Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kebiasaan kami, pada
setiap tahun merayakan hari khusus yang disebut dengan istilah hari ibu,
yaitu pada tanggal 21 Maret. Pada hari itu banyak orang yang
merayakannya. Apakah ini halal atau haram. Dan apakah kita harus pula
merayakannya dan memberikan hadiah-hadiah?
Jawaban
Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyari'atkan
adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih.
Bisa jadi perayaan itu bermula dari non muslim, jika demikian, maka di
samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari raya-hari raya yang disyari'atkan telah
diketahui oleh kaurn muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha serta
hari raya mingguan (hari Jum'at). Selain yang tiga ini tidak ada hari
raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada
pelakunya dan bathil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
"Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami
(dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia
tertolak."[1]
Yakni ditolak dan tidak diterima di sisi Allah. Dalam lafazh lainnya disebutkan,
"Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."[2]
Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari yang disebutkan oleh
penanya, yaitu yang disebutkan sebagai hari ibu, dan tidak boleh juga
mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya, seperti;
menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah dan
sebagainya.
Hendaknya setiap muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya serta
merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya
dalam agama yang lurus ini dan telah diridhai Allah untuk para
hambahNya. Maka hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi. Kemudian
dari itu, hendaknya setiap muslim tidak menjadi pengekor yang menirukan
setiap ajakan, bahkan seharusnya, dengan menjalankan syari'at Allah
Subhanahu wa Ta’ala, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukan yang
meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak, karena
alhamdulillah, syari'at Allah itu sungguh sempurna dari segala sisinya,
sebagaimana firmanNya,
"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi
agamamu. " [Al-Ma'idah: 3]
Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun,
daripada hanya satu hari itu saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak
terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta dita'ati selama
bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, di setiap
waktu dan tempat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh . Muslim dalam Al-Aqdhiyah.
[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah .
Hukum Taat Kepada Penguasa Yang Tidak Berhukum Kepada Kitabullah Dan Sunnah RasulNya
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang apakah hukum taat kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban
Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin.
Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat:
Pertama, mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya.
Kedua, Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya.
Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya,
"Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." [Al-Ma'idah : 44]
.
Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya.
Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa (kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang apakah hukum taat kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawaban
Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin.
Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat:
Pertama, mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya.
Kedua, Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya.
Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya,
"Artinya : Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." [Al-Ma'idah : 44]
.
Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya.
Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa (kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala
Hukum Menentang Syari'at Allah, Hukum Terlalu Bersemangat yang Mengarah Kepada Sikap Ekstrem
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada sebagian para pemuda yang terlalu bersemangat melebihi yang sepatutnya dan mengarah kepada sikap ekstrem, apa nasehat anda terhadapnya?
Jawaban:
Para pemuda dan selain mereka wajib berhati-hati sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan, ekstremisme dan ghuluw. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Artinya : Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu'." [Al-Ma’idah :77]
Demikian juga firmanNya,
"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. " [Ali Imran :159]
Dan firmanNya kepada Musa, dan Harun, ketika Dia mengutus keduanya menghadap Fir'aun,
"Artinya : Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." [Thaha : 44]
Di dalam hadits Nabi, beliau bersabda,
"Artinya : Sungguh telah binasalah orang-orang yang melampaui batas."
Beliau mengucapkan hal ini hingga tiga kali. [1]
Dalam sabdanya yang lain,
"Artinya : Berhati-hatilah kamu terhadap tindakan ghuluw (melampaui batas)
di dalam agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah tindakan ghuluw di dalam agama. "[2]
Oleh karena itu, saya berwasiat kepada seluruh da'i agar tidak terjerumus ke dalam sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas (ghuluw). Hendaknya mereka bersikap pertengahan, yaitu berjalan di atas manhaj Allah dan hukum KitabNya dan Sunnah RasulNya.
[Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, edisi 32, h. 120, dari fatwa Syaikh ibn Baz]
HUKUM MENENTANG SYARI'AT ALLAH
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bun Baz ditanya : Seorang laki-laki berkata, sesungguhnya sebagian hukum-hukum syari'at perlu ditinjau kembali dan direvisi karena sudah tidak sesuai (relevan) lagi dengan perkembangan zaman ini. Contohnya adalah hal yang berkaitan dengan warisan di mana lelaki mendapatkan dua kali lipat dari bagian yang diperoleh wanita. Bagaimana hukum syari'at terhadap orang yang mengucapkan statement seperti ini?
Jawaban
Tidak seorangpun yang boleh menentang atau merubah hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah kepada para hamba-Nya dan yang telah dijelaskan di dalam kitabNya yang mulia atau berdasarkan ucapan RasulNya yang terpercaya seperti hukum-hukum tentang warisan, shalat lima waktu, zakat, puasa dan semisalnya yang juga telah diterangkan Allah kepada para hambaNya serta telah disepakati umat. Sebab, ia adalah tasyri’ (produk hukum) yang sudah valid untuk umat ini pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sepeninggal beliau hingga Hari Kiamat. Di antaranya, adanya prioritas bagi kaum lelaki atas kaum wanita mulai dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, saudara laki-laki sekandung dan sebapak. Wajib mengamalkan hal itu atas dasar keyakinan dan keimanan, sebab Allah telah menjelaskannya dalam kitabNya yang mulia.
