Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada dua orang wanita,
yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki, yang kedua mempunyai anak
perempuan, mereka saling menyusukan anak yang lain. Siapa di antara
saudara-saudara mereka yang boleh dinikahi oleh yang lain ?.
Jawaban.
Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak kecil di bawah umur
dua tahun lima kali susuan atau lebih, maka anak tersebut menjadi
anaknya dan anak suaminya yang memiliki susu itu. Dan seluruh anak dari
wanita tersebut dengan suaminya itu atau dengan suami terdahulunya
menjadi saudara bagi anak susuan itu. Seluruh anak suami wanita yang
menyusui baik dari wanita itu ataupun dari istri yang lain adalah
saudara anak susuannya. Seluruh saudara wanita yang menyusui dan saudara
suaminya adalah paman bagi anak susuannya. Demikian pula Bapak wanita
yang menyusui dari Bapak suaminya adalah kakek dia dan ibu wanita yang
menyusui serta ibu suaminya adalah nenek.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara kalian yang sesusu" [An-Nisa' : 23]
Serta sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesuatu diharamkan dengan sebab penyusuan sebagaimana apa-apa yang diharamkan oleh sebab nasab".
"Artinya : Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali dalam masa dua tahun".
Dan berdasarkan hadits dalam Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah
Radhiyallahu 'anha, ia berkata : "Adalah yang disyariatkan dalam
Al-Qur'an dahulu sepuluh kali susuan yang jelas, menyebabkan ikatan
kekerabatan. Kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas hingga
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan masalah tersebut
tetap dengan keputusannya (lima kali susuan)". Hadits ini diriwayatkan
pula oleh At-Tirmidzi degan lafazh sedemikian, sedangkan asalnya
terdapat dalam Shahih Muslim.
[Fatawa Da'wah, Syaikh Bin Baz Juz 1 hal. 206]
IBUKU MENYUSUI SAUDARA (PEREMPUAN) SEPUPUNYA, APAKAH IBUKU BOLEH MEMBUKA HIJAB ?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ibuku menyusui sepupu
perempuannya. Apakah boleh dia membuka hijab di depan saudara laki
sepupunya sedangkan saudara laki-laki sepupunya ini dari istri paman
yang lain ?
Jawaban.
Seorang ibu menyusui sepupu perempuannya, maka dia menjadi saudara bagi
anak laki-laki ibu tersebut karena disebabkan susuan itu.
Kita harus mengetahui kaidah dalam hal susuan, yaitu bahwa pengaruh
susuan hanya terjadi kepada orang yang menyusu beserta keturunannya.
Seorang wanita menyusui anak kecil maka berarti dia telah menjadi ibu
dari anak tersebut. Sehubungan dengan masalah anak kecil ini, apakah
hubungan mahram berlaku pula atas ayah atau ibunya ? Jawabannya adalah
tidak, karena kemahraman itu hanya terjadi kepada anak yang menyusu
beserta keturunannya. Adapun orang tua atau saudarannya maka tidak
berlaku kemahraman ini. Kita ambil contoh untuk menjelaskan maksudnya.
Seorang perempuan menyusui anak perempuan kecil. Bagaimana kedudukan
anak perempuan tersebut ? Dia menjadi anak bagi ibu yang menyusuinya
itu. Adapun anak-anak ibu tersebut telah menjadi saudara bagi anak
susuannya itu, saudara atau saudari ibu susuan menjadi paman atau bibi
anak itu, ibunyu ibu susuan menjadi nenek, serta ayah ibu susuan menjadi
kakek dan begitu pula seterusnya.
Akan tetapi dari pihak keluarga anak perempuan yang menyusu sama sekali
tidak mempunyai hubungan dengan mereka karena susuan itu, kecuali pada
keturunannya. Jika si anak susuan mempunyai ayah, ibu atau saudara,
apakah mereka berlaku hukum dalam masalah susuan ? Jawabannya tidak.
Susuan hanya berpengaruh kepada keturunan, sehingga keturunan anak
susuan menjadi keturunan dari ibu susuannya juga.
Apa Hukum Perkataan Fulan Syahid ?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apa hukum perkataan, 'fulan Syahid ?'.
Jawaban.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi yaitu :
Pertama.
Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti : Dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fisabillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua.
Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu tidak memvonis syahid kecuali ada wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah. "Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si fulan syahid, dan si fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid". Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa'id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A'jafa' dari Umar.
Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu.
"Artinya : Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya...." [Bukhari : 2787]
Dan sabda beliau.
"Artinya : Demi Dzat diriku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang terluka di jalan Allah kecuali datang dihari kiamat sedang lukanya mengalir darah, warnanya warna darah dan baunya bau Misk" [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]
Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja' (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada' yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.
Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid konsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.
Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apa hukum perkataan, 'fulan Syahid ?'.
Jawaban.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi yaitu :
Pertama.
Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti : Dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fisabillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua.
Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu tidak memvonis syahid kecuali ada wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah. "Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si fulan syahid, dan si fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid". Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa'id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A'jafa' dari Umar.
Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu.
"Artinya : Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya...." [Bukhari : 2787]
Dan sabda beliau.
"Artinya : Demi Dzat diriku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang terluka di jalan Allah kecuali datang dihari kiamat sedang lukanya mengalir darah, warnanya warna darah dan baunya bau Misk" [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]
Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja' (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada' yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.
Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid konsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.
Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.
Memelihara Anjing Di Rumah
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sesungguhnya di dalam rumah, kami memiliki anjing betina yang kami peroleh. Tadinya, kami tidak mengetahui hukum memelihara anjing tanpa keperluan. Setelah kami mengetahui hukumnya, kami mengusir anjing tersebut, dan ia tidak mau pergi karena sudah sangat jinak di rumah dan saya tidak ingin membunuhnya. Apakah jalan keluarnya.?
Jawaban
Termasuk perkara yang tidak disangsikan padanya adalah diharamkannya bagi manusia memelihara anjing kecuali dalam beberapa perkara yang ditegaskan oleh syara’ atas bolehnya memeliharanya. Karena sesungguhnya.
“Artinya : Siapa yang menjadikan anjing –kecuali anjing penjaga ternak, atau anjing pemburu, atau anjing penjaga tanaman- niscaya berkuranglah satu qirath pahalanya setiap hari” [1]
Apabila berkurang pahalanya satu qirath berarti ia berdosa dengan perbuatannya tersebut, karena hilangnya pahala seperti mendapatkan dosa, keduanya menunjukkan haramnya. Dalam kesempatan ini, saya memberi nasehat kepada orang-orang yang tertipu dengan perbuatan orang-orang kafir berupa pemeliharaan terhadap anjing, merupakan perbuatan keji.
