Searching

Hukum Menyusukan Anak Dewasa Agar Menjadi Mahram

Pertanyaan
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Dalam kasus Salim maula Abi Huzaifah yang disusukan oleh istri Abu Huzaifah (agar menjadi mahram hingga dapat keluar masuk rumahnya dengan bebas, sementara dia telah menginjak dewasa,-pent) apakah kasus ini berlaku untuk Salim secara khusus atau dapat berlaku untuk seluruh orang ?.Jika seseorang memiliki anak angkat yang berumur sepuluh tahun memperlakukan anak tersebut sebagaimana kasus Salim, apakah hubungan kemahraman antara mereka merlaku juga? Bolehkah melaksanakan penyembelihan korban dengan niat dihadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal?

Jawaban
Sebelum menjawab yang pertama aku akan menjawab yang kedua. Seseorang yang telah meninggal tidak boleh disembelih untuknya Qurban (dengan niat agar disampaikan pahala untuknya). Sebab tidak ada dalil kuat yang mensyariatkannya. Intinya Sembelihan Qurban boleh di atasnamakan untuk keluarga yang masih hidup maupun yang telah meninggal secara umum, bukan dikhususkan hanya untuk seseorang yang telah meninggal.

Adapun kasus Salim Maula Abi Huzaifah, pendapat yang paling rajih/benar adalah qadiyah 'ain (kasus yang berlaku khusus untuknya). Perkara qodiyah 'a'yaan --yaitu kasus yang terjadi dengan orang-orang tertentu apakah juga dapat diberlakukan untuk umum atau tidak? Merupkan perkara khilafiyyah yang sengit dikalangan ulama.Perkataan Ulama Usul almuhaqqiqin dalam hal ini bahwa kasus yang berlaku terhadap orang tertentu diberlakukan juga untuk umum jika memiliki kondisi yang sama. Maka jika terdapat seseorang anak berumur sepuluh tahun yang terlantar dan disia-siakan?alangkah banyaknya kondisi anak-anak kaum muslimin yang seperti ini-- boleh bagi seorang wanita menyusuinya agar menjadi mahram baginya .

HUKUM JUAL BELI BARANG YANG TERDAPAT DIDALAMNYA GAMBAR

Pertanyaan.
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apakah hukum jual beli barang-barang yang terdapat di dalamnya gambar-gambar wanita ataupun binatang seperti sabun contohnya, jika gambar-gambarnya dicabut orang tidak akan membelinya ? Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?

Jawaban
Pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-persusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka. Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini yaitu dengan menolak-hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya..jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mengaramkan mengakui keberadan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sbagaimana dalam kaedah " Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah".

Adapun hukum menjual barang-barang yang bergambar, kita memiliki dua hal: pertama al-aslu( hukum asal jual beli) kedua az-zahir(yang nampak). Masalah yang wajib diketahui orang-orang sekarang adalah masalah al-aslu dan az-zahir, mana yang diutamakan jika keduanya bertentangan?. Jual beli sabun contohnya, hukum asalnya adalah halal, secara zahirnya dia haram karena ada gambarnya.Sebenarnya gambar independen/ terpisah dari sabun, sebab ketika anda membeli sebenarnya yang anda ingin beli adalah sabunnya bukan gambarnya, dan gambarnya akan dibuang dan dikoyak, oleh karena itu tidak ada masalah untuk membelinya dikembalikan kepada hukum asalnya.

HUKUM TRANSFUSI DARAH (DONOR DARAH) KEPADA ORANG KAFIR
Pertanyaan
Syaikh Masyhur Hasan Salman ditanya : Apa hukum tranfusi darah/donor darah kepada orang kafir atau menerima donor darah dari orang kafir?

Jawaban
Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata:" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan) . Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanta pelacur pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua ;maramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af'al bukan dengan zawat.Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru).

wallahu a'lam.