Barangsiapa mengklaim bahwa hukum selainnyalah yang lebih sesuai (relevan) maka dia telah menjadi Kafir. Demikian pula orang yang membolehkan untuk menyelisihinya; dia dianggap kafir juga karena sudah menjadi penentang Allah dan RasulNya serta ijma' umat.
Oleh karena itu, wajib bagi pihak yang berwenang (penguasa/pemerintah) untuk memaksanya bertaubat jika dia seorang muslim; jika mau, maka tidak dikenai sanksi dan bila tidak mau, maka wajib dibunuh sebagai orang kafir dan keluar dari Islam (murtad). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Artinya : Barangsiapa yang telah merubah (mengganti) diennya, maka bunuhlah dia. "[3]
Kita bermohon kepada Allah bagi kita dan semua kaum muslimin agar diselamatkan dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan dari penyimpangan terhadap syari'at yang disucikan ini
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al-'Ilm.
[2]. Imam Ahmad, dan juga diriwayatkan oleh sebagian pengarang kitab As-Sunan dengan sanad Hasan; an-Nasa'i, kitab AI-Hajj, Ibn Majah, kitab Al-Manasik.
[3]. HR. Al-Bukhari, kitab Al-Jihad dan kitab Istitbab Al-Murtaddin .
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada sebagian para pemuda yang terlalu bersemangat melebihi yang sepatutnya dan mengarah kepada sikap ekstrem, apa nasehat anda terhadapnya?
Jawaban:
Para pemuda dan selain mereka wajib berhati-hati sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan, ekstremisme dan ghuluw. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Artinya : Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu'." [Al-Ma’idah :77]
Demikian juga firmanNya,
"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. " [Ali Imran :159]
Dan firmanNya kepada Musa, dan Harun, ketika Dia mengutus keduanya menghadap Fir'aun,
"Artinya : Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." [Thaha : 44]
Di dalam hadits Nabi, beliau bersabda,
"Artinya : Sungguh telah binasalah orang-orang yang melampaui batas."
Beliau mengucapkan hal ini hingga tiga kali. [1]
Dalam sabdanya yang lain,
"Artinya : Berhati-hatilah kamu terhadap tindakan ghuluw (melampaui batas)
di dalam agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah tindakan ghuluw di dalam agama. "[2]
Oleh karena itu, saya berwasiat kepada seluruh da'i agar tidak terjerumus ke dalam sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas (ghuluw). Hendaknya mereka bersikap pertengahan, yaitu berjalan di atas manhaj Allah dan hukum KitabNya dan Sunnah RasulNya.
[Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, edisi 32, h. 120, dari fatwa Syaikh ibn Baz]
HUKUM MENENTANG SYARI'AT ALLAH
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bun Baz ditanya : Seorang laki-laki berkata, sesungguhnya sebagian hukum-hukum syari'at perlu ditinjau kembali dan direvisi karena sudah tidak sesuai (relevan) lagi dengan perkembangan zaman ini. Contohnya adalah hal yang berkaitan dengan warisan di mana lelaki mendapatkan dua kali lipat dari bagian yang diperoleh wanita. Bagaimana hukum syari'at terhadap orang yang mengucapkan statement seperti ini?
Jawaban
Tidak seorangpun yang boleh menentang atau merubah hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah kepada para hamba-Nya dan yang telah dijelaskan di dalam kitabNya yang mulia atau berdasarkan ucapan RasulNya yang terpercaya seperti hukum-hukum tentang warisan, shalat lima waktu, zakat, puasa dan semisalnya yang juga telah diterangkan Allah kepada para hambaNya serta telah disepakati umat. Sebab, ia adalah tasyri’ (produk hukum) yang sudah valid untuk umat ini pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sepeninggal beliau hingga Hari Kiamat. Di antaranya, adanya prioritas bagi kaum lelaki atas kaum wanita mulai dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, saudara laki-laki sekandung dan sebapak. Wajib mengamalkan hal itu atas dasar keyakinan dan keimanan, sebab Allah telah menjelaskannya dalam kitabNya yang mulia.
Barangsiapa mengklaim bahwa hukum selainnyalah yang lebih sesuai (relevan) maka dia telah menjadi Kafir. Demikian pula orang yang membolehkan untuk menyelisihinya; dia dianggap kafir juga karena sudah menjadi penentang Allah dan RasulNya serta ijma' umat.
Oleh karena itu, wajib bagi pihak yang berwenang (penguasa/pemerintah) untuk memaksanya bertaubat jika dia seorang muslim; jika mau, maka tidak dikenai sanksi dan bila tidak mau, maka wajib dibunuh sebagai orang kafir dan keluar dari Islam (murtad). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Artinya : Barangsiapa yang telah merubah (mengganti) diennya, maka bunuhlah dia. "[3]
Kita bermohon kepada Allah bagi kita dan semua kaum muslimin agar diselamatkan dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan dari penyimpangan terhadap syari'at yang disucikan ini
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al-'Ilm.