Kenajisannya lebih berat daripada najis-najis lainnya. Sesungguhnya najis anjing tidak bisa suci kecuali dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah. Sampai-sampai babi yang keharamannya ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an dan ia adalah rijs (najis), kenajisannya tidak sampai kepada batas ini. Anjing adalah najis yang sangat buruk sampai kepada batas ini. Anjing adalah najis yang sangat buruk. Namun sangat disayangkan, sebagian orang tertipu dengan orang-orang kafir yang terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan tercela, maka mereka memelihara anjing ini tanpa da keperluan, tanpa keterpaksaan.
Memelihara, mendidik dan membersihkannya padahal ia tidak pernah bersih selamanya. Walaupun dibersihkan dengan air laut niscaya tidak akan pernah bersih karena najisnya bersifat ain (dzatnya). Kemudian mereka mengalami kerugian yang sangat banyak, menyia-nyiakan harta dengan pemeliharaan tersebut dan (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyia-nyiakan harta) [2].
Saya menyarankan kepada mereka agar bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengeluarkan anjing dari rumah mereka. Adapun orang yang membutuhkannya untuk berburu, atau bertani atau memelihara ternak, sesungguhnya hal tersebut tidak apa-apa karena adanya izin dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan hal tersebut.
Tinggal jawaban terhadap pertanyaan saudara ini, kami katakan kepadanya. Apabila anda telah mengeluarkan anjing ini dari rumah dan mengusirnya, lalu ia datang lagi, maka anda tidak bertanggung jawab terhadapnya. Jangan anda biarkan ia tetap berada di sisi anda, jangan diberi tempat. Apabila anda terus memperlakukannya seperti ini di belakang pintu, kemungkinan ia akan pergi dan meninggalkan kota dan makan dari rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana anjing-anjing lainnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Al-Bukhari dengan seumpamanya dalam Adz-Dzba’ih dan Ash-Shaid, Muslim dalam Al-Musaqat [2]. HR Al-Bukhari Dalam Az-Zakah dan Muslim dalam Al-Aqdhiyah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sesungguhnya di dalam rumah, kami memiliki anjing betina yang kami peroleh. Tadinya, kami tidak mengetahui hukum memelihara anjing tanpa keperluan. Setelah kami mengetahui hukumnya, kami mengusir anjing tersebut, dan ia tidak mau pergi karena sudah sangat jinak di rumah dan saya tidak ingin membunuhnya. Apakah jalan keluarnya.?
Jawaban
Termasuk perkara yang tidak disangsikan padanya adalah diharamkannya bagi manusia memelihara anjing kecuali dalam beberapa perkara yang ditegaskan oleh syara’ atas bolehnya memeliharanya. Karena sesungguhnya.
“Artinya : Siapa yang menjadikan anjing –kecuali anjing penjaga ternak, atau anjing pemburu, atau anjing penjaga tanaman- niscaya berkuranglah satu qirath pahalanya setiap hari” [1]
Apabila berkurang pahalanya satu qirath berarti ia berdosa dengan perbuatannya tersebut, karena hilangnya pahala seperti mendapatkan dosa, keduanya menunjukkan haramnya. Dalam kesempatan ini, saya memberi nasehat kepada orang-orang yang tertipu dengan perbuatan orang-orang kafir berupa pemeliharaan terhadap anjing, merupakan perbuatan keji.
Kenajisannya lebih berat daripada najis-najis lainnya. Sesungguhnya najis anjing tidak bisa suci kecuali dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah. Sampai-sampai babi yang keharamannya ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an dan ia adalah rijs (najis), kenajisannya tidak sampai kepada batas ini. Anjing adalah najis yang sangat buruk sampai kepada batas ini. Anjing adalah najis yang sangat buruk. Namun sangat disayangkan, sebagian orang tertipu dengan orang-orang kafir yang terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan tercela, maka mereka memelihara anjing ini tanpa da keperluan, tanpa keterpaksaan.
Memelihara, mendidik dan membersihkannya padahal ia tidak pernah bersih selamanya. Walaupun dibersihkan dengan air laut niscaya tidak akan pernah bersih karena najisnya bersifat ain (dzatnya). Kemudian mereka mengalami kerugian yang sangat banyak, menyia-nyiakan harta dengan pemeliharaan tersebut dan (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyia-nyiakan harta) [2].
Saya menyarankan kepada mereka agar bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengeluarkan anjing dari rumah mereka. Adapun orang yang membutuhkannya untuk berburu, atau bertani atau memelihara ternak, sesungguhnya hal tersebut tidak apa-apa karena adanya izin dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan hal tersebut.
Tinggal jawaban terhadap pertanyaan saudara ini, kami katakan kepadanya. Apabila anda telah mengeluarkan anjing ini dari rumah dan mengusirnya, lalu ia datang lagi, maka anda tidak bertanggung jawab terhadapnya. Jangan anda biarkan ia tetap berada di sisi anda, jangan diberi tempat. Apabila anda terus memperlakukannya seperti ini di belakang pintu, kemungkinan ia akan pergi dan meninggalkan kota dan makan dari rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana anjing-anjing lainnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Al-Bukhari dengan seumpamanya dalam Adz-Dzba’ih dan Ash-Shaid, Muslim dalam Al-Musaqat [2]. HR Al-Bukhari Dalam Az-Zakah dan Muslim dalam Al-Aqdhiyah
Mendidik Anjing
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya memiliki anjing yang saya didik. Ia bukan jenis anjing pemburu yang sudah dikenal. Apakah hasil buruannya (ketika berburu) halal atau haram? Dan apa hukumnya memelihara binatang-binatang seperti ini?
Jawaban
Tidak boleh bagi seseorang memelihara anjing, kecuali anjing pemburu, atau penjaga tanaman atau penjaga ternak, sebagaimana adanya hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal tersebut.
Anjing-anjing ini, yang disinggung oleh penanya, jika dipelihara untuk melatihnya berburu, maka tidak ada larangan dalam memelihara tersebut, karena firman Allah.
“Artinya : (Buruan yang ditangkap) oleh binatang-binatang buas yang telah kamu ajarkan dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya” [Al-Maidah : 4]
Apabila memeliharanya hanya karena hobi semata, maka hal ini hukumnya haram, tidak boleh, dan berkurang satu qirath pahalanya setiap hari.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengingatkan terhadap perbuatan mayoritas orang-orang yang hidup berlebihan, seperti memelihara anjing di rumah mereka, bahkan mereka membelinya dengan harta yang lebih dari biasanya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (melarang memakan harga anjing) [1] mereka melakukan hal itu karena meniru non muslim. Sudah jelas bahwa meniru non muslim dalam perkara yang diharamkan atau yang merupakan ciri khas mereka adalah perkara yang tidak boleh (haram), karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka” [2]
Nasehat saya kepada mereka-mereka semua agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memelihara uang mereka, menjaga pahala dan ganjaran ibadah dari berkurangnya, dan agar mereka meninggalkan anjing-anjing ini serta bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa yang bertaubat niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubatnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Al-Bukhari dalam Al-Buyu dan Muslim dalam Al-Musaqat
[2]. HR Abu Daud dan Ahmad
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya memiliki anjing yang saya didik. Ia bukan jenis anjing pemburu yang sudah dikenal. Apakah hasil buruannya (ketika berburu) halal atau haram? Dan apa hukumnya memelihara binatang-binatang seperti ini?