Pendapat Para Ulama Tentang Susuan Orang Yang Telah Dewasa


[A]. PENDAPAT UMUM PARA ULAMA TENTANG SUSUAN ORANG YANG TELAH DEWASA
Perlu diketahui , semoga Allah mengokohkan kami dan para pembaca sekalian di atas al-haq, bahwasanya masalah ini sudah diperbincangkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat yang berbeda. Saya paparkan disini tiga di antara pendapat tersebut, karena inilah sesungguhnya inti permasalahannya. Ketiga pendapat tersebut yaitu:

1. Menyebabkan hubungan mahram secara mutlak
2. Tidak menyebabkan hubungan mahram secara mutlak
3. Tidak menyebabkan hubungan mahram kecuali karena kebutuhan

[B]. PENDAPAT PERTAMA (MENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM SECARA MUTLAK)
Dalil mereka yang berpendapat seperti ini adalah firman Allah:

"Artinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan diharamkan pula (mengawini) saudara perempuan sepersusuan" [An-Nisa' : 23]

Mereka mengatakan ini adalah nash yang umum yang tidak dibatasi oleh waktu.

Al-Imam Muslim berkata dalam Shahihnya (no. 1453):

"....'Aisyah berkata: Sahlah bintu Suhail datang menemui Nabi, katanya:

"Wahai Rasulullah, saya melihat sesuatu di wajah Abu Hudzaifah karena
seringnya Salim -bekas budaknya- masuk ke rumah".
Kata Nabi: "Susuilah dia".
Kata nya: "Bagaimana saya menyusuinya sedangkan dia laki-laki dewasa?"
Rasulullah tersenyum dan berkata: "Saya tahu dia sudah besar"
'Amr (rawi hadits) menambahkan riwayatnya: "Dan dia (Salim) ikut
dalam perang Badr"

Saya katakan: Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa menyusui anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram.

Para ulama yang berpendapat seperti ini antara lain:

Ibnu Hibban, beliau mengatakan : ( Masalah: Menyusui anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram meskipun dia seorang yang sudah tua sebagaimana halnya anak yang masih kecil, tidak ada perbedaan...). Kemudian beliau membantah pendapat yang menyelisihi hal ini. Lihat al-Muhalla
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, beliau berkata : "Adalah 'Aisyah berpendapat bahwa susuan anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram. Ini diriwayatkan juga dari 'Atha', Al-Laits dan Dawud"

[C]. PENDAPAT KEDUA (TIDAK MENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM SECARA MUTLAK)
Dalil-dalil mereka yang berpendapat seperti ini, yang pertama, dari al-Qur'anul Karim:

Firman Allah:

"Artinya : Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan" [Aal-Baqarah : 233]

(dan surat lain seperti: -pent) Luqman 14, Al-Ahqof : 15

Menurut mereka, ayat-ayat ini tegas membatasi waktu penyusuan hanya dua tahun.

Yang kedua, dari as-Sunnah An-Nabawiyyah:

Rasulullah bersabda:

"Artinya : ....Perhatikanlah olehmu siapa saudaramu itu. Hanya saja (innamaa) susuan itu karena rasa lapar" [HR Bukhari dalam kitab Asy-Syahadat]

Rasulullah bersabda:

"Artinya : Tidak susuan itu menyebabkan haram kecuali yang mengenyangkan usus, melalui buah dada dan sebelum disapih" [HR Ibnu Hibban, Al-Baghowi. Dishahihkan oleh syaikh Albani dalam Irwa'  dan Shahihul Jami' ]

Rasulullah bersabda:

"Artinya : Sesuatu dari susuan tidaklah mengharamkan kecuali apabila dilakukan selama dua tahun" [HR ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ibnu 'Adi, (syaikh berkata: -pent) hadits ini shahih apalagi dengan adanya penguat yang cukup banyak]

Rasulullah bersabda:

"Artinya : Tidak ada susuan setelah masa penyapihan" [HR Abdur razaq, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, dll, (syaikh berkata: -pent) Hadits ini mempunyai dua jalan: ....... Hadits ini lemah, namun menjadi hasan lighoirihi dengan jalan kedua ....]

Secara lahiriah , dalil-dalil ini mensyaratkan bahwa yang dianggap susuan adalah anak yang usianya masih kecil. Dan ini adalah pendapat jumhur ahli ilmu. Dari sinilah munculnya perbedaan pendapat. Yang berpendapat seperti ini diantaranya:

1. Al-Imam at Tirmidzi
2. Al-Baghawi
3. Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta'
4. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
5. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Abdullah Al-Fauzan
6. dll (pent-)

[D]. PENDAPAT KETIGA (TIDAKMENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM KECUALI KARENA KEBUTUHAN)
Golongan yang berpendapat demikian dari para muhaqqiq di antara ahli ilmu:

[1]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu' Fatawa)
Setelah menyebutkan hadits Salim maula Abi Hudzaifah, beliau berkata:
"Hadits ini dijadikan dalil oleh 'Aisyah, sedangkan para istri Nabi yang lain menolak untuk menjadikannya sebagai dalil. Padahal 'Aisyah juga yang meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda: "Susuan itu karena rasa lapar". Namun 'Aisyah melihat adanya perbedaan antara radha'ah (susuan) dengan sekedar taghdziyah (pemberian makanan).