[2]. Imam Ahmad, dan juga diriwayatkan oleh sebagian pengarang kitab As-Sunan dengan sanad Hasan; an-Nasa'i, kitab AI-Hajj, Ibn Majah, kitab Al-Manasik.
[3]. HR. Al-Bukhari, kitab Al-Jihad dan kitab Istitbab Al-Murtaddin .
Hukum Menyusukan Diri Sendiri, Memeras Air Susunya Kedalam Gelas Untuk Diminumkan Kepada Seseorang
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Apa hukum wanita yang menyusukan diri sendiri kemudian memuntahkannya ?"
Jawaban.
Penyusuan yang menyebabkan timbulnya hubungan kemahraman secara syara' adalah lima kali susuan atau lebih ketika umurnya tidak lebih dari dua tahun. Adapun penyusuan orang dewasa (baik dirinya ataupun orang lain) tidak termasuk dalam pengertian ini.
[Fatawa wa Rasailusy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 11 hal. 172]
HUKUM WANITA YANG MEMERAS AIR SUSUNYA KEDALAM GELAS UNTUK DIMINUMKAN KEPADA SESEORANG AGAR MENJADI MAHRAMNYA.
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Ada seorang wanita yang tidak mempunyai mahram di dalam perjalannya dan ia ingin pulang ke negerinya, kemudian ia memeras air susunya ke dalam gelas untuk diminumkan kepada seorang laki-laki. Apakah laki-laki tersebut menjadi mahramnya ?".
Jawaban.
Tidak. Yang demikian itu tidak bisa menjadikannya sebagai mahramnya karena susuan yang menyebabkan kemahraman itu berlaku pada seseorang yang berumur di bawah dua tahun dan tidak kurang dari lima kali susuan
[Fatawa wa Rasailusy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim]
HUKUM DUA ORANG WANITA YANG SALING MENYUSUKAN ANAK MEREKA.
Oleh
Syiakh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : "Ada dua orang wanita, yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki, yang kedua mempuanyi anak perempuan, mereka saling menyusukan anak yang lain. Siapa di antara saudara-saudara mereka yang boleh dinikahi oleh yang lain ?".
Jawaban.
Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak kecil di bawah umur dua tahun lima kali susuan atau lebih, maka anak tersebut menjadi anaknya dan anak suaminya yang memiliki susu itu. Dan seluruh anak dari wanita tersebut dengan suaminya itu atau dengan suami terdahulunya menjadi saudara bagi anak susuan itu. Seluruh anak suami wanita yang menyusui baik dari wanita itu ataupun dari istri yang lain adalah saudara bagi anak susuannya. Seluruh saudara wanita yang menyusui dan saudara suaminya adalah paman bagi anak susuannya. Demikian pula Bapak wanita yang menyusui dan Bapak suaminya adalah kakek dia dan Ibu wanita yang menyusui serta ibu suaminya adalah nenek.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara kalian yang sesusu" [An-Nisa' : 23]
Serta sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesuatu diharamkan dengan sebab penyusuan sebagaimana apa-apa yang diharamkan oleh sebab nasab"
"Artinya : Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali dalam masa dua tahun".
Dan berdasarkan hadits dalam Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : "Adalah yang disyariatkan dalam Al-Qur'an dahulu sepuluh kali susuan yang jelas, menyebabkan ikatan kekerabatan. Kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan masalah tersebut tetap dengan keputusannya (lima kali susuan)". [Hadits ini diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi dengan lafazh sedemikian, sedangkan asalnya terdapat dalam Shahih Musim]
[Fatawa Da'wah Syaikh Bin Baz Juz I hal,206]
SEORANG LAKI-LAKI MENYUSU BERSAMA DENGAN SAUDARA LAKI-LAKI DARI SEORANG PEREMPUAN, BOLEHKAH IA MENIKAHI PEREMPUAN TERSEBUT ?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : " Ada dua orang perempuan bersaudara, yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki sedangkan yang lainnya mempunyai empat anak, tiga laki-laki dan satu wanita yang paling kecil. Anak dari perempuan yang pertama menyusu bersama dengan tiga anak laki-laki dari perempuan yang kedua, kecuali seorang anak perempuannya yang paling kecil. Bagaimana hukum pernikahan anak laki-laki dari perempuan yang pertama dengan anak wanita dari perempuan yang kedua yang mana ia tidak disusukan bersamanya?".
Jawaban.