Jawaban
Tidak boleh bagi seseorang memelihara anjing, kecuali anjing pemburu, atau penjaga tanaman atau penjaga ternak, sebagaimana adanya hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal tersebut.
Anjing-anjing ini, yang disinggung oleh penanya, jika dipelihara untuk melatihnya berburu, maka tidak ada larangan dalam memelihara tersebut, karena firman Allah.
“Artinya : (Buruan yang ditangkap) oleh binatang-binatang buas yang telah kamu ajarkan dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya” [Al-Maidah : 4]
Apabila memeliharanya hanya karena hobi semata, maka hal ini hukumnya haram, tidak boleh, dan berkurang satu qirath pahalanya setiap hari.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengingatkan terhadap perbuatan mayoritas orang-orang yang hidup berlebihan, seperti memelihara anjing di rumah mereka, bahkan mereka membelinya dengan harta yang lebih dari biasanya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (melarang memakan harga anjing) [1] mereka melakukan hal itu karena meniru non muslim. Sudah jelas bahwa meniru non muslim dalam perkara yang diharamkan atau yang merupakan ciri khas mereka adalah perkara yang tidak boleh (haram), karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka” [2]
Nasehat saya kepada mereka-mereka semua agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memelihara uang mereka, menjaga pahala dan ganjaran ibadah dari berkurangnya, dan agar mereka meninggalkan anjing-anjing ini serta bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa yang bertaubat niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubatnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Al-Bukhari dalam Al-Buyu dan Muslim dalam Al-Musaqat
[2]. HR Abu Daud dan Ahmad
Hukum Perayaan Menyambut Tahun Baru Rabu
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya :
[1]. Pada beberapa hari belakangan ini, kami menyaksikan betapa gencarnya liputan mass-media mass-media (cetak maupun elektronik) dalam rangka menyambut datangnya tahun 2000M dan permulaan Milenium Ketiga seputar kejadian-kejadian dan prosesi-prosesinya. Terlihat bahwa orang-orang kafir dari kalangan yahudi dan nashrani serta selain mereka begitu suka cita menggantungkan harapan-harapan dengan adanya hal itu.
Pertanyaannya, wahai Syaikh yang mulia. Sesungguhnya sebagian mereka yang menisbatkan diri sebagai orang Islam telah juga menunjukkan perhatiannya terhadap hal ini dan menganggapnya sebagai momentum bahagia sehingga mengaitkan hal itu dengan pernikahan, pekerjaan mereka atau memajang/menempelkan pengumuman tentang hal itu di altar-altar perdagangan atau perusahaan mereka dan lain sebagainya yang menimbulkan dampak negatif bagi seorang Muslim.
Dalam hal ini, apakah hukum mengangungkan momentum seperti itu dan menyambutnya serta saling mengucapkan selamat karenanya, baik secara lisan, melalui kartu khusus yang dicetak dan lain sebagainya, menurut syari'at Islam ? Semoga Allah memberikan ganjaran pahala kepada anda atas amal shalih terhadap Islam dan kaum Muslimin dengan sebaik-baik ganjaran.
[2]. Dalam versi pertanyaan yang lain : Orang-orang yahudi dan nashrani bersiap-siap untuk menyambut datang tahun baru 2000 Masehi berdasarkan sejarah mereka dalam bentuk yang tidak lazim demi mempromosikan program-program serta keyakinan-keyakinan mereka di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Islam.
Sebagian kaum Muslimin telah terpengaruh dengan promosi ini sehingga mereka nampak mempersiapkan segala sesuatunya untuk hal itu, dan di antara mereka ada yang mengumumkan potongan harga (diskon) atas barang dagangannnya spesial buat momentum ini. Kiranya, dikhawatirkan kelak hal ini berkembang menjadi aqidah kaum Muslimin di dalam ber-wala' (loyal) terhadap orang-orang non Muslim.
Kami berharap mendapatkan penjelasan anda seputar hukum keikutsertaan kaum Muslimin dalam momentum-momentum kaum kafir, mempromosikan hal itu dan menyambutnya. Demikian juga hukum menon-aktifkan kegiatan kerja oleh sebagian lembaga dari perusahaan berkenaan dengan hal itu.
Apakah melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut dan semisalnya atau rela terhadapnya mempengaruhi aqidah seorang Muslim ?
Jawaban.
Sesungguhnya nikmat yang paling besar yang dianugrahkan oleh Allah kepada para hambaNya adalah nikmat Islam dan hidayah kepada jalanNya yang lurus. Di antara rahmatNya pula, Allah Ta'ala mewajibkan kepada para hambaNya, kaum Mukminin, agar memohon hidayahNya di dalam shalat-shalat mereka. Mereka memohon kepadaNya agar mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus dan mantap di atasnya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala telah memberikan spesifikasi jalan (shirath) ini sebagai jalan para Nabi, Ash-Shiddiqin, Syuhada dan orang-orang shalih yang Dia anugrahkan nikmatNya kepada mereka. Jadi, bukan jalan orang-orang yahudi, nashrani dan seluruh orang-orang kafir dan musyrik yang menyimpang darinya.
Bila hal ini sudah diketahui, maka adalah wajib bagi seorang Muslim untuk mengenal kadar nikmat Allah kepadanya sehingga dengan itu, dia mau bersyukur kepadaNya melalui ucapan, perbuatan dan keyakinan. Dalam pada itu, dia juga akan menjaga nikmat ini dan membentenginya serta melakukan sebab-sebab yang dapat menjaga hilangnnya nikmat tersebut.
Bagi orang yang diberikan bashiroh (pemahaman mendalam) terhadap Dienullah di saat kondisi dunia dewasa ini yang diselimuti oleh pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan pada kebanyakan orang, dia akan mengetahui dengan jelas upaya keras yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menghapus kebenarannya dan memadamkan cahayanya, upaya menjauhkan kaum Muslimin darinya serta memutuskan kontak mereka dengannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan. Belum lagi, upaya memperburuk citra Islam dan melabelkan tuhudan dan kebohongan-kebohongan terhadanya guna menghadang seluruh manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada RasulNya, Muhammad bin Abdullah. Pembenaran statement ini dibuktikan oleh firman-firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kami beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [Al-Baqarah : 109]
"Artinya : Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" [Ali-Imran : 69]
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi" [Ali-Imran : 149]
"Artinya : Katakanlah, Hai ahli kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan, "Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan" [Ali Imran : 99]
Dan ayat-ayat lainnya. Akan tetapi meskipun demikian, Allah Ta'ala telah berjanji untuk mejaga dienNya dan kitabNya, dalam firmanNya.
"Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" [Al-Hijr : 9]
Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa akan selalu muncul suatu golongan dari umatnya yang berjalan di atas al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka ataupun menentang mereka hingga terjadi hari Kiamat. Segala puji bagi Allah pujian yang banyak dan kita memohon kepadaNya Yang Maha Dekat dan Mengabulkan Permohonan agar menjadikan kita dan saudara-saudara kita kaum Muslimin termasuk dari golongan tersebut, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Dengan ini, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta setelah mendengar dan melihat adanya penyambutan yang demikian meriah dan perhatian yang serius dan beberapa golongan orang-orang yahudi dan nashrani serta orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam yang terpengaruh oleh mereka berkenaan dengan telah berakhirnya momentum tahun 2000 dan menyongsong Milenium Ketiga menurut Kalender Masehi, maka suka tidak suka, Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta wajib memberikan nasehat dan penjelasan kepada seluruh kaum Muslimin tentang hakikat momentum ini serta hukum syariat yang suci ini terhadapnya sehingga kaum Muslimin memahami dengan baik dien mereka dan berhati-hati. Dengan demikian, tidak terjerumus ke dalam kesesatan-kesesatan orang-orang yahudi yang dimurkai dan orang-orang nashrani yang sesat.
Karenanya, kami menyatakan.
Pertama.
Sesungguhnya orang-orang yahudi dan nashrani menggantungkan kejadian-kejadian, keluh-kesah dan harapan-harapan mereka kepada momentum Milenium ini dengan begitu yakin akan terealisasinya hal itu atau paling tidak, hampir demikian karena menurut anggapan mereka hal ini sudah melalui proses kajian dan penelitian. Demikian pula, mereka mengait-ngaitkan sebagian permasalahan aqidah mereka dengan momentum ini dengan anggapan bahwa hal itu berasal dari ajaran kitab-kitab mereka yang sudah dirubah. Jadi, adalah wajib bagi seorang Muslim untuk tidak menoleh kepada hal itu dan tergoda olehnya bahkan semestinya merasa cukup dengan Kitab Rabbnya Ta'ala dan Sunnah Nabinya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak memerlukan lagi selain keduanya. Sedangkan teori-teori dan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan keduanya, ia tidak lebih hanya sekedar berupa ilusi belaka.
Kedua.
Momentum ini dan semisalnya tidak luput dari pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, permisivisme (serba boleh) dan atheisme serta pemunculan sesuatu yang menurut syari'at adalah sesuatu yang mungkar. Di antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama (pluralisme), penyamaan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan syi'ar-syi'ar kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang nashrani dan yahudi serta perbuatan-pebuatan dan ucapan-ucapan semisal itu yang mengandung beberapa hal ; bisa jadi, pernyataan bahwa syari'at nashrani dan yahudi yang sudah diganti dan dihapus tersebut dapat menyampaikan kepada Allah. Bisa jadi pula, berupa anggapan baik terhadap sebagian dari ajaran kedua agama tersebut yang bertentangan dengan dien al-Islam. Atau hal selain itu yang merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan RasulNya, kepada Islam dan ijma' umat ini. Belum lagi, hal itu adalah sebagai salah satu sarana westernisasi kaum Muslimin dari ajaran-ajaran agama mereka.
Ketiga
Banyak sekali dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka. Di antara hal itu adalah menyerupai mereka dalam perayaan hari-hari besar dan pesta-pesta mereka. Hari besar ('Ied) maknanya (secara terminologis) adalah sebutan bagi sesuatu, termasuk didalamnya setiap hari yang datang kembali dan terulang, yang diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar ('Ied) mereka. Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam dien Islam, demikian pula, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firmanNya.
"Artinya : Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu" [Al-Furqan : 72]
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi' bin Anas menafsirkan kata "Az-Zuura" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.
Dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar ('Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri" [1]
Demikian pula terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata, "Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari berkata.
"Artinya : Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah ? Mereka menjawab, 'Tidak'. Beliau bertanya lagi. 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka ?'. Mereka menjawab, 'Tidak'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tepatilah nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia" [2]
Umar bin Al-Khaththtab Radhiyallahu 'anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" [3]
Dia berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" [4]
Dan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festifal seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" [5]
Keempat.
Merayakan hari-hari besar orang-orang kafir juga dilarang karena alasan-alasan yang banyak sekali, di antaranya :
[a]. Menyerupai mereka dalam sebagian hari besar mereka mengandung konsekwensi bergembira dan membuat mereka berlapang dada terhadap kebatilan yang sedang mereka lakukan.
[b]. Menyerupai mereka dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat lahiriah akan mengandung konsekwensi menyerupai mereka pula dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat batiniah yang berupa 'aqidah-aqidah batil melalui cara mencuri-curi dan bertahap lagi tersembunyi.
Dampak negatif yang paling besar dari hal itu adalah menyerupai orang-orang kafir secara lahiriah akan menimbulkan sejenis kecintaan dan kesukaan serta loyalitas secara batin. Mencintai dan loyal terhadap mereka menafikan keimanan sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ; sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin ; maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim" [Al-Maidah : 51]
Dan firmanNya.
"Artinya : Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih saying dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya" [Al-Mujadillah : 22]
Kelima.
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 'Milenium' rekaan tersebut. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, "Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya" [Al-Maidah : 2]
Keenam.
Seorang Muslim tidak boleh saling tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka. Di antara hal itu adalah mempromosikan dan mengumumkan hari-hari besar mereka, termasuk pesta 'milenium' rekaan tersebut. Demikian pula, mengajak pada hal itu dengan sarana apapun baik melalui mass media, memasang jam-jam dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, membuat pakaian-pakaian dan plakat-plakat kenangan, mencetak kartu-kartu dan buku-buku tulis sekolah, memberikan diskon khusus pada dagangan dan hadiah-hadiah uang dalam rangka itu, kegiatan-kegiatan olah raga ataupun menyebarkan symbol khusus untuk hal itu.
Ketujuh
Seorang Muslim tidak boleh menganggap hari-hari besar orang-orang kafir, termasuk pesta Milenium rekaan tersebut sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu yang diberkahi sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan perkawinan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya. Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya, dan karena hal ini merupakan keyakinan yang rusak yang tidak dapat merubah hakikat sesuatu bahkan keyakinan seperti ini adalah dosa di atas dosa, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan di terbebas dari hal itu.