Maka apabila tujuan itu adalah yang kedua (memberi makan), jelas tidak akan menyebabkan haram (menjadi haram) kecuali bila dilakukan sebelum penyapihan. Dan inilah yang dinamakan penyusuan yang umum terjadi pada manusia. Adapun tujuan yang pertama, maka boleh saja kalau memang diperlukan untuk menjadikannya mahram (yang haram dinikahi). Dan kadang dibolehkan karena memang dibutuhkan, dan tidak dibolehkan untuk hal-hal lain. Inilah pendapat yang lebih terarah"

[2]. Al-'Allamah Ibnul Qayyim (Zaadul Ma'ad )
Beliau mengatakan:
"Hadits Sahlah bukanlah hadits yang mansukh (dihapus hukumnya), juga bukan hadits yang dikhususkan, bahkan bukan pula bersifat umum bagi setiap orang. Tapi ini adalah rukhshah (keringanan) karena adanya satu kebutuhan bagi orang yang sangat butuh untuk masuk menemui seorang wanita, dalam keadaan berat bagi wanita tsb utk berhijabdari laki-laki itu. Sebagaimana keadaan Salim dengan istri Abu Hudzaifah.

Jadi, orang dewasa seperti ini bila disusui oleh seorang waniita karena memang dibutuhkan, tentunya susuan itu memberikan pengaruh (menyebabkan jadi mahram). Adapun bagi laki-laki lain, maka jelas tidak akan memberi pengaruh kecuali susuan yang masih bayi. Ini juga juga jalan yang ditempuh oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Adapun hadits yang yang menafikan susuan pada anak atau orang dewasa, mungkin masih merupakan hadits yang mutlak, sehingga dibatasi oleh hadits Sahlah, atau bersifat umum dalam keadaan apapun. Maka keadaan ini dikhususkan dari keumumannya. Dan ini lebih baik daripada menganggap adanya nasakh (penghapusan hukum suatu dalil), atau anggapan bahwa hadits ini merupakan pengkhususan bagi orang tertentu (dalam hal ini adalah Salim -pent). Bahkan ini lebih dekat dengan pengamalan, dengan mengumpulkan hadits-hadits tsb dari dua sisi. Hal ini dikuatkan pula oleh kaidah atau pedoman syariat. Wallahu muwaffiq."

[3]. Al-'Allamah Ibnul Amir Ash-Shan'ani (Subulus Salam)
Beliau mengatakan: "...Yang paling baik dalam menggabungkan (menjama') antara hadits Sahlah dan hadits-hadits yang bertentangan dengannya ialah pendapat Ibnu Taimiyah...."

[4]. Al-'Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Author  dan juga dalam As-Sailul Jarrar dimana beliau mengatakan:
"Walhasil, hadits Salim adalah khusus bagi mereka yang dihadapkan pada kebutuhan tersebut. Juga bagi seseorang yang perlu memasukkan orang lain kepada istrinya, dalam keadaan sangat butuh untuk masuk ke rumahnya secara berulang-ulang karena satu keperluan dan kemaslahatan. Siapa yang menolaknya tanpa bukti keterangan yang jelas, berarti dia membantah Rasulullah dan syariatnya yang suci. Dan siapa yang membatasinya untuk Salim semata, berarti dia telah mendatangkan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Bahkan tidak sesuai dengan kaidah yang baku dalam ilmu ushul fiqh"

[5]. Al-'Allamah Shiddiq Hasan Khan (Ar-Raudhatun Nadiyyah Syarh ad-Durar al-Bahiyah Beliau mengatakan:
"Saya menyatakan: Walhasil, hadits sebelumnya (hadits Salim) adalah shahih. Diriwayatkan pula oleh sejumlah besar rawi, dari sejumlah besar rawi pula, pada generasi belakangan dari generasi salaf. Tidak ada satupun ahli dalam bidang ini yang mengecam hadits ini. Paling akhir, mereka menyelisihinya mengatakan bahwa hadits ini mansukh. Namun perlu dijelaskan bahwasanya kalau memang mansukh , tentulah ada bantahan terhadap 'Aisyah dengan alasan ini. Padahal tidak ada sama sekali nukilan dari mereka yang mengatakan demikian, sementara perselisihan dalam permasalahan ini sangat masyhur di kalangan sahabat.