Apabila anak laki-laki dari perempuan yang pertama itu menyusu bersama anak pertama, anak kedua dan anak ketiga dari perempuan kedua, atau bersama ketiganya sekaligus, lima kali susuan atau lebih di satu majlis ataupun lebih, maka ia menjadi anak susuan dari wanita kedua serta menjadi saudara dari semua anak-anaknya, baik mereka menyusu sebelum anak kecil tersebut ataupun sesudahnya. Dan tidak boleh bagi anak itu untuk menikah dengan putrid dari wanita kedua, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ibu-ibu kamu yang telah menyusukanmu dan saudara-saudara perempuanmu yang sesusuan (adalah haram bagimu)" [An-Nisa : 23]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Diharamkan (bagimu sesuatu yang) disebabkan oleh penyusuan segala apa yang diharamkan oleh sebab nasab" [Muttafaq 'alaih]
Dan jika penyusuannya kurang dari lima kali maka tidak berlaku pengharaman susuan tersebut, demikian pula jika umur anak yang disusukan tersebut lebih dari dua tahun. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya" [Al-Baqarah : 233]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Tidak ada penyusuan yang mengharamkan kecuali penyusuan yang dapat mengaliri usus sedangkan masa tersebut sebelum masa penyapihan"
Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata.
"Artinya : Adalah yang disyariatkan dalam Al-Qur'an dahulu sepuluh kali susuan yang jelas, menyebabkan ikatan kekerabatan. Kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan masalah tersebut tetap dengan keputusannya (lima kali susuan)" [Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dan At-Tirmidzi dalam kitab Jami'-nya dan ini lafazhnya]
Fatawa Da'wah Syaikh Bin Baz ]
Hukum Menyusukan Anak Dewasa Agar Menjadi Mahram
Pertanyaan
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Dalam kasus Salim maula Abi Huzaifah yang disusukan oleh istri Abu Huzaifah (agar menjadi mahram hingga dapat keluar masuk rumahnya dengan bebas, sementara dia telah menginjak dewasa,-pent) apakah kasus ini berlaku untuk Salim secara khusus atau dapat berlaku untuk seluruh orang ?.Jika seseorang memiliki anak angkat yang berumur sepuluh tahun memperlakukan anak tersebut sebagaimana kasus Salim, apakah hubungan kemahraman antara mereka merlaku juga? Bolehkah melaksanakan penyembelihan korban dengan niat dihadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal?
Jawaban
Sebelum menjawab yang pertama aku akan menjawab yang kedua. Seseorang yang telah meninggal tidak boleh disembelih untuknya Qurban (dengan niat agar disampaikan pahala untuknya). Sebab tidak ada dalil kuat yang mensyariatkannya. Intinya Sembelihan Qurban boleh di atasnamakan untuk keluarga yang masih hidup maupun yang telah meninggal secara umum, bukan dikhususkan hanya untuk seseorang yang telah meninggal.
Adapun kasus Salim Maula Abi Huzaifah, pendapat yang paling rajih/benar adalah qadiyah 'ain (kasus yang berlaku khusus untuknya). Perkara qodiyah 'a'yaan --yaitu kasus yang terjadi dengan orang-orang tertentu apakah juga dapat diberlakukan untuk umum atau tidak? Merupkan perkara khilafiyyah yang sengit dikalangan ulama.Perkataan Ulama Usul almuhaqqiqin dalam hal ini bahwa kasus yang berlaku terhadap orang tertentu diberlakukan juga untuk umum jika memiliki kondisi yang sama. Maka jika terdapat seseorang anak berumur sepuluh tahun yang terlantar dan disia-siakan?alangkah banyaknya kondisi anak-anak kaum muslimin yang seperti ini-- boleh bagi seorang wanita menyusuinya agar menjadi mahram baginya .
HUKUM JUAL BELI BARANG YANG TERDAPAT DIDALAMNYA GAMBAR
Pertanyaan.
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apakah hukum jual beli barang-barang yang terdapat di dalamnya gambar-gambar wanita ataupun binatang seperti sabun contohnya, jika gambar-gambarnya dicabut orang tidak akan membelinya ? Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?
Jawaban
Pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-persusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka. Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini yaitu dengan menolak-hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya..jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mengaramkan mengakui keberadan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sbagaimana dalam kaedah " Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah".
Adapun hukum menjual barang-barang yang bergambar, kita memiliki dua hal: pertama al-aslu( hukum asal jual beli) kedua az-zahir(yang nampak). Masalah yang wajib diketahui orang-orang sekarang adalah masalah al-aslu dan az-zahir, mana yang diutamakan jika keduanya bertentangan?. Jual beli sabun contohnya, hukum asalnya adalah halal, secara zahirnya dia haram karena ada gambarnya.Sebenarnya gambar independen/ terpisah dari sabun, sebab ketika anda membeli sebenarnya yang anda ingin beli adalah sabunnya bukan gambarnya, dan gambarnya akan dibuang dan dikoyak, oleh karena itu tidak ada masalah untuk membelinya dikembalikan kepada hukum asalnya.
HUKUM TRANSFUSI DARAH (DONOR DARAH) KEPADA ORANG KAFIR
Pertanyaan
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apa hukum tranfusi darah/donor darah kepada orang kafir atau menerima donor darah dari orang kafir?
Jawaban
Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata:" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan) . Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanta pelacur pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua ;maramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af'al bukan dengan zawat.Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru).
wallahu a'lam.