Kedelapan
Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan dan membuat mereka bergembira, karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata " Adapun mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat dalam rangka hari-hari besar mereka dan puasa mereka, seperti mengucapkan 'Semoga hari besar ini diberkahi' atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut. Dalam hal ini, kalaupun pengucapnya lolos dari kekufuran akan tetapi dia tidak akan lolos dari melakukan hal yang diharamkan. Hal ini sama posisinya dengan bilamana dia mengucpkan selamat karena dia (orang kafir) itu sujud terhadap salib. Bahkan, dosa dan kemurkaan terhafap hal itu lebih besar dari sisi Allah ketimbang mengucapkan selamat atas minum khamr, membunuh jiwa yang tidak berdosa, berzina dan semisalnya. Banyak sekali orang yang tidak memiliki sedikitpun kadar dien pada dirinya terjerumus ke dalam hal itu dan dia tidak menyadari jeleknya perbuatannya. Maka, siapa saja yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena suatu maksiat, bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, berarti dia telah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah"
Kesembilan.
Adalah suatu kehormatan bagi kaum Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun. Hal itu kemudian diteruskan secara turun temurun oleh kaum Muslimin yang datang setelah mereka, sejak 14 abad yang lalu hingga saat ini. Karenaya seorang Muslim tidak boleh mengalihkan penggunaan kalender Hijriah kepada kelender umat-umat selainnya, seperti kalender Masehi ini ; karena termasuk perbuatan menggantikan yang lebih baik dengan yang lebih jelek. Dari itu kami wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum Muslimin, agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, berbuat ta'at dan menjauhi kemaksiatan terhadapNya serta saling berwasiat dengan hal itu dan sabar atasnya.
Hendaknya setiap Mukmin yang menjadi penasehat bagi dirinya dan antusias terhadap keselamatannya dari murka Allah dan laknatNya di dunia dan Akhirat berusaha keras di dalam merealisasikan ilmu dan iman, menjadikan Allah semata sebagai Pemberi petunjuk, Penolong, Hakim dan Pelindung, karena sesungguhnya Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong serta berdo'alah selalu dengan do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini.
"Artinya : Ya, Allah, Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Pencipta lelangit dan bumi. Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hal yang diperselisihkan di antara para hambaMu, berilah petunjuk kepadaku terhadap kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya Engkau menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus" [6]
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Dikelaurkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya. Sunan Abu Daud, kitab Ash-Shalah, Sunan An-Nasa'i, Kitab Shalah Al-Iedain, No. 1556 dengan sanad yang shahih.
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Daud, Kitab Al-Aiman Wa An-Nadzar denan sanad shahih.
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqy
[4]. Ibid
[5]. 'Aun Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Kitab Shalah Al-Musafirin
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya :
[1]. Pada beberapa hari belakangan ini, kami menyaksikan betapa gencarnya liputan mass-media mass-media (cetak maupun elektronik) dalam rangka menyambut datangnya tahun 2000M dan permulaan Milenium Ketiga seputar kejadian-kejadian dan prosesi-prosesinya. Terlihat bahwa orang-orang kafir dari kalangan yahudi dan nashrani serta selain mereka begitu suka cita menggantungkan harapan-harapan dengan adanya hal itu.
Pertanyaannya, wahai Syaikh yang mulia. Sesungguhnya sebagian mereka yang menisbatkan diri sebagai orang Islam telah juga menunjukkan perhatiannya terhadap hal ini dan menganggapnya sebagai momentum bahagia sehingga mengaitkan hal itu dengan pernikahan, pekerjaan mereka atau memajang/menempelkan pengumuman tentang hal itu di altar-altar perdagangan atau perusahaan mereka dan lain sebagainya yang menimbulkan dampak negatif bagi seorang Muslim.
Dalam hal ini, apakah hukum mengangungkan momentum seperti itu dan menyambutnya serta saling mengucapkan selamat karenanya, baik secara lisan, melalui kartu khusus yang dicetak dan lain sebagainya, menurut syari'at Islam ? Semoga Allah memberikan ganjaran pahala kepada anda atas amal shalih terhadap Islam dan kaum Muslimin dengan sebaik-baik ganjaran.
[2]. Dalam versi pertanyaan yang lain : Orang-orang yahudi dan nashrani bersiap-siap untuk menyambut datang tahun baru 2000 Masehi berdasarkan sejarah mereka dalam bentuk yang tidak lazim demi mempromosikan program-program serta keyakinan-keyakinan mereka di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Islam.
Sebagian kaum Muslimin telah terpengaruh dengan promosi ini sehingga mereka nampak mempersiapkan segala sesuatunya untuk hal itu, dan di antara mereka ada yang mengumumkan potongan harga (diskon) atas barang dagangannnya spesial buat momentum ini. Kiranya, dikhawatirkan kelak hal ini berkembang menjadi aqidah kaum Muslimin di dalam ber-wala' (loyal) terhadap orang-orang non Muslim.
Kami berharap mendapatkan penjelasan anda seputar hukum keikutsertaan kaum Muslimin dalam momentum-momentum kaum kafir, mempromosikan hal itu dan menyambutnya. Demikian juga hukum menon-aktifkan kegiatan kerja oleh sebagian lembaga dari perusahaan berkenaan dengan hal itu.
Apakah melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut dan semisalnya atau rela terhadapnya mempengaruhi aqidah seorang Muslim ?
Jawaban.
Sesungguhnya nikmat yang paling besar yang dianugrahkan oleh Allah kepada para hambaNya adalah nikmat Islam dan hidayah kepada jalanNya yang lurus. Di antara rahmatNya pula, Allah Ta'ala mewajibkan kepada para hambaNya, kaum Mukminin, agar memohon hidayahNya di dalam shalat-shalat mereka. Mereka memohon kepadaNya agar mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus dan mantap di atasnya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala telah memberikan spesifikasi jalan (shirath) ini sebagai jalan para Nabi, Ash-Shiddiqin, Syuhada dan orang-orang shalih yang Dia anugrahkan nikmatNya kepada mereka. Jadi, bukan jalan orang-orang yahudi, nashrani dan seluruh orang-orang kafir dan musyrik yang menyimpang darinya.
Bila hal ini sudah diketahui, maka adalah wajib bagi seorang Muslim untuk mengenal kadar nikmat Allah kepadanya sehingga dengan itu, dia mau bersyukur kepadaNya melalui ucapan, perbuatan dan keyakinan. Dalam pada itu, dia juga akan menjaga nikmat ini dan membentenginya serta melakukan sebab-sebab yang dapat menjaga hilangnnya nikmat tersebut.