Adapun hadits-hadits yang menyatakan tidak adanya susuan kecuali dalam masa dua tahun dan sebelum disapih, meskipun ada perbincangan di dalamnya, ternyata tidak bertentangan dengan hadits Salim. Karena hadits-hadits itu umum, sedangkan hadits Salim adalah khusus. Sedangkan yang khusus harus didahulukan daripada yang umum. Namun hadits Salim ini dikhususkan juga dengan keadaan orang-orang yang dihadapkan pada satu kebutuhan sehingga perlu menyusui orang yang sudah dewasa, sebagaimana terjadi pada Abu Hudzaifah dan istrinya, Sahlah. Disamping itu, Salim bagi keduanya sudah seperti anak sendiri. Dia tinggal di rumah mereka, dan berhijab darinya sangatlah menyulitkan keduanya. Oleh karena itulah Rasulullah memberi keringanan untuk menyusuinya bagi orang-orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti ini dan tidak ada jalan yang lain lagi....."

[6]. Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh (sebagaimana dalam Ahkam Ar-Radha'ah yang dikumpulkan dan disusun oleh Abu Malik Muhammad Hamid bin Abdul Wahhab) Beliau pernah ditanya: "Bagaimana tentang susuan orang yang sudah besar, apakah berpengaruh dan menyebabkan pengharaman (menjadi mahram)?"

Beliau menjawab:
"......"Tidaklah lah mengharamkan sesuatu dari susuan kecuali apabila dilakukan selama dua tahun (hadits -pent)". Inilah yang sesuai dengan mazhab Hambali dan dengan inilah fatwa menurut kami.

Sebagian ahli ilmu berpendapat diakuinya susuan orang dewasa, berasalan dengan kisah Salim..........

Mereka yang berpendapat tidak ada nya pengharaman (yakni tidak menjadi mahram) karena susuan anak yang dewasa, menjawab dengan beberapa jawaban. Diantaranya bahwa kisah Salim ini khusus baginya, sebagaimana diterangkan oleh sejumlah istri Rasulullah, ketika mereka mengatakan kepada 'Aisyah: "Kami berpandangan bahwa ini tidak lain adalah rukhshah yang diberikan Rasulullah kepada Salim secara khusus. Dan tidak ada satu orang pun yang boleh masuk kepada kami kalau dia menyusu dengan cara seperti ini. Dan kami menganggap dia tidak boleh melihat kami".

Dua orang syaikh (Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim) telah mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Keduanya menerangkan bahwa kisah Salim maula Abi Hudzaifah adalah kasus yang khusus meliputi setiap keadaan yang sama seperti keadaan Sahlah dan Salim. Hukumnya sama seperti hukum yang diterapkan dalam kisah Abu Burdah yangmenyembelih qurban sebelum sholat 'Id dan Rasulullah berkata:

"Kambingmu adalah kambing daging". Abu Burdah berkata: "Wahai Rasulullah, sebetulnya saya punya kambing yang sudah berumur dua tahun" Maka beliau mengizinkan seraya mengatakan: "Dan ini tidak sah bagi siapapun selain kamu" [HR Al-Bukhari]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Artinya tidak sah bagi siapapun sesudah keadaanmu ini"

Dan dengan apa yang kami isyaratkan tadi, Syaikhul Islam dengan tegas menyebutkan dalam Al-Ikhtiyarat yaitu:

"Susuan anak yang dewasa tetap menyebabkan keharaman dimana akhirnya ia boleh masuk dan berkhalwat. Dan ini jika orang yang menyusu itu memang tumbuh dan terbina di rumah itu juga , dan dalam keadaan mereka sulit berhijab dari dia. Hal ini berdasarkan kisah Salim maula Abi Hudzaifah".

Dan dari yang kami paparkan ini, jelaslah jawaban pertanyaan anda. Dan nampak bahwa wanita yang anda sebutkan tidak sama keadaannya dengan keadaan Sahlah istri Abu Hudzaifah. Artinya dia tidak teruji dengan adanya seorang laki-laki yang masuk menemuinya dalam keadaan laki-laki itu tumbuh dan terbina selama ini di rumahnya. Hanya saja sekarang ini anda ingin menemukan seorang laki-laki yang anda menyusu kepada istrinya sehingga menjadi mahramnya, menurut pernyataannya. Ini tidak boleh.