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Dalam kasus Salim maula Abi Huzaifah yang disusukan oleh istri Abu Huzaifah (agar menjadi mahram hingga dapat keluar masuk rumahnya dengan bebas, sementara dia telah menginjak dewasa,-pent) apakah kasus ini berlaku untuk Salim secara khusus atau dapat berlaku untuk seluruh orang ?.Jika seseorang memiliki anak angkat yang berumur sepuluh tahun memperlakukan anak tersebut sebagaimana kasus Salim, apakah hubungan kemahraman antara mereka merlaku juga? Bolehkah melaksanakan penyembelihan korban dengan niat dihadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal?
Jawaban
Sebelum menjawab yang pertama aku akan menjawab yang kedua. Seseorang yang telah meninggal tidak boleh disembelih untuknya Qurban (dengan niat agar disampaikan pahala untuknya). Sebab tidak ada dalil kuat yang mensyariatkannya. Intinya Sembelihan Qurban boleh di atasnamakan untuk keluarga yang masih hidup maupun yang telah meninggal secara umum, bukan dikhususkan hanya untuk seseorang yang telah meninggal.
Adapun kasus Salim Maula Abi Huzaifah, pendapat yang paling rajih/benar adalah qadiyah 'ain (kasus yang berlaku khusus untuknya). Perkara qodiyah 'a'yaan --yaitu kasus yang terjadi dengan orang-orang tertentu apakah juga dapat diberlakukan untuk umum atau tidak? Merupkan perkara khilafiyyah yang sengit dikalangan ulama.Perkataan Ulama Usul almuhaqqiqin dalam hal ini bahwa kasus yang berlaku terhadap orang tertentu diberlakukan juga untuk umum jika memiliki kondisi yang sama. Maka jika terdapat seseorang anak berumur sepuluh tahun yang terlantar dan disia-siakan?alangkah banyaknya kondisi anak-anak kaum muslimin yang seperti ini-- boleh bagi seorang wanita menyusuinya agar menjadi mahram baginya .
HUKUM JUAL BELI BARANG YANG TERDAPAT DIDALAMNYA GAMBAR
Pertanyaan.
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apakah hukum jual beli barang-barang yang terdapat di dalamnya gambar-gambar wanita ataupun binatang seperti sabun contohnya, jika gambar-gambarnya dicabut orang tidak akan membelinya ? Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?
Jawaban
Pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-persusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka. Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini yaitu dengan menolak-hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya..jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mengaramkan mengakui keberadan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sbagaimana dalam kaedah " Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah".
Adapun hukum menjual barang-barang yang bergambar, kita memiliki dua hal: pertama al-aslu( hukum asal jual beli) kedua az-zahir(yang nampak). Masalah yang wajib diketahui orang-orang sekarang adalah masalah al-aslu dan az-zahir, mana yang diutamakan jika keduanya bertentangan?. Jual beli sabun contohnya, hukum asalnya adalah halal, secara zahirnya dia haram karena ada gambarnya.Sebenarnya gambar independen/ terpisah dari sabun, sebab ketika anda membeli sebenarnya yang anda ingin beli adalah sabunnya bukan gambarnya, dan gambarnya akan dibuang dan dikoyak, oleh karena itu tidak ada masalah untuk membelinya dikembalikan kepada hukum asalnya.
HUKUM TRANSFUSI DARAH (DONOR DARAH) KEPADA ORANG KAFIR
Pertanyaan
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apa hukum tranfusi darah/donor darah kepada orang kafir atau menerima donor darah dari orang kafir?
Jawaban
Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata:" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan) . Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanta pelacur pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua ;maramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af'al bukan dengan zawat.Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru).
wallahu a'lam.
Pendapat Para Ulama Tentang Susuan Orang Yang Telah Dewasa
[A]. PENDAPAT UMUM PARA ULAMA TENTANG SUSUAN ORANG YANG TELAH DEWASA
Perlu diketahui , semoga Allah mengokohkan kami dan para pembaca sekalian di atas al-haq, bahwasanya masalah ini sudah diperbincangkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat yang berbeda. Saya paparkan disini tiga di antara pendapat tersebut, karena inilah sesungguhnya inti permasalahannya. Ketiga pendapat tersebut yaitu:
1. Menyebabkan hubungan mahram secara mutlak
2. Tidak menyebabkan hubungan mahram secara mutlak
3. Tidak menyebabkan hubungan mahram kecuali karena kebutuhan
[B]. PENDAPAT PERTAMA (MENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM SECARA MUTLAK)
Dalil mereka yang berpendapat seperti ini adalah firman Allah:
"Artinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan diharamkan pula (mengawini) saudara perempuan sepersusuan" [An-Nisa' : 23]
Mereka mengatakan ini adalah nash yang umum yang tidak dibatasi oleh waktu.
Al-Imam Muslim berkata dalam Shahihnya (no. 1453):
"....'Aisyah berkata: Sahlah bintu Suhail datang menemui Nabi, katanya:
"Wahai Rasulullah, saya melihat sesuatu di wajah Abu Hudzaifah karena
seringnya Salim -bekas budaknya- masuk ke rumah".
Kata Nabi: "Susuilah dia".