Bagi orang yang diberikan bashiroh (pemahaman mendalam) terhadap Dienullah di saat kondisi dunia dewasa ini yang diselimuti oleh pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan pada kebanyakan orang, dia akan mengetahui dengan jelas upaya keras yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menghapus kebenarannya dan memadamkan cahayanya, upaya menjauhkan kaum Muslimin darinya serta memutuskan kontak mereka dengannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan. Belum lagi, upaya memperburuk citra Islam dan melabelkan tuhudan dan kebohongan-kebohongan terhadanya guna menghadang seluruh manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada RasulNya, Muhammad bin Abdullah. Pembenaran statement ini dibuktikan oleh firman-firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kami beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [Al-Baqarah : 109]
"Artinya : Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" [Ali-Imran : 69]
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi" [Ali-Imran : 149]
"Artinya : Katakanlah, Hai ahli kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan, "Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan" [Ali Imran : 99]
Dan ayat-ayat lainnya. Akan tetapi meskipun demikian, Allah Ta'ala telah berjanji untuk mejaga dienNya dan kitabNya, dalam firmanNya.
"Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" [Al-Hijr : 9]
Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa akan selalu muncul suatu golongan dari umatnya yang berjalan di atas al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka ataupun menentang mereka hingga terjadi hari Kiamat. Segala puji bagi Allah pujian yang banyak dan kita memohon kepadaNya Yang Maha Dekat dan Mengabulkan Permohonan agar menjadikan kita dan saudara-saudara kita kaum Muslimin termasuk dari golongan tersebut, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Dengan ini, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta setelah mendengar dan melihat adanya penyambutan yang demikian meriah dan perhatian yang serius dan beberapa golongan orang-orang yahudi dan nashrani serta orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam yang terpengaruh oleh mereka berkenaan dengan telah berakhirnya momentum tahun 2000 dan menyongsong Milenium Ketiga menurut Kalender Masehi, maka suka tidak suka, Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta wajib memberikan nasehat dan penjelasan kepada seluruh kaum Muslimin tentang hakikat momentum ini serta hukum syariat yang suci ini terhadapnya sehingga kaum Muslimin memahami dengan baik dien mereka dan berhati-hati. Dengan demikian, tidak terjerumus ke dalam kesesatan-kesesatan orang-orang yahudi yang dimurkai dan orang-orang nashrani yang sesat.
Karenanya, kami menyatakan.
Pertama.
Sesungguhnya orang-orang yahudi dan nashrani menggantungkan kejadian-kejadian, keluh-kesah dan harapan-harapan mereka kepada momentum Milenium ini dengan begitu yakin akan terealisasinya hal itu atau paling tidak, hampir demikian karena menurut anggapan mereka hal ini sudah melalui proses kajian dan penelitian. Demikian pula, mereka mengait-ngaitkan sebagian permasalahan aqidah mereka dengan momentum ini dengan anggapan bahwa hal itu berasal dari ajaran kitab-kitab mereka yang sudah dirubah. Jadi, adalah wajib bagi seorang Muslim untuk tidak menoleh kepada hal itu dan tergoda olehnya bahkan semestinya merasa cukup dengan Kitab Rabbnya Ta'ala dan Sunnah Nabinya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak memerlukan lagi selain keduanya. Sedangkan teori-teori dan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan keduanya, ia tidak lebih hanya sekedar berupa ilusi belaka.
Kedua.
Momentum ini dan semisalnya tidak luput dari pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, permisivisme (serba boleh) dan atheisme serta pemunculan sesuatu yang menurut syari'at adalah sesuatu yang mungkar. Di antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama (pluralisme), penyamaan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan syi'ar-syi'ar kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang nashrani dan yahudi serta perbuatan-pebuatan dan ucapan-ucapan semisal itu yang mengandung beberapa hal ; bisa jadi, pernyataan bahwa syari'at nashrani dan yahudi yang sudah diganti dan dihapus tersebut dapat menyampaikan kepada Allah. Bisa jadi pula, berupa anggapan baik terhadap sebagian dari ajaran kedua agama tersebut yang bertentangan dengan dien al-Islam. Atau hal selain itu yang merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan RasulNya, kepada Islam dan ijma' umat ini. Belum lagi, hal itu adalah sebagai salah satu sarana westernisasi kaum Muslimin dari ajaran-ajaran agama mereka.
Ketiga
Banyak sekali dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka. Di antara hal itu adalah menyerupai mereka dalam perayaan hari-hari besar dan pesta-pesta mereka. Hari besar ('Ied) maknanya (secara terminologis) adalah sebutan bagi sesuatu, termasuk didalamnya setiap hari yang datang kembali dan terulang, yang diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar ('Ied) mereka. Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam dien Islam, demikian pula, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firmanNya.
"Artinya : Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu" [Al-Furqan : 72]
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi' bin Anas menafsirkan kata "Az-Zuura" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.
Dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar ('Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri" [1]
Demikian pula terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata, "Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari berkata.
"Artinya : Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah ? Mereka menjawab, 'Tidak'. Beliau bertanya lagi. 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka ?'. Mereka menjawab, 'Tidak'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tepatilah nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia" [2]
Umar bin Al-Khaththtab Radhiyallahu 'anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" [3]
Dia berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" [4]
Dan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festifal seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" [5]
Keempat.
Merayakan hari-hari besar orang-orang kafir juga dilarang karena alasan-alasan yang banyak sekali, di antaranya :
[a]. Menyerupai mereka dalam sebagian hari besar mereka mengandung konsekwensi bergembira dan membuat mereka berlapang dada terhadap kebatilan yang sedang mereka lakukan.
[b]. Menyerupai mereka dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat lahiriah akan mengandung konsekwensi menyerupai mereka pula dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat batiniah yang berupa 'aqidah-aqidah batil melalui cara mencuri-curi dan bertahap lagi tersembunyi.
Dampak negatif yang paling besar dari hal itu adalah menyerupai orang-orang kafir secara lahiriah akan menimbulkan sejenis kecintaan dan kesukaan serta loyalitas secara batin. Mencintai dan loyal terhadap mereka menafikan keimanan sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ; sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin ; maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim" [Al-Maidah : 51]
Dan firmanNya.
"Artinya : Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih saying dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya" [Al-Mujadillah : 22]
Kelima.
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 'Milenium' rekaan tersebut. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, "Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya" [Al-Maidah : 2]
Keenam.
Seorang Muslim tidak boleh saling tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka. Di antara hal itu adalah mempromosikan dan mengumumkan hari-hari besar mereka, termasuk pesta 'milenium' rekaan tersebut. Demikian pula, mengajak pada hal itu dengan sarana apapun baik melalui mass media, memasang jam-jam dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, membuat pakaian-pakaian dan plakat-plakat kenangan, mencetak kartu-kartu dan buku-buku tulis sekolah, memberikan diskon khusus pada dagangan dan hadiah-hadiah uang dalam rangka itu, kegiatan-kegiatan olah raga ataupun menyebarkan symbol khusus untuk hal itu.