Adapun ucapannya tentang keadaan yang dihadapinya yaitu butuhnya dia kepada mahram dan katanya, kalau saya mati siapa yang memasukkan saya ke dalam kubur dan melepaskan ikatan saya? Maka jawabnya: "Tidak masalah seorang laki-laki ajnabi (non mahram) memasukkan jenazah seorang wanita ke dalam kuburnya dan melepasikatan kafannya, meskipun disitu ada mahramnya. Dan taufik itu di tangan Allah".

[7]. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany
Saya pernah bertanya kepada beliau tentang masalah ini di rumah beliau di 'Amman, Yordania. Jawaban beliau sama dengan jawaban saudara-saudara beliau dari kalangan ulama muhaqqiqin. Dan ini terjadi ketika saya berziarah kepada beliau di Yordania tanggal 25 Rabi' Ats-Tsani 1404H.

[E]. PENDAPAT PENULIS
Saya mengatakan:

"Yang di tahqiq oleh para ulama ini (yang memilih pendapat ketiga -pent), adalah bentuk pengumpulan yang baik, mengamalkan semua nash. Dan inilah yang dimaksudkan oleh nash-nash syariat.

Kalau kita berpegang dengan hadits Salim maula Abi Hudzaifah saja, tentulah kita tinggalkan nash yang lain. Kalau kita berpegang dengan hadits yang menafikan (menolak), tentulah kita tinggalkan hadits Salim ini. Oleh karena itu kita harus menggabungkan antara nash-nash syariat yang ada, selama hal itu memungkinkan.

Juga karena tidak adanya dalil yang mengkhususkan Salim, bahkan tidak pula yang me-nasakh (menghapus hukumnya). Sedangkan kembali kepada al-haq adalah wajib atas setiap muslim yang mukallaf"

[F]. CARA MENYUSUI ANAK YANG TELAH DEWASA
Ibnu Abdil Barr mengatakan (at-Tamhid ):

"Demikianlah cara menyusui anak yang sudah besar, sebagaimana sudah disebutkan. (Yaitu dengan cara) dia memerah susunya kemudian meminumkannya. Adapun menghisap langsung dari puting susu ibu susunya seperti hal nya anak-anak bayi, ini tidak dibenarkan...."

[G]. JANGAN IZINKAN ISTRIMU MENYUSUI LAKI-LAKI YANG RUSAK
Jika memang terpaksa harus menyusui anak yang sudah besar, maka hendaklah orang yang menyusu itu adalah orang yang shalih dan bertaqwa. Bukan orang yang rusak dan jahat, karena dia akan masuk menjadi mahrammu.

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda:

"Seseorang dinilai (agamanya) dengan siapa yang jadi teman dekatnya (kesayangannya). Maka perhatikan olehmu siapa yang jadi teman dekat kesayangannya" [HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dia berkata: hadits hasan gharib]

Hukum Dua Orang Wanita Yang Saling Menyusukan Anak Mereka

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada dua orang wanita, yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki, yang kedua mempunyai anak perempuan, mereka saling menyusukan anak yang lain. Siapa di antara saudara-saudara mereka yang boleh dinikahi oleh yang lain ?.

Jawaban.
Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak kecil di bawah umur dua tahun lima kali susuan atau lebih, maka anak tersebut menjadi anaknya dan anak suaminya yang memiliki susu itu. Dan seluruh anak dari wanita tersebut dengan suaminya itu atau dengan suami terdahulunya menjadi saudara bagi anak susuan itu. Seluruh anak suami wanita yang menyusui baik dari wanita itu ataupun dari istri yang lain adalah saudara anak susuannya. Seluruh saudara wanita yang menyusui dan saudara suaminya adalah paman bagi anak susuannya. Demikian pula Bapak wanita yang menyusui dari Bapak suaminya adalah kakek dia dan ibu wanita yang menyusui serta ibu suaminya adalah nenek.

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara kalian yang sesusu" [An-Nisa' : 23]

Serta sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesuatu diharamkan dengan sebab penyusuan sebagaimana apa-apa yang diharamkan oleh sebab nasab".