Kata nya: "Bagaimana saya menyusuinya sedangkan dia laki-laki dewasa?"
Rasulullah tersenyum dan berkata: "Saya tahu dia sudah besar"
'Amr (rawi hadits) menambahkan riwayatnya: "Dan dia (Salim) ikut
dalam perang Badr"
Saya katakan: Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa menyusui anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram.
Para ulama yang berpendapat seperti ini antara lain:
Ibnu Hibban, beliau mengatakan : ( Masalah: Menyusui anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram meskipun dia seorang yang sudah tua sebagaimana halnya anak yang masih kecil, tidak ada perbedaan...). Kemudian beliau membantah pendapat yang menyelisihi hal ini. Lihat al-Muhalla
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, beliau berkata : "Adalah 'Aisyah berpendapat bahwa susuan anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram. Ini diriwayatkan juga dari 'Atha', Al-Laits dan Dawud"
[C]. PENDAPAT KEDUA (TIDAK MENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM SECARA MUTLAK)
Dalil-dalil mereka yang berpendapat seperti ini, yang pertama, dari al-Qur'anul Karim:
Firman Allah:
"Artinya : Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan" [Aal-Baqarah : 233]
(dan surat lain seperti: -pent) Luqman 14, Al-Ahqof : 15
Menurut mereka, ayat-ayat ini tegas membatasi waktu penyusuan hanya dua tahun.
Yang kedua, dari as-Sunnah An-Nabawiyyah:
Rasulullah bersabda:
"Artinya : ....Perhatikanlah olehmu siapa saudaramu itu. Hanya saja (innamaa) susuan itu karena rasa lapar" [HR Bukhari dalam kitab Asy-Syahadat]
Rasulullah bersabda:
"Artinya : Tidak susuan itu menyebabkan haram kecuali yang mengenyangkan usus, melalui buah dada dan sebelum disapih" [HR Ibnu Hibban, Al-Baghowi. Dishahihkan oleh syaikh Albani dalam Irwa' dan Shahihul Jami' ]
Rasulullah bersabda:
"Artinya : Sesuatu dari susuan tidaklah mengharamkan kecuali apabila dilakukan selama dua tahun" [HR ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ibnu 'Adi, (syaikh berkata: -pent) hadits ini shahih apalagi dengan adanya penguat yang cukup banyak]
Rasulullah bersabda:
"Artinya : Tidak ada susuan setelah masa penyapihan" [HR Abdur razaq, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, dll, (syaikh berkata: -pent) Hadits ini mempunyai dua jalan: ....... Hadits ini lemah, namun menjadi hasan lighoirihi dengan jalan kedua ....]
Secara lahiriah , dalil-dalil ini mensyaratkan bahwa yang dianggap susuan adalah anak yang usianya masih kecil. Dan ini adalah pendapat jumhur ahli ilmu. Dari sinilah munculnya perbedaan pendapat. Yang berpendapat seperti ini diantaranya:
1. Al-Imam at Tirmidzi
2. Al-Baghawi
3. Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta'
4. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
5. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Abdullah Al-Fauzan
6. dll (pent-)
[D]. PENDAPAT KETIGA (TIDAKMENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM KECUALI KARENA KEBUTUHAN)
Golongan yang berpendapat demikian dari para muhaqqiq di antara ahli ilmu:
[1]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu' Fatawa)
Setelah menyebutkan hadits Salim maula Abi Hudzaifah, beliau berkata:
"Hadits ini dijadikan dalil oleh 'Aisyah, sedangkan para istri Nabi yang lain menolak untuk menjadikannya sebagai dalil. Padahal 'Aisyah juga yang meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda: "Susuan itu karena rasa lapar". Namun 'Aisyah melihat adanya perbedaan antara radha'ah (susuan) dengan sekedar taghdziyah (pemberian makanan).
Maka apabila tujuan itu adalah yang kedua (memberi makan), jelas tidak akan menyebabkan haram (menjadi haram) kecuali bila dilakukan sebelum penyapihan. Dan inilah yang dinamakan penyusuan yang umum terjadi pada manusia. Adapun tujuan yang pertama, maka boleh saja kalau memang diperlukan untuk menjadikannya mahram (yang haram dinikahi). Dan kadang dibolehkan karena memang dibutuhkan, dan tidak dibolehkan untuk hal-hal lain. Inilah pendapat yang lebih terarah"
[2]. Al-'Allamah Ibnul Qayyim (Zaadul Ma'ad )
Beliau mengatakan:
"Hadits Sahlah bukanlah hadits yang mansukh (dihapus hukumnya), juga bukan hadits yang dikhususkan, bahkan bukan pula bersifat umum bagi setiap orang. Tapi ini adalah rukhshah (keringanan) karena adanya satu kebutuhan bagi orang yang sangat butuh untuk masuk menemui seorang wanita, dalam keadaan berat bagi wanita tsb utk berhijabdari laki-laki itu. Sebagaimana keadaan Salim dengan istri Abu Hudzaifah.