Ketujuh
Seorang Muslim tidak boleh menganggap hari-hari besar orang-orang kafir, termasuk pesta Milenium rekaan tersebut sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu yang diberkahi sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan perkawinan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya. Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya, dan karena hal ini merupakan keyakinan yang rusak yang tidak dapat merubah hakikat sesuatu bahkan keyakinan seperti ini adalah dosa di atas dosa, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan di terbebas dari hal itu.
Kedelapan
Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan dan membuat mereka bergembira, karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata " Adapun mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat dalam rangka hari-hari besar mereka dan puasa mereka, seperti mengucapkan 'Semoga hari besar ini diberkahi' atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut. Dalam hal ini, kalaupun pengucapnya lolos dari kekufuran akan tetapi dia tidak akan lolos dari melakukan hal yang diharamkan. Hal ini sama posisinya dengan bilamana dia mengucpkan selamat karena dia (orang kafir) itu sujud terhadap salib. Bahkan, dosa dan kemurkaan terhafap hal itu lebih besar dari sisi Allah ketimbang mengucapkan selamat atas minum khamr, membunuh jiwa yang tidak berdosa, berzina dan semisalnya. Banyak sekali orang yang tidak memiliki sedikitpun kadar dien pada dirinya terjerumus ke dalam hal itu dan dia tidak menyadari jeleknya perbuatannya. Maka, siapa saja yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena suatu maksiat, bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, berarti dia telah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah"
Kesembilan.
Adalah suatu kehormatan bagi kaum Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun. Hal itu kemudian diteruskan secara turun temurun oleh kaum Muslimin yang datang setelah mereka, sejak 14 abad yang lalu hingga saat ini. Karenaya seorang Muslim tidak boleh mengalihkan penggunaan kalender Hijriah kepada kelender umat-umat selainnya, seperti kalender Masehi ini ; karena termasuk perbuatan menggantikan yang lebih baik dengan yang lebih jelek. Dari itu kami wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum Muslimin, agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, berbuat ta'at dan menjauhi kemaksiatan terhadapNya serta saling berwasiat dengan hal itu dan sabar atasnya.
Hendaknya setiap Mukmin yang menjadi penasehat bagi dirinya dan antusias terhadap keselamatannya dari murka Allah dan laknatNya di dunia dan Akhirat berusaha keras di dalam merealisasikan ilmu dan iman, menjadikan Allah semata sebagai Pemberi petunjuk, Penolong, Hakim dan Pelindung, karena sesungguhnya Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong serta berdo'alah selalu dengan do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini.
"Artinya : Ya, Allah, Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Pencipta lelangit dan bumi. Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hal yang diperselisihkan di antara para hambaMu, berilah petunjuk kepadaku terhadap kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya Engkau menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus" [6]
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Dikelaurkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya. Sunan Abu Daud, kitab Ash-Shalah, Sunan An-Nasa'i, Kitab Shalah Al-Iedain, No. 1556 dengan sanad yang shahih.
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Daud, Kitab Al-Aiman Wa An-Nadzar denan sanad shahih.
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqy
[4]. Ibid
[5]. 'Aun Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Kitab Shalah Al-Musafirin
Beban Syar'i Untuk Orang Yang Kehilangan Ingatan Dan Pingsan
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah masih ada beban-beban syar'i bagi orang yang kehilangan ingatan dan orang yang pingsan ?
Jawaban.
Sesungguhnya Allah mewajibkan berbagai bentuk ibadah kepada manusia jika memang ia berhak diberi beban kewajiban, yaitu ia harus berakal yang bisa digunakan untuk mengetahui segala sesuatu. Sedangkan orang yang tidak berakal tidak diberi kewajiban-kewajiban syar'i. Oleh karena itu orang gila, anak kecil dan orang yang belum baligh tidak diberi kewajiban syariat. Dan ini adalah rahmat Allah. Contoh lainnya adalah orang yang akalnya tidak normal meski belum sampai pada tingkat gila, atau orang tua yang sudah kehilangan ingatan maka tidak wajib atasnya shalat dan puasa karena ingatannya telah hilang yang mana ia sama kedudukannya seperti bayi yang tidak bisa membedakan. Maka terlepaslah beban syariat darinya.
Adapun kewajiban yang terkait dengan harta tetap harus ditunaikan meskipun ia telah kehilangan ingatan. Zakat misalnya, ia harus ditunaikan atas hartanya, maka orang yang mengurusnya harus mengeluarkan zakatnya, karena kewajiban zakat itu kaitannya dengan harta, sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Ambillah dari harta mereka"
Dan tidak dikatakan "Ambillah dari mereka".
Nabi juga berkata kepada Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman
"Artinya : Dan beritahukanlah kepda mereka bahwa Allah mewajibkan zakat pada harta mereka yang diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada orang miskin diantara mereka". [1]
Dari dasar ini maka kewajiban harta tidak hilang karena hilangnya ingatan. Adapun ibadah badan seperti shalat, bersuci dan shaum menjadi tidak wajib bagi orang ini karena ia tidak berakal.
Sedangkan orang yang hilang akalnya karena pingsan disebabkan sakit atau semisalnya maka menurut kebanyakan ahli ilmu ia tidak wajib shalat. Jika pingsannya sampai satu hari atau dua hari maka ia tidak wajib mengqadhanya, karena ia tidak berakal. Ia tidak seperti orang tidur yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentangnya.
"Artinya : Barangsiapa yang tertidur dari melakukan shalat atau terlupa maka hendaklah ia shalat saat telah ingat".[2]
Karena orang yang tidur masih memiliki kesadaran, artinya bila dibangunkan ia akan bisa bangun, sedangkan orang yang pingsan meskipun dibangunkan ia tidak bisa bangun. Hal ini jika pingsannya alami tanpa disengaja. Adapun jika pingsannya karena sebab tertentu seperti karena pembiusan dan semisalnya maka ia harus mengqadha shalat yang ditinggalkannya saat pingsan.
Wallahu 'alam.
APA YANG HARUS DILAKUKAN TERHADAP SESEORANG YANG TIDAK SADAR SELAMA DUA BULAN?
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang lelaki yang tidak sadar selama 2 bulan dan ia tidak shalat dan tidak puasa ramadhan selama itu. Kiranya apa yang harus ia kerjakan setelahnya ?
Jawaban
Ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa karena hilangnya ingatannya, namun jika Allah mentakdirkannya siuman kembali maka ia harus mengqadha puasanya. Bila ia ditakdirkan meninggal maka ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa kecuali bila sebelumnya ia termasuk orang yang mempunyai udzur tetap, seperti karena tua dan sebagainya maka walinya wajib menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari (sebanyak jumlah puasa yang ditinggalkan).