"Artinya : Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali dalam masa dua tahun".

Dan berdasarkan hadits dalam Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : "Adalah yang disyariatkan dalam Al-Qur'an dahulu sepuluh kali susuan yang jelas, menyebabkan ikatan kekerabatan. Kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan masalah tersebut tetap dengan keputusannya (lima kali susuan)". Hadits ini diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi degan lafazh sedemikian, sedangkan asalnya terdapat dalam Shahih Muslim.

[Fatawa Da'wah, Syaikh Bin Baz Juz 1 hal. 206]

IBUKU MENYUSUI SAUDARA (PEREMPUAN) SEPUPUNYA, APAKAH IBUKU BOLEH MEMBUKA HIJAB ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ibuku menyusui sepupu perempuannya. Apakah boleh dia membuka hijab di depan saudara laki sepupunya sedangkan saudara laki-laki sepupunya ini dari istri paman yang lain ?

Jawaban.
Seorang ibu menyusui sepupu perempuannya, maka dia menjadi saudara bagi anak laki-laki ibu tersebut karena disebabkan susuan itu.

Kita harus mengetahui kaidah dalam hal susuan, yaitu bahwa pengaruh susuan hanya terjadi kepada orang yang menyusu beserta keturunannya. Seorang wanita menyusui anak kecil maka berarti dia telah menjadi ibu dari anak tersebut. Sehubungan dengan masalah anak kecil ini, apakah hubungan mahram berlaku pula atas ayah atau ibunya ? Jawabannya adalah tidak, karena kemahraman itu hanya terjadi kepada anak yang menyusu beserta keturunannya. Adapun orang tua atau saudarannya maka tidak berlaku kemahraman ini. Kita ambil contoh untuk menjelaskan maksudnya.

Seorang perempuan menyusui anak perempuan kecil. Bagaimana kedudukan anak perempuan tersebut ? Dia menjadi anak bagi ibu yang menyusuinya itu. Adapun anak-anak ibu tersebut telah menjadi saudara bagi anak susuannya itu, saudara atau saudari ibu susuan menjadi paman atau bibi anak itu, ibunyu ibu susuan menjadi nenek, serta ayah ibu susuan menjadi kakek dan begitu pula seterusnya.

Akan tetapi dari pihak keluarga anak perempuan yang menyusu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan mereka karena susuan itu, kecuali pada keturunannya. Jika si anak susuan mempunyai ayah, ibu atau saudara, apakah mereka berlaku hukum dalam masalah susuan ? Jawabannya tidak. Susuan hanya berpengaruh kepada keturunan, sehingga keturunan anak susuan menjadi keturunan dari ibu susuannya juga.

Apa Hukum Perkataan Fulan Syahid ?

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apa hukum perkataan, 'fulan Syahid ?'.

Jawaban.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi yaitu :

Pertama.
Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti : Dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fisabillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua.
Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu tidak memvonis syahid kecuali ada wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah. "Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si fulan syahid, dan si fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid". Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa'id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A'jafa' dari Umar.

Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu.

"Artinya : Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya...." [Bukhari : 2787]

Dan sabda beliau.
"Artinya : Demi Dzat diriku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang terluka di jalan Allah kecuali datang dihari kiamat sedang lukanya mengalir darah, warnanya warna darah dan baunya bau Misk" [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]

Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja' (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada' yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.

Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid konsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.

Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.

Memelihara Anjing Di Rumah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sesungguhnya di dalam rumah, kami memiliki anjing betina yang kami peroleh. Tadinya, kami tidak mengetahui hukum memelihara anjing tanpa keperluan. Setelah kami mengetahui hukumnya, kami mengusir anjing tersebut, dan ia tidak mau pergi karena sudah sangat jinak di rumah dan saya tidak ingin membunuhnya. Apakah jalan keluarnya.?

Jawaban
Termasuk perkara yang tidak disangsikan padanya adalah diharamkannya bagi manusia memelihara anjing kecuali dalam beberapa perkara yang ditegaskan oleh syara’ atas bolehnya memeliharanya. Karena sesungguhnya.

“Artinya : Siapa yang menjadikan anjing –kecuali anjing penjaga ternak, atau anjing pemburu, atau anjing penjaga tanaman- niscaya berkuranglah satu qirath pahalanya setiap hari” [1]

Apabila berkurang pahalanya satu qirath berarti ia berdosa dengan perbuatannya tersebut, karena hilangnya pahala seperti mendapatkan dosa, keduanya menunjukkan haramnya. Dalam kesempatan ini, saya memberi nasehat kepada orang-orang yang tertipu dengan perbuatan orang-orang kafir berupa pemeliharaan terhadap anjing, merupakan perbuatan keji.