Jadi, orang dewasa seperti ini bila disusui oleh seorang waniita karena memang dibutuhkan, tentunya susuan itu memberikan pengaruh (menyebabkan jadi mahram). Adapun bagi laki-laki lain, maka jelas tidak akan memberi pengaruh kecuali susuan yang masih bayi. Ini juga juga jalan yang ditempuh oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Adapun hadits yang yang menafikan susuan pada anak atau orang dewasa, mungkin masih merupakan hadits yang mutlak, sehingga dibatasi oleh hadits Sahlah, atau bersifat umum dalam keadaan apapun. Maka keadaan ini dikhususkan dari keumumannya. Dan ini lebih baik daripada menganggap adanya nasakh (penghapusan hukum suatu dalil), atau anggapan bahwa hadits ini merupakan pengkhususan bagi orang tertentu (dalam hal ini adalah Salim -pent). Bahkan ini lebih dekat dengan pengamalan, dengan mengumpulkan hadits-hadits tsb dari dua sisi. Hal ini dikuatkan pula oleh kaidah atau pedoman syariat. Wallahu muwaffiq."
[3]. Al-'Allamah Ibnul Amir Ash-Shan'ani (Subulus Salam)
Beliau mengatakan: "...Yang paling baik dalam menggabungkan (menjama') antara hadits Sahlah dan hadits-hadits yang bertentangan dengannya ialah pendapat Ibnu Taimiyah...."
[4]. Al-'Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Author dan juga dalam As-Sailul Jarrar dimana beliau mengatakan:
"Walhasil, hadits Salim adalah khusus bagi mereka yang dihadapkan pada kebutuhan tersebut. Juga bagi seseorang yang perlu memasukkan orang lain kepada istrinya, dalam keadaan sangat butuh untuk masuk ke rumahnya secara berulang-ulang karena satu keperluan dan kemaslahatan. Siapa yang menolaknya tanpa bukti keterangan yang jelas, berarti dia membantah Rasulullah dan syariatnya yang suci. Dan siapa yang membatasinya untuk Salim semata, berarti dia telah mendatangkan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Bahkan tidak sesuai dengan kaidah yang baku dalam ilmu ushul fiqh"
[5]. Al-'Allamah Shiddiq Hasan Khan (Ar-Raudhatun Nadiyyah Syarh ad-Durar al-Bahiyah Beliau mengatakan:
"Saya menyatakan: Walhasil, hadits sebelumnya (hadits Salim) adalah shahih. Diriwayatkan pula oleh sejumlah besar rawi, dari sejumlah besar rawi pula, pada generasi belakangan dari generasi salaf. Tidak ada satupun ahli dalam bidang ini yang mengecam hadits ini. Paling akhir, mereka menyelisihinya mengatakan bahwa hadits ini mansukh. Namun perlu dijelaskan bahwasanya kalau memang mansukh , tentulah ada bantahan terhadap 'Aisyah dengan alasan ini. Padahal tidak ada sama sekali nukilan dari mereka yang mengatakan demikian, sementara perselisihan dalam permasalahan ini sangat masyhur di kalangan sahabat.
Adapun hadits-hadits yang menyatakan tidak adanya susuan kecuali dalam masa dua tahun dan sebelum disapih, meskipun ada perbincangan di dalamnya, ternyata tidak bertentangan dengan hadits Salim. Karena hadits-hadits itu umum, sedangkan hadits Salim adalah khusus. Sedangkan yang khusus harus didahulukan daripada yang umum. Namun hadits Salim ini dikhususkan juga dengan keadaan orang-orang yang dihadapkan pada satu kebutuhan sehingga perlu menyusui orang yang sudah dewasa, sebagaimana terjadi pada Abu Hudzaifah dan istrinya, Sahlah. Disamping itu, Salim bagi keduanya sudah seperti anak sendiri. Dia tinggal di rumah mereka, dan berhijab darinya sangatlah menyulitkan keduanya. Oleh karena itulah Rasulullah memberi keringanan untuk menyusuinya bagi orang-orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti ini dan tidak ada jalan yang lain lagi....."
[6]. Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh (sebagaimana dalam Ahkam Ar-Radha'ah yang dikumpulkan dan disusun oleh Abu Malik Muhammad Hamid bin Abdul Wahhab) Beliau pernah ditanya: "Bagaimana tentang susuan orang yang sudah besar, apakah berpengaruh dan menyebabkan pengharaman (menjadi mahram)?"
Beliau menjawab:
"......"Tidaklah lah mengharamkan sesuatu dari susuan kecuali apabila dilakukan selama dua tahun (hadits -pent)". Inilah yang sesuai dengan mazhab Hambali dan dengan inilah fatwa menurut kami.
Sebagian ahli ilmu berpendapat diakuinya susuan orang dewasa, berasalan dengan kisah Salim..........
Mereka yang berpendapat tidak ada nya pengharaman (yakni tidak menjadi mahram) karena susuan anak yang dewasa, menjawab dengan beberapa jawaban. Diantaranya bahwa kisah Salim ini khusus baginya, sebagaimana diterangkan oleh sejumlah istri Rasulullah, ketika mereka mengatakan kepada 'Aisyah: "Kami berpandangan bahwa ini tidak lain adalah rukhshah yang diberikan Rasulullah kepada Salim secara khusus. Dan tidak ada satu orang pun yang boleh masuk kepada kami kalau dia menyusu dengan cara seperti ini. Dan kami menganggap dia tidak boleh melihat kami".