Adapun untuk shalat, para ulama berbeda menjadi dua pendapat :
[1]. Pendapat jumhur ulama yaitu tidak ada qadha baginya karena ada riwayat bahwa Ibnu Umar radhiyallahu anhuma pernah pingsan sehari semalam dan tidak mengqadha shalat yang ditinggalkannya.[3]
[2]. Dia wajib mengqadhanya, dan ini adalah madzhab ulama sekarang dan madzhab Hambali. Dikatakan dalam "Inshaf" : Hal ini kekayaan perbendaharaan madzhab, dan ini diriwayatkan dari Ammar bin Yasir bahwa ketika beliau pingsan tiga hari beliau mengqadha apa yang ditinggalkannya. [4]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Kitab Iman, Bab : Tentang Kehormatan Shalat, Nasa'i dalam "Al-Kubra", Kitab Tafsir, Bab FirmanNya "Mereka menjauhkan punggung mereka dari tempat tidur" . Ibnu Majah, Kitab Fitan, Bab Menjaga Lisan saat terjadi fitnah, Tirmidzi berkata hadits hasan shahih.
[2]. Sudah ditakhrij
[3]. Dikeluarkan Bukhari : Kitab Mawaqit Bab Barang siapa lupa dari shalatnya maka hendaklah shalat ketika mengingatnya. Dan Muslim : Kitab masajid Bab : Qadha shalat yang tertinggal.
[4]. Dikeluarkan oleh Malik Bab Ma-ja'a fi jamiil waqti
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah masih ada beban-beban syar'i bagi orang yang kehilangan ingatan dan orang yang pingsan ?
Jawaban.
Sesungguhnya Allah mewajibkan berbagai bentuk ibadah kepada manusia jika memang ia berhak diberi beban kewajiban, yaitu ia harus berakal yang bisa digunakan untuk mengetahui segala sesuatu. Sedangkan orang yang tidak berakal tidak diberi kewajiban-kewajiban syar'i. Oleh karena itu orang gila, anak kecil dan orang yang belum baligh tidak diberi kewajiban syariat. Dan ini adalah rahmat Allah. Contoh lainnya adalah orang yang akalnya tidak normal meski belum sampai pada tingkat gila, atau orang tua yang sudah kehilangan ingatan maka tidak wajib atasnya shalat dan puasa karena ingatannya telah hilang yang mana ia sama kedudukannya seperti bayi yang tidak bisa membedakan. Maka terlepaslah beban syariat darinya.
Adapun kewajiban yang terkait dengan harta tetap harus ditunaikan meskipun ia telah kehilangan ingatan. Zakat misalnya, ia harus ditunaikan atas hartanya, maka orang yang mengurusnya harus mengeluarkan zakatnya, karena kewajiban zakat itu kaitannya dengan harta, sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Ambillah dari harta mereka"
Dan tidak dikatakan "Ambillah dari mereka".
Nabi juga berkata kepada Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman
"Artinya : Dan beritahukanlah kepda mereka bahwa Allah mewajibkan zakat pada harta mereka yang diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada orang miskin diantara mereka". [1]
Dari dasar ini maka kewajiban harta tidak hilang karena hilangnya ingatan. Adapun ibadah badan seperti shalat, bersuci dan shaum menjadi tidak wajib bagi orang ini karena ia tidak berakal.
Sedangkan orang yang hilang akalnya karena pingsan disebabkan sakit atau semisalnya maka menurut kebanyakan ahli ilmu ia tidak wajib shalat. Jika pingsannya sampai satu hari atau dua hari maka ia tidak wajib mengqadhanya, karena ia tidak berakal. Ia tidak seperti orang tidur yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentangnya.
"Artinya : Barangsiapa yang tertidur dari melakukan shalat atau terlupa maka hendaklah ia shalat saat telah ingat".[2]
Karena orang yang tidur masih memiliki kesadaran, artinya bila dibangunkan ia akan bisa bangun, sedangkan orang yang pingsan meskipun dibangunkan ia tidak bisa bangun. Hal ini jika pingsannya alami tanpa disengaja. Adapun jika pingsannya karena sebab tertentu seperti karena pembiusan dan semisalnya maka ia harus mengqadha shalat yang ditinggalkannya saat pingsan.
Wallahu 'alam.
APA YANG HARUS DILAKUKAN TERHADAP SESEORANG YANG TIDAK SADAR SELAMA DUA BULAN?
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang lelaki yang tidak sadar selama 2 bulan dan ia tidak shalat dan tidak puasa ramadhan selama itu. Kiranya apa yang harus ia kerjakan setelahnya ?
Jawaban
Ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa karena hilangnya ingatannya, namun jika Allah mentakdirkannya siuman kembali maka ia harus mengqadha puasanya. Bila ia ditakdirkan meninggal maka ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa kecuali bila sebelumnya ia termasuk orang yang mempunyai udzur tetap, seperti karena tua dan sebagainya maka walinya wajib menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari (sebanyak jumlah puasa yang ditinggalkan).
Adapun untuk shalat, para ulama berbeda menjadi dua pendapat :
[1]. Pendapat jumhur ulama yaitu tidak ada qadha baginya karena ada riwayat bahwa Ibnu Umar radhiyallahu anhuma pernah pingsan sehari semalam dan tidak mengqadha shalat yang ditinggalkannya.[3]
[2]. Dia wajib mengqadhanya, dan ini adalah madzhab ulama sekarang dan madzhab Hambali. Dikatakan dalam "Inshaf" : Hal ini kekayaan perbendaharaan madzhab, dan ini diriwayatkan dari Ammar bin Yasir bahwa ketika beliau pingsan tiga hari beliau mengqadha apa yang ditinggalkannya. [4]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Kitab Iman, Bab : Tentang Kehormatan Shalat, Nasa'i dalam "Al-Kubra", Kitab Tafsir, Bab FirmanNya "Mereka menjauhkan punggung mereka dari tempat tidur" . Ibnu Majah, Kitab Fitan, Bab Menjaga Lisan saat terjadi fitnah, Tirmidzi berkata hadits hasan shahih.
[2]. Sudah ditakhrij
[3]. Dikeluarkan Bukhari : Kitab Mawaqit Bab Barang siapa lupa dari shalatnya maka hendaklah shalat ketika mengingatnya. Dan Muslim : Kitab masajid Bab : Qadha shalat yang tertinggal.
[4]. Dikeluarkan oleh Malik Bab Ma-ja'a fi jamiil waqti
Subscribe to:
Posts (Atom)
NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...

-
Hadits ke-1 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjumpai Umar Ibnu Al-Khaththa...
-
“Dan tinggallah manusia2 yg buruk, yg seenaknya mlakukan persetubuhan spt khimar (kledai). Maka pd zaman mreka inilah kiamat akan datang.” ...
-
Qur'an dan Terjemah SURAT 41. AL FUSHSHILAT Terjemahan Text Qur'an Ayat Haa Miim. حم 1 Diturunkan dari Tuhan Y...