Fathul Bari Syarah Muslim  Imam An-Nawawi. Kitabul Iman oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[5]. Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Furqan ayat 68
[6]. Lihatlah tentang permasalahan zina, kerusakannya, hukumannya, dosanya, siksanya di kitab Jawaaabul Kaafiy, oleh Al-Imam Ibnul Qayyim
[7]. Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 22
[8]. Keluasan masalah zina dapat dibaca dan diteliti di kitab-kitab fiqih dan syarah hadits.

Fatwa Tentang Bapak Membunuh Anaknya

Orang-orang yang senantiasa mengikuti berita-berita surat kabar pasti telah mengetahui kisah tentang seorang bapak berkebangsaan Mesir yang telah membunuh dua orang anaknya yang masih kecil dengan cara menenggelamkannya di dalam laut. Persitiwa ini tepatnya terjadi di Iskandariyah.

Lalu pengadilan urusan pidana di negeri itu memutuskan hukuman mati bagi bapak tersebut berdasarkan materi undang-undang umum. Akan tetapi ketika pengadilan meminta pendapat mengenai keputusan ini dari seorang mufti di Iskandariyah yang bernama Syaikh Ahmad bin Yusuf, maka sang mufti menolak keputusan itu, lalu beliau memberikan fatwa yang teksnya sebagai berikut :

”…Hukum qishah tidak wajib ditegakkan kepada sang bapak, karena seorang bapak tidak boleh dihukum mati sebagai pembunuh anaknya. Bapak adalah penyebab keberadaan anak dalam kehidupan ini, maka tidak boleh anak itu menjadi sebab kebinasaan sang bapak”

Kemudian mufti tersebut menuturkan nash-nash madzhab Hanafi seraya memperkuat madzhabnya dengan sabda Nabi Shahallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ يُقَادُ الْوَ الِدُ بِوَ لَدِهِ

“Bapak tidak dijatuhi human mati (bunuh) sebab membunuh anaknya’.

Meskipun alasan (hujjah) tersebut demikian jelas, namun pengadilan tetap menjatuhkan keputusannya tanpa menerima hukum yang ditetapkan dalam hadits. Tetapi hal ini tidak aneh, sebab pengadilan itu menetapkan hukum berdasarkan perundang-undangan dan bukan berdasarkan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Hanya saja, yang sangat janggal jika sebagian Syaikh berusaha untuk membenarkan keputusan tersebut. Surat kabar Al Ahram Mesir tanggal 7/10/1954M telah meliput secara lengkap peristiwa ini serta keputusan pengadilan dan fatwa dari sang mufti, kemudian diiringi dengan pendapat dan pandangan para pakar hukum dan undang-undang. Di antara yang dimuat di surat kabar tersebut adalah pendapat Syaikh Hasan Ma’mun, sebagai salah seorang pakar terkemuka dibidang syar’i. Adapun diantara teks perkataannya itu adalah sebagai berikut “… Pengadilan urusan pidana dituntut untuk menerapkan undang-undang yang ada dan tidak dituntut untuk menerapkan nash-nash syariat Islam”.

Di antaranya pula apa yang dikutip oleh surat kabar tersebut dari Syaikh Muhamamd Syaltut sehubungan dengan tanggapan beliau mengenai fatwa itu, “ Saya secara pribadi meguatkan madzhab orang-orang yang mewajibkan qishah dalam kondisi seperti ini, yang demikian itu adalah sebagai pengamalan akan keumuman ayat (tentang qishah,-penerj). Adapun hadits yang berhubungan dengan persoalan ini, yaitu, ‘Bapak tidak dijatuhi hukuman bunuh sebab membunuh anaknya” merupakan hadits yang tidak memiliki dasar yang kuat (tidak tsabit) dimana sebagian ahli hadits telah meragukan keakuratnnya”.

Saya katakan (Syaikh Albani) : “Pada kesempatan ini saya tidak ingin berbicara tentang keburukan tindak kriminal tersebut, bukan pula bermaksud menjelaskan pembicaraan yang dinukil dari Syaikh Hasan mengenai tindak kriminal terhadap syariat Islam. Akan tetapi yang menjadi tujuan pembicaraan saya adalah menjelaskan kesalahan yang dilakukan oleh syaikh Syaltut dalam melemahkan hadits tersebut, serta sikapnya yang lebih mendukung keputusan pengadilan dari pada fatwa sang Mufti.

Yang saya yakini, sesungguhnya Syaikh Syaltut tidak menempuh metode ilmiah dalam mengambil kesimpulan tentang lemahnya hadits tersebut. Bahkan beliau lebih memilih untuk mengamalkan dalil yang bersifat umum seperti yang diisyaratkannya dalam tanggapan terebut. Ketika tampak olehnya pertentangan pendapatnya itu dengan hadits ini, maka ia pun mencari jalan keluar dengan cara bertaqlid kepada sebagian ahli hadits yang melemahkan hadits tersebut.

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...