Kenajisannya lebih berat daripada najis-najis lainnya. Sesungguhnya najis anjing tidak bisa suci kecuali dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah. Sampai-sampai babi yang keharamannya ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an dan ia adalah rijs (najis), kenajisannya tidak sampai kepada batas ini. Anjing adalah najis yang sangat buruk sampai kepada batas ini. Anjing adalah najis yang sangat buruk. Namun sangat disayangkan, sebagian orang tertipu dengan orang-orang kafir yang terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan tercela, maka mereka memelihara anjing ini tanpa da keperluan, tanpa keterpaksaan.

Memelihara, mendidik dan membersihkannya padahal ia tidak pernah bersih selamanya. Walaupun dibersihkan dengan air laut niscaya tidak akan pernah bersih karena najisnya bersifat ain (dzatnya). Kemudian mereka mengalami kerugian yang sangat banyak, menyia-nyiakan harta dengan pemeliharaan tersebut dan (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyia-nyiakan harta) [2].

Saya menyarankan kepada mereka agar bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengeluarkan anjing dari rumah mereka. Adapun orang yang membutuhkannya untuk berburu, atau bertani atau memelihara ternak, sesungguhnya hal tersebut tidak apa-apa karena adanya izin dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan hal tersebut.

Tinggal jawaban terhadap pertanyaan saudara ini, kami katakan kepadanya. Apabila anda telah mengeluarkan anjing ini dari rumah dan mengusirnya, lalu ia datang lagi, maka anda tidak bertanggung jawab terhadapnya. Jangan anda biarkan ia tetap berada di sisi anda, jangan diberi tempat. Apabila anda terus memperlakukannya seperti ini di belakang pintu, kemungkinan ia akan pergi dan meninggalkan kota dan makan dari rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana anjing-anjing lainnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Al-Bukhari dengan seumpamanya dalam Adz-Dzba’ih dan Ash-Shaid, Muslim dalam Al-Musaqat [2]. HR Al-Bukhari Dalam Az-Zakah dan Muslim dalam Al-Aqdhiyah

Mendidik Anjing

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya memiliki anjing yang saya didik. Ia bukan jenis anjing pemburu yang sudah dikenal. Apakah hasil buruannya (ketika berburu) halal atau haram? Dan apa hukumnya memelihara binatang-binatang seperti ini?

Jawaban
Tidak boleh bagi seseorang memelihara anjing, kecuali anjing pemburu, atau penjaga tanaman atau penjaga ternak, sebagaimana adanya hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal tersebut.

Anjing-anjing ini, yang disinggung oleh penanya, jika dipelihara untuk melatihnya berburu, maka tidak ada larangan dalam memelihara tersebut, karena firman Allah.

“Artinya : (Buruan yang ditangkap) oleh binatang-binatang buas yang telah kamu ajarkan dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya” [Al-Maidah : 4]

Apabila memeliharanya hanya karena hobi semata, maka hal ini hukumnya haram, tidak boleh, dan berkurang satu qirath pahalanya setiap hari.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengingatkan terhadap perbuatan mayoritas orang-orang yang hidup berlebihan, seperti memelihara anjing di rumah mereka, bahkan mereka membelinya dengan harta yang lebih dari biasanya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (melarang memakan harga anjing) [1] mereka melakukan hal itu karena meniru non muslim. Sudah jelas bahwa meniru non muslim dalam perkara yang diharamkan atau yang merupakan ciri khas mereka adalah perkara yang tidak boleh (haram), karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka” [2]

Nasehat saya kepada mereka-mereka semua agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memelihara uang mereka, menjaga pahala dan ganjaran ibadah dari berkurangnya, dan agar mereka meninggalkan anjing-anjing ini serta bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa yang bertaubat niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubatnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]. HR Al-Bukhari dalam Al-Buyu  dan Muslim dalam Al-Musaqat
[2]. HR Abu Daud  dan Ahmad 

NASIHAT PERNIKAHAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang besar, suatu pertanggungjawaban yang berat bagi seorang laki-laki, yang mana dia mengambil seorang w...