Dua orang syaikh (Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim) telah mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Keduanya menerangkan bahwa kisah Salim maula Abi Hudzaifah adalah kasus yang khusus meliputi setiap keadaan yang sama seperti keadaan Sahlah dan Salim. Hukumnya sama seperti hukum yang diterapkan dalam kisah Abu Burdah yangmenyembelih qurban sebelum sholat 'Id dan Rasulullah berkata:
"Kambingmu adalah kambing daging". Abu Burdah berkata: "Wahai Rasulullah, sebetulnya saya punya kambing yang sudah berumur dua tahun" Maka beliau mengizinkan seraya mengatakan: "Dan ini tidak sah bagi siapapun selain kamu" [HR Al-Bukhari]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Artinya tidak sah bagi siapapun sesudah keadaanmu ini"
Dan dengan apa yang kami isyaratkan tadi, Syaikhul Islam dengan tegas menyebutkan dalam Al-Ikhtiyarat yaitu:
"Susuan anak yang dewasa tetap menyebabkan keharaman dimana akhirnya ia boleh masuk dan berkhalwat. Dan ini jika orang yang menyusu itu memang tumbuh dan terbina di rumah itu juga , dan dalam keadaan mereka sulit berhijab dari dia. Hal ini berdasarkan kisah Salim maula Abi Hudzaifah".
Dan dari yang kami paparkan ini, jelaslah jawaban pertanyaan anda. Dan nampak bahwa wanita yang anda sebutkan tidak sama keadaannya dengan keadaan Sahlah istri Abu Hudzaifah. Artinya dia tidak teruji dengan adanya seorang laki-laki yang masuk menemuinya dalam keadaan laki-laki itu tumbuh dan terbina selama ini di rumahnya. Hanya saja sekarang ini anda ingin menemukan seorang laki-laki yang anda menyusu kepada istrinya sehingga menjadi mahramnya, menurut pernyataannya. Ini tidak boleh.
Adapun ucapannya tentang keadaan yang dihadapinya yaitu butuhnya dia kepada mahram dan katanya, kalau saya mati siapa yang memasukkan saya ke dalam kubur dan melepaskan ikatan saya? Maka jawabnya: "Tidak masalah seorang laki-laki ajnabi (non mahram) memasukkan jenazah seorang wanita ke dalam kuburnya dan melepasikatan kafannya, meskipun disitu ada mahramnya. Dan taufik itu di tangan Allah".
[7]. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany
Saya pernah bertanya kepada beliau tentang masalah ini di rumah beliau di 'Amman, Yordania. Jawaban beliau sama dengan jawaban saudara-saudara beliau dari kalangan ulama muhaqqiqin. Dan ini terjadi ketika saya berziarah kepada beliau di Yordania tanggal 25 Rabi' Ats-Tsani 1404H.
[E]. PENDAPAT PENULIS
Saya mengatakan:
"Yang di tahqiq oleh para ulama ini (yang memilih pendapat ketiga -pent), adalah bentuk pengumpulan yang baik, mengamalkan semua nash. Dan inilah yang dimaksudkan oleh nash-nash syariat.
Kalau kita berpegang dengan hadits Salim maula Abi Hudzaifah saja, tentulah kita tinggalkan nash yang lain. Kalau kita berpegang dengan hadits yang menafikan (menolak), tentulah kita tinggalkan hadits Salim ini. Oleh karena itu kita harus menggabungkan antara nash-nash syariat yang ada, selama hal itu memungkinkan.
Juga karena tidak adanya dalil yang mengkhususkan Salim, bahkan tidak pula yang me-nasakh (menghapus hukumnya). Sedangkan kembali kepada al-haq adalah wajib atas setiap muslim yang mukallaf"
[F]. CARA MENYUSUI ANAK YANG TELAH DEWASA
Ibnu Abdil Barr mengatakan (at-Tamhid ):
"Demikianlah cara menyusui anak yang sudah besar, sebagaimana sudah disebutkan. (Yaitu dengan cara) dia memerah susunya kemudian meminumkannya. Adapun menghisap langsung dari puting susu ibu susunya seperti hal nya anak-anak bayi, ini tidak dibenarkan...."
[G]. JANGAN IZINKAN ISTRIMU MENYUSUI LAKI-LAKI YANG RUSAK
Jika memang terpaksa harus menyusui anak yang sudah besar, maka hendaklah orang yang menyusu itu adalah orang yang shalih dan bertaqwa. Bukan orang yang rusak dan jahat, karena dia akan masuk menjadi mahrammu.
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda:
"Seseorang dinilai (agamanya) dengan siapa yang jadi teman dekatnya (kesayangannya). Maka perhatikan olehmu siapa yang jadi teman dekat kesayangannya" [HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dia berkata: hadits hasan gharib]
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...